Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

4
BEBERAPA PENGARUH ISLAM TERHADAP BUDAYA JAWA Oleh : Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo ( diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 ) . Abstract The first part deals with several elements of abangan Javanese society as observed by the author in his Childhood, e.g. fore-father’s generation, religious feast meals, the belief in "spirits" and "ghost", traditional observation of fasting. During Ramadhan fasting is quite tangible that only prayers are comitted. The second part containts the description of pesantren the structure the network of life the tarekat. Links between guru and murid are quite ghost. The third part contains the belief in the coming of the last judgment where by social turbalence are forebodings of that coming. The belief in kiamat and the creation of the world and humanity brought about the linear image of frame, reflacing-the Hindu image of circular time. In Javanese historiography the geneology of the ruling dinasty goes back to the prophets, c.o. Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, etc, functioning the strangtening their legitimacy of their power. I Kenang-kenangan masa kanak-kanak sebagai anak yang dilahirkan di Wonogiri (Surakarta), dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan. Seperti halnya seluruh pantai selatan pulau Jawa, karena pulau Jawa menghadap ke utara, tepatlah disebut sebagai daerah belakang (Backland). Karena Islamisasi datang dari utara, daerah selatan disebut sangat terbelakang. Dalam abad 19 masih merupakan asal mula gerakan Ratu Adil, Dukun Tiban, Punden, dan lain sebagainya. Di Wonogiri baru pada tahun 1913 didirikan mesjid, meskipun sebuah kampung yang bernama Kajen telah lama ada dan seorang Mudin telah tinggal disitu secara turun–temurun. Tidak jauh dari kota terdapat Punden, namanya Gunung Giri. Dinamakan demikian, konon pada suatu waktu dalam perjalanannya Sunan Giri singgah di situ untuk bersholat. Di tempat itu terdapat makam para leluhur penghuni kota Wonogiri di masa lampau. Kini pada waktu tertentu menjadi pusat nyadran, meskipun bagi anak kecil nyadran merupakan perjalanan cukup jauh, namun bagi penulis yang pernah ikut serta merupakan pengalaman yang mengesankan. Orang banyak berkumpul, berdoa bersama, menyebarkan bunga, membakar kemenyan, melaksanakan kenduri dengan " Ingkung Ayam " dan pelbagai sayuran (urap). Nyadran menurut siklus penanggalan Jawa ialah jatuh pada bulan Ruwah, dengan mengunjungi makam leluhur, membersihkan dan menabur bunga. Bulan Ruwah diikuti oleh bulan puasa. Para keluarga dewasa menjalankan puasa selama bulan itu. Anak-anak sekolah

description

soal pengaruh islam dalam budaya jawa

Transcript of Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

Page 1: Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

BEBERAPA PENGARUH ISLAM TERHADAP BUDAYA JAWA Oleh : Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo

( diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap

Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 )

. Abstract The first part deals with several elements of abangan Javanese society as observed by the

author in his Childhood, e.g. fore-father’s generation, religious feast meals, the belief in

"spirits" and "ghost", traditional observation of fasting.

During Ramadhan fasting is quite tangible that only prayers are comitted. The second part

containts the description of pesantren the structure the network of life the tarekat. Links

between guru and murid are quite ghost.

The third part contains the belief in the coming of the last judgment where by social

turbalence are forebodings of that coming. The belief in kiamat and the creation of the world

and humanity brought about the linear image of frame, reflacing-the Hindu image of circular

time. In Javanese historiography the geneology of the ruling dinasty goes back to the

prophets, c.o. Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, etc, functioning the strangtening their legitimacy of

their power.

I Kenang-kenangan masa kanak-kanak sebagai anak yang dilahirkan di Wonogiri (Surakarta),

dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan. Seperti halnya seluruh pantai selatan pulau

Jawa, karena pulau Jawa menghadap ke utara, tepatlah disebut sebagai daerah belakang

(Backland). Karena Islamisasi datang dari utara, daerah selatan disebut sangat terbelakang.

Dalam abad 19 masih merupakan asal mula gerakan Ratu Adil, Dukun Tiban, Punden, dan

lain sebagainya.

Di Wonogiri baru pada tahun 1913 didirikan mesjid, meskipun sebuah kampung yang

bernama Kajen telah lama ada dan seorang Mudin telah tinggal disitu secara turun–temurun.

Tidak jauh dari kota terdapat Punden, namanya Gunung Giri. Dinamakan demikian, konon

pada suatu waktu dalam perjalanannya Sunan Giri singgah di situ untuk bersholat. Di tempat

itu terdapat makam para leluhur penghuni kota Wonogiri di masa lampau.

Kini pada waktu tertentu menjadi pusat nyadran, meskipun bagi anak kecil nyadran

merupakan perjalanan cukup jauh, namun bagi penulis yang pernah ikut serta merupakan

pengalaman yang mengesankan. Orang banyak berkumpul, berdoa bersama, menyebarkan

bunga, membakar kemenyan, melaksanakan kenduri dengan " Ingkung Ayam " dan pelbagai

sayuran (urap).

