bahan bioteknologi

download bahan bioteknologi

of 37

Transcript of bahan bioteknologi

Perkembangan kultur jaringan anggrek di Indonesia sangat lambat dibandingkan negara-negara lain, bahkan impor bibit anggrek dalam bentuk flask sempat membanjiri nursery-nursery anggrek. Keadaan tersebut disebabkan pengetahuan pembudidaya anggrek yang sangat sedikit mengenai teknik ini. Selain itu kultur jaringan memerlukan investasi yang besar untuk membangun laboratorium yang mungkin hanya cocok untuk perusahaan.

Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman dalam kondisi aseptik sehingga dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi individu baru yang utuh (Gunawan, 1992). Teknik kultur jaringan didasari oleh konsep totipotensi sel yang artinya total genetic potential atau setiap sel dari tubuh multisel memiliki potensi memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherrington, 1984). Media yang digunakan dalam kultur jaringan anggrek tidak jauh berbeda dengan media lainnya. Beberapa media yang digunakan untuk perbanyakan anggrek adalah Knudson C (Knudson, 1946), Wimber (Wimber, 1963) atau Fonnesbech (Fonnesbech, 1972) atau media MS (Murashige and Skoog, 1962).

Media kultur yang digunakan umumnya media padat, kecuali Cattleya yang dikulturkan dalam media cair. Media ini dipadatkan dengan Bacto agar (8 10 %). Sebagai sumber karbon, sukrose ditambahkan dalam media (20 gr/L), atau kombinasi glukose (10%) dan sukrose (10%).

Hormon pertumbuhan ditambahkan dalam media ini dalam konsentrasi rendah. Auksin yang digunakan antara lain IAA, IBA, NAA atau 2,4-D pada konsentrsi 1 mg/L karena diduga auksin dapat merangsang pertumbuhan akar. Sitokinin yang digunakan umumnya adalah Kinetin dan BAP pada konsentrsi 0.5 mg/L untuk merangsang pertumbuhan tunas (Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2006).

Sekilas kultur jaringan anggrekPerkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk flask sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang sangat mahal untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau feasible untuk perusahaan. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun terselubung dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing. Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek

adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional. Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti home industri. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani pengkultur biji anggrek di Malang yang telah sedemikian banyak. Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :y

y

y

y

y

y

Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus. Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek giant atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine) Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini. Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara in-vitro kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.

Kultur jaringanDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.[1]

[sunting] PrinsipTeknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif.[1] Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.[1] Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.[2] Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi.[3] Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringanjaringan hidup.[3] Oleh karena itu, semua organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya.[3]

[sunting] PrasyaratPelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan.[2] Hal yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril.[4] Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan.[2] Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya.[2]

MediaAda dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. [2] Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar, dimana nutrisi dicampurkan pada agar.[2] Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air.[2] Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu

bergerak, tergantung kebutuhan.[2] Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya.[4] Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro.[5] Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. [6] Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi.[7][8] Pada media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada media (eksogen).[7] ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.[7] Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur.[7][8] Penambahan hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini menjadi meristematik kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. [9] Proses ini dikenal dengan peristiwa dediferensiasi. Dediferensiasi ditandai dengan peningkatan aktivitas pembelahan, pembesaran sel, dan perkembangan jaringan.[9]

[sunting] MetodeMetode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal, melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun melalui tahap pembentukan kalus.[2] Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan.[5] Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi.[5] Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang.[10] Tipe jaringan yang kedua adalah jaringan parenkima, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi dan menjalankan fungsinya.[10] Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat cadangan makanan.[10]

[sunting] Lihat pulay

Kalus

Referensi1. ^ a b c (Inggris) Hameed N, Shabbir A, Ali A, Bajwa R. 2006. In vitro micropropagation of disease free rose (Rosa indica L.). Mycopath 4:35-38. 2. ^ a b c d e f g h i Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Hal. 252. 3. ^ a b c (Inggris) Khan IA, Shaw JJ. 1988. Biotechnology in Agriculture. Punjab. Agric. Res. Coordination Board Faisalabad, Pakistan. pp. 2.

4. ^ a b (Inggris) Ali G, Hadi F, Ali Z, Tariq M, Khan MA. 2007. Callus induction and in vitro complete plant regeneration of different cultivars of tobacco (Nicotiana tabacum L.) on media of different hormonal concentrations. Biotechnol. 6:561-566. 5. ^ a b c (Inggris) Pierik RLM. 1999. In vitro culture of higher plants. 4th Edition. USA: Kluwer Academic Publishers. Hal. 16-27. 6. ^ Marlina N. 2004. Teknik modifikasi media Murashige dan Skoog (MS) untuk konservasi in vitro. Buletin Teknik Pertanian 9(1):4-6. 7. ^ a b c d (Inggris) Akiyoshi DE et al. 1983. Cytokinin/auxin balance in crown gall tumors is regulated by specific loci in the T-DNA. J. Proc. Natl. Acad. Sci. 80: 407-411. 8. ^ a b (Inggris) Soomro R, Yasmin S, Aleem R. 2003. In vitro propagation of Rosa indica. Pakistan Journal of Biological Sciences 6(9):826-830. 9. ^ a b (Inggris) Lyndon RF. 1990. Plant Development; The Cellular Basis. London: Unwin Hyman Ltd. Hal. 37-41. 10. ^ a b c (Inggris) Evert RF, K.Esau, SE Eichhorn. 2006. Esau's Plant anatomy: meristems, cells, and tissues of the plant body: their structure, function, and development. 3rd edition. New Jersey: John Willey & Sons. Hal. 67-79.

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lainTahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah: 1) Pembuatan media 2) Inisiasi 3) Sterilisasi 4) Multiplikasi 5) Pengakaran 6) Aklimatisasi Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.

Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar. Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri). Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll. Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c KEUNTUNGAN PEMANFAATAN KULTUR JARINGAN Pengadaan bibit tidak tergantung musim Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari

satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit) Bibit yang dihasilkan seragam Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng gunakan organ tertentu) Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah Dalam proses pembibitan bebas dari gang guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek. Bagian 2 Persyaratan Lokasi Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan sumber tenaga listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila laboratorium kultur jaringan ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap rendah. Kapasitas Labotarium Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk ukuran laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400500.000 planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanaman seluas 500800 ha. Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang (ruang) untuk penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang inkubasi (untuk pertunasan dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.

