bahan-difteri.doc

78
REFERAT DIFTERI dari : http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/ref erat-difteri_18.html FAKULTAS KEDOKTERAN 2005 BAB I PENDAHULUAN. Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. (1) Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. (2) Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. (5) Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup

Transcript of bahan-difteri.doc

REFERAT DIFTERI dari : http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/referat-difteri_18.html

FAKULTAS KEDOKTERAN 2005BAB IPENDAHULUAN.

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. (1)

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. (2)

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. (5)

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. (3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKADIFTERI2.1. EtiologiSpesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. (4)

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. (1)

2.2. Patogenesis dan patofisiologisKuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.

Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)

2.3. Manifestasi KlinisTergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria. (3)

2.3.1. Difteri Saluran PernapasanPada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39C.

2.3.1.1. Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)

SHAPE \* MERGEFORMAT

2.3.1.2 Difteri Tonsil FaringPada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (6)

2.3.1.3. Difteri Laring Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

2.3.2. Difteri KulitDifteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.

SHAPE \* MERGEFORMAT

2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan TelingaC. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. (7)

2.4. DiagnosisDiagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek). (1)

Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. (4)

2.5. Diagnosis BandingDifteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).

Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1)

2.6. KomplikasiKomplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. (3)

Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. (7)

Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical.

Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti. (5)

Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.

Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung. (1)

2.7. Pengobatan Dan Penatalaksanaan.Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

A. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)

B. Pengobatan Khusus1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama SakitTipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /

Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular /

Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular /

Intravena

Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena

Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)

2. AntibiotikAntibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.

Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.

Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.

Amoksisilin.

Rifampisin.

Klindamisin.

Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)

3. KortikosteroidBelum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

C. Pengobatan PenyulitPengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

D. Pengobatan KarierKarier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. (4)

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

BiakanUji SchickTindakan

(-)(-)Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria

(+)(-)Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu

(+)(+)Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-)(+)Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

2.8. PrognosisUmumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. (8)Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) (1).

2. 9. PencegahanPencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. (5)

Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

Rencana (Jadwal) : Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.

Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.

Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. (4)

BAB IIIKESIMPULANDifteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit ini.Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9C. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.DAFTAR PUSTAKA1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176

3. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm4. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm 5. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=5406. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=20057. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299dari : http://tomajehari.blogspot.com/2011/05/makalah-difteri.htmlDIFTERIA.Definisi

Difteri adalah penyakit, berpotensi fatal menular yang biasanya melibatkan hidung, tenggorokan, dan saluran udara, tetapi juga dapat menginfeksi kulit. Fiturnya yang paling mencolok adalah pembentukan membran kelabu yang menutupi tonsil dan bagian atas tenggorokan.B.Deskripsi

Seperti banyak penyakit lain saluran pernapasan bagian atas, difteri paling mungkin untuk keluar selama musim dingin. Pada suatu waktu itu adalah pembunuh masa kecil besar, tetapi sekarang jarang terjadi di negara-negara maju karena imunisasi luas. Sejak tahun 1988, semua dikonfirmasi kasus di Amerika Serikat telah terlibat pengunjung atau imigran. Di negara-negara yang tidak memiliki imunisasi rutin terhadap infeksi ini, angka kematian bervariasi 1,5-25%.

Orang yang belum diimunisasi mungkin mendapatkan difteri pada usia apapun. Penyakit ini paling sering menyebar melalui tetesan dari batuk atau bersin dari orang yang terinfeksi atau carrier. Masa inkubasi 2-7 hari, dengan rata-rata tiga hari. Sangat penting untuk mencari bantuan medis sekaligus ketika difteri diduga, karena pengobatan memerlukan tindakan darurat untuk orang dewasa maupun anak-anak.C.Penyebab dan gejala

