Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

207
KEBIJAKAN PUBLIK C I AN J U R U N I V E R S I T A S SU R Y A K A N C A N A F A K U L T A S K E G U R U A ND A N IL M U P E N D ID I K A N BAHAN AJAR Ikhtisar/Butir-butir Bahan Diskusi untuk Mahasiswa Strata Satu Pada Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur Dihimpun Oleh : Drs. DJUNAEDI SAJIDIMAN, MM, M.Pd. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR -2015-

description

BAHAN AJAR KEBIJAKAN PUBLIK (Naskah)

Transcript of Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

Page 1: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

KEBIJAKAN PUBLIK

CIANJUR

UN

IVE

RS

ITAS SURYAK

AN

CA

NAF

AK

ULTA

SK

EGURUAN DAN ILMU

PEN

DID

IKA

N

BAHAN AJAR

Ikhtisar/Butir-butir Bahan Diskusi untuk Mahasiswa Strata Satu Pada Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Cianjur

Dihimpun Oleh :

Drs. DJUNAEDI SAJIDIMAN, MM, M.Pd.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR -2015-

Page 2: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

KATA PENGANTAR

Sesuai dengan tugas sebagai Asisten Dosen untuk memfasilitasi/mengampu mata

kuliah baru “Kebijakan Publik” yang diberlakukan pada program studi Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Suryakancana Cianjur mulai tahun ajaran 2015-2016, atas petunjuk dan

izin Bapak Prof. Dr. H. Endang Danial Ar., M.Pd., M.Si. selaku Ketua Prodi sekaligus

Guru Besar mata kuliah bersangkutan, penulis mencoba menyusun diktat berupa

ikhtisar atau butir-butir bahan diskusi untuk memudahkan para mahasiswa strata satu

dalam proses pembelajaran.

Bahan diktat diambil dari berbagai buku teks/sumber dan bahan pendukung

lainnya termasuk pengalaman penulis sebelumnya selaku Widyaiswara dan Birokrat di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Namun harus diakui bahwa diktat ini

belum sempurna, di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan/kelemahan, yang

Insya Alloh secara bertahap sesuai dengan berjalannya proses pembelajaran, akan

diperbaiki/direvisi, sambil menimba saran masukan dari rekan-rekan sejawat.

Guna pengayaan dan pendalaman materi, para mahasiswa dianjurkan untuk

mempelajari mata kuliah dimaksud lebih lanjut dari buku-buku yang penulis

pergunakan yang dicantumkan juga dalam daftar kepustakaan, selain tentu saja dari

berbagai media (cetak/elektronik) termasuk internet berkenaan dengan materi yang

relevan.

Semoga kiranya bermanfaat.

Cianjur, Medio Oktober 2015.

Penyusun

i

Page 3: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………………….. i DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………… ii BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………………………. 1 BAB II. PENGERTIAN, PRINSIP, DAN FUNGSI ADMINISTRASI PUBLIK ……… 1

A. PENGERTIAN-PENGERTIAN ………………..……………………………………………… 1

B. PRINSIP-PRINSIP ADMINISTRASI PUBLIK ……………………………………………. 9

C. FUNGSI-FUNGSI ADMINISTRASI PUBLIK ……………………………………………. 10

BAB III. KONSEP ADMINISTRASI PUBLIK …………………………………………………. 13

A. PERUBAHAN PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA KE ADMINISTRASI PUBLIK ………………………………………………………………………………………………. 13

B. ADMINISTRASI PEMBANGUNAN ………………………………………………………. 18

C. BIROKRASI PUBLIK …………………………………………………………………………….. 22

D. KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………………………….. 25

E. PELAYANAN PUBLIK …………………………………………………………………………… 27

F. MANAJEMEN KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………. 28

G. RUANG LINGKUP ADMINISTRASI PUBLIK …………………………………………… 32

BAB IV. KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………………….. 36

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………… 36

B. TUJUAN KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………………… 40

C. JENIS-JENIS KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………… 41

D. TINGKAT-TINGKAT KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………… 43

E. BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………… 45

F. CIRI-CIRI KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………………… 49

BAB V. SISTEM, PROSES, DAN SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK ……………………….. 51

A. SISTEM KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………………. 51

B. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………………. 53

C. SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………………………… 54

ii

Page 4: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

BAB VI. KONTEKS MAKRO DAN ARTI PENTING KEBIJAKAN PUBLIK ………….. 56

A. NEGARA DAN KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………………….. 56

B. AKTOR KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………………….. 59

C. LINGKUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………………….. 62

BAB VII. PERAN INFORMASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK ……… 73

A. PENGERTIAN INFORMASI ……………………………………………………………………. 73

B. PENTINGNYA INFORMASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN ………………. 74

BAB VIII. AGENDA SETTING ………………………………………………………………………… 77

A. ISU-ISU KONSEPTUAL ………………………………………………………………………….. 77

B. PROSES AGENDA SETTING ………………………………………………………………….. 77

BAB IX. PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………… 83

A. HAKIKAT KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………………………….. 83

B. ISU-ISU KONSEPTUAL ………………………………………………………………………….. 85

C. PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………. 87

D. TAHAP-TAHAP PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………. 93

BAB X. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK …………………………………………………… 96

A. KONSEP IMPLEMENTASI ………………………………………………………………………. 96

B. MODEL PROSES IMPLEMENTASI ………………………………………………………….. 101

C. TEKNIK/METODE IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK …………………………. 110

D. PELAKSANA (IMPLEMENTOR) KEBIJAKAN ……………………………………………. 119

E. HAMBATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DAN UPAYA PENANG- GULANGANNYA …………………………………………………………………………………… 123

BAB XI. MONITORING DAN EVALUASI ……………………………………………………… 126

A. MONITORING KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………………….. 126

B. EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………………………… 127

C. METODE DAN PENDEKATAN EVALUASI KINERJA ………………………………… 133

D. TEKNIK-TEKNIK PENGUKURAN DALAM EVALUASI KINERJA ………………… 135

BAB XII. ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………. 144

A. DIMENSI-DIMENSI KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………………………….. 144

B. PENGERTIAN DAN TUJUAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK …………………… 144

iii

Page 5: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

C. FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS YANG BERPENGARUH DALAM PERUMUS- AN KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………………………… 146

D. ASPEK-ASPEK DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………. 147

E. VARIASI KEGIATAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………….. 148

F. MODEL DAN PENDEKATAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK …………………… 150

BAB XIII. KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG PENDIDIKAN ……………………………….. 165

A. MAKNA KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG PENDIDIKAN …………………………. 165

B. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH .. 168

C. POLITIK DEMOKRATIK DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN …………………….. 173

D. KEBIJAKAN PENDIDIKAN ……………………………………………………………………… 176

DAFTAR KEPUSTAKAAN ……………………………………………………………………………… 198

iv

Page 6: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Perkembangan terakhir mengenai administrasi negara seperti terlihat dalam

paradigma-paradigma administrasi negara, menurut Mustopadijaya AR (1992:3),

adalah berakhirnya dikotomi (pemisahan) antara politik (perumusan dan pem-

buatan kebijakan) dengan administrasi negara (pelaksanaan/implementasi kebijak-

an). Fungsi administrasi negara pada saat ini tidak terbatas secara tradisional dalam

pelaksanaan atau implementasi kebijakan, tetapi juga dalam perumusan dan

pembuatan kebijakan. Lebih dari itu, sistem administrasi negara juga mempunyai

peranan dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan/implementasi dan hasil-

hasilnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam membicarakan kebijakan, tidak

ada pemisahan secara tegas dengan administrasi, yang di dalamnya tercakup

organisasi dan manajemen. Begitu pula halnya dengan organisasi yang bernama

negara, dengan administrasi dan manajemennya, yang istilah populer sekarang

dikenal dengan administrasi dan manajemen publik. Demikianlah, maka dalam

mempelajari kebijakan publik perlu juga diketahui terlebih dulu administrasi publik.

B. Deskripsi Singkat. Mata kuliah ini membahas pengertian administrasi dan manajemen publik, serta

konsep pokok kebijakan publik yang mencakup tujuan, jenis-jenis, tingkat-tingkat,

proses, aktor, sistem, siklus, bentuk, ciri-ciri, dan agenda setting, perumusan, imple-

mentasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik, serta analisis kebijakan publik,

dan peranan informasi dalam membuat kebijakan publik, ditambah kebijakan publik

di bidang pendidikan.

C. Standar Kompetensi. Mahasiswa menguasai pengetahuan tentang pengertian administrasi dan manaje-

Page 7: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

2

men publik, konsep pokok kebijakan publik yang meliputi pengertian, tujuan, jenis,

tingkat-tingkat, proses, sistem, siklus, bentuk, ciri-ciri, dan agenda setting, perumus-

an, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik, serta analisis kebijak-

an kebijakan publik, serta peran informasi dalam pembuatan kebijakan publik.

D. Kompetensi Dasar. Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan :

1. Pengertian Administrasi dan Manajemen Publik, serta Kebijakan Publik.

2. Pengertian, Jenis dan Tingkat-tingkat Kebijakan Publik.

3. Tujuan, Bentuk, dan Ciri-ciri Kebijakan Publik.

4. Sistem, Proses, dan Siklus Kebijakan Publik.

5. Peran Infornasi dalam Pembuatan Kebijakan Publik.

6. Agenda Setting dalam Kebijakan Publik.

7. Perumusan, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik

8. Analisis Kebijakan Publik.

9. Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan.

Page 8: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

3

BAB II PENGERTIAN, PRINSIP, DAN FUNGSI

ADMINISTRASI PUBLIK

A. PENGERTIAN

1. Administrasi.

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa di antaranya :

a. The Liang Gie (1978:9) :

Administrasi adalah “segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha

kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

b. S. Prajudi Atmosudirdjo (1979:21) :

“Ilmu administrasi adalah cabang atau kesatuan atau disiplin ilmu sosial yang

secara khas mempelajari ‘administrasi’ sebagai salah satu fenomenon ma-

syarakat modern. Administrasi adalah sesuatu yang terdapat di dalam se-

suatu organisasi modern dan yang memberi hayat kepada organisasi tersebut,

sehingga organisasi itu dapat berkembang, tumbuh dan bergerak”.

c. Sondang P. Siagian (1996:3) :

Administrasi adalah “proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih

berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang telah

ditentukan sebelumnya”.

d. Luther Gullick (1937):

“Administration has to do with getting things done with the accomplishment

of defined objectives”. (Administrasi berkaitan dengan pelaksanaan suatu

pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan).

e. John M. Pfiffner :

“Administration may be defined as the organization and direction of human

and material resourches to achieve desired ends”. (Administrasi dapat

didefinisikan sebagai pengorganisasian dan pengarahan sumber-sumber yang

berupa manusia/tenaga kerja dan material untuk mencapai tujuan akhir yang

diinginkan).

Page 9: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

4

f. William H. Newman :

“Administration is guidance, leadership and control of the effort of a group of

individuals toward some common goals”. (Administrasi adalah pemberian

pedoman, kepemimpinan dan pengendalian kegiatan-kegiatan sekelompok

orang untuk mencapai tujuan bersama).

Dari definisi para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada

prinsipnya administrasi mempunyai pengertian yang sama, yaitu adanya :

a. Kegiatan;

b. Proses kerjasama;

c. Sekelompok manusia (lebih dari dua orang);

d. Pembagian tugas;

e. Tujuan yang ingin dicapai.

2. Unsur-unsur Administrasi.

Unsur-unsur administrasi meliputi :

a. Organisasi, yang merupakan rangka, struktur atau wadah di mana usaha

kerjasama dilakukan;

b. Manajemen, sebagai suatu proses yang menggerakkan kegiatan dalam

administrasi sehingga tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai;

c. Kepegawaian, merupakan segi yang berkaitan dengan sumber tenaga kerja

yang harus ada pada setiap usaha kerjasama. Dari sini kemudian muncul

administrasi kepegawaian;

d. Keuangan atau modal, yang merupakan segi pembiayaan dalam setiap usaha

kerjasama. Dari sini kemudian muncul administrasi keuangan;

e. Perlengkapan, yang berkaitan denganm kebutuhan material/kebendaan dan

kerumahtanggaan yang harus ada dalam setiap usaha kerjasama. Dari sini

kemudian muncul administrasi perlengkapan (supply administration) yang

mencakup pembelian, klasifikasi, dan standarisasi alat-alat, dll.

f. Pekerjaan Kantor atau Tata Usaha, yaitu rangkaian kegiatan mengumpulkan,

mencatat, menggandakan, mengirim, dan menyimpan data/informasi. Ada

yang sifatnya office work, ada yang paper work atau clerical work. Dari sini

kemudian muncul administrasi perkantoran;

Page 10: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

5

g. Tata Hubungan/Komunikasi, yang merupakan urat nadi sehingga memung-

kinkan orang-orang dalam usaha kerjasama itu mengetahui apa yang terjadi

atau diinginkan oleh masing-masing. Tanpa hubungan atau komunikasi yang

baik, tak mungkin proses kerjasama dapat terlaksana dengan baik. Penge-

tahuan tentang tata hubungan ini misalnya teknik pelaporan, metode rapat,

koordinasi, dll.

h. Hubungan Masyarakat (Public Relations), yang mengkaji hal-hal yang ber-

kaitan dengan hubungan antara organisasi dengan pihak luar (individu,

lembaga, dll.).

3. Publik.

Istilah publik berasal dari bahasa Inggris “public” yang berarti umum, masya-

rakat, atau negara. Tentang pengertian publik, Inu Kencana Syafiie, dkk. (1999)

memberikan pengertian, “sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan

berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasar-

kan nilai-nilai norma yang mereka miliki”. Karena itu publik tidak langsung

diartikan sebagai penduduk, masyarakat, warga negara, atau pun rakyat. Untuk

jelasnya berikut dikemukakan :

a. Penduduk : Orang-orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara. Di

Indonesia terdiri dari WNI (Warga Negara Indonesia), dan WNA (Warga

Negara Asing), serta terdapat juga yang nonpenduduk, yatu orang-orang yang

tinggal di Indonesia untuk sementara, misalnya turis asing;

b. Masyarakat : Kelompok individu atau komunitas, disebut juga masyarakat

umum;

c. Warga Negara : Penduduk yang secara resmi menjadi anggota/warga suatu

negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu;

d. Rakyat : Merupakan konsep politis, menunjuk pada orang-orang yang berada

di bawah satu pemerintahan, dan tunduk pada pemerintahah itu. Istilah

rakyat ini umumnya dilawankan (vis-a-vis) dengan istilah penguasa/

pemerintah.

Berkaitan dengan terjemahan publik dalam bahasa Inggris sebagai umum,

Page 11: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

6

masyarakat, dan negara yang berganti-ganti, dapat disimak contoh berikut

ini :

a. Public offering (penawaran umum);

b. Public ownership (milik umum);

c. Public service corporation (perseroan jasa umum);

d. Public switched network (jaringan telepon umum);

e. Public utility (perusahaan umum), dll.

f. Public relations (hubungan masyarakat);

g. Public service (palayanan masyarakat);

h. Public opinion (pendapat masyarakat);

i. Public interest (kepentingan masyarakat);

j. Public authority (otoritas negara);

k. Public building (gedung negara);

l. Public finance (keuangan negara);

m. Public revenue (penerimaan negara);

n. Public sector (sektor negara), dll.

Jadi, publik dalam kaitan dengan administrasi publik, dari istilah bahasa

Inggris “Public Administration”, kecenderungannya diterjemahkan sebagai admi-

nistrasi negara. Maka penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pemba-

ngunan, dan pembinaan kemasyarakatan akan bersifat serba negara. Jika

permasalahan sudah mengatasnamakan negara, maka sulit dibantah, dan satu-

satunya yang dilegitimasi untuk “memaksa” hanyalah negara.

4. Negara.

Pengertian umum negara adalah :

a. Organisasi kekuasaan suatu bangsa;

b. Suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi

yang sah dan ditaati oleh rakyatnya;

c. Suatu organisasi kekuasaan dari manusia (masyarakat) dan merupakan alat

yang akan digunakan untuk mencapai tujuan bersama;

d. Merupakan kesatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional un-

Page 12: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

7

tuk mewujudkan kepentingan bersama.

Adapun pengertian negara yang diberikan oleh para ahli, di antaranya :

a. J.H.A. Logemann :

“Keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan

masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi”.

b. George Jellinek :

“Negara ialah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah

berkediaman di wilayah tertentu”.

c. G.W.F. Hegel :

“Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari

kemerdekaan universal”.

d. Krannenburg :

“Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu

golongan atau bangsanya sendiri”.

e. Roger F. Soltau :

“Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur

atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat”.

f. R. Djokosoetono :

“Negara ialah suatu organisasi atau kumpulan manusia yang berada di bawah

suatu pemerintahan yang sama”.

g. R. Soenarko :

“Negara ialah suatu organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu,

di mana kekuasaan negara berlaku ‘souvereign’ (kedaulatan)”.

h. A.G. Pringgodigdo :

“Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan

yang harus memenuhi persyarakat tertentu, yaitu harus ada pemerintah yang

berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup dengan teratur sehingga

merupakan suatu bangsa”.

5. Administrasi Publik.

Nigro & Nigro (1992) memberikan definisi tentang “Administrasi Publik” sebagai

Page 13: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

8

berikut :

a. Suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan negara;

b. Meliputi tiga cabang kekuasaan : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, serta

hubungan di antara mereka;

c. Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan publik, dan

karenanya merupakan sebagian dari proses politik;

d. Sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok swasta dan

perorangan, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;

e. Dalam beberapa hal berbeda dengan administrasi privat.

Menurut John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus dalam Inu Kencana Syafiie

(1999) :

a. Administrasi publik meliputi implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah

yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik;

b. Administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-usaha

perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah,

terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah;

c. Secara menyeluruh, administrasi publik adalah suatu proses yang berkaitan

dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, penggunaan keteram-

pilan dan teknik-teknik yang tak terhingga jumlahnya yang memberikan arah

terhadap usaha-usaha sejumlah besar orang.

Sementara menurut Dwight Waldo dalam Soetopo, dkk. (2001:10) :

a. Administrasi publik adalah organisasi dan manajemen dari manusia dan benda

guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah;

b. Administrasi publik adalah suatu seni dan ilmu tentang manajemen yang

dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulan bahwa administrasi

publik adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dengan berbagai

keahlian dan keterampilan untuk merumuskan dan mengimplementasikan

kebijakan-kebijakan pemerintah.

Page 14: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

9

B. PRINSIP-PRINSIP ADMINISTRASI PUBLIK

Menurut Nigro & Nigro (1992) berdasarkan tulisan Henri Fayol, Luther Gullick,

dan Lyndall Urwick, prinsip-prinsip administrasi publik itu adalah :

1. Struktur organisasional yang dikoordinasikan oleh manajemen merupakan

kunci adanya administrasi yang efektif dan efisien. Keberadaan orang-orang

anggota organisasi harus sesuai dengan struktur organisasi, dan bagan struktur

organisasi merupakan alat untuk memonitor dan mengendalikan seluruh

proses administrasi.

2. Organisasi harus disusun atau distrukturkan berdasarkan empat kriteria, yaitu :

a. Tujuan dari pelayanan yang akan diberikan;

b. Proses-proses yang akan dipakai;

c. Pembiayaan dari seluruh kegiatan;

d. Orang-orang yang akan bekerja dan peralatan yang akan dipergunakan.

3. Kesatuan perintah atau komando. Secara esensial, hanya seorang atasan yang

dapat memerintah bawahannya. Jika bawahan diperintah oleh banyak atasan

akan menimbulkan konflik dan kebingungan.

4. Adanya delegasi wewenang dan tanggung jawab bagi orang-orang yang

melaksanakan tugas organisasi. Delegasi dimaksud ke bawah secara hierarkis,

dan manajer puncak (top manager) perlu mengkonsentrasikan diri dalam

penentuan tujuan dan kebijakan umum yang harus dilaksanakan oleh manajer

tengah (middle manager), manajer bawah (lower manager) dan seluruh karya-

wan.

5. Perlunya rentang kendali (span of control) yang sempit, karena keterbatasan

seseorang untuk mengawasi sejumlah bawahan.

6. Perencanaan yang sistematik merupakan fungsi administratif yang perlu

mendapat perhatian. Melalui perencanaan, manajemen dapat menciptakan

pandangan organisasi ke masa depan.

7. Variabel-variabel psikologis manusia harus mendapat pertimbangan. Menurut

Henri Fayol, manajemen perlu menciptakan kondisi-kondisi di mana para

karyawan merasa diperlakukan secara manusiawi dan adil.

