Balance of Power

22
Balance of Power Dalam teori hubungan internasional : realisme, konsep balance of power merupakan perkembangan ide dasar dari sebuah konsep power. Thucydides menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan serangan Peloponnesian War pada abad 18. Sementara Ernst Haas mengemukakan bahwa ada 4 syarat badi eksistensi sistem ”balance of power”, yaitu : a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritas b. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem c. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langka d. pemahama implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka. Terlepas dari perbedaan teori ”balance of power”, ada satu implikasi bahwa perubahan relatif kekuasaan politik dapat diamati dan diukur. (Wright, 1965: 743) Secara kondisional, sistem balance of power dianggap berada di antara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos). Dalam tatanan dunia, membutuhkan suatu otoritas pusat yang mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor politik. Ketidakteraturan dunia berarti aktor politik dapat survive berdasarkan hukum rimba, istilah yang terkuat berlaku di sini. Kurangnya lembaga global yang kuat bisa lebih meningkatkan perlindungan terhadap kedaulatan para partisipan sekaligus melemahkannya. Contoh konkrit : adanya bipolaritas perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet era perang dingin (1945) yang berakhir unsur unilateral AS sebagai pemenang. Namun, jika direlevansikan keadaan saat ini, balance of power yang terjadi cenderung multipolar di mana AS sudah tidak dianggap sebagai negara adikuasa atau negara penguasa tunggal. Adanya perkembangan teknologi nuklir di Iran, roket di Korea Utara, dan perkembangan ekonomi pesat Cina telah membuktikan bahwa setiap negara berusaha untuk bersaing ketat dan terus melangkah maju. Dari pihak lembaga internasional sendiri, PBB kurang menjangkau seluruh permasalahan negara karena adanya organisasi regional dan tumbuhnya regionalisme dalam merintangi era globalisasi. Dari serangkaian realita yang muncul, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan teknologi mutakhir, globalisasi melalui arus internet yang kuat, weapons of mass destruction telah menggeser kekuasaan mutlak militer sehingga negara kecil ataupun nonstate actor mampu memiliki kekuasaan signifikan. Perubahan yang tak terduga ini telah

Transcript of Balance of Power

Page 1: Balance of Power

Balance of PowerDalam teori hubungan internasional : realisme, konsep balance of power merupakan perkembangan ide dasar dari sebuah konsep power. Thucydides menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan serangan Peloponnesian War pada abad 18. Sementara Ernst Haas mengemukakan bahwa ada 4 syarat badi eksistensi sistem ”balance of power”, yaitu :a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritasb. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistemc. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langkad. pemahama implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.Terlepas dari perbedaan teori ”balance of power”, ada satu implikasi bahwa perubahan relatif kekuasaan politik dapat diamati dan diukur. (Wright, 1965: 743) Secara kondisional, sistem balance of power dianggap berada di antara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos). Dalam tatanan dunia, membutuhkan suatu otoritas pusat yang mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor politik. Ketidakteraturan dunia berarti aktor politik dapat survive berdasarkan hukum rimba, istilah yang terkuat berlaku di sini. Kurangnya lembaga global yang kuat bisa lebih meningkatkan perlindungan terhadap kedaulatan para partisipan sekaligus melemahkannya. Contoh konkrit : adanya bipolaritas perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet era perang dingin (1945) yang berakhir unsur unilateral AS sebagai pemenang. Namun, jika direlevansikan keadaan saat ini, balance of power yang terjadi cenderung multipolar di mana AS sudah tidak dianggap sebagai negara adikuasa atau negara penguasa tunggal. Adanya perkembangan teknologi nuklir di Iran, roket di Korea Utara, dan perkembangan ekonomi pesat Cina telah membuktikan bahwa setiap negara berusaha untuk bersaing ketat dan terus melangkah maju. Dari pihak lembaga internasional sendiri, PBB kurang menjangkau seluruh permasalahan negara karena adanya organisasi regional dan tumbuhnya regionalisme dalam merintangi era globalisasi.Dari serangkaian realita yang muncul, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan teknologi mutakhir, globalisasi melalui arus internet yang kuat, weapons of mass destruction telah menggeser kekuasaan mutlak militer sehingga negara kecil ataupun nonstate actor mampu memiliki kekuasaan signifikan. Perubahan yang tak terduga ini telah menjadi kelemahan krusial bagi sistem balance of power. Konsep keseimbangan yang dihasilkan seringkali konseptual idealis dan mampu terhapus dengan mudah oleh adanya peristiwa mencekam layaknya serangan teroris tanggal 11 September 2001di gedung WTC, New York. http://theamazing-grace.blogspot.com/2010/03/keterkaitan-power-balance-of-power-dan.html

MACHIAVELLINISME VS   NEOREALISME

Pemikiran – pemikiran politik Machiavelli merupakan dasar dari tradisi politik realisme

modern. Meski begitu, para pemikir neorealisme semakin melupakan bahwa paradigma

Page 2: Balance of Power

mereka berasal dari pemikiran Machiavelli. Padahal, seperti yang diargumenkan Markus

Fischer dalam artikel ini, doktrin Machiavelli tersebut merupakan pondasi dari perspektif

realisme dalam ilmu hubungan internasional. Politik luar negeri memang menjadi pusat

dari teori Machiavelli mengenai sifat dasar manusia dan kehidupan politik yang terjadi

akibat sifat manusia tersebut.

Dalam pandangan Machiavelli, kehidupan manusia merupakan ”perjuangan untuk

mendominasi satu sama lain” (struggle for domination). Hal utama yang paling penting

untuk mencapai tujuan itu adalah kekuatan. Pihak yang terbaik akan mendapatkan

kekayaan, keagungan, dan kemenangan. Tidak ada obligasi moral yang perlu

dipertimbangkan dalam mencapai tujuan ini. Seperti klaim Machiavelli dalam bukunya

yang kontroversial, Il Principle, seorang pemimpin, untuk bisa mengatur dan mengantar

negaranya menuju kejayaan, harus dapat bertindak melawan agama, kemanusiaan, dan

kepercayaannya. Seorang pemimpin harus belajar untuk tidak menjadi baik, ketika

memang harus melakukan itu.

