BENTUK DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SASAK … · Balai Pelestarian Nilai Budaya, Bali, NTB dan NTT....
Embed Size (px)
Transcript of BENTUK DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SASAK … · Balai Pelestarian Nilai Budaya, Bali, NTB dan NTT....

1
BENTUK DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SASAK
(SEBUAH PENDEKATAN ANTROPOLOGIS)
FORM AND INDIGENOUS MATING SASAK
(AN ANTHROPOLOGICAL APPROACH)
I Gusti Ngurah Jayanti
Balai Pelestarian Nilai Budaya, Bali, NTB dan NTT.
Jln. Raya Dalung-Abianbase 107 Badung, Bali
Telp. (0361) 439547, Fax. (0361) 439546
e-mail: [email protected]
Hp. 081338399668
ABSTRAK
Perkawinan adat Sasak memiliki keunikan tersendiri. Perkawinan yang dianggap
paling ideal bagi masyarakat suku Sasak adalah Merariq. Keunikan di sini adalah
pada pola dan tata cara prosesi perkawinannya. Seorang calon pengantin laki-laki
harus berani melarikan gadis yang dia cintai untuk diajak menikah. Namun
perkawinan berjalan gadis yang dilarikan tersebut di menyembunyikan untuk
sementara sebelum syah menjadi istrinya. Gadis yang dilarikan tentu saja sudah
saling mencintai, dan sepakat mengambil resiko untuk merariq. Dengan demikian,
proses perkawinan ini dianggap syah setelah semua prosesi adat telah
dilaksanakan dengan baik. Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini
adalah: bagaimana bentuk perkawinan adat Sasak dan bagaimana pula prosesi
perkawinan itu dilaksanakan. Metode yang diguna yakni, observsi, wawancara
dan pustaka. Sedangkan teori yang digunakan yakni semiotika dan strukturalisme.
Hasil dari penelitian ini, terungkap bahwa, terdapat bentuk pola perkawinan adat
Sasak yakni: Merariq, belakoq, Kawin Nyerah Hukum, Kawin Tadong, dan
Kawin Ngiwet. Sedangkan dalam prosesi perkawinannya memiliki tata cara yang
kompleks dan berstruktur. Mulai dari midang sampai dengan perayaan nyongkol
semua memiliki keterkaitan dalam sebuah perkawinan yang dilegitimasi oleh adat
Sasak.
Kata Kunci: Perkawinan, adat Sasak, dan Sorong serah.
ABSTRACT
Sasak customary marriage has its own uniqueness. Marriage is considered the
most ideal for Sasak people are Merariq. The uniqueness here is the pattern and
manner of his marriage procession. A prospective groom must dare to escape the
girl he loved to be invited to get married. But marriage goes the girl who was
rushed in hiding for a while before the Shah became his wife. The girl who was
rushed course is to love each other, and agreed to take the risk to merariq. Thus,
the marriage is considered valid after all the traditional procession has been
implemented properly. The formulation of the problem in this research is: how
Sasak customary forms of marriage and how marriage procession was also held.
The method that is used, observsi, interviews and literature. While the theory of
semiotics and structuralism used. The results of this study, it was revealed that,

2
there is a form of customary marriage patterns Sasak namely: Merariq, belakoq,
the Marriage Law surrender, Tadong Mating, and Marriage Ngiwet. While the
marriage procession has complex procedures and structure. Starting up with a
celebration of midang nyongkol all have relevance in a customary marriage is
legitimized by the Sasak.
Keywords: Marriage, indigenous Sasak, and shoves deliver.
A. PENDAHULUAN
Zaman Globalisasi menjadi tonggak perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang memberikan kemudahan dan sekaligus
memberikan warna dalam setiap proses kehidupan dan kebudayaan umat manusia.
Oleh karena itulah, iptek membawa peranan penting setiap tahap kemajuan zaman
sehingga digunakan untuk menandai dan menggolongkan priodisasi kemajuan
zamannya seperti pada tonggak zaman globalisasi sekarang ini. Teknologi adalah
suatu ciri yang mendifinisikan hakekat manusia yaitu bagian dari sejarahnya
meliputi keseluruhan sejarah. Karena aspek fundamental dari teknologi inilah
maka peradaban umat manusia terbentuk (Capra, 2005: 107).
Namun konsekweni dari kemajuan itu juga mempengaruhi struktur
kehidupan, terutama dalam pemaknaan kehidupan bagi umat manusia, ini juga
menjadi khawatiran sebagian kalangan masyarakat melihat perkembangan zaman
ini. Keadaan dunia sudah terasa tanpa sekat, dunia terasa dilipat terutama dalam
ruang dan waktu seperti apa yang dikatakan oleh Piliang (2006: 50) yaitu: melipat
waktu artinya memperpendek jarak waktu (chronos), dengan meningkatkan
kecepatan (velocity) atau memperpendek durasi. Melipat ruang artinya
memperkecil jarak ruang (spatial) dengan cara memperpendek waktu tempuh di
dalam ruang itu. Apa yang dinyatakan oleh Piliang tentu ini merupakan suatu
fenomena dan transformasi dunia yang sedang berlangsung sebagai tanda
terjadinya perubahan di segala bidang khususnya yang paling esensial terlihat
dalam kebudayaan umat manusia. Hal ini diperkuat oleh penyataan dari Harvey
dalam Piliang (2005), menyebut kecenderungan peringkasan ruang-waktu (time-
space compression), yaitu bagaimana hambatan ruang (spatial barriers) diatasi
oleh teknologi, sehingga menciptakan semacam percepatan dunia kehidupan. Hal
ini terjadi karena penemuan teknologi mutahir, khususnya teknologi transportasi,

