Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan...
Transcript of Baumrind, D. (1973). - Universitas Pendidikan...
163
TRANSFORMASI NILAI BUDAYA MELALUI PEMBINAAN SENI ANGKLUNG
STUDI KASUS DI SAUNG ANGKLUNG UDJO
(DRA. RITA MILYARTINI, M.Si./UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA)
A. PENDAHULUAN
Artikel ini merupakan bagian dari disertasi penulis terkait “Model Transformasi
Nilai Budaya Melalui Pembinaan Seni Di Saung Angklung Udjo, untuk
Mengembangkan Ketahanan Budaya”. Riset ini dilatar belakangi oleh munculnya
xenocentrisme yakni lebih besarnya apresiasi masyarakat terhadap seni budaya bangsa
lain, dibandingkan seni budaya bangsa sendiri yakni Indonesia.
Melalui media elektronik seperti televisi dan radio, maupun internet, beragam
informasi yang sarat dengan nilai-nilai budaya asing diperkenalkan. Simbol-simbol
budaya asing yang diperkenalkan melalui media massa tersebut, semakin kuat
berkembang, dan menggeser keberadaan produk budaya dari ragam suku bangsa di
Indonesia.
Dalam bidang seni budaya, kita bisa cermati fenomena ini dalam beberapa
pertunjukan musik seperti Java Jazz Festival, maupun pertunjukan piano oleh David
Foster yang harga tiketnya bisa mencapai Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), per
orang. Bandingkan dengan festival gamelan internasional yang dapat dilihat secara
gratis, atau paling mahal harga tiketnya hanya Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Kenyataannya pertunjukan seperti Java Jazz mampu menyedot jumlah penonton sesuai
target penjualan, bahkan banyak yang kehabisan tiket pertunjukan. Sementara itu
penonton pertunjukan festival gamelan internasional tidak sebanyak pengunjung Java
Jazz Festival. Fenomena ini menandakan hegemoni kesenian yang datang dari negara
asing di Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih tertarik dan menghargai musik yang
berakar pada tradisi budaya bangsa lain, dibandingkan musik bangsanya sendiri.
164
Fenomena serupa juga terjadi pada ragam seni tradisi Jawa Barat di kota Bandung.
Melihat sekelompok orang berkumpul sambil menyanyikan tembang Sunda diiringi
kecapi suling, adalah fenomena yang langka. Dua puluh tahun lalu, sajian tembang atau
kawih diiringi kecapi suling, gamelan, wayang golek atau tari-tarian wayang, masih
populer digunakan dalam upacara perkawinan. Namun sekarang frekuensinya jauh
menurun. Demikian pula dengan pengamen jalanan, hampir tidak ada lagi yang
menggunakan angklung, kecapi, atau suling Sunda untuk mengamen.
Ada barang baru, barang lama dilupakan, begitu kira-kira kondisi kesenian bangsa
kita. Tampaknya kesenian kita kurang menarik bagi masyarakat. Ada kemungkinan hal
ini terjadi karena upaya kita dalam membina dan mengembangkan seni budaya bangsa
belum maksimal. Kreativitas seni yang didasari budaya bangsa sendiri, masih terbatas.
Informasi terkait kreasi seni berbasis kekayaan seni tradisi suku-suku bangsa Indonesia,
belum didukung sepenuhnya oleh media massa, khususnya media massa elektronik kita.
Ki Hajar Dewantara hampir setengah abad lalu mengingatkan kita.
Kalau rakyat kita berwatak budak, tentulah juga keseniannya akan bersifat kebudakan, baik dalam arti hanya bisa meniru atau terikat (beku), yakni tidak berani mengadakan perubahan baru, karena terperintah oleh kebiasaan (adat yang mati). Berhubung dengan keterangan tersebut, maka perlulah kita menjaga jangan sampai rakyat kita hanya meniru saja kesenian barat, lalu kehilangan garis hidup dan menjadi permainan dari gelombang keadaan yang berganti-ganti. (Dewantara, 1962:327-328).
Kita perlu memikirkan dan menyikapi pemikiran Ki Hajar Dewantara, dalam
perbuatan nyata melalui pendidikan seni. Hal ini penting dilakukan agar kita tidak terus-
menerus berada dalam situasi kebudayaan yang terombang-ambing karena proses
globalisasi.
Sejarah menunjukkan bahwa salah satu kekuatan manusia Indonesia adalah
kemampuan imajinasi dan artistiknya. Lubis mengatakan sebagai berikut.
Janganlah kita terus-menerus membelakangi sumber-sumber pengucapan artistik manusia Indonesia dari zaman lampau itu. Dia masih mengandung kekayaan besar sebagai sumber inspirasi dan dapat mendorong dan mengembangkan daya imajinasi dan kreatif artistik manusia Indonesia kini. (Lubis, 2008:73)
165
Pernyataan Muchtar Lubis di atas dimaksudkan untuk memberi arah, bahwa
pembangunan bangsa Indonesia selayaknya didasari oleh pemahaman yang mendalam
mengenai kekayaan tradisi seni budaya Indonesia. Berdasarkan kandungan nilai budaya
tersebut, maka kita dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas sesuai
tuntutan situasi dan kehidupan masyarakat Indonesia kini.
Pada bahasan berikutnya akan digambarkan bagaimana Udjo Ngalagena (1929 –
2001) mengoptimalkan seni angklung sebagai medium untuk mentransformasikan nilai
budaya. Wujud dari transformasi nilai budaya yang berhasil dilakukan adalah
berkembangnya fungsi, struktur dan bentuk seni angklung. Sejumlah karya kreatif yang
dihasilkan memberi nilai positif bagi kehidupan masyarakat sekitar, maupun bangsa
Indonesia. Pengalaman Udjo Ngalagena (1929 – 2001) membina seni di Saung
Angklung Udjo (SAU) dapat dijadikan inspirasi dalam mengoptimalkan peran
pendidikan seni dalam mengembangkan budaya dan karakter bangsa.
Data dalam artikel ini diperoleh melalui tudi kasus eksplanatoris dengan
pendekatan kualitatif. Tehnik pengumpulan data yakni melalui wawancara mendalam,
observasi, studi dokumen, dan kajian pustaka. Wawancara mendalam dilakukan pada
enam orang putra-putri Udjo Ngalagena, siswa SAU, pelatih, pegawai, orangtua dan
sahabat Udjo Ngalagena. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan menggunakan
pendekatan multi disipliner terkait bidang ilmu budaya, seni, pendidikan (khususnya
pendidikan nilai), psikologi, dan sosiologi.
B. PEMBAHASAN
1. Kerangka Teoretis
Berlandaskan pandangan Daszko dan Sheinbergh (2005), Jorgensen (2003)
maupun Lubis (1988), transformasi dapat dimaknai sebagai perubahan mindset yang
terjadi karena keinginan untuk tetap survive. Selanjutnya Dazko dan Sheinberg (2005)
mengatakan bahwa wujud transformasi merupakan kreasi dan perubahan dalam
keseluruhan bentuk, fungsi atau struktur. Bila kita pahami dengan baik uraian tersebut,
166
maka sesungguhnya ada dua bentuk transformasi yakni transformasi yang teramati
secara fisik, dan transformasi yang terjadi di dalam diri individu sebagai penggerak
dari proses transformasi.
Transformasi dimulai dari dalam diri individu, yang mau belajar dari
pengalaman hidup dan pengetahuan yang telah ia miliki. Ia akan merenungkan dan
melihat dengan kritis apa yang telah ia lakukan dalam menjalankan tujuan-tujuan yang
ingin ia capai. Berdasarkan hal tersebut ia memutuskan untuk melakukan perubahan
yang mendasar. Kinerja yang dilakukan oleh individu tersebut berdampak pada
perubahan-perubahan yang teramati secara fisik, berupa sejumlah kreasi.
Secara lebih teknis Jorgensen (2003) menjabarkan sembilan kemungkinan
wujud transformasi yakni: modifikasi, akomodasi, integrasi, assimilasi, inversi, sintesis,
transfigurasi, konversi dan renewal. Berdasarkan dua konsep transformasi yang
ditawarkan Dazko &Sheinberg (2005) serta Jorgensen (2003) ini, maka wujud
transformasi dalam konteks “perubahan” baik fungsi, bentuk atau struktur tidak
memiliki batas yang tegas. Artinya bisa saja terjadi perubahan struktur sekaligus bentuk
yang dikatakan oleh Jorgensen sebagai modifikasi yakni suatu proses reorganisasi
beberapa elemen dari suatu kondisi atau fungsi sesuatu, tanpa mengubah esensinya,
atau akomodasi yakni kompromi atau penyesuaian dengan yang lain, seperti seekor
bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Modifikasi dan
akomodasi juga bisa bersifat dialektis, misalnya suatu modifikasi terjadi karena
mengakomodasi situasi eksternal yang berubah. Oleh karenanya transformasi dapat
disimpulkan sebagai suatu perubahan mindset dalam diri individu yang menyebabkan
terjadinya perubahan dalam bentuk, fungsi atau struktur, tetapi tetap mencirikan adanya
keterkaitan dengan sesuatu yang ada sebelumnya.
Transformasi budaya dalam pandangan Lubis (2008), memiliki makna melihat
secara kritis keberadaan diri saat ini, mencoba untuk mengevaluasi mengapa hal itu
terjadi, artinya melihat kembali apa-apa yang telah dilakukan di masa lampau.
Berdasarkan evaluasi diri, kemudian perlu dirumuskan upaya untuk melakukan
perubahan, dan penyesuaian dalam menghadapi tantangan di masa depan. Selaras
dengan pandangan Lubis (2008), melalui proses pengkajian terhadap artifak budaya
167
Sunda, khususnya terkait pantun, Sumardjo (2003: 353) menjelaskan bagaimana suatu
proses transformasi nilai budaya dapat terwujud bila didasari oleh pemahaman yang
utuh terhadap nilai-nilai budaya yang telah ada.