Menurut Machiavelli, ada dua sifat dasar manusia yang membentuk kehidupan politik

seperti itu, yaitu sifat ambisius dan egois atau sifat pertama, serta sifat untuk bekerja

sama atau sifat kedua. Kedua sifat inilah yang akan membentuk unit – unit politik

eksklusif seperti negara-kota, kerajaan, dan negara. Kedua sifat ini pula yang akan

mendorong unit – unit politik tersebut untuk saling berperang, berekspansi, membentuk

aliansi, dan menaklukkan satu sama lain dalam kondisi tidak adanya satu otoritas sentral,

sebuah anarki.

Machiavelli mengklaim bahwa negara seharusnya diorganisasikan untuk berperang, dan

hal utama yang harus dikembangkan adalah  kekuatan militer. Tujuan utama domestic

order, termasuk upaya – upaya mensejahterakan kota – kota dan penduduknya, adalah

pengembangan militer.

Institusi asing yang dapat mensubordinasikan unit – unit politik tersebut dalam beberapa

kewenangan, menurut Machiavelli, merupakan hal yang sangat sulit terjadi, dikarenakan

sifat pertama manusia tersebut. Dia menerima kemungkinan itu hanya bagi negara –

negara yang pemimpinnya memiliki sifat kedua sebagai sifat dominan.

Teori Machiavelli tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar pada neorealisme.

Melalui teori tersebut, munculnya unit – unit politik eksklusif seperti negara dan

pertanyaan – pertanyaan fundamental lain dapat dijelaskan, sebuah hal yang tidak bisa

Page 3: Balance of Power

dilakukan oleh para pemikir neorealisme murni. Perbedaan lain yang cukup tajam antara

para pemikir neorealisme dan Machiavelli mencakup masalah deterens, balance of power,

dan institusi – institusi antar pemerintah.

Secara umum, dapat kita lihat bahwa pandangan – pandangan Machiavelli memang

merupakan dasar dari pandangan neorealisme (realisme modern). Seperti yang

dikemukakan Viotti dan Kauppi, aktor utama dalam paham realis

adalah negara, sedangkan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan organisasi

transnasional tidak begitu penting[1]. Hal yang sama juga dapat kita simpulkan dari

pemikiran Machiavelli. Para pemikir realis juga menempatkan keamanan sebagai prioritas

utama masing – masing negara dalam ketiadaannya sebuah otoritas tunggal[2]. Logika

yang menjelaskan hal itu dapat dilihat dari filosofi Machiavelli mengenai sifat dasar

manusia, yaitu ambisius, egois, dan berusaha mendominasi satu sama lain. Filosofi

tersebut berimplikasi pada kondisi kehidupan antar negara yang harus selalu bersiaga

untuk perang. Hal ini disimpulkan mengingat negara yang diorganisasikan dari dan untuk

memenuhi sifat dasar manusia tersebut. Sebagai akibat dari state of war dan struggle for

domination ini pula, Machiavelli menganggap bahwa kekuatan (power) merupakan hal

utama yang harus dimiliki masing – masing negara, suatu hal yang dijadikan konsep inti

oleh para pemikir realisme modern.

Namun, ada beberapa poin yang menjadi perbedaan penting antara Machiavellinian dan

neorealis. Hal pertama yang akan penulis tunjukkan adalah perbedaan mengenai sumber

– sumber kekuatan. Seperti yang dijelaskan di atas, Machiavelli menekankan bahwa hal

utama yang menjadi modal dalam perjuangan mencapai dominasi adalah kekuatan

militer. Segala sesuatu dalam negara diorganisasikan untuk perang, termasuk juga usaha

– usaha untuk mensejahterakan masyarakat. Perekonomian tidak dimasukkan sebagai

modal utama seperti yang dikemukakan Machiavelli terkait dengan perang Peloponnesia

”…. the counsel and good soldiers of Sparta were worth more than the industry and the

money of Athens” (Discourses 2.10.3).  Hal yang berbeda dikemukakan dalam buku yang

ditulis Viotti dan Kauppi. Di antara para realis sendiri tidak ada kesepakatan mengenai

definisi kekuatan, namun secara umum mereka berpendapat bahwa kekuatan tidak

hanya terbatas pada kekuatan militer, termasuk perekonomian, teknologi, maupun

kekuatan relatif seperti anggapan segolongan realis.[3]

Perbedaan ini dapat dianalisis dari perbedaan ideologi yang cukup mendasar antara

Machiavelli dan neorealis. Machiavelli hidup di abad 14-an, di mana paham Merkantilisme

Page 4: Balance of Power

yang menekankan peran negara yang sangat besar dalam perekonomian. Implikasi dari

peran negara ini adalah penggunaan kekuatan militer untuk mendominasi negara lain

demi mendatangkan kekayaan bagi negara induk sangat mendominasi negara Eropa. Hal

utama yang mendatangkan kekayaan bagi negara induk adalah kekuatan militernya yang

ditakuti. Neorealisme sendiri muncul di masa kapitalisme berkembang pesat, di mana

dominasi di negara lain dilakukan melalui kekuatan ekonomi para pemilik modal,

sehingga negara yang didominasi menjadi tergantung oleh negara kapital tersebut.

Kapitalisme sendiri sangat bergantung pada pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Pengembangan kekuatan militer sendiri akhirnya bergantung juga pada

kemampuan ekonomi dan teknologi. Hal ini menyebabkan kekuatan (power) yang penting

bukan lagi hanya militer, tapi juga ekonomi, teknologi, dan aspek – aspek lain untuk

perjuangan mencapai dominasi di masa modern ini.