Nyadran menurut siklus penanggalan Jawa ialah jatuh pada bulan Ruwah, dengan

mengunjungi makam leluhur, membersihkan dan menabur bunga. Bulan Ruwah diikuti oleh

bulan puasa. Para keluarga dewasa menjalankan puasa selama bulan itu. Anak-anak sekolah

Page 2: Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

dapat libur panjang. Pada sepuluh hari terakhir dalam bulan puasa itu ada malam selikuran,

telu likuran, dan sebagainya.

Sampai malam bakda (lebaran) di muka rumah ditaruh ting (lampu kecil) yang berbentuk

rupa-rupa, seperti ikan, kapal, dan lain sebagainya. Banyak kegaduhan terjadi karena bunyi

petasan yang disulut, dan pada malam itu diadakan selamatan. Pada salah satu maleman

dipasang meja di muka Krobongan dan di taruh sesajen bagi para leluhur, antara lain

macam-macam masakan, juadah, wajik, jenang dan lain sebagainya. Baru maleman terakhir

makanan itu dapat diambil (dilorod) untuk dimakan oleh keluarga. Pada hari raya lebaran

generasi muda berkunjung ke tempat kediaman sesepuh, antara lain untuk ngabekti dan

mohon maaf.

Pelbagai upacara berkaitan dengan peringatan orang meninggal ialah: tiga hari, tujuh hari,

empat puluh hari, seratus hari, mendak (satu tahun), dua tahun dan seribu hari, diadakan

tahlilan. Perlu ditambahkan di sini peristiwa penting dalam siklus hidup ialah bagi anak laki-

laki khitanan pada waktu umur antara 10-15 tahun dan pada anak perempuan tetesan atau

sunatan pada umur 1-10 tahun. Pada kesempatan itu, khususnya bagi anak laki-laki,

diadakan pertunjukan wayang kulit.

Pada pelbagai peristiwa seperti tahun pertama, khitanan, perkawinan dipentaskan wayang

kulit dengan mengambil lakon dari Mahabarata, Bhratayuda dan lain sebagainya. Ada

kalanya dipentaskan wayang menak dengan cerita dari Serat Menak. Ada pula pertunjukan

srandul atau ketoprak dengan mengambil cerita Timur Tengah. Mengungkapkan kebudayaan

Jawa yang lebih bercorak abangan, sudah barang tentu tidak menyinggung hal-hal yang

menjadi ciri khas ke-Islaman, antara lain tidak ada padasan, rukuh, kentrungan, slawatan,

tahlilan, pengajian dan lain sebagainya. Sebaliknya di dalam kepercayaan abangan masih

banyak mahkluk halus diutarakan seperti: danyang, demit, gandaruwa, wedon wewe, sing

bahureksa dan lain-lain. Biasanya tempat tinggal makhluk itu ada di pohon beringin besar,

tempat-tempat angker, pada malam anggara kasih (Selasa-Jum’at kliwon) lazimnya dikutuki

di depan krobongan.

Pada waktu tertentu pusaka atau benda keramat juga dikutuki seperti keris, tombak dan lain-

lain. Pada keluarga besar kami ada tombak bernama Kyai Bruang konon hadiah dari Kanjeng

Samber Nyawa yang diseberangkan dari Bengawan Solo waktu dikejar oleh Kompeni

Belanda

II Dalam bagian kedua ini akan dilakukan pembahasan dari deskripsi yang dibuat seorang

pensiunan Wedana kepada S. Hurgronje (lihat Verspreide Geschriften Brieven van een

Wedono Pension).

Berbeda dengan bagian pertama yang terutama mendiskripsikan kebudayaan Jawa terutama

aspek abangannya, dalam surat tersebut mengutamakan gaya hidup santri. Meskipun

demikian, pada awal karangannya dibicarakan upacara tingkeban, yaitu upacara seputar

seorang wanita yang mengandung pertama kali pada bulan ke tujuh.

Page 3: Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

Pada umumnya upacara itu bercorak abangan, kecuali apabila diadakan kenduri yang

dipimpin oleh seorang Modin. Salah satu fokus perhatian ialah uraian seputar pesantren,

sebuah lembaga pendidikan tersebar di daerah pedesaan. Para santri ditempatkan di

pondok, sebuah rumah bambu panjang, terbagi atas banyak kamar di mana para santri

belajar dan setiap lima orang mengelompok bersama-sama menyiapkan makanannya.

Pelajaran dan bersembahyang dilakukan di langgar atau masjid. Jadwal sehari-hari mulai

bangun sebelum shalat subuh sampai habis shalat Magrib setiap kelompok bertanggung

jawab atas ketertiban dan kebersihan pondok.

