Bbd Miii

16
I. Anatomi Kepala, Leher, Maxillofacial

description

iii

Transcript of Bbd Miii

Page 1: Bbd Miii

I. Anatomi Kepala, Leher, Maxillofacial

Page 2: Bbd Miii

II. Patofisiologi shock akibat trauma

III. Menjelaskan dan menilai GCS

Penilaian GCS

Jenis Pemeriksaan NilaiRespon buka mata (Eye Opening, E)·      Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)·      Respon terhadap suara (suruh buka mata)·      Respon terhadap nyeri (dicubit)·      Tida ada respon (meski dicubit)

4321

Respon verbal (V)·         Berorientasi baik·         Berbicara mengacau (bingung)·         Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”)·         Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)·         Tidak ada suara

543

21

Respon motorik terbaik (M)·      Ikut perintah·      Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang

65

Page 3: Bbd Miii

nyeri)·      Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)·      Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)·      Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)·      Tidak ada (flasid)

43

2

1

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)GCS : 9-13   = CKS  (cedera kepala sedang)GCS : 3-8     = CKB (cedera kepala berat)

IV. Menjelaskan komplikasi yang timbul

Komplikasi Cedera Kepala adalah

Keretakan Tengkorak  Hematom Intrakranial  Kerusakan saluran syaraf  (cedera axonal)  Koagulopati Pembengkakan otak terus menerus

o Herniasi otak, kompresi batang otako Infarksi otak

Tanda kerusakan otak: koma, kelumpuhan anggota tubuh, Kelumpuhan pernafasan, kebutaan, kelupaan Perubahan kepribadian dll  Hidrosephalus  Koma berkepanjangan  Kematian  Infeksi 

o Pneumonia o Infeksi Saluran Kencing o Sepsis

Trombosis vena dalam, paru-paru Embolism  Luka baring  Kontraktur 

Komplikasi sistematiko Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kraniio Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres

Page 4: Bbd Miii

o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

V. Diagnosis dan pengelolaan epitaksis

DIAGNOSIS

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus

segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil

hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian

posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan

pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan

rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus

paranasal, kalau perlu CT-scan.

PENATALAKSANAAN

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan

epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan

dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.

Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan

lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk

menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan

selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan

apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior. Pada penanganan

epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan.

Pemeriksaan hematokrit,

hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok,

kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus

dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT),

sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi

kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah

merah (packed red cell) disamping penggantian cairan

Page 5: Bbd Miii

VI. Basic Life Support

Bantuan hidup dasar (basic Life Support ) terdiri dari managemen : A (Airway), B (Breathing), C (Circulation) Airway.

Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.

Breathing

Terapi Suportif

- Jalan napas dan ventilasi

Terapi suportif merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan berdasar prioritas kegawatannya. Yaitu airway-breathing-circulatian dengan tujuan untuk mengatasi hipoksemia dan hiperkarbia. Pada keadaan terjadi hipoventalasi dengan PaCO2 > 50 mmHg atau henti napas maka perlu diberikan bantuan ventilasi. Bantuan dapat diberikan mouth to mouth, mouth to nose atau dengan bantuan alat mouth to faskmask, bag-valve-mask. Di rumah sakit pada umumnya menggunakan mask dan ambu bag. Dasar pemberian ventilasi bantuan adlah dengan tekanan positif berkala. Hal ini dituntut ketranp[ilan penolong karena bila tidak benar dapat terjadi resiko distensi lambung dan apirasi lambung.. Pmebrian napas kita niali cukup baik dengan melihat pengembangan dada yang adekuat, monitoring dengan ETCO2 dengan 25-35 mmHg dan analisa gas darah Pa CO2 35-45 mmHg.

- Oksigenasi

Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utamadengan tujuan menghioangkan hipoksemiayang terjadi. Fase awal sebaiknya dilakukan dengan oksigen murni 100 %. Dengan alat bag valve mask dengan aliran 12-15 lietr kadar O2 hawa inspirasi mendekati 100 %. Untuk menilai pemberian oksigenasi dapat dilakukan dengan melihat saturasi Sa O2 lebih besar 95 % dan Pa O2 lebih besar 80 mmHg. Terapi causal

Sambil dilakukan resusitasi diupayakan mencari penyebab gawat napasnya.

Circulation

Problem sirkulasi meliputi keadaann disaritmia kordis, krisis hipertensi, syok dan henti jantung. Disaritmia kordis merupakan perubahan abnormal dari denyut jantung, baik berupa gangguan dnyut, keteraturan, sumber asal, cara penjalaran. Krisis hipertensi merupakan kedaruratan kardiovasculer, akibat peninggian tekanan darah secara tiba-tiba dan cepat

Page 6: Bbd Miii

menggangu fungsi tanda vital. Syok adalah kegagalan organ kadiovaculer menyediakan perfusi untuk metabolisme sel.