Hal ini seperti yang dikemukakan Joseph S. Nye, bahwa sumber – sumber kekuatan tidak

pernah statis, melainkan terus berubah sesuai perkembangan zaman.[4] Contoh dari

perubahan sumber kekuatan ini, pada abad ke-16, sumber kekuatan Spanyol yang

merupakan leading state saat itu adalah kekuatan militer, ikatan kerajaan dan

perdagangan kolonial. Hal yang berbeda terlihat pada leading state saat ini, yaitu

Amerika Serikat, di mana kekuatannya terletak pada economic scale, ilmu pengetahuan

dan teknologi yang mutakhir, budaya yang universal, kekuatan militer, dan nilai – nilai

demokrasi dan liberalisme.[5]

Perbedaaan penting lain terletak pada pendapat Machiavelli dan neorealis mengenai

dilema keamanan, deterens dan balance of power. Machiavelli menegaskan bahwa suatu

kondisi di mana suatu negara tidak akan menyerang negara lain karena kalkulasi

kerugian yang didapat melebihi keuntungan yang didapatkan dari serangan tersebut,

atau dalam kata lain sebuah deterens, adalah nyaris tidak mungkin. Suatu negara hampir

tidak mungkin mengatur kekuatan militernya sedemikian rupa sehingga cukup besar

untuk menggertak negara lain agar tidak menyerangnya, namun juga tidak cukup besar

untuk disadari sebagai sebuah ancaman. Kalaupun bisa dilakukan, maka hal itu hanya

akan membuat negara tersebut menjadi lebih rentan lagi terhadap negara yang semakin

kuat di masa mendatang. Hal yang kontras dikemukakan oleh para neorealis. Kenneth

Waltz, salah satunya, justru mengemukakan bahwa suatu negara harus mengambil jalan

tengah itu, agar tidak dianggap lemah maupun dianggap sebagai suatu ancaman.

Menurut Waltz, dalam konteks penggunaan senjata nuklir, suatu negara tidak perlu

mengembangkan suatu kekuatan militer konvensional yang sangat besar untuk

Page 5: Balance of Power

meyakinkan penyerang bahwa biaya untuk menyerang negara tersebut sangat besar;

yang diperlukan adalah untuk meyakinkan penyerang bahwa resiko untuk mendapatkan

kehancuran yang besar secara cepat di wilayahnya terlalu beresiko.[6]

Perbedaan ini mengenai masalah deterens ini akan memicu perbedaan pendapat lain

yaitubalance of power. Machiavelli berpendapat bahwa di suatu masa pastinya akan ada

suatu negara yang akan menjadi sebuah encompassing empire, suatu negara terkuat

yang akan mendominasi kehidupan seluruh negara lain pada suatu masa, seperti Romawi

pada masanya. Kontras dengan pendapat itu, para neorealis selalu berpendapat bahwa

persaingan untuk saling mendominasi dalam sistem internasional selalu akan memicu

terjadinya suatu keseimbangan kekuatan, baik dalam bentuk dwipolar maupun

multipolar. Konsep balance of power ini dapat diartikan sebagai 3 hal yang berbeda, yaitu

distribusi kekuatan, sebuah kebijakan, dan juga sebuah sistem multipolar.[7]

Meskipun  deterens dan  balance of power merupakan 2 konsep yang berbeda, namun

kita dapat menganalisis hubungan antara pendapat Machiavellinian dan neorealis

mengenai dua masalah ini. Machiavelli, seperti dikatakan di atas, menolak sebuah ”jalan

tengah” dengan menjadi tidak terlalu lemah namun juga tidak dianggap sebagai

ancaman. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, sebuah state of war yang sangat

mendominasi kehidupan, di mana perang tidak terhindarkan, dan yang terkuatlah yang

akan mendominasi kehidupan seluruh negara. Ini menjelaskan mengenai

adanya encompassing empire yang telah dijelaskan Machiavelli di atas, dengan contoh

yang sangat jelas yaitu kerajaan Romawi di masanya.

Logika yang sama juga dapat digunakan untuk menganalisis pendapat neorealis

mengenai masalah ini. Menurut neorealis, deterens dimungkinkan untuk dilakukan. Suatu

negara tidak akan serta merta menyerang negara lain jika kalkulasi kerugian diperkirakan

melebihi hasil yang didapatkan, terutama karena second strike capabilities yang dimiliki

negara target. Maka, jika suatu negara meningkatkan kekuatan militernya, negara lain

cenderung akan meningkatkan kekuatan militernya juga untuk menyeimbangkan

kekuatan dan mengantisipasi serangan di masa depan. Suatu negara juga akan menahan

diri melakukan serangan, karena jika dia melakukannya dan memperoleh kemenangan,

maka negara lain akan meningkatkan kewaspadaannya terhadap negara tersebut dengan

meningkatkan kekuatan milternya sehingga negara tersebut akan lebih rawan diserang di

masa mendatang. Kondisi deterens inilah yang akan memicu balance of power, yang

bersifat alami sesuai dengan definisi pertama balance of power, yaitu distribusi kekuatan.

Page 6: Balance of Power

Selanjutnya, sebagai sebuah strategi, maka masing – masing negara akan

mengembangkanbalance of power ini sebagai sebuah kebijakan, di antaranya dengan

membentuk aliansi atau pakta pertahanan. Contoh dari balance of power ini adalah ketika

Inggris membentuk aliansi dengan Prancis untuk menjadi penyeimbang bagi kekuatan

Jerman di Eropa yang semakin meningkat pada tahun 1904.[8]

Dapat disimpulkan bahwa pemikiran – pemikiran Machiavelli memang merupakan pondasi

yang dapat menjelaskan asumsi asumsi utama realisme modern. Namun, seiring dengan

perubahan zaman, ada beberapa konsep dan pemikiran yang harus direvisi lagi,

meskipun hal itu tidak menghilangkan dasar – dasar filosofis neorealisme yang diletakkan

Machiavellinisme.

[1] Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,

Globalim, ed. ke-2 ( ) , 35

[2] Ibid., 36

[3] Ibid., 44

[4] Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflicts: An Introduction To Theory And

History, (HyperCollins College Publishers, 1993) , 53.

