bahan presentasi.docx

45
Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam) 1 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam dan HAM (Hak-Hak Manusia dalam Indonesia)” sesuai yang diharapkan. Makalah ini dibuat berdasarkan standar kompetensi mahasiswa Politeknik Negeri Bandung, dengan beberapa penyesuaian. Setiap mahasiswa khususnya yang beragama islam mendapatkan Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam (PAI) diharapkan dapat memahami isi di dalam makalah ini tentang pendalaman HAM dalam Islam terutama dalam hal hak-hak wanita dalam islam. Penulis masih menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini dan penulis masih sangat terbuka atas kritikan, sehingga makalah ini dapat menjadi lebih sempurna. Ucapan terima kasih senantiasa kami sampaikan kepada Bapak Nur Hasan Almurtado M.Ag sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam (PAI). Semoga Allah SWT memberikan segala kemudahan kepada kita semua salah satunya dalam menegakkan Hak Asasi Manusia dalam Islam agar kita menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

description

bahan presentasi hak-hak wanita dalam islam

Transcript of bahan presentasi.docx

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)1

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya yang

pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam dan HAM (Hak-Hak

Manusia dalam Indonesia)” sesuai yang diharapkan.

Makalah ini dibuat berdasarkan standar kompetensi mahasiswa Politeknik Negeri

Bandung, dengan beberapa penyesuaian. Setiap mahasiswa khususnya yang beragama islam

mendapatkan Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam (PAI) diharapkan dapat memahami

isi di dalam makalah ini tentang pendalaman HAM dalam Islam terutama dalam hal hak-hak

wanita dalam islam.

Penulis masih menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini dan penulis masih sangat

terbuka atas kritikan, sehingga makalah ini dapat menjadi lebih sempurna. Ucapan terima kasih

senantiasa kami sampaikan kepada Bapak Nur Hasan Almurtado M.Ag sebagai dosen

pembimbing Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam (PAI). Semoga Allah SWT

memberikan segala kemudahan kepada kita semua salah satunya dalam menegakkan Hak Asasi

Manusia dalam Islam agar kita menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung, Juni 2014

Penulis

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dilihat dari kodrat manusia, hakekatnya telah dianugerahi hak-hak pokok yang

sama oleh Allah SWT. Hak-hak pokok inilah yang disebut sebagai hak asasi manusia (HAM).

HAM yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal, dan abadi berkaitan dengan

martabat dan harkat manusia itu sendiri. HAM juga menjadi keharusan dari sebuah negara untuk

bisa menjaminnya dalam konstitusinya.

Konsep HAM inilah yang selama ini menjadi perdebatan bagi seluruh Negara di

dunia. Yang menjadi perdebatan adalah apakah konsep HAM sepeuhnya dapat ditegakkan atau

hanya di atas kertas belaka. Padahal sudah jelas dalam al-quran tertera hak-hak mendasar bagi

seluruh makhluk di bumi. Banyak konsep HAM yang membicarakan hak untuk hidup bebas dan

merdeka, tapi masih banyak Negara di dunia ini yang terjajah oleh bangsa barat yang adidaya.

Contoh Negara tersebut adalah Palestina dan Irak. Konsep HAM lainnya yang masih menjadi

pertanyaan adalah tentang pengakuan akan hak-hak wanita. Masih banyak Negara-negara di

dunia yang mengabaikan hak-hak wanita, seakan-akan wanita adalah budak dan sapi perahan

semata. Dari berbagai ketidaksinkronan tersebut perlu adanya pengkajian kembali bagaimana

pengaturan HAM, pengakuan HAM, dan Penegakkan HAM secara tepat dan benar.

Contoh kasus penegakkan HAM khususnya yang menyangkut hak-hak wanita terjadi di

India. Pengadilan Tinggi (Supreme Court) India yang telah memenangkan kasus Shah Bano dan

mendeklarasikan Undang Undang Perlindungan Hak-hak Wanita dalam Perceraian (Protecting

of Right on Divorce), yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebagian besar Koran dan majalah

memuat artikel-artikel tentangnya secara berlebih lebihan. Sayangnya, kebanyakan artikel

tersebut ditulis oleh orang yang tidak begitu paham, bahkan sama sekali tidak mengerti masalah

hak-hak wanita dalam Islam. Penulis penulis itu berasal dari kalangan non-Muslim dan Muslim.

Penulis non-Muslim mengira bahwa wanita muslim tidak lebih dari binatang ternak yang tidak

boleh menikmati hak-haknya1, sedangkan mereka yang muslim anggapan bahwa wanita harus

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)3

tunduk kepada laki-laki, meskipun sedapat mungkin juga diberi hak, namun tidak melibihi apa

yang telah ditetapkan oleh syariat. Dan perdebatan yang tidak lengkap ini terus berjalan;

kenyataannya memang sangat sedikit penulis-penulis yang mengetahui hak-hak wanita yang

sebenarnya dalam islam. Oleh karena itu, kita perlu mediskusikan masalah hak-hak wanita ini,

sehingga menjadi jelas dan karenanya wanita Muslim dapat menikmati hak-haknya.

1.2       Rumusan Masalah

Berikut ini adalah berbagai topik permasalan utama yang akan dibahas dalam makalah ini, antara

lain

Apa pengertian HAM itu?

Apa hubungannya HAM dengan Islam?

Bagaimana bentuk penerapan HAM dalam islam?

Apa hubungan HAM dan hak-hak wanita?

Bagaimana konsep hak-hak wanita dalam Islam?

1.3       Tujuan

Seperti halnya dengan makalah yang lain, makalah kami juga memiliki tujuan agar memiliki

tolak ukur. Tujuan penyusunan makalah ini adalah:

Mengetahui pengertian HAM itu

Mengetahui apa hubungan antara HAM dengan Islam

Mengetahui bentuk penerapan HAM dalam islam

Mengetahui hubungan HAM dan hak-hak wanita

Mengetahui konsep hak-hak wanita dalam Islam

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)4

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat

padanya dimanapun ia berada. Tanpa Adanya Hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai

manusia yang wajar. Hak Asasi Manusia adalah suatu tuntutan yang secara moral dapat

dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat perlindungan hukum.

Dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak asasi manusia (Universal

Declaration of Human Rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai:

“Pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat

dipindahkan ke orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan

dan keadilan di dunia.”

Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu

berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip keuniversalan ini

dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat

diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa

umat manusia berada dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di

pelosok pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu HAM tidak bisa didasarkan secara

partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara lokal.

Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip

ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Setiap

orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang

lainnya. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang

sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman warna kulit

seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Kenekaragaman agama juga merupakan sesuatu hal

yang mendapat tempat dalam sifat non-diskriminasi ini. Pembatasan seseorang dalam beragama

merupakan sebuah pelanggaran HAM.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)5

Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian sengketa

tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia

mempunyai beragam latar belakang sosial maupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu

dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini dimaksudkan agar

hukum tidak memihak pada suatu golongan.

2.2. Hubungan antara HAM dengan Islam

Hak Asasi Manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan

manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah, manusia adalah

makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dan karena ia juga mempunyai hak

dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter,

tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan

sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.

Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan,

kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang

semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang

dinikmati seorang manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :

“Hai Manusia, sesnungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan permpuan dan kamu

jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya

yang paling mulia diantara kaum adalah yang paling takwa.”

            Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran islam

memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik

yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam

terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut

juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu

mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din

(penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu

al-nafs wa al-ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu), hifdzu al-‘aql

(penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga

keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)6

tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu,

individu dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan

komunitas agama yang lainnya. Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum

islam

1.      Hak Hidup

Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas

pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya

hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani

dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah

melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).

Hak hidup dibagi atas beberapa hak antara lain:

a. Hak Pemilikan

Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun

untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan

janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil

dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian

harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2:

188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia.

b. Hak Berkeluarga

Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah

memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS.

24: 32). Allah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah yang telah diberikan pada diri

manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.

Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-

laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam

hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai

hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami

mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228) .

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)7

2. Hak Keamanan

Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan

keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada

mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-

4).

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika

warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya.

Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim

dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial

kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah

yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku

beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).

3. Hak Keadilan

Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum

sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari

tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang

diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat

memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi

penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup.

Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung

dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Hak Saling Membela dan Mendukung

Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada

pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah

kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan

relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima:

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)8

menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan

mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).

5. Hak Keadilan dan Persamaan

Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan

persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan

An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah

anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus

putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh

Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang

berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang

lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..."

6.   Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi

Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci

adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak

orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di

muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman

semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah

memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9).

Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika

akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa

mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah

mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak

mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) serta tidak melarang upacara-upacaranya.

7.   Hak Bekerja

Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja

merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)9

baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya

sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist:

"Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

2.3 Konsep HAM terhadap wanita

Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang perempuan terkadang mendapatkan diskriminasi dan

anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan,

keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan

adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama perempuan sendiri menyadari

pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu jenis hak asasi manusia yang

harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu

diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi perempuan.

Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia

seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia

dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Dalam

pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang

perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. System hukum

tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang

terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang

terdapat dalam system hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit

maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat pengaturan

tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar

sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.

Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan jenis-jenis

hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tersebut. Jenis hak-hak perempuan yang

ada, antara lain:

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)10

1. Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik

Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk

turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan

terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain :

a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan

kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.

b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan

wakil rakyat di pemerintahan

c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah

dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik

negara tersebut.

Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan

dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang

umum dalam Pasal 21 DUHAM butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum

yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7

dan 8 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan.

Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan dalam

instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan

umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang

eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang

ditentukan”.

2. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan

Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk mendapatkan

kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal. Misalnya seseorang yang

hidup dan tinggal di negara Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Kewarganegaraan

maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan

kewarganegaraan Indonesia. Apabila syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi maka setiap orang

tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai

salah satu hak yang harus dipenuhi terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)11

yang sama untuk mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara terkait.

Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan tersebut dapat

ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam

bahasa yang umum dalam Pasal 15 DUHAM yang berbunyi :

1. “Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan

2. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya

atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya”.

Sedangkan dasar hukum dalam ranah internasional yang menggunakan bahasa yang

lebih khusus dan spesifik dapat ditemukan dalam Pasal 9 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi

tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin, Pasal 1 Konvensi tentang Kewarganegaraan

Perempuan. Dimana dari dasar hukum tersebut dapat diketahui bahwa seorang perempuan

mempunyai hak untuk memperoleh, mengganti atau mempertahankan kewarganegaraanya

akibat perkawinannya dengan seorang pria. Dan setiap negara dari asal perempuan tersebut

harus dapat menjamin keberadaan haknya tersebut.

Dalam ranah nasional, dasar hukum mengenai hak perempuan di bidang

kewarganegaraan dapat ditemukan dalam Pasal 47 UU HAM yaitu “seorang wanita yang

menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti

status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti,

atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.” Isi pasal tersebut jika dibandingkan

dengan pengaturan internasional terkait yang ada mempunyai pengaturan yang hampir sama.

Dengan kata lain pengaturan hak-hak perempuan di Indonesia merupakan adaptasi dari

pengaturan yang ada dalam ranah internasional. Dengan demikian jaminan atas hak

perempuan tersebut tentunya selain diakui di Indonesia namun juga diakui dalam tingkat

internasional.

3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran

Pendidikan adalah dasar yang paling penting bagi kehidupan manusia. Dengan

pendidikan seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari kualitas akal,

pemikiran, perilaku hingga ekonomi. Dan pendidikan tersebut tentunya didapatkan dengan

pengajaran. Pengajaran harus diberikan pada setiap orang untuk mendapatkan pendidikan

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)12

yang layak dan berkualitas. Oleh karena itulah maka kemudian setiap manusia di dunia ini

berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, tidak terkecuali untuk semua

perempuan. Setiap perempuan sama halnya dengan setiap pria mempunyai hak untuk

mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

Atas dasar itulah maka kemudian dalam instrumen internasional dapat kita temukan

pengaturan-pengaturan yang menjamin hal tersebut. Pengaturan tersebut dapat bersifat umum

untuk semua orang, maupun bersifat khusus untuk setiap perempuan. Instrumen internasional

yang bersifat umum antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 26 (1) DUHAM. Sedangkan

yang bersifat lebih khusus dapat ditemukan dalam Pasal 10 CEDAW, Pasal 13 ayat (2)

Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Pasal 4 (d) Konvensi Melawan

Diskriminasi dalam Pendidikan.