3
telekomunikasi dan informasi, jarak ruang semakin diperkecil dengan semakin
sedikitnya waktu yang dipergunakan dalam pergerakan di dalamnya.
Bila penemuan teknologi ini tidak dapat dikelola dan diarahkan dengan
baik maka akan berakibat negative terutama dapat dirasakan sebagai pertanda
runtuhnya moralitas dan nilai-nilai lokalitas. Sebagaimana dijelaskan oleh ahli-
ahli sejarah Melvin Kranzberg dan Carroll Pursell dalam Capra (2005: 108),
dinyatakan bahwa:
“…Untuk mengatakan bahwa teknologi tidak benar-benar netral, bahwa
teknologi mempunyai kecenderungan inheren atau memaksakan nilai-
nilainya sendiri, kita harus mengakui fakta bahwa, sebagai bagian
kebudayaan kita, teknologi mempunyai pengaruh pada cara kita
berprilaku dan tumbuh. Sebagaimana manusia selalu mempunyai suatu
bentuk teknologi, teknologi pun mempengaruhi hakikat dan arah
perkembangan mereka. Proses tersebut tidak dapat dihentikan dan
hubungan antar mereka tidak dapat diakhiri; ia hanya dapat dipahami
dan diharapkan, yaitu diarahkan menuju cita-cita yang layak tentunya
bagi manusia…”
Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa teknologi walaupun
memberikan perubahan terhadap kemajuan zaman sebenarnya itu lebih banyak
membawa pengaruh sikap dan prilaku ke arah yang inheren terhadap kebudayaan
yang telah diwariskan dari zaman ke zaman. Melihat pertanda inilah kebudayaan
menjadi benteng dalam memperkuat mental yang terkonstruksi dari budaya-
budaya atau tradisi di masyarakat. Nilai-nilai budaya menjadi benteng yang
terakhir dalam memperkuat pondasi mental di tengah fenomena budaya global
yang absurd dan hedolik bagi perkembangan spirit kemanusiaan ke depannya.
Nilai-nilai budaya dirasakan perlu untuk ditanamkan sedini mungkin terhadap
generasi-generasi penerus agar senatiasa dapat memfilter segala gaya hidup yang
memang tidak sesuai dengan kebiasaannya. Oleh karena itulah kebudayaan sangat
diperlukan mendapat perhatian terutama dalam menyingkap nilai-nilai budaya
local yang dianggap masih berfungsi untuk pelestarian budaya dan lingkungan.
Beragam tradisi yang terdapat di Indonesia, merupakan suatu kekayaan
secara non material. Tradisi ini tentu memiliki khasan tersendiri di setiap daerah
atau sub kelompok budaya yang terdapat di dalamnya. Tidak terhitung jumlahnya,
tradis itu memberikan suatu gambaran tentang keindoneisaan. Tampak yang dapat

4
dilihat dalam tulisan ini lebih banyak akan dibahasa mengenai tradisi dari life
sykel atau daur hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat memiliki proses
kebiasaan itu walaupun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda.
Namun, kebiasaan atau tradisi yang beragam ini memberikan warna tersendiri
sebagai bukti akan kekayaan budaya Indonesia.
Dalam upaya menjaga dan melestarikan budaya bangsa, perlu adanya
kepedulian bersama antara steakholder, pemerintah dan masyarakat. Ketiga
komponen ini setidaknya dapat terkolaborasi dengan baik, sehingga dapat secara
bersama menjaga dan merevitalisasi budaya bangsa yang dikatakan adiluhung.
Budaya bangsa memiliki corak yang beragam, sesuai dengan ekologi di mana
budaya itu tumbuh dan berkembang. Budaya bangsa Indonesia merupakan seluruh
potensi dan sumber daya yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sumberdaya budaya ini sebagai kekayaan bangsa yang dapat
memberikan karakter dan pondasi dalam melakukan pembangunan secara
berkesinambungan (sustainable) ke depan sehingga nilai-nilai budaya bangsa
menjadi cermin dan memberikan spirit terhadap proses pembangunan bangsa itu
sendiri. Apapun produk dari budaya tersebut, tentu merupakan proses yang
berawal dari suatu idea sampai mewujudkan suatu aktivitas baik suatu karya atau
suatu ritual yang nantinya diteruskan dari generasi-kegenerasi berikutnya. Setiap
potensi sumber daya budaya yang ada di daerah dapat memberikan corak
tersendiri dalam pengembangan daerah ataupun bidang lainnya seperti bidang
ekonomi meliputi: (pariwisata, jasa angkutan yang lainnya), bidang social budaya
meliputi: (seni, tradisi dll), bidang politik meliputi: (kebijakan, keputusan,
strategi, dll). Nilai-nilai dalam sumber daya budaya inilah yang harus digali dan
dioprasionalisasi secara efektif untuk dapat berpatisipasi dalam pembangunan di
daerah masing-masing. Sumber daya budaya cakupannya sangat luas dan karena
itu perlu adanya batasan-batasan agar lokus dari penelitian ini dapat lebih
mendalam dan komprehensip. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan ditekankan
sumber daya budaya dilihat dari beberapa aspek yakni tradisi yang berkembang di
daerah.