Peralatan dan Bahan Kimia Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu disediakan adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirrer, pH meter, oven, dan kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, asam amino, alkohol, clorox). Proses Produksi Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi pohon induk (sumber eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi seperti terlihat pada diagram. Sumber eksplan. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk yang fisiknya sehat. Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%, HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%. Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-kulturkan dalam media kultur (MS + BAP). Setelah terbentuk tunas, tunas tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan beberapa komponen organik lainnya. Multiplikasi. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai diperoleh jumlah tanaman yang dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung selama 23 bulan. Untuk biakan (tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut dari 1 tunas dapat dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan, biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran. Perakaran. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam di lapang. Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya (terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama, planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila pesemaian berada di sekitar areal pertanaman. Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan Pengadaan bibit tidak tergantung musim Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit) Bibit yang dihasilkan seragam Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu) Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya Bagian 3

Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk flask sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang sangat mahal untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau feasible untuk perusahaan. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun terselubung dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing. Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional. Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti home industri. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani pengkultur biji anggrek di Malang yang telah sedemikian banyak. Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah : * Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus. * Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan * Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek giant atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine) * Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini. * Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk

diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi * Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara in-vitro kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah: 1) Pembuatan media 2) Inisiasi 3) Sterilisasi 4) Multiplikasi 5) Pengakaran 6) Aklimatisasi Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf. Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga

dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar. Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri). Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll. Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c KEUNTUNGAN PEMANFAATAN KULTUR JARINGAN Pengadaan bibit tidak tergantung musim Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu mata tunas yang sudah respon dalam 1

tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit) Bibit yang dihasilkan seragam Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng gunakan organ tertentu) Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah Dalam proses pembibitan bebas dari gang guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggr ek. Kola Lemahkan Tulang BOSTON Konsumsi senyawa kola yang berlebihan pada tubuh, menurut penelitian baru-baru ini, membuat tulang manusia, terutama wanita menjadi makin lemah. Hasil tersebut ditemukan oleh Dr. Katherine L. Tucker dari Universitas Boston, yang melakukan studi korelasi kelemahan tulang pada 2500 peminum kola, yang dilangsir kantor berita AP awal minggu ini. Pada penelitiannya tersebut, Dr. Katherine menemukan bahwa peminum kola, memiliki tingkat kekuatan tulang lebih rendah daripada orang yang tidak meminum kola. Tingkat kekuatan tulang dikenal dengan istilah BMD atau Bone Mineral Density, yang mempengaruhi berbagai masalah kerapuhan tulan, paparnya. Karena kola merupakan salah satu minuman terpopuler yang ada saat ini. Hasil penelitian ini seharusnya diumumkan secara luas, karena berpengaruh pada taraf kesehatan kita, urainya, pada artikel yang telah dimuat di bulan Oktober ini di Jurnal Klinik Nutrisi Amerika. Penelitian ini juga menunjukan kebanyakan peminum kola perempuan memiliki tingkat kerapuhan tulan lebih besar. Dalam catatannya, menurut Dr. Katherine hal ini dimungkinkan karena banyak wanita lebih banyak meminum susu, namun banyak meminum soda pada kola. Fenomena ini dijelaskan oleh Dr. Katherine dikarenakan kola mengandung zat bernama phosporic acid. Zat tersebut menyerap fungsi kalsium yang telah masuk dalam tubuh sehingga mineral yang ada dalam kalsium, yang seharusnya dapat membantu proses penguatan tulang menjadi hilang.

Sayangnya baru sekarang ada bukti kuat, yang menyatakan zat berkarbonasi seperti kola, ternyata sangat berpengaruh pada tulang, tambah Katherine. Sementara itu, pada kaum lelaki, lebih sedikit efek perapuhan tulang yang dikarenakan konsumsi kola. (slg)

BioteknologiDari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, jamur, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa. Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan. Di bidang medis, penerapan bioteknologi di masa lalu dibuktikan antara lain dengan penemuan vaksin, antibiotik, dan insulin walaupun masih dalam jumlah yang terbatas akibat proses fermentasi yang tidak sempurna. Perubahan signifikan terjadi setelah penemuan bioreaktor oleh Louis Pasteur. Dengan alat ini, produksi antibiotik maupun vaksin dapat dilakukan secara massal. Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lainlain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS. Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan rekombinan DNA, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan. Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup dari polusi. Sebagai contoh, pada

penguraian minyak bumi yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru. Kemajuan di bidang bioteknologi tak lepas dari berbagai kontroversi yang melingkupi perkembangan teknologinya. Sebagai contoh, teknologi kloning dan rekayasa genetika terhadap tanaman pangan mendapat kecaman dari bermacam-macam golongan.

Sekilas kultur jaringan anggrekPerkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk flask sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang sangat mahal untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau feasible untuk perusahaan. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun terselubung dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing. Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional. Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti home industri. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani pengkultur biji anggrek di Malang yang telah sedemikian banyak. Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :y

y

Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus. Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan

y

y

y

y

kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek giant atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine) Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini. Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara in-vitro kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.

AKTIVITAS PENELITIAN 1. Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan (in-vitro) Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar. Teknik ini sangat bermanfaat untuk tanaman-tanaman yang diperbanyak secara vegatatif. Adapun tanaman yang telah berhasil diperbanyak antara lain tanaman hias (misal: anggrek dan mawar), tanaman obat (misal: purwoceng dan bidara upas), tanaman berkayu (misal: jati dan cendana), serta tanaman buahbuahan (misal: pisang dan manggis). 2. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui kultur jaringan dan radiasi. Variasi somaklonal melalui kultur jaringan umumnya terjadi pada kultur kalus akibat pengaruh media kultur, sedangkan variasi somaklonal melalui radiasi dapat dilakukan secara fisik dengan menggunakan sinar gamma atau secara kimiawi. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal yang dilakukan di kelti BSJ menggabungkan kedua metode tersebut. Untuk mengarahkan keragaman yang timbul akibat pengaruh radiasi, setelah diaradiasi, eksplan ditanam dalam media kultur yang mengandung agen seleksi (seleksi in vitro). Teknik ini telah menghasilkan beberapa nomor tanaman potensial, seperti nilam dengan kadar minyak lebih tinggi, padi dan kedelai tahan alumunium, padi tahan kekeringan, dan pisang tahan layu Fusarium (masih dalam pengujian). 3. Penyimpanan tanaman secara kultur jaringan Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang besar yang perlu dilestarikan. Pelestarian di

alam secara konvensional menghadapi kedala hilangnya tanaman tersebut akibat kondisi lingkungan. Penyimpanan secara kultur jaringan memberikan alternatif pemecahan kendala tersebut, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth) dan kriopreservasi. Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan di keti BSJ terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam. Perkembangan Teknologi Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan di BB-Biogen. Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan komoditi non-migas, diantaranya untuk sektor pertanian pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan perolehan devisa negara. Salah satu dampak dalam peningkatan ekspor komoditi pertanian adalah kebutuhan bibit yang semakin meningkat pula. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedang bibit tanaman yang dibutuhkan jumlahnya sangat banyak. Di negara maju produksi bibit merupakan suatu usaha agribisnis yang potensial. Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Pengadaan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak dibicarakan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknologi tersebut telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit terutama pada berbagai tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan karena faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang mampu bersaing di pasaran internasional yang jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan. Menyadari pentingnya peranan kultur jaringan dalam menunjang program pengembangan pertanian maka BB-Biogen telah lama memanfaatkan teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman.