Transformasi nilai baru bisa terjadi kalau nilai-nilai lama kita fahami secara utuh, dan nilai-nilai baru yang kita inginkan terwujud akan berdasarkan nilai-nilai lama tadi. “Perkawinan” antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru inilah yang akan menciptakan terjadinya keselamatan dan kesejahteraan. Bagaimanapun, kita masing-masing memiliki akar budaya di wilayah masing-masing. Kita berkembang atas akar yang berbeda-beda. Tetapi kita harus bersatu, dan persatuan itu adalah suatu perkawinan nilai-nilai.
Kajian terhadap konsepsi ketahanan budaya menurut Hatta (2008), Henderson
(2003), dan Vanbreda (2001 ) menjelaskan bahwa ketahanan budaya merupakan
kemampuan untuk mempertahankan sekaligus mengembangkan nilai budaya dalam
situasi yang sulit sekalipun. Kemampuan untuk survive merupakan kata kunci yang
menghubungkan konsep tentang transformasi nilai budaya dengan konsepsi ketahanan
budaya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keberhasilan transformasi nilai
budaya adalah munculnya ketahanan budaya.
Bagaimana agar nilai budaya dapat ditransformasikan? Kita perlu mengkaji
bagaimana nilai budaya dapat berkembang di masyarakat. Brofenbrener (1989),
Baumrind (1973) dalam Mussen (1992), Parson (1937) dalam Puspitawati ( 2009),
dan Spranger (1950) dalam Suryabrata (2005), menjelaskan bahwa proses sosialisasi
nilai budaya memiliki sifat dialektis, dan dinamis. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kebudayaan terjelma dari nilai-nilai yang dimilliki oleh individu, namun di sisi lain
tumbuh dan berkembangnya individu juga di pagari oleh sistem nilai budaya yang ada.
Pemahaman anak akan nilai budaya dipengaruhi oleh lingkungan terdekat seperti
keluarga hingga lingkungan yang lebih luas di luar lingkungan keluarga. Konfigurasi
nilai budaya pada kebudayaan kelompok masyarakat yang satu, dengan kelompok
masyarakat lainnya akan berubah lebih lama atau lebih cepat, bergantung pada dinamika
perubahan dan penyesuaian nilai budaya dari individu-individu dalam suatu kelompok
masyarakat.
168
Selanjutnya Egan (dalam Mulyana, 2004), dan Superka (1976) menjelaskan
secara lebih teknis terkait strategi pendidikan nilai termasuk nilai budaya. Egan
(UNESCO, 1991) menjelaskan bahwa perkembangan minat dan kepedulian anak
terhadap nilai berlangsung dalam empat tahapan yakni tahapan mitos, romantis, filosofis
dan ironis. Tahapan ini berkorelasi dengan pertumbuhan fisik dan bertambahnya usia
anak. Secara rinci Mulyana (2004:130) menggambarkannya dalam bentuk tabel di
bawah ini.
Tabel Perkembangan Minat dan Keperdulian Anak terhadap Nilai
oleh K. Egan (UNESCO, 1991) – diadaptasi oleh Mulyana
Jenis tahapan/usia Karakteristik PerkembanganTahap mitos ( 5-10 tahun)
Anak belajar melalui cara bermain dan berceritera. Mereka bahagia bermain dengan obyek mainan yang melibatkan perasaan mereka. Pada tahap ini nilai moral merupakan perhatian utama yang dibedakan secara hitam putih seperti baik dan jelek, sayang dan benci, suka dan tidak suka, dsb.
Tahap romantis (8-15 tahun)
Pada rentang usia ini anak berharap banyak terhadap informasi yang dapat memberikan uraian tentang manusia, semangat hidup, petualangan, perkembangan teknologi, olahraga, sampai pada wilayah persoalan yang asing bagi dirinya.
Tahap filosofis(14 – 20 tahun)
Tahap ini didominasi oleh keinginan remaja untuk menyederhanakan urutan pengalaman melalui pengambilan kesimpulan yang dibuat sendiri atau melalui tatanan hukum dan peraturan yang sudah baku. Pada tahap ini pula biasanya anak merasa frustasi apabila ada perlakuan-perlakuan khusus atau ada pertentangan dalam penegakan hukum.
Tahap ironis(20 tahun ke atas)
Pada tahap ini, remaja akhir atau orang dewasa mencoba untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang lebih jelas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Tetapi penarikan kesimpulan dan penjelasan, termasuk pada hal-hal yang kontradiktif dan membingungkan, tidak hanya dihargainya tetapi juga disenanginya. Pada tahap ini anak remaja akhir atau orang dewasa tidak lagi merasa frustasi dengan adanya sesuatu yang manasuka, bertentangan atau berlawanan.
Dalam konteks pendidikan nilai khususnya terkait pendidikan persekolahan
Superka (1976) telah mengembangkan lima pendekatan. Pendekatan tersebut adalah: (1)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach); (2) Pendekatan perkembangan
moral kognitif (cognitive moral development approach); (3) Pendekatan analisis nilai
169
(values analysis approach); (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification
approach); dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai sosial dalam diri anak. Proses penanaman nilai dilakukan dengan
cara memberi contoh yang dapat dijadikan teladan, melakukan penguatan positif dan
negatif, simulasi, dan permainan peran. Melalui cara demikian diharapkan anak akan
menerima nilai-nilai sosial tertentu dan terjadi perubahan perilaku sosial yang lebih
sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Pendekatan perkembangan moral kognitif merupakan pendidikan nilai moral
yang memperhatikan tahapan perkembangan moral. Menurut Elmubarok (2008)
pendekatan ini didasari oleh hasil-hasil riset tentang perkembangan kognitif terkait nilai
moral yang dikemukakan oleh sejumlah ahli seperti Dewey, Piaget dan Kohlberg.
Proses pembelajaran nilai moral menurut pendekatan ini dilakukan melalui diskusi
kelompok terkait dilema moral. Dilema moral yang faktual, maupun hipotetik,
dijadikan bahan diskusi kelompok. Siswa didorong untuk memberikan pertimbangan
moral dan memutuskan posisinya dalam bila mereka menjadi bagian dalam situasi
dilematis tersebut. Penekanan pendekatan ini adalah pada kemampuan memberikan
pertimbangan nilai, bukan pada pengambilan keputusan terkait mana yang benar dan
mana yang salah.
Pendekatan analisis nilai memiliki kemiripan dengan pendekatan perkembangan
moral kognitif. Perbedaan utama terletak pada cakupan pembahasan nilai yang lebih
menekankan pertimbangan nilai moral secara sosial bukan pribadi. Metode yang
digunakan adalah pembelajaran individu maupun kelompok dengan kegiatan studi
pustaka, penyelidikan lapangan dan diskusi.
Pendekatan klarifikasi nilai memiliki kelebihan mengkombinasikan kemampuan
berpikir rasional dan kesadaran emosional untuk membantu siswa dalam mengkaji
perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Melalui proses demikian siswa dibantu untuk
mengenali hal-hal apa yang bernilai bagi dirinya, hal-hal apa yang bernilai bagi orang
lain, dan belajar memahami pola perilaku mereka. Metoda yang digunakan antara lain
dialog, menulis, dan diskusi dalam kelompok kecil maupun besar.
170
Pendekatan pembelajaran berbuat memberikan penekanan yang berbeda
dibandingkan pendekatan pendidikan nilai lainnya. Melalui pendekatan ini siswa diberi
kesempatan untuk melakukan aktivitas-aktivitas nyata yang didasari pertimbangan
moral secara individu maupun kelompok, dan bermanfaat bagi kehidupan. Pengalaman
berbuat diharapkan mampu berimplikasi pada tumbuhnya kesadaran afektif dalam
memutuskan pilihan nilai moral, dan membentuk warganegara yang aktif dalam
membangun kesadaran moral di masyarakat.
Kelima pendekatan pendidikan nilai ini lebih terkait dengan pendidikan nilai di
sekolah, namun dapat dijadikan inspirasi dalam proses pendidikan nilai dalam keluarga.
Pendekatan penanaman nilai misalnya merupakan pendekatan yang lazim dilakukan
dalam pendidikan keluarga di Indonesia.
Berdasarkan proses terbentuknya nilai budaya yang memiliki sifat interaktif,
dinamis dan berkembang maka transformasi nilai budaya juga memiliki ciri-ciri
tersebut. Oleh karena itu perubahan cara pandang yang terjadi dalam proses
transformasi nilai budaya memiliki sifat meluas, artinya tidak hanya terjadi pada satu
individu, namun berpengaruh juga pada cara pandang individu lain dalam kelompok
masyarakat tersebut.
2. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa fenomena yang mencirikan terjadinya
transformasi nilai budaya di SAU. Pembahasan akan diawali oleh karakteristik Udjo
sebagai pemimpin SAU, perubahan cara pandang yang terjadi dalam diri Udjo terhadap
fungsi angklung, dilanjutkan dengan perubahan bentuk maupun struktur ragam jenis
angklung, dan seni yang dikembangkan di SAU. Bahasan diakhiri oleh bukti-bukti
ketahanan budaya yang tampak di SAU
a. Karakteristik Udjo sebagai pimpinan SAU
Untuk memahami karakteristik Udjo digunakan pisau analisis teori Henderson
(2003) terkait personal resiliensy, yang intinya mencakup tiga aspek yakni sikap
terhadap diri sendiri, sikap terhadap orang lain dan sikap terhadap pekerjaan/tugas.
Hasil analisis data tentang sikap terhadap diri sendiri menjelaskan bahwa Udjo memiliki
171
kemampuan mengontrol diri, memotivasi diri, menghargai diri sendiri, percaya diri dan
berpandangan positif tentang masa depan. Refleksi diri menjadi hal yang esensial dalam
mengembangkan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri. Udjo memiliki kebiasaan
untuk menuliskan hasil refleksi diri dalam buku hariannya. Sebagai contoh kemampuan
mengontrol diri adalah kutipan dari buku hariannya berikut ini.