5
Pendekatan kebudayaan dilihat dari pendekatan antropologis akan lebih
tekankan pada agensi-agensi budaya yang mempunyai kemampuan dalam
mengembangkan pola-pola budaya dan sangat tergantung dari ranah yang
mengkonstruksi agen-agen budaya tersebut. Kemampuan dari agen-agen budaya
dalam mengelola produk budaya mempengaruhi praktik-praktik yang pada
akhirnya menjadi kebiasaan atau mentradisi. Dengan menggunakan asumsi
demikian maka dapat dikatakan bahwa tradisi yang berkembang selama ini
merupakan produk yang telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dalam
praktiknya menumbuhkan habituari dalam kehidupan ini.
Setiap daerah memiliki tradisi yang unik, hal itu tampak dari berbagai
perhelatan, pesta-pesta rakyat yang sering diselenggarakan dalam proses
perjalanan ke hidupan ini. Keunikan-keunikan yang disajikan baik dalam pesta
rakyat juga sering pula dalam aktiftas ritual-ritual yang masih kental dalam pada
masyarakat desa tradisional. Salah satu tradisi yang paling menonjol dalam tradisi
(komunitas budaya) pada masing-masing daerah di Indonesia, yaitu: tradisi adat
perkawinan. Setiap etnik memiliki cara-cara tertentu dalam merayakan dan
memperingati momentum seperti dalam upacara daur hidup ini. Perkawinan pada
sebagian komunitas budaya di Indonesia, dianggap memiliki fase proses
perjalanan hidup yang sangat penting dan sakral. Karena itu perayaan perkawinan
menjadi suatu keharusan agar rumah tangga seseorang nantinya mendapat
legitimasi baik secara adat maupun administratif. Secara adat maksudnya
perkawinan tersebut telah mendapatkan restu dari tokoh-tokoh masyarakat
tradisional yang mewilayahi ulayat desa adat tersebut. Pengakuan secara adat
terkait dengan perkawinan sangat ditentukan oleh keterlibatan tokoh tradisional
mulai dari awal sampai akhir prosesi perkawinan tersebut. Sehingga perkawinan
itu dianggap syah oleh komunitas budaya tersebut. Sedangkan secara administratif
berarti perkawinan tersebut dapat pengakuan secara formal dari negara.
Seperti halnya budaya Lombok, juga memiliki varian yang amat banyak,
mulai dari tradisi daur hidup, sampai dengan tradisi di bidang pertanian dan religi,
kesenian dan lainnya. Corak ragam kebudayaan Lombok merupakan bukti bahwa
Indonesia memiliki beribu-ribu budaya local yang masih perlu digali dan

6
diungkapkan di depan publik. Ini tentunya membutuhkan perhatian yang serius
dalam mengelola sumber daya budaya tersebut.
Kebudayaan itu dapat dilihat dari berbagai aspek, dan tentunya dalam
kebudayan terdapat inti kebudayaan yang paling esensial. Seorang ahli
antropologi yakni (Koentjaraningrat, 1982) menyatakan bahwa kebudayaan
memiliki tiga aspek, yaitu: ideas, activities, dan artifak. Lebih lanjut dikatakan
bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat; 3) wujud kebudayaan sebagai benda-
benda hasil karya manusia. Dari ketiga wujud tersebut, aspek atau wujud yang
nomer satu adalah wujud yang paling ideal dari kebudayaan. Berbeda dengan ahli
antropologi lain berpendapat bahwa wujud kebudayaan terdapat empat aspek atau
wujud (a) aspek fisik atau budaya material; b) aspek prilaku atau budaya prilaku;
c) aspek kebahasaan atau bahasa, dan; d) aspek gagasan atau budaya pengetahuan
(Ahimsa-Putra, 2013). Dalam hal ini dijelaskan bahwa aspek material kebudayaan
berupa benda-benda, mulai dari yang kecil-kecil seperti jarum, kancing baju,
hingga bangunan besar, seperti candi, gedung bertingkat, atau bahkan berupa
kawasan. Aspek prilaku kebudayaan berupa kompleks prilaku, aktivitas bersama,
berbagai interaksi social, relasi social, lapisan dan golongan social. Aspek gagasan
berupa pengetahuan, gagasan kolektif, seperti pandangan hidup, nilai, norma, dan
aturan.
Sesuai dengan apa yang disebutkan Ahimsa Putra (2013), maka
kebudayaan Lombok dapat diungkakan dengan melihat beberapa aspek dari ritual
daur hidup yang masih berlangsung terwariskan hingga saat ini seperti halnya
tradisi perkawinan merariq selalu mendapat apresiasi paling menonjol dihadapan
publik karena pola dan tata cara dalam melaksanakan kegiatan tersebut.
B. PEMBAHASAN
a. Bentuk Perkawinan Adat Sasak.