Selain itu pengaturan mengenai hak tersebut dapat juga kita temukan dalam

instrumen nasional kita. Pengaturan yang bersifat lebih umum dapat kita temukan pada Pasal

31 (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dan yang bersifat lebih khusus melindungi hak

perempuan dapat ditemukan dalam Pasal 48 UU HAM yang menyebutkan bahwa “Wanita

berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur

pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”.

4. Hak-hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan

Berkaitan dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan, terdapat hak-hak

yang harus didapatkan perempuan baik sebelum, saat, maupun sesudah melakukan pekerjaan.

Sebelum mendapat pekerjaan, seorang perempuan mempunyai hak untuk diberikan

kesempatan yang sama dengan pria untuk mendapatkan pekerjaan yang seseuai dengan

kemampuannya, sehingga mereka perempuan harus dapat dilakukan seleksi terhadapnya tanpa

ada diskriminasi apapun. Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan juga mempunyai hak-

hak yang harus dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya, mendapatkan

kondisi kerja yag aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk dapat meningkatkan

pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak untuk mendapatkan pelatihan

untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya. Setelah mendapat pekerjaan, tentunya ada saatnya

ketika perempuan harus berhenti dan meninggalkan pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)13

berakhir, seorang perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil

dan sesuai dengan kinerja dan kualitas pekerjaan yang dilakukannya.

Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 23

DUHAM, Pasal 6 ayat (1), 7 dan Pasal 8 ayat 1 butir (a) dan (b) Konvensi Internasional

tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana didalamnya diatur hak-hak seseorang

atas suatu profesi dan pekerjaan yang berlaku bagi semua orang. Dan pada Pasal 11 CEDAW,

Pasal 3 Konvensi tentang Hak-Hak Politik Perempuan, dapat ditemukan adanya perlindungan

hak tersebut yang diberlakukan lebih khusus kepada semua perempuan.

Dalam instrumen nasional mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 76 Undang-Undang

Nomor 76 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM disebutkan bahwa ”Wanita berhak untuk

memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan

dan peraturan perundang-undangan”.

5. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan

Perlu diketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak-hak perempuan di bidang

kesehatan adalah penjaminan kepada para perempuan untuk mendapatkan perlindungan yang

lebih dan khusus. Hal ini terutama akibat rentannya kesehatan wanita berkaitan dengan fungsi

reproduksinya. Seorang wanita telah mempunyai kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk

mengalami kehamilan, menstruasi setiap bulan dan juga kekuatan fisik yang lebih lemah

dibandingkan pria. Adanya hal-hal tersebut inilah maka kemudian dirasakan perlu untuk

melakukan perlindungan yang lebih khusus kepada mereka perempuan.

Dalam instrumen internasional mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 25 (2)

DUHAM yang berbunyi “ibu dan anak berhak mendapat perhatian dan bantuan khusus.

Semua anak baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati

perlindungan sosial yang sama”. Dan pada Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta dalam Pasal 11 butir (f), Pasal 12 dan Pasal 14

CEDAW. Sedangkan untuk instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 28 H UUD 1945

yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh kesehatan”. Adanya

dasar pengaturan ini menunjukkan bahwa negara kita menjamin setiap warganya untuk

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)14

mendapatkan jaminan kesehatan dari negara. Khusus untuk setiap wanita perlindungan

kesehatan dijaminkan lebih lagi dalam Pasal 49 (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM yang menyebutkan bahwa “perempuan berhak untuk mendapatkan

perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang

dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi

wanita”.

6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum

Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang sederajat dengan

pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini seringkali terlihat terutama

pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus

mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan pria. Keadaan inilah yang kemudian

menimbulkan kesadaran bagi para perempuan bahwa setiap perempuan mempunyai

kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata hukum, sehingga kemudian muncul salah satu

hak perempuan lainnya yang diakui baik di tingkat internasional maupun nasional.

Dasar hukum dalam instrumen internasional atas hak-hak perempuan ini secara umum dapat

ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional

tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara khusus dalam Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam

instrument nasional dasar hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM

yang berbunyi “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan

perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.

Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan yang berhubungan dengan hukum dan

masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang menimpa perempuan di Indonesia

diantaranya :

1. Kekerasan terhadap perempuan

2. Perempuan sebagai korban perkosaan

3. Perempuan sebagai pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi

4. Perempuan dan aborsi

5. Perempuan dan pornografi dan pornoaksi

6. Perdagangan perempuan

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)15

7. Hak-hak perempuan dalam ikatan /putusnya perkawinan

Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa harus

melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas putusnya

perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama

terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua belah pihak juga

mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta bersama dengan persentase yang

adil.

Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam

Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 16 butir (c) sampai dengan butir (g) CEDAW. Dan dalam instrumen

nasional dapat ditemukan dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai

berikut :

(2) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab

yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-

anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak”.

(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan

mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa

mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

2.4 Hak-Hak Wanita Dalam Islam

Konsep HAM terhadap wanita yang selama ini dijadikan rujukan dalam penegakkannya

ternyata telah sejak lama tertera dalam al-quran. Sebagai sumber hukum islam yang utama al-

quran sudah secara jelas mengatur hakikat wanita dalam kehidupan. Pada sub bab ini akan

dibahas tentang kedudukan perempuan dalam berbagai hal diantaranya, sebagai berikut :

1. Nikah

Kita ketahui bersama bahwa pernikahan didalam islam merupakan sebuah perjanjian

kontrak (contract). Belakang ini sejumlah orang menganggapnya sebagai perjanjian yang suci

(sacred contract). Terletak diantara sacral dan sebagai kontrak.6 Namun sebuah penelitian

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)16

tentang perkembangan pernikahan semenjak zaman pra Islam menunjukkan bahwa pernikahan

itu lebih sebagai perjanjian kontrak daripada bersifat sacral. Yang lebih penting dalam masalah

ini adalah bahwa keduanya, laki-laki dan wanita, berdiri sederajat. Laki-laki tidak memiliki hak

istimewa diatas wanita, dan wanita juga tidak memiliki hak diatas laki-laki. Seorang wanita

mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian sesukanya, sebatas tidak melanggar ketentuan

Allah (hududullah). Dia dapat mengadakan perjanjian dengan alasan yang dapat diterima,

termasuk hak untuk bercerai (talaq tajwiz). Dengan hak ini, jika dia diperlakukan secara tidak

adil oleh suaminya (termasuk jika suaminya menikah lagi), dia dapat menuntut perceraian.

