Bahan kuliah 1

92
MODAL SOSIAL 2.1. Pengantar Perdebatan tentang modal tidak pernah terlepas dari dua arus pemikiran utama, yakni pertama, penganut aliran termasuk dalam teori-teori modal klasik (classical theory of capital), dan kedua, penganut aliran pemikiran teori neo- kapital (neo-capital theory). Perbedaan utama kedua teori tersebut terkait dengan cara pandang terhadap komponen modal itu sendiri. Penganut teori klasik, misalnya Marxian, pada umumnya memandang bahwa komponen modal akan selalu dikaitkan dengan komponen-komponen fisik yang dapat disentuh (tangible components), misalnya modal finansial, tenaga kerja, alat produksi, sewa, persediaan barang, dan sebagainya. Sementara penganut teori neo-capital mencoba untuk mengintegrasikan komponen-komponen yang tidak dapat disentuh (intangible components) ke dalam konsep modal, misalnya, modal manusia, modal kultural, modal intelektual, dan modal sosial. Perbedaan dua arus pemikiran tersebut pada gilirannya menyentuh persoalan apakah modal sosial itu benar-benar modal dalam arti yang sebenarnya. Lin (2003) menyatakan bahwa untuk memahami modal sosial, sebenarnya kita harus memperjelas konsep tentang modal itu sendiri. Untuk kebutuhan penjelasan tersebut, dalam bab ini didiskusikan tinjauan teoritis tentang modal dari perspektif teori klasik dan teori neo-capital. Dari diskusi 1

description

hjsf

Transcript of Bahan kuliah 1

Page 1: Bahan kuliah 1

MODAL SOSIAL

2.1. PengantarPerdebatan tentang modal tidak pernah terlepas dari dua arus pemikiran utama,

yakni pertama, penganut aliran termasuk dalam teori-teori modal klasik (classical theory of capital), dan kedua, penganut aliran pemikiran teori neo-kapital (neo-capital theory).

Perbedaan utama kedua teori tersebut terkait dengan cara pandang terhadap komponen

modal itu sendiri. Penganut teori klasik, misalnya Marxian, pada umumnya memandang bahwa

komponen modal akan selalu dikaitkan dengan komponen-komponen fisik yang dapat disentuh

(tangible components), misalnya modal finansial, tenaga kerja, alat produksi, sewa, persediaan

barang, dan sebagainya. Sementara penganut teori neo-capital mencoba untuk

mengintegrasikan komponen-komponen yang tidak dapat disentuh ( intangible components) ke

dalam konsep modal, misalnya, modal manusia, modal kultural, modal intelektual, dan modal

sosial. Perbedaan dua arus pemikiran tersebut pada gilirannya menyentuh persoalan apakah

modal sosial itu benar-benar modal dalam arti yang sebenarnya. Lin (2003) menyatakan

bahwa untuk memahami modal sosial, sebenarnya kita harus memperjelas konsep tentang

modal itu sendiri.

Untuk kebutuhan penjelasan tersebut, dalam bab ini didiskusikan tinjauan teoritis

tentang modal dari perspektif teori klasik dan teori neo-capital. Dari diskusi tersebut diharapkan

pemahaman konsep modal akan lebih jelas sehingga posisi modal sosial di antara modal-

modal lainnya dapat diketahui dengan baik. Pada sub bab berikutnya mendiskusikan teori

modal sosial, terutama karya-karya teoritisi kontemporer seperti Pierre Bourdieu, James

Coleman, Robert Putnam, dan Nan Lin. Dari sintesa keempat teori tersebut, maka akan dapat

dihasilkan pendekatan teori modal sosial yang paling sesuai untuk menganalisis fenomena

tindakan kolektif dalam konservasi sumberdaya hutan pada komunitas pinggiran hutan

berbasis negara dan hutan berbasis masyarakat.

2.2. Teori –Teori Modal Klasik: Perspektif Marxian Secara umum, modal merupakan sumberdaya yang ketika diinvestasikan dan

dimobilisasi akan memperoleh keuntungan yang merupakan tujuan akhir dari sebuah tindakan.

Lin (2001: 3), misalnya, mendefinisikan modal sebagai investment of resources with expected returns in the marketplace. Menurutnya, modal merupakan sumberdaya yang diproses dua

tahap. Pertama, sumberdaya yang diproduksi atau diubah menjadi investasi; kedua,

sumberdaya yang diproduksi dan diubah kemudian ditawarkan ke pasar untuk tujuan

keuntungan. Dalam contoh lain, modal merupakan hasil dari sebuah proses produksi

1

Page 2: Bahan kuliah 1

(memproduksi atau menambah nilai terhadap sumberdaya); di lain pihak, modal merupakan

faktor penyebab dalam proses produksi (sumberdaya dipertukarkan untuk menghasilkan

keuntungan).

Sejak pertengahan abad 18, beberapa teoritisi telah mengemukakan pendapat

terkait dengan asal mula, sebab-sebab, dan konsekuensi-konsekuensi modal. Karl Marx, John

Stuart Mill, dan Adam Smith, misalnya, merupakan teoritisi-teoritisi penganut aliran teori modal

klasik ini. Pada umumnya, penganut teori klasik ini mengkonseptualisasikan bahwa modal

selalu identik dengan komponen fisik seperti tanah, sewa, finansial, gedung, buruh, dan

komponen lain yang sifatnya tangible.

Ketika melacak pemikiran modal, tentunya karya Adam Smith (1776), The Wealth of Nations, tidak dapat dikesampingkan karena berisi pemahaman yang komprehensif terkait

dengan tujuan pengidentifikasian kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kekuatan alam

untuk meningkatkan atau bahkan menurunkan akumulasi kemakmuran. Meskipun Smith jarang

menggunakan istilah modal untuk menggambarkan kemakmuran, namun dia

menggambarkannya dengan istilah yang seperti dipersepsi sebagai elemen modal pada saat

ini, yakni tenaga kerja, upah, sewa, dan persediaan (Storberg, 2002: 471).

Smith mengasumsikan bahwa akumulasi kemakmuran (baca: modal) negara

diarahkan oleh tangan yang tidak terlihat ( invisible hand), dan apabila manusia mampu

menggapai kepentingan ekonominya, kemakmuran bersama akan dapat dicapai. Pemikiran ini

merupakan basis bagi model ekonomi laissez-fair, meskipun model tersebut mungkin bukanlah

seperti yang dipikirkan Smith saat itu (Storbeg, 2002:471). Teori modal dari Smith

menempatkan kekuatan-kekuatan produktif manusia yang ditingkatkan melalui pembagian

kerja. Dia sangat percaya atas keberadaan hukum alam, yang memandu individu-individu

buruh dan pada gilirannya secara kolektif menuju arah akumulasi kemakmuran bersama. Oleh

karena kepercayaan Smith terhadap hukum alam, dia tidak membahas tentang asal mula,

sebab-sebab, atau konsekuensi hubungan sosial yang dibentuk selama proses produksi. Smith

tidak pernah mengidentifikasi atau mendiskusikan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi

hubungan kerja kapitalisme.

Dari karya Smith tersebut, Mill dan Marx mengembangkannya dengan menambah

eksplorasi aspek sosial dari kapitalisme. Keduanya menawarkan perspektif berbeda terkait

dengan asal muasal, sebab, dan konsekuensi teori-teori modal. John Stuart Mill dalam

karyanya Principles of Political Economy with Some of Their Applications to Social Philosophy yang diterbitkan tahun 1848, misalnya, percaya bahwa diskusi tentang produksi ekonomi yang

memisahkan masyarakat dan politik merupakan cara yang artifisial dan tidak realistik dalam

melihat sesuatu. Mill membuat catatan penting terhadap karya Smith, seperti yang

diungkapkannya “Kemakmuran negara dalam banyak aspek bersifat absolut, dan tidak

2

Page 3: Bahan kuliah 1

sempurna. Peranan ekonomi politik dipandang sangat cocok untuk melihat hal tersebut, dan ini

telah tumbuh sejak tahun-tahun awal semasa Adam Smith” (seperti dikutip Storberg, 2002:

472).

Bagi Mill, modal senantiasa bersentuhan dengan tempat tinggal, perlindungan,

peralatan dan material yang dibutuhkan pekerjaan, dan untuk memberi makan, dan paling

tidak mempertahankan tenaga kerja selama proses produksi. Dengan kata lain, Mill

memandang bahwa modal identik dengan komponen-komponen yang tangible, dan

mengesampingkan kemungkinan pengintegrasian komponen-komponen intangible dalam

konsep modalnya. Menurutnya, apapun benda pada dasarnya diarahkan untuk kegiatan

tersebut, yakni bermuara untuk mensuplai tenaga produktif dengan berbagai persyaratan yang

mengikutinya. Selanjutnya, Mill menawarkan proposisi terkait dengan modal: (a) apapun yang

diproduksi pada akhirnya akan dikonsumsi, (b) industri dibatasi oleh modal, (c) modal

merupakan hasil dari tabungan, dan (d) meskipun modal ditabung, tetapi pada akhirnya tetap

saja akan dikonsumsi (dikutip Storberg, 2002: 472). Mill menunjukkan mitos bahwa

kemakmuran sebuah negara didasarkan pada agregasi konsumsi dan reproduksi yang terus

menerus berlangsung sepanjang waktu.

Sebagai seorang ahli ekonomi politik, dan penganut pertumbuhan modal, Mill

percaya fungsi utama pemerintah adalah untuk melindungi penduduk dan kekayaan.

Ketidakamanan penduduk dan kekayaan dikatakannya sebagai ketidakpastian hubungan

antara pengorbanan manusia dan pencapaian tujuan akhir. Namun yang paling penting bagi

Mill, bahwa pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mempertahankan

ekonomi dan kebebasan individu untuk menggapai tujuan akhir (dikutip, Storberg, 2002: 472).

Secara implisit, Mill cenderung lebih melihat hubungan antara buruh dan pemerintah.

Sementara itu, Karl Marx melihat hubungan antara buruh, dan dia percaya bahwa

hubungan tersebut didistorsi oleh produksi modal. Marx dalam artikelnya The German Ideology (1845) mempercayai bahwa modal diciptakan oleh tenaga kerja, yang pada akhirnya akan

menekan tenaga kerja itu sendiri. Marx melihat konsekuensi berbeda dari kapitalisme yang

merefleksikan struktur ekonomi masyarakat. Institusi politik merupakan super-struktur yang

bermuara pada fondasi ekonomi (dikutip Storberg, 2002: 473). Karya Marx memiliki pengaruh

besar terhadap generasi pemikir ekonomi dan politik, dan pada tataran tertentu membantu

terlaksananya sebuah revolusi sosial.

Dalam tulisannya Critique of Political Economy yang diterbitkan tahun 1859, Marx

menyatakan bahwa modal membawa keuntungan bagi kaum kapitalis. Marx membedakan

antara modal konstan (seperti material dan peralatan buruh, atau sebutnya sebagai alat-alat

produksi), dan modal variabel (selama proses produksi, kekuatan buruh bervariasi, juga

dikenal sebagai upah). Modal, bagi Marx, berfungsi untuk membeli kekuasaan buruh dan

3

Page 4: Bahan kuliah 1

mendapatkan nilai surplus dari modal tersebut melalui ancaman. Nilai surplus merupakan kunci

utama dari teori modal dari Marx. Nilai surplus dihasilkan sebab “buruh menciptakan nilai baru

yang tidak menjadi milik mereka, tetapi milik kaum kapitalis” (seperti dikutip Storberg, 2002:

473). Kapitalis (pemilik alat produksi) dapat menggunakan nilai surplus untuk mengakumulasi

lebih banyak modal. Buruh akan terus menyediakan tenaga, sementara modal akan

diakumulasi oleh kapitalis, dan oleh karenanya polarisasi kemakmuran akan terus terjadi.

Perhatian Marx terhadap modal seluruhnya berbeda dengan hasil pemikiran Smith

atau Mill (Storberg, 2002). Marx, misalnya, sangat memperhatikan konsekuensi pembagian

kerja, akumulasi modal, dan institusi politik yang mempertahankan status quo. Demikian juga,

perbedaan Marx dari Smith dan Mill terletak pada perspektif postmodern. Marx menyatakan

bahwa “bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri yang

menetukan kesadaran. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, tetapi

sebaliknya eksistensi sosial manusia yang menentukan kesadaran mereka” (seperti dikutip Storberg, 2002: 473). Secara khusus, Marx percaya bahwa kesadaran buruh ditentukan oleh

hubungan yang mereka miliki dengan pemilik alat-alat produksi. Pada akhirnya, dia percaya

bahwa “people always have been and they always will be the stupid victims of deceit and self-deception in politics, until they learn behind every kind of moral, religions, political, social phrase . . . (rests) the interests of this or that class or classes” (dikutip Storberg, 2002: 473).

Marx bukan hanya percaya bahwa hubungan sosial dan politik antara manusia merupakan

refleksi dari kepentingan kelas yang memiliki sarana produksi, tetapi juga percaya kesadaran

manusia menciptakan dan mereproduksi lingkungan fisik mereka.

Sementara itu, Lin (2001: 7-8) meresum beberapa inti pandang Marx tentang modal.

Pertama, modal sangat erat kaitannya dengan produksi dan pertukaran komoditas. Sementara

komoditas, menurut teori Marx, terdiri dari barang-barang material yang membawa label harga,

baik dalam proses produksi maupun pertukaran. Tenaga kerja, kekuatan tenaga kerja, dan nilai

tenaga kerja merupakan bagian dari label harga dan dilihat sebagai kepentingan secara sosial

dalam produksi sebuah komoditas. Tenaga kerja merupakan satu faktor yang penting dalam

proses produksi sebuah komoditas, namun demikian tenaga kerja bersifat pasif terhadap

komoditas yang mereka produksi.

Kedua, modal lebih banyak melibatkan proses dibandingkan dengan

penyederhanaan sebuah komoditas atau nilai, meskipun modal dapat saja berupa hasil final

dari sebuah proses produksi. Modal merepresentasikan sebuah proses investasi kaum

kapitalis, karena produksi memerlukan akumulasi dan organisasi buruh, lahan, peralatan,

fasilitas, dan sebagainya yang selama ini identik dengan kepemilikan alat-alat produksi kaum

kapitalis. Ketika komoditas yang diproses dipertukarkan untuk perolehan sebuah keuntungan,

maka hal tersebut tentunya akan melibatkan proses pasar.

4

Page 5: Bahan kuliah 1

Ketiga, sebagai hasil dari sebuah proses pasar, modal yang mengikutinya

merupakan nilai tambah (nilai surplus atau keuntungan). Eksistensi modal berarti bahwa nilai

pasar dari sebuah komoditas melebihi nilai produksi atau biaya untuk memproduksi. Apabila

nilai pasar sama atau kurang dari biaya, artinya tidak akan ada modal dari komoditas. Dengan

kata lain, akan terjadi defisit atau hutang.

Keempat, modal merupakan pandangan sosial secara intrinsik. Modal melibatkan

proses aktivitas sosial. Proses produksi seperti yang telah diutarakan sebelumnya melibatkan

aktivitas sosial. Marx, misalnya, secara eksplisit menggambarkan nilai guna tergantung kepada

buruh karena di sana tidak ada nilai obyektif yang dapat digunakan untuk menghitung nilai atau

biaya buruh. Proses pertukaran tersebut, dengan demikian, juga bersifat sosial.

Kelima, modal diperoleh kapitalis dari sirkulasi komoditas melalui lingkaran produksi

dan pertukaran komoditas, serta akumulasi modal. Oleh karenanya, modal merupakan sebuah

proses dan hasil akhir yang bermuara di tangan orang-orang yang mengontrol alat-alat

produksi. Dalam formulasi Marx, buruh diberikan upah untuk memenuhi kebutuhan subsistensi,

dan tidak lebih dari itu. Dengan kata lain, modal merupakan nilai surplus yang dihasilkan dari

investasi kapitalis dalam produksi, dan akhirnya juga dikuasai oleh kapitalis.

Menurut Lin, pendapat tentang modal dan bentuknya seperti yang digambarkan oleh

Marx disebutnya sebagai teori modal klasik (the classic theory of capital). Ide dasar bahwa

modal merupakan investasi sumberdaya untuk memproduksi keuntungan, telah banyak

dibicarakan dalam banyak teori tentang modal. Namun demikian, dalam skema Marxian, baik

investasi maupun keuntungan merupakan kepentingan yang melekat dalam kaum kapitalis.

Tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses produksi tidak menghasilkan atau mengakumulasi

modal bagi buruh. Teori modal klasik didasarkan pada penjelasan argumentasi bahwa

diferensiasi kelas sangat fundamental dalam masyarakat kapitalis, dimana eksploitasi kelas

mengontrol alat produksi, dan mengumpulkan semua nilai surplus dari tenaga kerja yang

disediakan oleh kelas yang dieksploitasi.

2.3. Teori Neo-Capital: Perspektif Human Capital Sementara, penganut aliran neo-capital memasukkan komponen-komponen yang

intangible, termasuk di dalamnya modal manusia, modal intelektual, modal kultural, dan modal

sosial. Teoritisi seperti Schultz (1961) dengan tulisannya Investment in Human Capital; G.S.

Becker (1993) dengan karyanya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education; Kaplan dan Norton (1996) dalam tulisannya The Balanced Scorcard: Translating Strategy into Action; Edvinson dan Malone (1997) dalam karya mereka

Intellectual Capital: Realizing Your Company’s True Value by Finding Its Hidden Brainpower ;

Cohen dan Prusak (2001) dengan karyanya How To Invest in Social Capital; Lin (2001), dalam

5

Page 6: Bahan kuliah 1

karyanya yang dikenal sebagai Social Capital: A Theory of Social Structure and Action,

merupakan penganut aliran neo-capital atau banyak disebut sebagai teoritisi modal

kontemporer (Storberg, 2002: 470).

Evolusi teori modal hampir empat dekade terakhir ke dalam bentuk yang disebut

sebagai neo-capital theory pada dasarnya memodifikasi atau mengeliminasi penjelasan kelas

sebagai satu bentuk orientasi teoritik yang diperlukan. Versi alternatif tentang pemahaman

modal meliputi modal manusia (human capital), modal kultural (cultural capital), dan modal

sosial (social capital).Istilah neocapital pada dasarnya merefleksikan komponen modal yang tidak dapat

disentuh (intangible components) yang meliputi modal manusia (human capital), modal

struktural (structural capital), modal intelektual (intellectual capital), dan modal sosial (social capital). Meskipun Schultz (1961) dan G. S. Becker (1993) yang secara tradisional dianggap

sebagai bapak human capital, pelacakan konsep human capital dan pentingnya untuk bisnis

dan masyarakat dapat ditemukan dalam karya Adam Smith dan J. S. Mill. Smith

menggambarkan bagaimana individu-individu mengakumulasi keahlian dan bakat melalui

barter atau pertukaran dan pembagian kerja.