Page 15: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

10

C. FUNGSI-FUNGSI ADMINISTRASI PUBLIK

Fungsi-fungsi administrasi publik pada prinsipnya sama dengan fungsi-fungsi

administrasi dan manajemen. Fungsi-fungsi dimaksud misalnya dari :

1. George R. Terry : POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling).

2. Henri Fayol : POCCC (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, Con-

trolling).

3. John F. Mee : POMC (Planning, Organizing, Motivating, Controlling).

4. Louis A. Allen : LPOC (Leading, Planning, Organizing, Controlling).

5. Harold Koontz & Cyril O’Donnel : POSDC (Planning, Organizing, Staffing, Direc-

ting, Controlling).

6. Lyndall F. Urwick : FPOCCC (Forcasting, Planning, Organizing, Commanding,

Coordinating, Controlling).

7. Luther F. Gullick : POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordi-

nating, Reporting, Budgetting).

Nigro & Nigro (1992) mengemukakan fungsi-fungsi administrasi publik dari

fungsi-fungsi administrasi dan manajemen L. F. Gullick, yaitu :

1. Planning (Perencanaan), yaitu mengembangkan adanya garis-garis besar

kegiatan yang dilakukan dan mengembangkan metode-metode pelaksa-

naannya untuk mencapai tujuan organisasi.

2. Organizing (Pengorganisasian), yaitu mengembangkan struktur formal dari

wewenang berdasarkan pengelompokan-pengelompokan kerja, misalnya

departemen/kementerian, biro, bagian, dinas, dll. yang perlu dikoordinasikan.

3. Staffing (Penstafan), yang meliputi keseluruhan fungsi kepegawaian, yaitu

merekrut dan melatih staf serta memelihara kondisi kerja yang menyenangkan.

4. Directing (Pengarahan), yang meliputi tugas memimpin organisasi dengan

membuat keputusan-keputusan dan mengimplementasikannya melalui

kebijakan-kebijakan prosedur.

5. Coordinating (Pengkoordinasian), yang meliputi tugas-tugas mengintegrasikan

dan menyelaraskan berbagai macam unit (bagian) yang saling berkaitan.

6. Reporting (Pelaporan), yang merupakan proses dan teknik untuk memberikan

informasi tentang pekerjaan yang telah dan sedang dilaksanakan (misalnya ko-

Page 16: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

11

leksi data dan manajemen informasi).

7. Budgeting (Penganggaran), yang meliputi tugas-tugas perencanaan fiskal,

akuntansi (accounting), dan pengendalian.

Demikianlah, maka terkait dengan administrasi publik, terdapat juga

manajemen publik, juga manajemen dalam kebijakan publik. Dalam kepustakaan

bisnis, manajemen senantiasa dipahami sebagai sektor dan proses. Sebagai

sektor, dikenal manajemen keuangan, produksi, pemasaran, dan sumber daya

manusia, dll. Sebagai proses, manajemen dipahami sebagai perencanaan, peng-

organisasian, kepemimpinan, motivasi, pengawasan/pengendalian, dll.

Riant Nogroho (2012:525) menyarankan manajemen kebijakan publik untuk

dipahami sebagai proses karena sektor dalam kebijakan publik teramat luas untuk

dibuatkan diferensiasi ataupun pemilahan. Contohnya, pada pemilahan paling

awam dapat digunakan pemilahan politik ala Montesquieu tentang Trias Politica,

yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada tingkat eksekutif dapat dikelompok-

kan menjadi birokrasi di tingkat pusat, daerah, dan lokal. Pada tingkat jenis

organisasi dapat dikelompokkan menjadi organisasi perencana seperti Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Beppenas) dan Badan Perencanaan Pem-

bangunan Daerah (Bappeda); organisasi pelaksana seperti departeman (sekarang

kementerian) dan dinas teknis; dan organisasi pengendali/pengawasan seperti

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan

(BPKP), Inspektorat Daerah (Irda dh. Bawasda), dan yang melekat pada presiden

UP3KR (sekarang Staf Kepresidenan, dan pada zaman Orba, Sekretariat Pengendali

Operasi Pembangunan (Sesdalopbang).

Manajemen kebijakan publik sebagai proses terdiri dari tiga dimensi pokok,

yaitu perumusan, implemantasi, dan pengendalian. Adapun pengendalian, ber-

sifat khusus dan sedikit berbeda karena lazimnya pada proses kebijakan yang ada

hanyalah monitoring dan evaluasi kebijakan. Capaian kebijakan akan paripurna

jika dikendalikan, termasuk bagaimana kebijakan dimonitor, dievaluasi, diberikan

ganjaran dan hukuman (reward and funishment), dan jika diperlukan dilakukan

revisi kebijakan. Berkaitan dengan evaluasi kebijakan, pemahamannya tidak

Page 17: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

12

hanya berkenaan dengan implementasi dan kinerja kebijakan, tetapi juga dengan

perumusan kebijakan dan lingkungan tempat kebijakan itu dilaksanakan.

Page 18: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

13

BAB III KONSEP ADMINISTRASI PUBLIK

A. PERUBAHAN PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA KE ADMINISTRASI PUBLIK

Dalam perkembangan konsep ilmu administrasi negara, dewasa ini telah terjadi

pergeseran titik tekan dari administration of public di mana negara sebagai agen

tunggal implementasi fungsi negara/pemerintah; administration for public yang

menekankan fungsi negara/pemerintah yang bertugas public service, ke arah

administration by public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated,

dalam arti, fungsi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor utama atau

sebagai driving forces. (Warsito Utomo, 2007:7).

Dalam kaitan ini sesungguhnya telah terjadi perubahan makna dari publik

sebagai negara menjadi publik sebagai masyarakat. Jadi, aktivitasnya pun bukan

lagi berorientasi pada aktivitas negara, tetapi menjadi dari, oleh, dan untuk

masyarakat. Pendekatannya (approach) tidak lagi kepada negara, tetapi lebih

kepada masyarakat (customer’s oriented atau customer’s approach). Hal ini sesuai

dengah tuntutan perubahan dari government yang lebih menitikberatkan pada

“otoritas” menjadi governance yang menitikberatkan pada “komptabilitas”, yang di

antara para aktor atau domainnya adalah : State (pemerintah/negara), privat

(sektor swasta), dan civil society (masyarakat madani).

Dengan menyebut administrasi negara, kesannya memang menjadi serba

negara, dan jika segala sesuatu diatasnamakan negara, maka hal tersebut sudah

harus tuntas, selesai, dan direlakan. Semua orang harus berkorban demi negara-

nya. Dengan demikian, pelayanan yang semula dikonsep untuk masyarakat umum,

terbalik menjadi pelayanan terhadap negara. Padahal negara itu sendiri

sebenarnya untuk kepentingan rakyat. (Inu Kencana Syafiie, dkk., 1999:v).

Proses, sistem, prosedur, hierarki atau lawfull state tidak lagi merupakan

acuan yang utama kendati tetap perlu diketahui dan merupakan skill. Akan tetapi

result, teamwork, dan fleksibilitas harus lebih dikedepankan, disebabkan oleh

tekanan, pengaruh, dan adanya differentiated public demand. Itulah sebabnya,

seorang administrator atau mereka yang berkiprah sebagai pejabat publik atau

Page 19: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

14

aparatur negara, dituntut memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan

profesionalisme, serta kapabilitas untuk mengembangkan konsep organisasi dan

manajemen. Juga dapat mengorganisasi dan memenej aktivitas dan infrastruktur

dalam mamahami tuntutan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Itulah

pula sebabnya mengapa mereka dituntut tidak saja memiliki responsibility dan

accountability, tetapi juga responsiveness, transparent, integrity, dan impartiality.

Yang perlu dicatat adalah, meskipun telah terjadi pergeseran makna, tidak

berarti bahwa administrasi publik melepaskan diri atau terlepas sama sekali dari

kehidupan atau permasalahan negara. Kesemuanya itu tetap akan bersumber

pada politik negara. Negara, politik, pemerintah, pemerintahan, hukum, kebijakan,

sosiologi, masih tetap merupakan unsur penting sebagai dasar untuk mendalami

konsep-konsep administrasi publik.

Berkaitan dengan determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan

faktor utama atau driving force, maka David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku

mereka “Mewirausahakan Birokrasi” (Reinventing Government) memberikan sepu-

luh prinsip sebagai berikut.

1. Pemerintahan Katalis : Pemerintahan yang mengarahkan tinimbang mengayuh

/melaksanakan (Catalistyc government, steering rather than rowing). Intinya :

a. Dominasi pemerintah dalam pelayanan publik harus diakhiri atau dikurangi;

b. Apa yang biasa dilakukan masyarakat jangan dilakukan pemerintah;

c. Penyerahan sebagian wewenang pemerintah kepada masyarakat atau sektor

swasta.

2. Pemerintahan Milik Masyarakat : Memberi wewenang tinimbang melayani

(Community owned government : Empowering rather than serving). Intinya :

a. Berikan sepenuhnya kepada masyarakat otoritas serta kepercayaan agar

mau melayani dan menolong dirinya sendiri (to help self help);

b. Birokrasi harus menempatkan masyarakat di tengah-tengah (bersama-sama)

bukan diisolasikan dari dunia birokrasi;

c. Birokrasi harus memposisikan masyarakat bukan sebagai obyek, tetapi

sebagai subyek, di antaranya sebagai sumber informasi tempat gagasan-

gagasan pembangunan lahir.

Page 20: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

15

3. Membangun Pemerintahan yang Kompetitif : Menyuntikkan persaingan ke

dalam pemberian pelayanan (Competitif government : Injecting competition in

to service delivery). Intinya :

a. Praktek monopoli harus dibersihkan dari birokrasi, kecuali untuk kepenting-

an rakyat banyak;

b. Birokrasi harus bebas kepentingan (pribadi, kelompok, politik), kecuali ke-

pentingan publik.

4. Pemerintahan yang Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerak-

kan oleh peraturan. (Mission driven government : Transforming role driven

government). Intinya :

a. Misi atau tujuan harus dijadikan penggerak organisasi, bukan digerakkan

oleh aturan;

b. Aturan atau prosedur lahir dalam rangka pencapaian misi bukan memper-

sulit.

5. Pemerintahan yang Berorientasi Hasil : Membiayai hasil bukan masukan

(Result oriented government : Funding outcomes not input). Intinya :

a. Jadikan kinerja sebagai tolok ukur keberhasilan (bukan input atau semata

proses);

b. Membangun akuntabilitas pemerintahan;

c. Pemerintah yang menekankan arti pentingnya efisiensi dan efektivitas.

6. Pemerintahan yang Berorientasi Pelanggan : Memenuhi kebutuhan pelanggan,

bukan birokrasi (Customer driven government : Meeting the needs of custo-

mer, not the beureaucracy). Intinya :

a. Selalu mendengar suara/aspirasi masyarakat;

b. Misi pemerintah harus menyuarakan kepentingan masyarakat;

c. Ke mana rakyat menunjuk, ke sanalah arah pemerintah harus ditujukan.

7. Pemerintahan Wirausaha : Menghasilkan tinimbang membelanjakan. (Enterpri-

sing government : Earning rather than spanding). Intinya :

a. Pemerintahan yang sadar pendapatan/investasi;

b. Birokrasi harus dijalankan dalam perspektif investasi, yang bukan semata-

mata investasi uang, tetapi juga investasi jangka panjang, yaitu pembangun-

Page 21: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

16

an sumber daya manusia.

8. Pemerintahan Antisipatif : Mencegah daripada mengobati (Anticipatory go-

vernment : Prevention rather than cure). Intinya :

a. Pemerintahan harus menghindari pemborosan;

b. Lebih baik mendanai ratusan juta rupiah untuk program keluarga berencana,

tinimbang milyaran rupiah untuk program mengatasi pengangguran atau

kemiskinan;

c. Lebih baik mendanai jutaan rupiah untuk penghijauan, tinimbang ratusan

juta rupiah untuk penanggulangan bencana alam;

d. Pemerintahan yang pandai menghindari masalah, bukan semata-mata me-

mecahkan masalah.

9. Pemerintahan Desentralistik : Pemerintahan yang dibangun berdasarkan

prinsip partisipasi dan tim kerja, bukan hierarki. (Decentralized government :

From hierarchy to participation team work). Intinya :

a. Delegasikan wewenang pada tingkat terdepan (pemberi pelayanan) bukan

menumpuk/terkonsentrasi pada pucuk pimpinan;

b. Jauhkan budaya “Bapak tahu yang paling baik”;

c. Jauhkan budaya minta petunjuk.

10. Pemerintahan Berorientasi Pasar : Mendongkrak perubahan melalui pasar

(Market oriented government : Leveraging change through the market). Inti-

nya : Perubahan cara kerja birokrasi dari pendekatan program menuju pende-

katan pasar, dari pendekatan instruktif menuju pendekatan insentif;

a. Program cenderung berjalan kaku, karena sifatnya hanya menjalankan

sesuatu yang telah ditetapkan dan karena monopolistik.

b. Mekanisme pasar menciptakan insentif yang menggerakkan orang

membuat keputusan sendiri secara cepat dan kompetitif cenderung

responsif terhadap perubahan.

Jawaban terhadap 10 prinsip Rego (Reinventing Government) tersebut di

atas, lebih lanjut David Osborne bersama Peter Plastrik menyusun buku “Memang-

kas Birokrasi” (Banishing Beureaucracy), yaitu lima strategi menuju pemerintahan

wirausaha. Ke lima strategi dimaksud adalah :

Page 22: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

17

1. Strategi Inti : Merumuskan kembali kejelasan tujuan sebuah organisasi biro-

krasi. Intinya :

a. Singkirkan fungsi-fungsi birokrasi dari fungsi yang tidak relevan dengan

tujuan pokok pemerintah;

b. Fungsi pokok pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif

untuk mendorong masyarakat menjalankan sendiri urusannya (steering ra-

ther than rowing, empowering rather than than serving);

c. Lakukan pemilihan untuk memisahkan fungsi yang secara fundamental

memiliki tujuan ke dalam organisasi yang berbeda :

1) Pisahkan organisasi yang memiliki fungsi membuat kebijakan atau aturan

dengan organisasi yang memiliki fungsi melayani;

2) Bedakan organisasi perencana dengan pelaksana.

2. Strategi Konsekuensi : Memberlakukan konsekuensi atau kinerja sebagai

ukuran keberhasilan. Intinya :

a. Ciptakan suasana kondusif yang memungkinkan munculnya perilaku kompe-

titif (bersaing dalam mencapai tujuan organisasi);

b. Kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi akan mendatangkan konse-

kuensi (akibat) hilangnya pendapatan organisasi;

c. Strategi untuk membangun pemerintahan yang kompetitif;

d. Penghematan adalah inti strategi ini.

3. Strategi Pelanggan : Menempatkan pelanggan (masyarakat) sebagai pengarah,

mendefinisikan keberhasilan sebuah organisasi sebagai kemampuan memuas-

kan pelanggan atau masyarakat. Intinya :

a. Berikan masyarakat banyak pilihan pelayanan;

b. Tentukan standar pelayanan yang dikehendaki masyarakat;

c. Berikan sanksi/konsekuensi bagi yang tidak memenuhi standar;

d. Sediakan kompensasi bagi masyarakat yang merasa dirugikan;

e. Birokrasi harus terbuka menerima kritik untuk perbaikan/kepuasan pelang-

gan.

4. Strategi Pengendalian : Menempatkan misi/tujuan organisasi sebagai alat

pengendalian organisasi. Intinya :

Page 23: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

18

a. Memberikan kepercayaan yang penuh kepada pegawai;

b. Hindari terlalu banyak intervensi teknis dari atasan;

c. Hindari terlalu banyak petunjuk teknis;

d. Libatkan masyarakat mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi;

e. Berikan kesempatan staf/masyarakat agar mau mengendalikan dirinya

sendiri, bukan melulu dikendalikan.

5. Strategi Budaya : Melepas kebiasaan lama yang birokratis/kaku dan mengganti-

kannya dengan budaya baru dengan katrakteristik wirausaha. Intinya :

Merubah paradigma lama dengan paradigma baru birokrasi melalui berbagai

cara :

a. Merubah simbol-simbol baru dengan merangsang/mendorong perubahan

sikap;

b. Membangun visi baru atau governing idea organisasi, dsb.

B. ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

1. Pengertian Administrasi Pembangunan.

Administrasi Pembangunan = Administrasi + Pembangunan. Administrasi adalah

proses kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang

diinginkan. Menurut Waldo dalam Ginanjar Kartasasmita (1997), bahwa admi-

nistrasi publik adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri

berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antar manusia. Yang membedakan

administrasi dengan kegiatan kerjasama antar manusia lainnya adalah derajat

rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh

tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya.

Pengertian administrasi sebagaimana telah dikemukakan terdahulu (dalam

bab sebelumnya), pada pokoknya adalah proses kerjasama sekelompok orang

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan istilah

pembangunan pada awalnya diperkenalkan kepada publik dunia oleh Presiden

Amerika Serikat, Harry S. Truman tahun 1949 pada pelantikannya sebagai

Presiden, dengan pengertian “kawasan terbelakang” (underdeveloped areas)

yang memerlukan “pembangunan” (development) untuk menyebut kawasan

Page 24: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

19

Amerika bagian selatan. Namun kemudian istilah kawasan terbelakang ini

berlaku juga untuk kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menjadi politik

AS tahun 1950-an sebagai kelanjutan dari program “Marshall Plan” yang berhasil

memulihkan Eropa dari kehancuran akibat Perang Dunia Kedua. Persaingan

antara AS dengan Uni Soviet menjadikan AS membawa bendera “pembangunan”

sebagai ideologi global bagi negara-negara pengikut maupun simpatisannya

sebagai lawan dari “revolusi” yang ditawarkan Blok Timur pimpinan US. Pema-

haman pembangunan ini kemudian dikembangkan oleh Sudjatmoko, Rektor

Universitas PBB, bahwa pembangunan merupakan sebuah proses alami, otonom,

dan kontekstual. Kekuatannya pada proses belajar yang bertahap, sehingga

selalu ada proses kapitalisasi kemajuan pada setiap tahapnya. Pembangunan

dipahami sebagai sebuah proses perubahan yang positif dari tahap ke tahap.

Adapun pengertian pembangunan, terdapat beberapa pendapat sebagai

berikut :

a. Ginanjar Kartasasmita (1997:9) :

“Pembangunan adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui

upaya yang dilakukan secara terencana”.

b. Ucky Padmadiredja (1983) :

“Pembangunan adalah usaha dan upaya yang dilakukan secara sadar,

rasional, dan sistematik, serta terencana yang dilakukan oleh suatu bangsa,

daerah, menuju ke arah tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat

yang lebih baik”.

c. Sondang P. Siagian (2005:4) :

“Pembangunan adalah rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan per-

ubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa

menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.

Lebih lanjur Siagian mengemukakan tujuh ide pokok pembangunan yang

meliputi :

1) Pembangunan merupakan suatu proses. Berarti, merupakan rangkaian

kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap-

tahap yang di satu pihak bersifat independen, namun di pihak lain merupa-

Page 25: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

20

kan bagian dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir (never ending);

2) Pembangunan adalah upaya sadar yang ditetapkan sebagai sesuatu untuk

dilaksanakan;

3) Pembangunan dilakukan secara terencana, ada jangka pendek, jangka

sedang, dan jangka panjang. Merencanakan berarti mengambil keputusan

sekarang tentang hal-hal yang akan dilakukan pada jangka waktu tertentu

di masa depan;

4) Rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan perubahan.

Pertumbuhan dimaksudkan sebagai peningkatan kemampuan suatu negara

bangsa untuk berkembang, tidak sekedar mampu mempertahankan

kemerdekaan, kedaulatan, dan eksistensinya. Sedangkan perubahan me-

ngandung makna bahwa negara bangsa harus bersikap antisipatif dan

proaktif dalam menghadapi tuntutan situasi yang berbeda dari satu jangka

waktu ke jangka waktu yang lain, terlepas apakah situasi itu dapat

diprediksi sebelumnya atau tidak. Artinya, tidak sekedar mempertahankan

status quo.

5) Pembangunan mengarah kepada modernitas. Modernitas diartikan sebagai

cara hidup baru dan lebih baik dari sebelumnya, cara berpikir yang rasional,

dan sistem budaya yang kuat tetapi fleksibel. Modernitas dalam hal ini

jangan diartikan sama dengan cara hidup gaya Barat;

6) Modernitas pembangunan meliputi berbagai kegiatan yang multidimen-

sional, yang mencakup seluruh segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara, yang dapat mengejawantah dalam bidang ideologi politik,

ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan, baik yang bersifat

fisik-material maupun mental-spiritual.

