Basmala Publishing -...

18
Afzal Farid al-Fahmi ● Alin Rasyidah ● Ana Rahmawati ● Angin Lembut ● Aniyatusshalihah ● Eva Aishalia Majid ● Fathul Qorib ● Fendi Ferliana Ishadi Galuh Rastra Cotami Lailatul Muizzah Maria Ulfa Nivi Elsandy Rusydi Nuruddin Titim Nuraini Yanuari Dwi Prianto BUNGA RAMPAI Spirit of Writing Penerbit Basmala Publishing

Transcript of Basmala Publishing -...

Afzal Farid al-Fahmi ● Alin Rasyidah ● Ana Rahmawati ● Angin

Lembut ● Aniyatusshalihah ● Eva Aishalia Majid ● Fathul Qorib ● Fendi ● Ferliana Ishadi ● Galuh Rastra Cotami ● Lailatul Muizzah ●

Maria Ulfa ● Nivi Elsandy ● Rusydi Nuruddin ● Titim Nuraini ●

Yanuari Dwi Prianto

BUNGA RAMPAI Spirit of Writing

Penerbit

Basmala Publishing

2

BUNGA RAMPAI Spirit of Writing

Oleh: FLP Bangkalan 2012

Copyright © 2012 by FLP Bangkalan

Penerbit

(Nama Penerbit)

(Website)

(Email)

Editor:

Bagus Tri Handoko

Desain Sampul:

Sigit Agus Purnomo

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

3

Meretas FLP Bangkalan ;Antara Harapan dan Tantangan

Oleh Fathul Qorib

Suatu hari, sejarah kepenulisan di Kabupaten Bangkalan

khususnya, dan Madura umumnya, tidak akan bisa dilepaskan

dari keberadaan Forum Lingkar Pena Bangkalan; begitulah

keinginan saya ketika pertama kali pembicaraan mengenai

perlunya FLP Bangkalan didirikan mendapat tanggapan yang

serius dari teman-teman Lembaga Dakwah Kampus UTM.

Waktu itu saya masih aktif di Sekolah Menulis Bangkalan yang

di asuh oleh Timur Budi Raja, jadi saya ikut bergembira

mengingat Forum Lingkar Pena adalah komunitas kepenulisan

yang sayapnya lebih luas dan tidak diragukan lagi visi-misi

yang di usungnya.

sejarah mengenai FLP Bangkalan memiliki keterkaitan yang

erat dengan keberadaan LDK MKMI yang menjadi pengawal

keislaman di kampus UTM. Bahkan dari LDK-lah pada awalnya,

FLP Bangkalan memiliki kepengurusan sekaligus anggota yang

solid. Jadi sebenarnya banyak orang yang harus saya sebutkan

dalam perencanaan berdirinya FLP Bangkalan ini. Jika ini baik

untuk disebutkan, -tanpa mengurangi kesadaran saya bahwa

penyebutan nama-nama kadang bisa bersifat sangat subjektif-,

maka diantaranya adalah; Yanuari Dwi Prianto (Ketua Umum

LDK 2010), Agil Asyrofi (Ketua Umum LDK 2011), Fendi

(Redpel Buletin Minhaj), Habiburrahman (Sekretaris LDK), Yogi

Gunawan (Anggota LDK), dan saya sendiri yang saat itu

bekerja di Dept. Pers & IT juga Pimred Buletin Minhaj. Saya

tidak menafikan bahwa ada beberapa dari perintis awal yang

perempuan, namun lagi-lagi, saya bukan pengingat nama yang

4

baik bagi perempuan. Diantaranya adalah; Yuliana Setia

Rahayu, Uslifatul Jannah, (Sebutkan lagi Fendi, 1 atau 2 orang)

Hingga pada tanggal 12 Desember 2011, rapat perdana di

gelar di Sekretariat LDK MKMI untuk membicarakan

pembentukan FLP Bangkalan secara lebih serius. Disusul pada

hari Rabu, 28 Desember 2011, akhirnya FLP Bangkalan secara

de facto terbentuk dengan saya sebagai Ketua Umum

pertamanya, lalu memilih Yuliana Setia Rahayu sebagai Ketua

Harian. Perjalanan dari pembentukan FLP secara de facto

menuju de yure (peresmian) ini persis sama dengan sejarah

kemerdekaan Indonesia, dalam artian getol semangat yang

harus dinyalakan dan dijaga kuat-kuat mengingat anggota awal

FLP Bangkalan merupakan orang-orang bertipe multi

organisasi.