Seorang wanita mempunyai hak untuk menerima perjanjian nikah, ataupun menolaknya.

Menurut Sahih Bukhari, Nabi membatalkan pernikahan Khansa’ binti Khizam, ketika ayahnya

memaksakan pernikahan yang tidak sesuai dengan kehendak Khansa. Sehingga dia menjadi

seorang janda.9 Seperti telah dikatakan berulang kali bahwa Al-Qur’an tidak mengenal konsep

wali. Seorang wanita bebas untuk menikah sendiri tanpa wali, jika dia menghendaki. Dalam

kasus janda dan perceraian, para hakim yang paling ortodoks pun menyetujui bahwa para wanita

tidak memerlukan wali dan bebas untuk menikahkan diri sendiri.

2. Mahr

Ketika hendak memasuki jenjang pernikahan, wanita bebas menentukan jumlah mahr

(mahar) yang dia sukai dan mahar itu menjadi miliknya, bukan milik ayah atau suaminya. Dia

bebas menggunakan mahar sekehendak hatinya. Al-Qur’an mengatakan, “Berikan mahar kepada

wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka

menyerahkannya kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah

(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”10 (QS 4:4) Tidak

ada batasan dalam menentukan besarnya mahar. Al-Qur’an mengajarkan agar laki-laki

memberikan mahar sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuannya. :Dan jika kamu ingin

mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang

diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya

barang sedikit pun.”11 (QS 4:20) Ketika Khalifah kedua, HazratUmar, ingin membatasi jumlah

mahar, seorang wanita berdiri dan membacakan ayat ini, serta berkata bahwa Allah

menginginkan laki-laki memberikan maharnya sebanyak yang dia mampu. Hazrat umar

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)17

kemudian berkata bahwa meskipunseorang wanita lebih mengetahui fiqh dalam masalah ini

daripada dirinya, dia tetap harus meminta mahar secara wajar. Sesuai dengan Al-Qur’an, wanita

memang boleh menetapkan mahar sebanyak mungkin. Dan Al-Qur’an juga memperingatkan

laki-laki untuk tidak mengambil mahar yang diberikan kepada istri-istrinya, “Tidak halal bagimu

mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka….”12 Jadi, Al-Qur’an

menghendaki tidak boleh ada campur tangan terhadap hak wanita atas mahar.

3. Hak untuk Mendapatkan Biaya Hidup

Hak untuk mendapatkan biaya hidup atau nafkah dapat dibagi menjadi dua:

1. Hak untuk mendapatkan biaya hidup sebagai seorang istri

2. Hak untuk mendapatkan biaya hidup setelah perceraian.

Seperti kita ketahui, hak yang terakhir ini menjadi perdebatan yang panjang bagi para

ulama. Selanjutnya, kita akan mulai dengan membicarakan hak sebagai seorang istri, yakni

manakala tali pernikahan belum putus.

3.1 Hak istri atas nafkah

Menurut Al-Qur’an, laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi istrinya dan

anak-anaknya yang dilahirkan dari istrinya setekah berlangsung pernikahan yang sah.

Disebutkan, “Laki-laki adalah yang bertanggung jawab…” (Al-Qur’an, 4: 34). Masih ada ayat-

ayat lain yang berkenaan dengan masalah ini. Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa nikah

itu sendiri tidak membuat seorang suami mempunyai kewajiban untuk menghidupi istrinya.

Justru yang dikenakan kewajiban adalah istri untuk menyerahkan tubuhnya kepada suaminya

sebagai tanda sempurnanya pernikahan.13 Bila seorang istri menolak untuk hidup dengan

suaminya, suami tidak dapat dipaska mencukupi nafkah istrinya itu. Tetapi ika suami tidak

mampu hidup bersama istrinya karenaalasan impotensi atau lainnya, istri berhak atas nafkahnya

secara penuh. Ini kewajiban suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik, memeliharanya

dan muncukupi nafkahnya dengan baik.14 Nafkah itu menjadi kewajiban suami, bahkan jika

istrinya tinggal dengan orant tuanya dan suami belum mengajaknya tinggal bersama.

Akan tetapi, jika suami belum melunasi maharnya dengan segera (mu’ajjal), istrinya

dapat menolak untuk tinggal bersamanya tanpa kehilangan hak atas nafkahnya. Haknya ini

bahkan masih tetap berlaku, meskipun dia menjadi gila atau telah tua renta sehingga tidak dapat

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)18

melayani kebutuhan seksual suaminya. Jika suami dipenjara, istri masih memiliki hak tersebut,

namun akan kehilangan hak itu, jika istri yang dipenjara (selama dalam penjara). Istri akan

kehilangan hak atas nafkah atau biaya hidup, jika dia tidak patuh (nazhisah) dan meninggalkan

suaminya, namun istri memiliki hak tersebut, jika dia menolak suaminya untuk melakukan

hubungan seksual, dan dia masih tinggal bersama suami. Istri akan kehilangan hak atas nafkah,

jika kawin lari dengan orang lain.15

Masalah lainnya adalah kedudukan wanita dalam menentukan besarnya nafkah tersebut.

Menurut Hanafi, yang menentukan adalah wanita, bukan laki-laki, sedangkan menurut Syafii,

laki-lakilah yang menentukan besarnya biaya hidup itu. Tetapi menurut sejumlah ahli fiqh,

besarnya biaya hidup lebih baik ditentukan oleh kedua belah pihak.16 Jika istri kaya dan suami

miskin, besarnya biaya hidup yang wajib dipenuhi suami, menyesuaikan dengan situasi. Ini

menurut Abu hanifa, namun menurut imam Syafii, suami harus memenuhi sesuai dengan

pendapatannya. Menurut Syafii, Hambali dan Maliki, istri juga dapat menentukan biaya hidup

beberapa tahun sebelumnya, meskipun Imam Abu Hanifa menolaknya.