Gejala difteri yang disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh basil difteri, Corynebacterium diphtheriae (dari bahasa Yunani untuk "membran karet"). Bahkan, produksi toksin berkaitan dengan infeksi basil sendiri dengan virus bakteri tertentu disebut fag (dari bakteriofag, sebuah virus yang menginfeksi bakteri). Keracunan yang merusak jaringan sehat di daerah atas tenggorokan di sekitar amandel, atau luka terbuka di kulit. Cairan dari sel-sel mati kemudian menggumpal untuk membentuk membran tanda hijau abu-abu atau keabu-abuan. Di dalam membran, bakteri menghasilkan eksotoksin, yang merupakan sekresi beracun yang menyebabkan gejala mengancam nyawa difteri. Eksotoksin ini dilakukan ke seluruh tubuh dalam aliran darah, menghancurkan jaringan sehat di bagian lain dari tubuh.

Komplikasi yang paling serius yang disebabkan oleh eksotoksin adalah radang dari otot jantung (miokarditis) dan kerusakan sistem saraf. Risiko komplikasi serius meningkat sebagai waktu antara timbulnya gejala dan administrasi meningkat antitoksin, dan sebagai ukuran membran yang terbentuk meningkat. Miokarditis ini bisa menyebabkan gangguan pada irama jantung dan bisa berujung pada gagal jantung. Gejala keterlibatan sistem saraf bisa berupa melihat ganda (diplopia), pidato menyakitkan atau sulit menelan, dan cadel atau kehilangan suara, yang semuanya indikasi efek eksotoksin terhadap fungsi saraf. Eksotoksin juga dapat menyebabkan parah pembengkakan di leher ("bull leher").

Tanda-tanda dan gejala difteri bervariasi sesuai dengan lokasi infeksi:

a.Sengau

Difteri hidung menghasilkan sedikit gejala selain debit berair atau berdarah. Pada pemeriksaan, mungkin ada membran terlihat kecil di bagian hidung. Infeksi hidung jarang menyebabkan komplikasi dengan sendirinya, tetapi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena penyakit menyebar lebih cepat dibandingkan bentuk-bentuk difteri.

b.Faring

Difteri faring mendapatkan namanya dari faring, yang merupakan bagian dari tenggorokan bagian atas yang menghubungkan mulut dan saluran hidung dengan kotak suara. Ini adalah bentuk paling umum dari difteri, menyebabkan karakteristik membran tenggorokan. Membran sering berdarah jika tergores atau dipotong. Hal ini penting untuk tidak mencoba untuk menghapus trauma membran karena dapat meningkatkan penyerapan tubuh eksotoksin tersebut. Tanda-tanda lain dan gejala difteri faring ringan termasuk sakit tenggorokan, demam 101-102 F (38,3-38,9 C), denyut nadi menjadi cepat, dan kelemahan tubuh secara umum.

c.Berhubung dengan pangkal tenggorokan

Difteri laring, yang melibatkan kotak suara atau laring, adalah bentuk yang paling mungkin untuk menghasilkan komplikasi serius. Demam biasanya lebih tinggi dalam bentuk difteri (103-104 F atau 39,4-40 C) dan pasien sangat lemah. Pasien mungkin memiliki batuk parah, mengalami kesulitan bernapas, atau kehilangan suara mereka sepenuhnya. Pengembangan "leher banteng" menunjukkan tingkat tinggi eksotoksin dalam aliran darah. Obstruksi jalan napas dapat menyebabkan kompromi pernapasan dan kematian.

d.Kulit

Bentuk difteri, yang kadang-kadang disebut difteri kulit, menyumbang sekitar 33% kasus difteri. Hal ini ditemukan terutama di antara orang dengan kebersihan yang buruk. Setiap istirahat di kulit dapat menjadi terinfeksi dengan difteri. Jaringan yang terinfeksi mengembangkan daerah ulserasi dan membran difteri bisa terbentuk atas luka namun tidak selalu hadir. Luka atau ulkus lambat untuk menyembuhkan dan mungkin mati rasa atau tidak sensitif bila disentuh.D.Diagnosa

Karena difteri harus diperlakukan secepat mungkin, dokter biasanya membuat diagnosis berdasarkan gejala terlihat tanpa menunggu hasil tes.