Kelembutan bisa mengalahkan kegalakan... Tibatan ...upat simuat mending ge nanya sorangan. naha aing teh enggeus bener? [Ind: daripada mengumpat. Lebih baik bertanya pada diri sendiri. Apakah saya sudah benar?] (Syafii, 2009).
Dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, Udjo memiliki kemampuan untuk
memotivasi diri. Berdasarkan kajian terkait biografi Udjo yang dilakukan oleh
Supriyatna (2000) diperoleh contoh-contoh cara Udjo memotivasi diri. Beberapa kata
motivasi dituliskannya di sejumlah ruang tempat berlatih seni.
Tenang, sabar, serta kelapangan dada membuat alam akan tersenyum... Gumelar ka dunya mawa hirup jeung huripna. Tinggal usaha motekarna [Ind: Lahir ke dunia. Membawa hidup dan kehidupannya. Tinggal mau berusaha] (Supriyatna, 2000:33)
Bahagian terbesar dari hidup kita yang kita lakoni, yang kita jalani, yang kita tempuh adalah di luar rencana kita, di luar cita-cita kita, bahkan di luar sepengetahuan dan kemauan kita.Semuanya itu terjadi semata-mata atas kehendakNya (Supriyatna,2000:31-32)
Udjo juga dapat menghargai diri sendiri sehingga memiliki kepercayaan diri.
Sebagai contoh adalah ungkapan Udjo dalam wawancara sebagai berikut: “ mau
dibantu atau tidak oleh pemerintah, bapa mah teras wae ngalatih angklung ka
murangkalih“ (Dokumen P4ST, wawancara Udjo, 1997). Informasi lain diperoleh
melaui penegasan Daeng putra ke delapan Udjo berikut ini. “Mau ditonton atau tidak
yang penting bapa mah mau main itu ya main saja” (wawancara Daeng, 5 Mei 2011).
Sikap positif dalam diri Udjo yang tak kalah penting adalah memiliki pandangan
positif tentang masa depan pribadi. Udjo sering mengatakan dalam berbagai kesempatan
bahwa ia ingin hidupnya ada berguna bagi sesama insan. Udjo yakin bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mewujudkannya melalui seni angklung. “Saung angklung tidak ingin
hidup sesaat tetapi dari generasi ke generasi ...Bapa mengharap Saung Angklung yang
akan datang jauh lebih baik daripada sekarang. (Syafii, 2009:138)
172
Aspek ke dua terkait personal resiliency, yakni sikap terhadap orang lain. Udjo
adalah individu yang senang membantu orang lain. Dalam bahasan tentang karakter
Udjo sebagai pribadi tampak bahwa ia merupakan sosok yang murah hati. Ia senang
berbagi kebahagiaan untuk orang lain. Saung Angklung yang dipimpinnya ditujukan
untuk memberikan kebahagiaan untuk anak-anak.” I will make every body happy, for
the future children, with my capacity through love, patient and wisdom” (Dokumen
P4ST, wawancara Udjo, 1997). Udjo ingin menolong warga sekitar yang hidup dalam
kondisi ekonomi lemah, oleh karenanya ia memberikan beasiswa bagi anak-anak di
SAU, ia merekrut tukang gali, dan tukang becak untuk dididik menjadi pengrajin
angklung.
Udjo juga memiliki kemampuan untuk membangun hubungan positif dengan
orang lain. Ia tidak pantang menyerah menghadapi orang yang bersikap sinis padanya.
Memberikan senyum ramah, berbagi rezki dan sengaja memberikan penganan pada
tetangga yang kurang simpatik merupakan upaya yang diterapkan Udjo dalam
membangun hubungan positif. “Ceuceub ka hiji jalmi hartosna nyiksa ka diri sorangan.
Kikituna dunya jadi heurin. naon rugelna jadi jalmi anu someah, naon rugelna jadi
jalmi anu leah” [Ind: membenci seseorang artinya menyiksa diri sendiri. Apa ruginya
menjadi orang yang baik budi. Apa ruginya menjadi orang yang bijaksana] (Supriyatna,
2000:32).
Kemampuan berkomunikasi yang baik juga menyebabkan Udjo diterima
kehadirannya oleh banyak teman, dan warga Padasuka. Udjo memiliki rasa humor yang
baik. Sebagai contoh saat ada tamu yang datang berkunjung, tak jarang Udjo
mengatakan: “Silahkan diminum air berani”. Kalimat ini diucapkan Udjo saat
mempersilahkan tamu minum teh. Air berani merupakan ungkapan dari suguhan yang
hanya terdiri dari teh tawar tanpa teman makanan kecil lainnya. ( Wawancara Sam, 19
Februari 2012). Bahkan dalam kondisi sakit, Udjo masih dapat berkelakar: “Apa bapak
boleh bilang aduh? Apa tuhan nggak marah?” (Syafii, 2009: 116).
Keterampilan sosial lain yang dimiliki Udjo adalah kemampuannya untuk
bersikap fleksibel, terhadap orang lain. Sejumlah contoh nyata antara lain: (1) tentang
173
kebebasan yang diberikan Udjo pada para pengrajin asuhannya, untuk menjual
angklung pada pihak lain; (2) membuat partitur lagu Halo-halo Bandung dari gordyn
kamar hotel, untuk memenuhi permintaan mendadak dari panitia pertunjukan di
Yogyakarta (Syafii, 2009); dan (3) Mendadak menyiapkan putri bungsunya Mutiara
menjadi dirigen untuk acara Ladies Night pada pertemuan APEC 1994 di Istana Bogor.
Hal ini ia lakukan karena kesalahan panitia tidak menginformasikan bahwa ada
peraturan tidak boleh mengikutsertakan lelaki dewasa, dalam acara tersebut. (Syafii,
2009).
Aspek ke tiga yang perlu diungkap terkait ada tidaknya ciri-ciri personal
resiliency pada Udjo adalah sikapnya terhadap pekerjaan. Contoh di atas tentang sikap
fleksibel Udjo terhadap orang lain, juga merupakan indikasi kecakapan Udjo untuk
mengendalikan, dan mengambil keputusan untuk memecahkan masalah terkait tugas
dan pekerjaan. Udjo juga merupakan individu yang apik dalam melaksanakan
pekerjaan. Merencanakan aktivitas dan hal-hal penting yang harus dipersiapkan atau
diperbaiki pada buku agendanya, merupakan kebiasaan yang telah mempribadi dalam
diri Udjo. Sikap apik ini juga teramati saat mengajar angklung Sunda pada siswa-siswa
SAU tahun 1997. Ia segera meminta pegawainya mengambil pisau raut dan melaras
angklung yang nadanya terdengar sumbang. Sikap mandiri dan terus belajar juga
menjadi ciri Udjo dalam melaksanakan tugas.
Analisis di atas, telah mengungkap Udjo sebagai pimpinan SAU memiliki
karakteristik individu dengan ketahanan budaya personal yang baik. Kemampuan untuk
bersikap kritis terhadap diri sendiri, membina hubungan sosial dengan baik, serta ulet
dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan cita-cita merupakan kekuatan yang
dimiliki Udjo sebagai pimpinan SAU.
b. Perubahan Cara Pandang Udjo Terkait Fungsi Angklung
Udjo memiliki ketertarikan yang amat kuat terhadap angklung. Sejak kecil ia telah
belajar mengenal angklung dari pengamen angklung. Ia juga bermain angklung bersama
tetangga di sekeliling rumahnya, untuk mengisi waktu luang di malam hari.
174
Pengalaman berkesenian sejak kecil, masa mengikuti pendidikan mulai dari
sekolah rakyat hingga menjadi guru telah membekali Udjo menjadi sosok pendidik seni
yang menguasai musik “Sunda” dan musik “Barat”. Pengetahuan tentang dua wilayah
ilmu musik ini merupakan modal berharga dalam mengembangkan instrumen angklung
maupun ilmu mendidik angklung.
Inovasi yang dilakukan oleh Daeng Soetigna dengan membuat angklung diatonis,
telah menyadarkan Udjo sebagai seorang pendidik, untuk mengembangkan potensi
angklung Sunda yang semula ia gunakan sebagai hiburan bersama keluarga dan
tetangga. Cara pandang Udjo terhadap angklung juga berubah setelah belajar ilmu
terkait pelarasan angklung diatonis dari Daeng Soetigna. Ia mulai berfikir, bila angklung
secara diatonis bisa dibuat dan digunakan sebagai media pendidikan musik di sekolah,
berarti ada peluang juga untuk mengembangkan angklung yang berlaras pentatonis
sebagai media pendidikan.
Kalau Daeng Soetigna terkenal dengan angklung diatonisnya, saya juga ingin
membuat sesuatu, angklung Sunda, ternyata berhasil” (wawancara Udjo, 17 Juli
1997).
Biasanya angklung Sunda yang digunakan oleh pengamen, larasnya tidak
sepenuhnya salendro, sehingga sejumlah literatur menyatakan nyalendro atau mirip
salendro. Angklung yang dibuat Udjo memiliki dasar pengembangan dari waditra
gamelan. Berdasarkan wawancara tanggal 17 Juli 1997 (dokumen P4ST UPI), Udjo
menjelaskan bahwa ia melakukan suatu proses pengamatan dahulu terhadap sejumlah
gamelan hingga ke kota Solo, kemudian ia juga membeli suling dari Cirebon. Ia
membandingkan suara yang dihasilkan oleh gamelan Sunda, suling Cirebon dan
gamelan Jawa . Kesimpulan yang ia peroleh ternyata suara gamelan berbeda-beda tetapi
memiliki kesan yang sama.
