Bedah Artikel JEKI - mkekidi.idmkekidi.id/wp-content/uploads/2019/04/BIJAK1/04.2... · pertolongan...

16
Bedah Artikel JEKI: Prijo Sidipratomo

Transcript of Bedah Artikel JEKI - mkekidi.idmkekidi.id/wp-content/uploads/2019/04/BIJAK1/04.2... · pertolongan...

Bedah Artikel JEKI:

Prijo Sidipratomo

KODEKI mengatur Pertolongan darurat (1)

• KODEKI pasal 17: “Setiap dokter wajib melakukan pertolongandarurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bilaia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.”

• pasal 17 butir 6 : “Setiap dokter yang melakukan pertolongandarurat maka kewajiban etis ini mengalahkan pertimbangan-pertimbangan etika lainnya. Dalam menjalankan kewajiban etisini, dokter tersebut harus dilindungi dan dibela oleh temansejawat, mitra bestari dan/atau organisasi profesi, pemerintahdan/atau masyarakat.”

KODEKI mengatur Pertolongan darurat (2)

• penjelasan pasal 17: “Pertolongan darurat yang dimaksud pada pasaldi atas adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segeradilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaanyang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib memberikanpertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan ketikakeadaan memungkinkan. Walau tidak saat bertugas, seorang dokterwajib memberikan pertolongan darurat kepada siapa pun yang sakitmendadak, kecelakaan atau keadaan bencana. Rasa yakin dokter akanada orang lain yang bersedia dan lebih mampu melakukanpertolongan darurat seyogyanya dilakukan secara cermat sesuaidengan keutamaan profesi, yakni untuk menjunjung sikap dan rasa ingin berkorban profesi untuk kepentingan pertolongan darurattermaksud.”

• Pasal 17 butir 3: “Kewajiban pada pasal di atas inimengamanahkan kepada dokter untuk selalu bersedia melakukanpertolongan darurat kapanpun dan di manapun. Baik di dalam masa dinas ataupun tidak.”

“Yakin”, “Bersedia”, dan “Mampu”

“Yakin”

• “…Rasa yakin dokter akanada orang lain yang bersedia dan lebih mampumelakukan pertolongandarurat seyogyanyadilakukan secara cermatsesuai dengan keutamaanprofesi...”

(penjelasan pasal 17 Kodeki)

“Bersedia” dan “Mampu"• “bersedia” → keyakinan pribadi dokter

jaga untuk bersedia mengambiltanggungjawab moral pada pertolongankegawat daruratan dg menggantikankehadiran/menerima delegasi dari dokterSp untuk menjalankan instruksi medis yang diamanahkan kepadanya.

• “mampu” → penilaian sejauh mana kewenangan klinis yang dibangun atasdasar kompetensi profesional, diberikankepada dokter jaga yang dinas di UGD danrawat inap RS.

UU dan Peraturan ttg Kegawatdaruratan

• UU Praktik Kedokteran No 29/2004:• Pasal 51 a: dokter harus “memberikan pelayanan medis sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional…” → kewenanganklinis dokter jaga perlu diatur tertulis dalam PPK/CP RS.

• Pasal 51 d:

• Perkonsil No 4/2011 tentang Disiplin Profesional Dokter danDokter Gigi pasal 3 ayat 2c: “mendelegasikan suatu pekerjaankepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memilikikompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut adalahpelanggaran displin profesional dokter”.

Skenario RS

• SDM Dr Sp berlimpah atau RS pendidikan → tentu lebih baik adajaga malam bergantian di tempat Dr Sp tersebut dan atau adaPPDS tahap mandiri.

• SDM Dr Sp terbatas→ jaga on call (tidak standby).

3 Kategori Instruksi Medis dari Dr Spkepada Dr jaga IGD

• Kategori 1: instruksi medis itu dapat dikerjakan sepenuhnya olehdokter jaga dan timnya dalam batasan upaya penanganankegawatdaruratan.

• Kategori 2: instruksi medis itu dapat dikerjakan penuh olehdokter jaga dan timnya dalam supervisi.

• Kategori 3: instruksi medis yang kewenangan klinisnya ada padaspesialisasi dan tak dapat didelegasikan kepada dokter jaga, ataujika didelegasikan, dalam konteks penanganan kegawatdaruratan, akan menurunkan kualitas layanan kegawatdaruratan secarasignifikan.

Saran: kategori 2 sesedikit mungkin; kategori 2 perlu diperjelasjuknis supervisi yang dianggap adekuat.