Dalam membuat diagnosis, dokter mata memeriksa pasien, telinga, hidung, dan tenggorokan dalam rangka untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyebabkan demam dan sakit tenggorokan, seperti mononukleosis menular, infeksi sinus, atau radang tenggorokan. Gejala yang paling penting yang menunjukkan difteri adalah membran. Ketika seorang pasien infeksi kulit yang berkembang selama wabah difteri, dokter akan mempertimbangkan kemungkinan difteri kulit dan mengambil smear untuk mengkonfirmasikan diagnosis.E.Tes laboratorium

Diagnosis difteri dapat dikonfirmasikan oleh hasil budaya yang diperoleh dari daerah yang terinfeksi. Bahan dari spons diletakkan di slide mikroskop dan pewarnaan dengan menggunakan prosedur yang disebut Gram stain. Basil difteri disebut Gram-positif karena memegang dye setelah slide dibilas dengan alkohol. Di bawah mikroskop, basil difteri terlihat seperti sel-sel batang berbentuk manik-manik, yang dikelompokkan dalam pola-pola yang menyerupai karakter China. Lain uji laboratorium melibatkan tumbuh basil difteri pada bahan khusus yang disebut medium Loeffler's.F.Pengobatan

Difteri adalah penyakit serius yang membutuhkan perawatan rumah sakit di unit perawatan intensif jika pasien telah mengembangkan gejala-gejala pernafasan. Perawatan termasuk kombinasi obat-obatan dan perawatan suportif:

*Antitoksin

Langkah yang paling penting adalah administrasi segera antitoksin difteri, tanpa menunggu hasil laboratorium. antitoksin ini dibuat dari serum kuda dan bekerja dengan menetralkan setiap eksotoksin beredar. Dokter harus terlebih dahulu menguji pasien untuk kepekaan terhadap serum hewan. Pasien yang sensitif (sekitar 10%) harus peka dengan antitoksin diencerkan, karena antitoksin adalah satu-satunya substansi spesifik yang akan melawan eksotoksin difteri. Tidak antitoksin manusia yang tersedia untuk pengobatan difteri.

Dosis berkisar antara 20,000-100,000 unit, tergantung pada tingkat keparahan dan lamanya waktu gejala terjadi sebelum perawatan. Difteri antitoksin biasanya diberikan infus.

*Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk melenyapkan bakteri, untuk mencegah penyebaran penyakit, dan untuk melindungi pasien dari berkembang pneumonia. Mereka bukan pengganti pengobatan dengan antitoksin. Baik orang dewasa dan anak-anak dapat diberikan penisilin, ampisilin, atau eritromisin. Eritromisin tampaknya lebih efektif daripada penisilin dalam memperlakukan orang-orang yang pembawa karena penetrasi yang lebih baik ke daerah yang terinfeksi.

Cutaneous difteri biasanya dirawat dengan membersihkan luka secara menyeluruh dengan sabun dan air, dan memberikan antibiotik pasien selama 10 hari.G.Mendukung perawatan

Pasien Difteri perlu istirahat dengan perawatan intensif, termasuk cairan tambahan, oksigenasi, dan pemantauan untuk masalah jantung mungkin, sumbatan saluran napas, atau keterlibatan sistem saraf. Pasien dengan difteri laring ini disimpan dalam sebuah tenda croup atau lingkungan kelembaban tinggi, mereka juga mungkin perlu pengisapan tenggorokan atau operasi darurat jika saluran napas mereka diblokir.