Tapi kehendak Allah mestilah berlaku untuk kebaikan ini.

Akhirnya launching FLP Bangkalan diselenggarakan juga pada

hari Senin, 2 April 2012 dengan menghadirkan langsung Ketua

Umum FLP Pusat, Intan Savitri (nama pena; Izzatul Jannah)

dan Ketua FLP Jawa Timur, Lutfi Hakim (nama pena; Adam

Muhammad). Acara launching FLP Bangkalan ini tergolong luar

biasa karena jarang Ketua Umum Pusat bisa dan mau datang

pada Launching FLP Cabang.

Maka ditetapanlah tanggal 2 April 2012 yang bertepatan

dengan tanggal 10 Jumadil Awal 1433 sebagai hari lahir Forum

Lingkar Pena Cabang Bangkalan. Peristiwa ini yang akan

menjadi tonggak sejarah bagaimana FLP Bangkalan akan

menjadi wadah bagi penulis-penulis muda yang hendak

membawa sinar peradaban yang baru. Ini adalah salah satu

5

jalan mulia yang harus di tempuh, karena kita tengah

memasuki gelombang „abad bahasa‟ yang semua ideologisasi

bersumbu pada pengolahan bahasa kita.

Yang harus di catat, tantangan dari FLP Bangkalan pada

selanjutnya, bukan hanya pada bagaimana kita tetap konsisten

melakukan kajian dan menulis. Namun lebih dari itu,

memasukkan ide-ide dasar mengenai pencerahan kepada dunia

yang tidak lagi seimbang ini. Mau tidak mau, kita pada akhirnya

harus terlibat dalam perang tulisan yang telah berkecamuk

sejak ditemukannya media massa. Disanalah pesan diolah dan

dikembangkan untuk mempengaruhi massa yang besar lalu

merubah pandangan mereka sesuai dengan keinginan orang-

orang tertentu.

Sebagai organisasi baru yang merupakan bagian dari

organisasi yang lebih besar, FLP Bangkalan akan menapaki

jalan yang panjang dan berliku untuk menemukan jati dirinya.

Yang saya harapkan sebagai orang tua, pertama-tama adalah

konsistensi pada setiap visi yang telah dicanangkan pada awal

berdirinya FLP Bangkalan. Titik poinnya, tentu, saja, jangan

berhenti menulis hingga kita bisa membuat dunia menjadi lebih

baik. Tak peduli kata-kata akan menggaung dalam kegelapan,

selama pikiran masih sadar, akan kita buat dunia menjadi

bersinar.

Pada suatu hari nanti, kita akan melihat bahwa sejarah

kepenulisan di Bangkalan khususnya, dan di Madura umumnya,

benar-benar tidak bisa dilepaskan dari keberadaan FLP

Bangkalan.

6

*Ketua Umum FLP Bangkalan 2011/2012.

Bukunya yang telah terbit, Perempuan Pejalan Kaki.

Penulis dapat di hubungi di www.fathulqorib.com

7

Esai

8

9

SPIRIT OF WRITING

Oleh : Yanuari Dwi Prianto

Berawal dari lembar demi lembar daun, kepingan batu,

sebatang balok kayu, dan beberapa helai pelepah kurma, buku

(baca: kitab) itu, tanpa disadari, menjadi buku best seller,

menjadi rujukan dan dibaca oleh miliaran penduduk bumi. Buku

itu adalah Alquran, kitab suci agama Islam, kitab itu turun tidak

langsung berupa sejilid buku, tetapi berupa kalamullah secara

berangsur selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, ayat demi

ayat.

Bermula hanya dengan menyangkut di otak, kemudian tertulis,

berserak di beberapa media seadanya, pelepah kurma,

kepingan batu, kulit atau daun kayu, pelana, hingga kulit dan

tulang binatang. Hingga akhirnya pada masa Abu Bakar, ada

sebuah spirit, sebuah semangat untuk menuliskan ulang dan

membukukan sehingga apa yang tadinya hanya berupa hafalan

dan serakan puing lembaran, terkumpul menjadi satu hingga

waktu yang lebih menjanjikan tanpa menjadikan lupa sebagai

momok yang mengkhawatirkan.

Spirit itu adalah perang, Perang Ridda yang banyak

menewaskan para penghafal Alquran juga penulisnya. Spirit itu

adalah kekhawatiran akan hilangnya Alquran dari peredaran.