Penderita dengan henti jantung

Penting pertama kali harus tahu keadaan dan tanda-tanda dari seorang yang henti jantunga, seorang penolongf harus mengenal tanda-tanda henti jantung ini. Tanda-tandanaya meliputi :

1. Pasien tidak sadar, dengan detak jantung (-)

2. Tidak teraba denyut nadi besar, seperti arteri karotis, arteri femoralis

3. Pasien henti napas atau gasping

4. Pupil melebar

5. Death like appearance

6. Gambaran EKG dapat berupa : fibrilasi ventrikel, asistol, disosiasi.

Penanganan yang harus dilakukan adalah resusitai dengan segera, tindakannya meliputi ;

1. Bebaskan dan bersihkan jalan napas.

2. Bantuan napas ( breathing support ).

3. Bantuan sirkulasi ( circulationsuuport)

a. Lakukan ventilasi cepat dengan bantuan napas buatan 2 kali, kemudian lakukan pijat jantung luar.

b. RJP 1 orang operator :

- Lakukan ventilasi cepat dengan mempertahankan ekstensi kepal, jika pelu ganjal leher dengan bantal, atau suatu benda.perhatikan kemungkinan fraktur leher.kemudian raba denyut karotis, jika tidak ada segera lakukan PJL.

- Kompresikan dada dengan titik di atas proc xhypoideus 2 jari (sternum bagian bawah) dengan pangkal tangan pd sternum. Lakukan penekanan dengan berta badan dan posisi tangan lurus .

- Lakukan 15 kali kompresi sternum dengan kecepatan 80 x / menit

- Diselingi dengan 2 kali ventilasi paru

c. RJP dengan 2 operator.

- Lakukan ventilasi epat 2 kali sebelum pijat jantung luar, kemudian raba denyut karotis, jika tidak ada denyut segera lakukan PJL.

- Satu orang operator bertindak sebagai kopresi jantung dengan kecepatan 60 x/ menit

Page 7: Bbd Miii

- Diselingi 1 kali ventilasi oleh operator yang satu, setiap 5 kali kompresi sternum.tanpa menunggu kompresi lanjutan.

- selama resusitasi o[erator ventilasi haus senantiasa memeriksa denyut karotis apakah spontan, atau belum.

- Jika denyut teraba dan paien maih henti napas, teruskan ventilasi paru sampai pendeita bernapas spontan.

Penghentian RJP dilakukan jika :

a. Penderita telah bernapas dan denut spuontan

b. Gagal

c. Penolong telah kelelahan

d. Datang peralatan atau orang yang lebih ahli

VII. Menjelaskan jenis fraktur multiple di area kepala, leher, maxillofacial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur kompleks

nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur

mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.

1. Fraktur Komplek Nasal

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang – kadang tulang

rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus

serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.

2. Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta

tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang

zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut

“fraktur kompleks zigomatik”.

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya,

yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura

zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau

pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat

mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

3. Fraktur Dentoalveolar

Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi),

dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan

Page 8: Bbd Miii

mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk

fraktur lainnya. Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya

injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan

atau tanpa terbukanya saluran pulpa.

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi insisor,sehingga

menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi

luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini menghantam satu gigi atau lebih,

sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut

tertanam di dalam bibir atas.

4. Fraktur Maksila

Fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort

III.

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan

fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam

jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di

atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.

Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari

bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini

sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur

hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,

fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan

nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I,

bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat

pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,

seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah

benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini

biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena

trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan

tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

5. Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi

dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan

Page 9: Bbd Miii

olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Pasien dengan

fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya

termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen

mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si

pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa bervariasi

dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis

dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

VIII. Pemeriksaan dan tatalaksana

Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:1. Simple head injury (SHI)Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.2. Kesadaran terganggu sesaatPasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasib. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitasc. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh laind. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakraniale. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:o Jalan nafas (Air way)

Page 10: Bbd Miii

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahano Pernafasan (Breathing)Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.o Sirkulasi (Circulation)Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darahb. Pemeriksaan fisikSetelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.c. Pemeriksaan radiologiDibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakraniald. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:1. HiperventilasiSetelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom2. DrainaseTindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus3. Terapi diuretiko Diuretik osmotik (manitol 20%)Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya :

Page 11: Bbd Miii

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSmo Loop diuretik (Furosemid)Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.Cara pemberiannya:Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.5. StreroidBerguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala6. Posisi TidurPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.e. Keseimbangan cairan elektrolitPada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.f. NutrisiPada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari