Beriman, Mengetahui & Mengerti

download Beriman, Mengetahui & Mengerti

of 7

description

iman

Transcript of Beriman, Mengetahui & Mengerti

David Jones Simanungkalit1323009004

Beriman, Mengetahui dan Mengerti(Apakah Metafisika Itu Mungkin Sebagai Pengetahuan?)

Permasalahan

Menurut hemat penulis, ada suatu problematika mendasar antara misteri iman (wahyu) dengan usaha pencarian manusia atasnya (pencarian pemahaman atas misteri iman). Di satu sisi, Iman katolik mengungkapkan bahwa realitas Wahyu merupakan kebenaran universal atas eksistensi manusia. Namun demikian, jika ditinjau dari sudut pandang epistemologi, hal tersebut mengandung suatu permasalahan epistemologis bagi pengetahuan (akal budi) manusia. Suatu permasalahan yang menyangkut hubungan antara wahyu dengan syarat-syarat/kondisi yang harus ada pada manusia untuk menangkap wahyu tersebut. Sebagai contoh dalam kitab kejadian, Allah menciptakan langit dan bumi. Permasalahan epistemologis yang dapat diangkat dari kitab kejadian tersebut adalah: Bagaimana manusia bisa tahu kalau Allah menciptakan langit dan bumi, (mengingat bahwa manusia adalah unsur ciptaan dari Allah)? Kondisi-kondisi/syarat-syarat apa dan bagaimana yang membuat manusia bisa menangkap wahyu itu? Dengan demikian, secara epistemologis, pewahyuan Allah pada manusia dapat disangsikan keabsahannya sebagai pengetahuan.

Dalam tulisan ini, penulis akan melakukan sebuah dialektika antara misteri iman dengan usaha manusia untuk memahaminya secara rasional. Permasalahan utama yang diangkat dalam paper ini akan berfokus pada keabsahan metafisika sebagai pengetahuan. Tak dapat dipungkiri guna menjelaskan iman, maka para teolog mau tidak mau harus memasuki ranah metafisika. Jika sistem dalam metafisika dihancurkan maka segala pengalaman iman menjadi kurang atau bahkan akan kehilangan maknanya sama sekali. Selain mempersoalkan metafisika, paper ini juga akan memasuki ranah epistemologi. Di mana di dalamya akan dijelaskan bagaimana proses manusia sampai pada pengetahuan yang dimilikinya. Kondisi-kondisi apa yang harus ada sehingga pengetahuan itu dapat dikatakan sahih.Misteri iman yang akan dijelaskan di sini mengacu pada pokok-pokok ajaran Gereja katolik seturut pemikiran Bapa Suci Yohanes Paulus II. Setelah itu, penulis akan berusaha mendialektikkan ajaran iman Gereja katolik tersebut dengan filsafat transendentalisme yang mengacu pada pemikiran Immanuel Kant. Berikut ini penulis akan mulai masuk pada penjelasan tentang misteri iman yang mengacu pada ensiklik Bapa Suci Yohanes Paulus II, Fides et Ratio.(Ber)Iman Kristiani

Titik tolak iman kristiani bersumber pertama-tama dari Allah yang berinisiaif untuk mewahyukan diri-Nya. Perwahyuan Allah tersebut diterima manusia melalui tradisi yang tertulis dalam Kitab Suci dan mendapat pemenuhannya dalam diri Kristus. Berkat itu, melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, manusia dapat datang menghadap Bapa dalam Roh Kudus, dan mulai ikut serta dalam hakikat Ilahi. Inilah inti dasar dari pewahyuan iman kristiani. Dimana Inisiatif itu sama sekali kerelaan kurnia, bergerak dari Allah menuju umat manusia, untuk mengantarkan mereka kepada keselamatan.

Menghadapi tawaran keselamatan dari Allah tersebut, manusia berusaha menanggapainya dengan suatu jawaban. Tanggapan manusia atas tawaran keselamatan dari Allah inilah yang kemudian disebut dengan iman. Iman dikatakan pertama tanggapan yang patuh-taat terhadap Allah. Tindakan mempercayakan diri kepada Allah dipandang oleh Gereja sebagai sebuah keputusan mendasar manusia, yang melibatkan seluruh pribadi. Dengan kata lain, Gereja mengajarkan bahwa kepatuhan iman memerlukan keterlibatan akal budi dan kehendak bebas manusia. Hal ini merupakan perwujudan pemaknaan manusia atas kebebasan yang diarahkan sepenuhnya kepada Allah.