Meskipun demikian, pada awal tahun 1960, teoritisi mulai mengembangkan dan

menguji teori modal yang baru untuk memasukkan elemen manusia. Dalam sebuah pertemuan

“American Economic Association”, Shultz (1961), misalnya, secara tegas mengemukakan

kegagalan untuk menempatkan sumberdaya manusia secara eksplisit sebagai sebuah bentuk

modal, yakni sebagai sarana untuk berproduksi, dan sebagai produk dari investasi. Hal ini

mendukung pendapat klasik bahwa tenaga kerja hanya memiliki kapasitas untuk melakukan

pekerjaan manual yang hanya sedikit membutuhkan keahlian dan pengetahuan, yaitu sebuah

kapasitas dimana semua tenaga kerja menyumbang hal yang sama (dikutip Storberg, 2002:

474).

Penambahan yang digagas Schultz terkait dengan sumberdaya manusia sebagai

bentuk modal tersebut memperluas definisi modal dari Marxian klasik. Keduanya dilihat

sebagai investasi dengan harapan keuntungan. Meskipun demikian, definisi yang diperluas

tersebut sangat berbeda dalam empat cara: (1) modal manusia memfokuskan pada tenaga

kerja; (2) tenaga kerja dapat dilihat sebagai investor; (3) tenaga kerja sekarang dimotivasi

untuk memperoleh keahlian; dan (4) teori modal klasik menempatkan modal sebagai hasil dari

produksi dan proses pertukaran (Storberg, 2002: 475).

Secara keilmuan, teori human capital merupakan buah karya ekonom Becker

(1993), yang menguji variasi komponen human capital, yang meliputi kesehatan, migrasi, dan

pendidikan. Becker melakukan penelitian yang memfokuskan pada aktivitas yang

mempengaruhi kondisi masa depan moneter dan pendapatan melalui peningkatan

6

Page 7: Bahan kuliah 1

sumberdaya manusia. Aktivitas tersebut sering disebut sebagai investments in human capital (dikutip Storberg, 2002: 475). Tahun 1993, Becker mempublikasikan karyanya Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis With Special Reference to Education . Karya Becker ini

secara rutin dikutip dalam berbagai literatur yang mendiskusikan tentang modal manusia, dan

oleh karenanya, dia sering disebut sebagai the father of human capital theory.

Meskipun ekonomi Becker dan Schultz mengembangkan modal dan teori modal

pada tingkat mikro (misalnya aktor individu), teoritisi dari disiplin lain meneruskan pengujian

pada struktur makro kapitalisme dan konsekuensinya terhadap masyarakat. Sosiolog Bourdieu

(1983) dan Wacquant (1989), misalnya, secara kritis memperkirakan dampak kelas dan kultur

dominan terhadap modal dan teori modal. Pelanggaran simbolik (symbolic violence) dari

Bourdieu dan proses reproduksi sosial konsisten dengan pendirian teori Marx. Keduanya

merefleksikan dominasi nilai-nilai oleh satu kelas (kapitalis atau kelompok dominan) terhadap

kelas yang lain (buruh dan kelompok yang didominasi).

Menurut Storberg (2002: 475), pergerakan teori modal dari teori klasik (Smith, Mill,

dan Marx) ke teori neo-capital (Becker, Schultz), telah mengalami dua perubahan elemen yang

mendasar: Pertama, fokus analisis telah bergerak dari tingkatan struktural (tingkatan makro) ke

analisis individu dan kelompok (tingkatan mikro dan meso). Kedua, perilaku-perilaku tenaga

kerja (human resources) dipandang memiliki peranan yang jauh lebih penting.

Akar intelektual modal manusia (human capital) sebenarnya dapat dilacak dari karya

Adam Smith yang memasukkan semua kemampuan yang diharapkan dan berguna dari

penduduk sebuah negara sebagai bagian dari modal. Lin (2001) mengakui bahwa karya

Johnson (1960), Schultz (1961), Becker (1993) dapat dijadikan rujukan untuk memahami

konsep modal manusia kontemporer. Johnson (1960) berargumen bahwa buruh dapat saja

menjadi kapitalis, bukan dari penyebaran kepemilikan korporasi, seperti yang dapat dilakukan

kaum kapitalis, tetapi melalui penguasaan pengetahuan dan keahlian yang memiliki nilai

ekonomi. Karena itulah, melalui pengetahuan dan keahlian, buruh dapat meminta pembayaran

dari kaum kapitalis untuk mengganti nilai kerja mereka. Tetapi menurut Lin (2001), argumen

sistematis terkait dengan modal manusia dibuat oleh Theodore W. Schultz (1961). Dalam

sebuah pertemuan “American Economic Association”, Shultz secara tegas mengemukakan

kegagalan untuk menempatkan sumberdaya manusia secara eksplisit sebagai sebuah bentuk

modal, sebagai sarana untuk berproduksi, dan sebagai produk dari investasi. Hal ini

mendukung pendapat klasik bahwa tenaga kerja hanya memiliki kapasitas untuk melakukan

pekerjaan manual yang sedikit membutuhkan keahlian dan pengetahuan, sebuah kapasitas

dimana semua tenaga kerja menyumbang hal yang sama. Becker (1964) menerangkan modal

manusia dalam kaitannya dengan pendidikan. Menurutnya, modal manusia, tidak seperti modal

fisik, merupakan nilai tambah untuk seorang tenaga kerja ketika dia memberikan pengetahuan,

7

Page 8: Bahan kuliah 1

keahlian, dan asset-aset lain kepada pemilik perusahaan dalam proses produksi dan

pertukaran.

Lin (2001: 11) mengilustrasikan beberapa perbedaan substansi antara teori modal

manusia dengan teori Marxian klasik. Pertama, sementara teori Marxian memfokuskan pada

produksi dan pertukaran komoditas, modal manusia memfokuskan pada sebuah proses yang

berhubungan dengan pekerja. Dalam teori modal klasik, modal merupakan hasil perhitungan

antara biaya relatif produksi dan harga dalam pertukaran komoditas. Sebalilknya, dalam teori

modal manusia, modal adalah tenaga kerja itu sendiri. Kedua, berhubungan dengan poin

pertama, saat ini tenaga kerja dapat dilihat sebagai investor atau paling tidak sebagai bagian

dari skema investasi. Sementara dalam analisis Marxian, tenaga kerja menawarkan tenaga

mereka untuk mendapatkan upah demi mempertahankan kebutuhan subsisten mereka.

Perspektif modal manusia sangat jelas berasumsi bahwa pekerja mungkin berada dalam posisi

untuk mendapatkan keuntungan, apabila keuntungan itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah

nilai surplus. Gaya hidup yang mewah, sekaligus kemungkinan untuk melakukan investasi

kembali yang menurut Marx menjadi domain kaum kapitalis, saat ini diperkirakan berada dalam

jangkauan pekerja.

Ketiga, perbedaan antara modal manusia dan pendapat Marxian berdasarkan pada

asumsi bahwa karena terdapat imbalan potensial dalam peningkatan pendapatan dan bentuk-

bentuk keuntungan lainnya, kaum pekerja saat ini termotivasi untuk memperoleh keahlian dan

pengetahuan. Menurut Marx, tenaga kerja merupakan tindakan yang bertujuan. Meskipun

demikian, dia berpendapat bahwa dalam sistem kapitalis, tindakan bertujuan tersebut dipaksa

oleh kelas kapitalis. Oleh karenanya, tindakan bertujuan kaum pekerja sesuai untuk tujuan

proses produksi. Dari perspektif teori modal manusia, investasi untuk memperoleh keahlian

dan pengetahuan dimotivasi oleh perhitungan biaya dan keuntungan sebagai bagian dari

pekerja itu sendiri. Perhitungan ini mendorong investasi mereka dalam perolehan keahlian dan

pengetahuan.

Keempat, modal dalam perspektif teori klasik terikat pada proses produksi dan

pertukaran. Misalnya, modal dibentuk sebagai nilai surplus atau keuntungan relatif terhadap

investasi atau biaya. Dalam formulasi ini, investasi tenaga kerja merupakan bagian dari

kalkulasi biaya. Tetapi dalam teori modal manusia, perolehan keahlian dan pengetahuan

menghasilkan nilai ekonomis, artinya membiarkan tenaga kerja menjadi kapitalis.

Menurut Lin (2001: 14) tidak semua teoritisi neo-capital setuju dengan interpretasi

modal manusia sebagai sebuah produk kemauan bebas pekerja atau kepentingan pribadi.

Menurutnya, alternatif penjelasan teoritis modal manusia adalah teori modal kultural. Bourdieu

(1990) mendefinsikan budaya sebagai sebuah sistem simbolisme dan pemaknaan. Dia

berpendapat bahwa sebuah kelas dominan dalam masyarakat memaksakan budayanya

8

Page 9: Bahan kuliah 1

melalui pelibatan dalam tindakan pedagogik (misalnya pendidikan) yang menginternalisasikan

simbol-simbol dan makna-maka dominan untuk generasi mendatang, dan sekaligus

mereproduksi budaya dominan. Oleh karenanya, Nan Lin memfokuskan pemikiran Bourdieu

terkait dengan reproduksi sosial yang secara intrinsik berhubungan dengan praktek sosial.

Meminjam istilah Bourdieu tentang “symbolic violence”, Lin (2001) memulai

pembahasan tentang modal kulturalnya. Symbolic violence terjadi dalam tindakan pedagogik

dalam mana kultur dan nilai-nilai kelas dominan dilegitimasi sebagai nilai dan kultur obyektif

masyarakat sehingga mereka tidak dilihat atau diperhatikan sebagai kultur dan nilai yang

mendukung dan melanjutkan kelas dominan. Tindakan pedagogik tersebut kerapkali terjadi

dalam keluarga, kelompok informal dan formal, dan yang lebih penting melalui lembaga-

lembaga pendidikan.

Gambaran penting dari symbolic violence adalah bahwa proses pedagogik dalam

mana kultur dan nilai dominan diterima dan diambil sebagai milik pribadi tanpa ada resistensi

atau bahkan kesadaran dari mereka yang memilikinya. Pengambil alihan dan ketidaktahuan

kultur dominan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya disebut sebagai modal kultural.

Lin (2001: 15) menginterpretasikan benang merah antara modal kultural dengan

modal dalam perspektif Marx. Hubungan sosial yang digambarkan oleh Marx juga diasumsikan

bahwa terdapat kelas kapitalis yang mengontrol alat-alat produksi, dan proses tindakan

pedagogik atau lembaga-lembaga pendidikan. Dalam sebuah proses produksi (sekolah),

pekerja (siswa atau anak) melakukan investasi dalam proses pendidikan dan menginternalisasi

kultur kelas dominan. Pengambil alihan kultur ini memperbolehkan pekerja untuk masuk ke

dalam pasar kerja, memperoleh gaji, dan menjamin pengeluaran untuk kebutuhan hidup

mereka. Kaum kapitalis, atau kelas dominan, memperoleh modal kultural yang melengkapi

modal ekonomi mereka dan mengakumulasikan kedua modal tersebut dalam perputaran

komoditas (pendidikan massa) dan dominasi alat-alat produksi (lembaga pendidikan).

Lin (2001: 17) menyimpulkan dua elemen penting terkait dengan neo-capital theory.

Pertama, sangat jelas terjadi pergeseran penjelasan dari tingkat analisis makro yang

digunakan oleh teori klasik Marxian ke arah tingkatan analisis mikro yang diterapkan dalam

teori-teori neo-capital. Tidak seperti aliran Marxian yang melihat modal sebagai bagian dari

proses eksploitasi kelas dalam masyarakat, teori neo-capital lebih menyukai penjelasan pada

tingkatan mikro tentang bagaimana pekerja sebagai aktor membuat investasi yang diperlukan

untuk memperoleh nilai surplus dari pekerjaan mereka di pasar kerja. Pergeseran penjelasan

pada tingkat mikro ini tidak berarti menghilangkan efek dari pengaruh struktural dan tingkat

makro yang lebih besar dalam proses kapitalisasi. Teori modal kultural sangat jelas

menekankan terdapat tangan tersembunyi yang tidak terlihat ( invisible hand) dari kelas

dominan di belakang proses kapitalisasi.

9

Page 10: Bahan kuliah 1

Kedua, tindakan atau pilihan tindakan dimasukkan sebagai elemen dalam teori-teori

neo-capital. Dalam teori modal klasik, tindakan secara eksklusif berada di kaum kapitalis,

sementara buruh merupakan komponen tidak berdaya yang dipertukarkan dalam skema

produksi untuk menghasilkan nilai surplus bagi kapitalis. Kaum buruh tidak memiliki pilihan

tindakan tetapi tetap menyediakan buruh murah untuk proses produksi, dan hasil kerja mereka

dipertukarkan dengan kebutuhan hidup subsisten. Sementara dalam neo-capital theory, buruh

atau tenaga kerja mampu memperoleh dan mengumpulkan nilai surplus dari kerja mereka

sendiri. Semua terserah pekerja untuk memutuskan bagaimana dan berapa banyak upaya

atau investasi yang mereka harapkan untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian berguna

yang dapat dijual jual ke produser untuk mendapatkan pembagian yang lebih besar dari nilai

surplus yang dihasilkan. Oleh karenanya, tindakan pilihan merupakan penjelasan utama dan

kadangkala satu-satunya penjelasan yang kuat dalam teori modal manusia.

2.4. Teori Modal Sosial: Perspektif KesejarahanSecara ide, modal sosial sebenarnya bukanlah konsep yang baru. Sejarah

intelektualitasnya telah berakar sejak abad ke 18 (Adam dan Roncevic, 2003). Terminologi

modal sosial telah digunakan sejak awal abad ke 19, tetapi tradisi-tradisi konsepnya jauh lebih

tua terutama berakar dari disiplin ekonomi, sosiologi, antroplogi dan ilmu politik. Oleh

karenanya, tidak salah apabila konsep dasar modal sosial dalam tataran tertentu senantiasa

dikaitkan dengan pemikir seperti Mill, Durkheim, Weber, Locke, Rousseau dan Simmel

(Bankston dan Zhou, 2002; Putnam, 1995), meskipun pada saat itu istilah modal sosial belum

terbakukan di kalangan para teoritisi sosiologi klasik. Bankston dan Zhou (2002), misalnya,

secara khusus merujuk keterkaitan antara sosiologi normatif dari Durkheim dan pemikiran

Coleman berkaitan dengan konsep modal sosial. Lebih lanjut, Portes (1998) berpendapat

bahwa penekanan Durkheim pada kehidupan kelompok sebagai sebuah antidote menjadi

anomie dan self-destruction, misalnya, atau perbedaan antara atomized class-in-itself dan

mobilized effective class-for-itself, dipandang oleh sebagian teoritisi sebagai akar konsep

modal sosial.

Kebanyakan teoritisi setuju bahwa penggunaan konsep modal sosial pertama kali

digunakan oleh Lyda Judson Hanifan dalam karyanya A Practical Reformer of the Progressive Era yang dipublikasikan tahun 1916. Dia menemukan pertama kali istilah modal sosial untuk

menunjuk gejala kohesi sosial dan investasi personal dalam masyarakat. Dalam

mendefinisikan konsep tersebut, Hanifan membedakan modal sosial dari benda-benda material

lainnya. Routledge dan Amsberg (2003) mengidentifikasi bahwa Hanifan menggunakan istilah

”modal” secara khusus untuk menekankan pentingnya struktur sosial bagi manusia dalam

perspektif bisnis dan ekonomi. Selanjutnya, Hanifan (dalam Woolcock dan Narayan, 2000)

10

Page 11: Bahan kuliah 1

menggambarkan modal sosial sebagai substansi yang tidak dapat disentuh ( intangible) yang

berguna dalam kehidupan sehari-hari manusia. Komponen modal sosial menurutnya terdiri dari

kemauan baik, pertemanan, simpati dan hubungan sosial antar individu dan keluarga yang

membangun sebuah unit sosial. Apabila individu melakukan kontak dengan tetangganya,

demikian juga tetangga berhubungan dengan tetangga lainnya, terdapat akumulasi modal

sosial yang dengan segera memuaskan kebutuhan sosialnya serta menghasilkan

kemungkinan peningkatan kondisi kehidupan seluruh masyarakat.

Kemudian Jane Jacobs, dalam bukunya The Death and Life of Great American Cities yang dipublikasikan tahun 1961, juga menulis tentang istilah modal sosial dalam

kajiannya tentang vitalitas perkotaan. Dia menyatakan bahwa jaringan sosial adalah modal

sosial kota yang tidak tergantikan dan tidak dapat ditukar oleh modal lainnya. Meskipun tidak

secara eksplisit mendefinisikan istilah modal sosial, tetapi dia menggunakannya untuk

menunjuk pada nilai yang ada dari jaringan sosial (dikutip dalam Woolcock 1998: 192). Sangat

menarik untuk dicatat bahwa penggunaan konsep tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan

terminologi modal sosial, tetapi konsep yang dikembangkan menunjukkan relevansinya

dengan nilai-nilai individualisme, kesetaraan kesempatan, relasi sosial, dan nilai-nilai, yang

umumnya kita kenal sebagai bagian dari komponen modal sosial.

Sementara itu, para ekonom memandang asal teori modal sosial terjadi pada

periode sosiologi ekonomi karya Max Weber (Trigilia 2001), dan lainnya menggambarkan

katerkaitan konsep tersebut dengan karya Adam Smith (Winter 2000). Hal ini dibuktikan oleh

Winter (2000) yang menemukan kemiripan antara teori modal sosial dengan pertanyaan yang

dimunculkan Adam Smith dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments. Diskusi tentang

potensi negatif dari aktivitas kelompok sebagai sebuah perdebatan dampak negatif dari modal

sosial. Adam Smith menyatakan bahwa ketika orang-orang dari segmen pasar yang sama

bertemu bahkan untuk hanya sekedar bergembira dan hiburan sering menghasilkan konspirasi

yang melawan publik atau merencanakan kenaikan harga (dikutip dalam Knack 2002: 773).

