Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI...

10
LUKISAN TERAKHI R DI PADAI Biak Papua

Transcript of Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI...

Page 1: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

LUKISAN TERAKHIRDI PADAI

BiakPapua

Page 2: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

R DO

Pantai Tanjung Mambrow, Pulau Meosmangguandi.

Page 3: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

82 2 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

Pulau Kebori, Meosmangguandi.

Page 4: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

832 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

Biak

nangan baru. Dia menunjuk ke arah haluan perahu yang masih berayun naik-turun mengikuti alun.

Kami bertemu dengan Melkias secara tak sengaja siang tadi, saat hendak menyeberang dari dermaga Pasar Bosnik—sekitar 12 kilometer sebelah timur pu-sat Kota Biak. Seperti kebanyakan nelayan di penju-ru Kepulauan Padaido, pria 70 tahun itu biasa pergi ke kota pada hari-hari pasar: Selasa, Kamis, dan Sab-tu. Selain menjual hasil tangkapan, warga kepulau-an mendatangi pasar tersebut untuk membeli ber-bagai bahan kebutuhan pokok di pulau.

Sesaat saya tak berhasil melihat satu pun pulau di arah yang ditunjuk Melkias. Namun lamat-lamat ba-yangan punggung Meosmangguandi mulai terlihat di kejauhan, berbaris dengan dua pulau lainnya, Pasi dan Mbromsi. Berbeda dengan dua pulau tetangga-nya yang besar membulat, wujud Meosmangguan-di seperti namanya. ”Meos” adalah pulau, ”manggu-andi” berarti panjang.

Sekilas tak ada yang luar biasa dari sosok Meos-mangguandi. Tanjung di sisi utara pulau yang kami jumpai pertama kali hanya berupa tebing karang ter-jal, penuh sesak oleh pepohonan yang terlihat liar.

Tapi perhatian saya tertuju ke arah laut, di bawah lambung perahu. Muka air asin yang tadi gelap ke-biru-biruan seolah-olah memudar. Satu per satu ba-yangan karang besar muncul dari dasar laut yang mulai dangkal. Kelak saya tahu, lebih dari satu de-kade lalu, warga menetapkan tanjung bagian utara Meosmangguandi tersebut sebagai satu dari empat kawasan lindung, atau biasa disebut sasisen, untuk terumbu karang.

”Ikan semakin sedikit di Padaido karena dulu ba-nyak orang buang bom,” kata Melkias dengan baha-sa terbata-bata. ”Sekarang semua orang dari pulau lain mencari ikan di Meosmangguandi. Jadi kami ha-rus jaga.”

Sore itu kami akhirnya tiba di sisi timur Meos-mangguandi. Deretan pohon kelapa seolah-olah menjadi pagar di atas pantai pasir putih yang me-manjang dari utara ke selatan. Di bawah salah satu pohon, saya duduk terpaku melihat ombak yang malu-malu menerjang tubir pantai. Di balik sana, Sa-mudra Pasifi k membentang luas hingga ke Amerika.

MEOSMANGGUANDI merupa-kan satu dari 32 daratan—sepu-luh di antaranya berpenghuni—yang membentuk Padaido, se-buah gugusan pulau di perairan selatan Biak, Papua. Terletak di

pojok tenggara kepulauan, 32 mil laut dari pusat kota Biak, pulau seluas 14 kilometer persegi ini hanya di-huni 84 keluarga.

Mereka tinggal di rumah panggung yang masing-

INI cerita dari gugusan pulau karang di sebelah tenggara Pulau Biak, Papua. Kisah tentang masyarakat yang menjaga samudra. Agar anak-cucu kelak tahu mengapa kepulauan yang mereka tinggali diberi nama Padaido: keindahan yang tak terlukiskan. TEKS: AGOENG WIJAYAFOTO: TONY HARTAWAN

DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido di selatan Biak, Papua, ber-ubah menegangkan. Siang itu, Sabtu dua pekan lalu, kami—saya dan fotografer Tony Hartawan—baru saja melewati Pulau Pakreki yang rimbun tertutup hu-tan tropis. Laut di sekitar pulau karang besar tak ber-penghuni ini seolah-olah menjadi ujian terakhir se-belum kami tiba ke tujuan: Pulau Meosmangguandi.

Air yang tadi tenang tiba-tiba bergejolak. Seketika perahu ”johnson”—begitu nelayan setempat menye-but kapal tradisional bermesin tempel—kami diterpa ayunan ombak yang datang tak tentu arah. Bebera-pa kali Tony yang duduk di haluan menengok ke be-lakang sambil tersenyum kecut. Saya membalasnya dengan mimik tak kalah khawatir.