kultur abaka kultur sukun

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakan secara generatif, akan dieksploitasi secara besar-besaran (seperti lada, jahe, pisang, jati, kapolaga, panili, abaka, berbagai tanaman obat dan tanaman hortikultura, pada tanaman tahunan penyerbuk silang, (seperti jambu mente, cengkeh, melinjo, asam dan kapuk), pada berbagai tanaman tahunan seperti tanaman kehutanan (jati, cendana) dan tanaman buah-buahan. Pada tanaman-tanaman tersebut perbanyakan melalui kultur jaringan, bila berhasil dapat lebih menguntungkan karena sifatnya akan sama dengan induknya, seragam, dalam waktu yang singkat bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan bebas penyakit. Bioteknologi pertanian dapat berperan besar dalam agroindustri baik di sektor hulu maupun hilir. Ditinjau dari ruang lingkup peran kultur jaringan dalam menunjang agroindustri adalah penyediaan bibit yang bermutu dan penciptaan kultivar unggul. Di negara-negara maju, produksi bibit dan penciptaan varietas unggul dilakukan oleh industri benih, sehingga industri ini dapat dianggap sebagai industri hulu yang mendukung agroindustri. Produksi bibit melalui kultur jaringan akan menguntungkan untuk diusahakan secara komersial pada tanaman-tanaman yang sulit diperbanyak secara generatif, bibit diperlukan dalam jumlah yang banyak atau tanaman yang berumah dua. Perbanyakan melalui teknologi tersebut dapat memberikan keuntungan antara lain bibit dapat diproduksi seragam dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat dan bebas hama penyakit. Penggunaan bibit yang memiliki keseragaman tinggi akan meningkatkan kapasitas produksi dan secara tidak langsung memudahkan kegiatan pengolahan sebagai industri hilir dalam agroindustri. Teknik kultur jaringan yang sudah dapat dikembangkan dalam menunjang agroindustri antara lain untuk tanaman-tanaman jahe, jati, pisang, abaka, panili, lada, nilam dan beberapa tanaman hias. Pada tanaman-tanaman tersebut masalah utama yang dihadapi dalam pengembangannya adalah serangan penyakit dan penyebaran penyakit yang cepat dari suatu daerah ke daerah lainnya umumnya melalui bahan tanaman. Ditinjau dari sudut agribisnis, produksi bibit melalui kultur jaringan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit dan memberikan beberapa keuntungan seperti memperlancar masuknya bibit ke negara-negara pengimpor, meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentrasentra produksi baru. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memberikan jaminan yang lebih tinggi pada saat permintaan akan bibit meningkat. Perbanyakan tanaman secara klonal yang telah dicoba diperbanyak melalui kultur jaringan antara lain pada tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P. tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cablin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia stellata), pule pandak (Rauwolfia serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), inggu (Ruta angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati (Tectona grandis).Pada tanaman tersebut, faktor multiplikasinya cukup tinggi sehingga kultur jaringan dapat mempercepat pengembangan varietas yang dihasilkan para pemulia. Hampir semua bibit tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapangan untuk melihat pola

pertumbuhan dan produktivitasnya terutama pada tanaman jahe, kapolaga, abaka, nilam, pisang, jati dan rami. Perkembangan bibit di lapangan pada umumnya normal, kecuali pada jahe yang menghasilkan rimpang yang lebih kecil dari bibit asal rimpang konvensional.Untuk tanaman abaka, pertanaman asal bibit kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik daripada bibit asal konvensional. Disamping itu tanaman asal kultur jaringan menunjukkan adanya pertumbuhan keseragaman yang tinggi.Pada umur dua tahun, tanaman asal kultur jaringan menghasilkan pertumbuhan, komponen produksi dan produksi serat tiap batang tidak berbeda dengan asal bibit konevensional, namun jumlah tanaman dewasa tiap rumpun lebih banyak dan waktu berbunga lebih lambat dibandingkan dengan tanaman asal bibit konvensional. Dengan demikian bibit asal kultur jaringan diduga dapat menghasilkan serat yang lebih tinggi daripada asal bibit konvensional.Selain perbanyakan secara klonal telah pula dilakukan perbanyakan generatif (biji) pada tanaman panili dan anggrek. Panili seperti halnya anggrek mempunyai biji yang ukurannya sangat kecil, untuk itu dicoba perkecambahannya melalui kultur jaringan. Hasil percobaan menunjukkan persentase dan kecepatan tumbuhnya meningkat dibandingkan dengan pengecambahan secara konvensional.BB-Biogen mempunyai laboratorium kultur jaringan yang dapat digunakan untuk perbanyakan berbagai tanaman. Pada tanaman yang mudah diperbanyak secara konvensional antara lain untuk hibrida baru, tanaman yang langka, tanaman introduksi dengan jumlah tanaman awal yang terbatas maka kultur jaringan dapat berperan memperbanyak pada tahap awal dalam suatu proses produksi bibit. Apabila bibit yang dihasilkan jumlahnya telah memadai maka pada proses produksi bibit benihnya dapat dilakukan secara konvensional. Disamping itu teknologi produksi bibit yang diperoleh di BB-Biogen dapat dilakukan pada laboratorium kultur jaringan yang akan memperbanyak secara besarbesaran.Pada umumnya laboratorium kultur jaringan yang telah bergerak secara komersial tidak melakukan penelitian tetapi mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Institusi Penelitian. Disamping itu biakan yang ada dalam botol yang telah tanggap terhadap media tumbuh (faktor pertumbuhan membentuk tunas tinggi) dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam bagi perbanyakan selanjutnya melalui kultur jaringan.Dari paparan tersebut di atas terbukti bahwa kultur jaringan merupakan teknologi potensial dalam menunjang agroindustri, antara lain untuk perbanyakan tanaman yang akan dieksploitasi secara luas. Dengan keseragaman pertumbuhan tanaman yang tinggi di lapang akan mempermudah kegiatan pengolahan sebagai industri hilir. Disamping itu, dengan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit maka dalam era globalisasi dapat memudahkan pertukaran antar negara. http://www.indobiogen.or.id/bsj/bsj_aktivitas.php

-------------------------------------------------------------------------------------JURNAL AgroBiogen Volume 1 Nomor 1 April 2005 http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no1_2005_20-25.php

ARTIKEL 1 Mikropropagasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) (Ika Roostika, Novianti Sunarlim, dan Ika Mariska) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT Micropropagation of Mangosteen (Garcinia mangostana L.). Ika Roostika, N. Sunarlim, and I. Mariska. The conventional propagation of mangosteen plant is still facing some problems, such as the limited fruiting season and number of seedling, and slow growth of seedling. In vitro culture is an alternative technique to solve the problems. An experiment was done to obtain a suitable micropropagation technique for mangosteen plant through in vitro culture with high level of shoot multiplication and root formation, as well as high level of acclimated shoot or planlet growth. The treatments for shoot induction and axillary bud multiplication of mangosteen were three levels of BA (1, 3, and 5 mg/l) on the MS basal medium. The treatments for root induction were combinations between two kinds of basal medium (MS and WPM), two formulations of the media (full strength and strength), and two levels of IBA (5 and 10 mg/l). Root induction was also done ex situ by dipping the shoots in IBA solutions (100-200 ppm) for 1-2 hours, followed planting onto the best acclimation media. The acclimation was done using two different media (soil only and soil + compost) under two different environments (green house and incubation room + green house). Results of the experiment showed that the highest percentages of seed growth and number of shoots per seed was obtained on the basal medium

