Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat...

33
Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik) Written by Mudjia Rahardjo Friday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12 Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuah pertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahli dan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Secara sambil lalu mungkin bisa dijawab sejak manusia ada. Bila nirmana ( perspective ) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasa lahir bersamaan dengan munculnya spesies homo sapiens . Sayang sekali, seperti teori dasarnya yang gagal menemukan matarantai yang hilang ( missing link ), perluasan teori ini di bidang sosial-budaya juga gagal menghadirkan sedikit saja bukti tentang kehebatan manusia sebagai pencipta bahasa. Karena itu, alih-alih meninggalkan begitu saja pertanyaan ini, sebagai pengiman kitab suci, saya justru menawarkan sebuah titik tolak peristiwa bahasa pertama berdasarkan kisah penciptaan manusia pertama. Dengan sedikit perenungan, akan tampak jelas bagaimana dalam kisah penciptaan Adam terdapat dialog yang tidak saja membuktikan adanya peristiwa bahasa pertama, tetapi juga menjelaskan kekhususan manusia dibanding makhluk lain, serta alasan mendasar atas fenomena penguasaan manusia atas bumi. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" “Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 1 / 33

Transcript of Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat...

Page 1: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembanganperadaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuahpertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahlidan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Secara sambil lalu mungkin bisa dijawab sejakmanusia ada. Bila nirmana (perspective) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasalahir bersamaan dengan munculnya spesies homosapiens .

Sayang sekali, seperti teori dasarnya yang gagal menemukan matarantai yang hilang (missinglink ),perluasan teori ini di bidang sosial-budaya juga gagal menghadirkan sedikit saja bukti tentangkehebatan manusia sebagai pencipta bahasa. Karena itu, alih-alih meninggalkan begitu sajapertanyaan ini, sebagai pengiman kitab suci, saya justru menawarkan sebuah titik tolakperistiwa bahasa pertama berdasarkan kisah penciptaan manusia pertama.

Dengan sedikit perenungan, akan tampak jelas bagaimana dalam kisah penciptaan Adamterdapat dialog yang tidak saja membuktikan adanya peristiwa bahasa pertama, tetapi jugamenjelaskan kekhususan manusia dibanding makhluk lain, serta alasan mendasar atasfenomena penguasaan manusia atas bumi.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendakmenjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendakmenjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya danmenumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau danmensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamuketahui."

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudianmengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku namabenda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

“Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yangTelah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagiMaha Bijaksana."

1 / 33

Page 2: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Makasetelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankahsudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumidan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam,"Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golonganorang-orang yang kafir.” [2]

Ada pelajaran sangat penting dari peristiwa bahasa pertama ini. Penguasaan kosa kata sertakecakapan merangkai kata-kata secara bermakna, sejauh mengikuti logika terbatas ataswacana tersebut, bisa ditafsir sebagai ciri kualitatif non-fisik Adam dibanding dengan makhluklain. Ciri-ciri lain, misalnya dalam At-Tiin lebih menunjuk pada ciri kuantitatif fisik. [3] Olehkarena itu, ditambah dengan penegasan dan perintah dan bahkan sindiran berkali-kali agarmanusia menggunakan akal atau berpikir, paling tidak terdapat tiga keistimewaan manusiadibanding makhluk lain, yaitu: penguasaan bahasa, kemampuan berpikir, dan kesempurnaanbentuk ragawi.

Secara teoretik terdapat sinergi sangat kuat di antara ketiga ciri istimewa manusia tersebut.Tanpa bahasa, maka sehebat apa pun pemikiran tidak akan bisa disampaikan kepada dandipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, maka bahasa manusia juga tidakakan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia inipula yang mengantarkan manusia untuk tidak saja menyempurnakan penampilan ragawimereka, tetapi juga mengatasi berbagai keterbatasan ragawi mereka sehingga memberi jalanbagi lahirnya fenomena khas manusia berupa kebudayaan, dan secara lebih khususperadaban. Juga tampak dari perintah untuk menghormat kepada pemilik bahasa dan buahpemikiran berupa pengetahuan, betapa Islam menempatkan bahasa dan pemikiran secarasangat terhormat.

Menghayati kedudukan terhormat bahasa dan pemikiran, yang memberi jalan bagi kelahiranperadaban manusia, maka sesuai dengan bidang minat kajian pribadi saya, yaitu: filsafatpengetahuan dan sosiolinguistik, maka saya memilih bahasa, pemikiran dan peradaban

2 / 33

Page 3: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

sebagai tema pidato pengukuhan ini.

Bahasa dalam Pandangan Filsafat Pengetahuan

Dari istilah episteme yang berarti pengetahuan, epistemologi kini dikenal sebagai cabang kajiantentang bentuk-bentuk pengetahuan yang sahih. Sering pula disebut sebagai filsafat atau teoripengetahuan. Epistemologi meminati sejumlah pertanyaan, antara lain: Apakah mungkinmemperoleh pengetahuan sejati? Bagaimanakah sifat-sifat dasar kebenaran? Apa sajaketerbatasan pengetahuan? Metode apakah yang harus diterapkan untuk mendapatkanpengetahuan yang sahih? Bagaimana menilai suatu pernyataan apriori? Dimanakah batasantara subjektivitas dan objektivitas?

Lazimnya, selain logika dan matematika, epistemologi juga memandang bahasa sebagai pirantisangat penting untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Dengan ungkapan lebihsederhana, bahasa merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah, sekaligus juga sarana untukmenyampaikan hasil pemikiran ilmiah. Karena itu, penting sekali bagi siapa pun yang akanmemasuki dunia pengetahuan secara umum untuk memahami hubungan antara bahasadengan kegiatan berpikir.

Memang tidak banyak filsuf atau ilmuwan yang menaruh perhatian cukup besar terhadaphubungan antara bahasa dan pemikiran, apalagi dikaitkan dengan peradaban. Dari jumlah yangsedikit tersebut, bisa disebut antara lain Thomas Hobbes, Ludwig Wittgenstein, Ernest Cassirer,dan Michael Polanyi.

Mana yang lebih dulu dan lebih penting antara bahasa dan pemikiran? Bisakah tumbuh bahasatanpa pemikiran? Mungkinkah pemikiran berlangsung tanpa bahasa? Barangkali itu merupakansejumlah pertanyaan yang begitu menggoda untuk ditelaah terus-menerus.

Thomas Hobbes, seorang filsuf terkemuka berkebangsaan Inggris, mempertanyakan ”apa yangmemungkinkan pengetahuan manusia terus-menerus berkembang?” Perenungannya sampaipada simpulan bahwa keistimewaan manusia terletak pada kemampuannya menandai secarasimbolik setiap kenyataan. Contoh sangat sederhana tetapi cukup mengejutkan kita adalah,sebuah perhelatan yang demikian rumit seperti ini --- ada kepanitiaan, pidato ilmiah, tamu-tamuterhormat, paduan suara, prosesi anggota senat, spanduk, konsumsi dan sebagainya ----, bisaditandai secara simbolik dengan istilah ”pengukuhan”, sebuah istilah yang sangat ringkas,sederhana, dan mudah dipahami. Memang salah satu fungsi bahasa adalah untuk membuat

3 / 33

Page 4: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

simplifikasi realitas yang kompleks agar mudah dipahami.

Manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan,sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Karena ada sediaan nama-nama itu,maka manusia mampu memanggil kembali dan mengaitkannya satu sama lain. Ilmu dan filsafatdimungkinkan kelahirannya karena kemampuan manusia untuk merumuskan kata-kata dankalimat. Karena itu, pengetahuan manusia pun memiliki dua bentuk berbeda, yaitu:pengetahuan realitas dan pengetahuan konsekuensi.