”Meosmangguandi...!” Teriakan Melkias Rumko-rem, kepala adat Meosmangguandi, membawa kete-

Video bisa dilihat di youtu.be/PbL-4CL7b6A

Page 5: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

84 2 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

masing berjarak, dipisahkan tanah cukup luas. Sela-ma di sana, saya tak habis pikir mendengar rencana pemerintah kabupaten membangun resor miliaran rupiah di pulau tetangga untuk menarik wisa tawan. Karena di Meosmangguandi, hunian warga sudah nyaman ditinggali, dengan fasilitas mandi-cuci-ka-kus (MCK) yang cukup memadai. Air tanah juga tak sulit ditimba dari sumur-sumur warga.

Pagi itu laut di sekeliling pulau mulai teduh seiring dengan meti, istilah setempat untuk air surut. Den-tuman ombak yang menderu tadi malam juga nya-ris tak terdengar lagi. Jalan tak beraspal yang mem-belah perkampungan juga lengang. Memang belum lama lonceng Gereja GKI Imanuel Meosmangguandi yang berada tepat di tengah perkampungan berden-tang, tanda ibadah Minggu dimulai.

Tapi, di dermaga kayu tak jauh dari gereja, suasa-nanya begitu meriah. Belasan bocah berlarian. Satu per satu mereka melompat ke laut. Wushh..., byur.... Tawa keluar di setiap wajah mereka yang muncul ke permukaan. Mereka tak ikut beribadah bersa-ma para orang tua. Pagi-pagi tadi kebaktian khusus anak-anak digelar lebih dulu.

Warga Meosmangguandi melihat laut sebagai sumber kehidupan. Tapi gereja adalah tempat sega-la aturan tentang hidup berkiblat. Banyak kegiatan

warga juga kerap dilakukan atas nama gereja. Seperti hari ketiga saat kami di sana. Sekelompok

ibu-ibu di Kampung Supraima—kampung di bagian selatan Pulau Meosmangguandi—baru saja memu-lai proses membuat kopra. Kegiatan serupa sebenar-nya biasa dikerjakan setiap rumah tangga di Meos-mangguandi sebagai tambahan penghasilan.

Khusus pada hari itu, duit hasil penjualan kopra yang mereka produksi bersama akan disumbang-kan ke gereja. ”Untuk membeli korden,” kata Erick Mourine. Pria 40 tahun ini membantu menyiapkan tungku besar yang disusun dari batang pohon un-tuk mengasapi daging buah kelapa. Siang itu mere-ka berhasil mengumpulkan 800 butir kelapa, hasil barter dengan tepun barapen—makanan dari tepung yang dibungkus daun tunas kelapa, lalu dibakar di balik timbunan batu.

Ketaatan warga itu pula yang menjadikan para pengurus gereja sebagai tumpuan dalam berbagai persoalan. Di Meosmangguandi, setiap aturan kam-pung harus disepakati bersama oleh pengurus kam-pung, pemangku adat, dan pengelola gereja. Biasa-nya mereka memanfaatkan waktu ketika warga ber-kumpul di gereja untuk berembuk, sehingga aturan bisa dibahas dan segera ditetapkan.

Termasuk untuk menetapkan sasisen. Februari

Anjungan tunai mandiri, terutama ATM bank pemerintah, mudah ditemukan di sekitar pusat Kota Biak.

Dermaga Pulau Meosmangguandi.

Page 6: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

852 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

Biak

lalu, misalnya, bersamaan dengan perayaan 160 ta-hun masuknya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, di dalam gereja warga menyepakati jenis-jenis bio-ta laut yang dilarang untuk diburu pada tahun ini. ”Lewat gereja kami ingin warga patuh bahwa melin-dungi laut adalah perintah Tuhan,” kata Yunus Rum-korem, yang kami temui malam harinya.

Dalam bahasa lokal sisen berarti tutup. Dengan imbuhan sa, maknanya menjadi penutupan atau pe-larangan. Intinya, sasien sebenarnya merupakan sistem adat yang melarang siapa pun berburu atau mengambil sesuatu di titik yang telah ditetapkan se-bagai daerah sasi—begitu warga biasa melafalkan-nya.

Sejak 2003, warga Meosmangguandi kembali me-nerapkan sasisen untuk lautan. Sebelumnya, sasisen hanya dipakai untuk menjaga sumber daya alam di darat.