containing 5 mg/l BA. The highest number of axillary bud multiplication was obtained on the medium with 3 mg/l BA. MS medium + 5 mg/l IBA promoted 75% rooting. The plant acclimatization on soil + compost in the green house with 75% shading promoted the fastest plant growth. During the acclimatization, up to 75% of the shoots treated with dipping in 100 ppm IBA solution for one hour grew well. After four months, the roots of the plant developed secondary and tertiary roots. Keywords: Garcinia mangostana, micropropagation. Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah tanaman tropis yang mempunyai prospek cerah sebagai komoditas ekspor. Dari tahun ke tahun, ekspor manggis terus meningkat. Menurut Tridjaya (2003), pada tahun 1999 volume ekspor manggis tercatat sebanyak 4.743 ton dengan nilai US$ 3.887.816 dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 7.182 ton dengan nilai US$ 5.885.038 atau sekitar 44% dari total ekspor buah-buahan di Indonesia. Tanaman manggis di sentra produksi tidak tumbuh berkelompok secara monokultur tetapi bercampur dengan pohon-pohon lain dan umumnya sudah tua umurnya. Peremajaan belum banyak dilakukan karena lambatnya pertumbuhan dan lamanya tanaman mulai berbuah. Perbanyakan melalui biji menghadapi berbagai kendala. Tanaman manggis berasal dari biji baru dapat dipanen buahnya pertama kali setelah berumur 15-17 tahun (Sarwono 1999). Biji hanya tersedia pada musim tertentu ketika musim berbuah (1-2 kali setahun). Setiap buah hanya menghasilkan 1-2 biji yang berukuran besar dan yang layak untuk dijadikan benih. Biji manggis bersifat rekalsitran sehingga biji tidak dapat bertahan lama dan perbanyakan tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Perbanyakan tanaman manggis secara vegetatif masih belum berhasil dengan baik. Tanaman yang diperbanyak vegetatif mempunyai ukuran yang bervariasi, lemah, tumbuh sangat lambat, dan tidak mampu mempercepat waktu pembungaan (Normah et al. 1995; Cruz 2001). Perbanyakan tanaman manggis dari bibit susuan pada semai manggis dengan tanaman manggis yang sudah berbuah dapat menyebabkan tanaman berbuah pada umur enam tahun. Cara perbanyakan demikian membutuhkan banyak cabang entris. Perbanyakan melalui sambung pucuk telah dilakukan dengan keberhasilan 48% (Jawal et al. 1989). Perbanyakan manggis dengan cara in vitro diharapkan dapat menyediakan bibit manggis secara masal, seragam, dan sepanjang tahun. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa media MS ditambah BA memberikan multiplikasi tunas terbaik (Normah et al. 1992; Teo 1992). Menurut Goh et al. (1990), hasil penelitian di Singapura menunjukkan bahwa multiplikasi tunas terbaik diperoleh dari media WPM + BA 5 mg/l. Penelitian di Balai Penelitian Tanaman Buah di Solok menunjukkan bahwa penyemprotan pada sumber eksplan (tunas pucuk) dengan BA 0,5 ppm + GA3 1 ppm sebelum dikulturkan, memberikan jumlah eksplan yang tumbuh terbanyak (42%), sedangkan eksplan yang berasal dari kotiledon memberikan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan dari tunas pucuk (Triatminingsih et al. 1993). Hasil penelitian perakaran manggis telah dilaporkan oleh Goh et al. (1990), yaitu dengan penambahan IBA 20 mg/l. Penambahan NAA menghasilkan persentase eksplan yang berakar lebih rendah daripada penambahan IBA. Hasil penelitian Pertamawati (1997) menunjukkan bahwa media MS + 2iP 15 ppm + IBA 0,5 ppm memberikan persentase tertinggi bagi eksplan yang berakar, sedangkan Sinaga (1999) menyatakan bahwa persentase tertinggi diperoleh dari perlakuan MS + IBA 4 mg/l + NAA 3 mg/l. Tujuan penelitian adalah memperoleh teknik perbanyakan tanaman manggis melalui kultur in vitro dengan tingkat multiplikasi tunas dan formasi akar, serta tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi.

------------------------------------------------------------------------------------------------ARTIKEL 2 PENGARUH 2,4-D DAN KOMBINASI NAA DENGAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKECAMBAHAN KALUS TOMAT (Lycopersicon esculentum MILL) VARIETAS KEMIR The Effect of 2,4-D and NAA with Kinetin Combination on the Growth and Development of Tomato (Lycopersicon esculentum MILL) Callus of Kemir variety Ratna Nirmala ABSTRACT From the growth of callus in tissue culture, could be studied the growing process included plant growth and differentiation in detail. In this research, which was used cotyledone explant of tomato kemir variety, which was grown in Murashige and Skoog media, which was completed supplemented single auxin 2,4-D and auxin NAA with cytokinin kinetin combination. This treatment to induced callus formed and regeneration. Concentration variation of 2,4-D:0,1; 0,3; and 0,5 ppm, while concentration variation of NAA: 0,1; 0,3 and 0,5 ppm, combination with kinetin 0,3 ppm. So, in this research, we had six treatments. Each treatment was repeated ten times. Culture was incubated in the grown room by 150-fc light. All of this treatment can induce the explant to form callus and then this callus can form root, but it cannot form shoot. The speed of explant swelling and form callus of the all treatment did not show different, were five days and seven days after planting in media. Callus, which was formed because of NAA induction with kinetin combination, was heavier than single auxin 2,4-D only. And so were the quantities of the root. The heaviest callus and the highest quantities of root, which were induced 0,5 ppm NAA with 0,3 ppm kinetin treatment, were 0,869 g/callus and 12,20 roots/callus. The color of callus from all the treatment, did not show different namely greenness light yellow. PENDAHULUAN Pertumbuhan suatu tanaman meliputi tumbuh dan berkembang (diferensiasi) dari sel-sel atau jaringan. Biasanya proses tumbuh dan diferensiasi ini berjalan bersamaan selama pertumbuhan. Dengan melalui teknik kultur jaringan dapat diamati proses tersebut yang berupa pembentukkan massa sel yang belum berdiferensiasi yang disebut kalus. Bila kalus ini mengalami regenerasi maka akan terbentuk tunas dan akar, yang akhirnya terbentuk tanaman lengkap (Winata, 1992).

________________________________________ Page 2 Pada saat ini teknik tersebut sudah menjadi bidang yang sangat menarik, sehingga banyak dipakai sebagai suatu cara dalam mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh dan diferensiasi. Dengan teknik ini dapat memperbanyak tanaman secara vegetatif yang disebut mikropropagasi, terutama untuk perbanyakkan klon. Dasar teknik kultur jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai sifat totipotensi (Steward, 1968) yaitu kemampuan sel untuk tumbuh dan berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium aseptik yang mengandung unsur hara dan zat pengatur tumbuh yang sesuai. Sitokinin dan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam medium. Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973). Inokulum dapat diambil dari potongan yang berasal dari kecambah atau jaringan tanaman dewasa yang mengandung jaringan meristem (Kartha, 1975; Yoeman, 1973). Berdasarkan uraian di atas, maka diadakan penelitian pada jaringan tanaman tomat varietas kemir, dengan menggunakan medium nutrisi Murashige dan Skoog, yang dilengkapi dengan zat pengatur tumbuh auksin tunggal yaitu berupa 2,4-D dan kombinasi auksin dan sitokinin yaitu berupa NAA dan kinetin. Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari perlakuan 2,4-D, kombinasi NAA dan kinetin terhadap pembentukkan jaringan kalus tomat varietas kemir. Selain itu juga untuk mengetahui zat pengatur tumbuh yang paling efektif untuk menginduksi terjadinya regenerasi dari kalus. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman selama satu setengah bulan. Kegiatannya yaitu menanam eksplan tomat dalam medium nutrisi Murashige dan Skoog. Bahan yang dipergunakan yaitu eksplan kotiledon dari kecambah tomat varietas kemir yang berumur dua minggu. Medium nutrisi Murashige dan Skoog dibuat dari garam anorganik dan senyawa organik. Sebagai sumber karbonnya berasal dari gula sebesar 3%. Medium ini diberi bahan pemadat dari agar sebanyak 0,8%. Konsentrasi kemasaman medium diatur pada pH 5,8. Perlakuan pada penelitian ini adalah 2.4-D dan kombinasi NAA dan kinetin, masing-masing dengan tiga macam kombinasi konsentrasi. 2.4-D tiga konsentrasi yaitu 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm. Sedangkan NAA tiga konsentrasi yaitu : 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm yang dikombinasi dengan kinetin 0,3 ppm. Sehingga didapat enam perlakuan, yang masing-masing diulang sepuluh kali. Peralatan yang akan digunakan disterilkan dalam autoklaf dengan temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 60 menit. Tabung-tabung reaksi yang telah berisi medium nutrisi Murashige dan Skoog, yang telah