7) Semuanya ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa, agar negara bangsa

semakin kukuh fondasinya dan semakin mantap keberadaannya, sehingga

menjadi negara bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia

yang sudah maju dan sejahtera.

Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok adanya hakikat memba-

ngun, yang berlawanan dengan merusak. Karenanya, perubahan ke arah keada-

Page 26: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

21

an yang lebih baik seperti yang dikehendaki dan upaya terencana, harus

dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi mengoptimalkan sumber daya

yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.

Berdasarkan definisi administrasi dan pembangunan tersebut di atas,

maka administrasi pembangunan dapat disimpulkan sebagai “seluruh usaha yang

dilakukan oleh negara bangsa untuk bertumbuh, berkembang, dan berubah

secara sadar dan terencana dalam semua segi kehidupan dan penghidupan

negara bangsa yang bersangkutan dalam rangka tujuan akhir negara”. (S.P.

Siagian, ibid:5).

Dewasa ini pembangunan menjadi bahan kajian atau studi berbagai disiplin

ilmu, misalnya ilmu ekonomi, politik, sosial, ekologi, hukum, administrasi, dll.

Atau berkembang sebagai suatu studi multidisiplin degan pendekatan dari

berbagai cabang ilmu pengetahuan.

2. Konsep Administrasi Pembangunan.

Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan terutama di

negara-negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga-

lembaga sosial, politik, dan ekonomi agar pembangunan berhasil. Dari aspek

praktis, administrasi pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu

kesatuan pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Perkembangan

administrasi pembangunan baik teori maupun praktek mengikuti perkembangan

pemikiran studi administrasi, khususnya administrasi publik dan studi

pembangunan.

Sebagai bidang studi, administrasi pembangunan berkembang dari studi

administrasi perbandingan (comparative administration) yang merupakan upaya

menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan menyempurnakan sistem adminis-

trasi di negara-negara berkembang (developed countries) agar dapat mendukung

pembangunan nasionalnya masing-masing. Hal ini didorong pula oleh lembaga-

lembaga internasional yang berupaya membantu mereka.

Administrasi pembangunan bersumber dari administrasi publik, karena itu

kaidah-kaidah umum administrasi publik berlaku pula pada administrasi pem-

Page 27: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

22

bangunan. Akan tetapi administrasi pembangunan lebih dinamis dan inovatif

karena menyangkut upaya mengadakan perubahan-perubahan sosial. Upaya ini

sangat berkepentingan dan terlibat dalam pengerahan berbagai sumber daya

dan pengalokasiannya untuk kegiatan pembangunan.

Administrasi pembangunan umumnya diterapkan di negara-negara ber-

kembang dan tidak di negara-negara maju, meskipun administrasi publik di

negara-negara maju juga secara aktif terlibat dalam upaya memperbaiki kehidup-

an masyakaratnya. Menurut Ginanjar Kartasasmita (1997), latar belakang perbe-

daan keduanya terletak pada aspek :

a. Tingkat perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran

kemajuan;

b. Lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan sistem nilai serta

penetapan sasaran-sasaran pembangunannya.

Di negara-negara maju, peranan pemerintah relatif kecil, karena lembaga-

lembaga masyarakatnya telah berkembang maju. Sebaliknya di negara-negara

berkembang, justru peranan pemerintah sangat besar, bahkan menjadi penang-

gung jawab karena institusi lain seperti swasta (dunia usaha) belum berkembang,

bahkan masih memerlukan bantuan modal pemerintah. Tugas administrasi

publik di negara-negara yang sedang membangun mencakup tugas umum

administrasi publik dan tugas pembangunan. Dan tak kurang pentingnya adalah

perhatian dan komitmen terhadap kepentingan publik yang dapat menjadi

ukuran bagi kredibilitas dan akuntabilitasnya.

C. BIROKRASI PUBLIK

Secara etimologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani “bureau” yang artinya

meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi adalah tipe dari suatu

organisasi untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara

mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari orang banyak (Wahyudi Kumo-

rotomo, 1992:74). Kata birokrasi juga bermakna suatu metode organisasi yang ra-

sional dan efisien (David Osborne dan Ted Gaebler, 1999:14).

Page 28: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

23

Birokrasi menurut Peter M. Blau dan Marshal W. Meyer dalam Riant Nugroho

(2012:161), adalah lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk mening-

katkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik ataupun buruk

dalam keberadaannya sebagai instrumen administrassi rasional yang netral pada

skala besar. Dalam masyarakat modern, di mana terdapat begitu banyak urusan

yang terus-menerus dan rutin, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawab-

nya. Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau

sekarang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo (1996), birokrasi itu mempunyai tiga arti,

yaitu :

1. Birokrasi sebagai suatu tipe organisasi. Dalam hal ini birokrasi sangat cocok

untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan yang terikat pada peraturan-peraturan

rutin, artinya, volume pekerjaan besar, tetapi sejenis dan bersifat berulang-

ulang, serta pekerjaan yang memerlukan keadilan merasa dan stabil;

2. Birokrasi sebagai sistem. Dalam hal ini birokrasi dipandang sebagai suatu sistem

kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan-jabatan

(pejabat-pejabat) secara formal dan berjiwa tanpa pilih kasih atau tanpa pandang

bulu;

3. Birokrasi sebagai jiwa kerja. Dalam hal ini birokrasi merupakan jiwa kerja yang

kaku, sebab cara bekerjanya seolah-olah seperti mesin, ditambah lagi dengan

disiplin kerja yang ketat/keras, dan sedikit pun tidak boleh menyimpang dari apa

yang diperintahkan atasan atau yang telah ditetapkan oleh peraturan.

Jika memperhatikan butir a dan butir b, maka birokrasi kelihatannya sangat

baik untuk pengembangan pekerjaan atau untuk memperlancar kegiatan operasi-

onal. Akan tetapi butir c tampaknya sudah tidak sesuai lagi, karena di samping akan

menutup kreativitas para pekerja/karyawan, juga kemungkinan peraturan-

peraturan yang dijadikan pegangan telah usang atau tidak sesuai lagi dengan

perkembangan zaman atau era pembangunan sekarang ini. Di Indonesia misalnya

masih banyak peraturan-peraturan yang berasal dari zaman kolonial Belanda.

Max Weber dalam bukunya “The Theory of Social and Economic Organization”

mengemukakan perilaku sosial yang berkaitan dengan birokrasi yang tujuannya

Page 29: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

24

bersifat teknis dan mengidentifikasikan sifat-sifat dasar khusus bentuk yang formal,

antara lain :

1. Kegiatan reguler yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi dengan

dukungan distribusi tugas-tugas resmi yang dipertanggungjawabkan secara

kokoh kepada officialnya;

2. Organisasinya mengikuti prinsip-prinsip hierarki;

3. Operasionalnya terencana dengan baik, dilakukan secara teratur oleh sistem

yang konsisten dari peraturan-peraturan abstrak untuk ditetapkan pada kasus

individual;

4. Para petugas yang ideal akibatnya melakukan kerja secara formalitas, seakan-

akan tidak mempunyai kepribadian tanpa emosi;

5. Pengangkatan pegawai dalam organisasi didasarkan atas kualifikasi teknis dan

tidak mudah terkena pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang;

6. Ditinjau dari sudut pandang teknis yang murni, birokrasi pada umumnya memiliki

tingkat daya hasil yang tinggi.

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, birokrasi memang sangat diper-

lukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan pemerintah. Namun karena adanya

perlakuan dalam pelayanan terhadap masyarakat, yang menjadikan segala urusan

penting dan segera dirasakan oleh yang berkepentingan sangat menghambat

waktu, atau “birokratis”, akhirnya timbul anggapan bahwa birokrasi itu harus

disingkirkan. Tentu saja pendapat ini keliru karena jika birokrasi dihilangkan

pemerintah tidak dapat menjalankan kegiatan operasionalnya. Dalam hal ini

birokrasi perlu mendapat perbaikan, disesuaikan dengan situasi kondisi yang sedang

berlangsung, misalnya dalam menyukseskan gerakan pembangunan. Segala perilaku

yang menghambat pelayanan kepada masyarakat perlu diubah atau mungkin

dihilangkan (debirokratisasi).

Adapun ciri-ciri birokrasi menurut The Liang Gie dalam “Kamus Administrasi”

adalah :

1. Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi dengan sepenuhnya;

2. Adanya peraturan-peraturan yang benar-benar ditaati;

3. Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian dan kemampuan;

Page 30: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

25

4. Para pejabat terikat oleh disiplin;

5. Para pejabat diangkat berdasarkan syarat-syarat teknis yang dinyatakan melalui

ujian atau ijazah;

6. Adanya pemisahan yang tegas antara urusan dinas dengan urusan pribadi.

Dalam birokrasi publik, kegiatan-kegiatan pemerintah selalu terikat pada

ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, kendati jiwa yang terkandung di

dalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang yang sudah

berubah. Birokrasi ternyata lebih mengutamakan formalitas daripada kreativitas.

Akibatnya birokrasi mematikan kreativitas sehingga banyak menimbulkan

inefisiensi. Karena itu upaya yang dilakukan adalah debirokratisasi, yang mengan-

dung pengertian “mengubah” atau “menyesuaikan”. Yang diubah atau disesuaikan

adalah :

1. Prosedur yang panjang yang harus ditempuh secara berbelit-belit, dan

menyulitkan, diubah menjadi prosedur yang lebih pendek, tidak berbelit-belit,

dan tidak menyulitkan.

2. Prosedur birokrasi yang panjang pada umumnya memerlukan biaya tinggi (high

cost). Oleh karenanya prosedur dimaksud perlu diubah atau disesuaikan,

sehingga menjadi prosedur yang singkat dan mudah dilaksanakan dengan biaya

relatif murah.

3. Prosedur birokrasi yang panjang dan cenderung berbelit-belit sering menim-

bulkan stagnasi dalam arus barang, pelayanan, dan arus dokumen. Dengan

debirokratisasi segala permasalahan akan segera dapat diatasi.

Pengertian debirokratisasi tidak dapat dipisahkan dengan regulasinya, yaitu

peraturan yang mengatur birokrasi tersebut. Peraturan-peraturan yang sudah

usang, ketinggalan zaman, atau tidak sesuai lagi dengan situasi kondisi saat ini

seyogianya diubah/direvisi, diganti atau dicabut, dan dibuatkan aturan baru yang

sesuai dengan kehendak masyarakat dan zaman.

D. KEBIJAKAN PUBLIK Administrasi publik pada saat ini tidak terbatas secara tradisional dalam implemen-

Page 31: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

26

tasi atau pelaksanaan kebijakan, tetapi juga dalam perumusan dan pembuatan

kebijakan. Lebih dari itu, sistem administrasi publik mempunyai peranan dalam

monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dan hasil-hasilnya.

Kebijakan publik (public policy) dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu proses

kebijakan (policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis). Dimensi pertama,

proses kebijakan, mengkaji proses penyusunan kebijakan yang dimulai dari

identifikasi dan perumusan masalah/kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring

kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan dimensi kedua, analisis kebijakan,

meliputi penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat multidisiplin dalam

proses kebijakan, yaitu untuk menyusun strategi kebijakan.

Suatu kebijakan publik tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja,

tetapi meliputi berbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya pendekatannya adalah

multidisipliner. Di samping itu kebijakan publik melibatkan berbagai pihak dalam

masyarakat (policy stakeholders), yang masing-masing mempunyai kepentingan

yang berbeda-beda, dan kekuasaan yang berbeda-beda pula, baik untuk mendu-

kung maupun menentang suatu kebijakan publik.

Menurut Ginanjar Kartasasmita (1997), kebijakan publik dapat dilihat dari dua

hal, yaitu :

1. Mengapa dan bagaimana (why and how), yang mencoba memahami proses

kebijakan publik tanpa terkait dengan isinya.

2. Apa (what), yang memberi perhatian pada substansi kebijakan publik dan

mencari pemecahan masalah atas permasalahan yang dihadapi.

Pengetahuan tentang dua hal tersebut di atas sangat diperlukan. Para

pembuat kebijakan yang tidak memahami metodologi perumusan kebijakan publik

dapat menyebabkan hasil atau dampak kebijakan publik tidak sesuai dengan yang

diinginkan. Sebaliknya, para praktisi yang ingin mendalami pengetahuan tentang

berbagai aspek kebijakan publik, tidak mungkin hanya membatasi diri pada teknik

analisis, tanpa mengetahui isue-isue yang dihadapi dalam masyarakat, yang harus

diatasi dengan berbagai kebijakan publik.

Pemerintah di semua negara, setiap hari membuat kebijakan berdasarkan

kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan

Page 32: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

27

masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan, dsb. Perbedaan

di negara maju dan negara berkembang terletak pada kondisi sosial, ekonomi, dan

politik yang berbeda. Demikianlah, maka adanya administrasi publik yang mampu

menghasilkan kebijakan-kebijakan yang “baik” yang dapat menghindari kebijakan-

kebijakan yang “buruk” dan kebijakan publik yang memperhatikan “kepentingan

umum” menjadi tantangan bagi semua negara. Itulah sebabnya pengetahuan

mengenai kebijakan publik dan berbagai aspeknya perlu dimiliki oleh segenap

aparatur negara/pemerintah, terutama yang terlibat dalam proses kebijakan, baik

dalam perumusan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan.

E. PELAYANAN PUBLIK

David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka “Reinventing Government”

mengemukakan tentang perlunya upaya peningkatan pelayanan publik oleh

birokrasi pemerintah, yaitu dengan lebih banyak memberi wewenang kepada pihak

swasta untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Yang terjadi di Amerika

Serikat (AS), memang sudah menjadi tradisi, hampir semua kebutuhan masyarakat

dilayani oleh swasta. Di dalam praktek, terutama di Indonesia, tidak semua pela-

yanan diserahkan kepada swasta. Pelayanan terhadap produk yang diamanatkan

oleh peraturan perundang-undangan, tidak dapat diserahkan kepada swasta,

misalnya pelayanan-pelayanan : Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),

Akte Kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB),

Paspor, dsb.

Dalam memberikan pelayanan, pemerintah harus memperhatikan kehendak

masyarakat sebagai pelanggan (customers). Harapan masyarakat itu hendaknya

dapat “dipuaskan” oleh pelayanan pemerintah dengan “pelayanan prima”.

Pelayanan prima adalah pelayanan terbaik yang diperoleh masyarakat yang sesuai

dengan standar yang ditentukan dalam ketentuan, atau melebihi standar. Dalam

hal ini pemerintah hendaknya dapat mengidentifikasi melalui survei terhadap

keinginan pelanggan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyara-

kat, beberapa ahli pelayanan publik menyarankan penerapan Total Quality Mana-

Page 33: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

28

gement (TQM). TQM yang berhasil diterapkan di sektor swasta diharapkan dapat

dilaksanakan di sektor publik (pemerintah).

TQM merupakan pendekatan dalam manajemen yang berusaha memaksi-

mumkan daya saing organisasi melalui perbaikan secara berkesinambungan atas

kualitas barang, jasa, manusia, dan lingkungan organisasi, dengan tujuan untuk

meningkatkan kepuasan pelanggan. Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana

(1997), TQM hanya akan berhasil jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal.

2. Obsesi terhadap kualitas. Penentu terakhir adalah pelanggan internal dan

eksternal. Dengan kualitas yang ditentukan tersebut, organisasi harus berusaha

memenuhi atau melebihi yang ditentukan.

3. Pendekatan ilmiah. Terutama untuk merancang pekerjaan, proses pembuat-an

keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan rancangan pekerjaan

tersebut.

4. Komitmen jangka panjang. Agar penerapan TQM berhasil dibutuhkan budaya

organisasi yang baru. Untuk itu perlu ada komitmen jangka panjang guna per-

ubahan budaya.

5. Kerjasama Tim. Untuk menerapkan TQM, kerjasama tim, kemitraan dan hubung-

an perlu terus dijalin dan dibina baik antar aparatur dalam organisasi maupun

dengan pihak luar (masyarakat).

6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan. Setiap barang dan jasa dihasilkan

melalui proses-proses di dalam suatu sistem/lingkungan. Oleh karena itu sistem

yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas yang dihasilkan

meningkat.

7. Pendidikan dan pelatihan. Dalam organisasi yang menerapkan TQM, diklat

merupakan faktor fundamental. Di sini berlaku prinsip, bahwa belajar merupa-

kan suatu proses yang tidak ada akhirnya, dan tidak mengenal batas usia.

F. MANAJEMEN KEBIJAKAN PUBLIK Sampai dengan saat ini memang ada pendapat yang menyamakan pengertian ad-

Page 34: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

29

administrasi dengan manajemen, dan ada pula yang membedakannya. Di antara

yang menyamakan adalah :

1. William H. Newman :

Dia mengemukakan apa yang dimaksud dengan administrasi, termasuk juga arti

manajemen. Hal ini tercermin dalam bukunya yang berjudul “Administrative

Action” yang isinya “the techniques of organization and management”.

2. Dimock & Dimock and Koenig :

Definisinya : “Administration (or management) is a planned approach to the

solving of all kinds of problems in almost every individual or group activity both

public or private”. (Administrasi atau manajemen adalah suatu pendekatan yang

terencana terhadap pemecahan semua macam masalah yang kebanyakan

terdapat pada setiap individu atau kelompok baik negara atau swasta).

Sementara itu pendapat yang membedakan pengertian administrasi dan

manajemen, di antaranya :

1. Dalton E. McFarland :

Definisinya : “Administration refers to the determination of major aims and poli-

cies, whereas management refers to the carrying out of operations the signed to

accomplish the aims and effectuate policies”. (Administrasi ditujukan terhadap

penentuan tujuan pokok dan kebijakannya, sedangkan manajemen ditujukan

terhadap pelaksanaan kegiatan dengan maksud menyelesaikan/mencapai tujuan

dan pelaksanaan kebijakan).

2. Ordway Tead :

Definisinya : “Administration is the process and agency which is responsible for

the determination of the aims for which an organization and its management are

to strive...etc”. (Administrasi adalah suatu proses dan badan yang bertanggung

jawab terhadap penentuan tujuan, di mana organisasi dan manajemen

digariskan...dsb.). Maksudnya, administrasi menentukan garis besar daripada

suatu kebijakan dan pemberian pengarahan (general policies), sedangkan mana-

jemen adalah prosesnya, yaitu bagaimana kegiatan-kegiatan diatur/dilakukan

agar tujuan dapat dicapai dengan baik.

Berdasarkan teori Dalton McFarlan dan Ordway Tead ini, maka dapat disim-

Page 35: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

30

pulkan bahwa administrasi terdiri dari organisasi dan manajemen.

Organisasi dapat ditinjau secara statis, sebagai wadah atau tempat di mana

kegiatan-kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama

dilakukan, yang tiada lain kegiatan administrasi dan manajemen dijalankan yang

biasa disebut tata usaha. Sedangkan tinjauan organisasi secara dinamis, adalah

sebagai proses, yaitu interaksi antarorang-orang yang ada dalam organisasi. Dari

interaksi ini menimbulkan dua macam hubungan, yaitu hubungan formal (formal

organization) yang diatur dalam dasar hukum pendirian (Akte, Perda, Struktur

Organisasi dan Tatakerja, hierarki, dsb.), serta hubungan informal (informal

organization) yang didasarkan pada personal relations, kesamaan keahlian,

kesamaan kepentingan, kesamaan interest, dll. dari orang-orang yang ada dalam

organisasi tersebut.

Sementara itu manajemen adalah “ilmu dan seni mengatur proses peman-

faatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien

untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. (Malayu Hasibuan, 2004:2). Atau “pengen-

dalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumber daya, yang menurut

suatu perencanaan (planning) diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan

suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu”. (Prajudi Atmosudirdjo, 1979:124).

Dalam pada itu menurut Andrew F. Sikula, “management in general refers to

planning, organizing, controlling, staffing, leading, motivating, communicating, and

decision making activities performed by any organization ini order to coordinate the

varied resources of the enterprise so as to bring and efficient creation of some

product or service”. (manajemen pada umumnya dikaitkan dengan aktivitas-

aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, penempatan, pengarahan,

pemotivasian, komunikasi, dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap

organisasi dengan tujuan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang

dimiliki oleh perusahaan sehingga akan dihasilkan suatu produk atau jasa secara

efisien).

Demikianlah, maka manajemen dapat diterapkan dalam setiap organisasi dan

segala bidang, termasuk organisasi negara/pemerintah dan kebijakan negara.