[5] Viotti dan Kauppi, op. Cit., 52

[6] James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International

Relations: A Comprehensive Survey, ed. Ke-4 (Longman, 1997) ,  377

[7] Nye, op. cit., 53-56

[8] Ibid., 61

http://blackswan313.wordpress.com/2009/07/14/machiavellinisme-vs-neorealisme/

Page 7: Balance of Power

“Balance Power in Cooperative Security Regimes”

DEC 22

Posted by Renny Candradewi 1 Votes

“Balance Power in Cooperative Security Regimes”

Artikel yang ditulis oleh Ralf Emmers mendiskusikan konsep Balance of

Power dalam politik internasional dan regional terutama berkaitan dengan

momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang mengusung

konsep cooperative security.

Balance of Power memiliki pengertian dengan aspek yang terlalu luas dan berisi

banyak penjelasan dari beragam pandangan praktisi hubungan internasional;

antara lain menyebutkan bahwa Balance of Power dalam konteks politik

mencakup: (1)kondisi dan situasi terciptanya distribusi power (Inis Claude)*,

(2)kebijakan untuk menciptakan keseimbangan supaya tidak tercipta satu

kekuatan tunggal di atas lainnya—as a policy (Michael Sheehan)* sekaligus

mempelajari state system—Balance of Power  as a system, (3)proses membuat

seimbang kekuatan yang ada pada beberapa kelompok negara dalam politik

internasional, regional maupun bilateral bahkan secara global. Meskipun

pengertian Balance of Power demikian luas, namun kesemuanya memiliki

kesamaan dasar dengan prinsipel dan nilai-nilai tertentu yakniBalance of

Power muncul karena adanya ancaman dan kebutuhan untuk

mempertahankan state system yang stabil. Sebagai tambahan, Balance of

Power juga dimaksudkan sebagai pengertian dari upaya kolektif untuk mencegah

adanya hegemoni berdasarkan pada politik internasional yang cenderung bipolar

daripada unipolar.

Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir

Realis yang meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan

kuantitas power suatu negara, dimana power diasumsikan sebagai akumulasi

variabel (komponen-komponen politik, ekonomi, militer)—including intangible

and tangible factors as well as hard power & soft power combined

together. Walaupun demikian, teori Balance of Power mengandung sejumlah

ketidakpastian yang mengakibatkan teori Balance of Power gagal menjadi

barometer efektif untuk mengukur power yang dimiliki oleh negara.

BALANCE POWER OF POLITICS:

Balance of Power & Collective Security

Page 8: Balance of Power

Balance of Power bukan merupakan ide yang sama sekali baru, karena pada awal

abad 19, konsep Balance of Power telah tertuang dalam kesepakatan-

kesepakatan politik, pasca perang dan konflik, yang disimbolkan oleh aliansi-

aliansi dan kooperasi dan untuk jangka waktu tertentu konsep Balance of

Power terbukti menyediakan stabilitas regional bahkan internasional. Namun,

kelemahannya adalah sistem politik internasional yang selalu

dinamis;meski Balance of Power berkesempatan untuk menciptakan stabilitas

(produk legitimasiBalance of Power[1]), bukan berarti Balance of Power terus

menerus berpotensi melahirkan kondisi nonkonflik, terbukti PD II merupakan

produk gagal ide Balance of Power. Jika demikian, maka konsep Balance of

Power sebenarnya hanya berfungsi melahirkan opsi alternatif bagi terciptanya

kerjasama keamanan yang lebih komprehensif. Namun adapula yang membuat

persamaan konsep Balance of Power dengan konsep collective security,

persamaan tersebut terletak pada keduanya yang merupakan usaha untuk

menyeimbangkan kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan perbedaannya

berpijak pada alasan dari kegiatan menyeimbangkan kebijakan tadi. Balance of

Power: berasal dari keyakinan bahwa setiap negara bertanggung jawab penuh

dengan keamanan masing-masing; collective security: berasal dari satu alasan

untuk menghindari satu ancaman yang sama.

Balance of Power & Comprehensive security

Comprehensive security merupakan seperangkat usaha untuk menciptakan

keamanan kolektif dengan memperluas area isu politik internasional, lebih dari

sekedar aspek militer melainkan juga meliputi fokus pada politik, ekonomi dan

permasalahan sosial pada semua level analisis dan kerjasama. Hal ini kali

pertama dipromotori oleh Jepang, untuk kemudian berusaha disesuaikan dengan

konsep collective dan comprehensive security ASEAN dimana berdirinya ASEAN

pertama kali berasal dari ide untuk menciptakan kemanan kawasan yang stabil

dengan mengadakan kerjasama secara kolektif antarnegara sekawasan. Adapun

kerjasama tersebut tidak terbatas pada isu militer dan keamanan secara fisik,

melainkan mencontohcomprehensive security Jepang yang mengusung ide:

keamanan kawasan dapat dijaga dengan stabil dengan memperluas area isu

politik regional kawasan. Hal ini yang menciptakan perlunya suatu rezim

keamanan untuk merealisasikan tujuan tersebut, sehingga Balance of

Powermenjadi faktor relevan untuk mendukung rezim keamanan.

The Relevance of Balance of Power factor to Regime for Cooperative Security

Rezim keamanan menyediakan norms, principles dan rules bagi

anggotanya. Balance of Powerakan menjadi relevan selama komponen-

komponen rezim keamanan di atas tidak mengungguli pertimbangan-

pertimbangan Balance of Power.

SIMPULAN

Page 9: Balance of Power

Konsep Balance of Power menjelaskan pendirian ASEAN, sebagai rezim

keamanan guna menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman luar, dengan

cara menggunakan nilai-nilai keamanan yakni cooperative,

collective dan comprehensive security. Cooperative securityrezim keamanan

Asean meliputi kewajiban untuk menjaga kestabilan keamanan masing-masing

negara; collective security rezim keamanan merupakan usaha secara kolektif

menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan mengembangkan kepercayaan

sebagaimana nilai yang dianut Asean. Sedangkan comprehensive

security berkaitan dengan perluasan area isu politik regional untuk menjamin

keamanan kawasan yang lebih komprehensif dari sekedar hanya memiliki militer

dan hardpower.

OPINI

Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas

keamanan, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel

antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya.

Dengan demikian, the nature of Balance of Power theory has shifted and

evolved.