________________________________________ Page 3 disesuaikan dengan perlakuan, disterilkan dalam autoklaf dengan temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 30 menit. Penanaman eksplan dilaksanakan dalam Laminar Air Flow Cabinet, yang sebelumnya telah disterilkan dengan sinar ultra violet selama 30 menit. Eksplan yang digunakan yaitu kotiledon kecambah yang berumur dua minggu, yang berasal dari biji tomat yang dikecambahkan pada medium aseptik dalam tabung reaksi. Sebelumnya biji disterilkan dengan merendamnya dalam alkohol 70% selama dua menit, kemudian direndam lagi dalam clorox 20% selama 15 menit, lalu dibilas tiga kali dengan akuades steril. Eksplan ditanam pada medium yang telah disediakan, sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan, masing-masing tabung tiga eksplan. Tabung-tabung kultur yang telah ditanami eksplan kotiledon, diletakkan pada rak-rak yang telah disediakan dan disinari lampu TL 20 Watt dalam ruang inkubasi. Pengamatan pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan kalus dilakukan setiap hari. Pengamatan meliputi: kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalus eksplan, jumlah akar, jumlah tunas, berat kalus dan warna kalus. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembengkakan dan Pembentukan Kalus Kecepatan pembengkakan dan pembentukan kalus eksplan kotiledon tomat dalam kultur aseptik yang diberi berbagai konsentrasi 2,4-D dan kombinasi perlakuan NAA dan kinetin tertera pada Tabel. Tabel 1. Rata-rata kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalus eksplan kotiledon tomat, yang dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi NAA+ kinetin pada berbagai konsentrasi Dari Tabel 1, tampak bahwa semua eksplan kotiledon tomat yang dipengaruhi berbagai konsentrasi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin mampu membengkak dan berkalus, yang masing-masing perlakuan ________________________________________ Page 4 kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalusnya tidak berbeda, yaitu lima hari dan tujuh hari setelah tanam. Jumlah Akar dan Tunas Eksplan Kotiledon Untuk mengetahui terjadinya diferensiasi suatu jaringan tanaman dalam kultur aseptik dapat dilihat dari kemampuannya untuk berakar dan bertunas, salah satu kriterianya yaitu dengan menghitung jumlahnya. Mengenai keadaan ini dapat diikuti pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata jumlah akar dan tunas eksplan kotiledon tomat yang dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai konsentrasi.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah akar dari eksplan kotiledon tomat pada umur 10 hari setelah tanam, sedikit mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D. Demikian pula pada umur 20 hari setelah tanam, rata-rata jumlah akar eksplan kotiledon semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D. Pada kombinasi perlakuan NAA dan kinetin, rata-rata jumlah akar eksplan pada umur 10 hari setelah tanam, semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi kinetin 0,3 ppm. Sebaliknya daripada yang umur 20 hari setelah tanam. Menurut Skoog dalam Street (1979) untuk menginduksi akar kultur jaringan tembakau diperlukan auksin pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada sitokinin. Jadi kemungkinan jumlah akar pada umur 10 hari setelah tanam semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi NAA, mungkin disebabkan auksin ini belum aktif untuk merangsang terbentuknya akar dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan yang berumur 20 hari setelah tanam. Jumlah akar yang terbanyak diperoleh pada perlakuan 0,5 ppm NAA yang dikombinasikan dengan 0,3 ppm kinetin yaitu sebanyak 12,20 buah/kalus. Tabel 2 menunjukan bahwa dari semua perlakuan berbagai konsentrasi 2,4-D, kombinasi NAA + kinetin, tidak mampu menginduksi ________________________________________ Page 5 terbentuknya tunas pada umur 20 hari setelah tanam. Hal ini diduga bahwa pada eksplan kotiledon tomat tersebut diperlukan tambahan sitokinin eksogen dalam konsentrasi yang agak tinggi dari 0,3 ppm kinetin. Sesuai dengan pernyataan Skoog dalam Street (1979) untuk menginduksi terjadinya tunas diperlukan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin. Terlebih lagi pada perlakuan yang hanya menggunakan 2,4-D. Berat Kalus Berat kalus dari eksplan kotiledon tomat pada akhir pengamatan (20 hari setelah tanam) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat yang dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai konsentrasi Perlakuan Tampak pada Tabel 3 bahwa dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D, rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat semakin meningkat pula. Demikian pula untuk kombinasi NAA + kinetin, dengan semakin meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi 0,3 ppm kinetin, rata-rata berat kalus eksplan pun semakin meningkat pula. Berat kalus yang tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 0,5 ppm NAA dengan 0,3 ppm kinetin yaitu 0,869 g/kalus. Menurut Wareing dan Phillips (1981), auksin berperan pada pembesaran sel, sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel dalam jaringan. Lebih lanjut Skoog dan Miller dalam Toruan (1980) menyatakan bahwa keduanya diperlukan untuk meningkatkan sintesa DNA, mitosis dan