Hasil pengamatan ini kemudian memantapkan Udjo untuk membuat angklung
dengan laras salendro, madenda dan degung. Udjo memilih relasi nada yang digunakan
di Konservatori Karawitan Solo sebagai patokan untuk melaras Angklung Sunda. Ia
menetapkan terlebih dahulu nada gis sebagai patokan, untuk da (tugu). Kemudian
175
berdasarkan relasi nada gamelan milik Konservatori Karawitan Solo, ia menentukan
frekuensi nada lain (la, ti, na, mi, dst). Kombinasi dua cara, yakni penggunaan rasa
terkait relasi nada, dan penetapan frekuensi, adalah resep untuk melaras Angklung
Sunda.
Upaya yang dilakukan Udjo dalam membuat angklung Sunda merupakan
inovasi, karena sebelumnya angklung Sunda yang berkembang di masyarakat belum
sepenuhnya berlaras salendro. Sebagai contoh nada angklung Badeng dari daerah Garut
dan angklung Dogdog Lojor dari Sukabumi. Menurut penelitian Masunah dkk. (2003),
setiap angklung Badeng terdiri dari tiga bilah bambu yang memiliki nada berbeda,
sementara seluruh angklung Dogdog Lojor pada prinsipnya hanya terdiri dari tiga nada
yang mirip salendro.
Keberhasilan Udjo dalam mengembangkan angklung Sunda ia lanjutkan dengan
niat utamanya “ingin ikut membina kebudayaan/kesenian” . Tahun 1966 ia
mengembangkan sebuah program latihan angklung yang bertujuan untuk
mengembangkan bakat musik anak, dan melestarikan budaya Sunda. Dari data yang
terdapat pada Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya tercatat bahwa antara
tahun 1967-1978 Udjo bekerja sebagai tenaga Ahli Kanwil Depdikbud Jabar.
Kepercayaan pemerintah terhadap Udjo, menjadi motivasi untuk terus mengembangkan
program latihan angklung yang melibatkan keluarga, masyarakat sekitar dan murid-
murid SD tempat isterinya mengajar.
Lingkungan alam sekitar Padasuka tempat tinggal Udjo, dan anak-anak berlatih
angklung memiliki kekhasan tersendiri. Dari Padasuka terdapat jalan tembus menuju
gunung Manglayang. Menurut Narawati, dkk. (2009) daerah ini termasuk kaki gunung
(tutugan) Manglayang, yang merupakan salah satu kantong ragam seni Sunda buhun
[Ind: lama]. Kesenian Calung, angklung, gamelan, pencak silat, dan lain-lain masih
subur di daerah ini. Pada waktu itu Padasuka termasuk daerah pinggiran kota atau lebih
tepat dikatakan sebagai ‘kampung’. Kalau hujan turun, jalan menjadi becek karena
tidak beraspal, dan di sana-sini masih banyak kebon. Suasana ini menarik perhatian
Daeng Soetigna yang menyarankan Udjo untuk mengembangkan pertunjukan wisata
176
budaya. Suasana lingkungan ini amat selaras dengan bunyi angklung Sunda yang
dikembangkan oleh Udjo.
Berdasarkan informasi Syafii (2009), pada saat itu Daeng Soetigna juga sudah
mengemas sejumlah pertunjukan angklung di hotel-hotel. Udjo terus mengikuti Daeng
sambil belajar bagaimana mengemas pertunjukan, sekaligus mencoba memahami
keinginan wisatawan terutama wisatawan asing. Melalui proses ini Udjo memperoleh
pemahaman bahwa ia harus mengemas pertunjukan seni tradisi yang atraktif agar
menarik bagi wisatawan asing.
Berbekal pengalaman dan pemahaman mengikuti pertunjukan Daeng Soetigna
inilah, kemudian Udjo berupaya untuk mengembangkan pertunjukan wisata di SAU.
Berdasarkan tulisan Syafii (2009), wawancara Yayan (Maret 2010), Sam (Maret 2010)
dan Hety (April 2010), untuk mewujudkan hal tersebut ia mendapat dukungan dari
beberapa pihak selain Daeng Soetigna, yakni Oeyeng Soewargana, Yayasan Bakti
Haruman, dan biro perjalanan Nitour. Kunjungan perdana wisatawan asing ke SAU
terjadi pada bulan September 1968, dan menghadirkan enam turis asing dari Perancis
Masa depan angklung menjadi semakin terbuka setelah pada tahun 1968 turun
Surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang menetapkan
angklung sebagai pelajaran seni budaya di sekolah. Angklung diatonis semakin populer
dan permintaan produksi angklungpun meningkat. Udjo merupakan salah seorang murid
Daeng Soetigna yang tidak hanya memiliki ilmu bermain dan mengajar angklung, tetapi
juga memiliki keterampilan membuat angklung. Usaha kecil-kecilan dalam
memproduksi angklung diatonis sebenarnya telah dimulainya sejak tahun 1962
(wawancara Udjo, Juli 1997). Oleh karena itu saat permintaan angklung diatonis
meningkat, SAU dapat berperan aktif sebagai produsen maupun penyalur (suplier)
angklung guna memenuhi kebutuhan angklung dalam dunia pendidikan.
Pada tahun 1970an Udjo sampai pada pemikiran bahwa ketiga hal yang terjadi di
SAU yakni pembinaan seni angklung untuk anak-anak, pertunjukan wisata dan produksi
angklung memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketidak berdayaan salah satu akan
177
berdampak pada yang lain. Ia menyadari bahwa keterkaitan antara tiga hal ini
merupakan kekuatan yang dapat menghasilkan adanya keberlangsungan hidup
kesenian.
Bagaimana caranya agar pendidikan, pertunjukan wisata, dan produksi alat
musik itu tetap berlangsung? Udjo memilih menggunakan kiat yang berakar pada
budaya Sunda. Ia menerapkan pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh keluarga dan
masyarakat sekitar. Setelah melampaui masa-masa penuh perjuangan yang sulit,
ternyata Udjo berhasil membuat landasan yang kuat bagi berkembangnya kegiatan
pendidikan, pertunjukan wisata dan produksi alat musik bambu di SAU. Melalui strategi
kudu akur sareng batur sakasur, sadapur, sasumur dan salembur, Udjo tidak hanya
berhasil menjaga dan mengembangkan kegiatan wisata yang ditunjang oleh pendidikan
dan produksi alat musik, tetapi juga melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda di
daerah Padasuka. Daeng putra Udjo yang ke delapan menjelaskan sebagai berikut.
Yang hebat dari beliau [Udjo] ialah ia bisa membuat suatu daerah yang jauh dari
mana-mana menjadi tempat wisata dan menciptakan budaya bukan hanya kesenian.
Yang banyak, orang itu menciptakan kesenian seperti topeng, wayang. Budaya
masyarakat diciptakan Udjo, yang dimaksud budaya masyarakat seperti budaya di
Baduy. Keterlibatan anak dan masyarakat dapat menciptakan kesan kedaerahan
(wawancara Daeng, 5 mei 2011).
Di setiap pertunjukan khususnya di SAU, Udjo senantiasa menyatakan: “saya
mendapat pesan dari bapak angklung dunia, Daeng Soetigna untuk meneruskan misinya
memperkenalkan angklung ke semua orang di seluruh dunia agar dikenal di mana-mana,
dengan sebuah gagasan, bahwa melalui penampilan kesenian musik angklung, akan
dapat membantu mendorong terciptanya kedamaian di dunia yang kita cintai dan kita
tinggali ini”.
Pernyataan Udjo tersebut merupakan penegasan bahwa ia melanjutkan perjuangan
Daeng Soetigna, menggunakan angklung sebagai media untuk menciptakan perdamaian
dunia.
178
Pernyataan Udjo ini telah ia buktikan dengan menggunakan musik angklung
sebagai media diplomasi budaya. Salah satu contoh diplomasi budaya yang dilakukan
Udjo adalah membawa misi budaya ke kepulauan Solomon. Pada saat itu situasi di
Indonesia khuususnya di daerah Papua dan Timor Timur memang sedang bergejolak.
Kehadiran Udjo dan tim sebagai duta pemerintah Indonesia, mendapat sambutan kurang
hangat dari sebagian warga Solomon. “Indonesia harus pergi dari sana, kalian penjajah,
harus angkat kaki dari Papua dan Timor Timur, teriak seseorang di depan pintu utama
hotel menggunakan bahasa Inggris” (Syafii, 2009:85). Udjo dan tim bisa memahami
sikap mereka. Namun Udjo mendapat amanah menjalankan misi diplomatik.
Melalui pertunjukan angklung untuk amal (pengumpulan dana untuk
pengembangan budaya lokal di Solomon), membuat angklung, dan berlatih angklung,
Udjo dan tim berhasil membangun apresiasi warga Solomon tentang Indonesia. Pada
saat pertunjukan hadirin larut menikmati dan ikut melantunkan lagu-lagu yang
disajikan, bahkan menjelang akhir pertunjukan ada sejumlah penonton yang menyanyi
bersama di atas panggung. MC (master of ceremony) mengatakan “ kami mengucapkan
terimakasih kepada rombongan angklung dari Indonesia yang sudah bersedia pentas.
Hasilnya akan kami gunakan untuk pembangunan kebudayaan setempat” (Syafii, 2009:
86).
Antusiame warga dalam mengikuti kegiatan membuat angklung juga tinggi,
terbukti dalam waktu satu minggu Udjo dan tim berhasil membimbing warga membuat
satu set angklung lengkap (melodi, bas dan akompanyemen). Warga Solomon juga
dibimbimbing untuk bermain angklung sambil membaca partitur. Mereka sangat senang
dan berterimakasih atas kesempatan belajar yang diberikan.
Pengalaman membawa misi kesenian sebagai media untuk diplomasi budaya
juga dilakukan oleh Daeng sebagai penerus Udjo, ketika ia dan rombongan berkunjung
ke London. Biasanya dalam lingkup kerajaan ada tatacara yang sangat ketat, dan formal.
Namun pada saat pertunjukan di istana Buckingham, Daeng berupaya mengembangkan
pertunjukan yang interaktif dan penuh dengan humor.