7
Negara mengakui bahwa perkawinan merupakan salah satu pranata sosial
yang sangat penting. Oleh karenanya pemerintah secara tegas mengatur melalui
UU yakni Undang-undang No.1 Tahun 1974, pasal 1 disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pudja, 1975 : 11).
Perkawinan merupakan salah satu siklus (daur hidup) manusia yang dianggap
penting dalam kehidupan ini. Setiap komunitas budaya atau yang lebih besar suku
bangsa, perkawinan memiliki pola yang berbeda dan dalam aturannya sangat
bervariasi. Setiap komunita budaya memiliki aturan dan cara sendiri dalam
menangani tradisi perkawinan. Dalam pandangan antropologi dapat dikatakan
bahwa perkawinan merupakan suatu transaksi atau kontrak yang sah dan resmi
antara seorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang tetap
untuk berhubungan seks satu sama lain, dan yang menegaskan bahwa si wanita
yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Haviland,
1988: 77).
Begitu pula dalam budaya Lombok memiliki tradisi juga memiliki varian dan
aturan tersendiri dalam menyikapi kehidupannya. Perkawinan dalam tradisi suku
Sasak di Lombok, memiliki beberapa bentuk atau pola dalam menjalankan ritual
perkawinan. Adapun bentuk perkawinan Sasak antara lain:
1. Perkawinan Merariq atau Mbait
Merariq atau Mbait sama-sama berarti kawin. Kedua istilah itu mengandung
pengertian sama yaitu suatu peristiwa melarikan seorang gadis oleh seorang
pemuda untuk dijadikan sebagai istrinya, karena itu sering diartikan sebagai kawin
lari apalagi jika menggunakan ideom budaya suku lain (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 1998).
Pola perkawinan ini memiliki keunikan tersendiri, di mana seorang calon istri
dalam proses rangkaian perkawinan diawali dengan melarikan gadis yang akan
dijadikan calon istri. Merariq bagi adat Sasak memiliki kedudukan yang sangat
terhormat daripada cara-cara perkawinan yang lainnya. Pola perkawinan Merariq
tentunya sangat diharapkan dan dipandang ideal bagi sebagian masyarakat

8
pendukung kebudayaan Sasak. Secara etimologi bila dilihat dari asal katanya,
“merariq” berarti lari atau berlari. Merariq’an berarti melai’ang (melarikan).
Selain itu, merariq mengandung dua arti yakni: pertama, mengandung arti lari.
Kata ini merupakan kata arfiahnya atau sebenarnya. Kedua, keseluruhan
pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata
untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya. Merari’
sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti
mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria
Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya.
Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan
prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik (Sumadi, dkk. 2013:
42). Yamin juga mengartikan bahwa merariq memiliki perbedaan makna, di mana
merariq berartinya arik atau adik. Sebagai terminologi merariq bermakna
mengambil perempunan untuk dijadikan istri yang dalam keseharian suami
memanggil adik terhadap istrinya ( Suriani, 2010: 57).
Melarikan gadis mengandung arti sikap yang pemberani dalam bertindak
menghadapi tantangan atau resiko yang akan dikenakan oleh seorang pemuda.
Sikap inilah dipandang sangat terhormat, dan bagi orang tua si gadis memiliki
padangan bahwa dengan cara demikian seorang pemuda tersebut memberikan
penghormatan bagi orang tua calon istri yang dipandang bahwa anak gadisnya
tersebut memiliki keistimewaan dan berhak saling diperebutkan. Untuk itu bagi
mereka yang suka dan dipilih oleh anak gadis tersebut dipandang perlu melakukan
kawin lari agar tidak terjadi konflik baik terhadap si ayah maupun pemuda lain
yang juga berkeinginan untuk memperistri si gadis. Dengan cara melarikan anak
gadis, maka setidaknya dapat meredam konfik baik dengan si ayah maupun
dengan pemuda yang lainnya. Dengan demikian melarikan anak gadis yang sudah
sama-sama suka merupakan alternative untuk meredam konflik tersebut. Logika
terbalik sering menjadi interpretasi secara emik yang diungkap dalam penuturan
di masyarakat. Jadi semua prosesi dari upacara perkawinan itu juga disebut
dengan merariq.

9
2. Perkawinan Meminang (belakoq atau ngendeng)
Perkawinan meminang disebut juga perkawinan Belakoq yang berarti
meminta. Pola perkawinan seperti ini sifatnya hanya terbatas pada mereka yang
kawin masih memiliki ikatan kekerabatan yang dekat seperti sepupu atau
keponakan. Walaupun pola perkawinan meminta tidak begitu lasim dilakukan
namun dalam kalangan tertentu justru perkawinan yang dikehendaki dalam adat
Sasak di Lombok, perkawinan dengan keluarga dekat terutama pada sepupu
adalah paling diutamakan. Mereka yang memiliki anak laki-laki, apa bila
dikeluarga tersebut terdapat sepupu perempuan sekirannya orang tua akan
berharap untuk mendekatkan atau sering pula menjodoh-jodohkan anak tersebut
sejak masa kanak-kanak. Namun belakangan ini, pola perkawinan meminang
menjadi segmen pada masyarakat modern khususnya pada masyarakat perkotaan.
Kebanyakan masyarakat Sasak yang berada di perkotaan mulai menggunakan pola
perkawinan meminang karena polanya lebih simpel dan sederhana. Faktor lain
seperti pendidikan dan budaya luar yang saling berinteraksi juga sangat
mempengaruhi sehingga pola pikir masyarakat Sasak untuk menggunakan pola
perkawinan meminang di pandang lebih manusiawi.
Selain pola perkawinan meminang, masih terdapat juga beberapa pola
perkawinan yang sering menjadi alternatif dalam adat perkawinan Sasak. Adapun
pola perkawinan adat Sasak tersebut yaitu: Kawin Nyerah Hukum, Kawin
Tadong, dan Kawin Ngiwet. Pola perkawinan tersebutkan itu, tampak bahwa
mulai jarang dilaksanakan karena berbagai faktor dan kemungkinan karena
semangant zamannya mulai menyesuaikan dengan keadaan kekinian sehingga
perkawinan pola seperti Nyerah Hukum, kawin Tadong, dan kawin Ngiwet,
dianggap kurang sejalan oleh sebagian masyarakat terhadap keadaan kekinian.
b. Prosesi Perkawinan Adat Suku Sasak di Lombok.
Sebagai sebuah ritual yang disepakati, baik dalam adat khususnya dalam
perkawian tentu saja harus dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat. Begitu pula dalam ritual prosesi adat perkawinan masyarakat Sasak