Bagaimana jika suami melarikan diri secara diam-diam? Menururt keempat ahli fiqih itu,

istri dapat mengambil pinjaman atas nama suaminya dan merupakan kewajiban suami untuk

melunasinya. Tetapi dalam pandangan Abu Hanifa, istri berhak untuk mengambil pinjaman, jika

hakim telah menyetujuinya, sedangkan menururt Syafii, Hambali dan Maliki, hak istri

mengambil pinjaman itu bersifat absolute tanpa campur tangan pengadilan, jika suaminya

memang melarikan diri secara sembunyi-sembunyi.17

Jika suami secara terus-menerus mengabaikan istri dan tidak mencukupi kebutuhan

materialnya, istri berhak mengajukan perkara ini ke pengadilan.18 Pengadilan berhak untuk

memasukkannya ke penjara tanpa memeriksa si suami terlebih dahulu. Menurut sejumlah ahli

fiqh, hukumannya itu berkisar antara satu sampai tiga bulan. Perlu dicatat, meskipun istri setuju

suaminya tidak perlu membayar biaya hidupnya, namun persetujuan ini tidak sah, karena

mencukupi biaya hidup merupaka syarat objektif nikah dan persetujuan yang mempengaruhi hak

istrinya itu tidak dapat dianggap benar.19

Secara umum, seorang istri tidak diperbolehkan meninggalkan suami dengan alasan

suaminya miskin, namun pengadilan dapat memutuskan hal ini, jika suami dalam waktu dekat

tidak memungkinkan untuk mencukupinya dan kemungkinan besar istri akan terjerat dosa. Disini

perlu diperhatikan, adanya kesamaan dengan pasal 125 CrPC., meskipun ada juga perbedaan

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)19

yang mendasar. Kesamaannya itu terletak pada sama-sama memperhitungkan kemungkinan istri

sampai terpaksa berbuat dosa, untuk memutuskan apakah berhak meninggalkan suami. Tidak ada

keberatan dengan menggunakan analogi ini untuk menetapkan bahwa biaya hidup istri boleh

dibayarkan setelah perceraian, jika dikhawatirkan istri akan terjerumus pada dosa dan inilah yang

disebutkan dalam pasal 125 CrPC.

Banyak Negara Islam yang mengakui hak istri untuk meninggalkan suami jika suami

tidak mencukupi biaya hidupnya. Ahwal al-Shakhshiyah Irak, pasal 45 mengatakan bahwa

seorang istri, jika tidak mendapatkan biaya hidupdari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan

secara syar’i, dapat meninggalkan suami dan mengadukannya ke pengadilan. Dan pengadilan

akan menghukumnya 60 hari kurungan penjara. Sama halnya dengan hukuman di Mesir, jika

suami tidak mampu mencukupi biaya hidup istrinya, pengadilan menetapkan hukuman selama 30

hari, dan istri boleh meninggalkannya. Di Yordania, menurut Haquq al-‘Aalia, istri boleh

meninggalkan suami, jika tidak dicukupi biaya hidupnya selamasatu tahun. Dan di Syria,

pengadilan akan menetapkan bahwa istri boleh meninggalkan suami, jika dia tidak mencukupi

biaya hidupnya selama tiga bulan.20

Kata nafqah didalam syariat maknanya jelas. Yang termasuk nafkah adalah makanan,

pakaian dan rumah. Menurut Fatawa Al-Magiri (disuse selama masa dan atas perintah

Aurangzeb), nafkah itu termasuk sabun, minyak, air, obat-obatan dan barang barang lain yang

diperlukan untuk kesejahteraan istri.21 Perlu juga diperhatikan bahwaseorang wanita tidak dapat

dipaksa memasak atau mencuci pakaian. Dia mempunyai hak untuk disediakan makana yang

telah dimasak dan pakaian yang bersih oleh suaminya. Dia juga berhak atas rumah yang terpisah

dari orang tua atau saudara-saudara suaminya. Suami harus menyediakan rumah yang terpisah

atau rumah yang istrinya bisa leluasa menggunakannya secara terpisah dari orang lain. Namun

sah saja, jika istri menginginkan tinggal bersama mertua dan saudara-saudara suaminya.22

Jelaslah uraian diatas bahwa tidak ada agama atau hukum modern yang memberikan hak-

hak yang sangat luas kepada wanita. Namun sangat disesalkan ketika segelintir wanita

Muslim(sebenarnya sangat jarang) tidak mendapatkan hak-hak ini. Jka mereka dididik dengan

benar, maka hak-hak yang mereka peroleh didalam syariat, sungguh dapat meningkatkan

kedudukan wanita.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)20

3.2 Nafkah setelah perceraian

Semua ahli fiqh, Syiah atau Sunni, sepakat bahwa biaya hidup setelah perceraian dapat

dibayarkan setelah masa iddah, yaitu salama tiga kali masa menstruasi (atau tiga bulan jika istri

telah mamasuki masa menopause) atau sampai istri melahirkan anak yang dikandungnya. Namun

demikian, perlu dicatat bahwa perceraian itu ada dua jenis:

1. Dapat dicabut kembali, atau raj’i

2. Tidak dapat dicabut kembali atau mughallaza.

Menurut Imam Syafii, perceraian mughallaza (pada umumnya dipraktekkan di India), biaya

hidup tidak boleh dibayarkan selama masa iddah.23 Akan tetapi, menurut Hanafi (mayoritas

Muslim India menganut mahzab Sunni Hanafi), merupakan kewajiban suami untuk

membayarkan biaya hidup mantan istri selama masa iddah, meskipun perceraian itu mughallaza.

Namun setelah masa iddah selesai, disebut mustahib, jika perceraian tidak dicabut. Namun

demikian, tidaklah berdosa membayarkan biaya hidup setelah iddah, karena keputusan ini dibuat

oleh sejumlah pemimpin Islam selama permusuhan melawan pengadilan pada zaman Shah Bano.