Pangeran Andrew bisa tertawa cekakan, saya berusaha merubah suasana kaku kerajaan menjadi cair. Pangeran Andrew bicara kira-kira isinya: ‘seharusnya
179
diplomat belajar dari you bagaimana communicate dan pencintraan’. Daeng menjelaskan oh bukan karena saya tetapi karena bambu, bahwa bambu adalah luar biasa. Dulu bambu digunakan untuk berperang, sekarang saya datang membawa bambu untuk misi perdamaian. Saya mengajak orang untuk tertarik dan mau berkomunikasi. Orang harus belajar dari bambu, dari kebersamaan bambu dengan harmonisasi bambu. Saya jadi bicaranya diplomatis, tidak sekedar as artis. (Wawancara Daeng, 5 mei 2011).
Sampai pada bahasan ini terlihat adanya perubahan pemikiran Udjo tentang
fungsi angklung. Berdasarkan data diperoleh lima fase pemikiran Udjo terkait
kehidupannya sebagai pendidik dan seniman angklung. Perhatikan gambar berikut ini.
Diagram Perubahan Cara Pandang Udjo Terhadap Fungsi Angklung (Milyartini, 2012)
b. Perubahan dalam Struktur Ragam Jenis Angklung (Instrumen).
Secara umum, angklung yang diproduksi di SAU ada tiga kelompok yakni
angklung pentatonis, angklung diatonis dan angklung untuk souvenir. Ragam jenis
angklung yang diproduksi SAU ini merupakan indikasi adanya pengembangan dari
angklung Sunda yang ada di masyarakat, dan angklung diatonis yang dikembangkan
oleh Daeng Soetigna. Masing-masing kelompok memiliki karakteristik tersendiri. Pada
bagian berikut akan dijelaskan bagaimana transformasi nilai budaya dapat teramati
dalam wujud angklung yang diproduksi di SAU.
fase 1 angklung sebagai media hiburan di masyarakat
fase 2 angklung sebagai media pendidikan musik
fase 3 angklung untuk pertunjukan
fase 4 Integrasi pendidikan, pertunjukan dan produksi instrumen untuk membangun wisata budaya berbasis pertunjukan angklung
fase 5 angklung sebagai medium pelestarian, pengembangan budaya dan diplomasi budaya
180
Angklung Sunda yang dikembangkan Udjo memiliki perbedaan dibandingkan
angklung yang biasa digunakan oleh pengamen angklung pada umumnya. Udjo
mengembangkan angklung dengan laras salendro, madenda dan degung (pelog).
Konsep pelarasan angklung Sunda Udjo memilliki kekhasan tersendiri, karena Udjo
tetap memperhatikan kesan salendro, madenda maupun degung, namun menetapkan
frekuensi nada da sebagai patokan melaras nada lainnya. Hal ini dinyatakan Udjo
(dokumen wawancara P4ST, Juli 1997) sebagai berikut.
Kalau melaras sama saja dengan mengikuti suara gamelan dan mengukur dekat
dengan nada diatonis apa... Anu dicandak ayeuna teh nu konservatori karawitan
Solo, da antawis 400 ka 430 hertz “ [Ind: yang digunakan sebagai rujukan sekarang
adalah bunyi gamelan dari konservatori Solo sekitar 400 sampai 430 hertz].
Setelah menentukan patokan nada, Udjo kemudian mengolah kesesuaian bunyi
gamelan dengan nuansa suara bambu. Hal ini dilakukan mengingat bambu sebagai
bahan baku pembuatan angklung memiliki karakteristik bunyi tergantung pada tingkat
kekeringan, usia bambu dan ketebalan bambu. Untuk menghasilkan angklung berlaras
pentatonis ini, Udjo telah menghabiskan begitu banyak bambu dan waktu.
Angklung kreasi Udjo oleh mantan kepala stasiun RRI Bandung - Darya diberi
nama angklung Sunda Modern. Mengapa disebut sebagai angklung Sunda Modern?
Alasannya, Angklung Sunda yang berkembang di beberapa tempat di Jawa Barat seperti
angklung Sered di Tasikmalaya, angklung Buncis di Arjasari, angklung Badeng di Garut
atau angklung dogdog lojor di Sukabumi, biasanya lebih bersifat ritmis. Angklung
Sunda yang dibuat Udjo tidak hanya bersifat ritmis, tetapi juga membentuk bunyi
melodis seperti melodi gambang, saron dan bonang pada gamelan. Berdasarkan
argumen tersebut Darya mengatakan bahwa angklung yang dibuat oleh Udjo disebut
sebagai Angklung Sunda Modern.
Diantara putra-putri Udjo, hanya Sam yang menguasai ilmu membuat angklung
berlaras pentatonis. Ia terus berupaya untuk melestarikan ilmu membuat angklung
Sunda melalui sejumlah percobaan. Menurut Sam prinsip pembuatan angklung Udjo
terinspirasi oleh teori laras salendro bedantara yang dikemukakan oleh R. Machyar.
181
Hasilnya ia merumuskan hubungan skala nada pentatonik dan diatonis (kromatik). Sam
Udjo pada tahun 2008 menyusunnya dalam tabel seperti di bawah ini.
Tabel Skema Sistem Pelarasan Angklung Sunda Udjo
(Sumber dokumen Sam Udjo, 2008)
TANGGA NADA DIATONIS
g gis a ais 30a
b c1 cis1
-30bd1 dis1
10ce1 f1 fis1
-40dg1 gis1 a1 ais1
50eb1 c2 cis2
-20fd2
PURWASWARA LARAS SALENDRO
Tu Si Ga Pa Lo Tu Si Ga
SALENDRODA TUGU
1 (da)
5(la)
4(ti)
3(na)
2(mi)
1(da)
5(la)
4(ti)
MADENDALA LOLORAN
3 2 1 5 4 3 2 1
DEGUNGLA GALIMER
1 5 4 3 2 1 5 4
CATATAN: a. lebih rendah 30 hertz dari nada aisb. lebih tinggi 30 hertz dari nada cis oktaf satuc. lebih rendah 10 hertz dari nada dis oktaf satud. lebih tinggi 40 hertz dari nada fis oktaf satue. lebih rendah 50 hertz dari nada ais oktaf satuf. lebih tinggi 20 hertz dari nada cis oktaf duaTu = tugu ; Si = singgul; Ga = galimer; Pa = Panelu; Lo=loloran
Berdasarkan skema tersebut, kita melihat Udjo telah melakukan adaptasi dari pengembangan
angklung oleh Padaeng yang menggunakan sistem pelarasan diatonis, menjadi sistem
pelarasan salendro, madenda, dan degung.
Bila dicermati dengan baik diagram di atas terlihat bahwa frekuensi nada singgul dan
galimer pada gembyangan berikutnya berbeda dengan aturan Machyar. Konsep gembyang
menurut Machyar memiliki kesamaan dengan konsep oktaf (octafsinterval), sehingga
terdapat perbedaan frekuensi dua kali lipat dari frekuensi aslinya. Contoh nada a1 adalah 440
hertz, maka nada a2 adalah 880 hertz.
Bila mengikuti konsep Machyar (1940), seharusnya nada singgul pada gembyangan
berikutnya, memiliki frekuensi dua kali lipat frekuensi singgul yang pertama. Atau dengan
kata lain juga memiliki frekuensi 30 hertz lebih rendah dari nada ais oktaf satu (a♯1 ). Namun
pada skema angklung Udjo nada singgul pada gembyangan berikutnya lebih rendah 50 hertz
dari nada ais oktaf satu. Oleh karena itu kita dapat simpulkan bahwa skema tersebut
diperoleh melalui pendekatan perasaan laras, bukan berdasarkan patokan teoretis tentang
perbandingan jarak nada yang dikembangkan oleh Machyar.
Setelah Udjo Ngalagena wafat, inovasi anklung tetap dilanjutkan oleh putra-putra
Udjo.lain melakukan inovasi. Inovasi angklung Sunda dilanjutkan oleh Sam Udjo putra ke
dua dan inovasi angklung diatonis PaDaeng dikembangkan oleh Yayan, putra ke enam.
Satu set angklung Sunda saat ini terdiri dari beberapa instrumen. Satu set ini
sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari kombinasi instrumen yang awal. Menurut
Hety putri ke empat Udjo, awalnya angklung Sunda yang dibuat Udjo ini, dimainkan dengan
calung tiga atau empat set, serta kendang dan gong. Penggunaan calung kemudian diganti
dengan gambang, dan angklung dikembangkan dalam jenis yang lebih beragam. Saat ini
secara umum ada empat kelompok instrumen dalam satu set angklung Sunda, yakni
angklung, gambang, kendang, dan gong. Kelompok instrumen angklung terdiri dari angklung
melodi, angklung rincik, angklung panerus dan angklung jenglong. Kelompok gambang
terdiri dari gambang rincik, gambang panerus, gambang melodi dan jengglong gambang.
Instrumen-instrumen tersebut dimainkan bersama kendang dan goong.
Angklung diatonis PaDaeng juga dikembangkan dalam struktur kemasan yang baru.
Pengalaman melayani permintaan masyarakat untuk memberi pelatihan maupun pertunjukan
wisata dan lawatan ke luar negeri telah memotivasi Yayan untuk mengembangkan angklung
yang diberi nama angklung toel. Angklung toel ini berlaras diatonis tetapi memiliki
kelebihan dibandingkan angklung diatonis sebelumnya. Yayan menjelaskan bahwa
pembuatan angklung toel dilatarbelakangi oleh pengalamannya mengajar ibu-ibu yang sulit
menggetarkan angklung terutama untuk lagu dengan irama yang agak cepat. Selain itu
permintaan untuk tampil atau melatih di luar negeri juga perlu mempertimbangkan jumlah
orang yang akan berangkat, karena berkaitan dengan jumlah anggaran yang tersedia. Semakin
banyak orang yang berangkat semakin banyak dana yang harus disiapkan.