Sebenarnya tradisi serupa dikenal di sejumlah daerah di wilayah timur Indonesia. Namun di Meos-mangguandi ada dua macam sasi. Larangan se-mentara diterapkan setahun sekali, biasanya sela-ma enam bulan atau lebih, tergantung seberapa su-lit biota laut tertentu bisa ditemukan. Tahun ini, se-bagai contoh, sudah delapan bulan mereka belum membuka sasi terhadap lobster, teripang, lola, dan kima batu (kerang), juga pea-pea (siput mutiara).

Lalu ada sasi abadi: larangan menangkap bio-ta laut di beberapa lokasi lindung tanpa batas wak-tu. Wilayah tanjung utara Meosmangguandi adalah kawasan sasi abadi untuk terumbu karang. Di sela-tan pulau, tak jauh dari tanjung Mambro, ada satu lokasi dijuluki In Pekem, zona sasi abadi kakap me-rah. Tepat di bibir pantai sebelah utara dermaga, se-buah kawasan menjadi area sasi abadi anadara atau kerang darah. Adapun area bagian barat, pantai ber-ukuran dua kali lapangan bola, dijadikan sasi abadi untuk teripang.

Warga Meosmangguandi juga menerapkan sasi abadi untuk penggunaan alat penangkapan yang tak ramah lingkungan. Pukat harimau, bahan peledak, dan berbagai ramuan racun dari akar-akaran terma-suk yang diharamkan.

Yunus—warga kampung memanggilnya Bapak Nabi karena namanya ini—ialah kepala jemaat Meos-mangguandi ketika pertama kali sasisen terhadap bom ikan ditetapkan di gereja pada 2003. Beberapa tahun sebelumnya, kata dia, lembaga swadaya ma-syarakat di bidang konservasi laut telah aktif mem-bantu menyebarkan kabar bahaya bom ikan bagi laut.

”Sebelumnya kami hanya tahu pakai bom. Ikan banyak,” ucap Yunus, yang mengakui sempat juga menjadi salah satu pelaku. ”Lama-lama kami sadar, ikan semakin sedikit. Koral tempat mereka bertelur

semuanya rusak.” Menurut dia, sasisen sebenarnya telah lama dite-

rapkan di laut Meosmangguandi, jauh sebelum ada seruan dari LSM dan gereja. Dia masih ingat masa kecilnya, sekitar enam dekade lalu, ketika ayah-nya kerap melarang berburu biota laut seperti lola, pea-pea, dan pea bulan, yang waktu itu dihargai ma-hal oleh para pedagang dari Buton dan Cina. ”Kami menunggu panen agar bisa dijual dalam jumlah ba-nyak, ketika kapal pedagang datang,” ujarnya.

Kala itu, warga juga tak berani berbuat onar di laut. Seperti masyarakat Biak pada umumnya, orang Meosmangguandi mempercayai keberadaan faknik, hantu yang diyakini bersembunyi di dasar laut. Dari perbincangan tentang ini, kami akhirnya tahu Pulau Pakreki yang kami lalui kemarin merupakan salah satu tempat yang ditetapkan sebagai faknik.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ke-percayaan terhadap faknik memudar, terutama di

Pulau Mbromsi. (atas).

Pulau Rasi.

Sinyal seluler tak ada di sebagian wila yah Kepu-lauan Padaido, termasuk di Meosmang-guandi.

Page 7: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

86 2 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

kalangan anak muda. Pada saat bersamaan, Yunus menceritakan, masyarakat mulai menguasai teknik membuat bom ikan sederhana. Bubuk bahan pele-daknya mudah mereka peroleh dari sisa-sisa bom dan ranjau peninggalan Perang Dunia II, yang dulu berserak di perairan sekitar Pulau Nusi, Auki, dan Owi.

Ketiga pulau tersebut merupakan gugusan terde-pan Kepulauan Padaido yang berhadapan langsung dengan Pulau Biak. Sekitar 75 tahun lalu, tentara Se-kutu membangun pangkalan udara dan laut di tiga pulau tersebut untuk merebut Biak dari tangan Je-pang. Kini gua-gua peninggalan tentara Jepang ma-sih dapat ditemukan di lereng bukit, tak jauh dari pu-sat Kota Biak. Sedangkan di Auki, dermaga pening-galan Sekutu tinggal tersisa sebuah tiang penyangga yang bertahan di laut, tak jauh dari bibir pantai.

Yunus memperkirakan kebiasaan membuat dan melempar bom ikan mulai marak pada 1960-an. Se-jak saat itu, setiap malam bak perayaan tahun baru di Meosmangguandi. Dentuman bom bersahutan dari penjuru Kepulauan Padaido. Keesokan hari-

nya, laut di sekitar pun keruh. ”Saat itu kami masih di zaman kegelapan,” kata Yunus tertawa menceri-takan masa mudanya.