Spirit itu adalah sebuah upaya untuk mempertahankan dan

mengabadikan kalamullah menjadi sebuah tulisan di lembaran

agar bisa tersampai kepada berlapis generasi ke depan.

Adapun Abu Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi‟i atau yang

terkenal dengan Imam Syafi‟i yang sejak umur tujuh tahun

10

telah menghafal Alquran, dan ketika berumur 12 tahun telah

mampu menghafal kitab dari gurunya, Imam Malik, yaitu Al-

Muwattha, juga mempunyai sebuah spirit yang sama. Sebuah

spirit yang muncul karena kekhawatiran akan lupa dari setiap

hadist dan ilmu yang dihafal. Sebuah spirit untuk mentransfer

pengetahuan hingga tak lekang ditelan zaman dan dinikmati

setiap peradaban.

Dan itulah spirit of writing, sebuah motivasi dan latar belakang

penulisan buku-buku besar, buku yang mampu menjadi

rujukan berjuta ilmu, buku yang menjadi pedoman hidup di

setiap waktu, dan buku yang menjadi pengabadi penulisnya

dari waktu ke waktu.

Menulis, agaknya menjadi sebuah kebiasaan tanpa terasakan,

semua lapisan masyarakat, lapisan umur, lapisan profesi, dan

lapisan pendidikan mampu untuk membuat sebuah tulisan.

Mulai dari surat, diari, artikel, buku laporan, skripsi, SMS,

update status di media sosial, ataupun sekadar corat-coret

tembok di dinding-dinding jalanan. Tetapi yang menjadi

masalah sekarang bukan pada bisa tidaknya orang itu menulis,

tetapi lebih pada muatan tulisan itu, apakah tulisan itu bisa

memiliki makna bagi dunia? Apa tulisan itu dapat menjadi

inspirasi dan pencerah bagi orang selain kita? Itu yang tidak

sembarang orang bisa. Hanya orang yang memiliki motivasi

kuat untuk menulis sajalah yang bisa melakukannya, hanya

seorang yang memiliki spirit of writing sajalah yang mampu

mengubah dunia dengan penanya.

Menulislah! menulislah dengan spirit of writing, temukan

motivasi itu, dapatkan semangat itu, dapatkan spirit itu, spirit

11

of writing, sebuah motivasi diri untuk menulis, karena

sesungguhnya, menulis bukan hanya merangkai huruf demi

huruf menjadi kata, melekatkannya dengan kata lain hingga

menjadi kalimat, mengumpulkan kalimat demi kalimat untuk

menjadi paragraf. Lebih dari itu, ada sebuah nilai yang

terkandung di dalamnya, terdapat sebuah ruh yang harus

tersampaikan dan dicerna oleh pembacanya.

Mulailah mendapatkan spirit of writing itu dari Iqra‟ (bacalah,

membaca), bukan sekadar membaca tetapi Iqra’

bismirabbikaladzi kholaq (bacalah dengan menyebut nama

Tuhanmu yang menciptakan), membaca dengan memulai niat

untuk sebuah kebaikan, membaca seraya meluruskan niat

untuk senantiasa mencari ridha Allah SWT. Karena bergantung

dari niatlah sebuah aktivitas itu akan menuai hasilnya, jika kita

berniatkan suatu yang buruk niscaya akan mendapatkan hasil

keburukan pula, bergitu juga sebaliknya. Innamal a’maalu bin

niyaat.

Selanjutnya, kholaqol insaana min alaq (Dia telah menciptakan

manusia dari segumpal darah), belajarlah untuk memahami

dan menelaah potensi diri, kelebihan dan kekurangan,

kesukaan dan kebencian. Pertajam kelebihan dan minimalisasi

kekurangan. Upgrade kualitas diri, dari yang ruhiy hingga fikri

juga jasadi.

Iqra’ wa rabbukal akram (bacalah, dan Tuhanmulah yang maha

mulia), telaah kehidupan di sekeliling, setiap sisi, setiap sudut.

Bersyukurlah dengan segala karunia yang Allah berikan.

Siapkan setiap potensi yang Allah beri, harta, kesehatan,

kecerdasan, dan kepekaan perasaan. Telaah sekeliling dunia,

12

cari sebuah sisi untuk didalami, cari sebuah masalah untuk

mencari solusi, dan cari motivasi untuk menyampaikan sebuah

kebaikan bukan hanya terbatas pada diri tetapi hingga seluruh

negeri dan berlipat generasi.