Angklung toel yang dibuatnya pada tahun 2010 masih digantung melingkar mirip
tangga yang melingkar. Sejumlah angklung dirangkai sedemikian rupa dengan menggunakan
bahan semacam karet gelang, dan digantung pada ancak yang berbentuk melingkar. Untuk
memainkannya cukup disentuh seperti orang yang menepuk pundak (toel) dari depan. Pada
waktu itu peneliti mengantar seorang dosen dari Universitas Negeri Yogyakarta untuk
membeli angklung yang akan ia gunakan sebagai media mengajar di Cina. Yayan
menjelaskan bahwa ia belum puas dengan konstruksi susunan angklung tersebut. Tinggi
ancak untuk menggantung angklung sebagian masih menghalangi pandangan mata, sehingga
terlihat kurang estetis bila dilihat dari depan oleh penonton. Oleh karena itu produk angklung
toel ini belum dipasarkan, karena masih dalam proses riset.
Pada tanggal 6 mei 2011, saat kunjungan ke SAU di area souvenir shop terlihat
angklung toel telah mengalami perubahan konstruksi. Angklung toel tidak lagi disusun
melingkar tetapi digantungkan secara terbalik di atas batang bambu dan dirakit sedemikian
rupa menggunakan karet dan semacam pengait. Tinggi tempat menggantung angklung ini
sekitar satu meter, sehingga tidak menghalangi pandangan mata pemain musik. Konstruksi
kemasan angklung yang baru ini memungkinkan pemain angklung toel, berkomunikasi
dengan pemain musik lain maupun penonton. Konstruksi ini memungkinkan angklung
dimainkan dengan cara digetarkan ke depan-belakang hanya dengan menggunakan satu atau
dua jari.
Satu set angklung Toel terdiri dari nada diatonis sebanyak dua oktaf setengah mulai
dari nada E rendah hingga nada d2. Nada-nada natural dan nada-nada kromatis diletakkan
pada baris yang berbeda. Susunannya seperti susunan bilah nada pada piano. Nada natural
berada pada baris depan, sementara nada kromatis disusun di belakang nada natural
membentuk satu baris terpisah.
Foto Angklung Toel Rakitan Kecil Tampak Samping(Milyartini 2012)
Yayan berharap agar melalui angklung toel, angklung lebih diminati oleh masyarakat,
karena dapat dimainkan sendiri dan diletakkan di ruang keluarga. Angklung Toel juga dapat
dipecah menjadi tiga set, dimana setiap set terdiri dari sepuluh buah angklung. Satu set
angklung melodi yang jumlahnya sekitar tiga puluh buah (30) dan biasanya membutuhkan
sekitar 15 sampai 30 pemain, dengan menggunakan angklung toel cukup dimainkan oleh tiga
orang pemain.
Selain angklung berlaras pentatonis, dan diatonis. SAU juga telah memproduksi
angklung untuk souvenir yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki laras diatonis. Satu set
angklung ini terdiri dari delapan buah angklung satu oktaf mulai dari nada c1 sampai c2.
Ada pula miniatur angklung yang difungsikan sebagai leontin kalung, dan dibagikan secara
gratis kepada para pengunjung SAU yang akan menyaksikan pertunjukan.
c. Perubahan dalam Bentuk Pertunjukan
Pertunjukan angklung Sunda yang semula hanya dimainkan oleh putra-putri Udjo
terdiri dari satu set instrumen angklung, calung, goong dan kendang. “Satu set angklung
dimainkan oleh seorang anak, calung oleh empat orang anak, dan kendang serta goong
dimainkan oleh orang lain yang lebih dewasa” (Hetty, wawancara april 2010). Permainan
angklung Sunda ini hanya dipertontonkan pada teman-teman Udjo, atau memenuhi undangan
untuk main angklung di tempat tertentu.
Sejalan dengan berkembangnya pertunjukan wisata di SAU, maka Udjo berkreasi
untuk mengemas pertunjukan angklung Sunda. Pertunjukan angklung di saung angklung
Udjo mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal pendirian pertunjukan angklung hanya
disajikan di halaman rumah untuk memenuhi permintaan biro perjalanan wisata. Angklung
yang dipertunjukkan adalah angklung Sunda berlaras pentatonis. Jumlah pemain lebih banyak
karena telah melibatkan kemenakan Udjo dan anak-anak tetangga di sekitar rumah Udjo.
Tamu-tamu yang hadir sudah dijemput di muka mulut gang dengan semacam upacara adat
dan diarak menggunakan bendi (alat transportasi yang dapat menampung sampai 7 orang,
ditarik oleh seekor kuda).
Kehadiran turis asing juga menjadi pertimbangan untuk mengemas kembali
pertunjukan angklung di SAU. Pertunjukan angklung Sunda dikemas dalam sajian yang
disebut helaran, dimana dilakukan rekonstruksi arak-arakan angklung mengiringi seorang
anak yang baru disunat atau dalam bahasa Sunda disebut sebagai budak sunat. Arak-arakan
Budak Sunat ini kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan angklung Sunda mengiringi tarian
Buncis, yakni tarian yang dilatar belakangi oleh lagu-lagu kaulinan urang lembur atau lagu
permainan anak dari daerah Sunda.
Selain itu juga disajikan pertunjukan angklung diatonis. Penyajian lagu berlaras
diatonis dilandasi oleh asumsi bahwa lagu berlaras diatonis lebih dikenal oleh para turis.
Selain suguhan angklung pentatonis dalam bentuk arak-arakan atau helaran, juga disajikan
pertunjukan angklung diatonis dalam bentuk sajian pertunjukan lagu-lagu populer Indonesia
maupun Barat yang dimainkan oleh banyak anak.
Salah satu paket pertunjukan yang menjadi unggulan di SAU adalah angklung
interaktif. Pada kegiatan ini para turis dibimbing untuk memainkan lagu berlaras diatonis
baik lagu-lagu asing seperti Lightly Row, maupun lagu Indonesia seperti Rasa Sayange.
Pertunjukan ini amat menyenangkan, karena para turis diberi kesempatan untuk mengalami
proses estetik dalam menghasilkan suatu karya musik secara bersama-sama.
Kemasan pertunjukan di SAU juga mengalami perkembangan sejalan munculnya ide
Udjo maupun putra-putranya dalam menghadapi tantangan atau permasalahan. Sekitar tahun
1970an Udjo mulai mengembangkan pertunjukan arumba, sebagai singkatan dari alunan
rumpun bambu. Munculnya pertunjukan arumba ini dilatar belakangi oleh pengalaman Udjo
dalam melatih ibu-ibu. Menurut Handiman (wawancara 11 februari 2012) “Latar belakang
arumba, melatih ibu-ibu, da ibu-ibu sok teu sumping” [Ind: latar belakang arumba, melatih
ibu-ibu, karena ibu-ibu suka tidak datang].
Untuk mengatasi hal ini dan terinspirasi oleh calung renteng, Udjo minta bantuan
pada Burhan (Ujang) membuat alat semacam gambang yang memiliki tabung sebagai
penguat suaranya (mirip silofon). Udjo membuat orkes arumba yang terdiri dari angklung
melodi, angklung akompanyemen, gambang, bas pukul bambu dan perkusi seperti bongo.
Handiman menjelaskan bahwa susunan alat bisa berubah begitu pula dengan jumlah nada
pada gambang. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan.
Kemasan pertunjukan angklung juga diperbaharui oleh Daeng Oktaviandi putra ke
delapan Udjo. Ia mengamati bahwa rata-rata anak yang belajar di SAU kalau sudah remaja
sekitar usia SMA berhenti berlatih angklung. Ia menilai bahwa salah satu faktor penyebabnya
adalah kurangnya tantangan bagi pemain dan merasa malu kalau harus terus bermain
angklung helaran. Oleh karena itu ia mengemas pertunjukan angklung diatonis yang disebut
sebagai angklung Orkestra. Dalam pertunjukan angklung orkestra, seorang pemain tidak
hanya memainkan satu sampai tiga angklung melainkan bisa mencapai dua oktaf. Tentu saja
hal ini menuntut keterampilan bermain yang lebih tinggi. Tahun 1997, Udjo membanggakan
hasil kerja putranya ini dengan julukan pertunjukan angklung supra modern.
Saat ini pertunjukan di SAU disajikan secara rutin pada pagi hari dan sore hari. Pagi
hari dimulai pukul 10.00 sampai pukul 12.00, dan sore hari pukul 15.30 sampai 17.30. Tidak
jarang dalam satu hari jumlah tamu banyak sehingga ditambah pertunjukan siang pada jam
13.00 sampai jam 15.00. Materi pertunjukan meliputi pertunjukan wayang golek, helaran, tari
tradisional, calung, Arumba, angklung mini, Angklung PaDaeng, bermain angklung bersama,
angklung orkestra, Angklung Jaipong dan menari bersama..
Selain pertunjukan rutin yang digelar di Bale Karesmen, sejak tahun 2000an, juga
dilakukan pertunjukan di luar SAU untuk melayani permintaan dari instansi pemerintah,
swasta maupun perorangan. Salah satu pertunjukan musik angklung yang baru diluncurkan
pada akhir tahun 2011 adalah BABENJO singkatan dari bambu band Udjo. Format
pertunjukan ini terdiri dari angklung melodi, gitar bass, gambang arumba, drum, dan gitar
listrik. Sebenarnya kombinasi alat ini bisa berubah, tergantung kebutuhan namun intinya
merupakan kombinasi antara instrumen bambu dengan alat-alat musik yang lazim digunakan
dalam band. Melalui Babenjo Taufik bermaksud merespon perkembangan industri musik
dengan tetap memperhatikan misi utamanya untuk melestarikan dan mengembangkan musik
bambu. Ia menjelaskan bahwa ia melanjutkan amanah orangtuanya keep the old one create
the new one. Ia menyadari bahwa upayanya ini, bila dipandang dari aspek musikal mungkin
saja tidak disukai atau bahkan ditentang ayahnya kalau saja beliau masih hidup. Taufik
memahami bahwa pak Udjo amat memperhatikan kualitas bunyi yang dihasilkan oleh
kombinasi angklung dengan alat musik lainnya. Dominasi kekuatan suara alat-alat musik
band menjadi alasan mengapa Udjo selalu menentang upaya mencampur adukkan karakter
bunyi suara angklung dengan instrumen yang memilliki kekuatan suara lebih besar seperti
drum dan instrumen musik yang menggunakan listrik sebagai sumber energinya.