BERUNTUNG, kami tak lagi mende-ngar dentuman bom ikan, setidak-nya selama enam hari di Kepulauan Padaido, walaupun kegelapan sebe-narnya belum hilang betul di Meos-mangguandi. Maksudnya, setiap

malam pulau ini benar-benar gelap-gulita. Tak ada jaringan listrik PLN di sini. Sinyal seluler pun tiada. ”Yang ada pembangunan lima tahun, pelita,” ujar Nikson Rumkorem, anak ”ibu kos” kami yang menja-di pemandu selama di Padaido, berkelakar.

Namun laut di Kepulauan Padaido, terutama Meosmangguandi, benar-benar membuat saya le-pas dari ketergantungan terhadap listrik dan tele-pon seluler. Coba lihat Rasi, pulau paling selatan di wilayah perairan Meosmangguandi. Di sini butiran pasir putih sehalus tepung membentang di pantai yang lebar dan meninggi. Di depan sana, warna laut biru bergradasi.

Atau cobalah ke Kebori. Terletak di antara Meos-mangguandi dan Rasi, laut di pulau tak berpenghuni ini dangkal dan tenang. Dari atas perahu, Anda pas-ti tergoda untuk segera melompat. Ikan kecil berane-ka warna berkerumun, berlalu-lalang, di atas koral beraneka warna yang membentang tak jauh di de-

Jaringan listrik belum tersedia di sebagian besar wilayah kepulauan, termasuk di Meos mang-gu andi. Tapi sebagian penduduk memiliki genset. Jangan sungkan minta mereka membantu.

Pembuatan perahu di Pulau Meosmangguandi.

Produksi kopra di Pulau Meosmangguandi (kanan).

Page 8: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

872 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

Biak

JAKARTA-BIAK● Untuk Anda yang berada di luar Papua, hanya Garuda

Indonesia dan Sriwijaya Air yang membuka layanan menuju Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo, Biak. Harga tiket pergi-pulang Jakarta-Biak hanya sekitar Rp 4 juta per orang.

● Jika sedang di wilayah lain di Papua, Anda bisa terbang menggunakan pesawat perintis Susi Air.

BIAK-MEOSMANGGUANDITak ada angkutan penyeberangan komersial ke pulau-pulau di Padaido, termasuk ke Meosmangguandi. Anda bisa menyewa jasa nelayan lokal di dermaga Pasar Tradisional Bosnik, sekitar 12 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Biak. Biayanya berkisar Rp 300 ribu untuk sekali pergi dan pulang, belum termasuk minyak.

PENGINAPAN● Di pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Padaido,

Anda bisa menginap di rumah warga. Agar hemat, sebelum menyeberang, ada baiknya menyiapkan bahan kebutuhan pokok sesuai dengan waktu yang akan dihabiskan selama di pulau.

● Hotel beraneka ukuran tersebar di sekitar pusat Kota Biak.

TRANSPORTASI LOKAL● Satu-satunya moda transportasi darat di

Meosmanggu andi dan sebagian besar pulau kecil lain di Padaido adalah kaki Anda.

● Ketika sudah di pulau-pulau kecil, seperti Meosmanggu andi, Anda bisa meminta penduduk setempat meng antar berkeliling kepulauan menggunakan perahu mereka. Untuk jarak dekat, kami hanya membayar Rp 150 ribu per hari.

● Di Pulau Biak, Anda dapat berkeliling naik mobil angkutan kota—warga biasa menyebutnya taksi—jauh-dekat Rp 5.000. Penyewaan mobil juga banyak di sekitar kota, dengan tarif Rp 500 ribu-1 juta per hari, tergantung lokasi tujuan.

PINTU MASUK DARI LAUT

Laut menjadi satu-satunya jalur untuk pergi ke Pulau Meosmangguandi, Kepulauan Padaido. Meski pulau ini bisa ditempuh dari seluruh daerah di pesisir utara Teluk Cenderawasih, Papua, Biak merupakan titik tolak terdekat untuk menggapainya.

pan pantai pasir putih sebelah timur. Kami sempat menginap di sana. Malam itu se olah-

olah tak ada lagi yang dibutuhkan dalam hidup ini. Api unggun telah berkobar di atas pasir yang menim-bun singkong. Empat ikan gemuk, tiga di antaranya baronang, siap dibakar setelah terperangkap jala yang belum lama tadi dijulurkan Nikson menjelang laut surut. Tambah lagi sepuluh bungkus mi instan siap dimasak. Ai mama....