pembelahan sel secara terus menerus. Warna Kalus Warna kalus eksplan kotiledon tomat dari seluruh perlakuan, tidak menunjukkan adanya perbedaan. Warna semuanya sama, yaitu kuning muda kehijau-hijauan. PENUTUP Semua perlakuan baik 2,4-D maupun kombinasi NAA dengan kinetin pada berbagai konsentrasi, mampu menginduksi kalus dari eksplan ________________________________________ Page 6 kotiledon tomat varietas kemir, walaupun belum mampu menghasilkan diferensiasi tanaman yang sempurna karena yang diinduksi hanya akar saja. Disarankan pada penelitian lebih lanjut, untuk menginduksi terbentuknya tunas, perlu ditambahkan sitokinin eksogen dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada 0,3 ppm. DAFTAR PUSTAKA Kartha, K.K. 1977. Meristem Culture. Culture Methods. Published by the National Research Council of Canada Praire Regional Laboratory Saskhatoon Saskachewan. 39 43. Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture, Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Springer Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 207. Steward, F.C. 1968. Growth and Organisation in Plant. Addison Wesley. Published Company. 564. Street, H.E. 1979. Embyogenesis and Chemically Induced Organogenesis. Plant Cell and Tissue Culture. Principles and Application. Ohio State University Press Columbus. 123 155. Toruan, N. 1980. Diferensiasi Tanaman Kopi Melalui Kultur Jaringan. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Auksin/Kinetin dan Intensitas Cahaya. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. 48(3) : 71 74. Wareing, P.F dan I.D.J. Phillips. 1981. Growth Differentiation in Plants. 3rd Edition. Pergamun Press. 343. Winata, L.G. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Perguruan Tinggi PAK Bioteknologi IPB. Bogor. 43 101. Yoeman, M.M. 1973. Tissue (Callus) Culture Technique Plant Tissue and Cell Culture. Botanical Monographs. Blackwell Scientific Publication Oxford London. Vol. 11 : 31 58. http://72.14.235.104/search?q=cache:_qutkq6R_sAJ:www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf+ sitokinin&hl=id&amp ;amp;amp;amp;amp;amp;ct=clnk&cd=1&gl=id http://www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------ARTIKEL 3 JURNAL AgroBiogenVolume 1 Nomor 2 Oktober 2005 Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In Vitro (Mia Kosmiatin, Ali Husni, dan Ika Mariska) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 ABSTRACT In Vitro Germination and Micropropagation of Agarwood. Mia Kosmiatin, A. Husni, and I. Mariska. Agarwood (Aquilaria malaccensis Lank) is one of the forest wood that are continously exploited. Currently, the Indonesian export of agarwood is decreasing because its population is endangered by excessive logging. Agarwood propagations need technology for reproduction of agarwood seedlings and their fungal inoculum. In vitro technique for germination of recalsitrant seeds and micropropagation are technologies that can be used for propagation of agarwood seedlings. An experiment was done to develop techniques for in vitro germination and micropropagation of agarwood. The in vitro germination was done using two different techniques. Firstly, sterile seeds were germinated on an MS medium + 50 mg/l PVP, 50 mg/l GA, and 1 mg/l BA or kinetin. Secondly, sterile seeds were germinated on basal medium of MS, MS medium, MS medium without vitamins, as well as on MS medium without pyridoxine, nicotinic acid and WPM. Shoot initiations and multiplications were done on MS and MS media containing 1, 3, or 5 mg/l BA. The explants used were cotyledone nodes, terminal shoots, single node with leaf, and sinle node without leaf. The results showed that the seed germination rate on the different media ranged from 7,14 to 50%. The seed germination rate on the MS medium without vitamis was the highest. The best explants for shoot induction and multiplication was single node with leaf which was cultured on MS + 1 mg/l BA. Keywords: Aquilaria malaccensis Lank, in vitro germination, micropropagation. Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu, agarwood, aloeswood, dan oudh. Selain untuk keperluan agama, gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al. 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez 1998). Dengan nilai komersial yang demikian tinggi volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun 1997; Ng et al. 1997). Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 sebanyak 165 t dengan nilai US$ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 t dengan nilai US$ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 t dengan nilai US$ 600.000 karena gaharu sulit didapat. Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi 1997; Peters 1996) sehingga populasi tanaman ini di Indonesia hampir punah (Oldfield et al. 1998). Sejak tahun 1994 CITES menetapkan tanaman penghasil gaharu jenis A. malaccacensis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah.Kepunahan tanaman gaharu selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya

teknologi budi daya yang efisien. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit yang terbatas. Selain itu, diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik (Isnaini dan Situmorang 2005).Bibit gaharu diperbanyak secara konvensional baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah. Teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perbanyakan juga konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh 2004).Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu, teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih murah.Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan, jenis media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier 1990; Liz dan Levicth 1997).Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan proliferasi tunas dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales 1994). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang dapat mengantisipasi aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media serta eksplan yang sesuai untuk induksi dan multiplikasi tunas. http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no2_2005_62-67.php

ARTIKEL 4

Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi melalui Kultur In Vitro(Ragapadmi Purnamaningsih) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 ABSTRACT Callus Induction and Plant Regeneration of Four Rice Varieties through In Vitro Culture. Ragapadmi Purnamaningsih. A study was conducted at the Tissue Culture Laboratory of ICABIOGRAD, Bogor, to obtain an optimum medium formulation for calli regenerations of for

rice varities (Ciherang, Cisadane, IR64, and T-309). The research activities were done in five steps, i.e., callus induction, callus regeneration, shoot multiplication, root formation, and plant acclimatization. The type of explants used in the study was embriozygotic explants. Five media formulations were used for the callus induction, while four media formulations were used for the callus regeneration. The results showed that the best medium formulation for induction of callus formation was MS + 2,4-D 2 mg/l + casein hidrolisat 3 mg/l, while the best medium formulation for callus regeneration was MS + BA 3 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l.Keywords: Rice, callus induction, callus regeration, in vitro culture. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena sampai saat ini beras masih digunakan sebagai makanan pokok bagi sebagian penduduk dunia terutama Asia. Selain itu, di Indonesia beras masih dipandang sebagai produk kunci bagi kestabilan perekonomian dan politik.Indonesia saat ini menghadapi masalah pangan akibat peningkatan jumlah penduduk yang diikuti oleh banyaknya sawah subur beririgasi di Pulau Jawa yang beralih fungsi menjadi kawasan industri dan pemukiman. Selain itu, pengaruh bencana alam berupa kemarau panjang atau banjir yang terjadi hampir setiap tahun menyebabkan produksi beras menurun, sehingga untuk memenuhi keperluan nasional, pemerintah harus mengimpor beras. Krisis perekonomian yang terjadi akhir-akhir ini berdampak terhadap melemahnya daya beli petani terhadap sarana produksi yang harganya melambung tinggi, terutama pupuk dan pestisida. Hal tersebut menyebabkan makin meningkatnya serangan hama dan penyakit yang menyebabkan makin menurunnya produksi padi.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah melalui penerapan teknik transformasi gen yang menyandi sifat tertentu, antara lain sifat ketahanan terhadap penyakit/hama tertentu ataupun gen untuk ketahanan terhadap faktor abiotik, antara lain kekeringan. Dengan meningkatnya ketahanan terhadap faktor biotik atau abiotik diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi. Untuk menghasilkan tanaman transgenik ada beberapa faktor yang berperan, yaitu metode yang efisien dalam mengklon gen, ketersediaan konstruksi gen-gen baru, teknik transformasi, sistem regenerasi tanaman dan sistem vektor yang efisien serta promotor yang spesifik (Aswidinnoor 1995). Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, maka akan sulit diperoleh tanaman transgenik yang diinginkan. Metode transformasi yang digunakan harus dapat memasukkan gen interest ke dalam sel tanaman yang kompeten untuk diregenerasikan, sehingga sel tersebut dapat tumbuh dan berkembang membentuk planlet/tanaman transgenik yang diharapkan. Regenerasi tanaman dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu organogenesis (melalui pembentukan organ langsung dari eksplan) dan embriogenesis somatik (melalui pembentukan embrio somatik). Dibandingkan dengan embriogenesis, organogenesis mempunyai keunggulan, yaitu peluang terjadinya mutasi lebih kecil, metodenya lebih mudah dan tidak memerlukan subkultur berulang sehingga tidak menurunkan daya regenerasi dari kalus. Namun demikian, untuk keperluan transformasi genetik, cara embriogenesis lebih dianjurkan karena tanaman yang diperoleh berasal dari satu sel somatik sehingga peluang diperolehnya transforman lebih tinggi. Embrio somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase globular, hati, torpedo dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan membentuk planlet.Hasil-hasil penelitian tentang metode induksi kalus dan regenerasi padi subspesies japonica dan javanica telah banyak dilakukan, akan tetapi untuk padi indica masih sedikit informasi yang diperoleh. Dari informasi yang ada ternyata persentase keberhasilan regenerasinya masih rendah dan biasanya belum reproducible (tidak dapat diulang). Selain itu, regenerasi tanaman melalui kultur in vitro bersifat spesifik artinya media yang dapat digunakan untuk meregenerasikan varietas padi tertentu belum tentu dapat digunakan untuk varietas

lainnya. Alam et al. (1998) meng-gunakan media regenerasi MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1 mg/l untuk regenerasi padi indica kultivar Vaidehi. Hasil penelitian Maftuchah (2003) menunjukkan bahwa media induksi kalus terbaik untuk padi Cisadane adalah MS + 2,4-D 2,5 mg/l, sedangkan media regenerasi terbaik adalah MS + BA 0,5 mg/l + IAA 0,7 mg/l dengan ratarata jumlah tunas yang dihasilkan 2 tunas/ 56 hari. Selanjutnya Purnamaningsih (2003) telah menggunakan media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk regenerasi padi Rojolele (javanica). Setelah dicoba formulasi media tersebut ternyata persentase regenerasi yang diperoleh sangat kecil. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka pada penelitian ini dicoba modifikasi formulasi media tumbuh dengan penggunaan zat pengatur tumbuh dengan aktivitas yang kuat serta dengan memodifikasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan.Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode dan formulasi media yang tepat untuk menginduksi pembentukan kalus serta regenerasi dan perakaran pada beberapa varietas padi indica. http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol2_no2_2006_74-80.php