Dalam perjalanannya, iman membutuhkan usaha manusia untuk mencari pemahamannya. Dengan kata lain, iman berusaha mencari pemahaman atas kebenaran Wahyu Ilahi (intellectus fidei). Usaha pencarian penjelasan atas Wahyu Ilahi tersebut jelas membutuhkan filsafat. Sebagaimana diungkapkan oleh Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Fides et Ratio, pengertian iman itu meminta sumbangan filsafat keberadaan, yang pertama-tama kiranya akan memungkinkan teologi dogmatis untuk menunaikan fungsi-fungsinya secara sesuai. Dengan bantual akal budi (filsafat), manusia mendapatkan pengertian yang semakin mendalam tentang kebenaran yang terdapat dalam Wahyu.Iman Menghadapi Misteri

Meskipun begitu perlu diperhatikan, bahwa Wahyu tetap membawa misteri. Dengan kata lain, meskipun Wahyu merupakan kebenaran mutakhir yang diwahyukan Allah pada manusia, namun pandangan manusia akan wajah Allah selalu terkeping-keping dan tidak mampu akibat batas-batas pengertian manusia. Penulis menafsirkan bahwa seruan Yohanes Paulus II ini tentu berpijak dari pemikiran filosofis Immanuel Kant. Dimana pengetahuan manusia selalu bersifat perspektifal, perbagian-bagian, dan tidak pernah bisa menyeluruh. Dengan kata lain, pengetahuan manusia tidak akan pernah sampai pada kesejatian atau kebenaran mutlak (das-ding-an-sich). Namun demikian, Yohanes Paulus II menyerukan bahwa hanya lewat imanlah manusia dapat memasuki misteri sedemikian rupa sehingga dapat memahaminya secara koheren.

Yohanes Paulus II merupakan pribadi yang sangat yakin bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara akal budi dan iman. Justru keduanya diibaratkan sebagai dua sayap yang memampukan manusia untuk terbang tinggi mengkontemplasikan kebenaran. Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa pada dasarnya ada suatu kesatuan yang mendalam antara iman dan akal budi. Iman tanpa akal budi akan jatuh pada fundamentalisme buta, dan sebaliknya, akal budi tanpa iman akan membawa manusia pada keadaan nihilisme dan tanpa harapan. Pada bagian selanjutnya, penulis akan masuk pada pembahasan mengenai pengetahuan yang didasarkan dari filsafat transentalisme Immanuel Kant.Filsafat Transendentalisme KantDari sudut pandang filsafat (epistemologi), Immanuel Kant mengungkapkan bahwa kemampuan akal budi manusia memiliki keterbatasan dalam memperoleh pengetahuan. Bagi Kant, syarat terbentuknya pengetahuan yang sahih adalah adanya pertemuan antara fenomena dan kategori-kategori dalam diri subyek. Dengan kata lain, antara fenomena dan kategori-kategori dalam diri subyek mencerminkan adanya suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Dari prasyarat inilah Kant kemudian mengklaim bahwa metafisika tidak dapat menjadi pengetahuan. Alasannya ialah metafisika tidak memiliki obyek yang dijadikan dasar pengalaman. Maka dari itu, metafisika bukanlah suatu ilmu pengetahuan dan sama sekali tidak menambah atau memperluas pengetahuan manusia. Pada paragraf-paragraf selanjutnya, penulis akan menjelaskan jalan pemikiran Kant yang sampai pada kesimpulan bahwa metafisika tidak dapat dikategorikan sebagai pengetahuan.Pembahasan mengenai metafisika, masuk dalam ranah dialektika transendetal (pengetahuan pada taraf rasio). Di sini, Kant menggunakan istilah Vernunft (rasio) yang berfungsi mengatur putusan-putusan kita ke dalam sebuah argumentasi. Putusan-putusan yang terjadi dalam rasio tidak berkaitan secara langsung dengan obyek yang menjadi penampakan (fenomena). Putusan-putusan dalam rasio menerima konsep-konsep dan putusan-putusan akal budi (verstand), yang terjadi pada tahap analitika transendental, untuk menemukan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Bentuk putusan pada tahap rasio yang terjadi dalam dialektika transendental ini berbentuk silogisme. Berikut ini penulis akan mengutip argumentasi dari F. Budi hardiman guna memberikan sebuah contoh silogisme beserta penjelasannya.Misalnya, putusan Semua binatang itu bisa mati, dan Manusia itu binatang, lalu kesimpulannya Manusia itu bisa mati. Putusan ketiga yang merupakan kesimpulan silogisme itu dihasilkan dari dua putusan lain dan merupakan kesatuan dari keduanya. Putusan ketiga itu tidak langsung berdasarkan penampakan. Dalam hal ini, rasio mengusahakan kesatuan itu, dan bahkan menurut Kant, aturan (maksim) logis rasio adalah terus mengusahakan kesatuan yang makin besar, makin menuju keadaan akhir yang tidak dikondisikan atau murni.