Asumsi Adam Smith ini dijadikan titik awal pemahaman modal sosial dalam perspektif

ekonomi, namun diskusinya bukan ditekankan pada dampak positif modal sosial, tetapi lebih

menyoroti sisi negatif dari perilaku individu dan kelompok dalam sebuah kolektivitas yang

dalam tataran tertentu menjadi ciri khas eksistensi modal sosial.

Ilmuwan politik, Robert Salisbury, dalam karyanya An Exchange Theory of Interest Groups yang ditulis tahun 1969, lebih lanjut membahas istilah modal sosial sebagai komponen

penting dari formasi kelompok kepentingan, terutama terkait dengan political interest. Selanjutnya, Sosiolog Pierre Bourdieu menggunakan istilah modal sosial tahun 1972 dalam

karyanya Outline of a Theory of Practice dan memperjelas perbedaan istilah modal sosial

dengan modal kultural, ekonomi, dan simbolik. Diskusi Bourdieu ini lebih jelas karena berhasil

11

Page 12: Bahan kuliah 1

memposisikan modal sosial di antara modal-modal lainnya. Pemikiran Bourdieu inilah yang

kemudian diikuti, dicabar, dan dikritik oleh teoritisi lain untuk menyempurnakan dimensi teoritik

dari modal sosial; salah satunya adalah Sosiolog James Coleman, yang ikut mempopulerkan

konsep modal sosial. Pada akhirnya, tahun 1990, konsep modal sosial memperoleh

popularitasnya, terutama setelah World Bank mencanangkan program penelitian dan

pengembangan terkait dengan modal sosial dan pembangunan ekonomi.

Pada umumnya, studi-studi yang mengambil tema modal sosial merumuskan

konsep modal sosial berdasarkan pemahaman sejarah perkembangan konsep, dan bukan

pada terminologinya. Hampir semua teoritisi sepakat bahwa konsep modal sosial pada

awalnya berakar dari disiplin sosiologi dan ekonomi. Barulah pada akhir tahun 1980-an teoritisi

kontemporer memunculkan terminologi modal sosial dan menyedot perhatian teoritisi lain untuk

mengembangkan dan sekaligus mengkritisinya. Setiap teoritisi modal sosial cenderung

merumuskan konsep modal sosial didasarkan pada masalah-masalah yang menjadi pusat

kajiannya. Keberagaman konsep inilah yang menjadi kekuatan modal sosial untuk dijadikan

sebagai modal teoritik bagi peneliti-peneliti yang tertarik dengan dinamika masyarakat dan

akumulasi modal sosial yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, kajian modal sosial seolah

tidak pernah berujung dan bahkan terus bertambah seiring dengan kompleksitas permasalah

kekinian yang ada dalam masyarakat.

2.5. Teoritisi Modal Sosial KontemporerTeori modal sosial dapat dirujuk dari hasil karya empat teoritisi utama, yakni James

Coleman, Robert Putnam, dan Pierre Bourdieu. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik dengan

pendekatan teori modal sosial dari Nan Lin yang bersifat unik dan menjembatani kesenjangan

analisis makro-mikro. Keempatnya sering disebut sebagai teoritisi modal sosial kontemporer.

Bourdieu dikenal dengan karyanya Outline of a theory of Practice (1977); Cultural Reproduction in Education, Society and Culture (1977); Cultural Reproduction and Sosial Reproduction (1977), dan berbagai karyanya bersama penulis lain telah membuktikan bahwa

Bourdieu banyak memberikan kontribusi pada pengembangan teori modal sosial.

James Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Social Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992)

menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial dalam perspektif ekonomi dan

pendidikan. Selanjutnya, Robert Putnam dalam karyanya seperti Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993); The Prosperous Community: Social capital and Public Life (1993); Bowling Alone: America's Declining Social capital (1995); Bowling Alone - The Collapse and Revival of American Community (2000) menjadi karya monumental Putnam yang

banyak dirujuk oleh teoritisi modal sosial lainnya. Karya ketiga teoritisi modal sosial

12

Page 13: Bahan kuliah 1

kontemporer tersebut menjadi acuan bahkan kritikan dan atau cabaran teoritisi lain yang ingin

mengembangkan konsep dan teori modal sosial yang saat ini berkembang sangat pesat.

Sementara itu, Nan Lin dalam tulisannya Building a Network Theory of Social Capital (1999); Social Capital: A Theory of Structure and Action (2001), dan berbagai karya

penunjangnya mengemukakan sebuah teori modal sosial yang menjembatani kesenjangan

pemahaman hubungan makro-mikro, antara struktur dan individual. Teori tersebut banyak

dikutip untuk memperjelas tingkatan analisis modal sosial dalam lingkup hubungan struktur dan

individu. Oleh karenanya, teori modal sosial dari Nan Lin (2001) bersifat unik dan menjadi

acuan bagi teoritisi lain untuk menganalisis fenomena modal sosial baik pada tingkat mirko

maup0un amkro, atau tingkat struktur ataukah tingkat individual.

Apabila dilihat dari arus pemikiran teori modal sosial kontemporer, secara garis

besar terdapat tiga bentuk aliran pemikiran yang dapat dielaborasi dari hasil karya masing-

masing teoritisi, yakni perspektif Marxian, perspektif pilihan rasional dan ekonomi, dan

perspektif politik dan demokrasi (lihat Lewandowski, 2006).

2.5.1. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Pilihan Rasional dan EkonomiPerspektif rasional atau pertimbangan ekonomi dalam teori modal sosial

kontemporer merupakan konsepsi pilihan rasional aktor yang mengutamakan kepentingan

individu dan dipandu oleh alasan-alasan instrumental sebagai bagian dari strategi tindakan.

Gary Becker menyebutnya sebagai “assumptions of rasionality” (1990: 41) sebagai basis bagi

pilihan rasional. Dalam konsepsi tindakan manusia ini, fungsi kegunaan ditujukan untuk

meminimalkan biaya-biaya transaksi dan memaksimalkan realisasi kepentingan aktor-aktor

individual. Dengan kata lain, perilaku meminimalkan resiko dan memaksimalkan keuntungan

menjadi aspek fundamental yang mengatur semua tindakan manusia.

Pendapat senada diungkap oleh James Coleman dalam teori pilihan rasionalnya

terkait dengan tindakan manusia. Coleman memulai dengan asumsi universal tentang

kehidupan manusia sebagai mahluk yang individualistik radikal, atau mahluk beralasan yang

memaksimalkan kegunaan aspek individualistik radikalnya. Dalam karyanya Foundations of Social Theory, Coleman tetap terikat pada konsepsi rasional sebuah tindakan dimana semua

jenis tindakan didasari oleh satu tujuan, yakni untuk meningkatkan realisasi kepentingan aktor

(1990: 32). Tentu saja Coleman berbeda dari Becker dalam upayanya untuk memperkenalkan

struktur sosial- atau apa yang dia sebut sebagai organisasi sosial mengenai hubungan saling

percaya (trust) ke dalam analisis ekonomi dari tindakan (1984; 1990). Dengan kata lain,

Coleman cenderung untuk menjelaskan bagaimana tindakan rasional individu diterjemahkan

ke dalam tindakan yang sistematis atau tindakan kolektif melalui norma-norma bersama. Ini

artinya, Coleman telah mendorong tindakan pilihan rasional aktor individual bergerak dari

13

Page 14: Bahan kuliah 1

tingkat mikro ke makro. Artinya, bagaimana tindakan rasional individu diorganisasikan untuk

menjamin efektivitas realisasi kepentingan kolektif.

Asumsi-asumsi rasionalitas individualistik terkait dengan karakteristik tindakan

manusia yang secara luas mempengaruhi bagaimana jaringan-jaringan hubungan saling

percaya, dan norma sosial dapat dipahami (Lewandowski, 2006). Sebagai konsekuensi dari

pandangan bahwa aktor manusia sebagai pemanfaat sumberdaya yang maksimal, perspektif

teori modal sosial memahami hubungan saling percaya (trust) di antara aktor sebagai bentuk

yang horizontal atau bersifat jaringan organisasional yang berfungsi untuk menjembatani dan

mengkoordinasikan tindakan individu. Dalam kaitan ini, norma sosial dibentuk untuk

memfasilitasi efisiensi koordinasi dan realisasi keinginan, serta kepentingan individu dalam

struktur sosial.

Oleh karena itulah, secara sederhana Coleman mendefinisikan modal sosial meliputi

beberapa aspek dari sebuah struktur sosial dan memfasilitasi tindakan-tindakan individual

tertentu yang berada dalam struktur (1990a: 302). Di sini modal sosial merupakan satu dari

banyak sumberdaya yang fungsional, seperti modal fisik dan modal manusia, yang diperlukan

untuk memungkinkan realisasi efisiensi tujuan-tujuan individual. Perspektif rasional modal

sosial ini juga dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan global seperti World Bank,

dimana komponen modal sosial menjadi salah parameter untuk mengukur stabilitas dan

pertumbuhan ekonomi.

Perspektif pilihan rasional dan ekonomi dari teori modal sosial ini kontemporer ini

memang sangat mudah mewarnai karya James S. Coleman, dalam karyanya Social capital in the Creation of Human Capital (1988); Foundations of Social Theory (1990), atau Some Points on Choice in Education (1992) menjadi acuan bagi teoritisi lain yang menggeluti modal sosial

dalam perspektif pilihan rasional dan ekonomi. Menurutnya, konsep modal finansial, modal

fisik, dan modal manusia yang terbentuk dalam relasi di antara orang-orang adalah paralel

dengan pendapatnya tentang modal sosial. Coleman yang sangat kuat keterikatannya dengan

pemikiran ekonomi melalui karyanya rational-choice theory, menggambarkan pemahaman

bersama antara sosiologi dan ekonomi dalam pendefinisian tentang modal sosial. Dia

mengintegrasikan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan struktur sosial untuk

menjelaskan tindakan individu dalam konteks tertentu berbarengan dengan pertimbangan

organisasi sosial melalui pengenalan prinsip tindakan rasional dan maksimalisasi penggunaan

sumberdaya ke dalam konteks sosial tertentu (dikutip dalam Khrisna, 2005: 22).

Bagi Coleman, modal sosial didefinisikan berdasarkan fungsinya, yakni memfasilitasi

pertukaran sosial, sama seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti

fenomena bahwa uang meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan

pola sistem barter, sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Khrisna,

14

Page 15: Bahan kuliah 1

2005: 23). Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan

merupakan refleksi dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek

positif kontrol sosial sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal

sosial sebagai serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam

organisasi sosial kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial

anak dan generasi muda (Coleman 1990:300).

Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,

melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah

aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial

merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada

gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Seperti

bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang memiliki kemungkinan

pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai apabila ketiadaan modal

sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur

hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam individu

(Coleman 1990:302).

Coleman mencatat bahwa modal sosial mengambil variasi bentuk seperti kewajiban,

harapan atau ekspektasi, sifat dapat dipercaya dari lingkungan sosial atau struktur , artinya

kewajiban akan dihargai; sebagai sumber informasi dalam relasi sosial atau saluran informasi

yang berarti mengurangi biaya informasi; dan sebagai norma dan sanksi efektif yang

mengurangi biaya monitoring dan penghukuman (seperti yang dikutip Krishna, 2005: 22;

Coleman, 1988: 102-104).

Bagi Coleman (1988; 1990), modal sosial memfasilitasi pertukaran sosial sama

seperti uang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Logika ini mengikuti fenomena bahwa uang

meningkatkan efisiensi pertukaran ekonomi dalam kondisi ketiadaan pola sistem barter,

sementara modal sosial meningkatkan efisiensi pertukaran sosial (Gupta, Khrisna, 2005: 23).

Sangat menarik untuk dicatat bahwa definisi modal sosial yang dirumuskan merupakan refleksi

dari sikap teoritis Coleman yang memberikan penekanan pada aspek positif kontrol sosial

sebagai fungsi modal sosial. Secara konservatif, mendefinisikan modal sosial sebagai

serangkaian sumberdaya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial

kemasyarakatan sangat berguna bagi pengembangan kognitif atau sosial anak dan generasi

muda (Coleman 1990:300).

Interpretasi Coleman (1988, 1990, 1992) terhadap konsep modal sosial banyak

dikutip dalam literatur di bidang pendidikan. Bagi Coleman, modal sosial ada dalam struktur

relasi antara individu-individu dan sebagian besar tidak dapat disentuh. Potensi modal sosial

diwujudkan dalam kapasitasnya untuk memfasilitasi aktivitas produktif. Hal ini dapat dicapai

15

Page 16: Bahan kuliah 1

melalui formasi hubungan sosial yang dibangun sejak lama yang memungkinkan individu-

individu mencapai kepentingan mereka yang dicapai secara independen. Empat bentuk modal

sosial dari Coleman yang diidentifikasi: (a) kewajiban dan ekspektasi/harapan seperti

melakukan sesuatu dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain; (b) potensi

informasional seperti membagi informasi yang berguna yang menginformasikan sesuatu untuk

aksi-aksi pada masa mendatang; (c) norma-norma dan sanksi-sanksi yang efektif seperti

bangunan nilai-nilai komunitas dan standar perilaku yang diakui bersama; (d) hubungan

kekuasaan seperti keahlian kepemimpinan yang menginformasikan tindakan-tindakan individu

lain. Perlu dicatat bahwa modal sosial dengan demikian dapat menguntungkan individu lain

yang tidak berpartisipasi secara langsung dalam sebuah kegiatan atau tindakan. Coleman

(1990: 313) mengilustrasikan contoh terkait dengan pekerjaan asosiasi guru dan orang tua

yang menyusun standar atau ukuran disiplin untuk kebaikan bersama dalam sebuah sekolah

komunitas.

Satu sisi, modal sosial dapat diciptakan, namun sisi lain dapat juga dirusak.

Coleman menyitir kurangnya relasi antara orang tua dan tidak adanya ideologi bersama

memiliki potensi negatif terhadap konsekuansi-konsekuansi sosialnya ( lihat Coleman: 1990:

318-321). Teori modal sosial yang digunakan oleh Coleman memiliki akar struktural fungsional

yang sangat kuat. Oleh karenanya, karya dia sering disitir untuk mendukung kajian tentang

masyarakat yang spesifik seperti masyarakat yang ditandai oleh nilai-nilai tradisional kaku,

disiplin yang ketat, dan kontrol serta perintah hierarkis (Dika dan Singh: 2002: 34).

Karya Coleman merepresentasikan pergeseran yang sangat penting dari produk

individualnya Bourdieu (termasuk dalam pendekatan berbasis jaringan) ke produk kelompok,

organisasi, kelembagaan, ataupun masyarakat yang mewakili pergeseran tentatif dari

egocentric menjadi sociocentric (Adam and Roncevic 2003; Cusack 1999; McClenaghan

2000). Coleman juga menambahkan bahwa seperti bentuk modal-modal lainnya, modal sosial

bersifat produktif, memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan tertentu yang tidak akan dicapai

apabila terjadi peniadaan modal tersebut (Coleman 1988). Kebanyakan teoritisi setuju bahwa

modal sosial berkaitan dengan aspek tertentu dari struktur yang memungkinkan terbentuknya

tindakan sosial (Adam and Roncevic 2003).

Tidak seperti Bourdieu, Coleman secara luas melibatkan penelitian empirik dan

formulasi indikator-indikator. Kunci penting Coleman terhadap diskursus modal sosial terletak

pada cara yang mudah dan sederhana untuk mengilustrasikan konsep modal sosial. Coleman

mengeksplorasi bagaimana karakter produktif modal sosial dapat menyeimbangkan modal

lainnya seperti modal kultural dan modal manusia (Teachman et al. 1997).

2.5.2. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Demokrasi dan Politik

16

Page 17: Bahan kuliah 1

Pada dasarnya, perspektif demokrasi dan politik dalam teori modal sosial mengikuti

pendapat Tocqueville (1969) tentang hubungan kausal antara jaringan hubungan saling

percaya (trust) dengan norma sosial, dikaitkan dengan realisasi praktek-praktek politik dan

demokrasi. Upaya tersebut memang dilakukan oleh Robert Putnam yang mengadopsi

pemikiran Tocqueville untuk memulai karya modal sosialnya terkait dengan politik dan

demokrasi.

Dalam perspektif demokrasi, asosiasi sukarela merupakan subyek yang plural atau

disebut sebagai fenomena “kita”. Dalam teori modal sosial ini, aktor-aktor yang sebenarnya

tidak rasional kemudian diorganisasikan ke dalam inti individu atau asosiasi. Mereka adalah

fakta sosial yang menghasilkan apa yang Tocqueville gambarkan sebagai “the habits of acting together in the affairs of daily life” dimana masyarakat yang demokratis sangat tergantung pada

kebiasaan tersebut (1969: 514). Dalam praktek asosiasi menurut Tocqueville (1969: 522),

individu-individu menciptakan norma-norma yang kental terkait dengan trust yang bersifat

tanggung jawab moral intersubyektif (intersubjective moral obligations), Tocqueville

menyebutnya sebagai “mores”—yang dibutuhkan dan terus diperkuat melalui kerja sama dan

relasi dari hari ke hari.

Dengan demikian, bagi pengikut teori demokrasi Tocqueville, dan neo-

Tocquevillean, jaringan-jaringan hubungan saling percaya (trust) bukan hanya berupa

jembatan horizontal yang memfasilitasi koneksi antar individu yang memaksimalkan

penggunaan sumberdaya, melainkan jaringan-jaringan tersebut memiliki sebuah pengikat

(bonding) fungsi moral inter subjektif. Mereka menghasilkan ikatan normatif subjek plural

komunal atau dikenal sebagai masyarakat sipil (civil society) yang memerlukan kondisi

pengaturan kolektif mandiri.

Selanjutnya, sebagai hasil dari konsepsi subyek yang plural dari tindakan manusia,

norma sosial dipahami berbeda menurut perspektif demokrasi dan politik dalam modal sosial.