Science and philosophy are possible because of man's capacity to formulate words andsentences. Knowledge, then, takes on two different forms, one being knowledge of reality, andthe other knowledge of consequences. [4]

Walhasil, menjadi agak mudah bagi kita untuk memahami pernyataan seorang filsuf bahasakenamaan Ludwig Wittgenstein bahwa ”batas bahasaku adalah batas duniaku” (Die Grenzenmeiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt).[5]Kalau ketidak-mampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurang-cakapanberbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia,maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.

Ernest Cassirer, menggeser locus kajian filosofisnya pada persoalan hubungan antara bahasadan pemikiran. Hasilnya, meskipun pada bidang kajian yang berbeda, mengingatkan tengaraEmile Durkheim tentang kekhususan seorang pemikir luar biasa:

[That] a superb sociologist can hold views of society as radically different from those of thecommon man as are the views of physical reality held by the best physicists. [6]

Memang Ernest Cassirer juga melahirkan suatu simpulan  yang berbeda dari kecenderunganpemikiran awam. Kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia daribinatang adalah kemampuan berpikirnya, maka Cassirer menegaskan bahwa manusia menjadibegitu istimewa karena bahasa. Ungkapan Erving Goffman, ”... human beings are symbol-usingcreatures”, [7] pada dasarnya sama dan sebangun dengan penyebutan Cassirer bahwa

4 / 33

Page 5: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

manusia adalah animal symbolicum. [8]

Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebihluas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya danhanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih,dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuankeilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhungan budaya, hampir pasti tidak bisadiwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.

Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-polaperilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Lebih dariitu, tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaanbudaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.

Sebegitu jauh, bahasa telah memberikan sumbangan paling pentingnya bagi umat manusia.Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi, seorang filsuf berkebangsaanHongaria, terdapat paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasamemungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buahpemikiran, yang di antaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat dasar yang juga takterelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan kenyataan yang seharusnyabisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan secara apa adanya oleh ilmu pengetahuan.

Berdasarkan tinjauan matra bahasa pula, Michael Polanyi menggolongkan dua jenispengetahuan manusia (Periksa Bagan 1). Menurutnya, dari kenyataan (the whole reality) yanghampir tak terbatas, sebagian kecilnya merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) manusia, sehingga melahirkan pengetahuan (knowledge). Selanjutnya, dari khasanah pengetahuan yang jumlahnya juga masih luar biasa, sebagianbesar masih merupakan pengetahuan tak terbahasakan (pre-articulated knowledge), sedangkan sebagian kecil di antaranya merupakan pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Konsekuensinya, tak mungkin menarik simpulan  lain, kecuali bahwa manusia pada dasarnyamengetahui lebih banyak daripada yang bisa diucapkan (we know more than we can say).[9]

5 / 33

Page 6: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

6 / 33

Page 7: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Bagan 1: Kenyataan dan Dua Jenis Pengetahuan

Apa yang sehari-hari kita bincang sebagai pengetahuan, mengacu pemikiran Polanyi, tidak lainadalah pengetahuan yang terbahasakan. Setiap butir dari khasanah pengetahuan manusia,semula berasal dari pengetahuan pribadi (personal knowledge). Hanya dan hanya bila pemilikpengetahuan mampu membahasakan pengetahuan pribadinya, maka pengetahuan jenis inibisa menjadi pengetahuan objektif, dalam arti bisa dibahas dan bahkan diuji oleh orang lain.Walaupun demikian, tetap saja masih begitu banyak pengetahuan manusia yang tetap tinggalmenjadi pengetahuan pribadi yang tak-terbahasakan. Pengetahuan kita tentang segala rasa,seperti pedas, manis, asin dan lain-lain, misalnya, masih saja gagal kita tingkatkan derajatnyamenjadi pengetahuan terbahasakan.

Kenyataan tentang kegagalan manusia untuk membahasakan seluruh pengetahuan yangmereka miliki, memaksa kita untuk menyimpulkan, bahwa di samping begitu berjasa di dalammengembangkan pengetahuan manusia, ternyata begitu terbatas kemampuan bahasa untukdigunakan sebagai piranti pengungkap seluruh pengetahuan manusia. Lebih dari itu, bahasajuga telah membatasi manusia dalam mengungkapkan kenyataan sebagaimana adanya. Jadibahasa memiliki sifat reduksionis.

Memang benar bahwa dengan hanya dua kata, mancung dan pesek, kita bisa merangkumseluruh kategori bentuk hidung. Namun demikian, juga sangat kentara bagaimana kedua kataitu telah begitu semena-mena menggolongkan saya, atau mungkin juga anda semua, sebagai

7 / 33

Page 8: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

orang berhidung pesek.Tidak adil, sebab hanya karena kita tidak memiliki istilah lain yang lebih mewakili, kita terpaksamelakukan penggolongan seperti itu. Sifat reduksionis bahasa ini yang acapkali kurang disadarioleh para pengguna bahasa. Termasuk di dalam kelompok pengguna bahasa ini adalah parailmuwan yang mengembangkan terminologi yang tidak saja kurang mewakili realitas yanghendak dicakup, tetapi juga mengandung kemencengan (biased).Bisa dibayangkan, bagaimana sosok yang sama, bisa mendapat sebutan yang sangatberlawanan, seperti istilah ”pahlawan” dengan istilah ”penjahat”. Sekadar contoh adalahPangeran Diponegoro. Bagi bangsa Indonesia, dia dikenal sebagai pahlawan, tetapi sebaliknyabagi penjajah Belanda dia adalah penjahat atau pemberontak sehingga ditangkap dankemudian diasingkan.

Diletakkan dalam konteks kebahasaan di Indonesia, kita bisa semakin memahami mengapaBahasa Indonesia belum bisa tampil sebagai bahasa keilmuan secara memuaskan biladibandingkan dengan Bahasa Inggris atau bahkan Bahasa Arab. Ketebalan kamus ketigabahasa ini saja sudah mampu menggambarkan tingkat kekayaan kosa katanya. Karena lema (entry) kata Bahasa Indonesia masih sedikit bila dibanding Bahasa Inggris, maka secara logis bisadisimpulkan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia dalam bidang keilmuan berpotensimengakibatkan reduksionisme berlebihan.[10]Padahal, ketepatan, kecermatan, dan keterwakilan baik dalam pengukuran atau pelabelan (measurement and labeling) terhadap kenyataan sebagai bahan kajian ilmu, merupakan syarat bagi kemajuan ilmupengetahuan.

Keterbatasan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan masih diperparah dengankecenderungan umum retorika bahasa Indonesia. Pemetaan oleh Soeseno Kartomihardjo yangdisampaikan ketika memberikan sambutan promosi seorang calon doktor Pendidikan BahasaInggris pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) 26 Pebruari 1998,menunjukkan bahwa retorika Bahasa Indonesia diwarnai oleh cara penyampaian maksud yangterselubung. Pokok pembicaraan dalam retorika gaya Asia, termasuk bahasa Indonesia, tidakdinyatakan secara langsung dan dilihat dari beberapa sisi.

Dalam kehidupan politik, misalnya, kita masih mengalami kesulitan ketika menjelaskan maknademokrasi seperti makna asalnya, dan kemudian mempraktikkannya dalam kehidupanberbangsa dan bernegara, karena sesungguhnya kita belum benar-benar memahami danmenghayati konsep demokrasi. Masing-masing orang memahami demokrasi dalam makna, danmenghayati demokrasi dalam citarasa yang berbeda. Akibatnya praktik demokrasi menemui

8 / 33

Page 9: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

begitu banyak kendala.

Menjadi lebih jelas bagi kita mengapa tidak semua kandungan khazanah pengetahuan manusiabisa dimajukan menjadi pengetahuan terbahasakan? Sebagian jawabannya jelas, karenaketerbatasan bahasa. Karena itu, sebagian jalan pemecahan dari masalah itu pun cukup jelas.Bila bahasa dikehendaki sebagai bahasa pengetahuan, maka tidak hanya kosa kata yang harusdikembangkan, tetapi tata bahasanya pun harus dicanggihkan, sehingga mampu menjadisarana pengungkap kenyataan secara tepat, rinci, dan lengkap.