Ide tentang kekekalan jiwa, eksistensi dunia, dan eksistensi Allah dihasilkan dari kemampuan khas rasio yang selalu berfungsi secara regulatif (mengatur putusan-putusan) untuk menghasilkan sebuah kesatuan akhir yang tidak dapat dikondisikan lagi. Ketiga idea tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pengetahuan karena ketiganya tidak memiliki obyek dan hanya merupakan kemampuan khas rasio untuk menemukan kesatuan-kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Ketiga macam idea itu hanya dapat dipostulatkan (tanpa syarat). Dengan demikian, metafisika tidak mungkin menjadi suatu pengetahuan, dikarenakan tidak adanya obyek-obyek pengalaman bagi ketiga idea tersebut.Namun demikian, Kant masih memberi ruang bagi metafisika. Bagi Kant, metafisika itu mungkin sebagai disposisi alamiah manusia. Guna menjelaskan lebih baik akan hal ini, penulis akan mengutip argument F. Budi Hardiman dalam bukunya Filsafat Modern:Alasannya, sudah menjadi kodrat rasio kita untuk menyatukan segala putusan kognitif akal-budi kita. Rasio berusaha membenarkan bahwa kecenderungan alamiahnya itu memiliki objeknya, yakni dengan cara menghasilkan metafisika. Tetapi dengan cara itu, menurut Kant, rasio sudah menerjang batas-batas pengetahuan manusia.

Analisa Kritis

Sejauh penulis memahami pemikiran Kant, term fenomena memiliki keterkaitan erat dengan term pengindraan dan juga pengalaman. Ketika menyebut fenomena, hal tersebut melibatkan proses pengindraan dan sekaligus pengalaman manusiawi. Dengan kata lain, fenomena selalu ditangkap akal budi melalui kemampuan sensibilitas. Dengan demikian, karena melibatkan sensibilitas, maka penangkapan manusia atas fenomena disebut juga sebagai pengalaman.Pertanyaan yang muncul di benak penulis terkait dengan fenomena adalah: Apakah fenomena yang dimaksud oleh Kant hanya mengacu pada benda-benda material? Mengingat bahwa fenomena, sebagaimana tampak dalam estetika dan analitika transendental, penulis rasakan hanya mengacu pada hal-hal yang saintifik, yang dapat diindra, diraba, dan diukur. Dengan kata lain, penulis membahasakan pengetahuan yang sahih ala Kant adalah pertemuan antara kategori-kategori dalam diri subyek dengan fenomena yang mengacu pada benda-benda material yang dapat diindra (dilihat, diraba, diukur, dsb). Dengan demikian, penulis menafsirkan bahwa fenomena ala Kant hanya merupakan sebuah pengalaman (pengindraan) manusia atas benda-benda material. Pada dasarnya, penulis ingin meluaskan konsep tentang fenomena tidak hanya mengacu pada benda-benda material melainkan juga imaterial. Secara lebih tegas, kemampuan manusia dalam menangkap (memotret) fenomena jangan hanya diredusir terbatas pada kemampuan sensibilitas manusia atas benda-benda material. Dengan kata lain, fenomena yang dialami dan dipahami oleh akal budi manusia tidak hanya terbatas pada sensibiltas mekanis, melainkan di dalamnya juga melibatkan pengalaman-pengalaman eksistensial manusia yang ditangkap dengan sensibilitas spiritual. Menurut hemat penulis, pengalaman eksistensial manusia akan kekosongan makna hidup, penderitaan, kematian, dsb., juga dapat diletakkan sebagai fenomena yang dapat ditangkap oleh akal budi manusia.Terlebih lagi penulis berpendapat bahwa kemampuan sensibiltas manusia pada dasarnya selalu merupakan disposisi. Disposisi yang dimaksud oleh penulis adalah kemampuan sensibilitas manusia pada dasarnya memiliki dua kemampuan sekaligus dalam menangkap suatu obyek (fenomena). Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan sensibilitas mekanis dan kemampuan sensibilitas spiritual.Kemampuan sensibilitas mekanis merupakan kemampuan dari alat-alat pengindra manusia, sejauh berfungsi dengan baik, untuk menangkap obyek material. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan fungsi alat-alat indra yang berjalan secara mekanistis. Contohnya: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, lidah untuk mencecap, kulit untuk meraba, dan hidung untuk mencium (membau suatu aroma). Sedangkan kemampuan sensibilitas spiritual (kemampuan indra yang sejati) adalah kemampuan yang melibatkan pengertian atau pemahaman budi yang diperoleh melalui proses mediasi dari proses pengindraan luar (mekanis). Pada bagian selanjutnya penulis akan memberikan contoh atas kemampuan sensibilitas spiritual ini guna mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap atas pemikiran ini.Ketika aku melihat sesuatu dengan cermat maka sekaligus aku mengerti sesuatu tersebut. Melihat setara dengan mengerti. Dalam bahasa Inggris hal ini nampak jelas, ketika seseorang mengatakan I see (aku melihat/mengerti), pada saat pribadi tersebut coba memahami suatu permasalahan, maka hal tersebut diartikan pula bahwa pribadi yang mengatakannya telah memahami atau mengerti suatu duduk permasalahan suatu perkara. Dengan kata lain, kemampuan mata untuk melihat obyek (secara empiris) sekaligus mengandung arti bahwa pribadi tersebut memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu. Indra lain (pendengaran) yang akan dijadikan contoh oleh penulis berikut ini juga mencerminkan hal yang sama, yakni ketika aku mendengar sesuatu informasi dengan cermat maka sekaligus aku mengerti (dan dapat menangkap segi latensi) dari informasi tersebut.