Taufik memilih untuk tetap mengembangkan Babenjo karena jenis musik pop adalah
jenis musik yang mendominasi dunia bisnis musik saat ini. Ia berpikir untuk memodifikasi
kombinasi alat musik angklung agar dapat membawakan jenis musik yang makin beragam. Ia
meyakini bahwa dalam melakukan perubahan selalu saja ada pihak yang akan memberinya
perlawanan dan ada pihak yang memberikan dukungan. Ia merasa kuat karena yang
dijalankan adalah amanah ayahnya keep the old one and create the new one.
d. Perkembangan Bentuk Layanan Pendidikan Seni
Bentuk layanan pendidikan seni di SAU yang semula dilakukan oleh Udjo adalah
latihan Angklung untuk keluarga dan masyarakat sekitar. Layanan pendidikan ini kemudian
dikembangkan dengan melibatkan siswa sekolah dasar di sekitar Padasuka. Pelatihan
angklung dilakukan sendiri oleh Udjo sampai sekitar tahun 1980an. Kemudian Udjo mulai
dibantu melatih oleh putra-putranya yakni Sam, Nan, Yayan dan Daeng. Proses ini dapat
berlangsung terus hingga sekarang.
Latihan seni yang dilakukan di SAU menjadi berkembang. Tidak hanya pelatihan
angklung, tapi juga seni lain untuk menunjang pertunjukan wisata. Latihan seni ini antara lain
adalah latihan gamelan, latihan tari Jaipong, Topeng Cirebon, dan Pencak Silat. Bila latihan
angklung dilakukan oleh Udjo dan putra-putranya, maka latihan ini dipimpin oleh pelatih dari
luar.
Berkembangnya permintaan masyarakat terhadap pertunjukan angklung, dan perhatian
masyarakat terhadap SAU, membuat tim manajemen SAU berfikir untuk mengembangkan
sistem pembinaan yang lebih baik. Pembinaan seni yang dikembangkan dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama pembinaan seni internal, yaitu pembinaan seni
yang diperuntukkan bagi anak-anak di saung angklung Udjo. Ke dua adalah pembinaan seni
eksternal, yakni layanan pembinaan seni kepada pihak di luar Saung Angklung Udjo yang
membutuhkan.
Saat ini bentuk pembinaan seni secara internal tidak lagi ditangani langsung semua
oleh putra-putri Udjo, tetapi sudah dilakukan upaya pembinaan yang lebih terstruktur dan
melibatkan alumni maupun pihak luar. Latihan telah dibagi dalam kelompok berdasarkan usia
dan dibuat jadwal secara rutin. Kelompok siswa yang sekolah pagi berlatih siang hari,
sementara kelompok siswa yang sekolah siang berlatih pagi hari.
Pembinaan seni secara eksternal ada yang dilakukan secara rutin sebagai hasil dari
bentuk kerjasama dan ada yang dilakukan secara insidental. Contoh pembinaan seni secara
eksternal yang dilakukan secara rutin adalah kerjasama dengan departemen luar negeri
berupa pelatihan angklung selama tiga bulan bagi siswa asing. Bentuk layanan eksternal
lainnya adalah pembinaan angklung bagi orang lanjut usia (lansia) di Universitas Padjajaran
Bandung, maupun bagi penderita stroke. Bentuk layanan pembinaan yang bersifat insidental
misalnya pelatihan angklung bagi anak-anak down sindrom kerjasama dengan ISDI (Ikatan
Syndrom Down Indonesia), pembinaan angklung bagi anak yang bekerja sebagai pemulung
kerjasama dengan “Sekolah Kami - Bintaro” yakni sebuah sekolah yang sengaja dibentuk
oleh seorang ibu yang tertarik untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak yang
bekerja sebagai pemulung.
Keberhasilan SAU melakukan pembinaan seni, tidak lepas dari penciptaan atmosfir
berkesenian. Atmosfir berkesenian di SAU terbentuk karena empat faktor. Pertama yakni
pemilihan aktivitas seni yang didominasi oleh kesenian masal yakni kesenian yang
melibatkan banyak orang. Ke dua penataan lingkungan belajar. Faktor ke tiga yakni strategi
pembinaan yang dikembangkan dan faktor ke empat yakni integrasi antara aktivitas
pendidikan seni, pertunjukan wisata dan produksi alat musik.
Penggunaan angklung sebagai medium dalam mendidik keluarga dan masyarakat,
memberikan nilai tambah bagi berkembangnya nilai budaya lain. Bermain angklung secara
masal, membutuhkan kerjasama dan komunikasi batin antara individu yang satu dan lainnya.
Kelebihan permainan musik angklung secara masal, adalah kebermaknaan satu bunyi dalam
keseluruhan bunyi musik yang dihasilkan. Hilangnya satu nada dalam sebuah permainan
musik angklung akan berdampak pada berkurangnya keutuhan karya. Bila permainan tidak
dilakukan secara kompak, maka akan semakin banyak nada yang hilang, muncul ruang waktu
yang kosong, dan sebuah karya musik seperti ‘gigi yang ompong’. Gigi bersih utuh dan
lengkap akan nyaman dipandang, demikian pula dengan karya musik yang dimainkan dengan
bersih dan utuh akan nikmat didengar. Diperlukan suatu usaha untuk menghasilkan keutuhan
lagu, dibutuhkan kesabaran dalam berlatih, dibutuhkan kerjasama untuk saling membantu dan
dibutuhkan disiplin serta saling menghargai kapan ia menggoyangkan angklung dan kapan
angklungnya harus diam. Bila pemain angklung egois semua, maka sulit menghasilkan karya
yang diinginkan.
Bentuk kesenian yang melibatkan orang banyak menjadi karakter seni pertunjukan
yang dipelajari dan disajikan dalam wisata budaya di SAU. Hal ini menjadi faktor
instrumental yang amat penting dalam membentuk sikap kerjasama, mandiri, dan saling
menghargai. Melalui kegiatan berlatih seni yang digeluti setiap hari mereka dilatih mengolah
rasa empati, kemampuan bekerjasama, dan disiplin untuk menghasilkan pertunjukan seni
yang berkualitas. Kegiatan ini membentuk komunikasi batin yang dipupuk dan dibina dengan
baik, sehingga mampu mempribadi dalam diri anak didik di SAU.
Faktor kedua yang terkait atmosfir berkesenian adalah penataan lingkungan belajar.
Lingkungan di SAU menggambarkan kedekatan dengan alam. Rumpun bambu, taman
dengan lapang hijau, saung-saung kecil dari bambu, bunga-bunga anggrek dan tanaman hias
yang menarik, kandang kambing yang bersih, memberikan kenyamanan tersendiri, yang
kontras dengan situasi keramaian kota di luar SAU. Anak-anak yang berlatih kesenian di
SAU juga senang bermain di taman belakang SAU. Mereka bisa bermain bulutangkis,
enggrang, mengamati ikan di kolam, dan petak umpet. Sebagian aktivitas berlatih dilakukan
dalam ruang terbuka sehingga memungkinkan siswa lain atau bahkan keluarganya melihat
bagaimana siswa berlatih. Sambil berkelakar Taufik (maret 2010) menjelaskan bahwa
keberadaan anak usia dini yang ikut aktivitas berkesenian di SAU karena sejak bayi dalam
kandungan ibunya mereka juga sudah ikut bermain angklung. Seperti dijelaskan pada Bab
empat, bahwa suasana belajar seni di tempat terbuka memungkinkan terjadinya enkulturasi.
Alat musik seperti angklung, arumba, kendang, dan gamelan biasanya tetap ada di
Bale Karasmen. Di sini anak-anak dapat masuk dan keluar dengan leluasa karena bentuk Kale
Karasmen adalah arena seperti saung besar yang beratap tanpa ada dinding penyekat.
Seperangkat angklung tradisional juga sering diletakkan di salah satu saung terbuka yang ada
di halaman belakang. Sejumlah anak sering datang lebih awal sebelum jam latihan, mereka
bermain-main musik sendiri, mencoba-coba nada meniru musik yang pernah mereka dengar.
Manajemen SAU membiarkannya agar anak-anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi
sendiri dengan bebas.
Sistem pengelolaan SAU yang didasari oleh silih asih, silih asuh dan silih asah, juga
berkontribusi terhadap pembentukan karakter individu yang terlibat dalam aktivitas produksi
seni wisata budaya di SAU. Berdasarkan studi Shidiq (2007) diperoleh temuan bahwa
karyawan di PT SAU memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang efektif.
Kemampuan tersebut antara lain tercermin dari sikap terbuka dalam memberi informasi dan
menerima kritik, memiliki empati yang baik tercermin dari keperdulian terhadap persoalan
yang dihadapi rekan kerja, tidak memotong pembicaraan teman dan saling membantu dalam
menghadapi persoalan. Selain itu juga memiliki sikap mendukung terhadap tugas dan peran
masing-masing karyawan, misalnya mau menerima penjelasan rekan kerja terkait tugas
tertentu, menghargai perbedaan pandangan dalam menjalankan tugas, dan lebih
mengutamakan kesetaraan individu sebagai sesama manusia dibandingkan perbedaan jabatan.
Karakteristik ini sesuai dengan budaya kerjasama atau gotong-royong yang dimililki
masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi penelitian, tampak bahwa putra-putri
Udjo memiliki karakter sederhana, menghargai keberadaan orang lain, bersikap terbuka,
senang bekerjasama dan mau menerima kritik maupun saran. Karakteristik umum yang
nampak pada putra-putri Udjo maupun anggota SAU merupakan identitas yang menjadi
indikator munculnya ketahanan budaya. Seperti dijelaskan oleh McCubin dalam VanBreda
(2011) bahwa munculnya karakter atau identitas budaya menunjukkan indikasi adanya
ketahanan budaya.