APLIKASI BIOTEKNOLOGI KULTUR JARINGANKultur jaringan adalah suatu metode penanaman protoplas, sel, jaringan, dan organ pada media buatan dalam kondisi aseptik sehingga dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Salah satu aplikasi kultur jaringan yang telah dikenal secara meluas dan telah banyak diusahakan untuk tujuan komersial adalah perbanyakan tanaman. Perbanyakan melalui kultur jaringan yang banyak diusahakan secara komersial pada saat ini terutama di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan Eropa. Berdasarkan hasil percobaan Morel pada tahun 1960 pada tanaman anggrek Cymbidium, dalam waktu singkat dari bahan tanaman yang sangat terbatas menghasilkan tanaman baru yang sangat banyak. Hasil penelitian tersebut telah merangsang para peneliti untuk menerapkannya pada tanaman lain. Beberapa kelebihan dapat diambil dari aplikasi kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan bibit unggul, di antaranya: 1. Faktor perbanyakan yang sangat tinggi (terutama pada tanaman herba). 2. Dapat dihasilkan setiap waktu tergantung kebutuhan/permintaan. 3. Dapat dihasilkan bibit yang bebas penyakit, sehingga memudahkan apabila dilakukan pertukaran antar negara. 4. Bahan tanaman yang diperlukan dari pohon induk jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional. 5. Tempat yang digunakan relatif lebih kecil untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. 6. Apabila eksplan (bahan tanaman yang ditanam secara kultur jaringan) sudah berhasil dibiakkan dalam botol maka untuk selanjutnya bibit dapat diproduksi secara besar-besaran. Namun beberapa kendala teknik yang ditemukan, antara lain: 1. Adanya mutasi pada bibit yang dihasilkan sehingga tidak sama dengan pohon induknya. Mutasi dapat disebabkan metode perbanyakan, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan, penggunaan kumpulan sel somatik yang memang berbeda secara genetis pada tanaman induknya, frekuensi pemindahan biakan pada media baru, dan tipe jaringan yang digunakan. 2. Keberhasilan induksi perakaran dari tunas yang telah dibentuk secara in vitro sedikit. 5

3. Aklimatisasi (adaptasi tanaman hasil kultur jaringan pada lingkungan yang baru di luar botol kultur) sering gagal. 4. Kapasitas regenerasi turun terutama apabila sering dilakukan subkultur. 5. Sterilisasi bahan tanaman dan kontaminasi pada biakan karena lingkungan yang kurang memadai. 6. Diperlukan tenaga kerja yang intensif, terdidik serta mempunyai keterampilan khusus. Walaupun demikian, dari beberapa hasil penelitian masalah tersebut satu per satu dapat dipecahkan, di antaranya pada sebagian tanaman kehutanan. Pierik (1987) menyatakan bahwa perbanyakan melalui kultur jaringan dikatakan berhasil apabila memenuhi beberapa kriteria, yaitu 1. Tidak merubah sifat genetik tanaman induk apabila dilakukan perbanyakan secara klonal. 2. Seleksi yang kuat pada bahan tanaman yang bebas penyakit. 3. Pemindahan tanaman/bibit hasil kultur jaringan ke dalam tanah tidak sukar. 4. Teknik perbanyakannya tidak terlalu rumit. 5. Kemampuan regenerasi tidak menurun. 6. Ekonomis. Ditinjau dari segi ekonomi, perlu perencanaan yang matang mengingat modal awal yang dibutuhkan cukup besar, sehingga hal-hal yang perlu dilakukan adalah: 1. Inventarisasi secara cermat akan permintaan dalam negeri maupun ekspor atas komoditas yang ingin diperbanyak. 2. Kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang dapat membantu meningkatkan kemampuan produksi bahan tanaman dan menemukan metode perbanyakan yang efisien. 3. Pemilihan lokasi laboratorium yang tepat dapat pula menurunkan biaya produksi. Pierik (1987) menyatakan bahwa dalam upaya perbanyakan melalui kultur jaringan untuk tujuan komersial maka jumlah bibit yang dihasilkan harus dalam jumlah banyak. Produksi bibit dalam jumlah terbatas menyebabkan biaya produksi tinggi karena teknik kultur jaringan memerlukan suatu laboratorium dengan segala perlengkapannya yang membutuhkan biaya tinggi. Dengan demikian, metode perbanyakan yang digunakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan baik ditinjau dari segi biaya, kestabilan genetik, dan faktor multiplikasi yang tinggi. 6 Metode perbanyakan cepat kultur jaringan dapat dilakukan melalui: 1. Perangsangan tunas lateral untuk membentuk tunas ganda dalam jumlah yang melebihi pertumbuhan normal. Bahan tanaman yang digunakan umumnya berupa batang yang mempunyai 1 buku. Cara ini lebih mudah dan aman dalam mempertahankan sifat pohon induknya. 2. Inisiasi tunas adventif langsung dari eksplan atau melalui kalus. 3. Embrio somatik. Cara kedua dan ketiga banyak dilaporkan menyebabkan ketidakstabilan pada turunannya karena pembentukan melalui fase kalus. Tetapi di masa mendatang, cara embrio somatik banyak mendapat perhatian para pakar karena mempunyai segi analitis dan komersialisasi yang sangat potensial (Watimena, 1988).

PROSES PRODUKSI BIBITProduksi bibit melalui kultur jaringan pada dasarnya meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan di laboratorium dan lapang. Di antara kedua kegiatan tersebut, sebagian besar merupakan kegiatan laboratorium (Gambar 1 dan 2). Pekerjaan pokok di laboratorium adalah persiapan media, persiapan