10
memiliki pola tersediri maupun tahapan-tahapan yang harus dijalankan oleh
masyarakatnya bila ingin melangsungkan perkawinan dengan cara adat Sasak.
Adapun proses perkawinan tersebut yakni:
1. Mesejati/besejati merupakan proses awal yang selalu dilakukan oleh pihak
laki-laki bila akan melangsungkan perkawinan. Menurut Lalu Muhasan
menyatakan bahwa mesejati atau besejati memiliki makna “yakti/tui/benar”,
oleh karena itu mesejati atau besejati harus dilaksanakan karena mengandung
kebenaran, hilangnya anak manusia “truna/Dadara yang bertujuan
melangsungkan perkawinan. Mesejati/besejati secara arfiah juga diartikan di
mana seorang dari pihak laki-laki menugaskan atau mengutus beberapa warga
yang pada umumnya diperwakilkan oleh seorang tokoh adat untuk datang
menemui tokoh masyarakat (kepala Dusun) di mana calon perempuan itu
berada. Menurut adat Sasak mesejati/besejati paling lambat dilakukan tiga
hari bila di luar desa sedangkan di luar pulau paling lama tujuh hari.
Kedatangan para utusan dari pihak laki-laki dalam kaitan ini ialah
melaporkan bahwa telah diambilnya seorang warga untuk diperistri karena itu
agar dipermaklumkan akan diadakan perkawinan, di samping itu juga
mengungkap jati diri si calon pengantin laki-laki dan selanjutnya kepala
dusun menginformasikan kepada pihak keluarga perempuan tentang peristiwa
tersebut. Dengan informasi yang dibawa oleh kepala dusun maka pihak
keluarga calon pengantin perempuan tidak lagi resah akan keberadaan
anaknya. Mengetahi kejadian tersebut selanjutnya, pihak keluarga calon
perempuan juga melakukan penelusuran terhadap keberadaan anaknya ke
calon pengantin laki-laki. Hal ini dilakukan dalam upaya menindaklanjuti
informasi yang telah disampaikan oleh kepala dusun untuk memastikan
keberadaan anaknya yang akan dikawinkan itu. Peristiwa datangnya kabar
dari pihak laki-laki berkaitan dengan merariq disebut mesejatik (Daliem,
1981: 50).
2. Selabar. Selabar secara etimologi berasal dari kata “abar/obor –suluh
(bersinar-sinar). Obor/suluh bersifat terang yang juga menerangi atau
menjelaskan. Dalam selebar membicarakan kebenaran tentang marariq

11
kepada keluarga perempuan, dalam pembicaraan inilah diungkapkan seluk
beluk calon pengantin laki-laki mulai dari asal keturunannya, pelapisan
sosialnya sampai pula pada kekerabatannya. Ada ketentuan umum yang harus
diketahui dalam selebar, yaitu mengenai jumlah utusan harus paling sedikit
ada dua orang berlaku untuk kalangan orang biasa atau jajar karang. Untuk
ukuran madya sebanyak 11 orang dan pada tingkat prawangsa dan ningrat
menggunakan 21 utusan ini merupakan ukuran paling tinggi. Ketentuan
lainnya adalah dalam selebar diharuskan mengunakan pakaian adat. Dalam
selebar adapun property yang dibawa yaitu: Pecanangan (penginang kuning)
dan “otak bebeli” (sesirah). Komponen yang ada dalam sesirah adalah kain
putih dan kain hitam yang disatukan diikat dengan benang kataq berwadah
talam yang terbuat dari kuningan. Sesirah merupakan simbol dari penyatuan
laki-laki dan perempuan yang diikatkan dalam perkawinan. Dalam tahapan
ini, keluarga perempuan telah mengetahui anak gadisnya telah diambil orang
untuk dinikahi. Untuk itu, pihak keluarga perempuan melakukan rapat kecil
atau adannya proses dialog di keluarga besar pihak calon pengantin
perempuan. Dalam kesempatan ini, turut juga mengundang tokoh adat yang
akan berperan dalam proses ritual perkawinan selanjutnya. Hal-hal yang
penting dibicarakan dalam selebar adalah berkenaan dengan urusan adat-
istiadat yang meliputi aji kerama. Ada beberapa ketentuan yang amat penting
dalam menentukan aji kerama. Biasanya dalam dialog ini sangat alot dan
mempertimbangkan banyak hal.
3. Bait Wali (Nunut Wali). Upacara ini dilakukan sebelum diadakan Akad nikah
menurut agama Islam. Bait wali diartikan meminta wali nikah kepada pihak
perempuan dalam hal ini bsa saja dari bisa saja dari pihak ayahnya atau
keluarga dekat yang berhak mewakili menjadi walinya sesuai dengan kaedah
yang berlaku dalam Islam. Istilah lain dari Bait Wali adalah menjemput Wali.
Ini diartikan menjemput wali dari pihak perempuan bisa langsung setelah
selebar atau beberapa hari setelah selebar kondisi ini sangat tergantung pada
keadaan dan kesepakatan dua belah pihak (kapisuka). Sering juga yang
menjadi walinya adalah pihak ayah dari calon pengantin perempuan. Hal itu