Berkaitan dengan dengan kebijakan publik, maka diperlukan pula manajemen kebi-

Page 36: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

31

jakan publik.

Menurut Diklat Spimnas LANRI (2009:15), manajemen kebijakan publik adalah

proses pengelolaan kebijakan publik, yaitu suatu pengaturan yang diperlukan untuk

merencanakan kegiatan formulasi, implementasi, dan evaluasi hasil kebijakan publik

dengan memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien seta memperhatikan

lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai sutu tujuan yang telah

ditetapkan. Manajemen kebijakan publik dibutuhkan karena yang ditangani sangat

rumit dan kompleks sehingga membutuhkan sumber daya, waktu, dan keterlibatan

banyak orang. Tanpa manajemen kebijakan publik, akan menimbulkan resiko,

antara lain proses yang berlarut-larut dan tidak terselesaikan, pemborosan peng-

gunaan dana dan waktu, serta kesimpangsiuran pemikiran yang dilandasi oleh

perbedaan kepenting-an antar pelaku yang terlibat (stakeholders).

Manajemen kebijakan publik itu meliputi :

1. Sistem Kebijakan Publik, yang mengikuti sistem politik, yang menurut David

Easton seperti dikemukakan oleh Anderson (Diklat Spimnas LANRI, 2009:16),

terdiri dari lembaga-lembaga yang berkaitan dalam aktivitas/kegiatan masya-

rakat yang dapat membuat keputusan yang mengikat dan ditaati oleh

masyarakat. William N. Dunn pun mengidentikkan sistem politik dengan sistem

kebijakan yang sekaligus mencermintan elemen-elemen :

a. Stekholders Kebijakan (Policy/Political Actors);

b. Kebijakan Publik (Policy Content);

c. Lingkungan Kebijakan (Policy Environmen).

Mustopadidjaya A.R. (1992) menambahkan satu elemen lagi, yaitu

kelompok sasaran kebijakan (target group). Alasannya, khusus bagi Indonesia

yang secara obyektif sangat heterogen dan plural, karenanya tidak mungkin

membuat kebijakan yang seragam.

2. Proses Pengelolaan Kebijakan Publik, yang terkait dengan konsep-konsep dasar

pembuatan kebijakan publik serta adanya kebutuhan untuk melaksanakan

analisis kebijakan publik yang prosesnya seperti seperti dikemukakan oleh

William N. Dunn, yaitu :

a. Perumusan masalah;

Page 37: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

32

b. Peramalan;

c. Rekomendasi;

d. Pemantauan;

e. Evaluasi.

Sementara itu langkah-langkah yang ditawarkan oleh Mustopadidjaya A.R.

adalah :

a. Pengkajian persoalan;

b. Penentuan tujuan;

c. Perumusan alternatif;

d. Penyusunan model;

e. Penentuan kriteria;

f. Penilaian alternatif;

g. Perumusan rekomendasi.

3. Stratifikasi Kebijakan Publik, yaitu mengikuti hierarki atau tata urut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Menurut LAN, stratifikasi ini tidak lain

adalah tingkat-tingkat kebijakan publik, yaitu tingkat nasional dan wilayah, yang

di dalamnya ada kebijakan nasional, kebijakan umum, dan kebijakan pelak-

sanaan. Pengaturannya didasarkan pada :

a. UUD 1945;

b. Tap MPR;

c. UU/PERPPU;

d. PP;

e. Perpres;

f. Perda Provinsi;

g. Perda Kabupaten/Kota. (UU No. 12 Tahun 2011).

Menurut Riant Nugroho, terdapat kebijakan yang bersifat makro, messo,

dan mikro.

G. RUANG LINGKUP ADMINISTRASI PUBLIK

Ruang lingkup administrasi publik sangat luas, mencakup ilmu-ilmu sosial lain ter-

Page 38: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

33

utama yang memiliki obyek materi negara, antara lain ilmu pemerintahan, ilmu

politik, ilmu negara dan hukum tata negara, serta filsafat yang menjadi sumber

keilmuan. Demikianlah, maka ruang lingkup administrasi publik dapat diuraikan

sebagai berikut. (Inu Kencana Syafiie, dkk., 1999:29-31).

1. Di bidang hubungan, peristiwa, dan gejala pemerintahan :

a. Administrasi Pemerintahan Pusat;

b. Administrasi Kementerian/Departemen;

c. Administrasi Lembaga Pemerintahan Non Kementerian;

d. Administrasi Pemerintahan Daerah;

e. Administrasi Pemerintahan Kecamatan;

f. Administrasi Pemerintahan Kelurahan/Desa;

g. Administrasi BUMN/BUMD.

2. Di bidang kekuasaan :

a. Administrasi Politik Dalam Negeri;

b. Administrasi Politik Luar Negeri;

c. Administrasi Partai Politik;

d. Administrasi Kebijakan Pemerintah.

3. Di bidang peraturan perundang-undangan :

a. Landasaan ideal;

b. Landasan Konstitusional;

c. Landasan Operasional.

4. Di bidang kenegaraan :

a. Tugas dan Kewenangan Negara;

b. Hak dan Kewajiban Negara;

c. Tipe dan Bentuk Negara;

d. Fungsi dan Prinsip Negara;

e. Unsur-unsur Negara;

f. Tujuan negara (tujuan nasional).

5. Di bidang pemikiran hakiki :

a. Etika Administrasi Publik;

b. Estetika Administrasi Publik;

Page 39: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

34

c. Logika Administrasi Publik;

d. Hakekat Administrasi Publik.

6. Di bidang ketatalaksanaan :

a. Administrasi Pembangunan;

b. Administrasi Perkantoran;

c. Administrasi Kepegawaian;

d. Administrasi Kemiliteran;

e. Administrasi Kepolisian;

f. Administrasi Perpajakan;

g. Administrasi Pengadilan;

h. Administrasi Kepenjaraan;

i. Administrasi Perusahaan yang meliputi :

1) Administrasi Produksi;

2) Administrasi Penjualan;

3) Administrasi Periklanan;

4) Administrasi Pemasaran;

5) Administrasi Perbankan;

6) Administrasi Perhotelan;

7) Administrasi Pengangkutan.

Berkaitan dengan administrasi perusahaan ini, memang sulit dibedakan

apakah milik pemerintah atau swasta. Hal ini karena ada perusahaan yang

dibentuk dan disponsori oleh pemerintah, termasuk badan hukum, dan

badan-badan kemanusiaan yang tidak mencari untung. Untuk itu perlu

dilihat :

a) Apakah kepemilikan perusahaan itu pribadi/swasta atau milin negara

(BUMN/BUMD);

b) Apakah kadar kepemilikannya (saham) melebihi 50% pemerintah atau

swasta;

c) Apakah merupakan subyek bagi ketetapan kontrol (pengawasan)

pemerintah atau swasta;

d) Apakah merupakan subyek lain untuk aksi pada budget oleh musyawa-

Page 40: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

35

rah dalam proses pendermaan atau tidak sama sekali.

Dalam hal ini pertumbuhan dan perkembangan dari perusahaan-

perusahaan publik dan badan-badann yang tidak mengutamakan keun-

tungan (yayasan) serta organisasi semi pemerintah, perlu dilihat dari per-

tanggungjawabannya (responsibility/accountability). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat gambar berikut ini.

MURNI SEMI BUKAN ADMINISTRASI ADMINISTRASI ADMINISTRASI PUBLIK PUBLIK PUBLIK

Sumber : Inu Kencana Syafiie, 1999:31

Page 41: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

36

BAB IV KEBIJAKAN PUBLIK

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK

Istilah “Kebijakan Publik” adalah terjemahan dari bahasa Inggris “Public Policy”. Kata

“policy” ada yang menerjemahkan “kebijakan” (Samodra Wibawa, 1994; Muhadjir

Darwin, 1998), dan ada juga yang menerjemahkan “kebijaksanaan” (Irfan Islamy,

2009; Abdul Wahab, 1990).

Ada yang menyamakan arti kebijakan dengan kebijaksanaan, dan ada pula

yang membedakannya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwa-

darminta, 2007:157), kebijakan dan kebijaksanaan dianggap sama, demikian juga

dalam Kamus Inggris-Indonesia (John M. Echol dan Hassan Shadily, 2005:437;649)

dari kata policy dan wisdom. Sementara menurut Inu Kencana Syafiie (1999:105),

kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom), karena

kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai

situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Dalam

pembahasan lebih lanjut dalam tulisan ini, kebijakan dan kebijaksanaan dianggap

sama.

Pengertian kebijakan atau kebijaksanaan sendiri diberi arti bermacam-macam

seperti yang dikemukakan oleh :

1. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan (1970:71) :

“A projected program of goald, values and practice”. (Suatu program pencapaian

tujuan, nilai-nilai dan pratek-praktek yang terarah).

2. Carl J. Friedrick (1963:79) :

“...a proposed course of action of a person, group, or government within a given

environment providing obstacles and opportunities which the policy was

proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an

objective or purpose”. (...serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjuk-

kan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan

Page 42: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

37

usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu).

3. James A. Anderson (1979:3) :

“A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with

a problem or matter of concern”. (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan

tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok

pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).

4. Amara Raksasataya dalam Irfan Islamy (2009:17) :

“Kebijaksanaan dalam suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai

suatu tujuan”.

5. United Nations (PBB) 1975 :

“Kebijaksanaan merupakan suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman

bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-

aktivitas tertentu atau suatu rencana”. (Solihin Abdul Wahab, 2004:2).

Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa suatu

kebijakan/kebijaksanaan memuat tiga elemen, yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

3. Penyediaan berbagai masukan (input) untuk memungkinkan pelaksanaan secara

nyata dari taktik atau strategi. (Irfan Islamy, 2009:17-18).

Sampai kini memang belum ada kesepakatan istilah mana yang mesti

digunakan, akan tetapi kecenderungan yang terjadi atau yang lebih populer kita

dengar dan baca dan dikembangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN)

adalah kebijakan. Karenanya dalam tulisan ini digunakan istilah “Kebijakan Publik”.

Adapun definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang kebijakan publik

dapat dibaca sebagai berikut :

1. Thomas R. Dye (1978:3) :

“...is whatever governments choose to do or not to do”. (...apa pun yang dipilih

oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan).

2. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky (1978:2) :

“... is what governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of

Page 43: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

38

government programs”. (... adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak

dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan

program-program pemerintah).

3. James A. Anderson (op.cit.:3) :

“Public policy are those policies developed by governmental bodies and officials”.

Juga pendapatnya yang lain (1965:212), “the impact of government activity”.

(Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-

badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dan sebagai akibat aktivitas pemerin-

tah).

4. David Easton (1953:129) :

“...the authoritative allocation of values for the whole society”. (...pengalokasian

nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat).

6. Budi Winarno (2005:17) :

“Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-

pejabat pemerintah yang dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan

pemerintah”.

7. RC. Chandler dan JC Plano 1988) dalam Inu Kencana Syafiie, (1999:107) :

Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-

sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik.

8. Arnold Rose (Inu Kencana Syafiie, 1999:107) :

Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang salaing berkaitan (dalam

pemerintahan).

9. William N. Dunn (Inu Kencana Syafiie, 1999:107) :

Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan

yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang

menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kese-

hatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan lain-

lain.

10. Dalam suatu glossary di bidang administrasi publik (Irfan Islamy, 2009:20),

kebijakan publik diberi arti sebagai berikut :

a. Susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-

Page 44: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

39

program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu

yang dihadapi masyarakat;

b. Apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan;

c. Masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh

pemerintah.

Dari beberapa definisi tersebut di atas, dan dengan mengikuti paham bahwa

kebijakan publik itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, maka dapat

disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian tindakan yang ditetapkan

dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan

atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.

(Irfan Islamy, 2009:20). Sementara itu kesimpulan dari Riant Nugroho, bahwa

kebijakan publik adalah “...setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai

strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi

untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa

transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan”.

KEBIJAKAN PUBLIK

Masyarakat pada Masyarakat pada Masyarakat yang Kondisi Awal Masa Transisi dicita-citakan

Sumber : Riant Nugroho (2012:123).

Implikasi dari pengertian kebijakan publik dimaksud adalah :

1. Dalam bentuk pertamanya kebijakan publik itu berupa penetapan tindakan-

tindakan pemerintah.

2. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan, tetapi mesti dilaksanakan secara

nyata.

3. Kebijakan publik, baik untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu, harus

dilandasi maksud dan tujuan tertentu.

4. Kebijakan publik harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota

masyarakat.

Demikianlah, maka yang perlu ditegaskan bahwa tugas administrator publik

Page 45: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

40

bukan membuat kebijakan atas nama publik (negara/pemerintah), tetapi

benar-benar bertujuan untuk mengatasi masalah dan memenuhi kehendak atau

aspirasi seluruh anggota masyarakat.

B. TUJUAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang bertujuan mengatur

kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber

daya, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan menyalurkan (distribusi) sumber

daya negara, dan yang bertujuan menyerap (absorptif) sumber daya negara.

Pemilahan pertama, tujuan kebijakan publik adalah kebijakan distributif atau

juga disebut alokatif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung

mengalokasikan sumber-sumber daya material atau nonmaterial ke seluruh

masyarakat. (Kolb, 1978:226). Kebijakan distributif ada yang membedakannya

dengan kebijakan redistributif. Sebenarnya keduanya bermakna sama, hanya

berbeda dalam sekuensi. Sedangkan kebijakan absorptif adalah kebijakan yang

menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang

akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Kebijakan ini

sering disebut extractive policy, dan termasuk di dalamnya dan terutama, adalah

kebijakan perpajakan.

Pemilahan kedua, tujuan kebijakan publik adalah regulatif versus deregulatif.

Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, misalnya kebijakan tarif,

pengadaan barang dan jasa, HAM, proteksi industri, dsb. Sedangkan kebijakan

deregulatif bersifat membebaskan, misalnya kebijakan privatisasi, penghapusan

tarif, pencabutan daftar negatif investasi, dsb.

Pemilahan ketiga, tujuan kebijakan publik adalah dinamisasi versus stabilisasi.

Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya

nasional untuk mencapai kemajuan tertentu yang diinginkan. Misalnya, kebijakan

desentralisasi, kebijakan zona industri ekslusif, dll. Sedangkan kebijakan stabilisasi

adalah kebijakan yang bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat, agar tidak

merusak sistem yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun sosial. Misalnya,

Page 46: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

41

pembatasan transaksi valas, penetapan suku bunga, kebijakan keaman negara, dll.

Pemilahan keempat, adalah kebijakan yang memperkuat negara versus

memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan

yang mendorong lebih besar peran negara, misalnya kebijakan pendidikan nasional

yang menjadikan negara sebagai pelaku utama. Kebijakan yang memperkuat pasar

adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar

daripada negara, misalnya kebijakan privatisasi BUMN, perseroan terbatas, dll.

Dalam praktiknya, memang setiap kebijakan publik mengandung lebih dari

satu tujuan kebijakan seperti dikemukakan di atas, dengan kadar yang berbeda.

Kebijakan yang multitujuan adalah untuk menjadikan kebijakan itu adil dan

seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama.

Tujuan kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut.

MEMBAGI MENYERAP (Distributif, Alokatif) (Absorptif) MEREGULASI MENDEREGULASI (Mengatur, Membatasi) (Membebaskan) VERSUS MENGGERAKKAN MENJAGA (Dinamisasi) (Stabilisasi) MEMPERKUAT PASAR MEMPERKUAT NEGARA (Deregulatif) (Regulatif) Sumber : Riant Nugroho (2012:141).

C. JENIS-JENIS KEBIJAKAN PUBLIK Menurut James A. Anderson (1979), jenis-jenis kebijakan publik adalah :

1. Substantive and Procedural Policies :

a. Substantive Policy, yaitu suatu kebijakan yang dilihat dari substansi masalah

yang dihadapi oleh pemerintah. Contohnya, kebijakan ekonomi, kebijakan

pendidikan, dsb.

b. Procedural Policy, yaitu suatu kebijakan yang dilihat dari pihak-pihak yang ter-

Page 47: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

42

libat dalam perumusannya (policy stakeholders). Contohnya, dalam mem-

buat suatu kebijakan publik, meskipun sudah ada instansi/organisasi peme-

rintah yang secara fungsional berwenang membuatnya, misalnya Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengatur tentang pendi-

dikan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan atau Keputusan

Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan/Keputusan Dirjen, dst.), tetapi harus

melibatkan banyak instansi terkait seperti DPR, Kementerian Hukum dan

HAM, Kementerian Tenaga Kerja, Perguruan Tinggi, bahkan organisasi di luar

pemerintahan seperti PGRI, LSM, para ahli pendidikan, dan praktisi pendidik-

an, serta masyarakat umum. Mereka yang terlibat atau berkepentingan itu

disebut stakeholders.

2. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies.

a. Distributive Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pemberian

pelayanan/keuntungan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau

perusahaan-perusahaan. Contohnya, kebijakan tentang Tax Holiday.

b. Redistributive Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pemindahan

alokasi kekayaan, kepemilikan, atau yang berkaitan dengan hak-hak sesuatu.

Contohnya kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

c. Regulatory Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pembatasan/

pelarangan terhadap suatu perbuatan atau tindakan. Contohnya, kebijakan

tentang larangan kepemilikan dan penggunaan senjata api.

3. Material Policy :

Suatu kebijakan yang mengatur pengalokasian/penyediaan sumber-sumber

material yang nyata bagi penerimanya. Contohnya, kebijakan pembuatan rumah

sederhana.

4. Public Goods and Private Goods Policies :

a. Public Goods Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur penyediaan barang-

barang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang ba-

nyak. Contohnya, kebijakan perlindungan keamanan ketertiban, penyedia-

Page 48: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

43

an jalan atau fasilitas-fasilitas umum.

b. Privat Goods Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur penyediaan barang-

barang/pelayanan oleh pihak swasta untuk kepentingan individu-individu

(perseorangan) di pasar bebas dengan imbalan biaya tertentu. Contohnya,

untuk keperluan perseorangan seperti tempat hiburan, hotel/penginapan,

dsb.

D. TINGKAT-TINGKAT KEBIJAKAN PUBLIK Menurut LAN (1997), tingkat-tingkat kebijakan publik, meliputi :

1. Lingkup Nasional :

a. Kebijakan Nasional, yaitu kebijakan negara yang bersifat fundamental dan

strategis dalam rangka pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Yang berwenang menetapkan

kebijakan nasional ini adalah MPR, DPR, dan Presiden. Kebijakan nasional

yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk

UUD, Ketetapan MPR, UU, PP/PERPPU.

Demikianlah, maka kebijakan publik di lingkup nasional ada yang dibuat

oleh Eksekutif (Presiden) untuk melaksanakan kebijakan publik yang bersifat

umum yang dibuat oleh Legislatif (MPRD/DPR/DPD), baik secara tunggal

(UUD, TAP MPR), maupun melalui kerjasama dengan Eksekutif (UU). Ada

kebijakan publik yang dibuat oleh Legislatif (DPR) dalam rangka pelaksanaan

tugas dan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, yang dicantumkan

dalam Peraturan Tata Tertib, dll. selain yang dibuat bersama Eksekutif (UU).

Dan ada kebijakan publik dan yang dibuat oleh Yudikatif (Mahkamah Agung),

melalui keputusan-keputusan khusus MA yang biasanya berkenaan dengan

perselisihan hukum yang diputuskan Pengadilan di bawahnya yang belum/

tidak dapat diterima oleh para pihak.

b. Kebijakan umum, yaitu kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR,

dan UU dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan nasional. Jadi, yang

berwenang menetapkannya adalah Presiden, dan diatur dalam kebijakan

Page 49: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

44

umum yang tertulis berupa PP, Perpres, Keppres, dan Inpres.

c. Kebijakan Pelaksanaan, yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum

sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Yang berwenang

menetapkan kebijakan ini adalah Menteri/Pejabat setingkat Menteri dan

pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Pengaturan ter-

tulisnya dituangkan dalam Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran

Menteri/Kepala LPNK.

2. Lingkup Wilayah/Daerah.

a. Kebijakan Umum, yaitu kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai pelak-

sana asas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah

(otonomi daerah). Yang berwenang menetapkan kebijakan umum di daerah

provinsi adalah Gubernur dan DPRD Provinsi, dan di kabupaten/kota adalah

Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota. Bentuk pengaturan tertulisnya

dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Perda Kabupaten/

Kota.

b. Kebijakan Pelaksanaan, yaitu sebagai implementasi dari kebijakan umum,

terdapat tiga macam :

1) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi (otda), merupakan

realisasi Perda;

2) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi, merupakan pelak-

sanaan kebijakan nasional di daerah;

3) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind),

merupakan pelaksanaan tugas pemerintah Pusat di daerah.

Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah :

1) Dalam rangka desentralisasi adalah Gubernur/Bupati/Walikota;

2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur. Ingat, berdasarkan UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kedudukan

Gubernur adalah sebagai Kepala Daerah (desentralisasi) sekaligus sebagai

Wakil Pemerintah Pusat di daerah (dekonsentrasi). Sementara Bupati/

Walikota hanya sebagai Kepala Daerah (desentralisasi/otda);

Page 50: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

45

3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/Bupati/Walikota.

Catatan : Terdapat tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat kepada

Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa, terdapat tugas pembantuan

dari Pemda Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa, serta terdapat

tugas pembantuan dari Pemda Kabupaten/Kota ke Desa.

Bentuk pengaturan tertulis dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

adalah berupa Keputusan-keputusan dan Instruksi Gubernur/Bupati/

Walikota. Dalam rangka dekonsentrasi berupa Keputusan-keputusan dan

Instruksi Gubernur, serta dalam rangka tugas pembantuan berupa

Keputusan-keputusan dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.

E. BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK

Menurut Riant Nugroho (2012:131), bentuk pertama kebijakan publik adalah

peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Jika

melihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, maka hierarki atau tata urut peraturan perundang-

undangan di Indonesia adalah :

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/

PERPPU).

4. Peraturan Pemerintah (PP).

5. Peraturan Presiden (Perpres).

6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.

7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.

Setiap peraturan dari tingkat pusat atau nasional, hingga tingkat kelurahan/

desa, adalah kebijakan publik. Mereka adalah aparat publik yang dibayar oleh uang

publik melalui pajak dan penerimaan negara lainnya, dan karenanya secara hukum

formal bertanggung jawab kepada publik. Jadi, rentetan kebijakan publik sangat

banyak, akan tetapi dalam pemahaman kontinentalis dapat dikelompokkan menjadi

Page 51: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

46

tiga :

1. Kebijakan publik yang bersifat makro, umum, atau mendasar, yaitu peraturan-

peraturan tersebut di atas.

2. Kebijakan publik yang bersifat messo, menengah, atau penjelas pelaksanaan.

Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri (Permen), Surat Edaran (SE)

Menteri, Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati/Walikota (Perbub/

Perwal). Kebijakannya dapat juga berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB)

antarMenteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro, kecil atau bawah yang mengatur pelak-

sanaan/implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah per-

aturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur,

Bupati/Walikota.

Peraturan-peraturan tersebut sifatnya mengatur (regeling), tetapi terdapat

beberapa perkecualian, yaitu kebijakan yang sifatnya makro dan messo kadang

bersifat implementasi/pelaksanaan langsung (beshicking), namun tidak berarti

kekeliruan. Kebijakan seperti itu bahkan dapat dikatakan lebih efisien karena tidak

memerlukan peraturan penjelasan tambahan yang akan menjadikan kebijakan

tersebut secara formulasi saja sudah memerlukan biaya besar (high cost economy).

Di negara-negara maju di Amerika utara, kebanyakan peraturan itu dibuat secara

detail hingga berkenaan dengan implementasi. Pada sejumlah negara di Eropa,

kebijakan publik ditata secara lebih rigid (kaku) dalam aransemen makro-messo-

mikro. Memang tidak ada preferensi terbaik, apakah peraturan dibuat secara detail

meliputi pengaturan dan pelaksanaan, atau pengaturan dan pelaksanaan dibuat

secara terpisah. Yang jelas kelemahan utama yang dibuat secara detail (pengaturan

sekaligus pelaksanaan), adalah jika diperlukan perubahan-perubahan prosesnya

sangat sulit, berat, lama, dan karenanya sangat mahal, sebab yang diubah harus

induk kebijakan. Berbeda jika yang diubah adalah kebijakan di bawahnya, pada

tingkat penjelasan atau pelaksanaan.

Bentuk kedua kebijakan publik, selain peraturan perundang-undangan yang

terkodifikasi, adalah pernyataan-pernyataan lisan pejabat publik. Pernyataan di-

maksud harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya.

Page 52: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

47

Demikianlah, maka pernyataan-pernyataan pejabat publik yang berkenaan dengan

tugas dan kewenangannya menjadi sesuatu yang harus dipedomani dan dilaksana-

kan. Karena itu pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan pernyataan-

pernyataannya yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat

publik.

Pengalaman Indonesia, khususnya di zaman reformasi ini, tidak sedikit pejabat

publik yang terbiasa dan sembarangan membuat pernyataan. Contoh kalimat-

kalimat yang terlontar di antaranya :

- Gitu aja kok repot;

- Salahnya sendiri, mengapa rakyat mau tinggal di bantaran sungai atau di daerah

banjir?

- Kelaparan itu kecelakaan, kok;

- Kalau tidak kuat beli BBM, ya jangan beli;

dan banyak lagi, yang kadang juga bertolak belakang antara apa yang dikatakan

dengan yang dilakukannya, atau tidak ada satunya kata dengan perbuatan, sehingga

integritasnya diragukan.

Pernyataan pejabat publik yang paling dianggap sebagai kebijakan publik

adalah yang disampaikan dalam forum resmi dan dikutip oleh media massa serta

disebarluaskan kepada masyarakat luas. Pernyataan yang disampaikan dalam

ruang-ruang privat, tidak dapat dianggap sebagai kebijakan publik, kecuali hal

tersebut dikemukakan kembali oleh pejabat publik secara publik.

Menurut Riant Nugroho (2012:135), ucapan pejabat publik di depan publik

yang disebut sebagai kebijakan publik harus :

1. Berisi kebenaran.

2. Konsisten, karena mencerminkan lembaganya.

3. Apabila berkenaan dengan hal-hal yang harus segera diimplementasikan oleh

struktur di bawahnya, sudah dikomunikasikan terlebih dulu dengan struktur di

bawahnya itu dan sudah siap dengan manajemen implementasinya.

4. Apabila berkenaan dengan hal-hal yang masih bersifat konsep atau rencana,

harus disampaikan secara jelas bahwa yang dinyatakannya itu adalah baru kon-

sep atau rencana atau biasa disebut wacana.

Page 53: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

48

Barang tentu pejabat publik berhak tidak memberikan pernyataan publik,

dengan tiga prakondisi yang perlu ditegaskan kepada publik (biasanya melalui

media massa), yaitu :

1. Pejabat bersangkutan tidak memiliki kompetensi di bidang yang dimintakan

pernyataannya.

2. Pejabat bersangkutan tidak cukup menguasai materi yang dimintakan per-

nyataannya.

3. Isu yang dimintakan pernyataan berkenaan dengan keamanan negara.

Bentuk ketiga kebijakan publik, adalah perilaku dan gesture atau gerak-

mimik-gaya pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini adalah bentuk kebijakan yang

paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan. Padahal dalam prakteknya, perilaku

pejabat publik akan ditiru rakyat. Pimpinan lembaga negara/pemerintah atau

instansi yang jujur dan berdisiplin, akan menghasilkan perilaku yang jujur dan

berdisiplin bukan saja di kalangan instasinya, namun juga jajaran di daerah dan

publik yang dilayaninya. Demikian halnya yang negatif, misalnya di suatu daerah

yang dipimpin oleh kepala daerah yang korup, akan mengembangkan perilaku

korup, karena korupsi dianggap sebagai kebijakan publik secara konvensi. Dalam hal

gesture, maka gerik-mimik-gaya pejabat publik akan ditirukan oleh bawahannya.

Ketika pejabat publik bermuka masam kepada bawahannya atau kepada maha-

siswa, maka mereka akan mengimitasi gerak-mimik-gaya tersebut. Ketika pimpinan

bertemu dengan rekannya bercipika-cipiki, maka pejabat lain bawahannya akan

menirunya. Demikian juga dalam kehidupannya yang glamor misalnya, akan ditiru

juga oleh bawahannya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kiranya perlu dijelaskan siapa sebenar-

nya pejabat publik itu. Pejabat publik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Pejabat Negara :

a. Pejabat Legislatif, yaitu Ketua dan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

b. Pejabat Yudikatif, yaitu Pimpinan MA, MK, dan KY;

c. Pejabat Eksekutif, yaitu :

1) Presiden dan Wakil Presiden;

2) Menteri dan Pejabat Pemerintah setingkat Menteri (LPNK);

Page 54: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

49

3) Gubernur dan Wakil Gubernur;

4) Duta Besar;

5) Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

d. Pejabat Akuntatif, yaitu Pimpinan BPK;

e. Pejabat Lembaga Publik semi Negara, termasuk di antaranya : KPK, Komnas

HAM, KPPU, hingga badan-badan regulator infrastruktur publik, seperti Badan

Regulator Telekomunikasi Indonesia dan Badan Regulator Air Minum PAM

Jaya.

2. Pejabat Administratif :

a. Pejabat Struktural Pusat (Eselon I dan II);

b. Pejabat Struktural Daerah Provinsi (Eselon I dan II);

c. Pejabat Struktural Daerah Kabupaten/Kota (Eselon II dan III);

d. Para Pejabat Humas Pemerintah;

e. Pejabat Pimpinan Pelaksana di tingkat bawah (Camat, Kepala Kelurahan/

Kepala Desa).

F. CIRI-CIRI KEBIJAKAN PUBLIK

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan

bahwa kebijakan itu dirumuskan oleh orang-orang (pejabat) yang memiliki wewe-

nang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif,

para legislator, para hakim, para administrator, para monarki, dsb. (David Easton

dalam Solihin Abdul Wahab, 2004:5).

Ciri-ciri tersebut di atas membawa implikasi tertentu terhadap konsep

kebijakan publik, yaitu :

1. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada

sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Artinya, tindakan

dimaksud direncanakan terlebih dulu.

2. Kebijakan publik pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling ber-

kait dan berpola, yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh peja-

bat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang ber-

Page 55: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

50

diri sendiri. Artinya, tidak hanya menyangkut pembuatan aturan, tetapi juga

implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya.

3. Kebijakan publik bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan

pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Contohnya, dalam mengatur per-

dagangan, mengendalikan inflasi, menggalakkan penggunaan produk dalam

negeri, mengadakan program perumahan rakyat bagi masyarakat yang berpeng-

hasilan rendah, dsb.

4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Bentuk

positif misalnya kebijakan yang mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah

yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah-masalah tertentu, sedangkan

bentuk negatif mungkin meliputi keputusan-keputusan pejabat untuk tidak

bertindak, atau tidak melakukan tindakan apa pun dalam masalah-masalah yang

seharusnya campur tangan pemerintah justru diperlukan. Dengan kata lain,

pemerintah bisa saja menempuh suatu kebijakan yang sangat liberal, atau cuci

tangan sama sekali, baik terhadap seluruh atau sebagian sektor kehidupan.

Tentu saja tiadanya campur tangan atau keterlibatan pemerintah akan mem-

bawa dampak tertentu bagi seluruh atau sebagian warga masyarakat yang

bersangkutan.

Page 56: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

51

BAB V SISTEM, PROSES, DAN SIKLUS

KEBIJAKAN PUBLIK

A. SISTEM KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik dapat dipandang sebagai reaksi sistem politik untuk kebutuhan

yang timbul dari lingkungan sekitarnya. (Leo Agustino, 2012:19). Sistem politik

menurut David Easton (1965), terdiri dari kegiatan dan lembaga yang dapat

diidentifikasikan dan saling berhubungan dalam masyarakat yang dapat membuat

keputusan berdasarkan wewenang (atau penempatan nilai) yang mengikat masya-

rakat.

Masukan (input) sistem politik berasal dari lingkungan (environment) yang

terbuka berupa permintaan (demands) dan dukungan (support). Lingkungan terdiri

dari semua kondisi dan kejadian luar sampai pada batas sistem politik. Permintaan

adalah klaim yang dibuat seseorang dan kelompok dalam sistem politik untuk

bertindak agar dapat memenuhi keinginannya. Dukungan diberikan ketika suatu

kelompok dan masing-masing orang mematuhi hasil pemilihan umum, membayar

pajak, mematuhi hukum, dan menerima keputusan serta tindakan sistem politik

yang berkuasa yang dibuat sebagai reaksi atas permintaan. Output kebijakan dapat

menghasilkan permintaan baru, yang dapat memberikan output kebijakan

selanjutnya, sehingga kebijakan publik tidak pernah berakhir. Untuk lebih jelasnya,

sistem kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut.

Infra Social Environment : - Sistem Ekologi I Sistem Politik - Sistem Sosial - Sistem Budaya N - Sistem Ekonomi, dll. Demands

P Output Extra Social Environment : Support Formulasi

- Sistem Sosial Internasional U Kebijakan - Sistem Budaya Internasional Publik - Sistem Politik Internasional, T - Dll.

Sumber : Leo Agustino (2012:20)

Umpanbalik

Page 57: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

52

Sementara itu menurut Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (1988),

yang dimaksud dengan sistem kebijakan publik adalah keseluruhan pola kelemba-

gaan dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan di antara

empat unsur, yaitu :

1. Masalah kebijakan publik.

2. Pembuatan kebijakan publik.

3. Kebijakan publik.

4. Dampak kebijakan publik kepada kelompok sasaran (target goup).

Sebagai suatu sistem, maka dalam kebijakan publik dikenal adanya elemen

atau unsur-unsur : Input Process Output Impact. Kebijakan publik

merupakan output dari suatu input yang diproses secara politis. Adapun uraian

tentang unsur-unsur sistem kebijakan publik dimaksud adalah :

1. Input (Masukan) : Masalah Kebijakan Publik.

Hal ini timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan publik, yaitu suatu

keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya

“masalah kebijakan publik” tersebut yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginan-

keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera

dapat diatasi melalui suatu kebijakan publik. Masalah itu dapat juga timbul

justru karena dikeluarkannya suatu kebijakan publik baru.

Contohnya, masalah kebijakan publik timbul karena adanya dorongan dari

masyarakat, seperti misalnya keluarnya program SD Inpres, Pasar Inpres, dan

Puskesmas Inpres, oleh karena adanya pandangan masyarakat (tahun 1970-an)

tentang kurangnya pemerataan pembangunan. Masyarakat menganggap

pembangunan cukup berhasil tetapi kurang merata. Contoh lain, kebijakan

publik juga timbul karena adanya kebijakan pemerintah. Misalnya, akibat adanya

kebijakan Pemda DKI Jaya yang menetapkan bahwa di beberapa jalan protokol

kota Jakarta, kendaraan roda empat (kecuali taksi dan bus kota) diwajibkan

berpenumpang minimal tiga orang (three in one), maka muncul masalah “jockey”

yaitu ada orang yang dibayar untuk ikut mobil yang berpenumpang kurang dari

tiga orang.

Page 58: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

53

2. Process (Proses) : Pembuatan Kebijakan Publik.

Hal ini bersifat politis, karena dalam proses tersebut terlibat berbagai kelompok

kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan, lebih-

lebih dengan keterlibatan lembaga-lembaga seperti infra dan supra struktur

politik, atau stakeholder politik, yang termasuk juga di dalamnya kelompok

penekan (pressure group), partai politik, organisasi massa, LSM, tokoh per-

orangan, pengusaha, pekerja/buruh, mahasiswa, dll. Mereka ini yang mem-

pengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik.

3. Output (Keluaran) : Kebijakan Publik.

Berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah

atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh kebijakan publik.

4. Impacts (Dampak) : Terhadap Kelompok Sasaran.

Kelompok sasaran adalah orang-orang, kelompok-kelompok orang, atau

organisasi-organisasi yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi atau

diubah oleh kebijakan publik tersebut.

B. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

Proses kebijakan publik ini melalui tahapan-tahapan : 1. Perumusan Kebijakan Publik.

Tahap ini dimulai dari perumusan masalah sampai dengan dipilihnya alternatif

untuk direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang menetap-

kan kebijakan publik.

2. Implementasi Kebijakan Publik.

Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat berwenang, kemudian kebijakan

publik tersebut diimplementasikan. Menurut Bintoro dan Mustopadidjaja,

implementasi kebijakan publik itu ada tiga bentuk :

a. Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah sendiri. Contohnya, pembangunan SD Inpres, Pasar Inpres.

Page 59: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

54

b. Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya tidak

dilakukan oleh pemerintah, tetapi oleh pihak lain. Dalam hal ini pemerintah

hanya mengatur saja (regulasi).

c. Kebijakan campuran, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah dan pihak lain yang bukan pemerintah (swasta). Contohnya,

Pemerintah DKI Jaya mengeluarkan kebijakan tentang kebersihan, yang

pelaksanaannya ada yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan, dan ada yang oleh

pihak swasta, atau dengan cara kerjasama.

3. Monitoring Kebijakan Publik.

Adalah proses kegiatan pengawasan terhadap implementasi kebijakan, yaitu

untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh tujuan kebijakan tercapai.

4. Evaluasi Kebijakan Publik.

Evaluasi ini bertujuan untuk menilai apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah

kebijakan itu diimplementasikan, atau memperbandingan antara sebelum dan

sesudah diberlakukannya suatu kebijakan.

C. SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK

Proses kebijakan publik dapat digambarkan sebagai suatu siklus kebijakan publik,

seperti dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

PERUMUSAN KEBIJAKAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEBIJAKAN MONITORING KEBIJAKAN

Page 60: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

55

Siklus kebijakan dimulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan,

monitoring kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Page 61: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

56

BAB VI KONTEKS MAKRO DAN ARTI PENTING

KEBIJAKAN PUBLIK

A. NEGARA DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Negara adalah sebuah entitas politik yang bersifat formal (Riant Nugroho, 2012 :

27) yang mempunyai komponen utama, yaitu :

1. Komponen Lembaga-lembaga Negara :

a. Lembaga Pemerintah (Eksekutif);

b. Lembaga Perundang-undangan (Legislatif);

c. Lembaga Peradilan (Yudikatif).

Ketiga lembaga ini mempunyai dua pola : Terpisah satu sama lain, terkait satu

sama lain, atau salah satu menjadi bagian dari yang lain baik secara formal

maupun dalam arti terkooptasi.

2. Komponen Rakyat sebagai Warga Negara (Citizen).

Rakyat sebagai warga negara mempunyai hak-hak kewarganegaraan, yaitu hak

politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, komunitarian, individual, intelektual,

dan biologis, yang bahasa universalnya disebut hak asasi manusia. Rakyat

berkembang dalam bentuk masyarakat atau civil society yang menjadi

instrumen penyeimbang (counterveiling) terhadap negara untuk memastikan

bahwa negara bekerja untuk mencapai misinya. Bentuk-bentuk wadah

kewarganegaraan itu beragam, ada wadah politik seperti partai politik, wadah

ekonomi seperti badan-badan usaha, dan wadah sosial seperti asosiasi-asosiasi

formal atau informal.

3. Komponen Wilayah.

Komponen wilayah yang diakui kedaulatannya, sebagai sebuah kawasan fisik

yang kasatmata, yaitu wilayah geografis dari Sabang sampai Merauke yang

diakui oleh negara-negara dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menu-

Page 62: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

57

rut Riant Nugroho, ke depan akan berkembang virtual nations yang mempunyai

wilayah yang maya. Bentuk pertama negara maya adalah perusahaan multi-

nasional yang beroperasi di banyak negara, yang karyawannya mempunyai

loyalitas lebih tinggi tinimbang kepada negara nyatanya. Bentuk kedua adalah

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional yang mempunai jaringan

kerja di seluruh dunia. Anggota jaringan ini pun lebih loyal kepada ideologi

yang dibawa LSM daripada kepada ideologi negara. Bentuk ketiga adalah

munculnya negara maya pada situs internet yang menawarkan orang orang dari

berbagai dunia menjadi warganya. Bentuk ke empat adalah jaringan terorisme

dan kejahatan global, termasuk jaringan perdagangan narkoba yang sulit

dihentikan. Mereka menjadi “negara baru” yang tak tersentuh oleh negara

nyata.

4. Komponen Kebijakan Publik.

Setiap negara modern pasti mempunyai konstitusi, peraturan perundang-

undangan, kebijakan dan keputusan sebagai aturan main hidup bersama.

Negara tanpa konstitusi adalah negara gagal karena kehidupan bersama akan

diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja yang yang bekerja untuk

kepentingan pribadi dan kelompoknya (tirani/oligarki). Kebijakan publik adalah

bagaimana mengatur interaksi antara negara dengan rakyat, yang tidak lain

adalah tata kelola negara, atau bagaimana memanajemeni negara.