Norma-norma tersebut tidak berfungsi secara eksklusif untuk memfasilitasi efisiensi realisasi

barang-barang personal dalam struktur sosial tertentu, melainkan norma-norma tersebut

memelihara inti universalisme etos demokrasi. Dalam tataran tertentu, norma sosial

mempromosikan kerjasama sosial yang reflektif, yakni dipandang sebagai hambatan-hambatan

tidak kondisional yang mengatur artikulasi kolektif dan realisasi praktis struktur sosial yang

lebih penting atau melebihi dari “public good”. Dalam perspektif demokrasi dari teori modal

sosial, norm sosial dipahami tidak lebih dari “we”, yakni hambatan yang memungkinkan

realisasi kolektif dari demokrasi yang ideal. Dengan demikian, berdasarkan asumsi-asumsi

normatif mengenai fakta sosial dari asosiasi-asosiasi yang ada, perspektif demokrasi dalam

teori modal sosial saat ini memandang modal sosial merupakan sumberdaya komunal yang

terdiri dari hubungan saling percaya dan norma sosial yang memfasilitasi kewajiban yang

17

Page 18: Bahan kuliah 1

bersifat mutualistik, dan tindakan kerjasama. Kondisi inilah yang menurut Putnam

menyebabkan bekerjanya sebuah demokrasi atau “make democracy work”.

Dalam kenyataannya, modal sosial dari Putnam memungkinkan resolusi demokratis

dalam memecahkan masalah-masalah tindakan kolektif. Menurut Putnam, modal sosial

berfungsi untuk “melumasi mesin putar yang memungkinkan komunitas untuk lebih maju tanpa

gejolak”, dan mengembangkan sekaligus mempertahankan “karakter masyarakat yang baik

secara keseluruhan” (Putnam, 2000: 288). Dalam kenyataannya, perspektif demokrasi dalam

teori modal sosial, norma secara eksplisit mempengaruhi kehidupan asosiatif yang perlu

dipertimbangkan untuk menjamin eksistensi demokrasi.

Teori Putnam lebih jauh dipengaruhi oleh pandangan pluralisme dan

komunitarianisme. Tesis sentral teori modal sosial Putnam adalah bahwa keberfungsian

ekonomi regional dibarengi dengan integrasi politik yang tinggi merupakan hasil dari kapasitas

regional untuk mengakumulasikan modal sosial (Siisiainen, 2000). Putnam mengajukan tiga

komponen modal sosial: (a) kewajiban moral dan norma-norma; (b) nilai sosial, khususnya

trust; dan (c) jaringan sosial, khususnya keanggotaan dalam asosiasi-sosiasi sukarela. Bentuk-

bentuk modal sosial ini merupakan sentral untuk mempromosikan masyarakat sipil (civil

society). Menurut Putnam, aktivitas produktif modal sosial merupakan manifestasi dari

kapasitasnya untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan

(Putnam: 1995: 2). Ancaman kapasitas produktif ini bersumber dari kecenderungan perubahan

sosial yang mengindikasikan bahwa koordinasi dan kerjasama telah bergeser ke dalam

keanggotaan kelompok keagamaan, organisasi orang tua-guru, dan kelompok-kelompok

asosiasi lainnya. Putnam menyimpulkan kecenderungan tersebut sebagai sebuah gejala

dimana modal sosial sedang mengalami erosi. Dampak erosi tersebut antara lain kehilangan

ikatan keeratan dalam keluarga dan menurunnya hubungan saling percaya dalam masyarakat.

Putnam menghubungkan secara langsung antara tingkat kerekatan sipil dengan kapasitas

masyarakat untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran,

kemiskinan, rendahnya partisipasi bersekolah, dan kriminalitas. Seperti halnya Coleman,

Putnam mengklaim bahwa jaringan hubungan timbal balik yang terorganisasi dan solidaritas

sosial merupakan pra-kondisi untuk modernisasi sosial dan ekonomi (Putnam: 1995: 2).

Robert Putnam mempopulerkan konsep modal sosial melalui studi tentang komitmen

sipil di Italia (Boggs 2001; Schuller et al. 2000). Seperti halnya pengaruh Coleman terhadap

diskursus teoritik tentang modal sosial, Putnam menyitir Foundations of Sosial Theory dari

Coleman sebagai sumber utamanya (Routledge and Amsberg 2003). Putnam mendefinisikan

modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial seperti hubungan saling percaya ( trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi

masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam et al. 1993).

18

Page 19: Bahan kuliah 1

Dalam karya Making Democracy Work (Putnam et al. 1993), para penulis menggali

perbedaan antara pemerintahan regional di utara dan selatan Italia terkait dengan penjelasan

variabel tentang masyarakat sipil. Karya Putnam berikutnya difokuskan pada penurunan

komitmen sipil di Amerika. Dalam Bowling Alone (1995), Putnam mengidentifikasi penurunan

umum tingkatan spiritual modal sosial yang diindikasikan melalui keikutsertaan dalam

organisasi organisasi-organisasi sukarela (Schuller et al. 2000). Karya akademik tersebut

mengambil contoh dari olah raga bowling sebagai sebuah aktivitas yang biasanya menjadi

organisasi yang asosiatif tinggi, dipresentasikan tidak hanya untuk saluran rekreasi tetapi juga

sumber interaksi sosial, sebagai salah satu komponen modal sosial (Putnam 1999; 2000).

Seperti halnya Coleman, Putnam juga terlibat dalam penelitian empirik dan formulasi

indikator-indikator serta bertanggung jawab untuk pengembangan instrument aplikatif yang

sering disebut 'Putnam instrument' (Adam dan Roncevic 2003; Paldam dan Svendsen 2000).

Instrumen tersebut dikenal sebagai alat yang terbaik dan banyak digunakan meliputi empat

indikator: hubungan saling percaya dalam masyarakat dan kelembagaan, norma-norma

pertukaran timbal balik, jaringan-jaringan, dan keanggotaan dalam asosiasi sukarela.

2.5.3. Teori Modal Sosial dalam Perspektif Marxian Aliran ini diwakili oleh hasil karya Pierre Bourdieu yang banyak dikutip dalam

berbagai literatur dibidang pendidikan. Perspektif modal sosial dari Bourdieu memberikan

alternatif yang unik karena bertentangan dengan bentuk-bentuk rasional dari Coleman atau

politik dan demokrasi dari Putnam dalam teori modal sosial kontemporer. Menurut Bourdieu,

tindakan melekat dalam struktur sosial, dan oleh karenanya dia tetap menolak reduksi pilihan

rasional tindakan kolektif ke dalam agregrasi perilaku rasional individu seperti yang diungkap

Coleman.

Penolakan atas pilihan rasional tersebut terkait dengan pandangan Tocquevillean

tentang asosiasi sukarela yang menentukan tindakan kolektif dalam demokrasi. Bagi Bourdieu,

subyek plural dari asosiasi, yang disebutnya sebagai kelompok sosial, tidak sesederhana itu

menyebabkan tindakan kerjasama sukarela dari individu-individu yang memahami betul

kepentingan mereka sendiri. Kelompok sosial bagi Bourdieu bukanlah kelas aktual yang

dimobilisasi secara eksplisit untuk tujuan bersama dari kelas dominan. Kelompok sosial

merupakan kelas dimana eksistensi, identitas, dan keanggotaan mereka secara implisit

ditentukan oleh non-voluntary predispositions yang terbentuk dari perjuangan dalam rangka

mengkonsumsi dan mendistribusi sumberdaya kultural, sosial dan ekonomi yang terbatas.

Dalam tulisannya, Bourdieu menampilkan perbedaan pandangan terkait modal

sosial. Dia percaya bahwa modal sosial beroperasi sebagai alat reproduksi kultural dalam

menjelaskan pencapaian pendidikan yang tidak seimbang. Teorinya benar-benar memiliki akar

19

Page 20: Bahan kuliah 1

sosio-kultural yang kuat yang ada dalam pengalaman pendidikan dari dialektika individu

melalui sejarah material dan sosial mereka. Selain itu, perspektif Bourdieu tentang modal

sosial didesain untuk memandu kajian-kajian empirik. Ada tiga kunci konsep teoritik untuk

menjelaskan perspektif Bourdieu tentang modal sosial, yakni habitus, capitals, dan fieldsPertama-tama, konsep habitus digunakan untuk menjelaskan bagaimana dampak

struktur obyektif dan persepsi subyektif terhadap tindakan manusia. Konsep ini dapat

dijelaskan sebagai serangkaian skema regulasi pemikiran dan tindakan, yang dalam tataran

tertentu sebagai produk dari pengalaman sebelumnya. Menurut Bourdieu (1977: 72) habitus berisi serangkaian disposisi atau kesiapan bertindak yang kuat dan sama yang mengatur

aktivitas mental ke titik dimana individu sering tidak menyadari akan dampak dari tindakannya.

Intinya, konsep habitus merupakan cara untuk menjelaskan bagaimana pesan-pesan sosial

dan kultural baik aktual maupun simbolik membentuk pemikiran dan tindakan individu-individu.

Konsep ini tidak statis karena memungkinkan individu-individu untuk menjembatani pesan-

pesan tersebut, dan bahkan menempatkan resistensi kepercayaan personal. Habitus bukan

terstruktur secara total, meskipun habitus masih tetap dipengaruhi oleh konteks kesejarahan,

sosial dan kultural.

Untuk mengilustrasikan pentingnya konsep habitus, seseorang dapat berfikir

bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu lebih mampu untuk memobilisasi kepercayaan

yang ada pada diri mereka ke dalam nilai-nilai pendidikan. Seringkali beberapa nilai dibentuk

oleh serangkaian umum pandangan dalam lingkungan sesaat yang menyediakan beberapa

keuntungan dalam pemanfaatan sistem pendidikan formal. Nilai-nilai tersebut tidak harus

datang secara sadar, melainkan memang sudah menyatu dalam budaya individu-individu yang

sudah terbentuk. Faktor kelas sosial pada umumnya sangat kuat untuk menjembatani

pemikiran dan tindakan, Bourdieu menyebutnya sebagai habitus kelas. Hal ini disebabkan

karena kelas sosial secara kuat mempengaruhi pola konsumsi dan gaya hidup.

Tema kedua dari teori Bourdieu adalah capitals. Konsep ini dibagi ke dalam kategori

modal economic, social, cultural, dan symbolic. Modal ekonomi merujuk pada pendapatan dan

sumberdaya finansial dan aset lainnya. Modal ini bersifat lebih memungkinkan dapat dikonversi

ke dalam bentuk modal-modal lainnya. Modal ekonomi, bagaimanapun, tidak cukup untuk

membeli status atau posisi dalam masyarakat, kecuali tergantung pada interaksi dengan unsur

modal lainnya. Modal sosial dirumuskannya sebagai serangkaian relasi sosial yang sudah

berlangsung lama, jaringan dan kontak-kontak. Seperti halnya Coleman dan Putnam,

pandangan tentang hubungan timbal balik (reciprocity) sangat penting, meskipun Bourdieu

lebih menekankan individu, dan tidak selalu komunal untuk mendapatkan yang mungkin

diharapkan. Modal kultural terdiri dari tiga bentuk, yakni objectified, embodied, dan

institutionalized. Masing-masing bentuk berfungsi sebagai instrumen untuk kecocokan

20

Page 21: Bahan kuliah 1

kemakmuran simbolik secara sosial yang akhirnya bermuara pada nilai untuk menjadi yang

diharapkan dan dimiliki (Bourdieu, 1977c). Bentuk keobyektifan merupakan manifestasi seperti

buku-buku, kualifikasi, computer; bentuk embodied dihubungkan dengan karakter edukatif

individu seperti kesiapan bertindak untuk memasuki proses belajar; bentuk institutionalised direpresentasikan tempat untuk belajar yang mungkin akan dimasuki seperti sekolah,

universitas, lembaga teknologi dan sebagainya. Symbolic capital digunakan Bourdieu untuk

menjelaskan cara dalam mana modal dipandang dalam struktur sosial seperti nilai status yang

melekat pada buku-buku tertentu, nilai atau tempat belajar. Dalam hubungannya dengan

modal, perlu dicatat bahwa semua bentuk modal (kategori economic, sosial, cultural, dan

symbolic) merupakan factor kunci yang mendefinisikan posisi dan kemungkinan bagi individu

untuk terlibat dalam berbagai arena, termasuk di dalamnya area pengelolaan sumberdaya

hutan. Lebih jauh, efek pengganda seringkali muncul terkait dengan bentuk akumulasi modal

misalnya satu modal seringkali merubah modal lainnya.

Konsep yang ketiga adalah fields. Dalam bahasa Bourdieu, konsep ini berhubungan

dengan ruang struktur kekuatan dan perjuangan, yang berisi sistem teratur dan jaringan yang

dapat diidentifikasi dari hubungan yang berdampak pada habitus individu. Bourdieu mengklaim

bahwa individu-individu tertentu masuk ke dalam fields, secara sadar lebih memperhatikan

aturan main atau memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memanipulasi aturan-aturan

tersebut melalui bangunan kesesuaian modal. Individu-individu tersebut dengan kualifikasi

yang kuat atau pekerjaan dan status yang kuat mungkin dapat dikategorikan dalam kelompok

ini. Berbagai strategi baik dalam bentuk aktual atau simbolik kemudian diterapkan oleh

individu-individu untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain dan menempatkan mereka

ke dalam posisi yang menguntungkan melalui efektivitas penggunaan dan eksploitasi modal.

Beberapa strategi hanya akan bermakna apabila mereka menunjukkan relevansi simbolik.

Kekuasaan simbolik dikatakan memiliki ekspresi yang besar dalam penerimaan umum bahwa

aturan main berjalan dengan adil. Misrecognition, prase yang dipinjam Bourdieu dari ide Marx

tentang ‘false consciousness’, terjadi ketika individu-individu yang berada dalam

ketidakberuntungan bermain tanpa mempertanyakan aturan. Untuk hal ini Bourdieu

menyebutnya sebagai ‘symbolic violence’.

Bourdieu dipandang bertanggung jawab untuk membawa konsep dan terminologi

modal sosial ke dalam diskursus hingga sekarang ini. Adam dan Roncevic (2003) menyitir

salah satu karya Bourdieu Distinction yang diterbitkan di Perancis tahun 1979 sebagai karya

orisinal perspektif modal sosial modern. Definisi modal sosial dari Bourdieu dapat digambarkan

sebagai egosentris seperti yang dipertimbangkan dalam framework modal simbolik dan teori

kelas dalam masyarakat (Wall et al. 1998). Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai

agregasi sumberdaya aktual dan potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang kuat

21

Page 22: Bahan kuliah 1

dan terlembagakan dari hubungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, bagi

anggota kelompok, modal sosial menyediakan dukungan kepemilikan modal secara kolektif

(Bourdieu, 1986).

Dari ketiga perspektif teori modal sosial kontemporer tersebut, terdapat beberapa hal

yang menjadi kelemahan untuk masing-masing perspektif tersebut (Lewandowski, 2006: 20).

Dalam kasus perspektif pilihan rasional dalam teori modal sosial, misalnya, masalah muncul

terkit dengan kecenderungan model teori pilihan rasional telah mereduksi tataran sosial

menjadi individual. Fenomena inilah yang sering menjadi ajang kritik terhadap perspektif pilihan

rasional dalam teori modal sosial. Kesulitan lain akan muncul ketika perspektif pilihan rasional

mereduksi norma sosial menjadi norma rasional, dan memandang bahwa kepercayaan ( trust) horizontal merupakan sumberdaya yang menjembatani realisasi kepentingan-kepentingan

rasional individu. Dalam reduksi norma sosial ke norma rasional, asumsi-asumsi teoritik

perspektif rasional berkaitan dengan universalitas tentang penggunaan fungsi tindakan

manusia telah melupakan pertimbangan di depan tentang tindakan-tindakan yang tidak

berorientasi pada hasil, yang sebenarnya merupakan karakteristik norma sosial yang hakiki.

Dalam hubungan saling percaya yang horizontal, perspektif rasional juga menghilangkan

pertimbangan kelekatan secara normatif dalam hubungan saling percaya itu sendiri.

Kelemahan-kelemahan tersebut secara implisit mengarah pada kecenderungan dimana

tingkatan modal sosial menjadi ranah modal rasional. Oleh karenanya, terdapat penghilangan

analisis karakter tindakan sosial, norma, dan hubungan saling percaya dalam perspektif

rasional tersebut, yang oleh Lewandowski (2006: 20) disebutnya sebagai “rational reductionism”.

Sebaliknya, masalah utama dengan perspektif normatif atau demokratis dalam teori

modal sosial kontemporer terletak pada istilah yang digambarkan Lewandowski (2006: 21)

sebagai “moral inflationism”. Konsepsi yang berlebihan terhadap fakta sosial tentang asosiasi-

asosiasi sukarela mengarah pada universalisme pengakuan mengenai efek-efek kausalitas

dan penghargaan demokrasi dari asosiasi dan kelompok sosial tersebut. Berbeda dari reduksi

norma sosial menjadi norma rasional, perspektif normatif dan demokrasi menyimpang dalam

arah yang berlawanan, yakni meningkatkan fungsi-fungsi ikatan moral dari norma-norma ke

dalam asosiasi-yang mengutamakan idealisme demokrasi. Dengan kata lain, ikatan moral

norma individual ditingkatkan menjadi norma kelompok secara berlebihan sehingga cenderung

menjadi over-moral inflation. Tidak jarang norma individu harus dikalahkan oleh norma

kelompok meskipun tidak selamanya norma kelompok sesuai dengan norma individu. Inilah

yang mengagungkan atau melebih-lebihkan prinsip idealisme norma dan demokrasi dalam

asosiasi-asosiasi sukarela seperti yang digambarkan Putnam. Namun demikian, pluralisme

asosiasi mungkin saja tidak bersifat mengesampingkan moral, tetapi kekuatan-kekuatan norma

22

Page 23: Bahan kuliah 1

mereka juga tidak dapat digelembungkan untuk menumbuh kembangkan demokrasi.

Pemecahan masalah-masalah tindakan kolektif, misalnya, tidak memerlukan pelibatan tradisi

demokratis di antara individu anggota asosiasi atau antara asosiasi dan kelompok sosial lain.

Singkatnya, apa yang dikurangi oleh perspektif pilihan rasional dalam teori modal sosial, justru

dalam perspektif normatif dan demokratis ditingkatkan sehingga cenderung menjadi over inflasi

moral atau norma.