Dari sisi ilmuwan sebagai pengguna bahasa, maka kekayaan kosa kata dan ketrampilantata-bahasanya pun harus senantiasa diperbaiki.  Semakin banyak kosa kata yang merekamiliki, serta semakin terampil mereka menyusun kalimat, maka semakin mungkin bagi merekauntuk mempersembahkan pengetahuan pribadinya agar bisa diterima menjadi bagian darikhasanah pengetahuan terbahasakan. Bagi seorang ilmuwan, berlaku ungkapan Gadamer,bahwa keberadaan akan mewujud dalam bahasa (being is manifested in language). [11]Kelengkapan peran seorang ilmuwan mencakup empat kecakapan utama, yaitu kemampuanpengumpulan data (observing), kemampuan menarik simpulan  secara logis (reasoning) baik deduktif maupun induktif, kemampuan menyusun model teoretik (constructing), dan kemampuan mengomunikasikan semua itu dengan bahasa yang baik dan mudahdimengerti (communicating).[12]

Bahasa dan Kemajuan Peradaban

Sebagai gejala khas manusia, peradaban (tammadun, civilization) dikenali sebagai bagian darikebudayaan. Kebudayaan, meskipun begitu banyak takrif diberikan, digambarkan memiliki tigaperwujudan, yaitu sebagai: seperangkat gagasan, pola-pola perilaku, dan benda-benda karyamanusia.

Bertolak dari pemikiran bahwa situasi kemasyarakatan niscaya dibentuk oleh tiga komponenbudaya yang saling berkaitan, yaitu: ideologi, teknologi, dan organisasi sosial, Thomas J. LaBelle mengembangkan konfigurasi tiga komponen kebudayaan dengan perilaku manusia

9 / 33

Page 10: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

sebagai pusatnya sebagai berikut (Periksa Bagan 2). [13]

Bagan 2: Model Heuristik Kebudayaan

Ketiga sub-sistem sosio-budaya, yaitu: ideologi, organisasi sosial, dan teknologi, salingmemengaruhi untuk akhirnya membentuk perilaku masyarakat. Sub-sistem ideologi menjawabpertanyaan mengapa dan kemana. Ini mencakup seperangkat nilai, keyakinan, sertapengetahuan yang dimiliki dan dianut oleh masyarakat. Faktor-faktor yang tercakup dalamideologi, utamanya memberikan arah kepada perilaku dan tindakan masyarakat. Denganungkapan lain, ideologi berperan sebagai paradigma ideal-normatif.

Organisasi sosial menunjuk pada pola-pola hubungan, tatanan, serta pranata-pranata yangdigunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya, atau cara-cara individumengorganisasikan hubungan-hubungan dan interaksi mereka dengan orang lain.

Sub-sistem teknologi mencakup baik kegiatan maupun objek yang oleh masyarakat digunakanuntuk mengatur atau mengelola lingkungan atau benda-benda di sekitarnya. Dengan demikian,teknologi menunjuk pada keterampilan, piranti, tata kerja, dan teknik yang digunakan manusiauntuk mewujudkan kehendak yang diarahkan oleh ideologi. Teknologi menjawab pertanyaandengan apa, cara apa, atau alat apa dan bagaimana.

Bila disepadankan dengan civilization, maka istilah peradaban hanya menunjuk kepadabenda-benda buatan manusia ( cultural materials). Namundemikian, bila disepadankan dengan tamaddun, istilah peradaban mencakup tidak hanya benda-benda buatan manusia yang bermutu tinggi,tetapi juga berbagai gagasan cemerlang dan bijaksana, serta pola-pola perilaku luhur danbermartabat.

10 / 33

Page 11: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Tamaddun sendiri berasal dari bahasa Arab madinah atau kota dan madaniyah atau aspekmaterial dari peradaban atau tamaddun itu. Sedangkan aspek intelektual danspiritual dari tamaddun itu disebut budaya,dalam bahasa Arab disebut tsaqaafahdan dalam bahasa Inggris disebut culture. Pendeknya tamaddunitu mengandung dua komponen: madaniyah yaitu aspek material dari tamaddun, dan kebudayaan adalah aspek intelektual dan spiritual dari tamaddunitu. Ibarat sebuah mobil, madaniyahadalah badan mobil, sedang budaya adalah mesin yang mendorong mobil supaya bergerak.Aspek lain dari budaya (tsaqaafah) selain dari ilmu adalah seni, moral, dan lain-lain. Semua ini berfungsi sebagai penggeraktamaddun, ibarat mesin pada mobil.[14]

Peradaban bisa dipahami sebagai pola-pola yang maju dan tinggi dalam cara-cara kehidupanumat manusia, yang meliputi dua aspek, yaitu aspek budaya yang merupakan jiwa dan aspekpemikiran dan batin, sedangkan aspek madaniyah merupakan bentuk kebendaan dan bentukluar peradaban. Karena itu, membangun peradaban berarti pula usaha sungguh-sungguh untukmengembangkan baik aspek tsaqaafah dan aspek madaniyah.

Bertolak dari takrif yang diberikan kepada tamaddun, dapat kita simpulkan bahwa tamadduntiada lain adalah proses dan hasil tindakan manusia. Rangkaian tindakan manusia bisa dikiassebagai batu-bata yang membangun tamaddun. Rangkaian tindakan manusia bisa dipilahmenjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tindakan manusia sebagai akibat dari interaksinyadengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain, baik sebagai individu, sebagai anggotamasyarakat, maupun sebagai umat manusia, (2) tindakan manusia sebagai akibat dariinteraksinya dengan alam, benda-benda, serta makhluk-makhluk lain.

Unsur-unsur tindakan manusia, sehagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat danayat-ayat- al-Qur’an, terdiri dari: kehendak bebas, kemampuan, dan pengetahuan. Tanpa

11 / 33

Page 12: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

kehendak bebas manusia tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya sebagaikhalifah. Oleh sebab itu, unsur ini juga membedakan manusia dari makhluk lain. Malaikat tidakdiangkat sebagai khalifah karena patuh sepenuhnya kepada perintah kepada Allah, dan tidakmemiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang,misalnya, tidak sanggup memilih ibu dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasanmanusia dibatasi oleh kemampuan dan kodratnya, baik sebagai individu atau sebagaimasyarakat.

Agar tindakan manusia itu tidak bersifat acak, maka ia memerlukan ilmu. Bagi manusia, ilmuberfungsi: (1) membimbingnya untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, (2)menolong kemampuan yang terbatas itu agar lebih luas jangkauannya. Ilmu dan teknologimodern tidak menciptakan kemampuan baru manusia, tetapi hanya menolong denganmempertajam dan memperluas kemampuan manusia.

Tampak jelas bahwa istilah peradaban lebih bermuatan nilai (value weighted) dibanding istilahkebudayaan. Karena itu, kita bisa mengatakan ada peradaban yang maju, tetapi tidak bisamengatakan kebudayaan yang rendah. Tidak mengherankan kalau klaim tentang kebudayaantinggi dan kebudayaan rendah senantiasa dipersoalkan.[15]Praktik berbahasa suatu masyarakat atau seseorang, mengacu konsep peradaban demikian,pada hakikatnya juga mencerminkan keberadaban masyarakat atau seseorang dimaksud.