eksplan, sterilisasi eksplan, penumbuhan eksplan, multiplikasi, dan perakaran, sedangkan kegiatan di luar laboratorium adalah aklimatisasi bibit sebelum ditanam pada area produksi. Persiapan Media Media kultur adalah media steril yang digunakan untuk menumbuhkan sumber bahan tanaman menjadi bibit. Media kultur terdiri dari garam anorganik, sumber energi (karbon), vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Selain itu, dapat pula ditambahkan komponen lain seperti senyawa organik dan senyawa kompleks lainnya. Komposisi media yang umum digunakan untuk perbanyakan tanaman adalah media Murashige-Skoog (MS) dan Gamborg s (B5) (Tabel 1). Untuk memudahkan pembuatan media, biasanya komponen tersebut dibuat dalam larutan stok. Stok larutan dari unsur-unsur makro dan mikro biasanya dibuat dalam konsentrasi 100 kali, vitamin, dan zat pengatur tumbuh dibuat dalam 1000 kali. Semua larutan stok sebaiknya disimpan dalam refrigerator (suhu 10C). 7Gambar 1. Diagram alir produksi bibit abaka melalui kultur jaringan Gambar 2. Tahap-tahap perbanyakan tanaman abaka secara in vitro Subkultur dilakukan berulang sampai tercapai jumlah tunas bakal planlet sesuai dengan yang diinginkan Pohon induk unggul untuk sumber bahan tanaman (eksplan) - Sterilisasi eksplan mata tunas - Penanaman eksplan pada media pertunasan MS + BA (3-5 mg/l) atau MS + BA (3-5 mg/l) + thidiazuron (0,3-0,6 mg/l) Apabila eksplan sulit mengganda Subkultur tunas pada media multiplikasi (pertunasan) Subkultur tunas pada media perakaran (pembentukan planlet) MS (1,1/2) + NAA (0,5-2 mg/l) Aklimatisasi di rumah kaca/pesemaian Pertanaman di lapang skala luas aklimatisasi bonggol mata tunas = eksplan Sterilisasi dengan alkohol (70%), NaOCl (5-15%), HgCl (0,2-3%) Penggandaan tunas pada media MS + BA + thidiazuron Subkultur berulang Perakaran MS (1, ) + NAA (0,5-2mg/l) Penanaman pada media pertunasan MS + BA (3-5 mg/l) + thidiazuron (0,3-0,6 mg/l)

8 Pada saat pembuatan media, masing-masing larutan stok diambil sesuai konsentrasinya, dimasukkan dalam gelas ukur, kemudian ditambahkan gula dan agar. Selanjutnya diukur dan diatur pH media sesuai yang dianjurkan. Setelah itu, dimasak sambil diaduk. Sesudah masak, media dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 10-20 ml/botol dan ditutup dengan aluminium foil atau kapas. Setelah itu, disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121C selama 15-20 menit.Tabel 1. Komposisi media tumbuh Murashige-Skoog (MS) dan Gamborg s (B5) Komponen MS (mg/l) B5 (mg/l) Unsur Makro KNO3 NH4NO3 CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O

KH2PO4 (NH4)2SO4 NaH2PO4.H2O 1900 1650 440 370 170 2500 150 250 134 150 Unsur Mikro KI H3BO3 MnSO4.4H2O MnSO4.H2O ZnSO 4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O Fe-Versenate (EDTA) 0,83 6,2 22,3 8,6 0,25 0,025 0,025 43,0 0,75 3,0 10 2,0 0,25 0,025 0,025 43,0 Vitamin Inositol Nicotinic acid Pyridoxine.HCl Thiamine.HCl 100 0,5 0,5 0,1 100 1,0 1,0 10,0 Zat Pengatur Tumbuh BAP, thidiazuron NAA (3-5); (0,3-0,6) (0,5-2) Sukrosa atau Gula Agar Swallow pH 30000 8000 5,7 20000 8000

5,7 Sumber: George dan Sherrington (1984)

9 Persiapan Eksplan Eksplan adalah bagian tanaman yang akan dikulturkan. Eksplan dapat berasal dari meristem, tunas, batang, anter, daun, embrio, hipokotil, biji, rhizome, bulbil, akar atau bagian-bagian lain. Ukuran eksplan yang digunakan bervariasi dari ukuran mikroskopik (0,1 mm) sampai 5 cm. Untuk tanaman abaka dapat digunakan mata tunas yang berasal dari bonggol tanaman. Selanjutnya eksplan disterilkan. Sterilisasi eksplan merupakan bagian yang paling sulit dalam proses produksi bibit melalui kultur jaringan. Sterilisasi biasanya dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama-tama eksplan dicuci dengan deterjen atau bahan pencuci lain, selanjutnya direndam dalam bahan-bahan sterilan baik yang bersifat sistemik atau desinfektan. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk sterilisasi antara lain clorox, kaporit atau sublimat. Sebagai contoh, sterilisasi eksplan tanaman abaka dilakukan sebagai berikut: tunas yang akan digunakan sebagai eksplan dicuci dengan deterjen sampai betul-betul bersih. Setelah itu, tunas diambil dari rimpang dan direndam berturut-turut dalam benlate (0,5%) selama 5 menit, alkohol (70%) selama 5 menit, clorox (20%) selama 20 menit, dan HgCl2 (0,2%) selama 5 menit. Akhirnya eksplan dibilas dengan aquades steril (3-5 kali) sampai larutan bahan kimia hilang. Dengan perlakuan tersebut, 80-90% eksplan yang disterilkan tidak terkontaminasi setelah dikulturkan. Apabila kontaminan tetap ada maka konsentrasi dan lamanya perendaman sterilan dapat ditingkatkan. Bahan yang digunakan serta metode sterilisasi biasanya berbeda untuk setiap bahan tanaman, sehingga bahan dan cara tersebut belum tentu berhasil apabila diaplikasikan pada bahan yang berbeda serta waktu yang berlainan. Dengan demikian, setiap mengawali pekerjaan kultur jaringan, cara sterilisasi eksplan harus dicoba beberapa kali. Multiplikasi Setelah disterilkan eksplan ditumbuhkan dalam media kultur. Media yang banyak digunakan sampai saat ini adalah media MS. Untuk mengarahkan biakan pada organogenesis yang diinginkan, ke dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh. Media multiplikasi untuk beberapa macam tanaman berbeda tergantung jenis tanaman. 10 Untuk tanaman abaka umumnya digunakan benzil adenin (BA) dengan konsentrasi antara 3-5 mg/l. Apabila eksplan dalam periode yang lama (1-2 bulan) belum bermultiplikasi (mengganda) karena faktor dormansi yang kuat maka ke dalam media sebaiknya diberikan juga zat pengatur tumbuh thidiazuron 0,3-0,6 mg/l. Kemampuan multiplikasi akan meningkat apabila biakan disubkultur berulang kali. Perlu diperhatikan, walaupun subkultur dapat meningkatkan faktor multiplikasi dapat juga meningkatkan terjadinya mutasi. Untuk itu, biakan perlu diistirahatkan pada media MS0, yaitu tanpa zat pengatur tumbuh atau kembali menggunakan mata tunas dari pertanaman di lapang. Banyaknya bibit yang dihasilkan oleh suatu laboratorium tergantung kemampuan multiplikasi tunas pada setiap periode tertentu. Semakin tinggi kemampuan kelipatan tunasnya maka semakin banyak dan semakin cepat bibit dapat dihasilkan. Perakaran Proses selanjutnya dalam produksi bibit melalui kultur jaringan adalah pengakaran. Dalam fase ini biasanya tunas ditanam dalam media yang mengandung zat pengatur tumbuh (IAA, IBA atau NAA). Pada tanaman

tertentu misalnya abaka, media yang digunakan, yaitu MS (1, ) ditambah NAA (0,5-2 mg/l). Media MS , yaitu pengenceran garam makro sampai -nya dari formulasi media dasar. Perakaran umumnya dilakukan pada tahap akhir dalam suatu periode perbanyakan kultur jaringan. Apabila jumlah tunas in vitro sudah tersediaGambar 3. Penggandaan tunas abaka pada media multiplikasi

11 sesuai dengan jumlah bibit yang akan diproduksi, pada tahap berikutnya tunas disubkultur pada media untuk perakaran. Aklimatisasi Planlet yang dipelihara dalam keadaan steril dalam li