SUMBER

Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and

The ARF. New York: Routledge Curzon

*Teori Balance of Power, definition

[WEAKNESS AND ALTERNATIVES OF BALANCE OF POWER]

*Perbedaan teori Balance of Power sebagai kebjikan—policy dan sistem

*Asas-asas yang dianut oleh teori Balance of Power

*Teori balance of power berasal dari pemikiran Realis

*Power refers to? Sum of power components: realist and … mainstream?

*Balance of Power dimaksudkan untuk menolak adanya hegemoni berdasarkan

pada politik internasional yang cenderung bipolar daripada unipolar

*Balance of power mengandung perngertian ketidakpastian dalam mengukur

power

*Balance of power: power balancing between groups of states nor in bilateral

relationship

*Kesamaan balance of power dengan cooperative security, collective security

and comprehensive security

Page 10: Balance of Power

Relevansi Balance of Power faktor bagi rezim untuk cooperative security

BALANCE OF POWER AND THE CREATION OF ASEAN

http://frenndw.wordpress.com/2009/12/22/%E2%80%9Cbalance-power-in-cooperative-security-regimes%E2%80%9D/

MENGIDENTIFIKASI KONSEP POWER, BALANCE OF POWER DAN HEGEMONIC STABILITYDiposkan oleh Dinar Prisca Putri pada 00:35 

Oleh: Dinar Prisca Putri

Power merupakan sebuah konsep yang seringkali digunakan dalam ranah politik dan juga

dalam lingkup hubungan internasional. Namun, sampai sekarang definisi mengenai konsep

power itu sendiri masih menjadi sebuah perdebatan. Salah satu masalah yang diperdebatkan

adalah apakah power dipandang sebagai sebuah atribut perseorangan, kelompok, atau negara

bangsa, atau apakah power dianggap sebagai hubungan antara dua aktor politik yang

memeiliki keinginan berbeda?

Secara harfiah, power berarti kekuatan atau kekuasaan. Menurut Nicholas J. Spykman, power

didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan manusia agar mengikuti kebiasaan

yang diinginkan pemilik power melalui cara persuasi dan paksaan. Dari pengertian ini, power

dapat dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan seperti paksaan dan dengan cara

coorperative seperti persuasi. Sedangkan Hans J. Morgenthau, salah satu tokoh pemikir realis,

lebih suka mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana

aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran serta tindakan

aktor B.

Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara

kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan dia (power) meliputi seluruh hubungan sosial,

mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melaului mana seseorang bisa mengontrol

orang lain. (Morgenthau, 1973: 9)

Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, dimana Deutsch

mengemukakan tiga dimensi power (scope, domain, range) yang spesifik dan bisa diukur. Jadi,

kelima dimensi power tersebut, meliputi scope (ruang lingkup), domain, range, costs dan

Page 11: Balance of Power

means.

Pertama, melalui dimensi scope (ruang lingkup), Deustch ingin menunjukkan suatu kumpulan

atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif

tunduk kepada power pemerintah. (Ibid: 34) Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas

pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal. 

Dimensi kedua, yaitu domain membahas tentang kepada apa dan siapa power tersebut

dilaksanakan. Power tentunya biasa dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan.

Deutsch membagi domain menjadi dua bagian, yaitu internal domain (wilayah dan populasi

dalam batas-batas suatu negara) dan eksternal domain (wilayah dan populasi di luar batas

suatu negara tetapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”).

Kemuadian, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi

(keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau

dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. (Deutch:

32) Range power sendiri juga dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu komponen internal

(menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak

pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen

eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power). 

Sedangkan yang dimaksud dengan costs adalah biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama

relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang

dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang

dijalankan. 

Dimensi kelima adalah means. Oleh Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu

mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur

ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis.

Karena power yang dimiliki oleh tiap-tiap negara itu berbeda-beda, maka perlu adanya suatu

keseimbangan antara power yang dimiliki masing-masing negara, yang disebut sebagai

balance of power. Perimbangan kekuatan (balance of power) bukanlah konsep yang mudah

Page 12: Balance of Power

diukur. Ernst Hans mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem balance of power,

yaitu (1) multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat, yang muncul karena tidak adanya

satu otoritas yang menguasai aktor-aktor tersebut; (2) distribusi kekuatan yang relatif tidak

seimbang di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tersebut (3) persaingan dan

konflik yang berkesinambungan di antara aktor-aktor politik yang berdaulat; (4) pemahaman

implisit di antara para pemimpin negara yang besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan

akan menguntungkan mereka.

Balance of power dalam sistem kekuasaan ini muncul untuk menghasilkan tiga kondisi.

Pertama, keberagaman kedaulatan negara yang mucul haruslah tidak tunduk pada

keterpaksaan dari salah satu legitimasi kedaulatan negara lain yang lebih berkuasa. Kedua,

kontrol secara terus-menerus dari kompetisi akibat langkanya sumber daya atau nilai-nilai

konflik. Ketiga, menyamaratakan distribusi status, kekayaan, dan potensi power diantara aktor

politik yang masuk dalam suatu sistem.

Secara sistemik, balance of power digunakan untuk mencegah terjadinya sistem hegemoni

yang didefinisikan sebagai sebuah dominasi suatu negara terhadap negara atau kelompok

negara lain. Dengan kata lain, balance of power ini muncul karena adanya suatu pengaruh

besar dalam bidang militer dan teknologi oleh negara pemilik power yang besar, yang

kemudian disebut sebagai hegemoni. Walaupun pada kenyataannya, hegemoni suatu negara

itu tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem perimbangan kekuatan (balance of

power).

Konsep hegemoni dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai sebuah negara yang

memimpin suatu kelompok negara. Sedangkan hegemonic stability menjelaskan tentang

keberadaan rezim yang memiliki daya tarik nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi

internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Adapun latar

belakang dari teori hegemoni stabilitas ini karena adanya sistem anarki internasional yang

sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem

kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Asumsi

dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan

dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota

yang paling penting dalam sistem internasional.