Kemajuan peradaban, sejauh ia bergantung pada hasil pikiran kolektif manusia, dimungkinkankarena menyatunya tiga karakteristik manusia sebagai homo symbolicum, yang melandasikegiatannya sebagai homo sapiens.Kegiatan manusia sebagai homo sapiens, pada gilirannya, melandasi perilakunya sebagai homo faber. Ini menjelaskan bahwa prestasi kolektif manusia sebagai makhluk perekayasa (homo faber) hanya akan berkembang pesat apabila dilandasi oleh bangunan pengetahuan yang logik danteruji (logical and verified knowledge) sebagai hasil kegiatannya selaku makhluk bernalar (homo sapiens). Sebagaimana dijelaskan tentang hubungan antara karakteristik manusia sebagai homo symbolicum dan sebagai

12 / 33

Page 13: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

homo sapiens, hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut,teratur, canggih, dan abstrak sebagaimana dituntut dalam kegiatan keilmuan. Walhasil,kemajuan peradaban diprasyarati oleh kemajuan pengetahuan. Kemajuan pengetahuandiprasyarati oleh kemapanan bahasa. Hasil kajian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), bisa menjelaskan proposisi berantai tersebut.

Peter Russel mencoba menghitung laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologidengan hasil cukup mengejutkan. [16] Andai kita membiji satu satuan pengetahuan kolektifmanusia untuk Tahun 1 Masehi, itu dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun1500, karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volumepengetahuan mengalami penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya.Penggandaan berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektifmanusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan.

Masa penggandaan makin lama makin singkat. Untuk penggandaan berikutnya, umat manusiahanya butuh waktu 50 tahun, yang menurun lagi menjadi 10 tahun. Pada tahun 1960 umatmanusia memiliki 32 satuan pengetahuan kolektif. Tiga belas tahun kemudian (1973) menjadi128 satuan. Kini, penggandaan akan terjadi setiap 18 bulan. Tak pelak lagi, timbunanpengetahuan umat manusia sekarang jauh lebih besar ketimbang yang terkumpul selama 7millenia alias 7000 tahun.

Mencermati peran sangat penting bahasa, dan lebih-lebih bahasa tulis dalam memajukanperadaban, tidak mengherankan kalau sosiolog terkemuka Talcott Parsons juga menempatpemilikan bahasa sebagai salah satu tahap paling kritis berkembangnya peradaban.Selengkapnya, Talcott Parsons menteorikan lima tahapan perkembangan kebudayaan, yaitu:(1) kebudayaan primitif, (2) kebudayaan baca-tulis, (3) kewarga-negaraan luas, (4) filsafat dankesusasteraan, dan (5) kebudayaan berkaidah hukum dan agama universalistik. [17]

Kita bersyukur, karena ternyata Allah menurunkan al-Qur’an di masyarakat yang jugaberperadaban baca-tulis, sehingga kini al-Qur’an bisa dengan mudah dibaca, dikaji, dandiaktualisasikan nilai-nilainya. Bisa dibayangkan, seandainya kebudayaan Arab tidak memilikisistem penulisan sendiri, maka terlepas dari jaminan Allah SWT untuk memelihara Al-Qur’an,juga tidak mungkin bagi Utsman bin Affan r.a. untuk memerintahkan penulisan, pembukuan,dan penyebar-luasan Al-Qur’an  hingga ke seluruh pelosok dunia. [18] Karena bahasa tulispula, kita tetap bisa menelaah Al-Muqadimmah

13 / 33

Page 14: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Ibn Khaldun, Al-RisalahImam Syafei, Ihya’ Ulum al-DinAl-Ghazali, Al-SyifaIbnu Sina, Risalat fi ’Ara Ahl al-MadinahAl-Farabi,Education and DemocracyJohn Dewey, Il-PrinceMachiavelli, Psychopathology of Everyday LifeSigmun Freud,The Wealth of NationAdam Smith, Dialog on the two chief systems of worldGalileo Galilei, maupun Mathematical Principles of Natural PhilosophyIsaac Newton.

Sejauh kebudayaan baca-tulis dipandang sebagai salah satu tahapan sangat pentingperkembangan lanjut peradaban, maka kita boleh berbangga tetapi juga prihatin. Indonesiasemestinya bisa menjadi salah satu pusat peradaban dunia, karena salah satu bahasadaerahnya dikenal sebagai salah satu dari hanya dua puluh satu bahasa di dunia yang memilikisistem tulis sendiri (writing system), yakni: Bahasa Jawa yang memiliki sistem huruf denganbeberapa sandangan bunyi vokal sebagai berikut:

14 / 33

Page 15: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Dengan sistem penulisan tersebut, para pujangga dan pemikir Jawa mewariskankarya-karyanya kepada angkatan penerusnya. Ini yang memungkinkan para akademisiangkatan masa kini untuk tetap bisa mengkaji, mengembangkan dan bahkan mengecamkarya-karya filosofis Jawa seperti Serat Centhini, Serat Wulang Reh, Serat Wedhatama hingga Serat Kala Tidha, karya Pujangga kenamaan Ronggowarsito.[19]

Kebanggaan harus disandingkan dengan keprihatinan, karena hasil kajian mutakhir tentangpreferensi bahasa menunjukkan betapa semakin menurun jumlah pasangan suami-istriperkotaan yang membesarkan anak-anaknya dengan bahasa daerah, khususnya Jawa. Merekalebih senang mendidik anak-anaknya dengan Bahasa Indonesia, atau bahkan Bahasa Inggris.Bahasa Jawa,  bersama ratusan atau bahkan ribuan bahasa daerah di dunia sedang dalambahaya, language endangerment, meminjam istilah Anthony Woodbury.

Today roughly 5,000 to 6,000 languages are spoken in the world, but a century from now, thenumber will almost certainly fall to the low thousands or even the hundreds. More than ever,communities that were once self-sufficient find themselves under intense pressure to integratewith powerful neighbors, regional forces, or invaders, often leading to the loss of their ownlanguages and even their ethnic identity. [20]

Para ahli bahasa menilai bahwa keterancaman bahasa merupakan masalah yang sungguhsangat serius karena memiliki konsekuensi humanistik dan keilmuan. Belakangan ini para ahlisosiolinguistik dan antropolinguistik semakin memahami pengaruh kepunahan bahasa terhadapmasyarakat. Salah satu pengaruh paling menonjol dari punahnya suatu bahasa, baik karenaterpaksa maupun sukarela,  adalah hilangnya identitas sosial. Lebih memprihatinkan lagi,kehilangan juga sampai pada aspek-aspek budaya, spiritual dan intelektual.

Moreover, the loss is not only a matter of perceived identity. Much of the cultural, spiritual, andintellectual life of a people is experienced through language. This ranges from prayers, myths,ceremonies, poetry, oratory, and technical vocabulary, to everyday greetings, leave-takings,conversational styles, humor, ways of speaking to children, and unique terms for habits,behavior, and emotions. When a language is lost, all this must be refashioned in the newlanguage -- with different word categories, sounds, and grammatical structures -- if it is to bekept at all. Linguists' work in communities when language shift is occurring shows that for themost part such refashioning, even when social identity is maintained, involves abrupt loss oftradition. More often, the cultural forms of the colonial power take over, transmitted often bytelevision. [21]

15 / 33

Page 16: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Memang bisa saja dikatakan bahwa kepunahan sejumlah bahasa merupakan akibat takterelakkan dari kemajuan dan akan meningkatkan kesaling-pemahaman antar kelompokmasyarakat. Namun demikian, semestinya tujuan ini dapat dicapai dengan belajar bahasakedua atau ketiga, dan bukan dengan membiarkan punahnya bahasa daerah sebagai bahasapertama. Sebab, meminjam ungkapan Galtung, kepunahan suatu bahasa daerah lebihmerupakan akibat kekerasan struktural terhadap keragaman budaya.

Bahasa dan Masyarakat

Blantika musik Indonesia baru saja mencatat lagu Laskar Cinta sebagai salah satu lagu palingpopuler. Mudah dikesan, karya kelompok musik Dewa ini diilhami oleh ayat Al-Qur’an yangmeniscayakan keragaman umat manusia.

Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita

dan menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa yang pasti berbeda?

Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati

bukan untuk saling bercerai dan berperang angkat senjata? [22]

Kalau keragaman umat manusia merupakan keniscayaan, maka seniscaya itu pula keragamanbahasa. Di sisi lain, berlangsung kaidah panta rhei, semua mengalir, sebuah ungkapan yangmewakili salah satu pandangan filsafat, bahwa hakikat dunia adalah perubahan. Jadi, kalauperubahan merupakan keniscayaan, maka seniscaya itu pula perubahan bahasa.

16 / 33

Page 17: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Sosiolinguistik, sebagai salah satu bidang kajian lintas-disiplin, memang sering ditakrif sebagaisekadar kajian tentang aspek-aspek sosialnya bahasa. Ternyata, pengertian sederhana inijustru menawarkan kawasan dan tentu saja pendekatan kajian yang terus-menerusberkembang. Logika yang mendasari pernyataan ini cukup sederhana, yaitu: karenaaspek-aspek sosial senantiasa bersifat dinamik, maka gejala bahasa pun bergerak dinamik.Konsekuensinya, praksis bahasa masyarakat pun menggambarkan praksis hidup parapenggunanya.

Sebagaimana ditengarai oleh Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang, para mahasiswa FakultasSastra kurang memberi perhatian kepada matakuliah sosiolinguistik. Menurut dia, setidaknyaharus direkomendasikan bahwa kajian dari pendekatan sosiolinguistik sudah waktunya menjaditanggungjawab para mahasiswa, dosen serta peneliti. Sejauh ini kajian tentang pemakaianbahasa dalam konteks masyarakat yang menjadi bidang kerja sosiolinguistik masih kurangmendapat perhatian.

Memang, bila ditilik dari usia bidang kajian sosiolinguistik yang baru muncul awal tahun1960-an, masih terlalu dini untuk memperoleh tempat yang terhormat di kalangan akademisimaupun mahasiswa. Ini tampak dari, misalnya, jumlah jurusan bahasa dan sastra yangmenawarkan matakuliah sosiolinguistik, jumlah tenaga ahli yang memilih minat sosiolinguistik,serta jumlah buku dan penerbitan tentang sosiolinguistik yang masih sangat sedikit. Namundemikian, bidang kajian ini sebenarnya memiliki daya-tarik tersendiri, dan karena itu jugasangat prospektif. Selain memiliki prospek sebagai salah satu piranti diagnosis sosial-politik,sosiolinguistik juga cukup menarik karena mengkaji bahasa tanpa dilepaskan dari faktor-faktorekstralinguistik, termasuk konteks sosial para penggunaannya sebagaimana dikemukakan olehYayah B. Mugnisjah Lumintaintang.

[K]ajian sosiolinguistik merupakan kajian yang menggunakan ekstralinguistik atau faktor sosialuntuk menjelaskan kebahasaan. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang laras bahasapolitik dan media massa.

"Laras bahasa politik dan media massa (elektronik/cetak) termasuk ke dalam penelitiansosiolinguistik karena keduanya dibahas dalam konteks sosial pemakaiannya," katanya. [23]

17 / 33

Page 18: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Berkenaan dengan sketsa perspektif sosiolinguistik, Allen D. Grimshaw [24]menggambarkannya sebagai berikut:

Bagan : Skestsa Perspektif Sosiolinguistik

Tampak bahwa praksis bahasa seseorang atau sekelompok orang, yang mencakup dialek,register, jargon dan sebagainya, dibentuk oleh: (1) posisi dalam struktur sosial seperti nativitas,bahasa ibu, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, dan jenis kelamin, (2) formalitasdan informalitas percakapan dan audiensnya, dan (3) proses produksi linguistiknya, yang padaakhirnya menentukan (4) keluaran interaksionalnya. Semua itu, sebagaimana tampak, jugadipengaruhi oleh kendala dan keterlibatan situasional.

Pada tataran empirik, bisa dihipotesiskan bahwa situasi politik yang diliputi oleh persaingansangat tajam, ikut membentuk fenomena dan perilaku bahasa para elite politik. Sebagaimanadipercaya oleh kaum Sofis, kegairahan mengasah kepiawaian berbahasa mencapai puncaknyaketika mereka sampai pada simpulan  bahwa bahasa merupakan piranti utama bagipencapaian aneka tujuan. Begitu besar pesona yang bisa ditampilkan, sehingga bahasa punmenjadi anasir sangat penting bagi percaturan politik tingkat tinggi. Karena itu, tidakmengherankan bila hingga kini, masih tampak jelas betapa bahasa dimanfaatkan sebagaisenjata perjuangan politik. Siapa piawai bermain kata, maka dia pun berpeluang besarmemenangkan pertarungan politik.

Begitu besar godaan kekuasaan, sehingga tidak jarang terjadi penyalah-gunaan bahasa yangbermuara pada kekonyolan-kekonyolan perilaku berbahasa di kalangan politisi. Kejatuhan GusDur dari kursi kepresidenan, misalnya, disumbang salah satunya oleh kecerobohan bahasapolitiknya sendiri. Kita masih ingat ungkapan Gus Dur ”Sulit membedakan antara anggota DPRdan murid taman kanak-kanak” ternyata telah menjadi pemicu ketegangan antara anggota DPRdan Gus Dur yang menggiring ke kejatuhannya. [25]

Persoalan ini pula yang dulu pernah menjadi bahan perdebatan para pengkaji budaya politikIndonesia, seperti bisa kita simak dari salah satu kajian berikut:

18 / 33

Page 19: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

The languages of contemporary Indonesian politics have recently been the object of a certaincantankerous attention. The eminent Swiss historian and publicist Herbert Luethy describesIndonesian (bahasa Indonesia) as a ”synthetic” language that has borrowed ”copiously andindiscriminately from all the technical terminologies and ideological abstractions of the modernworld”, and that is ”scarcely intelligible, in its newer parts, to the average Indonesian, wholistens to the official speeches all the more admiringly for being able to make nothing of them. [26]

Begitulah praksis penggunaan bahasa oleh para petarung politik (political gladiators) yang tidakjarang dijadikan rujukan oleh para pengikut setianya (the true believers). Lantas bahasa pun menjadi alat kekerasan simbolik-psikologik, menjadi semacam sangkurtajam yang setiap saat bisa melukai batin sasarannya. Menggunakan perspektif strukturasiGiddens (1990), bahasa bisa bersifat sangat memberdayakan (enabling) atau sangat mengendala (constraining), sedangkan dalam sorotan analisis wacana, praksis bahasa bisa bersifat sangatmemerdekakan (emancipating) atau sangat mengancam (threatening).[27]

Bila dipahami bahwa bahasa adalah cermin masyarakat, maka dengan mudah pula kita bisamemahami seperti apa masyarakat Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru. Jamankepresidenan Gus Dur, kita terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan  seperti "biang kerok,maling, Presiden pembohong, Presiden tak jewer, jangan percaya kepada Presiden, Presidenjangan penthentang-pethenteng, omonganPresiden kokesuk dele sore tempe, anggota DPR seperti Taman Kanak-Kanak". Kini, jaman kepresidenan Susilo BambangYudhoyono, sisa-sisa praksis berbahasa itu pun masih bisa ditemukan, seperti tampak padapernyataan: ”SBY, Presiden Wacana; Rapor Presiden Merah; SBY adalah Presiden peragu;SBY: Mana janjimu”, dan sebagainya. Tak hanya itu. Karena Indonesia semakin dirundungmusibah yang menelan banyak korban nyawa, SBY pun dipelesetkan menjadi Susilo Bambang Nyudo Nyowo. Dalam perspektif sosiolinguistik ala Chaika, bahasa adalah cermin penggunanya.[28]

19 / 33

Page 20: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Karena itu, mudah dikesan dunia batin macam apa yang terbayang dalam cermin kebahasaanseperti itu.