Sebagaimana telah disinggung di atas, ketika manusia mendengarkan sesuatu informasi melalui indra pendengaran (telinga) dengan cermat, maka sekaligus ia (dengan telinga batinnya) berusaha memahami informasi yang didengarnya. Di sini penulis mengambil sebuah contoh dari perkataan Yesus dalam kitab suci. Barangsiapa bertelinga maka hendaklah ia mendengarkan. Perkataan Yesus tersebut mengungkapkan bahwa mendengar tidak hanya melibatkan telinga yang berfungsi mekanis untuk mendengar, melainkan mendengar juga berarti memahami apa yang disampaikan-Nya. Dengan demikian, kemampuan sensibilitas tidak hanya terbatas pada dimensi eksternal (mekanis) alat pengindra saja, melainkan juga memiliki dimensi internal (spiritual) yang menjadi intisari dari proses pengindraan itu sendiri. Dengan kemampuan sensibilitas spiritual, pengalaman-pengalaman eksistensial manusia (pengalaman akan kekosongan makna hidup, penderitaan, kematian, dsb.) dapat diletakkan sebagai fenomena, Pengalaman-pengalaman eksistensial manusia yang ditangkap oleh sensibilitas internal (spiritual) dimaknai dengan menggunakan kategori-kategori yang ada dalam diri subyek. Di sini terjadilah suatu kesatuan yang memungkinkan sebuah pengertian manusia. Jika Kant menyebutkan bahwa syarat terbentuknya pengetahuan adalah adanya pertemuan antara fenomena yang berasal dari benda-benda material (yang ditangkap dengan sensibilitas mekanis) dengan kategori-kategori dalam diri subyek, maka syarat terbentuknya pengertian adalah pertemuan antara fenomena yang berasal dari pengalaman eksistensial manusia (yang ditangkap dengan sensibilitas spiritual) dengan kategori-kategori dalam diri subyek. Menurut hemat penulis, jika demikian, mengapa metafisika tidak boleh menjadi suatu pengertian/pemahaman kodrati manusia? Fides et Ratio, art. 7. Mengacu pada Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi, art. 2.

Fides et Ratio, art. 7.

Fides et Ratio, art. 13.

Ibid.

Ibid. Catatan kaki no. 15.

Fides et Ratio, art. 97.

Fides et Ratio, art. 13.

Ibid.

Ibid.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakata, 2007, hal. 144.

Ibid. Hal. 142.

Ibid.

Ibid. Hal. 144.

1