Page 13: Balance of Power

Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa definisi dari konsep power yang beranekaragam dan

masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan politik tersebut telah menimbulkan pemahaman

yang kompleks tentang balance of power maupun hegemonic stability. Namun, di sini saya

setuju dengan teori stabilitas hegemoni, dimana hegemoni akan sulit untuk dihapuskan karena

tiap negara yang mempunyai hegemoni pasti akan senantiasa memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi negara lain agar negara tersebut bisa dikendalikan oleh pemilik hegemoni.

DAFTAR PUSTAKA

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations Third Edition. Palgrave Macmillan: New

York.

Columbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan

dan Power. Abardin: Bandung

Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2006. International Relation: The Key Concept.

Routlage Key Guides: New York.

Mc Keown, Timothy J.. 1983. International Organization:Hegemonic Stability Theory and 19th

Century Tarrif Levels in Eourope. MIT Press.

Morgenthau, Hans J.. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf:

New York.

http://dinarprisca.blogspot.com/2010/04/mengidentifikasi-konsep-power-balance.html

Power, Balance of Power, Teori Stabilitas Hegemoni

APR 26

Posted by Renny Candradewi 1 Votes

Renny Candradewi 070810532

[email protected]

Page 14: Balance of Power

Setiap penjelasan selalu dimulai dengan definisi yang tepat. Mendefinisikan

esensi power tidaklah mudah, bahkan sampai sekrang masih sering

diperdebatkan. Perhatian terhada pwoer terus menerus menjadi kajian yang

menarik dan seringkali menimbulkan beragam persoalan. Manakala

mendefinisikan suatu power maka sebagian besar akan merujuk pada konsepsi

pemikiran realis. Menurut seorang realis, Robert Dahl (2002), kapabilitas suatu

negara banyak sekali ditentukan oleh sejuumlah power yang ia miliki. Dan power

merupakan subjek utama dalam hubungan internasional yang takkan pernah

kehilangan pengaruhnya untuk menyediakan berbagai alasan maupun jawaban

dalam konteks politik internasional.

Untuk bisa mengidenfikasikan dan menganalisa konsep awal power dalam

hubungan internasional, kita mesti memahami  perkembangan power di negara

besar dan negara kecil. Ditinjau dari segi pemikiran dan teori sistem

internasional oleh Geopolitik. Power secara alami muncul karena distribusi

geografi yang tidak seimbang dari sudut luas wilayah. Karen A Mingst juga

menambah dimensi alami power muncul karena kepemilikan minyak, jumlah

sumber daya alam atau populasi (Mingst, 2009).

Definisi power suatu negara menurut liberal ditentukan oleh kekuatan ekonomi

dan industrialisasi. Boleh jadi suatu negara tidak memiliki luas wilayah yang

signifikan tetapi dilain sisi ia memiliki basis ekonomi dan industri kuat, maka

negara tersebut bisa diasumsikan negara kuat. Power menurut Marxisme

ditentukan oleh dominasi kelas yang lebih tinggi kepemilikan faktor produksi

untuk bisa menindas kelas marjinal.

Dalam bukunya, Robert Dahl mengulas dengan jelas apa yang dimaksud oleh

power. Robert Dahl menamai power sebagai suatu atribut yang melekat secara

langsung pada suatu negara ketika ia dibandingkan dengan negara lain. Kedua,

power menurut Robert Dahl adalah kemampuan suatu negara untuk membuat

negara lain melakukan sesuatu yang semula tidak diinginkannya. Power yang

meliputi tangible dan intangible power (Anonim, 2008).

Intangible power meliputi kepimimpinan dan kepribadian, efisiensi organisasi

birokrasi, tipe pemerintahan, persatuan masyarakat, reputasi, dukungan luar

negeri dan ketergantungan. Sedangkan tangible power meliputi wilayah,

populasi, sumber alam dan kapasitas industri, kapasita pertanian, kekuatan

militer dan mobilitas (Anonim, 2008).

Balance of power

Pada beragam pengertian, balance of power merupakan konsep yang telah

dipegang sepanjang sejarah, praktisi, dan negarawan—statesmen; sehingga

perilaku demikian membawa konsekuensi pada tingkat beragam pengertian pada

Page 15: Balance of Power

setiap orang berbeda. Walaupun demikian tidak terdapat konsesus resmi

definisi balance power secara tepat (Emmers, 2004. p.40-41), beragam

pandangan definisi tersebut terletak pada pemahaman pada berbagai istilah

yakni sebagai suatu simbol, situasi, kebijakan, dan sistem (Emmers, 2004. p.41 ).

Pengertian yang demikian banyak dan luas sebagaimana diutarakan oleh Inis

Claude (1962: 13) disebabkan konsepnya yang mudah dipahami serta

banyaknya literatur antara lain sebagai berikut (Sheehan, 1996, p.1-2):

1. Masa klasik: distribusi power yang sama di antara Princes of Europe → memungkinkan bagi salah satu dari mereka untuk mengganggu ketenangan yang lain (Anonymous, Europe’s Catechism, 1741);

Pada Midieval Era di mana masing-masing kerajaan di Eropa berlomba untuk

memperkuat diri; semakin intensnya kompetisi tersebut, makin intens pula

adanya ancaman yang memicu kapabilitas ketenangan negara lain yang secara

geografis berdekatan.

1. Aksi dari negara lain untuk menghambat negara tetangganya untuk menjadi lebih kuat dan menjaga keseimbangan dan kesejajaran antarnegara tetangganya—terdekatnya (Fenelon, 1835);

Balance of power sebagai reaksi yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas

keamanan regional antarnegara yang berdekatan.

1. Menjaga keseimbangan: yang lemah seharusnya tidak dihancurkan oleh negara yang lebih kuat → merupakan prinsip yang membentuk kesatuan pada peta politik sejarah Eropa Modern (Stubbs, 1886);

Balance of power sebagai kolektif reaksi untuk mencegah terbitnya satu

kekuatan dominan yang berpotensi mendesak yang lemah.

1. Suatu penyusunan hubungan sehingga tidak akan ada negara yang berada pada posisi lebih kuat di atas negara-negara lainnya (Vattel, 1916);

Seperti halnya poin ketiga yang mana balance of power sebagai kolektif reaksi

karena adanya kesadaran bersama untuk menghindari munculnya negara yang

terkuat di antara yang lainnya.

1. Balance of Power beroperasi melalui aliansi-aliansi yang tidak memberi peluang adanya satu dominan power yang tumbuh lebih kuat sehingga berpotensi mengancam keamanan yang lain (Palmer and Perkins, 1954);

Balance of power sebagai strategi untuk menciptakan stabilitator regional

melalui keikutsertaan dalam aliansi maupun kelompok kerjasama keamanan

yang kolektif.1. Balance of Power: merujuk pada hubungan aktual antarnegara dimana power

terdistribusi secara paralel pada semua negara (Morgentahu, 1978);

Balance of power merupakan strategi alternatif melakukan atau mempengaruhi

distribusi power.

Page 16: Balance of Power

1. Balance of Power merujuk pada respon untuk melakukan ukuran (pemantauan dan pengawasan) yang ekivalen secara individual maupun kolektif guna meningkatkan power mereka (Claude, 1962);

Balance of power sebagai tool efektif untuk melakukan check and balance posisi

dan pemetaan power yang dimiliki masing-masing negara.1. Balance of Power merupakan prinsip dasar guna merenggangkan power yang

sanggup mengintervensi pada satu sisi, dimana ada bahaya potensi meletusnya perang, untuk menjamin bahwa yang kalah—lemah tidak tereliminasi dari sistem dan tidak terserap ke dalam kolosus yang sedang berkembang (Quester, 1977).

Balance of power merupakan efektif tool untuk mendispersi power guna

mengurangi potensi konflik dan perang.

Dari berbagai pengertian di atas, tentunya menimbulkan permasalahan tentang

bagaimana menggunakan konsep dan istilah balance of power dalam hubungan

dan politik internasional. Salah satu permasalahan intelektual disebabkan oleh

power sebagai suatu konsep dan istilah, adalah interprestasi berbeda pada tiap

orang yang berbeda pula. Beberapa diantaranya mengasumsikan “power” tidak

hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga mengandung implikasi

kekuatan politik dan ekonomi—oleh realis disebut tradisional power. Bagi yang

lainnya, power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti tersebut di

atas, tetapi juga kemampuan untuk mempengaruhi perilaku state lain (Sheehan,

2004, p.7.).

Teori Stabilitas Hegemoni oleh Charles Kindleberg, menyatakan ekonomi dunia

liberal yang terbuka memerlukan keberadaan seorang hegemoni atau kekuatan

dominan. Hegemoni dan stabilitas dalam ekonomi politik internasional

menggunakan kerangka penjelasan yang dikemukakan oleh teori ini. Robert

Keohane seorang neo-realis strukturalis mengungkapkan hal serupa yang mana

keadaan dunia dengan hegemoni menjamin kestabilan seperti semasa system

dunia bipolar (Keohane 1980, p. 132).

OPINI

Balance of power merupakan ide, konsep politis sekaligus strategi kebijakan

yang relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis

yang tertuang dalam beragam definisi dan pengertian berbeda, kemudian

dipelajari menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi

hubungan internasional—untuk memahami perilaku kolektif states, maupun

statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha

membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional

menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku

anggotanya yang secara politis saling berseberangan tetapi masih

mempertahankan konsep sekuriti sebagai alasan mendasar mendirikan

Page 17: Balance of Power

kelompok kerjasama kooperatif maupun satuan organisasi regional yang

dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan.

Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat

internasional sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen—assymetris: power

berhadapan dengan weakness. Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat

diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak saling mengawasi

terhadap posisi masing-masing—check and balance. Karena politik internasional

yang anarkis perlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang,

makanation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam

sistem power, sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan

pengaruh dapat kemudian lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang

negarawan—statesmen untuk mendemonstrasikan dan memprioritaskan

kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi

dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan

stabilitas yang kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance

of power dan politik luar negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara

bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari itu, merupakan mekanisme penting

untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan, 1996, p.8.).

Berkaitan erat dengan power, di dalam balance of power terdapat

konsep national interestdan objectives antara lain tujuan fundamentalnya adalah

menolak adanya hegemoni secara regional maupun global, yang pada intinya

untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan semua state untuk

memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal

mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Teori balance of

power maka dari itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan

pandangan tradisional realis mengenai hubungan internasional.secara tidak

langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional yang stabil dan

damai (Emmers, 2004, p.42), sekaligus sebagai faktor penstabil dalam

masyarakat negara-negara yang berdaulat  Morgenthau, 1955. p.185) Dari

pengertian di atas, intinya teori balance of power sebenarnya merupakan konsep

penting dalam menciptakan dan memelihara stabilitas komunitas internasional.

Balance of power sebagai suatu strategi umumnya diterapkan oleh hegemon

untuk mencegah timbulnya satu kekuatan yang sanggup menyaingi sphere of

influencenya.

Kekuatan hegemoni harus mampu membuat dan menjaga keberlangsungan

peraturan yang ia buat dipatuhi oleh seluruh negara. Kekuatan hegemoni dalam

menjaga kestabilan ekonomi terletak pada komitmen untuk mematuhi peraturan

dan norma-norma internasional yang ia tetapkan misalnya norma yang dibentuk

dalam rezim internasional. Sumber kekuatan ekonomi menurut teori stabilitas

Page 18: Balance of Power

hegemoni Kindleberg terdapat pada tiga hal, yakni hegemoni, norma liberal, dan

kepentingan sama.