12
sesuai dengan kemufakatan dari kedua belah pihak. Wali dari calon pengantin
perempuan akan mendatangi rumah pengantin laki-laki, untuk menikahkan
putra putrinya sendiri dengan beberapa orang anggota keluarganya, dengan
istilah “wali mujebir”, menurut hari atau malam tertentu, untuk mengadakan
upacara pernikahan (Lukman, 2008: 19-20).
4. Mengambil Janji. (bait) Janji, yaitu: dalam hal ini suatu proses adat untuk
membicarakan seputar sorong serah dan aji krama. Para utusan dalam bait
janji disebut dengan panji. Panji-panji yang telah terlibat sejak awal tidak
diperkenankan diganti. Bila ada pergantian panji maka akan dikenakan denda
adat sesuai aturan adat yang berlaku di desa tersebut. Di sini tentu ada
negosiasi mengenai berapa besar nilai uang yang akan diminta. Dengan
negosiasi itu sebenarnya untuk sama-sama mengerti akan keadaan sehingga
diperlukan kesepakatan agar tidak terjadi kemandegan. Dengan adanya
kesepakatan permintaan dalam hal ini menggunakan uang dapat terpenuhi
maka wali akan diberikan, jadi pemberian wali selalu diidentikan dengan
pemberian pembayaran sejumlah uang yang diminta. Jika semua permintaan
telah dipenuhi maka wali akan diberikan dilanjutkan dengan perundingan
untuk menentukan kapan hari baik dan bulan baik, supaya kerja yang akan
dilakukan berjalan dengan baik pula. Dalam perundingan ini ditentukan juga
besar kecilnya kerja yang akan berlangsung di mana dan seberapa banyak
tamu akan di undang. Permintaan dari pihak keluarga wanita disesuaikan
dengan keadaan. Maka pisuka atau biaya adat tidak terlalu membebani pihak
keluarga laki-laki. Oleh karena itu pisuka dibuat standarnya dari tingkat
paling sederhana, menengah sampai tingkat yang paling mewah atau mahal.
Pisuka dalam wujud material sering dinamakan “gantiran”. Pemberian
gantiran ini dalam praktiknya sangat disesuaikan dengan tingkat kemampuan.
Gantiran memiliki tingkatan yakni, tingkat Utama, Madya dan Nista.
Pemberian gantiran pada tingkat yang Utama meliputi: dua ekor sapi, 120
catu, 30 pikul kayu, 200 butir kelapa, 10 butol minyak dan rempah rempah
secukupnya. Pada tingkat madya gantiran meliputi: 1 ekor sapi, 60 catu beras
atau 150 Kg, 15 pikul kayu, 100 butir kelapa, 5 botol minyak dan rempah

13
rempah secukupnya. Gantiran pada tingkat nista meliputi: separo sapi, 30 catu
beras, 8 pikul kayu, 50 butir kelapa, 3 botol minyak, dan rempah-rempah
secukupnya, Suparman dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1999: 72-73). Namun di tengah perkembangan zaman yang semakin modern
maka gantiran tidak diwujudkan dalam bentuk seperti tersebut di atas, namun
sudah lebih praktis menggunakan alat tukar berupa uang. Begitu pula dalam
prosesi penyerahannya sudah banyak mengalami penyesuaian.
5. Upacara Ajikrama (sorong serah). Dalam proses ini merupakan upacara yang
paling inti dari semua proses perkawinan adat Sasak. Waktu penyelenggaran
bisanya siang hari sesudah zuhur sebelum ashar yang disebut Gelang Rarang
Kembang Waru (Budaya, 2006; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
1998). Aji krame adalah property-property yang dibawa oleh pihak laki-laki
kepada keluarga pengantin perempuan. Property ini sebenarnya sudah hasil
kesepakatan pada saat bait janji dan pada saat ini diperlihatkan dan
dipersembahkan kepada pihak keluarga perempuan. Semua yang dibawa dan
dipersembahkan tersebut merupakan suatu simbol bahwa seorang laki-laki
yang akan menikah sudah siap dalam memberikan tanggung jawabnya kelak
menjadi seorang suami mengayomi istrinya. Adapun bagian-bagian dari Aji
Krama meliputi: 1) Sesirah dan otak bebeli; 2) Tapak lemeh, berupa uang
simbol dari kesiapan hidup; 3) Olen-oleh, berupa kain simbol kesiapan
berumah tangga; 4) Salin dede, simbol pengasuhan dan perawatan; 5)
Penjaruman, simbol pengamanan dan satya kesatria; 6) pelengkak, yaitu
denda yang harus dibayaran bila mendahuli kakak tertua; 7) tadung pengaret;
8) Pembabas kuta; 9) Kor jiwa yaitu tebusan keluarga; 10) dedosan yaitu
berupa denda yang harus dibayarkan; 11) Pemegat, yaitu uang keputusan dan
persaksian. Keseluruhan bagian dari aji krame itu disebut dengan “arta
gegawan”. Sorong serah aji krame dapat sepadankan dengan sebuah sidang
pertemuan adat yang akan mediskusikan keseluruhan prosesi adat akan
berlangsung. Hal yang menonjol juga membicarakan mengenai sanksi atau
denda yang mungkin timbul akibat adanya pelanggaran di dalam rangkaian
prosesi adat sebelumnya. Dari sudut pandang adat sorong serah merupakan

