bahan wakaf
-
Upload
chany-rain -
Category
Documents
-
view
42 -
download
0
description
Transcript of bahan wakaf
A. Latar BelakangWakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikan di
Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf sudah ada sejak Islam masuk ke Nusantara kemudian berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia. Perkembangan wakaf dari masa kemasa ini tidak didukung oleh peraturan formal yang mengaturnya, praktik perwakafan selama itu hanya berpedoman kepada kitab-kitab fikih tradisional yang disusun beberapa abad yang lalu, banyak hal sudah tidak memadai lagi. Pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktik perwakafan dalam bentuk peraturan masih relatif baru, yakni sejak lahirnya undang-undang nomor 5 taahuun 1960 tentang agraria.
Praktik wakaf yang diterapkan di Indonesia masih dilaksanakan secara konvensional yang memungkinkan rentan terhdap berbagai masalah dan tidak sedikit yang berahir di pengadilan. Kondisi ini diperparah dengan adanya penyimpangan terhadap benda-benda wakaf yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dan sudah menjadi rahasia umum ada benda-benda wakaf yang diperjual belikan.
B. Rumusan MasalahAdapun yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Wakaf Dalam Konsepsi Hukum Islam 2. Pengaturan Wakaf di Indonesia 3. Perwakafan Menurut Kompilasi Hukum Islam 4. Penyelesaian Perselisihan Harta Wakaf
BAB IIPEMBAHASAN
A.Wakaf Dalam Konsepsi Hukum IslamMenurut pengertian bahasa, perkataan ” waqf” berasal dari kata
arab “waqofa-yaqifu-waqfa” yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan, memerhatikan, meletakkan, mengatakan, mengabdi, memahami, mencegah, menahan ,dan tetap berdiri.[1][1] Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal(tahbisul ahli)lalu menjadiakan manfaatnya berlaku umum. Pengertian cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Para pakar hokum islam berbeda pendapat dalam memberi definisi wakaf secara hokum (istilah). Al minawi yang bermahzab syafii mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Al Kabisi yang bermahzab Hanafi
mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wakaf itu menahan benda milik si wakif dan benda yang disedekahkannya adalah manfaatnya saja. Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikana manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.[2][2]
Dasar hokum pelaksanaan wakaf dalam Islam adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW[3][3]. Adapun yang dinyatakan menjadi dasar hokum wakaf oleh para ulama, Alquran Surat Al Hajj ayat 77 dan surat al Imran ayat 92.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.(Q.S. Al-Haj:77)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. sesunguhnya Nabi SAW. Bersabda yang artinya:
“Apabila seorang mati manusia, maka terputuslah atau terhenti pahala perbuatanya kecuali tiga perkara:shadaqatul jariyah (wakaf),ilmu yang dimanfaatkan, baik dengan cara mengajar maupun dengan karangan dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”B. Pengaturan Wakaf di Indonesia
Pengaturan wakaf sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqh bermahzab Syafii. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pengaturan wakaf telah dilaksanakan dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang wakaf.[4][4] Antara lain:
1. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen pertama tanggal 31 januari 1905 no. 435, sebagaiman termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196 tentangtoezicht opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen.Bahwa mendirikan tanah wakaf harus mendapat izin bupati.
2. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 juni 1931 no.1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezicht van de regering op mohammendanshe bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs.Bahwa untuk mendirikan tanah wakaf harus mendapat izin dari bupati untuk tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A termuat dalam Bijblad No.13390 tahun 1934, tentang Toezicht de regering op mohammedaansche bedehuizen Vridagdiensten en wakafs. Bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada bupati untuk dicatat dan dibebaskan dari pajak.
4. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 27 mei 1935 no.1273/A termuat dalam bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezicht van de regering op
mohammendanshe bedehuizen en Wakafs.bahwa wakaf cukup diberitahukan.[5][5]
Setelah proklamasi kemerdekaan RI , peraturan wakaf sebagiman disebut diatas masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II aturan peralihan Undang-Undang dasar 1945. Sejak terbentuknya kementrian agama pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf menjadi urusan kementrian agama bagian D (ibadah social). Selanjutnya kementrian agama pada tanggal 8 oktober 1956 mengeluarkan surat edaran nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.[6][6]
Lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Untuk memberi kejelasan hokum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peratutan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sejak berlakunya PP tersebut maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwkafan sebelumnya, sepanjang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.[7][7]
Setelah terbitnya PP nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, berturut-turut diterbitkan beberapa peraturan tentang pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut,diantaranya:
Pertama,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang pendaftaran tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik. Kedua,Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 tentang peraturan pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.Ketiga, Intruksi bersama antara Menteri Agama Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 1978 tentang pelaksanaan PP no 28 tahun1977 tentang perwakafan tanah milik. Keempat, Peraturan Direktorat Jenderal Bimas Islam Departemen Agama nomor Kep/D/75/D1978 tentang formulir dan pedoman pelaksanaan peraturan tentang perwakafan tanah milik. Kelima,Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada kepala kantor wilayah departemen agama propinsi/setingkat diseluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kecamatan sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Keenam, Intruksi Menteri Agama RI nomor 3 tahun 1979 tanggal 19 juni 1979 tentang petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1978. Ketujuh, Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji nomor D.Ii/5/07/1981 tanggal 17 februari 1981 kepada Gubernur KDH tk. I di seluruh Indonesia, tentang pendaftaran perwakafan tanah milik dan permohonan keringanan atau pembebasan dari semua pembebanan biaya pendaftaran.[8][8]
Eksistensi perwakafan di Indonesia diperkuat lagi dengan lahirnya UU no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selanjutnya sebagai hokum materiil pemerintah telah mengeluarkan Kompilasi Hokum Islam. Setelah sekian lama menunggu, pada tanggal 27 oktober 2004 Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf, Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159.
C. Perwakafan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Hokum perwakafan sebagaimana yang diatur oleh Kompilasi Hokum Islam di Indonesia pada dasarnya sama dengan hokum perwakafan yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal hokum perwakafan dalam kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan pnyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hokum Islam. Hokum perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 215 sampai dengan pasal 229.
Beberapa ketentuan hokum perwakafan menurut kompilasi yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya, antara lain:
1. Obyek WakafMenurut kompilasi hokum Islam bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya
berupa tanah milik sebagaimana yang disebutkan dalam PP nomor 28 tahun 1977. Obyek wakaf menurut kompilasi tersebut lebih luas. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 215.
2. Sumpah NadzirNadzir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah dihadapan
kepala KUA kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4. 3. Jumlah Nadzir
Jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala KUA Kecamatan atas saran Majeis Ulama Kecamatan ,dan camat setempat (pasal 219 ayat 5).
4. Perubahan Benda WakafMenurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap
hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala KUA Kecamatan atas saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
5. Pengawasan NadzirPengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir
dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala KUA Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya (pasal 227).
6. Peranan Majelis Ulama dan CamatKompilasi Hokum Islam dalam pewakafan memberikan kedudukan dan
peranan yang lebih luas kepada Majelis Ulama Indonesia Kecamatan dan Camat setempat dibanding dengan ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan sebelumnya. Hal ini antara lain dapat kita lihat dalam pasal 219 ayat 3 dan 5, pasal 220 ayat 2,pasal 221 ayat 2, pasal 222,pasal 225 ayat 2 dan pasal 227.[9][9]
D. Penyelesaian Perselisihan Harta Wakaf 1. Penyelesaian perselisihan
Pasal 12 PP no 28 tahun 1977 jo. Pasal 49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989 menegaskan bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui pengadilan
agama setempat yang mewilayahi benda wakaf tersebut. Pasal 17 peraturan menteri agama nomor 1 tahun 1978 pasal 17 menyatakan:
a) Pengadilan agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat islam yang antara lain mengenai:
1. wakaf, wakif, nadzir,ikrar dan saksi 2. bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf) 3. pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf. b) Pengadilan agama dalam melaksanakan ketentuan ayat (1) pasal ini
berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara pada peradilan agama.Mengenai teknis dan tata cara pengajuan gugatan ke pengadilan agama,
dilakukan menurut ketentuan yang berlaku. Kemudian pasal 229 kompilasi menegasan: hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sumgguh nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.[10][10]
2. Penyelesaian Sengketa dan Pidana dalam PerwakafanBagaiman cara penyelesaian terhadap sengketa wakaf? Dalam UU no 1
tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa penyelesaian tentang sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa ini tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,atau pengadilan.
Penyelesaian perselisihan yang menyangkut persoalan kasus-kasus harta benda wakaf diajukan kepada pengadilan agama dimana harta benda wakaf dan Nazhir itu berada, sesuai dengan peraturan perundang-undanagan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut hokum perdata,sedangkan yang terkait dengan hokum pidana diselesaikan melalui hokum acara dalam pengadilan negeri.[11][11]
Selain masalah penyelesaian sengketa, UU wakaf juga mengatur ketentuan pidana umum terhadap penyimpangan benda wakaf dan pengelolaannya sebagai berikut:
a). Bagi yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b). Bagi yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00(empat ratus juta rupiah).
c). Bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atau hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[12][12]
Ketentuan pidana merupakan suatu keharurusan dalam sebuah peraturan perundangan yang mengatur tentang suatu persoalan di negeri kita. Dalam sebuah
UU harus mencantumkan ketentuan khusus mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan jaminan agar supaya peraturan dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun, untuk memaksimalkan peran Peradilan Agama nampaknya perlu difungsikan sebagai Peradilan Syariah bagi setiap Warga Negara pemeluk agama Islam dalam kacamata hokum komprehensif. Dalam kedudukannya diatas, Peradilan Agama harus diberdayakan sebagai payung hokum bagi umat Islam dalam penyelesaian semua kasus-kasus perdata dan pidana yang berkaitan dengan hukum muamalat.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka pelaksanaan perwakafan (khususnya tanah) sudah ditentukan secara pasti dimana penyimpangan terhadap ketentuan itu sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana.[13][13]
BAB IIIPENUTUP
A. KesimpulanDari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan wakaf
sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqh bermahzab Syafii.
Lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Selanjutnya lahirlah secara beruntun peraturan-peraturan lain tenteng lain tentang wakaf, baik berupa UU maupun Peraturan Pemerintah. Dan yang terbaru telah disahkan peraturan wakaf pada tanggal 27 oktober 2004 Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan UU no 41 tahun 2004 tentang wakaf, Lembaran Negara RI tahun 2004 nomor 159.
Hokum perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakanpengembangan dan pnyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hokum Islam. Hokum perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 215 sampai dengan pasal 229. Penyelesaian perselisihan diatur Pasal 12 PP no 28 tahun 1977 jo. Pasal 49 ayat 1 UU no 7 tahun 1989 menegaskan bahwa perselisihan harta wakaf, disalurkan melalui pengadilan agama setempat yang mewilayahi benda wakaf tersebut
B. SaranSemoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan
dan sumber inspirasi bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat pemberdayaan wakaf direktorat jenderal bimbingan masyarakat islam departemen agama RI ,Fiqih Wakaf,Jakarta:,2007
Halim, Abdul,Hukum Perwakafan di Indonesia,Ciputat: Ciputat Press,2005 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,Jakarta:
Kencana,2006 Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia,Jakarata; Raja Grafindo Persada,2003 Suhendi, Hendi,Fiqh Muamalah,Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007 Usman, Suparman,Hukum Perwakafan di Indonesia,Jakarta:Darul Ulum
Press,1999
[1][1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:
Kencana,2006), hlm.237
[2][2] Ibid.,hlm.238
[3][3] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007),hlm.241
[4][4] Manan,Aneka…,hlm.249
[5][5] Suparman Usman,Hukum Perwakafan di Indonesia,(Jakarta:Darul Ulum
Press,1999),hlm.50-51. dan,Abdul Halim,Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:Ciputat
Press,2005),hlm.95
[6][6] Manan,Aneka…,hlm.251
[7][7] Ibid.
[8][8] Ibid,.hlm.252
[9][9] Usman,Hokum… ,hlm.103-106
[10][10] Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,(Jakarata;Raja Grafindo
Persada,2003),hlm.524-525
[11][11] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI ,Fiqih Wakaf,(Jakarta:,2007),hlm.84
[12][12] Ibid,.hlm.85
[13][13] Ibid ,.hlm.86
Hukum Wakaf (Tinjauan Yuridis UU Nomor 41 Tahun 2004 - halaman 3
Sabtu, 16 Januari 2010 19:47 | | |
Indeks Artikel
Hukum Wakaf (Tinjauan Yuridis UU Nomor 41 Tahun 2004
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Seluruh halaman
JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL
Kedua, memberikan advokasi secara penuh terhadapobyek-obyek wakaf yang menjadi
sengketa atau bermasalah secara hukum. Dukungan advokasi ini melibatkan banyak pihak, seperti
pihak Nazhir wakaf, pemerintah, ahli-ahli hukum yang peduli terhadap harta wakaf dan
masyarakat banyak. Pemberian advokasi ini harus dilakukan secara terpadu agar mendapatkan
hasil yang maksimal. Titik tekan keterpaduan ini menjadi hal yang sangat
berpengaruh, karena dalam menyelesaikan persoalan hukum, apalagi menyangkut persoalan
obyek yang sangat sensitive, terkait erat dengan rasa keadilan materiil dan formil
yang memerlukan kekompakan oleh semua pihak yang berkepentingan. Sehingga
dengan demikian pencapaian dalam pengamanan obyek-obyek wakaf dapat terpenuhi.
Ketiga, pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah-nya.Pelaksanaan peraturan perundang-undangan
wakaf tersebut sangat penting bagi perlindungan obyek-obyek wakaf secara umum. Karena
perlindungan, pemanfaatan dan pemberdayaan obyek-obyek wakaf secara maksimal dapat
dilakukan.
Keempat, pemanfaatan dan pemberdayaan obyek wakaf secara produktif. Di
samping pengamanan di bidang hukum, pengamanan dalam bidang peruntukan
dan pengembangannya harus juga dilakukan. Sehingga antara perlindungan hukum dengan
aspek hakikat obyek wakaf yang memiliki tujuan sosial menemukan fungsinya.
Keempat langkah pengamanan terhadap obyek-obyek wakaf tersebut harus segera
dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan, seperti Nazhir wakaf, pemerintah.[11]
Selanjutnya eksistensi wakaf mulai meluas dan berkembang dengan substansi
wakaf tunai (uang). Wakaf jenis ini sebenarnya telah muncul dalam kajian fiqh klasik
yang seiring dengan kemunculan ide revitalisasi fiqh muamalah dalam
perspektif maqasid al-syari’ah, yang bermuara pada al-maslahah al-
mursalah, sebagaimana dikatakan oleh Umar Chapra.[12] Menurut penulis, hal tersebut
merupakan kebalikannya, yaitu ide wakaf uang didasarkan pada al-maslahah al-
mursalah yang muaranya adalah al-maqasid al-syari’ah.
Gagasan wakaf tunai yang dipopulerkan melalui pembentukan Social
Invesment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas melalui instrumen Cash
Waqf Certificat telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis
kesejahteraan yang ditawarkan Chapra, termasuk untuk Indonesia. Dan hal itu
merupakan salah satu alasan – menurut penulis – Majelis Ulama Indonesia
memfatwakan hukum “BOLEH” untuk wakaf tunai sebagaimana dalam keputusan
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 28 Safar 1423 H./11 Mei 2002.[13]
Wakaf Tunai sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi
dana abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund
management-nya di tengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta
kecemasan krisis investasi domestik, dan sindrom capital flight.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa perwakafan merupakan pemindahan
hak, baik terhadap benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak
sehingga Sengketa wakaf dapat terjadi di antara wakif dan nazhir, dan dapat pula
terjadi antara nazhir dengan pihak ketiga, seperti ahli waris wakif. sehingga dapat
muncul sengketa di antara wakif dan nazhir, atau bahkan dengan pihak ketiga.
C. AKTA IKRAR WAKAF
Dalam upaya melengkapi sarana hukum, maka Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Obyek Milik. Salah satu
pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu pasal 9, mengharuskan
perwakafan dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya
adalah untuk memperoleh bukti otentik, misalnya sebagai kelengkapan dokumen pendaftaran
obyek wakaf pada Kantor Agraria maupun sebagai bukti hukum apabila timbul sengketa di
kemudian hari tentang obyek yang telah diwakafkan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak
mewakafkan obyek harus melengkapi dan membawa tanda-tanda bukti kepemilikan dan surat-
surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan pelepasan haknya atas
obyek tersebut.
Untuk kepentingan tersebut mengharuskan adanya pejabat yang khusus ditunjuk
untuk melaksanakan pembuatan akta tersebut, dan perlu adanya keseragaman mengenai
bentuk dan isi Akta lkrar Wakaf.[14]
Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 juga telah menegaskan
pentingnya kepatian hukum akan status obyek, khusunya obyek yang diperuntukkan untuk
kegiatan sosial. Dalam Pasal 19 UU tersebut ditegaskan bahwa :
1. (Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran obyek diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
Pengukuran perpetaan dan pembukuan obyek;
Pendaftaran hak-hak atas obyek dan peralihan hak-hak tersebut;
Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
RM. Sudikno Mertokusumo memberikan ketegasan prinsip bahwa hukum haruslah berfungsi
sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi secara
benar, maka hukum harus dilaksanakan/ditegakkan secara adil. Dalam menegakkan hukum,
menurut Sudikno, ada tiga unsur yang tidak boleh tidak harus diperhatikan, yaitu :
1. Kepastian hukum (Rechtssicherheit)
2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
3. Keadilan (Gerechtigkeit).[15]
Oleh karena itu, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara adil. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimanapun hukumnya, maka itulah yang harus berlaku, dan pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang sebagaimana sebuah pepatah menyatakan, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan.
Demikian juga asas kemanfaatan, kenyataan bahwa banyak obyek wakaf yang belum disertifikatkan dan tidak memiliki akta ikrar wakaf sementara wakifnya pun sudah lama meninggal, sedangkan obyek wakaf ini perlu dilindungi, maka demi kemaslahatan maka seharusnya ada lembaga isbat yang dapat memberikan penetapan isbat wakaf untuk pengesahan akta ikrar wakaf sebagai bahan untuk pengajuan sertifikat wakaf. Namun yang perlu dicermati dalam upaya isbat wakaf ini adalah, Majelis Hakim harus benar-benar menilai dan menemukan bukti-bukti yang akurat tentang status obyek wakaf tersebut, sehingga peranan penilaian dan persangkaan hakim sebagai salah satu alat bukti sangat berperan dalam kasus ini. Demikian juga saksi yang mengetahui secara benar akan kedudukan dan seluk beluk obyek wakaf tersebut juga sangat menentukan dalam menemukan bukti yang valid dan reliable
Perlindungan hukum terhadap obyek wakaf telah secara jelas dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 49 Ayat (3) bahwa "Perwakafan Obyek Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah". Untuk memenuhi Ayat 3 Pasal 49 tersebut pengaturan lebih lanjut dimuat di dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Namun akibat perkembangan sosial dan dampaknya terhadap penerapan ketentuan hukum positif, maka adanya pembaruan aturan-aturan hukum merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa dihindari.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Bab VII Undang-Undang Wakaf di atas
menyebutkan bahwa Menteri Agama melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf dengan
mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia (selanjutnya disebut BWII[16] dengan tetap
memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Dalam melakukan pembinaan,
keduanya dapat melakukan kerjasama dengan ormas, para ahli, badan internasional, dan pihak
lain yang dipandang perlu, sedangkan dalam melaksanakan tugas pengawasannya dapat
menggunakan akuntan publik. [17]
D. Jenis Perkara Wakaf
Pasal 226 KHI menyebutkan "Penyelesaian perselisihan sepanjang yang
menyangkut benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku." Pasal tersebut di
atas memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
perselisihan mengenai benda wakaf dan Nadzir. Kata "perselisihan" pada pasal tersebut
menunjukkan secara jelas bahwa masalah (perkara) wakaf dan Nadzir merupakan
masalah contentius sehingga perkara wakaf merupakan perkara contentius, sedangkan
wakaf yang tidak diperselisihkan tidak dianggap sebagai perkara contentius sehingga
bukan perkara, sekalipun dapat menimbulkan sengketa pada masa-masa sesudahnya.
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun 2004 menyebutkan
penyelesaian sengketa perwakafan dilakukan dengan cara: musyawarah untuk mufakat,
mediasi, arbitrase, atau pengadilan.[18] Dan penjelasan pasal tersebut di atas berbunyi
“Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak
ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi
tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa
kepada badan arbitrase syari’ah. Dalam hal badan arbitrase syari’ah tidak berhasil
menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama
dan/atau mahkamah syar’iyah.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan kembali
kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara sengketa wakaf sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 49 undang-undang tersebut yang berbunyi “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan,
b) waris, c) wasiat, d) hibah, e) wakaf, f) zakat, g) infaq, h) shadaqah, dan i) ekonomi
syari’ah.” Dengan demikian sengketa jenis apa pun yang berkaitan dengan wakaf, baik
harus diselesaikan oleh Peradilan Agama
Penjelasan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomo 41 Tahun
2004 menyebutkan “Dalam hal badan arbitrase syari’ah tidak berhasil menyelesaikan
sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau
mahkamah syar’iyah.” Lalu bagaimana “apabila ketentuan pidana sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 67 terjadi, lembaga peradilan manakah yang berwenang
untuk mengadilinya?” Penjelasan pasal tersebut berbunyi “cukup jelas”,sedangkan
penjelasan Pasal 62 ayat (2) tidak menyebutkan lembaga peradilan lainnya selain lembaga
peradilan agama dan /atau mahkamah syar’iyah. Oleh karena itu, sekalipun bunyi
penjelasan pasal “cukup jelas”, penulis berpendapat bahwa penyelesaian dikembalikan
kepada lembaga peradilan yang mengadili perkara pidana, yaitu peradilan umum.
Untuk menngadili perkara wakaf, Peradilan Agama harus mempedomani
ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga hukum acara
yang berlaku secara umum untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura adalah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 130 HIR, dan untuk Pengadilan Agama di luar Jawa
dan Madura adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154 R. Bg., dan dalam
melakukan peradilan, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tetap tidak
boleh diabaikan.
Satria Effendi mengatakan bahwa berdasarkan informasi hukum yang diterimanya
antara 1991 – 1998, terdapat variasi warna sengketa wakaf, yaitu :
1. Penggugat mendakwa (baca: menggugat, pen.) adanya ikrar wakaf dari pemilik
sebidang kebun untuk kepentinganmeunasah, sedangkan ahli waris dari pemilik kebun itu tidak mengakui adanya ikrar wakaf dari orang tuanya.[19]
2. Dakwaan (baca: gugatan, pen.) adanya penukaran obyek wakaf oleh pihak tertentu. [20]
3. Gugatan pembatalan wakaf karena telah disalahgunakan oleh pihak nazir pada hal-hal
yang tidak sejalan dengan maksud pihak yang berwakaf.[21]
4. Pihak tergugat tidak secara tegas mengingkari adanya ikrar wakaf dari pihak orang
tuanya.[22]
Beliau mengemukakan pula bahwa sengketa wakaf terjadi disebabkan oleh
beberapa kemungkinan berikut ini:
1. Kedangkalan pemahaman sebagian umat Islam tentang kedudukan dan arti harta wakaf,
baik bagi wakif maupun masyarakat, sementara wakaf mempunyai dua dimensi: ibadah dan sosial;
2. Harga obyek yang semakin melambung dapat menjadi pemicu timbulnya masalah wakaf;
3. Sewaktu melakukan ikrar wakaf, pihak wakif tidak memperhitungkan kondisi ekonomi
pihak ahli waris yang akan ditinggalkan sehingga seluruh hartanya atau sebagian besarnya diwakafkan. Akibatnya, terjadi pengingkaran oleh ahli warisnya;
4. Kondisi ekonomi pihak nazir yang tidak menguntungkan sehingga mendorongnya untuk
menyalahgunakan harta wakaf;
5. Kondisi nazir yang tidak memahami bahwa penggunaan harta wakaf harus sesuai dengan
tujuan pihak wakif;
6. Pihak yang berwakaf tidak tidak secara tegas memberitahukan anak atau ahli warisnya
bahwa obyek tertentu telah diwakafkan kepada pihak tertentu; atau
7. Nazirnya bukan badan hukum, melainkan bersifat pribadi sehingga lebih leluasa dan
sekehendak hati mendayagunakan benda wakaf tanpa kontrol.
Hal-hal tersebut di atas merupakan permasalahan perwakafan yang memerlukan
peraturan-peraturan yang mampu mengantisipasi dampak negatifnya, yang akhirnya
diselesaikan di Pengadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, apabila di Pengadilan Agama dalam hal
perkawinan ada gugatan/sengketa(Contentius) dan ada permohonan (Voluntair),
sementara dalam perkara wakaf hanya ada perkara contentius, seharusnya dalam
masalah wakaf perkara yang sifatnya voluntair juga harus ada, misalnya pemberian
kewenangan kepada pengadilan agama untuk isbat wakaf. Oleh karena itu, dengan ber-
istithrad,[23] isbat wakaf termasuk bagian dari yang akan disampaikan dalam
pembahasan ini.