Argumentasi yang menentang pembayaran biaya hidup setelah iddah adalah bahwa

dalam Islam, pernikahan adalah sebuah perjanjian kontrak dan seorang wanita, setelah bercerai,

dikembalikan kepada orang tuanya, tidak seperti pernikahan yang sacral dimana seorang wanita

menjadi bagian dari keluarga suaminya dan tanggung jawab nafkah tetap berada pada pundak

suami atau iparnya. Tetapi argumentasi ini tidak logis dalam hal kematian. Dan sebenarnya

dalam pernikahan yang sacral, tidak ada konsep perceraian. Konsep perceraian ini berasal dari

pembaharuan yang dilakukan didalam hukum Hindu. Ketika suaminya meninggal, dalam

pernikahan yang sacral, istri tidak dikembalikkan kepada orang tuanya; dia tetap menjadi bagian

dari keluarga suaminya. Sedangkan didalam Islam (pernikahan sebegai perjanjian kontrak),

setelah suami meninggal, istri dikembalikan kepada orang tuanya. Dan dia dapat menikah lagi

tanpa ada stigma social. Terlihat disini bahwa dari sudut pandang hukum Islam, pernikahan ini

sangat menguntungkan dan berpihak pada wanita.

Namun demikian, dalam kasus perceraian, masalahnya tidak sederhana. Perceraian itu

ada dua jenis, khul’a (wanita yang mengajuka cerai dengan kompensasi membayar fidyah bagi

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)21

laki-laki) dan mabarat (suami-istri sama-sama setuju untuk bercerai), kemudian masalahnya

adalah apakah si wanita harus hidup menyendiri atau kembali kepada orang tuanya. Orang tua

wanita juga berkepentingan dengan perceraian anaknya ini. Dalam kasus ini, sangat tidak logis,

kalau bukan amoral, menimpakan tanggung jawab biaya istri kepada suaminya meskipun dibayar

setelah iddah.

Dalam kasus talaq-i-‘ah (talak tiga) yang sangat bisa terjadi dalam masyarakat Islam di

India yang menganut mahzab Sunni Hanafi, masalahnya menjadi berbeda. Perceraian bukan

hanya menjadi pilihan wanita, ketika dia dilemparkan ke jalan oleh suaminya yang sedang marah

atau bahkan mabuk. Wanita ini tidak lagi peduli dengan pernikahannya itu; dan parahnya

masalah ini tidak dapat diadili sepenuhnya. Dia bahkan tidak dapat mengajukan seorang yang

dapat menengahi masalah ini sebagaimana yang dituntunkan Al-Qur’an (Dan jika kamu

khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga

laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua orang hakam itu bermaksud

mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik kepada suami-istri itu….).24 Itulah yang

sering terjadi di India. Maka dalam kasus ini, tidak adil dan amoral jika wanita tidak dilindungi

dan hanya memberikan sedikit biaya hidup bahkan dibayarnya setelah iddah sampai dia menikah

lagi atau meninggal. Ini masalah penafsiran. Dan Al-Qur’an serta syariat menjamin keadilan

wanita. Islam mengajarkan keadilan, bahkan jika pun bertentangan dengan kepentingan dirinya

(Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan,

menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu atau sadara-

saudaramu….).25 Keadilan menjadi lebih diperlukan jika menyangkut golongan masyarakat

lemah. Islam sangat tegas dalam membela golongan yang lemah.

Karena pernikahan adalah sebuah perjanjian kontrak dan kedua belah pihak memiliki hak

yang sama (dan Al-Qur’an memberikan hak yang sama bagi kedua belah pihak), perjanjian ini

tidak dapat dibatalkan oleh suami dengan semena-mena tanpa memberi kesempatan untuk

menimbang-nimbang atau rujuk kembali. Jika suami berlaku semena-mena terhadap istrinya,

maka dia harus mempertanggungjawabkannya dengan memberikan biaya hidup, bahkan

mungkin sampai diluar masa iddah. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an dan konsep keadilan dan

moralitas. Demi keadilan, maka tidak boleh ada larangan buta atau pembayaran biaya hidup

diluar iddah. Penentuan perceraian dalam kasus ini harus diputuskan oleh pengadilan.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)22

4. Hidanat atau Hak Untuk Mengasuh Anak

Islam mengikuti system patrarkal dan menyatakan bahwa anak-anak menjadi milik

ayahnya, namun bukan berarti mengingkari hak istri. Hak ibu untuk mengasuh anak-anaknya

dihargai sepenuhnya. Ada satu hal lagi dalam hukum Islam yang harus diperhatikan. Garis

keturunan seorang anak dihubungkan dengan ayahnya, hanya jika anak itu lahir dari pernikahan

yang sah. Jika anak itu hasil dari zina (perkosaan, suka sama suka dan sebagainya), maka dia

hanya menjadi milik ibunya, bukan ayahnya, karena ayahnya ini bukan ayah yang sah.

Perlu juga diperhatikan ketika syariat Islam menetapkan bahwa anak menjadi milik

ayahnya, seluruh tanggung jawab pemeliharaan fisik, bahkan ketika diasuh oleh ibunya,

dibebankan kepada sang ayah. Ayah harus membiayai perawatan anak-anaknya kalaupun mereka

diasuh oleh ibu, hingga mereka dewasa dan dapat menghidupi diri mereka sendiri.

Ada kesepakatan diantara fuqaha bahwa yang pertama-tama berhak membesarkan anak-

anak adalah ibunya, namun yang menjadi masalah adalah sampai usia berapa ibunya berhak

membesarkannya?26 Menurut mazhab Hanafi, seorang anak laki-laki berhak diasuhi oleh ibunya

sampai usia 7 atau 8 tahun, sedangkan anak perempuan sampai masa puber. Sedangkan menurut

Imam Syafii dan Hambali, ibu berhak mengasuhnya sampai usia 7 tahun untuk anak perempuan

dan juga laki-laki. Sebaliknya, para fuqaha Syiah berpendapat bahwa ibu berhak mengasuh anak

laki-laki sampai usia 2 tahun dan anak perempuan sampai 7 tahun.27 Setelah mencapai usia

tersebut, anak berhak memilih apakah akan ikut ayah atau ibunya. Bayhaqi dan bukunya Sunan

(buku hadits) mengutip sejumlah hadits Nabi yang sangat jelas dalam menetapkan hak ibu untuk

mengasuh anak-anaknya.28 Dengan demikian, hak seorang ibu untuk mengasuh anak-anaknya

sampai usia tertentu adalah absolutdan kemudian terserah anak itu sendiri untuk memutuskannya

atau diserahkan kepada hakim. Dalam mengambil keputusan, hakim harus mempertimbangkan

kesejahteraan si anak. Dan sekarang konsep ini telah dikenal dalam hokum modern .