Faktor ketiga yakni strategi pembinaan yang didasari oleh nilai budaya Sunda dan
konsep pendidikan musik yang dipahami Udjo melalui proses pendidikan sejak jaman
Belanda hingga pendidikan Sekolah Guru di jaman kemerdekaan. Strategi pembinaan
didasari oleh nilai cinta yang diwujudkan dalam bentuk silih asih, silih asuh dan silih asah.
Penggunaan kalimat perintah melalui bentakan, menyalahkan, atau memukul anak yang salah
dalam memainkan musik tidak lagi hadir dalam proses pembelajaran angklung di SAU.
Upaya pembinaan yang dilakukan lebih menekankan pada berkembangnya rasa senang
bermain angklung dan rasa cinta pada seni budaya. Sistem reward and punishment
diberlakukan namun dalam bingkai kasih sayang.
Reward berupa pemberian beasiswa bagi anak-anak yang menunjukkan komitmen
tinggi dalam berlatih, memberi kesempatan mengikuti pertunjukan bagi yang telah menguasai
permainan musik dengan baik, memberi point reward yang dapat ditukarkan dengan sejumlah
uang sesuai besaran point yang diraih, serta memberi kesempatan untuk menjadi duta
Indonesia dalam pertunjukan di luar negeri. Punishment yang diberlakukan adalah mendapat
point minus bagi yang terlambat datang berlatih atau membuang sampah sembarangan. Tidak
diikutkan dahulu dalam pertunjukan bila belum menguasai permainan dengan baik.
Pembinaan seni angklung juga dilakukan secara bertahap. Contohnya anak-anak yang
baru masuk akan mengikuti pembelajaran angklung dengan cara meniru seniornya.
Kemudian bermain satu angklung bersama teman-teman yang jumlahnya bisa mencapai 40
orang sambil membaca partitur. Bila sudah mampu akan diberi tanggung jawab yang lebih
yakni bermain beberapa angklung sambil membaca partitur. Semakin terampil memainkan
angklung dan berkembang kemampuan musikalnya seorang anak akan dipercaya untuk
memainkan satu set angklung dengan beberapa pemain lainnya, dan akhirnya memainkan
satu set angklung dalam paduan musik yang menggabungkan instrumen lain seperti dalam
pertunjukan kesenian arumba, dan angklung orkhestra.
Faktor ke empat adalah integrasi antara pendidikan, pertunjukan dan produksi alat
musik, khususnya angklung. Ketiga hal ini dikelola dalam satu payung manajemen, sehingga
perkembangan maupun kebutuhan antara ketiga hal ini dapat terpantau dengan baik. Sektor
pendidikan membutuhkan dukungan bidang pertunjukan agar anak-anak yang telah
mengikuti proses pembelajaran termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya. Sebaliknya
sektor pertunjukan amat memerlukan sumberdaya pemain yang disuplai oleh bidang
pendidikan, dan kebutuhan peralatan serta pemeliharaannya dari sektor produksi. Sektor
produksi tidak hanya dibutuhkan dalam konteks pendidikan angklung di SAU namun juga
untuk melayani kebutuhan sekolah dan masyarakat lainnya.
d. Ketahanan Budaya
Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan pionir wisata seni budaya di kota Bandung
yang terus bertahan dan berkembang selama kurang lebih empat puluh enam tahun. Di sini
ada pertunjukan seni, pelatihan seni, produksi alat musik bambu, souvenir shop, guest house,
musholla, dan rumah makan. Setiap hari sekitar lima ratus orang terlibat aktif dalam produksi
wisata senibudaya ‘Sunda’ di SAU. Tahun 2011 dalam satu hari frekuensi pertunjukan di
dalam SAU mencapai tiga sampai empat kali. Jumlah pengunjung setiap pertunjukan bisa
mencapai dua ratus sampai tiga ratus orang. Selain itu mereka juga melayani pertunjukan di
luar SAU baik di dalam maupun di luar negeri.
Ketahanan budaya muncul dalam kemampuan melestarikan budaya silih asih, asah
dan asuh bagi pengembangan seni, budaya, kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan
hidup. Kemampuan mengembangkan seni dapat diamati dari ragam instrumen angklung yang
dikembangkan, ragam layanan pendidikan angklung, ragam kemasan pertunjukan angklung
dan seni Sunda lainnya, Kemampuan mengembangkan budaya nampak dalam melestarikan
sikap kerjasama, kerja keras, mandiri, dan kreatif dalam aktivitas produktif yang beragam.
Aktivitas produktif yang dimaksud antara lain dalam mengelola program latihan, mengelola
pertunjukan, mengelola kebersihan dan keasrian lingkungan, mengembangkan produksi
angklung, dan lain-lain. Kemampuan mengembangkan kesejahteraan sosial nampak pada
upaya pemberian beasiswa bagi warga sekitar yang aktif berkesenian di SAU, bantuan
layanan Posyandu bagi warga Padasuka, pembinaan Karangtaruna di wilayah Padasuka,
penyediaan tiga mushola untuk peribadatan muslim warga dan pengunjung SAU, serta
penggunaan lapangan parkir SAU untuk shalat Idul Adha maupun Idul Fitri. Kemampuan
melestarikan lingkungan hidup nampak dalam bentuk pengelolaan sampah secara mandiri,
pembuatan air bersih secara mandiri, perlindungan satwa burung di lingkungan SAU, dan
penghijauan di dalam SAU serta di daerah Padasuka.
C. KESIMPULAN
Udjo Ngalagena (1929 – 2001) telah membuktikan bahwa dengan sikap ulet, kritis,
visioner, fleksibel dalam membangun hubungan sosial, dan integratif terhadap faktor
eksternal yang bersifat membangun, ia berhasil mengembangkan ketahanan budaya.
Kemampuan untuk membudayakan nilai silih asih, asuh dan asah melalui pembinaan seni,
telah berimplikasi pada peningkatan kualitas pada ragam sektor kehidupan. Berkembangnya
seni budaya, kesantunan perilaku, kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat, merupakan
sebagian bukti ketahanan budaya yang tampak di SAU.
Kerja keras Udjo dalam membumikan dan memuliakan angklung masih memerlukan
bantuan para pendidik seni di Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa angklung belum
membumi sebagai media pendidikan seni di Indonesia. Semoga artikel ini dapat membangun
semangat untuk memberdayakan seni tradisi Indonesia dalam proses pembangunan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Baumrind, D. (1973). “The Development of Instrumental Competence Through Socialization”. In Minnesota Symposia on Child Psychology (vol.7). Mineapolis: University of Minnesota Press.
Bronfenbrenner, U. (1989). Ecological Systems Theory. In R. Vasta (Ed.). Anuals of Child Development, 6, 187-251.
Daszko, Marcia. & Sheinberg, Sheilla. (2005). Survival is Optional, Only Leaders With Knew Knowledge Can Lead The Transformation. [Online].Tersedia: http://www.Theory of Transformation. [11 januari 2009]
Dewantara, Ki Hajar. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.
Elmubarok, Zaim. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta.
Hatta, Meutia F. (2008). Membangun Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Kesenian. [Online]. Tersedia: http://www.bappenas.go.id / . [20 Desember 2009].
Henderson, N. & Milstein. (2003) Resilliency in Schools Making It Happen for Students and Educators. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Jorgensen, Estellle. R. (2003). Transforming Music Education. Bloomingtoon, Indiana: Indiana University Press.
Lubis, Mochtar. (1988). Transformasi Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Haji Masagung.
Machyar A.K.,R. (1940). Pangawikan Rinenggaswara (Ringkesan Elmuning Kanajagan). Jakarta: Noordhoff.Kolff.N.V.
Masunah, J. dkk. (2003). Angklung di Jawa Barat Sebuah Perbandingan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional UPI.
Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Mussen, P. H. et.al. (1992). Perkembangan dan Kepribadian Anak. Jakarta: Arcan.
Narawati, Tati. et.al. (2009). Seni Wisata : Kemasan Indrustri Kreatif di Jawa Barat. Laporan Penelitian Unggulan Strategis Nasional DIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Parson, Talcott. (1937). The Structure of Social Action. New York: McGraw-Hill.
Puspitawati, Herien (2009). Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Pendidikan Keluarga. Bogor : Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia – IPB.
Shidiq, Arif H.J. (2011). Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi di Lingkungan PT. Saung Angl;ung Udjo Bandung. Skripsi pada Universitas Pajajaran Bandung: tidak diterbitkan.
Spranger, E. (1950). Lebensformen.Tubingen: Neomatius.
Sumardjo, Jakob. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda -Tafsir-tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.
Superka, D.P. (1976 ). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.
Supriyatna, Nanan. (2000). Biografi Seniman Udjo Ngalagena. Thesis Magister. pada Universitas Gadjah Mada: tidak diterbitkan.
Suryabrata, Sumadi. (2005). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafii, Sulhan. (2009). Udjo Diplomasi Angklung. Bandung: Gramedia.
UNESCO. (1991). Values and Ethics and the Science and Technology Curiculum. Bangkok: Principal Regional Office for Asia and the Pasific University Press.
VanBreda, A.D. (2001). Resilience Theory: A Literature Review. [Online]. Tersedia: http://[email protected] [3 oktober 2011].
Biodata Penulis:
1. Dosen Jurusan Pendidikan Musik – FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.2. Sarjana Pendidikan Musik – IKIP Jakarta 19873. Magister Kajian Wilayah Amerika – Universitas Indonesia 2000.4. Mahasiswa Program Doktor Prodi Pendidikan Umum/Nilai SPS UPI.5. Peneliti pada Pusat Studi Pendidikan Seni Universitas Pendidikan Indonesia