Pasien pulih dari difteri harus beristirahat di rumah selama minimal dua sampai tiga minggu, terutama jika mereka mengalami komplikasi jantung. Selain itu, pasien harus diimunisasi terhadap difteri setelah pemulihan, karena mempunyai penyakit yang tidak selalu merangsang pembentukan antitoksin dan melindungi mereka dari reinfeksi.H.Pencegahan komplikasi

Pasien difteri yang mengalami miokarditis dapat diobati dengan oksigen dan dengan obat-obat untuk mencegah irama jantung yang tidak teratur. Sebuah alat pacu jantung buatan mungkin diperlukan. Pasien dengan kesulitan menelan bisa diberi makan melalui tabung dimasukkan ke dalam perut melalui hidung. Pasien yang tidak bisa bernapas biasanya memakai respirator mekanik.I.Prognosa

Prognosis tergantung pada ukuran dan lokasi membran dan perawatan dini dengan antitoksin, semakin lama menunda, semakin tinggi tingkat kematian. Para pasien yang paling rentan adalah anak-anak di bawah usia 15 dan mereka yang mengembangkan pneumonia atau miokarditis. Hidung dan difteri kulit jarang fatal.J.Pencegahan

Pencegahan difteri memiliki empat aspek:

*Imunisasi

Universal imunisasi adalah cara paling efektif mencegah difteri. Kursus standar imunisasi bagi anak-anak yang sehat adalah tiga dosis DPT (difteri-tetanus-pertussis) persiapan diberikan antara dua bulan dan enam bulan usia, dengan dosis penguat diberikan pada 18 bulan dan pada masuk ke sekolah. Orang dewasa harus diimunisasi pada interval 10 tahun dengan Td (tetanus-difteri) toksoid. toksoid adalah toksin bakteri yang diperlakukan untuk membuatnya tidak berbahaya tapi masih dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit.

*Isolasi pasien

Pasien difteri harus diisolasi selama satu sampai tujuh hari atau sampai dua budaya berturut-turut menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menular. Anak-anak ditempatkan dalam isolasi biasanya ditugaskan seorang perawat utama untuk dukungan emosional.

*Identifikasi dan pengobatan kontak

Karena difteri adalah sangat menular dan memiliki masa inkubasi yang singkat, anggota keluarga dan kontak lainnya pasien difteri harus mengamati gejala dan diuji untuk melihat apakah mereka adalah pembawa. Mereka biasanya diberikan antibiotik selama tujuh hari dan suntikan booster imunisasi difteri / tetanus toksoid.

*Pelaporan kasus kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat

Pelaporan diperlukan untuk melacak potensi epidemi, untuk membantu dokter mengidentifikasi strain spesifik difteri, dan untuk melihat apakah resistensi terhadap penisilin atau eritromisin telah dikembangkan.Sumber :Chambers, Henry F. "Infectious Diseases:. Bakteri & klamidia" Pada saat ini Medis Diagnosa dan Pengobatan, 1998, diedit oleh Stephen McPhee, et al., 37 ed. Stamford: Appleton & Lange, 1997.dari : http://dianalmira.blogspot.com/2013/04/askep-difteri-makalah-kelompok.htmlASKEP DIFTERI MAKALAH KELOMPOK