Perspektif Marxist dalam teori modal sosial saat ini tidak mengalami masalah terkait

dengan reduksionisme rasional atau inflasionisme moral seperti yang dialami oleh kedua

perspektif modal sosial sebelumnya. Nampaknya teori Bourdieu yang unik memungkinkannya

untuk menghindari kedua masalah tersebut. Meskipun demikian, terdapat kelemahan

perspektif Marxist dalam teori modal sosial. Kelemahan tersebut berasal dari telalu dekatnya

pasangan antara habitus dan field dalam mana modal sosial sangat tergantung kepada

keduanya. Dua elemen teori tindakan dalam perspektif Marxist menghindarkan atomisasi

pilihan rasional dan voluntarisme ilmu politik neo-Tocquevillean dan teori demokrasi: Konsepsi

modal sosial Bourdieu tidak tergantung pada individualisme rasional ataupun dampak-dampak

demokratisasi asosiasi sukarela.

Tetapi terlalu beratnya penekanan pembentukan pre-disposisional yang non-

voluntaristik dari kelompok sosial, sangat sulit untuk melihat bagaimana teori Bourdieu dapat

memandang tindakan manusia dan asosiasi-asosiasi sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar

reproduksi struktur sosial yang terstratifikasi secara obyektif. Di sinilah praktek tindakan

manusia hanya bersifat imitasi- Bourdieu menyebutnya “embody”, yakni stratifikasi norma-

norma konsumsi yang berfungsi sebagai penanda kuat dari perbedaan kelas, divisi, dan konflik

dalam struktur sosial yang ada. Korespondensi yang kaku antara habitus dan field menyebabkan keterbatasan yang kuat pada upaya-upaya perspektif Marxist untuk

menghasilkan konsep modal sosial dalam sebuah kritik materialisme kultural. Dari sinilah,

ikatan intra-kelompok dan stratifikasi kredit modal sosial inter kelompok merupakan fungsi dari

pre-reflective habitus-field homology, yang mengandung makna bahwa modal sosial tidak

memfasilitasi tindakan-tindakan aktor, melainkan menetukannya. Alih-alih penghindaran

reduksionisme rasional dan inflasionisme moral dari dua perspektif lain, kelemahan pandangan

Marxist memiliki kecenderungan ke arah homogism fungsionalistik.

Untuk memastikan saja, bahwa perspektif pilihan rasional dan ekonomi bersama

dengan pandangan Bourdie, bahwa modal sosial merupakan sumberdaya yang melekat dalam

struktur; perspektif demokratik memandang bahwa meskipun melekat, modal sosial berisi

potensi kekayaan norma untuk mengubah intekasi manusia dan lokasi-lokasi dalam mana

tindakan dilakukan; perspektif Marxist menyarankan bahwa modal sosial memainkan peranan

yang sangat fundamental dalam pendefisian dan penentuan perjalanan perjuangan sosial dan

23

Page 24: Bahan kuliah 1

konflik kelompok. Semua ini membutuhkan alternatif teori modal sosial yang mampu

menghindari reduksionisme, inflasionisme, dan determinisme yang memperlemah perspektif

teori modal sosial saat ini.

2.5.4. Teori Modal Sosial Nan Lin: Alternatif Perspektif Modal SosialDalam karyanya “Social Capital: A Theory of Social Structure and Action”, Lin (2001:

19) berpendapat bahwa modal sosial diperoleh melalui hubungan-hubungan sosial. Dalam

pendekatan ini, modal dilihat sebagai aset sosial oleh aktor yang memiliki akses dan koneksi

terhadap sumberdaya dalam jaringan atau kelompok dimana mereka menjadi anggotanya.

Pertanyaannya, mengapa modal sosial dapat bekerja atau menjalankan fungsinya?

Dalam teorinya, Lin (2001: 19-20) menemukan empat penjelasan yang dapat

menjawab mengapa sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial mampu meningkatkan

hasil dari sebuah tindakan. Keempat penjelasan tersebut adalah (a) aliran informasi yang

difasilitasi, (b) ikatan-ikatan sosial yang mungkin mempengaruhi perilaku atau pengambilan

keputusan berkaitan dengan orang lain, (c) ikatan-ikatan sosial dapat dilihat sebagai kualifikasi

sosial yang merefleksikan aksesabilitas terhadap sumberdaya melalui hubungan-hubungan

dan jaringan-jaringan sosial, dan (d) relasi sosial diharapkan memperkuat identitas dan

apresiasi. Keempat elemen tersebut dapat menjelaskan mengapa modal sosial bekerja dalam

tindakan-tindakan ekspresif dan instrumental, dan bukan diperuntukkan bagi bentuk-bentuk

capital personal seperti pada modal manusia atau modal ekonomi.

Lin (2001: 21-22) mengidentifikasi dua perspektif terkait dengan pertanyaan “pada

tingkatan manakah keuntungan dapat di visualisasikan; apakah keuntungan diakumulasikan

untuk kelompok atau individu”. Perspektif pertama, fokus utama adalah penggunaan modal

sosial oleh individu, yakni bagaimana akses individual dan penggunaan sumberdaya melekat

dalam jaringan sosial untuk mendapatkan keuntungan dari tindakan-tindakan instrumental atau

mempertahankan keuntungan dari tindakan-tindakan ekspresif. Dalam situasi seperti ini, modal

sosial dapat dilihat mirip dengan modal manusia bahwa investasi dapat dibuat oleh individu

dengan harapan keuntungan secara individual. Akumulasi keuntungan individual pada

gilirannya juga akan menguntungkan secara kolektif. Dua hal penting dalam perspektif ini

adalah (a) bagaimana individu-individu berinvestasi dalam hubungan-hubungan sosial, dan (b)

bagaimana individu-individu mendapatkan sumberdaya yang melekat dalam hubungan-

hubungan sosial tersebut untuk menghasilkan keuntungan.

Perspektif kedua, difokuskan pada modal sosial di tingkatan kelompok, yakni (a)

bagaimana kelompok tertentu mengembangkan atau kurang lebih mempertahankan modal

sosial sebagai aset kolektif, dan (b) bagaimana aset kolektif tersebut meningkatkan

24

Page 25: Bahan kuliah 1

kesempatan hidup anggota kelompok. Bagi Lin, perhatian sentral dalam perspektif ini adalah

menggali elemen-elemen dan proses-proses produksi dan perlindungan aset kolektif.

Untuk keperluan itu, Lin (2001) mengidentifikasi elemen-elemen modal sosial dari

beberapa teoritisi yang ada. Bourdieu (1986) melihat modal dalam tiga bentuk; sebagai modal

ekonomi, modal kultural, dan modal sosial. Bagi Bourdieu, modal sosial terbentuk dari

tanggung jawab atau koneksitas sosial. Modal sosial merupakan agregasi sumberdaya aktual

atau potensial yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan dari hubungan-hubungan yang

terinternalisasi berdasarkan kontak sosial yang saling menguntungkan dan orang lain

mengetahuinya, atau dikaitkan dengan keanggotaan dalam sebuah kelompok. Dengan kata

lain, Bourdieu melihat modal sosial sebagai sebuah bentuk modal yang dimiliki oleh anggota

dari sebuah jaringan sosial atau kelompok.

Menurut Coleman (1990: 302), modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,

melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah

aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial

merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada

gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Seperti

bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif yang memiliki kemungkinan

pencapaian tujun-tujuan tertentu yang mungkin tidak akan tercapai apabila ketiadaan modal

sosial. Selain itu, tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur

hubungan antara orang per orang. Dengan kata lain, modal sosial tidak berada dalam individu.

Lin (2001) memandang bahwa karya Putnam (1993/1995) terkait dengan partisipasi

dalam organisasi sukarela dalam masyarakat demokratis, seperti Amerika Serikat, secara kuat

merefleksikan penggunaan perspektif modal sosial. Putnam berpendapat bahwa asosiasi-

asosiasi tersebut dan tingkatan partisipasinya mengindikasikan tataran modal sosial dalam

masyarakat. Asosiasi dan partisipasi tersebut mempromosikan dan memperkuat norma-norma

kolektif dan kepercayaan yang merupakan sentral dari produksi dan pemeliharaan kehidupan

kolektif.

Berdasarkan telaah terhadap pemikiran teoritisi tersebut di atas, Lin (2001: 25)

mengkonseptualisasikan dan mendefinisikan modal sebagai sumberdaya yang melekat dalam

jaringan sosial yang digunakan dan diakses oleh aktor untuk melakukan tindakan. Dengan

demikian, definisi tersebut memiliki dua aspek utama; (1) modal sosial merepresentasikan

sumberdaya yang melekat dalam relasi sosial dan bukan individual; (2) akses dan penggunaan

sumberdaya tersebut berada pada tingkat individu.

Lin (2001) mengidentifikasi beberapa kontroversi terkait dengan konsep modal

sosial. Kontroversi pertama, berhubungan dengan perspektif tingkatan makro versus relational;

apakah modal sosial merupakan kekayaan kolektif ataukah kekayaan individu. Banyak teoritisi

25

Page 26: Bahan kuliah 1

sepakat bahwa modal sosial merupakan kekayaan kolektif dan individu. Modal sosial

merupakan hubungan sosial yang terinternalisasi dengan lekatan sumberdaya yang

diharapkan bermanfaat bagi individu maupun kolektif dalam kelompok. Pada tingkatan

kelompok, modal sosial merepresentasikan agregasi sumberdaya yang berharga (seperti

ekonomi, politik, kultural, atau sosial) dari anggota yang melakukan interaksi sebagai satu

jaringan ataupun beberapa jaringan. Namun menurut Lin, terdapat kesulitan yang muncul

ketika modal sosial didiskusikan sebagai kekayaan kolektif dan atau barang publik (public goods) bersamaan dengan kepercayaan, norma-norma, dan barang-barang kolektif atau

publik. Menurut Lin (2001: 26) modal sosial, sebagai aset relational, harus dipisahkan dari aset

dan kekayaan kolektif seperti kultur, norma-norma, kepercayaan dan sebagainya. Dalam kaitan

ini, Lin (2001) mengemukakan proposisi bahwa aset kolektif seperti kepercayaan,

menghasilkan hubungan dan jaringan, serta meningkatkan penggunaan sumberdaya yang

melekat atau sebaliknya; tetapi tidak boleh diasumsikan bahwa aset kolektif tersebut

merupakan bentuk alternatif modal sosial, atau didefinisikan, misalnya hubungan saling

percaya (trust) merupakan modal sosial.

Kontroversi kedua, terkait dengan aspek-aspek kolektif modal sosial, bahwa

persyaratan yang diasumsikan atau diharapkan yakni, apakah terdapat situasi kondusif

ataukah kekompakan dalam hubungan sosial dan jaringan sosial. Menurut Lin, persyaratan

untuk kekompakan atau kondusivitas jaringan sosial tidak diperlukan. Penelitian dalam jaringan

sosial telah menekankan pentingnya jembatan dalam jaringan untuk memfasilitasi aliran

informasi dan pengaruh. Menurut Lin, lebih berguna secara teoritik adalah (1) mempostulasi

hasil-hasil apakah dan dalam kondisi apakah jaringan sosial yang lebih kompak atau tidak

menghasilkan hasil keuntungan yang lebih baik, dan (2) mempostulasi hipotesis deduktif untuk

pengujian secara empirik, misalnya, semakin kompak jaringan akan lebih menghasilkan

pembagian sumberdaya yang lebih baik, dan pada gilirannya akan mempertahankan

sumberdaya individu dan kelompok; atau sebuah jaringan yang terbuka lebih memberikan

akses terhadap posisi dan sumberdaya yang menguntungkan dan pada gilirannya akan

meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan sumberdaya tambahan.

Kontroversi ketiga, terkait dengan pernyataan Coleman, bahwa modal sosial

merupakan sumberdaya struktur sosial yang menghasilkan keuntungan bagi individu dalam

tindakan khusus. Dia berpendapat bahwa modal sosial bukanlah kesatuan yang tunggal,

melainkan terdiri dari berbagai kesatuan yang memiliki dua elemen dasar, yakni: (a) sebuah

aspek dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan-tindakan tertentu; (b) modal sosial

merupakan sumberdaya nyata atau potensial, yang diperoleh dari hubungan yang pada

gilirannya memfasilitasi tindakan aktor-aktor individual yang ada dalam struktur sosial. Bagi Lin

(2001: 28) modal sosial diidentifikasi ketika dan apabila modal sosial tersebut bekerja;

26

Page 27: Bahan kuliah 1

penjelasan sebab potensial modal sosial dapat digambarkan hanya oleh modal sosial itu

sendiri; apakah modal sosial merupakan sebuah investasi atau bukan akan sangat tergantung

pada keuntungan bagi individu tertentu dalam tindakan tertentu pula.

Modal sosial sebagai sebuah investasi dalam relasi sosial harus didefinisikan

sebagai sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur sosial yang diakses dan atau

dimobilisasi dalam tindakan-tindakan yang bertujuan (Lin, 2001: 29). Berdasarkan definisi

tersebut, Lin berpendapat terdapat tiga komponen yang penting untuk dianalisis, yakni (1)

sumberdaya; (2) melekat dalam sebuah struktur sosial, dan (3) tindakan-tindakan. Menurutnya,

teori modal sosial harus memenuhi tiga tugas utama. Pertama, teori tersebut harus

menerangkan bagaimana sumberdaya memanfaatkan nilai-nilai, dan bagaimana sumberdaya

yang berharga didistribusikan ke dalam masyarakat. Hal ini disebut sebagai keterikatan

sumberdaya secara struktural. Kedua, teori tersebut harus menunjukkan bagaimana aktor

individual melalui interaksi dan jaringan sosial, memiliki akses berbeda terhadap sumberdaya

yang melekat secara struktural tersebut. Hal ini yang disebut dengan struktur kesempatan.

Ketiga, teori tersebut harus mampu menjelaskan bagaimana akses terhadap sumberdaya

sosial dapat dimobilisasi untuk memperoleh keuntungan. Inilah yang disebut dengan proses

aktivasi.

Lin (2001) menggunakan konsep fundamental dalam teori modal sosialnya, yakni

sumberdaya, yang didefinisikan sebagai benda material atau benda simbolik. Dengan menyitir

pendapatnya dalam tulisan Lin (1982), dia mengemukakan tiga prinsip sebagai asumsi tentang

bagaimana makna-makna dan signifikansi diberikan kepada sumberdaya. Pertama, dalam

setiap kelompok manusia atau masyarakat manapun, nilai-nilai diferensial diberikan

berdasarkan konsensus atau pengaruh terhadap sumberdaya.

Kedua, semua aktor akan mengambil tindakan untuk mempromosikan kepentingan

pribadi mereka dengan cara mempertahankan dan mendapatkan sumberdaya yang berharga

apabila berbagai kesempatan tersedia. Aktor di sini dapat berupa individu maupun kelompok.

Ketiga, berkaitan dengan sumberdaya yang berharga, mempertahankan dan mendapatkan

sumberdaya tersebut merupakan dua motif utama untuk melakukan tindakan, dimana

mempertahankan sumberdaya yang bernilai jauh lebih penting daripada mendapatkannya.

Struktur sosial dalam hal ini didefinisikan terdiri dari (1) serangkaian unit-unit sosial

(kedudukan) yang memiliki perbedaan jumlah dari satu atau lebih jenis sumberdaya yang

berharga, dan yang (2) secara hierarki berhubungan relatif dengan otoritas (kontrol dan akses

terhadap sumberdaya), (3) membagi aturan tertentu dan prosedur dalam penggunaan

sumberdaya, dan (4) mendelegasikan kepada pemilik (agen-agen) yang bertindak atas dasar

aturan-aturan dan prosedur-prosedur tersebut (Lin, 2001: 33-34).

27

Page 28: Bahan kuliah 1

Elemen pertama, berhubungan dengan keterikatan sumberdaya terhadap

kedudukan sosial. Kepemilikan posisi mungkin berubah, tetapi sumberdaya tetap melekat pada

posisi tersebut. Oleh karenanya, sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur berbeda

dari sumberdaya yang dimiliki oleh aktor individu. Elemen kedua, menggambarkan hubungan

di antara posisi yang ada. Otoritas merupakan satu bentuk kekuasaan, didefinisikan sebagai

kontrol dan akses relatif terhadap sumberdaya yang berharga. Otoritas menunjukkan

pemaksaan, dengan sanksi legalistik yang eksplisit.

Elemen ketiga, menggambarkan aturan dan prosedur bersama yang memandu

bagaimana kedudukan sebaiknya bertindak dan berinteraksi relatif terhadap penggunaan dan

manipulasi sumberdaya yang berharga. Elemen keempat, kedudukan, otoritas, aturan, dan

agen, secara kolektif mendefinisikan struktur makro sebagai sebuah sistem koordinasi untuk

mempertahankan dan atau mengambil alih satu atau lebih jenis sumberdaya yang berharga

untuk kepentingan kolektivitas.

Dalam struktur yang hierarkis, kedudukan dihubungkan dengan rangkaian komando

otoritas, dimana semakin tinggi dan semakin kuat kedudukan, maka bukan hanya mendikte

perilaku pemangku kedudukan tersebut, tetapi juga mendikte pemangku kedudukan yang

lebih lemah melalui instruksi dan sosialisasi untuk menginterpretasikan aturan dan prosedur.

Selain itu, posisi yang lebih kuat mengatur mereka yang memangku posisi lebih lemah, serta

mengalokasikan sumberdaya melalui pendiktean aturan dan prosedur secara eksplisit (Lin,

2001: 35).

Dengan demikian, struktur formal yang sederhana didefinisikan sebagai struktur

hierarkis yang terdiri dari serangkaian kedudukan yang dikaitkan dengan hubungan otoritas

(pemaksaan yang legal) untuk mengontrol dan menggunakan sumberdaya yang berharga.

Kedudukan relatif terkait dengan akses terhadap sumberdaya dapat ditentukan berdasarkan

tempat vertikal mereka dalam hierarki otoritas. Sebuah posisi yang lebih tinggi dalam hierarki,

maka akan menerapkan otoritasnya terhadap posisi yang lebih rendah (Lin, 2001: 35).

Asumsi dalam struktur makro sumberdaya adalah bahwa ada kecenderungan umum

bagi struktur yang hierarki berbentuk piramida dalam kaitannya dengan distribusi kedudukan:

semakin tinggi tingkatan dalam rangkaian komando, semakin sedikit jumlah yang menduduki

posisi tersebut (Lin, 1982). Konsekuensi penting dari bentuk struktur hierarki piramida tersebut

adalah bahwa otoritas terkonsentrasi pada pemangku posisi dalam struktur yang

bersangkutan. Pada tingkat posisi paling tinggi, hanya sedikit pemangkunya yang bukan hanya

menguasai jumlah sumberdaya yang berharga secara absolut maupun relatif, tetapi juga lebih

banyak informasi komprehensif tentang lokasi sumberdaya dalam struktur yang bersangkutan.