14
pengabsahan suatu perkawinan, agar para pengantin memperoleh hak-haknya
secara adat (Sudirman,dkk. 2011:21). Dalam sorong serah aji krame banyak
sekali akan dibicarakan baik mengenai denda dan mengenai nilai yang harus
dibayarkan oleh pihak keluarga laki-laki. Di samping itu sorong serah ini
merupakan simbol untuk menegaskan kembali bahwa seseorang akan secara
sah mendapatkan status sosial dan meligitimasi atas hak waris yang mereka
terima. Bila terjadi dalam prosesi adat ini tidak dilalui maka ada
kemungkinan akan timbul permasalahan yang menyangkut status sosial
seseorang karena dianggap belum sah secara adat melangsungkan
perkawinan. Sanksi yang diterima secara adat bisa saja mereka akan
kehilangan semua status sosial seperti gelar-gelar yang disandangnya maupun
sanksi terhadap anak keturunannya tidak akan mendapatkan hak waris yang
berupa harta benda. Selain itu ada juga mitos-mitos yang berkembang bahwa
bila tidak mengadakan sorong serah akan menyebabkan ketidakharmonisan
dalam rumah tangganya, karena sorong serah juga merupakan prosesi inti
yang sakral. Adapun yang terlibat dalam prosesi sorong serah aji krama
adalah para tokoh adat yaitu pisolo, yaitu para utusan Pembayun yang
mempunyai tugas untuk menanyakan kesiapan dalam menerima pemayun
memasuki aji krame suci kepada keluarga perempuan. Struktur dan
komposisi yang diterapkan dalam barisan disesuaikan dengan status sosial
atau aji krama, yaitu: a) aji krame dengan jumlah 33 minimal terdiri dari 2
sampai 3 orang; b) aji krame dengan jumlah 66 terdiri dari 3 sampai 5 pisolo;
c) aji krame 300 terdiri dari 5 sampai tidak terbatas sesuai kesepakatan.
6. Nyongkol merupakan bagian dari ritual perkawinan. Pada masyarakat
Lombok tradisional (Sasak), tradisi nyongkol masih eksis dilaksanakan
hingga saat ini. Perayaan upacara perkawinan bagi suku Sasak dianggap
sangat penting untuk dilaksanakan sesuai dengan kaedah adat yang ada.
Dalam bagian akhir dari rangkaian prosesi perkawinan adat Sasak selalu
melaksanakan nyongkol. Nyongkol merupakan produk dari habitus
masyarakat tradisional yang mengungkapkan rasa bahagia. Hal ini juga
merupakan sebuah manifesto untuk memberitaukan kepada masyarakat

15
bahwa anggota masyarakat tersebut telah secara sah menjalin hubungan
sebagai suami istri. Pengumuman ini lebih popular dengan cara melaksanakan
karnaval nyongkol. Kegiatan nyongkol dilaksanakan setelah selesai
melaksanakan sorong serah aji krame. Pihak dari keluarga laki-laki akan
bersiap untuk melaksanakan nyongkol dengan peserta rombongan yang telah
ditentukan. Adapun susunan rombongan nyongkol dari terdiri dari komposisi
sebagai berikut. 1) barisan paling depan adalah pembawa karas. Karas yaitu:
sebuah kotak anyaman berbentuk segi empat, di dalamnya berisi sirih pinang,
di bawa oleh dua orang yang berpakaian lambung; 2) setelah barisan
pembawa karas selanjutnya barisan gadis-gadis remaja membawa geleng
pencer, daun sirih, aneka buah yang diwadahi dengan jenis barang mewah; 3)
selanjutnya barulah pengantin wanita di dampingi oleh rombongan gadis-
gadis yang masih kerabat dan sahabatnya. Pengantin berpakaian khas adat
Sasak. Pengantin wanita di payungi dengan payung agung sebagai tanda
kebesaran dan kehormatan; 4) setelah itu baru lah pengantin pria dengan
berpakaian adat Sasak. Pengantin pria juga di payungi dengan payung agung
dan diapit oleh para laki-laki yang mengawal pengantin pria. Pengatin pria
diikuti oleh rombongan sanak keluarganya. Berbeda dengan golongan
bangsawan pengantin pria dan wanita biasanya menggunakan atau diusung
dengan juli. Juli ialah tandu besar menyerupai brugaq sekepat, menggunakan
atap yang disebut puki, limas berpucuk satu. Di depan juli adalah barisan
pengampering marga membawa pedang yang sekaligus bertugas pembuka
jalan mengatur lalu lintas dalam perjalanan nyongkol; 5) barisan paling akhir
adalah rombongan kesenian tradisi seperti gendang beleq dan kesenian kreasi
baru berupa kecimol, esot-esot yaitu semacam marching band yang
merupakan gabungan dan kolaborasi musi tradisional dengan modern.
7. Bales Ones Nae. Kegiatan ini merupakan kegiatan paling akhir dan menjadi
penutup dari keseluruhan rangkaian kegiatan perkawinan adat Sasak. Dalam
acara bales Ones Nae hanya dihadiri oleh kerabat keluarga dekat dari kedua
belah pihak keluarga laki-laki dan keluarga kerabat perempuan. Dalam acara
ini tidak diselenggarakan secara seremonial yang formal namun lebih pada