Bertolak dari postulat bahwa setiap zaman atau era menampilkan wajah bahasanya sendiri,maka era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono juga diwarnai penggunaan bahasa politikyang berbeda. Parodi politik seperti yang ditayangkan melalui Republik BBM dan RepublikMimpi oleh Stasiun Televisi Indosiar dan Metro TV setiap minggu bagi pengkaji sosiolinguistiktidak dapat diartikan  sekadar lelucon dan hiburan, tetapi sebagai kritik sosial (social criticism)masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Betapapun, seperti aneka piranti lain, bahasa niscaya bersifat netral. Ia menjadi baik ataumenjadi buruk, sangat bergantung kepada pemakainya. Bahasa, karena itu, menjadi senjatasangat handal bagi para pembenci, pun sangat bernilai bagi para pecinta. Bahasa juga bisamenjadi alat kejujuran, tetapi bisa pula menjadi alat kedustaan. Kita sembunyikan realitas takdikehendaki dengan bahasa, juga kita bongkar realitas tersembunyi dengan bahasa. Hal-halyang suram dapat kita jelaskan sehingga menjadi terang-benderang melalui bahasa. Sebaliknya hal-hal yang sudah terang dan jelas dapat dijadikan suram melalui bahasa pula.

Tentu jelas terpateri bagi siapa pun pelajar sejarah nabi-nabi, bagaimana oleh Ibrahim a.s.bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan perintah Allah SWT agar mengorbankan anaktercintanya, sehingga dengan penuh keikhlasan Ismail AS menerima perintah teramat berattersebut.

$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»t� þ�ÎoTÎ) 3�u�r& �Îû ÏQ$uZyJø9$#þ�ÎoTr& y7çtr2ø�r& ö�ÝàR$$sù #s�$tB 2�t�s? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t� ö@yèøù$# $tB ã�tB÷sè? (þ�ÎTß�ÉftFy� bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎ�É9»¢Á9$#

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahimberkata: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yangdiperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yangsabar”. [29]

20 / 33

Page 21: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Banyak perselisihan dan bahkan pertikaian telah terjadi karena kita meninggalkan kaidahkesantunan dalam praksis berbahasa kita. Kekasaran berbahasa, sebagaimana telah kitasaksikan bersama sejak kejatuhan Orde Baru, ternyata terjadi seiring dengan semakin tingginyatingkat konflik sosial politik. Padahal, sebagaimana dalam kasus Ibrahim dan Ismail tersebut,suatu permintaan yang tampak sangat mustahil pun bisa dipenuhi sepanjang disampaikandengan cara santun (bil hikmah) sebagaimana Al-Qur’an memberikan contoh.

Bahasa, sejauh menggunakan perspektif sosiolinguistik, selain sebagai piranti komunikasi (means of communication) juga berfungsi untuk pengukuhan sosial (social establishment).[30]Pada tataran bahasa sebagai piranti pengukuhan sosial ini, memang sangat boleh jadi bahasajauh meninggalkan fungsi utamanya sebagai piranti penyampaian makna. Makna menjadi tidakpenting lagi, karena bahasa telah berubah menjadi semacam ritus sosial.

Seorang asisten pejabat daerah yang biasa mewakili atasannya memberikan sambutan dalamberbagai acara, menjadi begitu terbiasa menggunakan sapaan khalayak ”saudara-saudarayang berbahagia”. Bagi asisten pejabat ini, tidak penting lagi apakah benar khalayakpendengarnya sedang berbahagia atau sedang berduka. Suatu ketika, dia harus mewakiliatasannya untuk menghadiri dan memberikan sambutan di depan jenazah mitra kerjaatasannya yang akan diberangkatkan ke makam.

”Saudara-saudara yang berbahagia, marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa”.

Tetapi memang boleh jadi juga sapaan demikian tidak menjadi masalah, karena parapendengar dan bahkan shahibul musibahnya juga menganggap sapaan dan pernyataan itusebagai sekadar ritus sosial semata, dan bukan untuk benar-benar ditangkap dan dihayatimaknanya.

Tinjauan ekstra-linguistik juga memungkinkan kita untuk mencermati bagaimana bahasa jugabisa dicandra sebagai semacam mode pakaian (fashion).

21 / 33

Page 22: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Language is one of the most powerful emblems of social behavior. In the normal transfer ofinformation through language, we use language to send vital social messages about who weare, where we come from, and who we associate with. It is often shocking to realize howextensively we may judge a person's background, character, and intentions based simply uponthe person's language, dialect, or, in some instances, even the choice of a single word. [31]

Menelusuri jalanan Kota Malang yang sedang menjadi metropolitan, kita pun disuguhi olehribuan contoh penggunaan bahasa sebagai riasan penampilan semata. Contoh yang sayamaksudkan adalah berbagai papan nama yang ditulis dalam bahasa asing, terutama BahasaInggris. Bahkan di sebuah gang sangat sempit pun, yang hampir tidak mungkin dilewati olehorang asing, kita juga menemukan papan nama berbahasa Inggris. Kita pun akhirnya harusmenyimpulkan bahwa selain agak mengidap simdrom rendah diri (inferiority complex), jugamenampak betapa ada kecenderungan untuk berlangsungnya uniformisasi bahasa.

Di ruang yang lain, kaum muda perkotaan masa kini juga sedang terpesona oleh bahasa gaul.”Ya selamat jalan, TTDJ (baca: hati-hati di jalan) ya?” Demikian pula ada istilah-istilah seperti:”nembak”, ”ngenet”, ”mejeng”, ”doi”, atau ”bokap” dan ”nyokap”. Semua istilah dan ungkapan itubisa memberikan gambaran siapa yang bicara dan darimana mereka berasal.

Keterbatasan ruang, yang dalam sketsa perspektif sosiolinguistik merupakan salah bentukkendala situasional, ikut membentuk ragam bahasa khusus. Efisiensi pemanfaatan ruang yangdulu hanya dimonopoli oleh media massa cetak, sehingga muncul judul-judul berita, biladilepaskan dari konteksnya bisa sangat menyesatkan, seperti: ”SBY Setuju Dibuang ke Laut”(Jawa Pos, 27 September 2006). Kesalahan kalimat demikian tentu bukan kesalahansederhana. Kesalahan itu bukan sekadar menyangkut urutan kata, tetapi sungguh menyangkutkesalahan logika yang sangat serius.

Sebuah kasus lain, menggambarkan betapa seorang pembicara publik, semisal pembawaacara, juga tidak kalah sembrononya. Tanpa merasa bersalah sama sekali, seorang pembawaacara seminar di sebuah perguruan tinggi menyampaikan pengumuman:

“Para hadirin yang terhormat. Karena narasumber telah datang, acara akan segera kita mulai.Tetapi perlu kami sampaikan bahwa demi kelancaran dan ketertiban acara, maka selama acaraberlangsung yang membawa HP dimatikan!”.

22 / 33

Page 23: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Sebagai peminat bahasa yang serius, seharusnya saya bingung dan boleh jadi takut luar biasa,karena keseriusan itu akan mengarah pada simpulan  bahwa saya termasuk kelompok orangyang akan dimatikan (dibunuh). Namun demikian, ternyata tidak terjadi reaksi apa pun terhadapkejadian tersebut. Tampaknya, kesalahan logika yang sangat fatal ini tidak menjadi persoalansepanjang orang memahaminya berdasarkan kaidah-kaidah analisis wacana.