Menurut Lin (2001: 36-37), setiap struktur sosial yang ada merefleksikan

kompleksitas yang melibatkan multi struktur hierarki untuk berbagai bentuk sumberdaya yang

28

Page 29: Bahan kuliah 1

berharga. Bagi kebanyakan kolektivitas, sumberdaya yang berharga tinggi terkait dengan

dimensi-dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Bagi seseorang yang menduduki kedudukan

sosial tinggi tertentu dapat dicirikan memiliki status tinggi dalam kelompok. Misalnya, aktor

individual yang memiliki posisi tinggi dalam penguasaan sumberdaya ekonomi dipandang

sebagai kelompok kelas atas, dan individu yang menduduki posisi ini termasuk aktor yang

makmur. Kedudukan individu pada tingkat atas dipandang lebih memiliki otoritas, dan aktor

yang mendudukinya memiliki kekuatan lebih.

Lin (2001:37) mengasumsikan bahwa apabila distribusi sumberdaya yang berharga

tidak merata membentuk basis struktur yang hierarkis, dan masing-masing sumberdaya

tersebut didefinisikan pada hierarki tertentu, maka hierarki tersebut memiliki kecenderungan ke

arah kesamaan dan bersifat dapat dipertukarkan. Dengan kata lain, pemangku satu posisi

yang relatif tinggi terkait dengan satu sumberdaya cenderung menguasai posisi yang relatif

tinggi terkait dengan sumberdaya yang lainnya. Misalnya, seseorang yang memiliki status

tinggi dalam struktur cenderung akan menguasai posisi tinggi dalam dimensi kelas dan

otoritas.

Jaringan sosial merepresentasikan struktur sosial yang kurang formal, dan dengan

demikian bersifat sedikit atau tidak formal dalam menggambarkan posisi dan aturan, serta

pengalokasian otoritas kepada partisipan. Dalam jaringan sosial, fleksibilitas menandai

pemangku, kedudukan, sumberdaya, dan aturan serta prosedur. Konsensus yang saling

menguntungkan melalui persuasi lebih diutamakan dibandingkan otoritas atau pemaksaan

mendikte partisipasi dan interaksi aktor (Lin, 2001: 38). Namun demikian, secara umum

sebuah jaringan sosial dibangun untuk tujuan multi kepentingan dalam perbedaan segmennya;

perbedaan kepentingan menghubungkan aktor dengan berbagai bagian jaringan sosial.

Sumberdaya yang melekat dalam diri aktor menjadi ego modal sosial.

Interaksi sebaiknya dianalisis dan dimengerti tidak hanya sifat-sifat hubungan di

antara aktor individual, tetapi juga yang lebih penting sifat-sifat sumberdaya yang terkait

dengan sifat-sifat interaksi tersebut (Lin, 2001: 38). Yang menjadi persoalan, sifat-sifat

sumberdaya apakah yang mungkin diharapkan melalui interaksi dan jaringan?

Lin (2001: 39) menjawab persoalan tersebut dengan menyitir postulasi dari Homans

(1950), terkait dengan prinsip resiprokal dan hubungan positif di antara tiga faktor: interaksi,

sentimen, dan aktivitas. Semakin banyak individu berinteraksi, semakin banyak pula mereka

berbagi sentimen, sehingga mereka akan lebih terikat dalam kolektivitas. Demikian juga,

semakin banyak individu-individu berbagi sentimen, semakin tinggi interaksi dan terlibat dalam

aktivitas.

Hal yang paling penting terkait dengan pengembangan hipotesis sentimen-interaksi

adalah hipotesis homophily. Sehubungan dengan hal itu, Lin (2001: 39) menghipotesiskan

29

Page 30: Bahan kuliah 1

bahwa interaksi sosial cenderung mengambil tempat di antara individu-individu dengan

karakteristik sosial ekonomi dan gaya hidup yang sama. Dalam banyak penelitian

menunjukkan bahwa interaksi cenderung terjadi di antara aktor-aktor individual yang

menduduki posisi sosial yang sama, dan atau sedikit berbeda.

Modal sosial berakar dalam jaringan sosial dan relasi sosial, serta dipandang

sebagai sumberdaya yang melekat dalam sebuah struktur sosial yang diakses dan atau

dimobilisasi untuk tindakan-tindakan yang bertujuan (Lin, 2001: 41). Oleh karena itulah, cara

pandang terhadap modal sosial berisi tiga komponen yang melintasi struktur dan tindakan:

struktur (lekatan), kesempatan (aksesabilitas melalui jaringan sosial), dan tindakan

(penggunaan).

Pada dasarnya individual, seperti halnya kelompok dan organisasi, memperoleh dan

mempertahankan sumberdaya yang berharga untuk meningkatkan kehidupan mereka. Mereka

dapat memobilisasi dan menggunakan sumberdaya tersebut dalam sebuah tindakan yang

bertujuan untuk mendapatkan sumberdaya tambahan (hal. 41). Oleh karenanya, hal yang

sangat penting adalah kepemilikan atau akses terhadap sumberdaya melindungi dan sekaligus

mempromosikan kedudukan individu dalam struktur sosial.

Sumberdaya personal berada dalam kepemilikan aktor-aktor individual, dimana

mereka sebagai pemilik, dapat menggunakan, menstranfer, dan mengatur sumberdaya

tersebut tanpa memerlukan otorisasi tertentu atau mempertanggung jawabkannya kepada

aktor lain maupun kepada kedudukan sosial mereka. Lin (2001: 42) mengemukakan beberapa

cara untuk mengakuisisi sumberdaya personal. Pertama, melalui jalan warisan keluarga.

Sumberdaya ini ditransfer oleh orang tua, keluarga atau aktor-aktor lain. Kedua, investasi

sumberdaya sendiri atau berbagai usaha yang dilakukan. Pendidikan, misalnya, dipandang

sebagai perolehan sumberdaya melalui investasi orang tua atau sumberdaya sendiri, dan

usaha-usaha personal. Ketiga, melalui pertukaran. Penguasaan sumberdaya personal

mungkin melibatkan pembayaran langsung (uang), atau pertukaran sumberdaya (barter) melalui transfer dari individu satu ke individu lainnya.

Lin (2001: 43) mendefinisikan sumberdaya sosial sebagai sumberdaya yang dapat

diakses melalui koneksi-koneksi sosial. Modal sosial terdiri dari sumberdaya (seperti

kemakmuran, kekuasaan, dan reputasi, serta jaringan sosial) aktor-aktor individual lain yang

menjadi tujuan bagi aktor individual untuk memperoleh akses melalui ikatan sosial langsung

maupun tidak langsung. Sumberdaya-sumberdaya tersebut melekat dalam ikatan-ikatan

jaringan seseorang. Seperti halnya sumberdaya personal, sumberdaya sosial dapat saja

meliputi benda-benda material seperti lahan, rumah, mobil, dan uang, serta barang-barang

simbolik seperti pendidikan, keanggotaan dalam klub, gelar kehormatan, gelar organisasi,

nama keluarga, reputasi atau kepopuleran.

30

Page 31: Bahan kuliah 1

Dua gambaran penting dari modal sosial yang memerlukan klarifikasi lanjut: (1)

sumberdaya dapat diakses melalui ikatan langsung maupun tidak langsung; dan (2)

sumberdaya tersebut dapat saja berada dalam kepemilikan yang berubah (sumberdaya

personal) atau dalam kedudukan sosial mereka (sumberdaya posisional). Modal sosial meliputi

sumberdaya yang diakses melalui ikatan tidak langsung. Sumberdaya yang diperoleh melalui

ikatan langsung merepresentasikan porsi ego modal yang relatif sedikit. Untuk memperoleh

akses terhadap sumberdaya tertentu, ego mungkin dimiliki seseorang yang tidak memiliki

sumberdaya tersebut, tetapi dia tahu orang lain memilikinya. Dalam kasus ini, kontak jaringan

sosial pertama kali menjadi sumberdaya ego. Oleh karenanya, modal sosial tidak hanya

datang melalui koneksi langsung atau hubungan yang sederhana. Baik koneksi langsung

maupun tidak langsung mampu menyediakan akses terhadap sumberdaya.

Baik aktor kolektif maupun individual melakukan tindakan memiliki dua motif utama,

yakni melindungi sumberdaya yang berharga dan memperoleh tambahan sumberdaya. Oleh

karenanya, tindakan yang dilakukan bersifat rasional dan dimotivasi untuk mempertahankan

perolehan sumberdaya tersebut agar mampu bertahan (Lin, 2001: 45).

Diasumsikan bahwa motif untuk mempertahankan sumberdaya yang berharga

menghasilkan tindakan ekspresif (expressive action). Ketika seseorang ingin mempertahankan

sumberdaya, dia membutuhkan pengetahuan oleh orang lain atau diketahui orang lain terkait

dengan legitimasi pengakuan hak-hak kekayaan terhadap sumberdaya atau pembagian

sentimen yang bersangkutan. Dengan kata lain, orang lain mengakui bahwa seseorang

memiliki hak atas sumberdaya yang dipertahankan atau memiliki legitimasi atas sumberdaya

yang dipertahankan tersebut. Tindakan tentunya dapat dipandang sebagai instrumen ego

untuk memiliki sebuah tujuan dalam bertindak. Selanjutnya, Lin (2001:46) berasumsi bahwa

motif untuk mencari dan memperoleh tambahan sumberdaya yang berharga akan

menghasilkan tindakan instrumental (instrumental action).

Motivasi tindakan menghasilkan dua bentuk perilaku; apakah aktor-aktor dapat

terlibat dalam aktivitas oleh mereka sendiri sehingga dapat menghasilkan perlindungan dan

perolehan sumberdaya lebih baik, ataukah mereka terlibat satu sama lain untuk menggunakan

sumberdaya orang lain. Tindakan-tindakan bertujuan dengan demikian harus dimengerti dalam

kaitannya dengan interaksi yang memungkinkan aktor-aktor untuk mengakses dan

menggunakan sumberdaya orang lain untuk tujuan-tujuan mereka (Lin, 2001: 46)

Lin (2001: 56) memulai teori modal sosial dengan berlandaskan pada tiga asumsi.

Pada tingkatan struktur makro, teori tersebut berasumsi Pertama, teori modal sosial dimulai

dengan bayangan tentang struktur sosial yang terdiri dari serangkaian posisi atau kedudukan

yang berurut mengikuti sumberdaya yang berharga secara normatif, seperti kelas, otoritas, dan

31

Page 32: Bahan kuliah 1

status. Selanjutnya, diasumsikan bahwa struktur sosial tersebut memiliki bentuk piramida

dalam kaitannya dengan akses dan control terhadap sumberdaya.

Kedua, teori modal sosial mengasumsikan bahwa sementara sumberdaya yang

berharga membentuk basis struktur hierarkhis dan masing-masing sumberdaya tersebut

mengartikan sebuah hierarki tertentu, maka hierarki tersebut cenderung ke arah kesamaan dan

dapat ditransfer. Ketiga, teori modal sosial mengasumsikan bahwa struktur hierarkhi cenderung

untuk bersifat piramidal, dimana tingkatan paling atas memiliki sedikit pemangku dibandingkan

dengan tingkatan lebih bawah (Lin, 2001: 57).

Bagi struktur meso dan mikro, teori modal sosial memiliki dua asumsi berkaitan

dengan interaksi dan tindakan-tindakan. Pertama, teori tersebut mengasumsikan bahwa

interaksi sosial cenderung mengambil tempat di antara individu-individu pada tingkatan hierarki

yang sama atau berdampingan – prinsip interaksi homophilous. Kedua, teori modal sosial

harus mempertimbangkan konsistensi atau tekanan antara tindakan dan interaksi (Lin, 2001:

59).

Pada akhir pembahasan, Lin (2001: 75) merumuskan 12 poin penting terkait dengan

model teori modal sosial sebagai serangkaian postulat dan proposition:

1. Sumberdaya yang berharga melekat dalam struktur sosial dalam mana kedudukan,

otoritas, aturan, dan pemangku kedudukan (agen) biasanya membentuk hirarki piramida

dalam kaitannya dengan distribusi sumberdaya yang berharga, jumlah kedudukan,

tingkatan otoritas, dan jumlah pemangku. Semakin tinggi tingkatan dalam hierarki, semakin

besar konsentrasi sumberdaya yang berharga; semakin sedikit jumlah posisi atau

kedudukan, semakin besar komando otoritas, dan semakin kecil jumlah agen.

2. Interaksi biasanya terjadi di antara aktor-aktor dengan karakteristik sumberdaya dan gaya

hidup yang hampir sama – mengikuti prinsip homophily. Semakin besar kesamaan

karakteristik sumberdaya, semakin kurang upaya yang dibutuhkan dalam interaksi.

3. Dalam jaringan sosial, aktor yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung

membawa berbagai tipe sumberdaya. Beberapa sumberdaya berada dalam kepemilikan

personal, tetapi kebanyakan sumberdaya melekat dalam diri orang lain dalam mana

masing-masing aktor melakukan kontak baik langsung maupun tidak langsung, atau

sumberdaya melekat dalam posisi struktural masing-masing aktor atau berada ketika

melakukan kontak dengan aktor lain.

4. Sumberdaya yang melekat secara struktural adalah modal sosial bagi aktor dalam jaringan

yang ada.

5. Aktor-aktor dimotivasi untuk mempertahankan atau memperoleh sumberdaya mereka

melalui tindakan sosial, disebut sebagai tindakan yang bertujuan. Tindakan untuk

mempertahankan sumberdaya disebut tindakan ekspresif, dan tindakan untuk memperoleh

32

Page 33: Bahan kuliah 1

sumberdaya dinamakan tindakan instrumental. Mempertahankan sumberdaya merupakan

motivasi utama untuk sebuah tindakan; dengan demikian, tindakan ekspresif merupakan

bentuk utama dari tindakan.

6. The social-capital proposition: Keberhasilan tindakan secara positif berkaitan dengan

modal sosial. Akses dan kontrol terhadap modal sosial lebih baik mengarah pada tindakan

yang lebih berhasil – keuntungan atau pengembalian modal sosial (hal. 60).

7. The strength-of-position proposition: Posisi yang lebih baik dari awal, semakin banyak

aktor akan mengakses dan menggunakan modal sosial yang lebih baik (hal. 64).

8. The strength-of Strong-Tie Proposition: semakin kuat ikatan, cenderung semakin banyak

modal sosial yang diakses dan akan berdampak positif terhadap keberhasilan tindakan

ekspresif (hal. 65).

9. The strength-of-Weak-Tie Proposition: semakin lemah ikatan, cenderung semakin tinggi

ego, maka akan mengakses modal sosial lebih baik untuk tindakan instrumental (hal. 67).

10. The Strenght-of-Location Proposition: Semakin dekat individu-individu dengan koneksi

dalam sebuah jaringan, semakin baik modal sosial yang dapat mereka akses untuk

tindakan instrumental (hal. 69).

11. The Location-by-Position Proposition: semakin kuat sebuah lokasi (berdekatan dengan

sebuah jaringan), bagi tindakan instrumental, adalah sangat tergantung kepada

sumberdaya berbeda yang melintasi jaringan (hal. 71).

12. The Structural Contingency Proposition: Efek jaringan (ikatan dan lokasi) dihambat oleh

struktur hierarki bagi aktor-aktor yang berlokasi dekat atau berada pada tingkatan atas

dan tingkatan bawah dari sebuah hierarki (hal. 74).

Postulat dan proposisi tersebut membuat teori modal sosial lebih eksplisit bahwa

teori modal sosial yang ditawarkan memiliki empat karakteristik: (1) Konsep-konsepnya

berhubungan secara alami dan tidak direduksi untuk tingkatan psikologis dan individualistik. (2)

Teori modal sosial secara intrinsik terjalin dalam sebuah struktur yang hierarkis. (3) teori modal

sosial melibatkan tindakan-tindakan dalam diri individu, dan karenanya membutuhkan analisis

tingkat mikro. (4) Pengembangan teori tersebut didasarkan pada integrasi resiprokal antara

teorisasi dan penelitian empirik. Dengan demikian terhindar dari kesulitan deduksi abstrak ke

abstrak yang tidak berujung berdasarkan asumsi teoritis atau empirisasi tanpa pemikiran.

Karakteristik inilah yang menempatkan teori modal sosial yang ditawarkan ditempatkan pada

posisi yang unik untuk mengatasi kesenjangan makro-mikro dan pengembangan teori

sosiologi.

Lin (2001: 77) mengilustrasikan model teori modal sosial seperti pada gambar

berikut.

33

Page 34: Bahan kuliah 1

Structural Position(pyramidal hierarchy)

Network Location Social Capital Returns(tie strength and (upper reachability; heterogeneity, Wealthbridging) and extensity of embedded power

resources) reputation)

Purpose of Action(instrumental or expressive)

Gambar 1: Model of social capital theory (Lin, 2001: 76)

Selanjutnya, Lin (2001: 81) memformulasikan tiga proposisi: (1) sumberdaya sosial

(misalnya sumberdaya yang diakses dalam jaringan sosial) menyebabkan pengaruh terhadap

hasil tindakan instrumental (misalnya status yang dicapai); (2) sumberdaya sosial, pada

gilirannya, dipengaruhi oleh kedudukan awal ego (seperti yang direpresentasikan oleh

sumberdaya orang tua atau sumberdaya sebelumnya); dan (3) sumberdaya sosial juga

dipengaruhi oleh penggunaan ikatan yang lebih lemah dibandingkan dengan ikatan yang lebih

kuat.

Lin (2001: 81-82) menyatakan bahwa konvergensi sumberdaya sosial dan teori

modal sosial melengkapi dan memperkuat pengembangan teori sosial yang memfokuskan

pada pemanfaatan instrumental akses dan mobilisasi sumberdaya yang melekat dalam

jaringan sosial. Untuk membuktikan asumsi tersebut, Lin mengajukan proposisi terkait dengan

penggabungan pendapat antara modal sosial dan sumberdaya sosial, dan mengujinya melalui

pelacakan penelitian yang sudah dilakukan selama ini. Proposisi tersebut adalah (1) semakin

baik akses sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial, mengarah pada semakin baik

34

Page 35: Bahan kuliah 1

pencapaian status; (2) semakin baik kedududukan struktural awal, semakin baik pencapaian

status; (3) semakin lemah ikatan, semakin baik pencapaian status (dalam tindakan

instrumental mencari pekerjaan, misalnya).