Pada dimensi ini kita memulai pemahaman tentang arti penting kebijakan

publik pada konteks makro negara. Setiap negara terutama pemerintahan

sebagai pemegang kekuasaan, berkehendak untuk dapat mengendalikan

negara. Timbul pertanyaan dari setiap pemegang kekuasaan negara, yaitu

“bagaimana mengendalikan negara?”. Tetapi pertanyaan yang lebih tepat dan

relevan adalah “bagaimana memanajemeni negara?” karena mengendalikan

saja berarti menjaga atau memastikan agar tidak keluar dari jalur. Sementara

memanajemeni berarti mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai,

yang berarti juga ada upaya untuk melakukan value creation. Jadi, mengendali-

kan adalah “bagian terluar” dari upaya negara, dan bagian yang lebih dalam

Page 63: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

58

adalah memanajemeni, dan bagian terdalam lagi dan paling sulit adalah

memimpin.

Bagan : Dimensi Tugas Negara :

MENGENDALIKAN

MEMANAJEMENI

MEMIMPIN

Sumber : Riant Nugroho, 2012:29

Demikianlah, maka dengan mengendalikan, memanajemeni, dan memim-

pin itu dikembangkan melalui kebijakan publik. Ketika pemerintah menetapkan

demokratisasi sebagai kebijakan publik, maka seluruh kehidupan bersama

berubah. Kehidupan secara simultan menjadi bagian dari ekstrapolasi kebijak-

an, sebagaimana bagan di bawah ini.

Bagan : Kebijakan Publik sebagai Awal Kehidupan Bersama :

Pemilupres Langsung Otonomi Daerah Pemilukada Langsung

DPR+DPD=MPR Demokratisasi KPK

Komnas-komnas Pelayanan Satu Atap Pemekaran Wilayah Sumber : Riant Nugroho, loc.cit.

Kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan

negara. Semua negara menghadapi masalah yang relatif sama, yang berbeda

adalah bagaimana respons terhadap masalah tersebut. Respons dimaksud

inilah yang disebut kebijakan publik. Karena kebijakan publik adalah domain

dari negara atau pemerintahan, atau pemegang kakuasaan negara, maka

kebijakan publik adalah bentuk faktual dari upaya setiap pemerintah untuk

memanajemeni kehidupan bersama yang disebut “negara” dan “bangsa”.

Page 64: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

59

Kebijakan publik akhirnya merupakan bentuk paling nyata dari ideologi

suatu negara-bangsa.

Bagan : Kebijakan Publik sebagai Bentuk Paling Nyata Ideologi Negara-Bangsa :

Ideology

Political Systems

Public Policy

Ideologi adalah keyakinan politik dari kesatuan politik yang disebut negara

merdeka dan berdaulat. Ideologi diturunkan menjadi politik kebangsaan

apapun bentuknya, baik demokrasi maupun nondemokrasi. Bentuk akhir dari

dari ideologi dan kemudian politik, adalah kebijakan publik. Demikianlah ideo-

logi yang paling manusiawi, politik yang paling demokratis, tidak ada gunanya

jika tidak mampu membangun kebijakan-kebijakan publik yang unggul.

B. AKTOR KEBIJAKAN PUBLIK

Di era reformasi ini, aktor kebijakan yang berwenang membuat aturan atau kebijak-

an (lembaga-lembaga negara dan pemerintah) adalah :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

3. Presiden.

4. Pemerintah :

a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintah pusat);

b. Menteri;

c. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK);

d. Direktorat Jenderal (Dirjen) Kementerian;

e. Badan-badan Negara lainnya (Bank Sentral, BUMN, dll.);

f. Pemerintah Daerah Provinsi;

g. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

Page 65: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

60

h. Kepala Desa;

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.

7. Badan Perwakilan Desa (BPD).

Lembaga-lembaga tersebut di atas memiliki peran dan wewenang masing-

masing untuk membuat kebijakan publik sesuai dengan kedudukannya dalam

sistem pemerintahan Republik Indonesia. Di bawah ini adalah matrik ikhtisar dari

peran dan wewenang dimaksud.

AKTOR (Nama Lembaga)

PERAN DAN WEWENANG

MPR

1. Menetapkan UUD; 2. Menetapkan TAP MPR; 3. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; 4. Memakzulkan (Impeachment) Presiden/Wakil Presiden.

Presiden 1. Dengan persetujuan DPR membentuk UU; 2. Menetapkan PERPPU;

DPR Membentuk UU bersama-sama Presiden.

Pemerintah

1. Menetapkan PP untuk melaksanakan UU; 2. Menetapkan Perpres (yang bersifat regeling/pengaturan); 3. Menetapkan Keppres (yang bersifat beshicking/ penetap-

an pelaksanaan); 4. Menetapkan Inpres yang berisi petunjuk-petunjuk kepada

instansi di bawahnya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD, TAP MPR, UU, dan PP.

Menteri Menetapkan Peraturan atau Keputusan Menteri sebagai aturan pelaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden.

Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)

Menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat teknis dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.

Direktorat Jenderal Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis di bidang masing-masing.

Badan-badan Negara lain-nya

Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi rincian dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur bidang tugas dan fungsinya masing-masing.

Pemerintah Daerah Pro-vinsi

Menetapkan Perda Provinsi dengan persetujuan DPRD Pro-vinsi.

DPRD Provinsi Menetapkan Peda Provinsi bersama-sama Pemerintah Daerah Provinsi.

Pemerintah Daerah Kabu-paten/Kota

Menetapkan Perda Kabupaten/Kota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.

DPRD Kabupaten/Kota Menetapkan Perda Kabupaten/Kota bersama-sama Pemerin-tah Daerah Kabupaten/Kota.

Page 66: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

61

Kepala Desa Menetapkan Peraturan dan Keputusan Desa dengan per-setujuan BPD.

BPD Menetapkan Peraturan dan Keputusan Desa bersama-sama Kepala Desa.

Di samping aktor kebijakan publik, terdapat juga pemeranserta tidak resmi,

yaitu :

1. Kelompok-kelompok kepentingan.

Kelompok ini cukup memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan

publik di hampir semua negara. Perbedaannya mungkin bergantung pada apa-

kah sistem pemerintahan yang dianutnya, demokrasi, atau otoriter, juga

keadaan negaranya sendiri, modern, atau berkembang. Perbedaan ini akan

menyangkut keabsahan serta hubungan antara pemerintahan dengan kelompok-

kelompok dimaksud.

Dalam sistem politik demokratik, kelompok-kelompok kepentingan akan

lebih memainkan peranan yang penting dengan kegiatan yang lebih terbuka

dibandingkan dengan sistem otokratik. Dalam sistem politik demokratik kebe-

basan berpendapat dilindungi dan warga negara lebih memiliki keterlibatan

politik, sementara di negara yang otokratik lebih tertutup. Walaupun berbeda

dalam hal hubungan dan sifat aktivitasnya, namun dalam menjalankan fungsi

artikulasi kepentingan, mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan (aspi-

rasi) dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Kelompok-

kelompok itu juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dan

sering pula yang sifatnya teknis serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin

timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan.

Pengaruh kelompok-kelompok kepentingan terhadap kebijakan publik

bergantung pada banyak faktor, antara lain menyangkut ukuran-ukuran keang-

gotaan kelompok, keuangan dan sumber-sumber lain, keterpaduannya, kecakap-

an dari pemimpin kelompok, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah laku

para pejabat publik, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem politik.

Suatu kelompok yang besar dan dianggap baik akan cenderung efektif dalam

memengaruhi kebijakan publik dibanding dengan kelompok sebaliknya. Namun

kelompok pun bergantung bidang kepentingannya, misal kelompok kepentingan

Page 67: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

62

yang terdiri dari para guru akan efektif memengaruhi kebijakan bidang pendi-

dikan, namun belum tentu efektif dalam memengaruhi kebijakan yang berkaitan

dengan buruh, dan sebagainya.

2. Partai-partai Politik.

Dalam sistem politik demokrasi, partai-partai politik memegang peran penting.

Partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Ini berarti bahwa

partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi pada kekuasaan dibanding

pada kebijakan publik. Namun demikian, peran partai-partai politik tidak dapat

diabaikan begitu saja pengaruhnya dalam proses pembentukan kebijakan publik.

Dalam masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan “agre-

gasi kepentingan” yang mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-

kelompok kepentingan menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik.

3. Warga Negara Individu.

Warga negara dalam hubungannya dengan legislatif maupun kelompok kepen-

tingan lain sering diabaikan dalam pembuatan kebijakan publik. Namun dalam

beberapa hal individu dari warga negara ini masih dapat mengambil peran secara

aktif dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik.

(Budi Winarno, hal. 134).

C. LINGKUNGAN KEBIJAKAN PUBLIK

Berdasarkan teori sistem, maka pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari

lingkungan sekitarnya. Demikian halnya dengan kebijakan publik yang akan

dibentuk dan sekaligus membentuk lingkungan sekitarnya (sosial budaya, ekonomi,

dan politik). Pada satu saat kebijakan menyalurkan masukannya pada lingkungan

sekitarnya, dan pada saat yang sama atau yang lain, lingkungan sekitar membatasi

dan memaksanya pada perilaku yang harus dikerjakan oleh para pengambil kepu-

tusan/pembuatan kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan kebijakan dengan

kegiatan kebijakan itu memiliki hubungan yang saling pengaruh-mempengaruhi.

Lingkungan kebijakan yang lebih spesifik kiranya perlu dipahami dengan pe-

maknaan yang plural. Terdapat tiga kategori besar :

Page 68: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

63

1. Lingkungan umum di luar pemerintahan, dalam arti pola-pola yang melibatkan

faktor sosial, nilai-nilai budaya tertentu, ekonomi, dan politik.

2. Lingkungan di dalam pemerintahan, dalam arti instansional seperti karakteristik

birokrasi, sumber daya yang dimiliki, sumber daya finansial yang tersedia, dsb.

3. Lingkungan khusus yang mempengaruhi kebijakan, termasuk beberapa bentuk

lingkungan lain baik dilihat dari sisi formulasi, implementasi, hingga evaluasi,

bahkan perubahan kebijakan publik antara lain karakteristik geografis seperti

sumber daya alam, iklim, dan topografi; variabel demografi seperti populasi

masyarakat, persebaran usia, hingga lokasi; sistem sosial; sistem ekonomi; dan

budaya politik. Negara lain pun bahkan menjadi bagian penting dalam struktur

lingkungan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pertahanan

dan kebijakan luar negeri.

Dalam pembahasan faktor lingkungan, yang banyak diperhatian oleh para

pemerhati kebijakan publik dan ilmuwan politik adalah variabel budaya politik dan

variabel sosial-ekonomi.

1. Kondisi Budaya Politik.

Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan, tradisi, dan budaya yang membedakan

nilai-nilai serta perilaku anggotanya dari masyarakat lainnya. Clyde Kluckhohn

seorang antropolog dalam bukunya Mirror of Man (Leo Agustino, 2012:46)

mendefinisikan budaya sebagai “seluruh cara hidup orang, peninggalan sosial

seseorang yang diperoleh dari kelompoknya. Atau budaya dapat dikatakan

sebagai bagian dari lingkungan yang diciptakan oleh manusia”.

Sebagian dari budaya masyarakat dapat membentuk budaya politik yang

secara luas memberi nilai, kepercayaan, dan sikap mengenai apa yang harus

dikerjakan oleh pemerintah dan bagaimana menjalankannya, serta hubungan

antara warga negara dengan pemerintah. Budaya politik ini diwariskan dari satu

generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi, yaitu seseorang melalui

interaksinya dengan orang tua, teman, guru, pemimpin politik dan lainnya secara

politis mempelajari nilai, kepercayaan, dan sikap yang ada di lingkungannya.

Budaya politik yang diperoleh seseorang menjadi bagian dari sikap psikologisnya

Page 69: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

64

dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dalam masyarakat yang mutikultur,

variasi sikap dan perilaku yang terbangun oleh budaya politik juga sangat

dipengaruhi kontrawacana yang berkembang dalam wilayah kelompoknya

sehingga melahirkan sub kultur tersendiri. Contoh di negara multikultur seperti

Amerika Serikat, terdapat variasi budaya politik yang dapat diamati, yaitu antara

budaya politik warga negara bagian utara dengan budaya politik warga negara

bagian selatan, budaya politik masyarakat kulit hitam dengan budaya politik

masyarakat kulit putih, budaya politik masyakarat penganut agama kristen dan

budaya politik masyarakat penganut agama lainnya, seperti Islam, dsb.

Daniel Elazar dalam bukunya American Federalism (Leo Agustino, ibid : 47)

berpendapat bahwa di AS terdapat tiga budaya politik yang dapat dikenali, yaitu

budaya politik individualis, budaya politik moralis, dan budaya politik tradi-

sionalis. Budaya politik individualis menekankan bahwa pemerintah adalah alat

untuk mengerjakan apa yang diinginkan masyarakat. Dalam hal ini orang yang

berkecimpung di bidang politik bekerja di kantor sebagai alat pengontrol

keinginan atau kegiatan yang diinginkan warga masyarakatnya. Budaya politik

moralis lebih memandang dan menekankan bahwa pemerintah sebagai pelayan

publik. Sementara budaya politik tradisionalis memandang pemerintah secara

paternalis dan elitis, maksudnya kekuasaan politik yang sesungguhnya berpusat

di sebagian kecil masyarakat, dan sebagian besar warga negara relatif meng-

harapkan tidak begitu aktif di bidang politik.

Dalam konteks kebijakan publik di negara-negara berkembang yang baru

keluar dari kolonialisme maupun otoritarianisme, partisipasi warga negara ber-

kecenderungan meledak-ledak sehingga berbagai hal bisa terjadi. Pertanyaan

yang muncul adalah :

a. Apakah yang diperlukan, institusi formal yang mampu mengakomodasi

kepentingan warga negara seperti partai politik, parlemen yang aspiratif,

birokrasi tanpa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), pemilihan umum yang

umum, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil, atau apa?

b. Manakala budaya politik dipenuhi oleh konflik, apakah yang harus dilakukan

agar kebijakan publik yang dihasilkan dapat menetralisasi atau menyelesaikan

Page 70: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

65

konflik yang ada?

c. Ketika budaya politik tradisional yang muncul dalam suatu masyarakat

sehingga muncul kebijakan publik yang berorientasi elitis, apa yang perlu

dilakukan oleh warga negara agar tidak mencederai kebaikan bersama yang

ada di dalam masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mau tak mau akan mempenga-

ruhi formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik, dan karenanya tidak

dapat dikelabui dan dinafikan.

Robin M. Williams Jr., seorang sosiolog (Leo Agustino, ibid : 48) menandai

sejumlah “nilai utama” yang mempunyai arti penting dalam kebijakan publik

seperti demokrasi, individualisme, dan humanitarianisme. Misalnya :

a. Pendekatan demokrasi pada peraturan kegiatan ekonomi secara umum

bersifat praktis atau pragmatis, lebih menekankan pemecahan khusus untuk

menghadirkan permasalahannya daripada rencana jangka panjang atau kon-

sistensi ideologi;

b. Perhatian terhadap kebebasan individu telah membentuk anggapan yang

berlawanan dengan pembatasan kegiatan pribadi dari keinginan untuk

bertindak secara pribadi dengan jangkauan yang luas;

c. Penekanan pada individualisme dan milik pribadi memperlihatkan bahwa

seseorang pada umumnya harus bebas untuk menggunakan harta milik

secukupnya.

Sementara itu Gabriel Almond dan Sydney Verba dalam buku mereka

Budaya Politik (Leo Agustino, ibid : 49) membedakan budaya politik ke dalam tiga

kategori, yaitu Budaya Politik Parokial, Budaya Politik Subyek, dan Budaya Politik

Partisipan.

Dalam budaya politik parokial, warga negara mempunyai sedikit kesadaran

atau orientasi pada sistem politik secara keseluruhan, mulai dari proses

pemberian masukan kepada pemerintah atau lembaga-lembaga politik formal

lainnya hingga keluaran (output). Masyarakat persukuan, chiefdom, dan kerajaan

adalah gambaran budaya politik ini.

Budaya politik subyek seperti di Jerman, warga negara sebagai subyek (pe-

Page 71: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

66

laku) menyadari akan otoritas pemerintah karena itu subyek berorientasi pada

sistem politik dan proses keluaran. Namun mereka juga mempunyai sedikit

kesadaran pada proses masukan (input) atau sebagai peserta. Subyek menyadari

akan wewenang pemerintah, dan boleh menyukai atau tidak menyukai,

karenanya dalam hal ini subyek lebih bersikap pasif.

Adapun dalam budaya politik partisipan, warga negara mempunyai kesa-

daran politik dan informasi yang tinggi dan mempunyai orientasi eksplisit pada

sistem politik secara keseluruhan, proses input dan outputnya, dan mempunyai

partisipasi politik yang sangat tinggi.

Budaya politik membantu membentuk budaya politik yang berpengaruh pa-

da kebijakan publik. Hal ini juga ditandai oleh peran partai politik. Menurut

James Anderson (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya

peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah sistem

kepartaian yang dianut dan dipraktekkan oleh negara bersangkutan. Secara

teoritis, terdapat tiga sistem kepartaian yang masing-masing memiliki karateristik

dan konsekuensi pada peran partai politik dalam proses formulasi kebijakan pub-

lik, yaitu (Leo Agustino, ibid : 50-51) :

a. Sistem Banyak Partai (Multyparty Systems) : Di negara-negara yang menganut

atau mempraktekkan multi partai, partai politik menjalankan peran sebagai

“broker” yang menjadi perantara kepentingan anggotanya untuk disalurkan

kepada para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Sepintas partai

politik menjalankan perannya sangat baik, akan tetapi sebenarnya tidak lebih

dari kelompok kepentingan belaka, dan lebih banyak memainkan peran dalam

proses formulasi kebijakan;

b. Sistem Dua Partai (Twoparty Systems) : Di negara-negara yang menganut dan

mempraktekkan sistem ini dicirikan dengan kecenderungan-kecenderungan

melibatkan diri ke dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dua partai

senantiasa berkompetisi dalam memperebutkan dukungan publik. Perannya

lebih efektif dalam mempengaruhi proses kebijakan publik seperti halnya di

Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat), atau di Inggris (Partai

Demokrat dan Partai Buruh);

Page 72: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

67

c. Sistem Satu Partai (Monoparty Systems) : Di negara-negara yang menganut

dan mempraktekkan satu partai (umumnya komunis), maka peran partai

politik sangat dominan bahkan sentral. Ia melakukan semua peran yang

secara langsung mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Dilihat

dari tingginya peran partai politik, memang baik bagi kinerja partai bersang-

kutan, tetapi dilihat dari filosofi dasar kebijakan publik tidak demokratis,

karena yang terjadi adalah hegemoni negara/partai terhadap semua peri-

kehidupan warga negara.

Di negara-negara yang baru merdeka atau negara-negara berkembang

sering terjadi konflik. Maka ada baiknya jika dikemukakan sumber-sumber

konflik dan bagaimana upaya untuk menetralisasi/menyudahi konflik dimak-

sud. Dahrendorf (1957) dalam Leo Agustino (ibid : 52) melihat konflik dalam

dua makna :

a. Konflik merupakan akibat dan proses integrasi di dalam masyarakat yang tidak

tuntas. Dalam hal ini konflik merupakan sebuah sympton (gejala penyakit)

yang dapat merusak persatuan dan kesatuan, yang akibatnya bisa

menghancurkan negara;

b. Konflik sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka rangka rekonstruksi

sosial. Secara fungsional merupakan strategi untuk menghilangkan unsur-

unsur disintegrasi di dalam masyarakat yang tidak terisntegrasi secara

sempurna.