Yahya Harahap mengatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1970
meskipun telah diganti dan tidak dicantumkan dengan UU No. 4 tahun 2004, masih dianggap
relevan yaitu bahwa adanya kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang
tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki
(adanya ketentuan / penunjukan) oleh Undang-undang.[24]
Menurut penulis, dalam upaya memelihara harta benda / benda-benda wakaf dan
menjaganya agar tetap ada, tidak rusak, dan tidak hilang, maka berdasarkan tujuan umum
dan muktabar hukum Islam, yaitu pemeliharaan harta benda wakaf sebagai bagian dari
pemeliharaan harta benda, hifzh al-mâl, maka benda-benda wakaf yang ada tetapi belum
ada AIW-nya, dapat diajukan isbat / pengesahan wakaf kepada Pengadilan Agama, dan
produknya berupa penetapan. Pembuatan aturan (hukum) yang demikian dalam hukum Islam
dikenal dengan sebutan istishlahi. Di samping itu, penetapan juga dapat dibuat
berdasarkan analogi, yaitu dengan menganalogkannya kepada isbat nikah sebagaimana
dalam Pasal 7 ayat (2) KHI. Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian Hakim adalah
apabila suatu benda dinyatakan sebagai wakaf berdasarkan ijma sukûti, lalu pada waktu-
waktu berikutnya ada pengakuan seseorang tentang benda wakaf itu sebagai miliknya,
maka Hakim harus berani menyatakan bahwa benda wakaf yang diakui miliknya itu benar-
benar sebagai benda wakaf. Dan termasuk bagian dari benda wakaf adalah hasil yang
diperoleh dari pemanfaatan benda wakaf oleh suatu lembaga sosial-keuangan dan /atau
lembaga keuangan-sosial, setelah dikurangi biaya-biaya operasional.
Pengucapan ikrar wakaf dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) dan perwakafan obyek tersebut hanya dapat dibuktikan dengan adanya AIW setelah
diucapkan oleh wakif. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kalau obyek wakaf tersabut
tidak mempunyai AIW dan belum bersertifikat sedangkan wakif sudah meninggal. Maka dalam
hal inilah peran Pengadilan Agama dapat memberikan Penetapan Wakaf yang diajukan oleh
Nazhir dan penetapan tersebut dapat menjadi bahan untuk pembuatan Sertifikat Obyek
Wakaf.
Demikian pula halnya apabila Pasal 7 ayat (2) KHI dianalogikan kepada isbat
wakaf, maka obyek wakaf, bila tidak adaAIW-nya seharusnya dapat juga mengajukan isbat
wakafnya ke pengadilan agama. Dan untuk menyempurnakan kewenangan Peradilan
Agama dalam mengadili perselisihan tentang benda wakaf dan Nadzir, perlu
disiapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan kewenangan
voluntair (isbat wakaf) kepada lembaga Pengadilan Agama.
Berdasarkan uraian di atas, adanya peraturan yang dapat melindungi
keberadaan obyek wakaf bukan lagi sebagai kebutuhan melainkan juga keharusan dan
mutlak diperlukan, agar obyek wakaf tetap terjaga kelestariannya serta dapat lebih
ditingkatkan fungsinya., Kelahiran dan pengesahan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
beserta Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Pe r wa k a f a n Obyek Milik yang merupakan
pelaksanaan dari Pasal 49 Ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
pokok A g r a r i a (UUPA), diharapkan semakin dapat memperkuat dan melindungi obyek
wakaf sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
E. Penutup
1. Kesimpulan :
a. Banyak manfaat dari pendaftaran dan sertifikasi obyek wakaf.
b. Obyek wakaf yang tidak bersertifikat dan tidak jelas statusnya sangat rentan untuk dipersengketakan dan menjadi sumber konflik.
2. Saran :
a. Obyek wakaf secara nasional di seluruh wilayah nusantara perlu diamankan secara terpadu oleh seluruh pihak yang terkait.
b. Harus dibuat aturan hukum untuk memelihara obyek-obyek wakaf yang tidak dipersengketakan agar mempunyai kekuatan hukum.
c. Diperlukan aturan dan pedoman untuk isbat wakaf bagi hakim.