Alladzi „allamal bil qolam (yang mengajar manusia dengan

pena), tuliskan, tuliskan apapun yang terbesit dalam perasaan,

tuliskan setiap kata dan ide yang terlintas dalam ingatan,

tulislah apapun itu, tulislah tanpa ragu, karena Allah

memberikan kita sebuah kelebihan, „almal insaana maa lam

ya’lam (dia mengajarkan manusia apa yang tidak

diketahuinya). Setelah menulisnya koreksi, evaluasi dan

diskusi. Koreksi, baca ulang cari kesalahan dan kekurangan.

Evaluasi, dari kekurangan cari solusi, rangkai ulang diksi. Dan

diskusi, sampaikan kepada teman, kenalan, dan orang yang

berpengalaman, minta masukan, nasehat juga saran. Ulangi

secara berurutan hingga sempurna.

Temukan spiritmu, spirit of writing, dan menulislah. Hingga

tulisanmu menjadi sejarah.

Bangkalan, 28 Oktober 2012

13

MENULIS

Oleh: Fathul Qorib

Menulis merupakan kegiatan mendokumentasikan pemikiran.

Realisasi nyata dari sesuatu yang imajinatif –dalam arti tidak

bisa di indera, menjadi benda yang riil, nyata, dan bisa

diindera. Karena mau tidak mau, gagasan tidak akan bisa

diketahui kalau ia tidak diwujudkan. Entah itu lewat tulisan,

lewat suara, lukisan/gambar, patung, ataupun video.

Jadi inti menulis hampir sama dengan kegiatan fotografi atau

sinematografi dalam proses kreatif membentuk ide/gagasan

menjadi sesuatu yang nyata. Untuk membuat karya yang bisa

diakui secara layak, dibutuhkan kesempurnaan proses dan

hasil. Ibarat membuat patung, maka tidak akan bisa diketahui

sosoknya jika hanya terdiri dari dada dan tangan saja.

Kelau mau dikatakan sulit, menulis memang pekerjaan yang

sulit. Dibutuhkan banyak teknik menulis dan komitmen diri

untuk menyelesaikan satu buah tulisan. Belum lagi masalah

pengetahuan, referensi, kompleksitas, dan hal-hal yang bersifat

ideologis maupun teknis. Itu jika kita mau yang sulit. Jika mau

yang mudah, menulislah berdasarkan pengalaman. Karena,

kata Timur Budi Radja, pengalaman adalah inti dari menulis.

Pengalaman ini memiliki peran penting dalam membentuk

sebuah tulisan. Ia seperti awal pengembaraan untuk

mendapatkan feel dan taste yang akan membedakan kita

dengan pengarang yang lain. Jadi, sesungguhnya menulis yang

paling efektif adalah menulis berdasarkan pengalaman, karena

ia mampu membawa pembaca seakan-akan melihat sendiri

14

bagaimana pengalaman penulis tersebut –hal ini mirip dengan

teknik menulis deskriptif bukan? Yang perlu digaris bawahi

adalah pengalaman tidak hanya sebatas fisik saja, namun juga

imajinatif. Jadi kita bisa membagi pengalaman ini menjadi dua

garis besar; 1. Pengalaman nyata/fisik 2. Pengalaman

Imajinatif/non fisik.

Pengalaman fisik bisa kita lihat pada tulisan-tulisan seputar

artikel perjalanan yang ditulis beberapa orang seperti Claudia

Kaunang dan Trinity. Ada juga Laskar Pelangi yang ditulis oleh

Andrea Hirata, serial buku Chicken Shoup, bahkan karya sastra

novel seperti A Child Called It oleh Dave Pelzer dan Musashi

oleh Eiji Yoshikawa1. Sedangkan untuk pengalaman imajinatif,

kita bisa melihatnya pada hampir seluruh karya sastra yang

beredar di seluruh dunia. Di sini bisa kita lihat, bahkan

pengalaman imajinatifpun bisa menjadi sangat nyata seperti;

Harry Potter oleh JK Rowling, The Davinci Code oleh Dan

Brown, Count of Monte Cristo oleh Alexnder Dumas, dan masih

banyak lagi.

Saya sepakat dengan pendapat bahwa menulis itu bukan bakat

alam. Ia bukan sesuatu yang diadakan oleh Pencipta kita,

namun lebih kepada usaha-usaha kita untuk membuat diri kita

mampu menjadi penulis. Jadi saya ulangi lagi, menulis itu

butuh kerja keras dan ketekunan. Namun disadari ataupun

tidak, dari sekian banyak orang yang ada, berapa banyak dari

mereka yang menulis denan ketekunan yang luar biasa?