Sebenernya, Islam telah sangat maju dalam melindungi hak-hak ibu. Islam menuntut

ayah untuk membayar si ibu karena menyusui anaknya. Al-Qur’an mengatakan, “Ibu-ibu

hendaklah menyusui ank-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin

menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)23

kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”29 Kata-kata rizquhunna wa kiswatuhunna (makanan

dan pakaian mereka) telah sangat jelas bahwa untuk menyusukan anak-anaknya, si ayah harus

membayar sang ibu. Dan ayat tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa jika ayahnya

meninggal dunia, maka ahli warisnyalah yang akan membiayai penyusuan tersebut.30 Sistem

hukum manakah yang memberikan upah kepada seorang ibu yang menyusui anak-anaknya?

Ketika perceraian terjadi, hukum Islam mengatakan, “Ibu memiliki hak yang lebih besar

untuk mengasuh anak-anaknya, tanpa ada perlu dipermasalahkan,” (al-umm ahaqqu bi kafalati

al-tifl wa al-m’utawwah idha tulliqat)31 dan ini sangat revolusioner dan modern. Imam Syafii

mengatakan bahwa seorang ibu memilikikasih saying (ahna) dan lebih lembut (araqq) dari pada

seorang ayah.32 Dan sekali lagi, setelah mencapai usia yang telah ditetapkan, anak boleh memilih

mau tinggal bersama ibu atau ayah dengan pertimbangan kesejahteraan.

Hukum di Tunisia bahkan menyatakan, jika seorang ibu tidak mempunyai rumah untuk

mengasuh anaknya, maka kewajiban ayahnyalah untuk menyediakan rumah yang terpisah.33

Perlu dicatat bahwa syariat menyatakan bahwa seorang ibu diberi upah untuk mengasuh anak-

anaknya. Dan dia tidak berkewajiban mengasuh anaknya, jika tidak diberi upah. Kerena seorang

ibu telah menghabiskan waktu dan mengeluarkan tenaga untuk mengasuh anaknya, maka dia

harus mendapatkan upah. Menurut hukum di Syria, jika ada orang yang mau bertanggung jawab

untuk menghidupi seorang anak (ujra’hidanat), atau jika saudara dari anak tersebut menawarkan

diri untuk mengasuhnya dengan cara yang baik (ihsan), si ibu harus menyerahkan anaknya itu

kepadanya, atau mengasuhnya tanpa mendapat upah.34

5. Hak atas Kekayaan

Tidak ada agama selain Islam, atau system yang legal lainnya, yang telah memberikan

hak kepada wanita atas kekayaannya sendiri tanpa campur tangan suami atau ayahnya. Islam

mengakui hak individu atas kekayaannya, laki-laki, wanita, atau anak-anak. Dalam kasus hak

atas kekayaan yang dimiliki anak, maka ayah atau saudaranya (jika ayahnya tiada) dapat menjadi

wali dengan kewajiban menjaga kekayaan tersebut dengan mengembalikannya dalam keadaan

yang sama kepada anak tersebut ketika sudah dewasa.

Wanita, seperti individu yang lain, juga memiliki hak atas kekayaannya sendiri. Ayah

atau suaminya tidak dapat ikut campur tangan terhadap hak ini. Wanita dapat menginvestasikan

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)24

uangnya untuk kepentingan bisnis tanpa perlu meminta izin ayah atau suaminya. Demikian juga,

dia dapat membelanjakan uangnya untuk kesenangan atau kemewahannya sendiri. Dia tidak

berkewajiban membelanjakan uangnya untuk ayah atau suaminya selain atas kemauannya

sendiri. Bahkan jika suaminya adalah seorang miskin dan dirinya seorang yang kaya, namun,

wanita itu tetap hak untuk meminta nafkah dari suaminya dan untuk anak-anaknya. Pendapatan

yang diperoleh wanita itu sendiri tidak menghapuskan tanggung jawab suami untuk menghidupi

diri dan anaknya, bahkan kalau perlu suaminya harus mencari pinjaman untuk tujuan ini.

Dari paparan diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Islam telah memberikan hak-hak

kepada wanita, sekali lagi, tidak doberikan oleh agama lain. System hukum zaman kuno dan

modern sekalipun tidak memberikan hak-hak ini. Sayangnya, Islam pada masa sekarang ini telah

kehilangan cahayanya. Hal ini disebabkan umat islam kurang memiliki pengetahuan yang cukup

tentangsyariat dan juga karena praksis Islam yang salah yang telah menyimpang dari islam yang

sebenarnya. Dan untuk mengetahui penyimpangan ini, kita harus mempelajari kondisi sosiologis

kaum Muslim dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)25

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

Hak Asasi Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat

padanya dimanapun ia berada.

Hak asasi manusia bersifat universal bagi seluruh manusia di dunia, non-

diskriminasi, dan imparsial.

Hak Asasi Manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan

manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Sistem HAM

Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan

penghormatan terhadap sesama manusia. Hak-hak dalam islam meliputi :

1. Hak hidup

2. Hak kepemilikan

3. Hak berkeluarga

4. Hak keamanan

5. Hak keadilan

6. Hak saling membela dan mendukung

7. Hak persamaan yang berkeadilan

8. Hak bekerja

9. Hak kebebasan

Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik

karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam

khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)26

berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Berikut adalah hak-hak

perempuan secara umum:

1. Hak di bidang politik

2. Hak di bidang kewarganegaraan

3. Hak-hak di bidang pendidikan dan pengajaran

4. Hak profesi

5. Hak kesehatan

6. Hak hukum

7. Hak dalam ikatan atau putusnya perkawinan

Hak-hak umum terhadap wanita tersebut ternyata sudah ada dalam hukum islam

yang tertera pada al-quran dan hadits, hak-hak wanita menurut islam adalah,

sebagai berikut :

1. Dalam pernikahan pria dan wanita berkedudukan setara. Pihak

wanita dan pria harus menghargai hak dan kewajibannya masing-

masing.