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar belakang Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak) Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3Kematian terjadi pada 5%-10% dari kasus pernapasan yang terjadi. Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheriae yang merupakan satu-satunya cara pengendalian efektif untuk penyakit difteri. Penelitian ini tergolong jenis penelitian analitik observasional yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara status imunisasi difteri dengan meningkatnya kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 2010. Status imunisasi difteri yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi status imunisasi DPT1, DPT2, DPT3 dan DT booster beserta cakupan dari imunisasi tersebut. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional.1.2 Rumusan masalah1.2.1 Bagaimana anatomi fisiologi saluran nafas atas ?1.2.2 Bagaimana definisi difteri ?1.2.3 Bagaimana etiologi difteri ?1.2.4 Bagaimana Patofisiologi difteri ?1.2.5 Bagaimana klasifikasi difteri ?1.2.6 Bagaimana Manifestasi difteri ?1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan difteri ? 1.2.8 Bagaimana Pencegahan difteri ?1.2.9 Bagaimana komplikasi difteri ?1.2.10 Bagaimana hasil penelitian difteri ?1.2.11 Bagaimana system pelayanan kesehatan difteri ?1.2.12 Bagaimana legal etis difteri ? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Untuk mempelajari difteri 1.3.2 Tujuan khusus a. Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi traktus respiratorius atas b. Untuk mengetahui Definisi difteri c. Untuk mengetahui etiologi difterid. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC difterie. Untuk mengetahui Klasifikasi difterif. Untuk mengetahui Manifestasi difterig. Untuk mengetahui Penatalaksanaan difteri h. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic i. Untuk mengetahui Pencegahan difteri j. Untuk mengetahui komplikasi difteri k. Untuk mengetahui hasil penelitian difteril. Untuk mengetahui system pelayanan kesehatan difteri m. Untuk mengetahui legal etis difteriBAB IIPEMBAHASAN2.1 Anatomi dan Fisiologi saluran nafas atas2.1.1 AnatomiPada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus. Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk mamalia.2a. Rongga mulutRongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas.2Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.2Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula. Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.2Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.2b. FaringFaring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).2Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.2Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.2 Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:1. MukosaBentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.2Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.22. Palut Lendir (Mucous Blanket)Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.23. OtotFaring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.24. PendarahanFaring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.25. PersarafanPersarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).26. Kelenjar getah beningAliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.2Berdasarkan letak, faring dibagi atas:1. NasofaringBerhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.22. OrofaringDisebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2a. Dinding posterior faringSecara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.2b. Fosa tonsilFosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2c. TonsilTonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.2Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.2Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.2Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.2Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.2Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.23. Laringofaring (hipofaring)Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus. 2Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.2Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.22.1.2 Fisiologi

a.Fungsi faring Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.1. PenelananProses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.22. Proses berbicaraPada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.2Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.22.2 DefinisiDifteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak) Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan Anak)2.3 EtiologiDisebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:1.Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.2.Polymerase chain pig inoculation test (PCR)3.Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, danCorynebacterium serosis.Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.Basil dapat membentuk :o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.2.4 Pathofisiology dan WOCKuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1)Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)2.4

KlasifikasiMenurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:a)Infeksi ringan bilapseudomembranhanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.b)Infeksi sedang bilapseudomembrantelah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.c)Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi sepertimiokarditis(radang otot jantung),paralisis(kelemahan anggota gerak) dannefritis(radang ginjal).Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien, yaitu:a)Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.b)Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).c)Difteri laring (laryngo tracheal diphtheriae) dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.d)Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.2.5Manifestasi KlinisTanda dan gejala difteri tergantung pada focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan.3Dalam 24 jam membrane dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.3Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan membrane akan menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala gejala yang lebih berat dan membrane secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi bagian bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.3Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.a. Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putihkotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.b. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.42.6Penatalaksanaan2.6.1 Isolasi dan karantina

Penderita di isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah masa akut terlampoi. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana: a) Biakan hidung dan tenggorokb) Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan terhadap diftery)c) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.3Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diftery.Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.Bila kultur + / SCHICK test - : pengobatan karierBila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery + penisilinBila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).32.6.2 Pengobatana. Tindakan Umum1. Tujuan :a. Mencegah terjadinya komplikasib. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umumc. Mengatasi gejala /akibat yang timbul2. Jenis Tindakan :a) Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasib) Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).c) Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,d) stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.e) Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminalf) Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)g) Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.h) Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :1. Berikan Oksigen2. Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :i) Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternalj) Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisahk) Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisahl) Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.b. Tindakan Spesifik1. Tujuan :a. Menetralisir Toksinb. Eradikasi Kumanc. Menanggulangi infeksi sekunder2. Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :1. Serum Anti Difteri (SAD)Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.a) 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama SakitTipe difteriDosis DS (KI)Cara Pemberian

Difteri hidung20.000IM

Difteri tonsil40.000IM atau IV

Difteri faring40.000IM atau IV

Difteri laring40.000IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas80.000IV

Difteri + penyulit, bullneck80.000-120.000IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja80.000-120.000IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :1. Uji Kepekaana. Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.b. Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).c. Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :a) Tes kulita. SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.b. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.b) Tes Mata 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 20 menit kemudian Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ) Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut: 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikanadrenalin 1:1000.2. Antibiotika. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/harib. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.3. Kortikosteroida. Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.c. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)2.7 Pemeriksaan Diagnostika. Schick testTes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.b. Pemeriksaan laboratoriumPada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminringan.2.8Komplikasi1.Gangguan pernapasanC. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.2.Kerusakan jantung

Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.3.Kerusakan sarafToksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.2.9 Pencegahana. Isolasi penderitaPenderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.

b. Pencegahan terhadap kontakTerhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.

c. ImunisasiPenurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

Cara Pencegahan1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.