Pada hari terakhir di Meosmangguandi, kami mampir ke gugusan pulau seberang di utara. Da-lam perjalanan, sekelompok lumba-lumba berlom-patan, seolah-olahs ingin berkejaran dengan pera-hu kami yang melintas di tengah laut perbatasan Pu-lau Pasi, Mbromsi, dan Dauwi. Di pulau terakhir ini, kami sengaja menunggu petang, lalu pergi ke Pulau Samakur.

Warga sekitar menjuluki Samakur sebagai pulau burung. Bukan bentuk pulaunya yang mirip burung, melainkan ketika lembayung di langit barat Padaido semakin merah, ratusan ribu—jika tak ingin menye-but jutaan—burung laut berduyun-duyun terbang mendekati pulau tersebut.

Selama beberapa saat mereka berputar-putar di atasnya. Tidak untuk berburu mangsa, tapi menung-gu kelelawar pergi dari tebing-tebing padas di tengah pulau itu untuk kemudian menjadikannya tempat peristirahatan. Esok pagi, giliran bangau yang pergi digantikan kelelawar, begitu seterusnya.... ●

Page 9: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

88 2 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

BILA INGAT AKAN KEMBALI

Ada yang bilang Biak adalah singkatan dari “bila ingat akan kembali”. Kami tak kuasa membantahnya. Di sini,

hampir setiap kampung pesisir memamerkan pantai pasir putih dan karang, seolah-olah sedang berlomba dalam kontes kecantikan. Belum lagi Kepulauan Padaido yang layak menjadi peserta unggulan. Berbagai peninggalan Perang Dunia II dapat dijumpai di lereng bukit dan dasar lautan.

01. PASAR BOSNIK Pasar Tradisional Bosnik

merupakan salah satu pusat berkumpulnya nelayan dari seantero Biak: menjajakan hasil tangkapannya atau saling tukar apa saja. Mereka punya sistem SKS, yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu, sebagai hari pasar. Pada akhir pekan, ikan segar dan olahan beraneka ukuran bersaing dengan sayur-mayur. Ada juga bermacam kerajinan laut dan batu akik.

02. MUMWAR

Terletak di semenanjung timur Pulau Biak, kawasan hutan tepi pantai di Mumwar menunjukkan jejak betapa dahsyatnya tsunami menerjang kawasan ini dua dekade lalu.

Pantai Anggaduber.

Page 10: Biak Papua LUKISAN TERAKHIR DI PADAIbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Padaido.pdfFOTO: TONY HARTAWAN DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri per-airan Kepulauan Padaido

892 2 N O V E M B E R 2 0 1 5

Biak

12.PULAU OWI, AUKI, DAN WUNDI Ketiganya adalah pulau terdepan di Padaido. Di sini, sekitar 75 tahun lalu, tentara Sekutu membangun dermaga dan pangkalan udara untuk menyiapkan serangan ke Pulau Biak, yang dikuasai tentara Jepang. Sayang, peninggalan perang semakin sulit dijumpai lagi di atas pulau. Namun Anda bisa menyelam untuk menemukannya.

07. AIR TERJUN WARSAFAK DAN PANTAI WARSA

08. GUA JEPANG

09. BENGKEL TIFA Di tepi Jalan Raya Bosnik, Kampung Mokmer, Biak, Anda bisa mengunjungi bengkel tifa perajin ukir Denis Koibur. Setiap hari, bengkel bernuansa rumah adat ini melatih puluhan bocah agar mencintai seni ukir yang kini makin langka di Biak.

03. PANTAI ANGGADUBER Sebuah jembatan alam—berupa tebing menjorok ke arah laut—seolah-olah menjadi pintu gerbang pantai pasir putih yang memanjang dan menghadap langsung ke arah gugusan pulau Padaido. Kalau cukup bernyali, Anda bisa terjun dari atasnya.

04. PANTAI KOREM Pantai ini merekam sejarah tsunami 1996. Warga Kampung Korem, yang dulu memenuhi pinggiran pantai, pindah menjauh dari laut sejak gelombang air bah menghantam teluk.

05.PANTAI WARI

Inilah pantai terlebar yang kami temukan di Biak bagian utara. Di sini, muara sungai yang kehijauan berpunggungan dengan pantai, membentuk delta berpasir nan putih.

06. PANTAI BATU PICA Laut tak pernah menyerah untuk memecahkan tebing karang yang memanjang di pantai ini.

01

10. PULAU SAMAKUR

11.PULAU MEOSMANGGUANDI DAN RASI02

03

04

05

06

07

0809

12

B I A K

11

10