2. Dalam mahr sebelum pernikahan wanita bebas menentukan jumlah

mahr (mahar) yang dia sukai dan mahar itu menjadi miliknya,

bukan milik ayah atau suaminya.

3. Nafkah itu menjadi kewajiban suami, bahkan jika istrinya tinggal

dengan orang tuanya dan suami belum mengajaknya tinggal

bersama.

4. Wanita memiliki hak untuk mengasuh anak-anaknya. Bahkan jika

terjadi perceraian pihak wanita lah yang lebih berhak mendapat

hak asuh anak.

5. Wanita, seperti individu yang lain, juga memiliki hak atas

kekayaannya sendiri. Ayah atau suaminya tidak dapat ikut campur

tangan terhadap hak ini. Wanita dapat menginvestasikan uangnya

untuk kepentingan bisnis tanpa perlu meminta izin ayah atau

suaminya. Tetapi wanita itu tetap hak untuk meminta nafkah dari

suaminya dan untuk anak-anaknya.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)27

3.2. Saran

Sebagai insane, menegakkan HAM adlah wajib karena telah diatur dalam agama islam.

Sebagai wanita kita mempunyai hak-hak yang setara bahkan spesia daripada pihak pria asalkan

kita telah memenuhi syariat dan kita tidak melanggar syariat tersebut. Sebagai wanita memahami

dan menjunjung tinggi hak-hak tersebut perlu dilakukan supaya dalam kehidupan tidak ada salah

paham antara pihak istri dan suami, yang mengakibatkan kerugian di pihak istri.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)28

DAFTAR PUSTAKA

Madfani, Faisal. 2012.Hubungan HAM. http://faisalahmadfani.blogspot.com/2012/11 /hubungan-hak-asasi-manusia- ham-dengan.html. (diakses 6 Juni 2014)

Anonym. T.t Islam dan HAM. http://www.law.emory.edu/ihr/BAHASA/ms_islamandhr.htm. (Diakses 6 Juni 2014)

Saor, Raja. 2009. Hukum dan HAM terhadap Hak Perempuan. http://raja1987.blogspot.com/2009/12/

hukum-dan-ham-terhadap-hak-perempuan.html. (Diakses 7 Juni 2014)

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)29

CATATAN KAKI

1Bahkan keputusan Pengadilan Tinggi ini menjelek-jelekkan Islam dalam hak-hak wanita dalam

kasus Shah Bano.

2Lihat al’Allamah al-Shaikh Muhammad al-Khadari Bek, Ta’rik Al-Tashari al-Islami (Banaras,

1983: 5)

3Al-Qur’an, 4: 34.

4Al-Qur’an, 2: 228.

5Al-Qur’an, 33: 35.

6Prof. Tahir Mehmood dalam Gajendragadkar Memorial Lectures yang berasal dai Bombay

University pada tahun 1984, yang menggambarkan pernikahan dalam Islam bukan hanya sebagai

perjanjian kontrak, namun sebagai perjanjian suci, sacral sekaligus sebagai kontrak.

7Lihat Al-Qur’an, 9: 60.

8Ustadh Zurqa , Al-Huquq al-Madaniyah (Damaskus, 1307 H) Vol. 1, hal. 72 yang saya

terjemahkan.

9Sahih Bukhari (Lahore, 1980) Vol. I. Hal 326.

10Al-Qur’an, 4: 4.

11Al-Qur’an, 4: 20.

12Al-Qur’an, 2: 229.

13Lihat, Fatawa Qazikhan, diterbitkan di India, Vol. I, hal. 195.

14Lihat Egyptian Law Section 150 dalam Ahkam al-Shari’at fil Ahwal al-Shakhshiya.

15Lihat Majmu’a Qawanin-e-Islam, diedit oleh Dr. Tanzilur Rahman (Islamabad, 1965), Vol. I, hal.

312-313.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)30

16Lihat Sharh-e-Waqiya (dalam bahasa Urdu) edisi Lahore, hal. 488.

17Lihat Bahr al-Ra’iq, diterbitkan di Mesir, Vol. IV, hal. 214.

18Ibid, Vol. IV, hal. 202.

19Ibid, Vol. IV, hal. 203.

20Lihat Majmu’a Qawanin-e-Islam, op. cit, Vol. I, hal. 326.

21Lihat Fatawa Almagiri, (dalam bahasa Arab) Vol. II, hal. 144.

22Lihat Sharh Waiqayah (dalam bahasa Urdu) yang diterbitkan oleh Lahore, hal. 491. Juga lihat

Fatawa Almagiri,

op. cit., Vol. I, hal. 147.

23Lihat Majmu’a Qawanin-e-Islam, op. cit, Vol. I, hal. 319.

24Al-Qur’an, 4: 35.

25Al-Qur’an, 4: 135.

26Lihat Majmu’a Qawanin-e-Islam, op. cit, Vol. III, hal. 877.

27Ibid, hal. 877-878.

28Lihat Bayhaqi, Al-Sunnan al-Kubra, yang diterbitkan di Hyderabad, Vol. III, hal. 3-5.

29Al-Qur’an, 2: 233.

30Ibid.

31Lihat ibn Maqdisi, Kitab al-Mughni dan Imam Syafii, Kitab al-Umm, (Mesir, 1381 H) Vol. III, hal.

235.

32Lihat Kitab al-Umm, op. cit, Vol. III, hal. 235.

33Lihat pasal 56 Qanun al-Ahwal al-Shakhshiyah dalam Tunis cf. Majmu’a Qawanin-e-Islam, op.

cit, Vol. III, hal. 893.

Islam dan HAM (Hak-Hak Wanita dalam Islam)31

34Lihat pasal 44 dalam Syrian Personal Law cf. Majmu’a Qawanin-e-Islam, op. cit, Vol. III, hal.

890.