Penelitian terkait dengan hubungan antara sumberdaya sosial dan pencapaian

status diuji melalui dua proses. Proses pertama, memfokuskan pada akses terhadap modal

sosial – sumberdaya diakses dalam ego jaringan sosial umum. Dalam proses ini, modal

manusia (pendidikan, pengalaman), kedudukan awal, dan ego ikatan sosial dihipotesiskan

untuk menentukan tingkatan sumberdaya dimana ego dapat mengakses melalui sumberdaya

jaringan. Selanjutnya, sumberdaya jaringan, pendidikan, dan kedudukan awal diharapkan

mempengaruhi status yang dicapai, seperti status pekerjaan, kedudukan otoritas, atau

pendapatan. Lin menyebut model tersebut sebagai the accessed social capital model.Proses kedua, memfokuskan pada mobilisasi modal sosial dalam proses

pencapaian status – penggunaan kontak-kontak sosial dan sumberdaya yang disediakan

melalui kontak dalam proses pencaharian pekerjaan. Dihipotesiskan bahwa status kontak

bersama-sama dengan pendidikan dan kedudukan awal, akan menghasilkan efek yang

signifikan terhadap status pekerjaan yang diperoleh. Status kontak, pada gilirannya,

dipengaruhi oleh pendidikan, sumberdaya jaringan, dan ikatan kuat antara ego dan kontak

tersebut. Lin menyebut model ini sebagai the mobilized social capital model (hal.82).

Lin (2001) mengkaji isu-isu penting dalam penelitian modal sosial, yakni

ketidakseimbangan dalam modal sosial atau tingkatan dalam mana modal sosial

didistribusikan tidak merata di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat atau

populasi tertentu.

Dalam kaitan tersebut, Lin (2001: 101-102) mengajukan mekanisme

ketidakseimbangan sosial dari perpektif teori-teori capital:

1. Defisit modal disebabkan oleh (a) perbedaan investasi atau (b) perbedaan kesempatan.

2. Defisit pengembalian (keuntungan) disebabkan oleh (a) perbedaan mobilisasi modal yang

sesuai sehingga menghasilkan defisiensi kognitif atau keengganan untuk memobilisasi; (b)

perbedaan upaya oleh agen mediator; atau (c) perbedaan respon oleh organisasi dan

kelembagaan terhadap modal yang dimobilisasi.

3. Defisit pengembalian (keuntungan) mungkin atau tidak mungkin tidak tergantung pada

defisit modal. Tipe-tipe ketidakseimbangan tersebut mungkin disebabkan oleh defisit

modal: kelompok-kelompok sosial dapat saja memiliki kualitas dan kuantitas modal yang

sama, meskipun dapat saja menghasilkan pengembalian atau keuntungan yang berbeda.

Dalam kaitan ini, Lin (2001) memfokuskan pada masalah bagaimana tindakan

rasional mempengaruhi struktur sosial. Untuk itulah, dia memberikan tiga argumen terkait

dengan penggunaan teori pilihan rasional tersebut. Pertama, tindakan rasional dilihat memiliki

35

Page 36: Bahan kuliah 1

multi dimensi motif terkait dengan sumberdaya yang berharga. Paling tidak, dua pertimbangan

fundamental: meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan atau perolehan.

Kedua, kalkulasi-kalkulasi dan masalah suksesi mempengaruhi aturan-aturan transfer

sumberdaya dan dominasi kelompok primordial. Ketiga, secara umum, penggunaan modal

sosial (sumberdaya yang melekat dalam jaringan) secara substansial melebihi modal personal

atau modal manusia.

Teorisasi sosiologi menurut Lin (2001) dapat dilacak melalui mekanisme apakah

sebuah teori mengkhususnya diri pada sebab dan konsekuensi konsep relatif terhadap

tingkatan masyarakat: struktur dan aktor. Apabila kedua tingkatan ini menghasilkan dikotomi,

maka tipologi teori dapat berupa empat jenis teori. Teori makro mengkhususkan pada

penyebab dan konsep dampak pada tingkatan struktural, sementara teori mikro menempatkan

diri pada hubungan antara keduanya pada tingkatan aktor. Teori struktural menghubungkan

konsep-konsep kausalitas dengan konsep-konsep tingkat kemampuan aktor, dan teori aksi

menghipotesiskan dampak struktural dengan konsep-konsep pada tingkatan aktor (hal. 128).

Tiplogi teorisasi sosiologi berdasarkan spesifikasi makro-mikro yang dirumuskan Lin

(2001: 129) mengilustrasikan bahwa (a) konsep penyebab pada tingkat struktur, dan dampak

pada tingkatan struktur, maka teori makro yang digunakan, (b) Konsep penyebab pada

tingkatan aktor, tetapi konsep dampak pada tingkat struktur, maka teori aksi dapat diterapkan,

(c) apabila konsep penyebab berada pada tingkatan struktur, tetapi konsep dampak berada

pada tingkatan aktor, maka teori struktur yang digunakan, (d) apabila konsep penyebab berada

pada tingkatan aktor, dan konsep dampak juga berada pada tingkatan aktor, maka teori mikro

lah yang sesuai digunakan.

Diskusi tentang minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan atau perolehan

bagi Lin (2001) didasarkan pada beberapa proposisi, yakni: Proposisi pertama, mempertahankan dan memelihara sumberdaya merupakan motif utama untuk bertindak. Oleh

karenanya, prinsip utama tindakan adalah kalkulasi tentang minimalisasi kehilangan atau

kerugian. Proposisi kedua, perolehan dan perluasan sumberdaya adalah motif utama

berikutnya untuk bertindak. Dengan demikian, prinsip kedua dari tindakan adalah kalkulasi

maksimalisasi perolehan sumberdaya (hal. 131).

Argumen yang melatarbelakangi kedua proposisi tersebut adalah: (a) Minimalisasi

kehilangan dan maksimalisasi keuntungan adalah dua fungsi yang berbeda daripada fungsi-

fungsi yang saling berlawanan satu dengan lainnya. Kedua motif tindakan tersebut mungkin

saja melibatkan pilihan yang berbeda (apakah jenis dan berapa banyak sumberdaya), dan

dengan demikian menghasilkan perbedaan preferensi, (b) kedua motif tindakan tersebut

membentuk serangkaian tindakan, dan bukan dikotomi. Rangkaian tindakan dapat saja

36

Page 37: Bahan kuliah 1

termanifestasikan dalam dua motif: meminimalkan kehilangan dan memaksimalkan

keuntungan (ibid).

Proposisi ketiga, interaksi, yang mengikuti prinsip minimalisasi tindakan, berusaha

mencari penghargaan atas pengakuan seseorang terhadap sumberdaya. Penghargaan dalam

interaksi dapat dimengerti ketika tindakan dimotivasi oleh prinsip lebih meminimalkan kerugian

dibandingkan dengan memaksimalkan keuntungan (hal. 132).

Proposisi keempat, akumulasi modal sosial akan lebih cepat dibandingkan dengan

modal manusia. Artinya, akumulasi modal manusia cenderung untuk bertambah secara alami,

sementara akumulasi modal sosial cenderung menjadi unsur pelengkap. Proposisi kelima,

ketika interaksi di luar kelompok primordial seseorang ditingkatkan untuk memperoleh

sumberdaya, maka interaksi tersebut lebih banyak digunakan untuk mengakses modal sosial

dibandingkan dengan perolehan modal manusia (hal. 134).

Menurut Lin (2001: 137), sekali saja relasi sosial dan pembagian sumberdaya

dibangun dan dipertahankan, maka kolektivitas dengan sendirinya terbentuk. Sebuah

kolektivitas merupakan agregrasi aktor dan kelompok primordial yang diikat bersama untuk

berbagi modal sosial. Kolektivitas juga dapat memutuskan untuk memproduksi sumberdaya

lanjutan yang menjadi milik kolektif dibandingkan dengan aktor-aktor tertentu – modal publik.

Keberlangsungan kolektivitas akan sangat tergantung pada serangkaian aturan formal dan

informal yang mengatur aktor-aktor untuk berhadapan dengan aktor lain, dan terhadap akses

serta penggunaan sumberdaya bersama.

Menurut Lin, perbedaan tanggung jawab diperlukan sebab keberlangsungan

eksistensi kolektivitas sangat tergantung pada pemeliharaan dan perolehan sumberdaya

bersama. Tanggung jawab tersebut meliputi dua jenis: (1) penghargaan dan loyalitas

(sentimen) terhadap kolektivitas dan aturan-aturannya. Faktor loyalitas meminimalkan kerugian

modal publik, dan kinerja yang disyaratkan akan memaksimalkan perolehan sumberdaya

tersebut; (2) jumlah dan tipe kinerja dalam produksi sumberdaya bersama, terutama modal

publik. Selain itu, perbedaan imbalan (rewards) diperlukan sebab aktor-aktor akan dievaluasi

atas pemenuhan kinerja tanggung jawab mereka terhadap kolektivitas. Dengan demikian, lebih

banyak imbalan akan diberikan kepada mereka yang menunjukkan tingkatan tinggi atas

loyalitas dan atau tingkatan kinerja.

Menurut Lin (2001: 143) pertukaran (exchange), konsep sentral dalam analisis

sosiologis, dapat didefinisikan sebagai rangkaian interaksi antara dua atau lebih aktor dalam

mana transaksi sumberdaya berlangsung. Definisi ini memiliki dua komponen utama:

pertukaran membutuhkan hubungan antar aktor, dan mengarah pada transaksi sumberdaya.

Lin membedakan beberapa karakteristik dari dua rasionalitas, yakni pertukaran

ekonomi dan pertukaran sosial. Dalam rasionalitas transaksional, berimplikasi pada analisis

37

Page 38: Bahan kuliah 1

pertukaran ekonomi, bertujuan untuk memperoleh keuntungan modal ekonomi (sumberdaya

melalui transaksi) dan kepentingan terletak pada aspek transaksional pertukaran –

sumberdaya ditransaksikan, dan kadangkala dimediasi oleh harga dan uang. Penggunaan

pertukaran digunakan untuk mengoptimalkan transaksi keuntungan, dan pilihan rasional

menjadi basis dalam analisis hubungan alternatif yang menghasilkan keuntungan dan biaya

transaksional (hal. 154).

Rasionalitas transaksional dapat dilihat sebagai teori neo-Darwinian yang diterapkan

untuk pertukaran, yakni insting untuk menemukan mitra yang mengoptimalkan perolehan

sumberdaya melalui transaksi dengan ego. Kemitraan bersifat insidental terhadap persyaratan

transaksional, dan mungkin menjadi ikatan melalui aturan-aturan kontrak sehingga hubungan

yang ada akan mengurangi biaya transaksi dan menjustifikasi keberlangsungan transaksi.

Dengan demikian, rasionalitas transaksional mengikuti hukum alam dan rasionalitas pilihan

alami. Aktor-aktor yang memanfaatkan lebih banyak transaksi berulang tidak hanya

memperkaya mereka sendiri, tetapi secara kolektif membangun sebuah kolektivitas kaya. Inilah

argumen bagi tangan-tangan yang tidak terlihat (invisible hands) dalam rasionalitas

transaksional (hal. 155).

Rasionalitas relational, di lain pihak, memfokuskan pada aspek relasi pertukaran,

yakni tingkatan dalam mana hubungan dipertahankan dan ditingkatkan, biasanya dimediasi

oleh penghargaan atau ekspektasi yang oleh aktor akan disebarkan. Rasionalitas relational

didasarkan pada prinsip melanjutkan eksistensi kelompok yang paling sesuai, yakni kelompok

yang dicirikan oleh hubungan yang terus menerus di antara para anggotanya (hal. 156).

Rasionalitas transaksional membangun modal kolektif, meskipun sangat tergantung

pada media umum, yakni uang. Rasionalitas relasional juga membangun modal kolektif dari

modal individual; semakin baik reputasi yang dimiliki anggota, semakin baik keberadaan

kelompok. Hal ini sangat tergantung kepada medium yang tidak terlihat; yakni apresiasi (social credit) atau sentimen yang menyebar kepada aktor di dalam sebuah kelompok sosial.

Rasionalitas mampu mempertahankan basis individual ketika pasangan dalam pertukaran

mampu saling mengisi sepanjang mereka memenuhi persyaratan kegunaan transaksional.

Rasionalitas relasional tergantung pada ketahanan kelompok dan anggotanya. Semakin

banyak sumberdaya yang melekat dalam jaringan sosial, dan semakin kuat ikatan, semakin

besar keuntungan kolektif bagi kelompok, dan keuntungan relatif untuk masing-masing aktor

dalam kelompok (hal. 156).

Perlu dicatat, bahwa baik rasionalitas transaksional maupun rasionalitas relasional

pada dasarnya bersifat sosial. Tanpa legitimasi dan dukungan dari sistem sosial dan politik,

dan seluruh anggota, maka sistem ekonomi yang didasarkan pada simbol-simbolnya (uang)

tidak akan hidup dan tidak berkembang. Untuk mengatakan bahwa rasionalitas relational

38

Page 39: Bahan kuliah 1

dimasukkan di bawah rasionalitas transaksional secara insting sangat menarik, tetapi secara

humanisme sangat tidak mungkin.

Selanjutnya, Lin (2001) mengingatkan beberapa isu untuk dianalisis lebih lanjut.

Pertama, mengapa istilah reputation lebih disukai dibandingkan istilah lainnya seperti social approval, social attraction, dan khususnya mutual recognition atau social credit? Kedua,

mengapa terdapat tendensi dalam satu komunitas atau masyarakat untuk memfokuskan pada

satu jenis rasionalitas (transaksional ataukah relational) dibandingkan dengan lainnya, dan

apakah hal tersebut merupakan indikasi dari tendensi historis untuk memiliki hanya satu

rasionalitas (transaksional) yang mendominasi lainnya (relational)? Ketiga, apakah yang

menyebabkan kegagalan pertukaran atau hubungan solidaritas kolektif? Keempat, apakah

modal sosial dan modal ekonomi merupakan dua polarisasi atas satu dimensi yang mendorong

untuk memilih? (hal. 157).

Lin (2001) memperluas konseptualisasi modal sosial melalui pengujian akses dan

penggunaan modal sosial dalam konteks struktur sosial yang lebih kompleks, misalnya dalam

sebuah organisasi. Asumsi dia bahwa kekuatan kedudukan dapat berpengaruh terhadap

modal sosial dibandingkan dengan kekuatan letak jaringan (hal. 165). Secara tidak langsung,

pernyataan tersebut memperlihatkan signifikansi hambatan struktural dalam struktur sosial.

Sebuah hierarkhi, menurut Lin (2001), dapat digambarkan melalui empat parameter,

yakni jumlah tingkatan dalam hierarki (level differential), distribusi jumlah absolut dan relatif

pemangku kedudukan untuk keseluruhan tingkatan (the size differential), distribusi absolut dan

relatif jumlah sumberdaya yang bernilai untuk seluruh tingkatan dan di antara pemangku ( the resource differential), dan jumlah keseluruhan pemangku dan sumberdaya yang ada dalam

struktur (hal. 168).Level differential didefinisikan sebagai serangkaian kedudukan sosial yang memiliki

kesamaan komando atas sumberdaya dan akses terhadap modal, termasuk modal sosial,

untuk setiap pemangku. Menurut Lin, jumlah tingkatan dalam sebuah struktur memiliki

konsekuensi berlawanan dengan hambatan struktural dan tindakan individual. Di satu pihak,

dalam sistem dua tingkatan, hambatan struktural lebih kuat dan memberikan sedikit

kesempatan kepada tindakan-tindakan individual. Sementara di pihak lain, differensiasi

tingkatan yang banyak dalam sebuah struktur mengurangi hambatan struktural dan

memberikan kesempatan lebih banyak kepada tindakan-tindakan individual yang memperoleh

sumberdaya yang berharga (hal. 170). Nampaknya dampak tersebut konsisten dengan hasil

beberapa kajian empirik, bahwa mobilitas sosial berhubungan erat dengan jumlah strata dalam

struktur usaha atau pasar kerja.

Sementara itu, variasi dalam jumlah relatif pemangku di semua tingkatan

diperkirakan akan mempengaruhi kedudukan dan dampak lokasi. Untuk dampak posisional,

39

Page 40: Bahan kuliah 1

variasi dalam jumlah pemangku pada keseluruhan tingkatan memiliki dampak positif. Apabila

diferensial ukuran meningkat, interaksi intra tingkatan meningkat di antara berbagai pemangku

dalam tingkatan yang lebih besar, dan mungkin tingkatan yang lebih rendah. Interaksi intra

tingkatan tersebut memperkuat dampak posisional (hal. 171).

Menurut Lin (2001), pertimbangan parameter struktural telah membantu untuk

menspesifikasi kondisi-kondisi, dimana efek posisional dan efek ikatan cenderung bervariasi.

Dalam istilah tipe ideal, efek posisional sebaiknya maksimal ketika struktur berisi: (1) jumlah

minimal tingkatan, (2) differensial pemangku yang besar di semua tingkatan, dan (3)

differensial sumberdaya yang besar di semua tingkatan. Efek letak jaringan sebaiknya

maksimal ketika struktur memiliki: (1) jumlah tingkatan yang besar, (2) differensial pemangku

kedudukan yang kecil, dan (3) differensial sumberdaya yang kecil di semua tingkatan (hal.

174).

Efek posisional dapat dilihat sebagai indikator efek struktural, sedangkan efek lokasi

(khususnya penggunaan ikatan yang lebih lemah) memiliki konsekuensi terhadap tindakan

individual. Penggunaan ikatan yang lebih lemah cenderung menghasilkan interaksi yang

melibatkan partisipan dengan perbedaan karakteristik sosial ekonomi. Interaksi heterophilous

tidak secara total tanpa keuntungan bagi partisipan yang berasal dari tingkatan status yang

lebih tinggi, karena mereka mungkin masih mengharapkan atau meminta pelayanan partisipan

yang berasal dari tingkatan yang lebih rendah (hal. 174).