Adapun sumber-sumber konflik menyangkut beberapa aspek (Leo

Agustino, ibid : 52-53) yaitu :

a. Tekanan yang makin keras terhadap peran negara sebagai sebuah kekuatan

berdaulat atas wilayah dan negaranya. Tekanan ini datang baik dari dalam

maupun luar yang melihat posisi negara yang terlalu defensif. Dari dalam,

berbagai kekuatan faksional (berdasarkan ikatan-ikatan etnis, wilayah, agama,

dll.) terus-menerus berupaya merongrong posisi negara seperti di Indonesia

terjadi di Aceh, Papua, dan Maluku Selatan. Dari luar, fenomena globalisasi

yang membuat garis batas negara makin berkurang relevansinya dari waktu

ke waktu. Akibat dari proses ini makin rentannya perikatan negara-bangsa

Page 73: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

68

dalam konteks nasionalisme. Rapuhnya posisi negara makin tampak jelas

manakala rezim penguasa dibangun atas dasar legitimasi yang rendah seba-

gaimana contoh pada sejumlah negara berkembang yang pemerintahannya

tidak memiliki kemampuan merespons kebutuhan masyarakat dengan mema-

dai melalui kebijakan-kebijakan publik yang responsif;

b. Posisi negara yang makin terancam oleh mobilisasi kelompok-kelompok yang

mengeluh dan tidak puas terhadap situasi dan kondisi tertentu. Kelompok

etnis, sekte militan, separatis, dll. dapat secara bergelombang menyatakan

ketidakpuasan mereka mulai dari protes secara damai, protes yang diikuti

pengrusahan (anarkisme), pembangkangan, hingga pemberontakan bersen-

jata. Kemampuan pemerintah untuk mengelola dan menyelesaikan konflik

akibat ketidakpuasan ini bergantung pada kemampuannya dalam memberi-

kan respons yang tepat dan akomodatif dalam bentuk kebijakan-kebijakan

publik yang berwarna kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini

diperlukan saat konflik pada tahap awal, kemudian dikembangkan sebagai

salah satu bentuk jalan keluar dari konflik yang berkecamuk;

c. Di tingkat lokal konflik dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para

pemimpin kelompok dalam negara dengan cara mengeksploitasi suasana

pluralitas demi kelangan dukungan pentingan pribadi/kelompoknya melalui

penggalangan dukungan massa.

Selain daripada hal tersebut di atas, konflik juga bisa terbangun akibat pola

primordial seperti ras, etnis, agama, bahasa, dll. Beberapa konflik primordial

dikembangkan oleh Clifford Geertz (Leo Agustino, ibid : 54-55) sebagai berikut :

a. Konflik primordial yang dikaitkan dengan hubungan darah, suatu komunitas

yang diikat oleh hubungan biologis (kekeluargaan/kekerabatan) yang setiap

individu di dalamnya mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu

keluarga besar;

b. Konflik primordial yang dikaitkan dengan persoalan ras, suatu komunitas yang

dipersatukan oleh keasamaan etno-biologis yang ditampilkan dalam ciri-ciri

fisik yang sama seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk wajah, dll. Contoh-

nya Cina di Indonesia dan Malaysia, India dan Yahudi di Inggris, serta Negro di

Page 74: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

69

Amerika Serikta. Mereka ditempatkan sebagai kelompok minoritas dan

seringkali memicu konflik sosial;

c. Konflik primordial yang dikaitkan dengan agama yang cukup krusial di ber-

bagai kwasan dunia termasuk dalam suatu negara, bahkan daerah. Contoh-

nya yang besar adalah pemisahan negara India-Pakistan pada dekade 1950an,

yang lebih kecil a.l. di India antara Hindu vs. Muslim, dan Hindu vs. Shikh, di

Filipina antara pemerintah vs. Muslim Moro, dan di Indonesia antara Kristen

vs. Muslim), dll.

d. Konflik primordial yang dikaitkan dengan wilayah. Ini sering terjadi baik dalam

masyarakt pluralis maupun masyarakat yang homogen. Fanatisme kedaerah-

an yang dimiliki keompok tertentu biasanya berkembang menjadi semangat

kedaerahan (nasionalisme lokal/sempit) yang diwarnai oleh stereotype ter-

hadap para pendatang/dari daerah lain. Contoh nyata dalam pemilihan

kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota), sering terlontar tuntutan

pokoknya “putra daerah”;

e. Konflik primordial yang dikaitkan dengan ikatan adat-istiadat, atau persamaan

kebiasaan dan norma-norma yang dianut. Dalam praktek kehidupan sehari-

hari konflik ini sering terjadi menyertai konflik etnis dan wilayah, karena

pihak-pihak yang terlibat di dalamnya biasanya mempersoalkan perbedaan

nilai, norma, dan kebiasaan adat/budaya;

f. Konflik primordial yang dikaitkan dengan ikatan bahasa, padahal bahasa dapat

berfungsi sebagai sumber pengikat persatuan dan kesatuan suatu komunitas.

Di Afrika dan Asia Selatan (India, Pakistan, Srilangka) bahasa menjadi sumber

konflik karena pemaksaan bahasa kelompok etnis tertentu biasanya menim-

bulkan ketidakpuasan dari kelompok etnis lain yang tidak jarang menjadi

konflik kekerasan. Syukurlah di Indonesia, ragam budaya dan bahasa daerah

atau etnis tertentu dapat dipersatukan dengan bahasa nasional, bahasa

Indonesia.

Demikianlah dengan melihat budaya politik sebagaimana dipaparkan di

atas, maka jalan keluar yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meng-

akomodasi dan agregasi atas kepentingan-kepentingan/kebutuhan-kebutuhan

Page 75: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

70

warga masyarakat sdecara hati-hati. Hal ini merupakan bahan pemikiran dalam

memformulasi kebijakan publik yang tepat mulai dari proses pendefinisian,

perumusan, implementasi, sampai dengan evaluasinya.

2. Kondisi Sosial-Ekonomi.

Pros pribadi dan yang resmi, formulasi kebijakan publik tidak bisa dipisahkan

dengan faktor sosial ekonomi. Kendati kebijakan publik dapat dipandang sebagai

solusi dari konflik yang berkecamuk, tetapi juga sekaligus bisa dianggap sebagai

penyebab konflik antar kelompok yang berbeda, yaitu yang pribadi dengan yang

resmi, serta yang memilik keinginan dan kepentingan berbeda.

Salah satu sumber konflik khususnya dalam masyarakat modern adalah

kegiatan ekonomi. Konflik ini berkembang misalnya antara kepentingan

pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dengan majikan, antara

yang berhutang dengan yang mempunyai piutang, antara penjual besar dengan

pengecer, pertokoan dengan warung-warung kecil, konsumen dengan penjual,

petani dengan pembeli komoditas pertanian, dsb.

Kelompok (golongan/partai) yang lemah atau tidak diuntungkan dalam

konflik biasanya lebih banyak mengundang dan meminta bantuan pemerintah

dalam setiap kebijakan yang ditempuh. Sementara kelompok yang puas karena

mencapai tujuannya, tidak mempunyai daya dorong untuk membawa peme-

rintah dalam konflik bahkan cenderung melawan kegiatan-kegiatan pemerintah.

Pelibatan pemerintah sering terjadi dalam kasus misalnya :

a. Buruh yang tidak puas dengan upah yang ditetapkan majikan (maka peme-

rintah/pemerintah daerah membantu dengan menetapkan UMR = Upah

Minimal Regional). Hal ini biasanya ditempuh setelah dilakukan musyawarah

melalui forum Tripartit (Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun dalam kenya-

taan bisa saja hasil penetapan UMR ini pun diprotes atau ditolak baik oleh

pihak pengusaha maupun buruh;

b. Konsumen dirugikan oleh pasar baik mengenai harga, kualitas, maupun

ketersediaan barang;

c. Petani yang meminta pemberian subsidi, dll.

Page 76: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

71

Tingkat masyarakat dalam perkembangan ekonomi akan menentukan batas

apa saja yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa

pelayanan publik. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap apa yang dapat

dikerjakan oleh pemerintah dalam menetapkan program kesejahteraan adalah

sumber-sumber ekonomi. Menurut Thomas R. Dye (1966), tingkat perkembang-

an ekonomi mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara

dalam hal pendidikan, kesejahteraan, jalan raya, perpajakan, dan pengaturan

publik, jika dibandingkan dengan dampak sistem politik. Dye menemukan bahwa

variabel politik (partisipasi pemberi suara, persaingan antar partai politik,

kekuatan partai politik, dan pembagian legislatif) hanya mempunyai hubungan

yang lemah dengan kebijakan publik. Demikian juga pendapat Dowson dan

Robinson (Anderson, 1984:33). Menurut mereka faktor lingkungan ekonomi

dengan beberapa variabelnya mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada

kompetisi partai politik.

Dalam sejarah perkembangan perekonomian Indonesia, Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) perannya begitu besar. Kinerja BUMN sangat berpengaruh ter-

hadap perekonomian nasional. Karena itu tidak mengherankan jika kemudian

restrukturisasi BUMN merupakan paket tidak terpisahkan dari penataan kembali

kebijakan perekonomian negara.

Sudah lama BUMN mendapat dukungan yang kuat dari pemerintah, baik

secara ekonomis maupun politis. Secara ekonomis BUMN memperoleh subsidi

dan partisipasi modal yang tidak sedikit selain berbagai kemudahan dan fasilitas

yang diberikan secara cuma-cuma. Sementara secara politis keberadaan BUMN

sering dikaitkan dengan UUD 1945 Pasal 33. {Ayat (2) Cabang-cabang produksi

yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai

oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat}.

Restrukturisasi BUMN terjadi di awal pemerintahan Orde Baru (Presiden

Suharto) tahun 1966-1968, kemudian pada pertengahan periode 1986-1990 dan

di akhir pemerintahannya pada tahun 1998. Dilanjutkan pada masa kepemim-

Page 77: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

72

pinan Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati

Sukarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memang berbeda

masanya namun issue sentral yang menjadi fokus tetaplah sama, yaitu di satu sisi

kinerja BUMN buruk, dan di sisi lain ada berbagai tekanan pada perekonomian

negara yang menuntut perubahan atau penyesuaian dengan iklim internasional.

Demikianlah dengan perannya yang begitu besar, kinerja BUMN sangat ber-

pengaruh terhadap perekonomian nasional. Karenanya tidak mengherankan jika

kemudian restrukturisasi BUMN merupakan paket yang tidak terpisahkan dari

penataan kembali kebijakan perekonomian negara.

Dari berbagai keharusan yang timbul akibat penataan kembali perekonomi-

an nasional selama lebih dari 10 tahun dan belakangan ini, telah memaksa

pemerintah mengubah orientasi kebijakannya kepada BUMN yaitu menuntut

kemandirian BUMN dan mendorongnya untuk menjalankan privatisasi, bahkan

menjual beberapa BUMN tertentu yang hasilnya untuk membayar utang luar

negeri yangsangat amat banyak.

Mengingat perannya yang penting dalam penataan perekonomian nasional,

kemudian langkah-langkah yang ditempuh pemerintah terhadap BUMN adalah

deregulasi menuju privatisasi BUMN :

a. Deregulasi;

b. Liberalisasi;

c. Privatisasi dari privatisasi manajemen menuju privatisasi kepemilikan

d. Privatisasi kepemilikan sebagai “modernisasi” manajemen BUMN.

Page 78: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

73

BAB VII PERAN INFORMASI DALAM PEMBUATAN

KEBIJAKAN PUBLIK

A. PENGERTIAN INFORMASI

Berkaitan dengan pengertian informasi, perlu dijelaskan terlebih dulu fakta dan

data.

1. Fakta, adalah kejadian yang sebenarnya, atau peristiwa yang benar-benar

terjadi.

2. Data, adalah :

a. Hal-hal yang diketahui;

b. Catatan daripada fakta;

c. Bahan mentah (row materials) untuk bahan informasi.

Menurut Murdick dalam Kumorotomo dan Agus Margono (1994), data adalah

fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan,

biasanya dicatat dan diarsipkan tanpa maksud untuk segera diambil kembali

untuk pembuatan keputusan.

3. Informasi, adalah data yang telah diolah kemudian dikomunikasikan sebagai

bahan untuk pembuatan/pengambilan keputusan atau kebijakan. Atau menurut

Murdick, informasi terdiri dari data yang telah diambil kembali, kemudian diolah

dan digunakan untuk memberi dukungan keterangan untuk pembuatan keputus-

an. Informasi adalah data yang telah disusun sedemikian rupa, sehingga

bermakna dan bermanfaat untuk pembuatan keputusan. (Sutopo, 2001:16).

Demikianlah, maka tidak tepat jika ada yang mengartikan data dan informasi

itu sama. Lain daripada itu, informasi yang diperlukan sebagai bahan dalam rangka

pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan harus yang baik dan berkualitas

tinggi, karena kualitas informasi akan sangat menentukan terhadap efektivitas dan

keberhasilan pembuatan keputusan/kebijakan. Menurut Parker (Kumorotomo dan

Agus Margono, 1994), syarat-syarat informasi yang baik adalah :

1. Ketersediaan (Availability) informasinya itu sendiri, yang harus diperoleh bagi

Page 79: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

74

yang hendak memanfaatkannya.

2. Mudah difahami, terutama oleh pengambil keputusan/pembuat kebijakan.

3. Relevan, artinya harus benar-benar nyambung dengan permasalahannya, atau

sesuai dengan yang diperlukan.

4. Bermanfaat bagi pembuatan keputusan/kebijakan.

5. Tepat waktu, artinya harus tersedia pada waktunya terutama jika pembuatan

kebijakan ingin segera memecahkan masalah yang dihadapi.

6. Keandalan (Reliability), harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandal-

kan kebenarannya.

7. Akurat, artinya bersih dari kesalahan, harus jelas dan secara tepat mencerminkan

makna yang terkandung dari data pendukungnya.

8. Konsisten, artinya ajeg tidak mengandung kontradiksi dalam penyajiannya.

B. PENTINGNYA INFORMASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN William N. Dunn (1994) memberikan definisi analisis kebijakan publik sebagai

“suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode

penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi

yang relevan dengan kebijakan yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu

untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan”. Dari pengertian tersebut di atas,

jelaslah bahwa untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan diperlukan informa-

si. Informasi yang diperlukan dalam perumusan/pembuatan kebijakan adalah

informasi yang berasal dari data yang telah diolah.

Sebagai contoh, pemerintah yang akan merumuskan/membuat kebijakan

kependudukan, maka informasi yang diperlukan antara lain tentang pertumbuhan

penduduk, persebaran penduduk, kualitas, dan struktur usia penduduk. Jika

pemerintah ingin merumuskan/membuat kebijakan ekonomi, maka diperlukan

informasi tentang sektor-sektor yang potensial dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, misalnya sektor industri,

perdagangan, keuangan/perbankan, pertanian, pariwisata, dll.

Page 80: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

75

C. INFORMASI YANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN

Tugas seorang analisis kebijakan (policy analyst) adalah memberikan informasi

kepada pembuat kebijakan (policy maker) untuk membuat kebijakan. Dalam

kaitannya dengan penyediaan informasi ini, William N. Dunn (1994) mengemukakan

bahwa metodologi dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan

menjawab lima bentuk pertanyaan, yaitu :

1. Masalah apa yang dihadapi?

Jawaban atas pertanyaan ini memberikan informasi tentang masalah-masalah

kebijakan (policy problem). Contohnya, jika pertanyaan ini diajukan kepada

pemerintah DKI Jaya, maka jawabannya adalah masalah-masalah kemacetan

lalu-lintas, banjir, urbanisasi, kriminalitas, tawuran pelajar, dll.

2. Kebijakan-kebijakan apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah-masalah

tersebut, baik di masa sekarang maupun masa lalu, dan hasil-hasil apakah yang

telah dicapai?

Jawaban atas pertanyaan ini memberikan informasi tentang hasil-hasil kebijakan

(policy outcomes). Contohnya, untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas, Pemerin-

tah DKI Jaya telah membuat kebijakan tentang pajak progresif untuk pemilik

mobil pribadi lebih dari satu. Makin bertambah mobil pribadi yang dimiliki, makin

tinggi pajaknya. Dan untuk beberapa jalan protokol diberlakukan “three in one”,

dll. Hasil-hasil kebijakan tersebut tampaknya belum bisa mengatasi masalah

kemacetan lalu-lintas.

3. Bagaimana nilai (tujuan yang diinginkan) dari hasil-hasil kebijakan tersebut

dalam memecahkan masalah?

Jawabannya memberikan informasi tentang kinerja kebijakan (policy perfor-

mance). Menurut William N. Dunn (1944), kinerja kebijakan adalah suatu

tingkat (derajat) sampai di mana hasil suatu kebijakan membantu pencapaian

suatu nilai atau tujuan yang diinginkan. Dalam kenyataannya, banyak masalah

seringkali tidak dapat dipecahkan. Karena itu perlu dicari cara-cara pemecahan

baru, dirumuskan kembali masalahnya, dan kemungkinan juga suatu masalah itu

memang tidak dapat dipecahkan.

Meskipun suatu masalah mungkin tidak dapat dipecahkan, informasi ten-

Page 81: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

76

hasil-hasil kebijakan tetap diperlukan, terutama untuk meramalkan kebijakan

yang akan datang. Contohnya, di DKI Jaya, meskipun telah dibuat kebijakan-

kebijakan untuk memecahkan kemacetan lalu-lintas, ternyata belum dapat

memecahkan masalah tersebut. Oleh karenanya perlu dipikirkan kebijakan baru

untuk memecahkannya.

4. Alternatif-alternatif kebijakan apakah yang tersedia untuk memecahkan masalah

tersebut, dan apakah kemungkinan di masa depan (policy future)?

Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang kebijakan di masa depan.

Contohnya, untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas di Jakarta, memang ada

saran-saran membatasi umur kendaraan yang boleh beroperasi, menambah

jalan layang, membuat jalan bawah tanah (metro), membuat kendaraan

monorail, dsb.

5. Alternatif-alternatif tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk memecahkan

masalah tersebut?

Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang tindakan-tindakan

kebijakan (policy action/implementation). Contohnya, sebelum ada krisis mone-

ter, Pemerintah DKI Jaya ada rencana untuk membuat jalan di bawah tanah

antara kawasan blok M (Kebayoran Baru) dan Kawasan Kota (Glodok).

Page 82: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

77

BAB VIII AGENDA SETTING

A. ISU-ISU KONSEPTUAL

Agenda setting atau agenda formation (policy agenda), adalah tahap yang paling

kritis dalam proses kebijakan. Agenda setting adalah suatu tahap sebelum

perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu (issues) itu muncul pada

agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti berupa tindakan-tindakan peme-

rintah. Banyak isu yang masuk yang diharapkan pemerintah segera mengambil

tindakan, tetapi ternyata pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan

masyarakat.

Isu-isu atau masalah (terlebih yang krusial) itu dapat timbul karena keinginan,

aspirasi, atau desakan dari masyarakat. Dalam kenyataannya, sebelum masalah-

masalah tersebut dipertimbangkan untuk dipecahkan, harus melalui proses yang

kompleks. Prinsipnya, agenda setting adalah pengenalan masalah yang dihadapi

oleh pemerintah dhi. organisasi/instansi-instansinya. Roger W. Cobb and Ross

dalam Howlett and Ramesh (1955) mendefinisikan agenda setting sebagai “proses

di mana keinginan-keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemah-

kan ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian serius dari pejabat-

pejabat pemerintah”. Sedangkan menurut John Kingdon, agenda setting adalah

suatu daftar subyek atau masalah di mana para pejabat pemerintah dan masyarakat

di luar pemerintah yang ada kaitannya dengan pejabat dimaksud, memberikan

perhatian pada masalah tersebut”.

B. PROSES AGENDA SETTING

Menurut Irfan Islamy (2009:83), suatu agenda pemerintah (governmental agenda)

tidak harus dipandang sebagai suatu daftar formal dari berbagai masalah yang

harus dibicarakan oleh pembuat kebijakan, tetapi semata-mata menggambarkan

isu-isu atau masalah di mana pembuat kebijakan merasa harus memberikan perha-

tian yang aktif dan serius padanya.

Page 83: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

78

Jumlah masalah umum begitu banyaknya sehingga tidak dapat dihitung. Dari

sekian banyak masalah itu, hanya sedikit yang mendapat perhatian yang seksama

dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pembuat

kebijakan terhadap sejumlah kecil masalah umum dimaksud, menyebabkan timbul-

nya agenda kebijakan (the policy agenda) berbeda. Dengan demikian agenda

kebijakan berbeda dengan tuntutan-tuntutan dalam sistem politik (political

demands) pada umumnya, dan dan berbeda pula dengan prioritas-prioritas politik

(political priority) yang biasanya ditempatkan di urutan daftar masalah (agenda

items) teratas.

Menurut Anderson, proses pembuatan agenda kebijakan bisa berasal dari

privat (privat problem) kemudian berkembang lebih lanjut menjadi public problem

dan harus distrukturkan secara runtut yang digambarkan sebagai berikut.

Privat Problem Public Problem Issues

Institutional Agenda Systemic Agenda

Sumber : SPIMNAS LANRI, 2009:44.