1 Kecuali Musashi yang merupakan novel berdasarkan fakta sejarah. Meskipun bukan pengalaman pribadi pengarangnya, namun sebuah fakta

(bukan imajinasi) bisa menjadi dasar yang kuat untuk membentuk cerita. Sebagaimana Laskar Pelangi adalah kisah nyata yang imajinatif.

15

Bahkan yang memiliki bakat menulis saja banyak yang gugur

ketika berhadapan dengan keyboard laptopnya, apalagi yang

tidak memiliki bakat? Jadi, saya memiliki kesimpulan bahwa

menulis itu sama dengan pekerjaan lain, tidak lebih. Ia sama

dengan memotret, ia sama dengan menghitung, ia sama

dengan belajar komputer, ia sama dengan belajar mesin

sepeda motor, ia sama dengan kuliah. Karena penulis pun tidak

bisa membenahi sepeda motornya yang rusak. Dan

fotograferpun belum tentu bisa menulis tentang fotonya sendiri.

Apalagi ahli matematika, juga belum tentu bisa menulis

biografinya.

Intinya, kalau ingin bisa menulis ya harus tekun. Kita mesti

kerja keras untuk berkomitemen melatih diri. Entah berbakat

ataupun tidak, kalau tekun kita pasti akan menghasilkan

sebuah tulisan yang layak untuk ditunjukkan ke orang lain.

Kritik pasti akan selalu ada, bahkan pemenang Nobel Sastra

“Orhan Pamuk” untuk novelnya My Name Is Red-pun tidak

lepas dari kirtik dan kecaman sebelum ia menjadi besar.

Apalagi si Pramoedya Ananta Toer yang bahkan terkenal sebab

Trilogi Bumi Manusia-nya yang ditulis di dalam Penjara Pulau

Buru, dia pun di kecam ramai-ramai –bahkan hingga sekarang.

Menulis Bukan Berak

Menulis sama dengan berak. Istilah itu kerap kita dengar dari

para penulis senior dan diyakini begitulah adanya. Sebenarnya

istilah tersebut muncul untuk memberi semangat kepada para

pemula agar rajin membaca. Karena apa yang kita tulis sangat

dipengaruhi apa yang kita baca. Untuk itu ada istilah lain dirimu

adalah apa yang kau baca. Jadi artinya adalah, jika ingin

16

menulis yang berkualitas, membacalah buku yang berkualitas.

Namun itu tidak mesti menjadi jika ingin berakmu berkualitas,

maka makanlah makanan yang berkualitas. Mana ada berak

berkualitas?

Itulah mengapa, Ajib Rosidi mengatakan kepada Pramoedya

“Kau tidak menulis Pram, kau berak”. Saya yakin, Ajib Rosid

sangat tahu kalau menulis dan berak itu berbeda. Bahwa Pram

pada mulanya bukan penulis yang baik, itu benar, karena

secara genre, Pram tidaklah sama dengan penulis lainnya. Atau

bahkan sebaliknya, bahwa Ajip sedang tidak tahu bahwa

sebenarnya Pram adalah calon penulis besar dengan gagasan

sosial realisme-nya. Meskipun Ajib Rosdi sendiri merupakan

pembaharu karya sastra modern Indonesia.

Kebutuhan membaca itu, yang benar adalah sama dengan

kebutuhan makan. Hal ini bisa dijalankan kedalam tiga bentuk :

1. Jika ingin tulisan kita bagus maka membacalah yang

banyak;

2. Jika ingin menulis menggunakan genre tertentu maka

bacalah genre tersebut;

3. Jika ingin menulis seperti seorang tokoh tertentu, maka

bacalah karya-karyanya.

Biasanya orang-orang hanya menjalankan disiplin menulis

secara parsial. Yaitu membaca saja tanpa mau menulis. Atau

menulis saja tanpa mau membaca. Padahal seharusnya

komposisi membaca dan menulis itu 3:1, read-read-read-write.

Membaca karya orang lain juga akan memberikan keluasan

ilmu pengetahuan sehingga bisa digunakan data dan

17

perbandingan ketika kita akan menulis dengan tema yang

sama. Pun, membaca bisa memperbanyak perbendaharaan

kata sehingga tidak kehilangan kata-kata saat ditengah jalan.

Jadi, bisahkah dipisahkan antara menulis dan membaca?

15 Fabruari 2012

18