Menjadi hegemoni dan mempertahankan sistem yang mendukung hegemoni

bukanlah hal yang mudah. Antonio Gramsci menyatakan memelihara sistem

hegemoni haruslah didukung oleh kekuatan negara besar. Jika tidak terdapat

kekuatan negara-negara besar yang mendukungnya maka sistem hegemoni

tersebut akan sangat mudah sekali kolaps. Menurut teori ini ekonomi pasar

terbuka terdapat collective dan public good: adalah good yang setiap konsumsi

oleh individual atau yang lainnya tidak mengurangi kuantitasnya atau akan

selalu tersedia bagi konsumer yang lainnya. Singkatnya, konsumer dapat

mengkonsumsi good tersebut tanpa harus membayarnya. Namun, kendala yang

muncul mengancam sistem hegemoni tersebut ialah adanya free rider dan

kecurangan. Hegemoni selain menanggung beban adanya free rider dan

kecurangan (monopoli) mendapatkan keuntungan karena sphere of influence-

nya meluas, ia berhak menetapkan siapa yang berhak masuk dan siapa yang

tidak.

Norma liberal yang dianut dalam ekonomi politik internasional mendukung

pernyataan bahwa sistem pasar terbuka beoperasi berdasarkan rasional yang

berjalan dengan sendirinya dimana terdapat supply bertemu

dengan demand (mekanisme pasar), masing-masing aktor bergerak dengan

memaksimalkan interest masing-masing, serta (Gilpin, 1987). Pasar cenderung

bersifat dinamis, karenanya hegemoni mesti fleksibel dalam melakukan berbagai

penyesuaian.

Untuk alasan internal dan eksternal, hegemoni mengalami berbagai tantangan

antara lain free rider, cheating, dan sementara ia sibuk memlihara sistem supaya

stabil, negara-negara lain mendapatkan keuntungan lebih dari berjalannya

sistem. Semakin sphere of global influenceterdispersi ke mana-mana, makin sulit

memelihara pengaruhnya supaya tetap stabil (Kindleberger, 1981, p.251).

Jika tidak sanggup mempertahankan keeskistensiannya, maka kekuatan

hegemoni perlahan akan menurun. Penurunan hegemoni dapat dijelaskan

melalui empat fase hegemoni teori sistem dunia Modelsky (Flint, 2007).

Fase yang menjelaskan turunnya pamor hegemoni adalah ketika (1) peraturan-

peraturan yang dibuat sudah tidak ditaati oleh negara-negara lain, (2) hegemoni

mendapat tantangan dari pergolakan ekonomi domestik dan perlawanan dari

entitas yang tidak menyukainya, (3) adanya negara core baru yang muncul dari

negara periphery maupun semiperiphery. Jika kekuatan hegemoni tersebut tidak

mampu bertahan dari ancaman-ancaman tersebut, maka ia cenderung akan

mengalami diintegrasi (collaps) (Flint, 2007).

Page 19: Balance of Power

Teori stabilitas hegemoni, isu keamanan dan politik menjadi subjek utama yang

mengakibatkan dinamika pada ekonomi internasional. Kedua hal tersebut saling

mempengaruhi satu sama lain dimana ekonomi internasional tidak bisa

dipisahkan dari politik dan kebijakan suatu negara apalagi yang berkaitan

dengan isu keamanan. Suatu hegemoni mutlak diperlukan untuk menjaga

kestabilan politik dan keamanan. Secara langsung keamanan dan politik menjadi

lingkungan tempat berkembangnya ekonomi internasional. Sehingga bisa juga

ditarik kesimpulan ekonomi dan lingkungan saling berhubungan, jika lingkungan

berubah maka ekonomi juga mengikutinya.

Pertanyaan berikutnya, teori manakah yang paling relevan? Secara pribadi saya

ingin berpendapat bahwa tidak ada teori yang benar-benar 100% relevan

terhadap tatanan ekonomi internasional sekarang. Ketiganya saling

komplementer dari pada kontradiktif. Dalam hal tertentu, ekonomi internasional

bergerak berdasarkan supply and demand aktor-aktor ekonomi di luar state.

Yang membuat integrasi ekonomi terjadi pada level yang sangat signifikan. Hal

ini seolah menyiratkan bahwa perekonomian itu bergerak sesuai dengan invisible

hand-nya Adam Smith. Artinya tidak ada faktor lain yang diikutsertakan dalam

telaah dinamika ekonomi politik internasional. Akan tetapi seolah teori ini

menjadi ketinggalan jaman, ketika faktor politik dan lingkungan dilibatkan.

Negara tetap menjadi aktor utama dan influensial dalam mempengaruhi dan 

mengarahkan tatanan dunia sesuai dengan yang diinginkan, dalam hal ini

disebutkan oleh seorang hegemon. Hegemon berperan untuk

menciptakan environment yang favorable buat ladang subur perekonomian.

Negara tetap secara politis berperan mengurangi batasan-batasan ekonomi yang

mesti dicapai dalam suatu insitusi bersama dimana persaingan negatif akibat

konflik kepentingan bisa dinegosiasikan. Teori sistem dunia modern memegang

peran lainnya dalam menyediakan bukti bahwa perekonomian cenderung

menciptakan sistem hierarki antara negara yang terklasifikasi dalam

negara core dan negara periphery. Menurutnya ini adalah hal yang terjadi secara

natural, ada yang tergantung dan ada yang menggantungkan diri. Inilah yang

membentuk sistem secara utuh dan dinamis. Manakala salah satu variabel diatas

mengalami pergeseran dan perubahan either insignifacantly nor indisively, maka

dinamika itu merupakan suatu yang abadi.

REFERENSI

Mingst, Karen. 2009. The Essentials of International Relations. New York: Norman

Pub. Ch. 3., 68-72.

Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World-system. New York: Academic

Press.

Page 20: Balance of Power

Hobden, Stephen and Richard Wyn Jones. 2001. “Marxist Theories of

International Relations”, ins: Baylis, John and Steve Smith. 2001. The

Globalization of World Politics. London: Oxford University Press. Ch. 10., p 200-

226.

Burchill, Scott, et.al. 2004. Theories of International Relations. London: Palgrave

Macmillan

Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and

The ARF. New

York: Routledge Publishing. p. 10-39, 40-60.

Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York :

Routledge

Publishing. p. 1-23, 53-96.

Anonim. 2008. Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan

Internasional. Surabaya: Universitas Airlanggahttp://frenndw.wordpress.com/2010/04/26/power-balance-of-power-teori-stabilitas-hegemoni/