Kecuali prinsip kolektivitas juga sangat mencolok prinsip berdikari. Dari menolong panen di

sekitar pesantren atau di lingkungan desa asalnya, adakalanya hasil kerja di kebun kopi di

seputar pesantrennya, yang digambarkan oleh Wedono, rupanya di daerah pedesaan

menurut yang diamatinya pada masa kira-kira satu abad yang lalu. Apa yang akhir-akhir ini

dikunjungi pengarang tulisan ini, yaitu di pesantren di desa Drajat (dekat Sedayu, Kabupaten

Lamongan) keadaan sudah lain sekali. Pondoknya berupa gedung bertingkat, kebersihan

lantai bagus sekali. Kompleksnya terdiri atas banyak gedung-gedung bertingkat. Pelajaran

bagi para santri terdiri atas dua bagian ialah: 1. Fiqih dan 2. Usul. Yang pertama, mencakup

hal-hal yang dihalalkan bagi kaum muslim dan hal-hal yang haram. Usul mencakup hal-hal

yang menjadi kepercayaan kaum muslim, antara lain penciptaan bumi dan manusia,

datangnya Dajal, Imam Mahdi dan kiamat. Adapun tentang kepercayaan kepada kiamat akan

diuraikan lebih lanjut kemudian dalam bagian ketiga.

Erat kaitannya antara lembaga pesantren adalah tarekat. Banyak di antara guru ngaji

pesantren adalah juga guru tarekat. Lagi pula di antara santri atau muridnya ada juga murid

tarekat. Setelah menghayati upacara antara guru dan murid antara lain dikenal sebagai

bengat (sumpah) murid terhadap guru santri diresmikan masuk tarekat. Ada beberapa yang

cukup populer di Jawa, antara lain tarekat Satariyah dengan silsilah kembali kepada

Abdurrauf dari Singkel; sangat tersebar di Jawa Tengah (Banyumas – Bagelen) Qadariyah–

Naksabandiyah di Banten, Cianjur, Sukabumi, Wonokromo, Kediri Selatan, Wujudiah

(Pekalongan–Wonosobo).

Dengan menggunakan komunikasi tarekat-tarekat terbentuklah jaringan (network) lembaga

pesantren dengan berpusat pada tempat kedudukan para Wali, antara lain di Cirebon,

Demak, Kudus, Tuban, Sedayu, Gresik, Ngampel, Panarukan. Proses Islamisasi berekspansi

ke selatan. Pada jaman Kertasura jaringan tarekat sangat berpengaruh lewat Permaisuri

Amangkurat IV atau Ibu Suri Paku Buwono II yang konon masih tergolong trah Kudus. Pada

akhir abad ke-18 pengaruh tarekat di kraton Surakarta sangat kuat.

III Pada masa manusia archaic di Jawa, gambaran waktu masih di bawah pengaruh kosmogoni

Hindu, masih bersifat siklis dikenal sebagai Maha Yuga.

Ada empat jaman ( periode ) Dwapara Yuga berlangsung 4000 tahun, Tetra Yuga selama

3000 tahun, Kali Yuga selama 2000 tahun dan akhirnya Kreta Yuga selama 1000 tahun.

Page 4: Beberapa Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa

Setiap jaman mengalami dekadensi yang semakin berat, dan pada Kali Yuga ada

demoralisasi yang sangat dahsyat mirip dengan gejala-gejala pada kiamat, antara lain semua

aturan rusak, kejahatan merajalela, kebiadaban menjadi-jadi dan berakhir pada anarki. Pada

titik akhir Kali Yuga terbitlah periode primordial, yaitu Kreta Yuga. Pada titik ini ada

momentum penting ialah bertemulah akhir dan awal siklus, dan dengan demikian siklus itu

tertutup.

Karena pengaruh ajaran Islam sejarah umat manusia berawal dengan penciptaan manusia

akan berakhir pada hari kiamat. Antara awal dunia dan kiamat ada garis lurus (linear), yaitu

jalur yang dilalui sejarah manusia bergerak. Dengan adanya kepercayaan pada kiamat

sebagai akhir dunia dan penciptaan manusia pada awalnya, maka tidak lagidi kenal waktu

yang berjalan siklis. Dengan adanya awal bumi yang einmalig dan kiamat sebagai apocalyps,

maka waktu digambarkan sebagai linear yang bergerak dari titik awal sampai titik akhir.

Pada pertengahan abad ke-19 di Jawa orang mengalami perubahan yang luar biasa

sehingga timbul pikiran zaman akan berakhir. Hal ini apabila pulau Jawa sudah berkalung

besi (Jawa sudah dibangun jalan kereta api ), anak sudah mengenal nilai uang (monetisasi)

dan anak juga sudah tidak mematuhi perintah orang tua. Perlu ditambahkan di sini, bahwa

menurut Babad Tanah Jawi sejarah umat manusia berkerangka genealogi. Para Raja Jawa

yang kembali pada para Nabi ialah : Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, dan seterusnya, melalui

tokoh Timur Tengah ialah Iskandar Zulkarnain, tokoh-tokoh Wayang Purwa Raja, raja mitis di

Jawa akhirnya bersambung sampai raja-raja Mataram. Dengan demikian, legitimasi raja-raja

Mataram diperkuat.

Referensi Hoezoo, "Hchiring Jaman," dalam M.N.Z.G., 1860.

Panitia Seminar Sunan Drajat, Sejarah Sunan Drajat. Surabaya, 1998.

Sartono Kartodirdjo, Segi-Segi Messianistis dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta, 1959.

Snouck Huurgronje, Kumpulan Karangan VII. Surat-Surat Wedono Pensum. Yogyakarta,

1993.