Langkah Minimalisasi Kategori 2

• Dilakukan pelatihan keterampilan oleh PDSp dan atau internal RS kepada Dr jaga→ Dr jaga pasca pelatihan dapat diberikewenangan klinis yang khusus dapat diterapkan khusus saatdinas jaga. Saat hari dan jam kerja, kewenangan klinis diberikankembali ke DSp yang paling kompeten.

• Diutamakan tindakan medis yang sensitif terhadap waktu respon.

• Keadilan insentif tindakan medis oleh Dr jaga diberikan ke Drjaga.

Instruksi Medis Kategori 3

• Tidak bisa tidak, DSp yang terjadwal jaga harus ke RS saatditelepon kecuali SMF spesialisasi yang relevan dapatmengompensasi keberhalangan dokter spesialis yang terjadwaljaga tersebut.

KESIMPULAN (1)

• Secara umum, dokter spesialis yang dikonsulkan per telepondokter jaga UGD dan ruangan perihal kegawatdaruratan, saatmenjawab konsultasi tersebut telah melakukan perbuatan yang bernilai baik. Selanjutnya jawaban konsultasi per telepontersebut akan diterjemahkan menjadi instruksi medis.

• Benarkah dokter spesialis yang tugas jaga pasti melakukanpelanggaran etik jika sekedar menjawab konsul per telepon untukpertolongan kegawatdaruratan? Jawaban terhadap pertanyaanini tidak dapat hitam putih, dan perlu menganalisis situasionalserta kategorisasi tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang dimaksud.

KESIMPULAN (2)

• Pada situasi dimana RS memiliki keterbatasan jumlah dokterspesialis dan tidak memungkinkan membuat kebijakan dokterspesialis berdinas jaga standby penuh di luar hari dan jam kerja, maka menjawab konsul per telepon saja tanpa memeriksalangsung pasien saat dikonsulkan tersebut diperbolehkansepanjang instruksi medis yang diputuskan secara profesionalmemenuhi kriteria “yakin dapat didelegasikan” dari sisi dokterspesialis yang dikonsulkan, serta “bersedia” dan “mampu” darisisi dokter jaga yang dilimpahkan pendelegasian tersebut.

• Analisis dari sisi “mampu” pada dokter jaga, perlu mengikutikaidah tiga kategorisasi instruksi medis. Implikasi daritanggungjawab etik mengikuti kategorisasi ini.

KESIMPULAN (3)

• Jika kategori instruksi medis tersebut dimiliki kewenangan klinisnya oleh dokter jagasecara penuh, maka dokter spesialis boleh hanya memberikan pendapat saja tanpalangsung memeriksa pasien selama situasi kegawatdaruratan pasien secara medistidak memerlukan perubahan instruksi medis. Pada situasi pendelegasian seperti initidak tepat juga dinyatakan sebagai tindakan sub standar (tidak sesuai standarpelayanan medik), karena standar mengacu pada distribusi kompetensi dankewenangan klinis. Selama sesuai standar kewenangan klinis, maka tindakanpertolongan kegawatdaruratan yang dilakukan dokter jaga yang memilikikewenangan klinis atas hal tersebut bukanlah tindakan sub standar. Dan untukmemenuhi asas keadilan, menjadi kebijakan yang adil adalah biaya jasa medik atastindakan kategori pertama ini oleh RS diberikan sepenuhnya kepada dokter jaga.

• Dokter spesialis yang dikonsul tetap memiliki panggilan etik kemanusiaan untukmemastikan seluruh instruksi medis tersebut dilaksanakan dengan baik. RS dapatmengapresiasi jawaban konsul dari dokter spesialis tersebut dengan jasa medikkhusus sebatas untuk menjawab konsul, yang tentu berbeda dengan visite pasienmaupun jasa tindakan.

KESIMPULAN (4)

• Jika kategori instruksi medis dapat dimiliki kewenangan klinisnyaoleh dokter jaga dalam supervisi dokter spesialis, maka SMF spesialisasi di RS tersebut harus membuat mekanisme supervisiyang layak, bertanggungjawab, dan memadai. Disarankan dandihimbau untuk meminimalisasi instruksi medis yang masuk padakategori kedua ini dengan cara memindahkan sebanyak-banyaknya ke kategori pertama melalui memberikan perluasankewenangan klinis pada dokter jaga, atau memperjelas masuk kekategori ketiga.

KESIMPULAN (5)

• Jika kategori instruksi medis hanya dimiliki kewenangan klinisnyaoleh dokter spesialis yang dikonsulkan, maka dokter spesialis ataupenggantinya sesuai kesepakatan di RS/SMF, memang harusdatang memenuhi panggilan kegawatdaruratan, memeriksa, danmelakukan tindakan medis kegawatdaruratan tersebut.