Teori Lin ini menggambarkan kondisi struktural yang terkait dengan hambatan-

hambatan struktural dan tindakan-tindakan individual mempengaruhi mobilitas sosial. Lin

(2001: 175) berargumen bahwa efek posisional, misalnya, lebih penting dibandingkan dengan

efek ikatan untuk keseluruhan struktur. Lin mengelaborasi teori Blau (1985); Blau dan

Schwartz, (1984) tentang teori heterogeneity dan inequality, yang menyatakan bahwa distribusi

sebuah dimensi (atribut) dan jumlah variabel yang membedakan kelompok-kelompok dalam

satu populasi mempengaruhi tingkatan asosiasi di antara kelompok-kelompok. Ketika

distribusi sebuah dimensi bervariasi di antara kelompok nominal dan kelompok bertingkat,

heterogeneity (untuk kelompok nominal) dan inequality (untuk kelompok bertingkat)

menghasilkan asosiasi antar kelompok, dan dapat diuji berdasarkan multi dimensi.

Berdasarkan teori heterogeneity dan inequality dari Blau ini, Lin (2001)

mengidentifikasi terdapat dua perbedaan yang penting. Pertama, teori struktur sosial dan

tindakan memfokuskan pada dua jenis tindakan, yakni tindakan-tindakan instrumental untuk

memperoleh sumberdaya yang berharga, dan tindakan-tindakan ekspresif untuk

mempertahankan sumberdaya tersebut. Perbedaan antara tindakan-tindakaninstrumental dan

ekspresif memainkan peranan yang sangat penting dalam teori struktur, dan memiliki

konsekuensi penting bagi pola-pola interaksi. Harapannya adalah bahwa tindakan dan

40

Page 41: Bahan kuliah 1

interaksi vertikal (heterophilous) sangat efektif untuk tujuan-tujuan instrumental, sementara

tindakan-tindakan dan interaksi horizontal (homophilous) sangat efektif untuk tujuan-tujuan

ekspresif (hal. 175).

Kedua, elemen-elemen utama teori Blau dan teori struktur dan tindakan dari Lin

diidentifikasi berbeda. Bagi Blau, elemen-elemen tersebut didasarkan pada atribut-atribut yang

dipertimbangkan orang ketika melakukan hubungan-hubungan sosial. Sementara teori Lin,

elemen-elemen tersebut di dasarkan pada sumberdaya (hal. 176)

Ketiga, Blau memfokuskan pada variasi dalam distribusi jumlah individu-individu

sebagai sumber utama variasi struktural. Sementara Lin mengidentifikasi differensial tingkatan

dan ukuran, bersama-sama dengan differensial sumberdaya sebagai parameter yang terpisah

(hal. 177).

Menurut Lin (2001), efek tindakan individual dapat dieksplorasi melalui dua

perspektif. Lin menganalisis hasil karya dua teoritisi, yakni Coleman dan Burt terkait dengan

tindakan individu dan hambatan-hambatan strukturalnya. Perspektif pertama, memfokuskan

pada formasi struktural atau kesempatan yang diakibatkan berbagai tindakan. Coleman (1986,

1990), misalnya, berargumen bahwa aktor-aktor sosial yang mempromosikan kepentingan

mereka terlibat dalam hubungan sosial yang tergantung pada tujuan-tujuan khusus tindakan,

dapat berpengaruh terhadap sistem pasar, sistem otoritas, atau sistem norma. Dia

menggambarkan proses dalam mana masing-masing sistem berkembang, dengan

menekankan pentingnya norma dan sanksi terhadap aktor-aktor yang melakukan interaksi

dengan kepentingannya yang berbeda. Tindakan-tindakan rasional dan kognitif diasumsikan

mendorong pembentukan relasi-relasi sosial dan struktur yang mengikutinya.

Perspektif kedua, tindakan-tindakan individual sangat memungkinkan dan memiliki

arti di bawah bayang-bayang hambatan struktural. Karya Burt (1992), misalnya, menggali

tindakan-tindakan struktural atau tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu yang

memiliki kedudukan sama atau berdekatan untuk melindungi atau memperomosikan

kepentingan dan sumberdaya bersama. Dia berpendapat bahwa individu-individu yang berasal

dari posisi berbeda dapat bekerjasama untuk mengurangi hambatan-hambatan struktural, dan

dalam proses pelaksanaannya dapat memodifikasi hubungan-hubungan struktural.

Menurut Lin (2001:179), pengintegrasian dua temuan dengan teori yang

diusulkannya memiliki hasil yang cukup menarik. Bagi Lin, modal sosial menyediakan relasi

yang penting antara kepentingan individu dan kemunculan struktur. Untuk menguasai

sumberdaya, seseorang harus membentuk ikatan dengan individu dan atau kelompok lainnya

yang awalnya ditujukan untuk melindungi dan pada akhirnya untuk mendapatkan sumberdaya.

Mempertahankan dan melindungi sumberdaya dilihat sebagai motivasi kekuatan-kekuatan

ekspresif dan emosi, sementara perolehan sumberdaya membutuhkan mobilisasi motif dan

41

Page 42: Bahan kuliah 1

tindakan kognitif dan instrumental. Hasil relasi-relasi dan interaksi horizontal (homophilous) dan

vertikal (heterophilous) menyusun bentuk-bentuk elementer struktur. Sekali saja parameter-

parameter struktur (baca: differensial tingkatan, differensial ukuran, dan differensial

sumberdaya) menjadi kekuatan dominan, maka akses dan penggunaan sumberdaya

memotivasi tindakan-tindakan individu dimanapun dan kapanpun apabila memungkinkan

dalam struktur hierarki (hal. 179).

42

Page 43: Bahan kuliah 1

Lin (2001: 184) berargumentasi bahwa dua struktur, yakni kelembagaan dan

jaringan-jaringan, membentuk infrastruktur masyarakat. Framework ini melihat kelembagaan-

kelembagaan (institutions) dan jaringan-jaringan (networks) sebagai kekuatan sosial utama

yang memandu interaksi antara aktor dan struktur hierarki, serta aliran modal.

Banyak teoritisi menggunakan analisis jaringan untuk mendefinisikan proses mikro

ke makro seperti Coleman, White, Granovetter, Burt, dan lainnya. Semuanya hampir sepakat

bahwa analisis jaringan sosial, sumberdaya sosial atau modal sosial menjadi elemen inti dalam

penjelasan sosiologis. Tindakan-tindakan yang bertujuan didasarkan pada dua prinsip

motivasi, yakni minimalisasi kerugian dan maksimalisasi keuntungan, mengarah pada

pembentukan jaringan sosial baik untuk tujuan-tujuan sentimental maunpun instrumental (Lin,

2001: 184).

Dengan demikian, jaringan sosial eksis tidak hanya dalam organisasi hierarki, tetapi

juga dalam inter relasi antar aktor-aktor individual. Perspektif jaringan dan kelembagaan tetap

ada karena keduanya sangat jelas menawarkan jalan bagi kita untuk menganalisis bagaimana

kekuatan-kekuatan sosial, bersama-sama kekuatan-kekuatan ekonomi, menggambarkan

interaksi dan transaksi-transaksi sosial. Selain itu, kedua perspektif menerangkan mengapa

motivasi dan rasionalisasi tindakan oleh individu-individu dan organisasi memperluas

pertimbangan-pertimbangan ekonomi (hal. 185). Lin memandang bahwa institusi dan jaringan-

jaringan sebagai infrastruktur masyarakat merupakan kekuatan sosial sangat vital yang

menghubungkan, memegang, dan mengkonsolidasikan aktor-aktor dan organisasi dalam

masyarakat.

Kelembagaan (institution), bagi Lin (2001) dipandang sebagai pengorganisasi

prinsip-prinsip interaksi, dapat juga disederhanakan sebagai aturan main, dalam masyarakat,

baik bersifat formal maupun informal. Aturan ini dipandang sebagai lampu lalu lintas yang

mengatur aliran dan transaksi barang (baik material maupun simbolik) di antara aktor-aktor,

baik individual maupun organisasi. Apabila organisasi maupun individu mengikuti serangkaian

kelembagaan yang sama, mereka berada dalam area institusional ( institutional field). Dalam

area institusional inilah, aktor (meliputi individu, jaringan, dan organisasi) mengetahui,

mendemonstrasikan, dan membagi ritual dan perilaku, serta menjanjikan hukuman/hambatan

dan imbalan seperti yang diatur dalam kelembagaan sosial.

Modal, menurut Lin (2001), merupakan investasi sumberdaya yang dimaksudkan

untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, modal dirajut oleh aktor untuk memenuhi

kebutuhan organisasi. Sebaliknya, aktor diberikan imbalan dengan sumberdaya-sumberdaya

sosial (reputasi), ekonomi (kemakmuran), atau politik (kekuasaan).

Dua jenis modal mendominasi transaksi dalam organisasi, yakni modal manusia dan

modal institusional. Modal manusia merefleksikan keahlian dan pengetahuan teknis. Modal

43

Page 44: Bahan kuliah 1

tersebut sangat dibutuhkan organisasi untuk keberhasilan bersaing di pasar. Sementara modal

institusional merefleksikan keahlian dan pengetahuan sosial budaya tentang aturan-aturan

dalam area institusi. Modal institusional mengandung nilai, aturan-aturan, dan norma serta

sanksi. Modal sosial mencerminkan tingkatan hubungan sosial, dimana sumberdaya yang

berharga dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperoleh sumberdaya., termasuk

di dalamnya kemakmuran, kekuasaan, dan reputasi, yang semuanya dinilai dalam area

institusional (Lin,2001: 190). Aktor individual yang mampu mengakses atau menggunakan

modal sosial dan modal kultural merupakan tenaga kerja potensial yang mampu memenuhi

harapan organisasi dalam area institusional.

Bagaimana aktor individual menunjukkan modal sosial dan modal manusia mereka?

Bagi modal manusia, tentunya akan sangat mudah untuk diuji. Banyak organisasi menerapkan

metode ini untuk melakukan assessment terhadap pengetahuan teknis dan keahlian. tetapi

dalam banyak kasus, pengujian tersebut jarang menangkap nafas dan kedalam modal

manusia. Seringkali, assessment membutuhkan bukti pendukung, seperti komitmen, dan

keberhasilan dalam proses pencapaian dalam bentuk sertifikat, diploma, atau evaluasi atas

asesor yang dipercaya. Tanda kelulusan, sertifikat, dan tidak kalah pentingnya kesaksian

menjadi perwujudan simbolik yang penting mengenai modal manusia (ibid). Sementara itu,

demosntrasi modal institusional cenderung lebih kompleks dan rumit. Pengujian tertentu atau

metode pengidentifikasian telah dikembangkan untuk tujuan tersebut.

Proses pembentukan dua jenis modal tersebut; modal sosial dan modal manusia,

dimulai dengan transfer inter generasi sumberdaya. Beberapa proses umumnya terjadi dalam

transfer sumberdaya tersebut. Pertama, proses sosialisasi, dimana keluarga menyediakan pola

dimana pelatihan dilakukan untuk mengembangkan aktor (dengan cara pelatihan kognitif dan

imitasi) dengan beberapa sumberdaya yang berharga. Kedua, melalui jaringan sosial keluarga,

dimana jaringan orang tua menyediakan kesempatan untuk melakukan kontak terhadap aktor

yang memiliki sumberdaya berharga. Ketiga, sumberdaya keluarga memberikan kesempatan

kepada aktor untuk mendapatkan sumberdaya tambahan berdasarkan usaha sendiri, misalnya

melalui pendidikan di sekolah (hal. 191).

Dengan sarana yang berbeda untuk sumberdaya yang ditransfer, aktor individu

harus memobilisasi sumberdaya tersebut dan mengembalikan keuntungan yang diperoleh

menjadi modal. Dua jalan untuk mengembalikan sumberdaya menjadi modal, yakni melalui

pelembagaan organisasi (institutionalizing organizations) atau menggunakan sumberdaya yang

melekat dalam jaringan sosial.

Pelembagaan organisasi merupakan tipe khusus organisasi yang bertujuan atau

memiliki misi untuk melatih dan mengindoktrinasi aktor-aktor dengan nilai-nilai dan keahlian-

44

Page 45: Bahan kuliah 1

keahlian dalam melakukan prosedur formal dan perilaku terkait dengan keberhasilan lembaga

(hal. 192). Masyarakat dan organisasi yang berhasil juga menggunakan pelembagaan

organisasi untuk memperkuat aturan, prosedur formal, dan kontrol perilaku. Organisasi

tersebut misalnya penjara, rumah sakit jiwa, dan kamp-kamp konsentrasi dan tenaga kerja.

Jaringan sosial menyediakan sarana lain untuk pengembalian sumberdaya ke dalam

modal. Melalui ikatan sosial dan jaringan, aktor-aktor mendapatkan tambahan sumberdaya

melalui pengaksesan sumberdaya dari ikatan sosial langsung maupun tidak langsung. Banyak

jaringan dibentuk dikarenakan proses-proses bersama dan pengalaman dalam pelembagaan,

misalnya alumni, profesi pekerjaan, dan asosiasi industrial. Namun demikian, ada jaringan juga

dibentuk berbasis kepentingan bersama seperti klub-klub, musik, olah raga, atau kelompok

ketetanggaan (hal. 193). Menurut Lin (2001), sumberdaya yang melekat secara sosial ini dapat

dikembalikan ke dalam modal sosial ketika seorang aktor mengaktifkan dan memobilisasi

rangkaian ikatan untuk pencapaian tujuan tindakan, misalnya menemukan pekerjaan.

Dapat disimpulkan bahwa lembaga dan jaringan dipandang sebagai dua basis

komponen dari masyarakat. keduanya menyediakan aturan-aturan dasar terkait dengan aliran

modal dalam masyarakat. teori modal manusia dan teori modal institusional direfleksikan

dalam proses menghubungkan aktor melalui pelembagaan organisasi ke organisasi. Teori

modal sosial diperoleh dalam proses menghubungkan aktor melalui jaringan sosial ke

organisasi.

Pemodelan modal sosial yang komprehensif membutuhkan investigasi: (1) investasi

dalam modal sosial; (2) akses dan mobilisasi modal sosial; (3) pengembalian atau keuntungan

modal sosial. Dalam hal ini, Lin (2001) menawarkan dua jenis hasil (outcomes) modal sosial:

(a) pengembalian dalam tindakan instrumental; (b) pengembalian dalam tindakan ekspresif).

Tindakan instrumental dilakukan untuk memperoleh sumberdaya dan bukan memilikinya,

sementara tindakan ekspresif ditujukan untuk mempertahankan sumberdaya yang sudah

dimiliki oleh aktor.

Untuk tindakan instrumental, kita dapat mengidentifikasi tiga kemungkinan

keuntungan: ekonomi, politik, dan sosial. Keuntungan ekonomi dapat berupa kemakmuran

yang di dalamnya pendapatan, aset, dan sebagainya. Keuntungan politik ditunjukkan oleh

posisi hierarki dalam kelompok. Sementara keuntungan sosial membutuhkan klarifikasi,

meskipun Lin (bab 9) telah menyatakan keuntungan dalam bentuk reputasi.

Untuk tindakan ekspresif, modal sosial sebagai alat untuk konsolidasi sumberdaya

dan mempertahankan kemungkinan kehilangan sumberdaya. Prinsip akses dan mobilisasi di

antara aktor yang memiliki kepentingan sama atas sumberdaya dapat dihimpun dan disebar

untuk melindungi dan mempertahankan sumberdaya mereka.

45

Page 46: Bahan kuliah 1

Dengan elemen-elemen utama modal sosial seperti jenis keuntungan ( types of returns), dan pola-pola differensial sebab akibat (differential patterns of causal effects), Lin

merumuskan model analisis modal sosial. Model tersebut memilki tiga blok yang

merepresentasikan variabel konsekuensi dan sebab. Blok pertama merepresentasikan

prakondisi dan perintis modal sosial, yakni faktor dalam struktur sosial dan masing-masing

posisi individu dalam struktur, baik yang memfasilitasi maupun menghambat investasi modal

sosial. Blok lain mewakili elemen-elemen modal sosial, dan blok ketiga merepresentasikan

kemungkinan pengembalian atau keuntungan modal sosial.

Proses pemodelan dimulai dari blok pertama ke blok kedua menerangkan formasi

ketidakseimbangan modal sosial: elemen-elemen struktural dan elemen-elemen posisional

dalam struktur mempengaruhi kesempatan untuk membangun dan mempertahankan modal

sosial. Hal ini mendefinisikan pola diferensial distribusi sumberdaya sosial yang dilekatkan,

diakses, dan dimobilisasi. Selain itu, formasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat kekuatan-

kekuatan sosial yang menentukan diferensial distribusi. Dengan demikian, formasi ini

menggambarkan tiga ketidakseimbangan modal sosial sebagai aset kolektif, sumberdaya

sosial yang dapat diakses, dan sumberdaya sosial yang dimobilisasi. Dua jenis kekuatan

kausalitas yang dapat dimasukkan dalam pemikiran ini, yakni variasi struktural dan posisional.

Menurut Lin (2001), sebuah struktur dapat dicirikan oleh banyak variasi seperti diversitas

dalam ideologi, tingkat industrialisasi dan teknologi, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Di

dalam struktur, individu dapat digambarkan sebagai pemangku posisi yang berbeda dalam

strata sosial, kultural, politik, dan ekonomi.

Collective Assets(trust, norms, etc) Returns

Instrumental

WealthAccessibility (Network PowerLocations and Resources Reputation

Expressive

46

Page 47: Bahan kuliah 1

Physical Health

Structural and Mobilization (Use of Mental Positional Contacts and Contact Variations Resources) Life

Satisfaction

Gambar 2: Modeling a theory of social capital (Lin, 2001: 246)

Dalam blok yang kedua, di sana ada sebuah proses yang menghubungkan dua

elemen modal sosial, yakni akses terhadap modal sosial dan penggunaan modal sosial.

Proses yang menghubungkan dua elemen tersebut disebut proses mobilisasi modal sosial.

Akhirnya, proses yang menghubungkan blok kedua (modal sosial) dan blok ketiga (hasil)

mewakili proses dimana modal sosial menghasilkan keuntungan atau buah. Di sini teori modal

sosial akan menunjukkan bagaimana modal sosial adalah modal yang sebenarnya, atau

bagaimana modal sosial menghasilkan keuntungan.

47

Inequality Capitalization Effects