Belakangan ini, analisis wacana memang sedang mengalami cukup banyak kemajuan, hinggajuga menyentuh aspek-aspek ekstra-linguistik sebagaimana dilakukan oleh Teun A. van Dijk. [32]Perkembangan awal analisis wacana, didominasi oleh analisis isi (content analysis) yang lebih mengedepankan pendekatan kuantitatif. Mencermati tidak kurang dari 30 kali Allahberfirman: فبأي آلاء ربكماتكذبان(Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan), sepanjang menggunakanpendekatan analisis isi, maka tidak ada simpulan  lain kecuali betapa penting bagi manusiaagar tidak mengingkari dan senantiasa mensyukuri nikmat karunia Allah yang tiada mungkinbagi kita untuk membayarnya.[33]

Bila pembacaan dilakukan dalam perspektif analisis wacana post-strukturalis, sebagaimanadekonstruksi Derrida, maka penafsiran harus dilakukan secara dialektik. [34] Artinya, di satusisi Allah SWT menghendaki agar manusia senantiasa jujur, ternyata justru begitu banyakmanusia menjadi pendusta. Demikian pula, di satu sisi Allah menghendaki manusia senantiasabersyukur, ternyata justru begitu banyak manusia menjadi kufur atas nikmat yang diberikan.Tak mengherankan bila malaikat pernah mengajukan keberatan atas segala kelebihan yangdiberikan Allah SWT kepada manusia.

Kaidah kesatuan wacana (unity principle) mengajarkan kepada kita bahwa selain bersifatsangat kontekstual, makna suatu ungkapan harus ditafsirkan dalam satu kesatuan. Karena itu,kalau pusat perhatian ditujukan kepada ungkapan ”yang membawa HP dimatikan”, memiliki artiyang berbeda bila dipahami dalam keseluruhan wacana.

Kini, memperkuat tesis tentang ragam khusus bahasa dalam ruang terbatas, dikenal lagibahasa pesan singkat (short message). Ragam bahasa ini, walaupun jauh lebih rumit dibandingragam bahasa khusus lainnya, ternyata memiliki potensi menyebar sangat cepat serta

23 / 33

Page 24: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

digunakan oleh cukup banyak orang. Sebuah judul berita ”Sehari 100 Juta SMS Lebih, Terkirimdi Bawah 10 Detik” (Jawa Pos, 26 Oktober 2006) sudah menggambarkan betapa tinggiintensitas penggunaan bahasa khusus ini.

Ragam bahasa pesan singkat memiliki pola pembentukan kata yang sangat rumit biladibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Ragam bahasa ini tidak hanya mengikuti pola bahasalisan, tetapi juga tidak sepenuhnya mengikuti pola bahasa tulis. Ragam bahasa inimenggunakan keduanya, sehingga selain tidak konsisten juga berpotensi menimbulkankesalahan penafsiran dan kesalahan pemahaman.

MesQ AQ tak secerah MENTARI & sebening XL

Banyak salah ma U, FREN

Q pinta SIMPATImu, FLEKSIbelkan hati

BEBASkan Q dg maafmu

Semoga amal ibadah Qta mendapat acungan JEMPOL

Hr yg qt nntikn tla tb

Seiring gma tkbir b’kumndang

24 / 33

Page 25: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

D hr nan F3 ni, q mnt ikhlaskn htm m’bk pntu mf u/q

Brshkn jw dr sgla sla, agr bs mnntunq k jln yg dridloiNy.

Jemari tangan t’s4 berjabat

Ratapan muka t’kuasa bertatap

Apabila lara menusuk sukma

Ketidak-taat-asasan (inconsistency) mudah sekali ditemukan dalam bahasa pesan singkat.Kalaupun tidak menimbulkan kesalah-pahaman, tentu ketidak-taat-asasan ini memaksapembacanya untuk cukup lama mencermati dan memikirkan apa sebenarnya yang ingindisampaikan oleh penulisnya. Pada contoh di atas, huruf Q menimbulkan ambivalensipengucapan dan pemaknaan, karena kadang digunakan untuk ku, seperti AQ (aku), tetapikadang digunakan untuk ki, seperti QT (kita). Demikian pula untuk 4, kadang dibaca for sepertib4 (before), tetapi kadang digunakan untuk empat seperti t’s4 (tak sempat).

Penghilangan huruf vokal memang menghemat ruang, tetapi juga berpeluang untukmenimbulkan kesalah-tafsiran. Berikut adalah cerita saya pribadi kepada seorang rekan yangsaya sampaikan melalui SMS pula:

One day I wrote an sms to  my staff. ”Sy mo ktm sampean”.

25 / 33

Page 26: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

The answer from him is, ”KTM apa KTP?”

I replied: ”ktm”.

He said OK. But, what happened  then?

A big file  of students’ cards (KTM) were put on my table.

Ha ha ha....

Bila tinjauan dilakukan berdasarkan mikrolinguinstik-preskriptif, maka dengan serta-merta kitaakan menyalahkan sejumlah perilaku berbahasa tersebut. Seperti hasil sebuah survai diNorwegia, bahasa pesan singkat telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru, karenabakal merusak bahasa Norwegia.

Pengiriman pesan teks (SMS) lewat telepon seluler (ponsel) menjadi cara berkomunikasipopuler, khususnya di kalangan anak muda, tapi sejumlah guru khawatir bahasa Norwegiabakal rusak. Sekitar 50 persen dari guru di Norwegia, yang turut dalam survei tentang pengaruhponsel di sekolah, menyatakan bahwa bahasa SMS mengancam bahasa Norwegia, demikianlaporan Koran Dagsavisen. Bahasa SMS lebih sering menggunakan singkatan, berkombinasiantara huruf dan angka. Survei, yang melibatkan sekitar 221 guru Norwegia ini, menemukanbahwa bahasa SMS sering muncul dalam tulisan di pekerjaan rumah murid-murid.

Survei ini dilakukan Berit Skog, seorang sosiolog, dan dia mengklaim bahwa hal ini menjadialasan para guru melontarkan pernyataan pesan SMS merusak bahasa Norwegia. Para guruberpendapat, bahasa tulisan pelajar mereka berubah setelah mengenal ponsel, dan khususnya

26 / 33

Page 27: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

mereka sering menggunakan singkatan, kata Skog menjelaskan ke harian itu. Ia jugamenyatakan bahwa banyak guru tak menyalahkan ponsel, tapi tetap mengakui bahwa tingkatberbahasa para murid menjadi lebih rendah. Bila dirata-rata, para pelajar di Norwegia mengirimSMS antara enam hingga 10 SMS per hari. [35]

Namun demikian, bila tinjauan dilakukan berdasarkan sosiolinguistik, maka gejala berbahasa inijustru memunculkan isu baru dalam linguistik. Gejala bahasa yang baru merebak dua tahunbelakangan ini, ternyata bisa menjadi cikal-bakal lahirnya teori linguistik baru, karena sangatjelas bahwa kaidah-kaidah parole dan kaidah-kaidah langue, sebagaimana diteorikan olehpenggagas linguistik modern, Ferdinand de Saussure, sudah tidak memadai lagi untukmenjelaskan ragam bahasa ini. Bahasa pesan singkat tidak bisa dikategorikan parole, pun tidakbisa masuk langue.[36]

Catatan Penyimpul

Ada beberapa simpulan yang bisa ditarik dari seluruh uraian tersebut. Pertama, hubunganbahasa dan pemikiran tidak sesederhana yang kita bayangkan, karena di antara keduanyaterdapat hubungan timbal-balik yang cukup rumit. Selain menggambarkan keruntutan dankejernihan cara berpikir, praksis bahasa juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang ingindicapai oleh penggunanya.

Kedua, sifat kepirantian bahasa memungkinkan manusia untuk terus-menerus memperluastingkat keserba-gunaan bahasa. Praksis berbahasa pun niscaya menampilkan dinamika sosial,corak masyarakat dan perangai penggunanya. Karena itu, sebagai bidang kajian lintas-disiplin,sosiolinguistik memiliki daya-tarik tersendiri dan masa depan yang prospektif.