16
suasana kekeluargaan di mana inti dari kegiatan ini adalah untuk
mendekatkan dua keluarga besar yang baru saja disatukan. Saling
bersilaturahmi saling mengenal dan saling memperkenalkan sanak famili dari
kedua belah pihak mulai dari kakek, ibu, sepupu, paman dan anggota
keluarga lainnya. Kehadiran para kerabat keluarga dekat bertujuan
mempererat tali silaturahmi dan ikatan batin yang diwadahi oleh ikatan
perkawinan yang telah diselenggarakan.
C. PENUTUP
Setiap komunitas budaya memiliki suatu tradisi yang unik dan
berkembang sebagai bagian dari kehidupannya. Begitu pula pada adat - istiadat
komunitas Sasak juga memiliki suatu tradisi perkawinan yang dapat dikatakan
sangat unik dan tentunya prosesi tersebut hanya berkembang dan masih eksis di
daerah Lombok. Ada beberapa pola bentuk perkawinan adat Sasak, yakni:
marariq, meminang, Nyerah Hukum, Tadong, dan Kawin Ngiwet. Bentuk
perkawinan tersebut, pada zamannya merupakan varian yang dapat dipergunakan
oleh masyarakat sebagai pranata yang dipilihnya. Namun dalam
perkembangannya, pola atau bentuk perkawinan merariq menjadi paling menonjol
dan populer di tengah masyarakat suku Sasak di Lombok. Merariq bagi suku
Sasak memiliki arti dan makna yang berbeda dalam penerjemahan bagi orang luar
(the other), memiliki makna jamak yang di interpretasi sesuai dengan politik
kebudayaan yang terjadi pada masa kerajaan maupun pada masa kekinian.
Merariq diterjemahkan sangat beragam dan didekonstruksi ke dalam wacana baru
yang sifatnya temporer atau kekinian. Prosesi perkawinan adat Sasak pun mulai
terjadi pemadatan. Dalam prosesi perkembangan waktu telah terjadi perubahan
pakem. Karena kepentingan efisiensi, maka pemadatan dilakukan untuk
mengurangi biaya yang ditimbulkan. Ini terjadi karena terjadinya perkembangan
dan pengaruh modernisasi pula yang berstandar pada pola yang lebih logis. Tidak
sebatas itu runutan pada prosesi pernikahan adat Sasak dalam berbagai kasus
banyak yang sudah berubah pakem. Sehingga keutuhan dari prosesi itu
sebenarnya sangat sulit terhindarkan. Begitu pula tampak pada bagian dari prosesi

17
terlihat banyak telah terjadi pergeseran dan modifikasi di dalam praktik-praktik
pelaksanaannya di masyarakat. Bagian akhir dari tradisi perkawinan yang paling
populer ini adalah nyongkol yaitu sebuah karnaval iring-iringan pengantin yang
dibentuk dengan komposisi baris sesuai dengan peraturan adat namun belakangan
ini ternyata tradisi nyongkol mengalami perubahan dalam pakem-pakem yang ada
sebelumnya. Telah terjadi kolaborasi dari mulai teknis dan sampai dengan
property yang digunakan untuk nyongkol, mengalami modifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2013. Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional
Sebuah Teori. Jejak Nusantara, dalam Jurnal Sejarah dan Nilai Budya:
Ketahan Budaya Dalam Memperkokoh Karakter Bangsa. Edisi Perdana
Tahun 2013.
Capra, Fritjof. 2005. The Hidden Connections: Strategi Sistemeik Melawan
Kapitalisme Baru. Pengantar: Husain Heriyanto. Yogyakarta: Penerbit
Jalasutra.
Haviland, William A. 1988. Antropologi Edisi Keempat Jilid 2. Alih Bahasa: R.G.
Soekadijo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Piliang, Yasraf Amir. 2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya Mlampaui Batas-batas
Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Pudja, Gde. 1975. Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Manusmerti), Mayasari
Jakarta.
Suca Sumadi, I Wayan dkk. Tradisi Nyongkol dan Eksistensinya di Pulau
Lombok. Pengantar: Dr. Drs. I Ginting Suka, M.S. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998. Perubahan Nilai Upacara
Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di Daerah Nusa Tenggara
Barat. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Nusa Tenggara Barat
(P2NB NTB) tahun 1998/1999.
Suriani, Erma. “Merariq Dalam Bingkai Kearifan Masyarakat Sasak Lombok” .
Dalam Atun Wardatun. 2010. Jejak Jender Pada Budya Mbojo, Samawa

18
dan Sasak di Nusa Tenggara Barat (hal. 54-74). Mataram. Penerbit: Pusat
Studi Wanita IAIN Mataram.
Lukman, Lalu. 2008. Tata Budaya Adat Sasak di Lombok. (Ed). L. Agus Hidayat
Lukman.
Budaya: Perspektif Patut Patuh Pacu. 2006. Upacara Daur Hidup Suku Sasak
Masa Lalu dan Masa Kini (5). Majalah Budaya Edisi 11-20 September.
Daliem, M Mimbarman. 1981. Lombok Selatan Dalam Pelukan Adat Istiadat
Sasak. Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan
Umum dan Profesi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1981/2982.