2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.

3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).

a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.

5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitara. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.

c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

d. Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

e. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

Dari : http://gameriyawan.blogspot.com/2013/06/asuhan-keperawatan-anak-pada-kasus.html#.Ue_W1lPrbTEASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KASUS DIFTERI

Posted by edy riyawan Posted on Senin, Juni 03, 2013 with No comments

1. Landasan Teori1.1 Pengertian1.1.1 Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh corynobacterium diphteriae.(Nelson,2000 ; 180)

1.1.2 Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman corynebacteriumdifteri( Arif Mansjoer, Suproharta, Wahyu Ika Wardani, (2000: 430)

1.2 EtiologiPenyebab penyakit difteri adalah kuman corynebacteriumdifteri yang bersifat: bakteri gram +, polymorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora, terdiri dari 3 jenis basil yaitu : gravis, mitis, inter medius, membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan, mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan. Penularan penyakit difteri adalah melalui udara ( droplet infection ), tetapi juga dapat perantara alat/ benda yang terkontaminasi oleh kuman difteri.

1.3 Patofisiologis Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas dan dapat juga pada vulva kulit mata walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.

1.4 Manifestasi KlinikTergantung pada:

1.4.1 Lokasi tempat infeksi

1.4.2 Imunitas pasien

1.4.3 Ada tidaknya toksin pada sirkulasi darah1.5 Gejala Klinis Masa tunas antara 1-6 hari.

1.5.1 Gejala umum

1.5.1.1 Demam

1.5.1.2 Pilek

1.5.1.3 Sesak

1.5.1.4 Sakit kepala

1.5.1.5 Batuk1.5.2 Gejala lokal

1.5.2.1 Difteri hidung/ Difteri ringan

Pseudomembran sampai batas pada hidung/ parsial dengan gejala secret hidung serosa inguinosa, epistaksis, ada pseudomembran pada septum nasi.

1.5.2.2 Difteri faring dan tonsil/ Difteri sedang

Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif dengan gejala panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas berbau dan timbul Bullneck.

1.5.2.3 Difteri laring/ berat

Disertai dengan sumbatan jalan nafas yang berat yang hanya dapat diatasi dengan tracheostomi dengan gejala sesak nafas hebat, stridor inspirator, sianosis, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret, dan permukaan tertutup oleh pseudomembran.

1.6 Prognosis Prognosis penyakit ini bergantung pada:

1.6.1 Umur pasien, makin muda usianya makin jelek prognosisnya

1.6.2 Perjalanan penyakit, makin terlambat ditemukan makin buruk keadaanya

1.6.3 Letak lesi Difteri, bila dihidung tergolong ringan

1.6.4 Keadaan umum pasien, bila gizi buruk makin buruk keadaannya

1.6.5 Terdapat komplikasi, miokarditis sangat memperburuk prognosis

1.6.6 Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk

1.7 Pemeriksaan Diagnostik1.7.1 Laboratorium

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin. Pada urine terdapat albuminuria ringan.

1.7.2 Penularan KN watje ( kell dan noise )

Dengan lidi waten dikontaminasikan pada pseudomembran yang ada pada lokasi yang terkena, kemudian dimasukkan pada tabung reaksi dengan media agar-agar dan periksa. Apabila pemeriksaan KN 2x berturut-turut dan bila (-) perubahan positif terjadi.

1.8 Komplikasi1.8.1 Pada saluran pernafasan: terjadi obstruksi jalan nafas, atelektasis