Ketiga, bahasa yang bersinergi dengan pemikiran, merupakan prasyarat utama bagi usahamemajukan peradaban, karena bahasa dan pemikiran merupakan aspek batinian (tsaqaafah)dari peradaban. Hanya bila aspek batiniah ini berkembang dengan baik maka aspek kebendaan( madaniyah) dari peradaban juga akan berkembang. Sebagai lembaga yang digagas menjadi pusatperadaban Islam, maka sama sekali tidak ada alasan yang membenarkan bagi UniversitasIslam Negeri (UIN) Malang untuk mengabaikan pendidikan dwibahasa (bilingual

27 / 33

Page 28: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

), baik untuk kepentingan pembentukan kepribadian muslim, maupun untuk pengembangankecakapan keilmuan dan profesionalisme sivitas akademikanya. Oleh karena itu, apapunkendalanya berbagai upaya mesti dilakukan untuk mewujudkan Universitas Islam Negeri (UIN)Malang ini sebagai a bilingualuniversity: penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai salah satu program utamapengembangan universitas.

Keempat, betapapun manusia berdasarkan kecakapan bahasa, logika dan indra bisamengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih saja tersisa wilayah yang takterungkap. Implikasinya, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya bekerja efektif untukmemahami, menjelaskan dan sejauh mungkin memanfaatkan segala sesuatu yang berada dialam shahadah (empirical world). Fenomena alam ghaib (non-empirical world) terlalu sulit danmustahil untuk diungkap oleh ilmu pengetahuan empirik (al-ma’arif). Sebagaimana tampak jelas, kegiatan keilmuan berpotensi untuk sampai pada keyakinanterhadap yang ghaib.Namun demikian, sejauh yang bisa saya pahami, ilmu pengetahuan saja tidak cukup untukmengantarkan kita manusia yang baik. Untuk menjadi baik, manusia membutuhkan petunjukyang lebih jelas sebagaimana telah diemban oleh agama.

Kelima, menjadi semakin jelas bahwa manusia seutuhnnya tidak cukup ditakar dengankemampuannya mencapai kebenaran rasional-saintifik, tetapi juga pada kesediaannyamewujudkan kebaikan moral-etik. Agama, dalam pandangan saya, merupakan sumbernilai-nilai moral-etik personal dan sosial. Kemampuan untuk senantiasa menyeimbangkanantara dimensi rasional-moral, individual-sosial, dan material-spiritual ini yang menurutpandangan saya menjadi landasan kearifan hidup manusia (wisdom of human  life).

Saya pun harus setuju dengan jawaban Confusius ketika dia ditanya oleh para muridnya. ”Apayang hendak dikerjakan pertama, kalau anda diberi kekuasaan mengatur negara?” Jawabansaya pun mungkin sama. ”Membangun bahasa masyarakat saya”. Tentu saja jawaban inibukan hanya karena saya adalah Guru Besar bidang ilmu Sosiolinguistik, tetapi karena saya,walaupun agak terlambat, semakin memahami betapa bahasa adalah locus segalapemahaman, sekaligus juga piranti untuk membangun pemahaman tentang manusia.

Akhirnya dari seluruh uraian saya di atas, sampailah pada simpulan bahwa saya yakin

28 / 33

Page 29: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

seyakin-yakinnya sesungguhnya seluruh ciptaan Allah, termasuk bahasa, tiada yang sia-siabagi kehidupan manusia, sesuai firmanNya dalam surat Ali Imran ayat 191:

t$uZ­/u� $tB |Mø)n=yz #x�»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß� $oYÉ)sù z>#x�tã Í�$¨Z9$#

"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, makapeliharalah kami dari siksa neraka." [37]

[1] Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Sosiolinguistik, Fakultas Humaniora danBudaya, UIN Maliki Malang, Sabtu 9 Desember 2006.

[2] Ditulis ulang dari Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat Al-Baqarah, ayat 30-34 (Jakarta:Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

[3] “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.Periksa Al-Qur’an Terjemahannya, Surat At Tiin, ayat 4 (Jakarta: Yayasan PenyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

[4] Sakban Rosidi, The History of Modern Thought, (Malang: Center of Inter-Disiciplinary Studyand Cooperation, 2002)  pp. 28.

[5] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (London: Routledge & Kegan Paul,1972), pp. 115.

[6] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston,1990) pp. 62.

29 / 33

Page 30: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

[7] Ray P. Cuzzort and Edith W. King, Social Thought, (Colorado: Holt, Rinehart and Winston,1990) pp. 287.

[8] Ernest Cassirer, An Essay on Man, (New Haven: Yale University Press, 1944).

[9] Michael Polanyi, The Study of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1959).

[10] Soeseno Kartomihardjo, Sambutan Promosi Calon Doktor, Pendidikan Bahasa Inggris,Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang (UM), 1998.

[11] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Crossroad, 1960).

[12] Samir Okasha, Philosophy of Science: A very short introduction, (New York: OxfordUniversity Press, 2002).

[13] Thomas J. La Belle, Nonformal Education and Social Change in Latin America, (LosAngeles: University of California Press, 1976) pp. 201.

[14] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988), hal. 177.

[15] Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma, No 5, Mei 1987.

[16] Peter Russel, The White Hole in Time: Our Future Evolution and the Meaning of Now,(New York: The Acquiran Press, 1992).

30 / 33

Page 31: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

[17] Talcott Parsons, Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives, (EnglewoodCliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1966).

[18] Sejarah Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah Munawwarah:Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf, 1971).

[19] Untuk contoh pengkajian demikian, periksa Benedict R ‘OG Anderson, Language andPower , (London:Cornell University Press, 1990).

[20] Anthony Woodbury, Endangered Languages, a Working Paper, the University of Texas,Austin. 2005.

[21] Anthony Woodbury, Endangered Languages, a Working Paper, the University of Texas,Austin. 2005.

[22] Dewa 19, Republik Cinta,  Track 01 Republik Cinta, album musik, 2006.

[23] Sosiolinguistik Kurang Dapat Perhatian Fakultas Sastra, Kompas Cybermedia, Kamis, 30September 2004.

[24] Allen D. Grimshaw, Sociolinguistics, in Edgar F. Borgatta and Rhonda J. V. Montgomery, Encyclopedia of Sociology, (New York: Macmillan Reference USA, 2000). Hal. 2897.

[25] Mudjia Rahardjo, Mengapa Gus Dur Jatuh?, (Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2005).

31 / 33

Page 32: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

[26] Benedict R ‘OG Anderson, The Languages of Indonesian Politics, in Language and Power, (London: Cornell University Press, 1990). hal 123.

[27] Anthony Giddens, The Constitution of Society, (Cambridge: Polity Press, 1984).

[28] Elaine Chaika, Language: The Social Mirror. (Rowley-London: Newbury-House PublishersInc., 1982).

[29] Al-Qur’an Terjemahannya, Surat Ash Shaaffaat, ayat 102 (Jakarta: YayasanPenyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

[30] Peter Trudgill, Sociolinguistics: An introduction to language and society. (London: PenguinBooks, 1995).

[31] Walt Wolfram, Sociolinguistics, Working Paper, North Carolina State University, 2004.

[32] Teun A. van Dijk, Handbook of Discourse Analysis, (London: Academic Press, 1985).

[33] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surat Ar-Rahmaan ayat 13—77 (Jakarta: YayasanPenyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

[34] Jacques Derrida, Writing and Difference, (Irvine: the University of California, 196).

[35] Bahasa Norwegia Terancam oleh SMS. Mobiletrend.Com. 6 November 2004.

[36] Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, (New York: MacGraw-Hill Book,

32 / 33

Page 33: Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat ...mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/curriculum-vitae/130-bahasa... · Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan

Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)

Written by Mudjia RahardjoFriday, 26 February 2010 00:00 - Last Updated Saturday, 27 February 2010 08:12

Company, 1966).

[37] Ditulis ulang dari Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat Ali Imran, ayat 191 (Jakarta: YayasanPenyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971).

33 / 33