Dari public problem dikonversikan ke dalam issue, bahwa dalam masyarakat

terdapat perbedaan-perbedaan pendapat tentang solusi dalam menangani masalah

(policy action). Dari issue masalah kebijakan tersebut mengalir ke dalam systemic

agenda, dan terakhir ke dalam institutional agenda.

Terdapat agenda sistemik dan agenda pemerintah. Roger W. Cobb dan Charles

D. Elder membedakan antara “systemic agenda” dengan “governmental agenda”.

Mereka mengartikan systemic agenda, “the systemic agenda consists of all issues

that are commonly percieved by members of the political community as meriting

public attention and as involving matters within teh legitimate jurisdiction of

existing governmentalllll authority” (Agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang

dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut

memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah-masalah yang berada

dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintah masing-masing). Agenda sistemik

Page 84: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

79

ini ada pada setiap jenjang sistem politik, baik lokal, regional, maupun nasional.

Contohnya, masalah kriminalitas akan muncul sebagai agenda sistemik pada tingkat

lokal, regional dan nasional; masalah hubungan luar negeri muncul hanya sebagai

agenda sistemik nasional; dan masalah pendirian gedung olah raga bagi kegiatan

para pemuda sebagai agenda sistemik lokal.

Menurut Cobb dan Elder, ada tiga prasyarat agar isu kebijakan (policy issue)

masuk dalam agenda sistemik, yaitu :

1. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbul-

kan kesadaran masyarakat.

2. Adanya persepsi atau pandangan/pendapat publik yang luas, bahwa beberapa

tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan suatu masalah.

3. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan

suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari bebarapa unit/instansi

pemerintahan untuk memecahkannya.

Agar isu kebijakan itu menarik perhatian serta memperoleh pengakuan publik,

maka para pendukungnya harus menguasai media massa dan mempunyai sumber-

sumber yang cukup sehingga isunya dapat sampai kepada masyarakat. Pemerintah

harus dapat meyakinkan publik bahwa isu itu adalah masalah besar yang mereka

hadapi dan tindakan-tindakan perlu diambil untuk memecahkan masalah itu. Jika

isu mendapat dukungan dari policy makers kemudian berhasil tampil sebagai

agenda sistemik, maka tindakan sah pemerintah diperlukan untuk memecahkan

masalah itu. Agenda sistemik lebih bersifat abstrak dan umum, serta kurang

menunjukkan alternatif cara-cara pemecahannya. Contohnya, tentang “mengakhiri

atau menghapuskan diskriminasi”, atau “meningkatkan partisipasi masyarakat.”

Sementara itu agenda pemerintah (governmental agenda atau institutional

agenda), Cobb dan Elders mengartikannya sebagai, “that set of items explicity up

for the active and serious consideration of autoritative decision makers”. (serang-

kaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang

aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritatif). Agenda pemerintah

disusun atas masalah-masalah yang sangat membutuhkan keaktifan dan keseriusan

pembuat kebijakan untuk mempertimbangkannya. Agenda pemerintah ini mempu-

Page 85: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

80

nyai sifat yang khas, lebih konkrit (nyata) dan terbatas jumlahnya. Contohnya, di

bidang ekonomi : Dasar-dasar pertimbangan dan cara-cara untuk memberantas

ijon-tengkulak.

Agenda pemerintah dapat berisi hal-hal (items) yang baru atau lama. Hal-hal

lama (old items) yang selalu muncul secara reguler pada agenda pemerintah,

misalnya tentang kenaikan gaji pegawai, kenaikan harga barang-barang, penggalian

sumber-sumber dana, stabilitas politik, dsb. Hal-hal ini cukup dikenali oleh

pembuat kebijakan, dan alternatif-alternatif yang dapat dipilih pun sudah banyak

terpolakan, sehingga pembuat kebijakan lebih banyak memberikan perhatian

padanya. Sedangkan hal-hal baru (new items) adalah hal-hal yang belum didefinisi-

kan sebagai akibat munculnya situasi atau peristiwa-peristiwa yang khusus dan

baru, misalnya mengenai polusi kimia, kewajiban belajar, penggunaan energi/

tenaga matahari, dsb. Hal-hal baru ini kalau telah dikonversikan berkali-kali akan

berubah menjadi hal-hal lama atau telah menjadi rutin.

Timbul pertanyaan, mengapa beberapa masalah masyarakat dapat masuk

agenda pemerintah, sedangkan beberapa masalah masyarakat lain tidak? Menurut

Cobb dan Elder, hal-hal tersebut dapat terjadi karena masalah-masalah dalam

masyarakat begitu banyak, sehingga para pembuat kebijakan akan memilih dan

merencanakan masalah-masalah mana yang menurut mereka perlu mendapat

prioritas utama untuk diperhatikan secara serius. Jika sebagian besar pembuat

kebijakan sefaham bahwa prioritas perlu diberikan kepada masalah-masalah

tertentu, maka policy issue tersebut segera dapat dimasukkan ke dalam agenda

pemerintah.

Anderson dalam Irfan Islamy (2009:86) menyebutkan beberapa faktor yang

dapat menyebabkan masalah-masalah umum dapat masuk ke dalam agenda

pemerintah, yaitu :

1. Jika terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok, maka

kelompok-kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut adanya

tindakan pemerintah untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut. Contohnya,

kelompok pengusaha kecil yang merasa terdesak oleh pengusaha besar dan kuat

(konglomerat).

Page 86: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

81

2. Para pemimpin politik dapat menjadi faktor penting dalam penyusunan agenda

pemerintah. Karena didorong adanya pertimbangan politik dan memperhatikan

kepentingan umum, mereka selalu memperhatikan masalah-masalah masyara-

kat dan mengusulkan upaya-upaya pemecahannya. Contohnya, karena adanya

krisis moneter, yang mengakibatkan banyak karyawan kena pemutusan hubung-

an kerja (phk) dan pengangguran meningkat, maka ara pemimpin politik mende-

sak pemerintah untuk segera mengurangi dampak krismon tersebut.

3. Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan suatu masalah

masuk ke dalam agenda pemerintah. Contohnya, masalah-masalah ekonomi,

politik, sosial, dan keamanan yang mengakibatkan bentrokan etnis dan agama,

mengakibatkan pembuat kebijakan segera memasukkannya ke dalam agenda

pemerintah.

4. Adanya gerakan-gerakan protes, termasuk tindakan kekerasan, merupakan salah

satu penyebab yang dapat menarik perhatian pembuat kebijakan dan memasuk-

kannya ke dalam agenda pemerintah. Contohnya, adanya protes dari kelompok-

kelompok tertentu termasuk mahasiswa terhadap penculikan para aktivis

mahasiswa, maka pemerintah kemudian segera memasukkan masalah tersebut

ke dalam agenda pemerintah.

Proses memasukkan masalah-masalah ke dalam agenda pemerintah bukan-

lah pekerjaan ringan dan merupakan kegiatan yang kompleks, karena tidak semua

pembuat kebijakan menaruh perhatian yang sama terhadap masalah tersebut. Bisa

terjadi konflik kepentingan di antara para aktor kebijakan, tentang dapat atau

tidaknya masalah-masalah tersebut masuk ke dalam agenda pemerintah.

Menurut agenda setting yang berlaku sekarang ini, maka pemerintah ber-

peran terbatas hanya mengarahkan (steering), sedang kegiatan pelaksanaan (row-

ing) dilakukan oleh masyarakat. Dilihat dari jenjang pemerintahan, pemerintah

pusat membuat kebijakan, sedang pelaksanaan diserahkan kepada pemerintah

daerah. Memperhitungkan agenda setting dalam proses penyusunan kebijakan,

yang harus mendapat perhatian meliputi :

1. Kondisi masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan plural, namun

efisiensi dan produktivitas kerjanya masih rendah.

Page 87: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

82

2. Persaingan global makin meningkat dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi; ketimpangan perkembangan masyarakat antara kawasan barat

dengan timur, antara perkotaan dengan perdesaan, sebagai akibat perbedaan

sumber daya alam dan sumber daya manusianya.

3. KKN masih cukup tinggi, sehingga menimbulkan biaya ekonomi tinggi, dan

mengurangi daya saing. (SPIMNAS LANRI, 2009:45).

Page 88: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

83

BAB IX PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

A. HAKIKAT KEBIJAKAN PUBLIK Perumusan kebijakan publik adalah inti (core) dari kebijakan publik, adapun hakikat

kebijakan publik adalah :

1. Kebijakan publik senantiasa ditujukan untuk melakukan intervensi terhadap

kehidupan masyarakat dalam rangka meningkatkan kehidupan (kesejahtera-

annya). Intervensi di sini merupakan inti dari kebijakan publik sebab meskipun

pengertian kebijakan publik adalah “apa yang dipilih untuk dikerjakan dan tidak

dikerjakan pemerintah”, sebenarnya yang menjadi fokus adalah apa yang

dikerjakan pemerintah karena bersifat aktif.

Paradigma kegiatan pemerintah yang bersifat interventif sebenarnya dimulai

pada akhir tahun 1930an ketika Keynes memperkenalkan kebijakan pemerintah

untuk mengatasi economic malaise yang dialami Amerika Serikat pada tahun

1932. Pada prinsipnya menurut Keynes pemerintah harus melakukan intervensi-

intervensi melalui kebijakan-kebijakan publik untuk menjaga kesinambungan

kehidupan bersama terutama di bidang ekonomi. Dalam hal ini kebijakan yang

dilakukan haruslah fokus pada bidang tertentu, tidak secara ideal keseluruhan-

nya karena pada setiap kebijakan publik mempunyai keterbatasan. Sebagai

contoh, di Indonesia adalah GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada masa

Orde Lama (Orla) yang sering dikritisi karena disusun sedemikian indah, komplit,

dan komprehensif, sehingga teramat sulit diimplementasikannya. (Riant Nugro-

ho, 2012:540).

2. Kebijakan publik senantiasa dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan,

sehingga sangat sulit untuk dapat melaksanakan kesemua rencana/program

kerja. Keterbatasan-keterbatasan dimaksud antara lain :

a. Keterbatasan Sumber Daya Waktu. Walaupun ada rancangan jangka panjang

(untuk jangka waktu lk. 20 tahun) dan dapat dilaksanakan oleh pemerintahan

penerusnya, akan tetapi dalam praktek pemerintahan yang sedang berjalan

harus fokus pada lima tahun masa kepemimpinan dan pengelolaannya, kare-

Page 89: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

84

na masa bakti pemerintahan di Indonesia adalah lima tahunan.

b. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). Banyak sekali kebijakan publik

yang baik tidak dapat dilaksanakan karena tidak didukung oleh ketersediaan

SDM yang memadai. Sebagai contoh, kebijakan komputerisasi pelayanan

publik yang gagal karena kesiapan SDM yang belum memadai dilihat dari

keterampilan maupun kedisiplinannya walaupun telah dilatih. Malah di

antara karyawan ada yang lebih senang main games atau bekerja di depan

komputer sambil merokok, padahal serpihan debu rokok yang sepersekian

mikron itu bisa menggerus drive machine komputer sehingga mudah rusak.

c. Keterbatasan Kelembagaan. Dalam hal ini adalah sejauh mana kualitas

praktek manajemen profesional dalam lembaga pemerintah dan lembaga

masyarakat, baik yang bergerak di bidang profit maupun non-for-profit.

Lembaga-lembaga dimaksud dapat disebutkan (Riant Nugroho, 2012:542) :

1) Lembaga-lembaga Negara Nirlaba :

a) Eksekutif : Presiden beserta seluruh kabinet dan birokrasi hingga

jaringan kerja di tenga-tengah masyarakat;

b) Legislatif : MPR, DPR (D), dan DPD;

c) Yudikatif : MA, MK, KY;

d) Akuntatif : BPK.

2) Lembaga-lembaga Negara Pelaba :

a) BUMN (Persero, Perum, dan Perjan);

b) BUMD (Persero dan Perusahaan Daerah).

3) Lembaga-lembaga Masyarakat Nirlaba :

a) Lembaga Politik : Partai Politik, Asosiasi-asosiasi Kepentingan dan se-

jenisnya;

b) Lembaga Sosial : Yayasan Sosial, Peguyuban Kedaerahan, Kelompok

Kesenian, dan sejenisnya;

c) Lembaga Ekonomi : Asosiasi-asosiasi Pengusaha, Kadin, Hipmi, Hippi,

HKTI, HNSI, dan sejenisnya;

d) Lembaga Hukum : LBH, Lembaga-lembaga Konsumen, KONTRAS, dan

sejenisnya;

Page 90: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

85

e) Lembaga Lingkungan : WALHI, dan sejenisnya;

f) Lembaga Pendidikan : Al-Azhar, Tarakanita, dan sejenisnya;

g) Lembaga Kebudayaan/Kesenian : Pepadi (Persatuan Pedalangan Indo-

nesia) dan sejenisnya.

4) Lembaga Masyarakat Pelaba :

a) Usaha Formal : PT, Firma, CV, UD, Usaha Bersama, dan Koperasi;

b) Usaha Informal : K5, Usaha Rumah Tangga dan NonRumah Tangga.

Permasalahannya adalah apakah masing-masing lembaga tersebut di atas

memiliki kecakapan yang cukup memadai dalam rangka implementasi kebijak-

an? Hal ini perlu dicermati karena kebijakan publik mengandung sifat-sifat

praktis dan pragmatis, karena harus feasible (masuk akal), implementable

(dapat dilaksanakan), dan sustainable (berkesinambungan) secara alami.

Sebagai contoh, pemerintah hendak menerapkan good governance dan good

corporate governance dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dunia

usaha, sementara sistem manajemen publik belum dimiliki. Hal ini diwajib-

kan oleh pemerintah dan dunia usaha, namun tidak bagi LSM-LSM dan media

massa yang sering berteriak tentang GG (Good Governance). LSM sering

mengartikulasikan kepentingan melalui demonstrasi yang memacetkan jalan

dengan kerugian waktu bekerja hilang, kontrak-kontrak usaha terbengalai,

bahan bakar ter-buang percuma, dan “biaya stres” yang tak terhitung. Media

massa pun sering menyebarkan berita menyesatkan demi meraup pembaca

dan akhirnya rupiah.

B. ISU-ISU KONSEPTUAL

Jika masalah-masalah yang ada dalam masyarakat (public problems) telah diketahui

dan hendak diatasi oleh pemerintah, maka pembuat kebijakan perlu memutuskan

untuk melakukan serangkaian tindakan mengatasi permasalahan dimaksud. Dalam

hal ini pembuat kebijakan harus memilih dari beberapa alternatif yang ada. Untuk

mendapatkan alternatif-alternatif itu diperlukan proses perumusan kebijakan.

Masalah-masalah kebijakan publik tidak selalu siap ada di hadapan para pem-

Page 91: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

86

buat kebijakan. Mereka harus melakukan identifikasi masalah sebelum melakukan

perumusan kebijakan. Sering terjadi danya ketidaksepahaman antara orang yang

satu dengan orang lainnya. Sesuatu yang dianggap sebagai masalah oleh seseorang,

mungkin oleh orang lain bukan merupakan masalah. Menurut Charles O. Jones

(Irfan Islamy, 2009:78), peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat diartikan

secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula.

Banyak masalah yang timbul sebagai akibat dari suatu peristiwa yang sama. Bahkan

ada suatu masalah bagi seseorang dapat menjadi keuntungan bagi orang lain, dan

masalah-masalah yang timbul dapat berpengaruh pada orang-orang secara ber-

beda.

Pengertian “masalah” dalam konteks kebijakan publik, menurut David G. Smith

yang dikutip oleh James E. Anderson (Irfan Islamy, ibid:79) adalah “For policy pur-

poses, a problem can be formally defined as condition or situation that produces

needs or dissatisfactions on he part of people for which relief or redress is sought.

His may be done by those directly affected or by othersacting on their behalf”.

(Untuk kepentingan kebijakan, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai

kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-

ketidakpuasan pada rakyat, untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya.

Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu

atau oleh orang lain yang punya tanggung jawab untuk itu). Sementara “peristiwa”

diartikan oleh Charles O. Jones sebagai kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang

dipandang memiliki konsekuensi pada kehidupan sosial.

Banyak sekali kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan masyarakat, tetapi

tidak selalu dapat langsung menjadi “problem umum/publik” (public problem), bisa

saja hanya sebagai masalah pribadi (privat problem). Masalah publik adalah

kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau

diatasi secara pribadi. Lantas, apa perbedaan antara masalah publik dengan

masalah pribadi? Pada hakikatnya masalah publik adalah masalah-masalah yang

mempunyai akibat luas termasuk akibat-akibat yang mengenai orang yang secara

tidak langsung terlibat. Sedangkan masalah pribadi adalah masalah-masalah yang

mempunyai akibat terbatas, hanya menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang

Page 92: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

87

yang terlibat secara langsung.

C. PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Setelah masalah publik masuk dalam agenda pemerintah, maka langkah selanjutnya

adalah proses perumusan kebijakan. Mustopadidjaya dan Bintoro (1988), menge-

mukakan mengenai langkah-langkah perumusan kebijakan publik sebagai berikut :

1. Perumusan Masalah Kebijakan.

Hal ini adalah untuk menemukan dan memahami hakikat masalah, kemudian

merumuskannya dalam bentuk sebab-akibat. Untuk itu harus jelas, mana faktor

penyebabnya (independent variable), dan nana faktor akibatnya (dependent

variable). Dalam tahap ini terkait disiplin ilmu tertentu, misalnya metode

penelitian (kualitatif, kuantitatif), dan teori-teori yang sesuai dengan substansi

masalahnya. Teknis analisis yang dapat digunakan, misalnya dengan “pohon

masalah” (problem tree) atau dengan “tulang ikan” (fish bones).

Contohnya, di suatu kabupaten, produksi padi tidak meningkat. Oleh

karena itu perlu dicari apa penyebabnya. Analisis masalah dengan teknik pohon

masalah dapat digambarkan sebagai berikut :

Produksi Padi Tidak Meningkat Belum Serangan Belum Menggunakan Bibit Hama Menggunakan Unggul Pupuk

2. Perumusan Tujuan/Sasaran.

Tujuan atau sasaran adalah suatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau

ingin dihindari. Memang pada umumnya suatu kebijakan bertujuan untuk

mencapai kebaikan kebaikan atau mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Teknik analisis tujuan/sasaran yang dapat digunakan untuk merumuskannya

Page 93: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

88

dapat menggunakan kelanjutan dari pohon masalah, sebagai digambarkan

berikut ini.

Produksi Padi Meningkat Menggunakan Pembasmian Menggunakan Bibit Unggul Hama Pupuk 1 2 3

1, 2, 3 adalah alternatif-alternatif yang akan dipilih.

3. Perumusan Alternatif.

Alternatif adalah pilihan tentang cara atau alat yang dapat dipergunakan untuk

mencapai tujuan/sasaran. Alternatif ini dapat diperoleh dari hasil analisis

sasaran.

4. Perumusan Model.

Jika diperlukan, dapat dirumuskan suatu model analisis kebijakan, misalnya

dengan flow-chart, miniatur, dll.

5. Perumusan Kriteria.

Kriteria ini dapat digunakan untuk mengukur/menilai feasibilitas dari tiap-tiap

alternatif, misalnya :

a. Politik;

b. Ekonomi/finansial;

c. Administratif/Organisatoris;

d. Teknologi;

e. Sosial, budaya, dan agama;

f. Pertahanan keamanan (Hankam).

6. Penilaian Alternatif.

Alternatif-alternatif yang ada, yang perlu dinilai berdasarkan kriteria tersebut di

Page 94: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

89

atas, adalah :

a. Politik :

Alternatif mana yang banyak mendapat dukungan dari para aktor kebijakan.

b. Ekonomi/Finansial :

Alternatif mana yang paling banyak menggunakan dana.

c. Administratif/Organisatoris :

Apakah secara administratif/organisatoris, alternatif dimaksud dapat dilak-

sanakan, atau apakah ada organisasi-organisasi yang melaksanakan.

d. Teknologi :

Apakah untuk alternatif-alternatif tersebut didukung oleh tersedianya

teknologi yang diperlukan.

e. Sosial, Budaya, dan Agama :

Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan benturan atau

gejolak sosial, budaya, dan agama, misalnya masuk masalah SARA.

f. Pertahanan Keamanan (Hankam) :

Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan gangguan terhadap

pertahanan, keamanan, dan ketertiban, atau cukup layak.

Said Zainal Abidin (2012:138-140) memberikan contoh dengan perhitungan

sebagai berikut. Misalnya dari suatu analisis, kita mendapatkan bahwa urbani-

sasi penduduk ke Jakarta bersumber dari “ketimpangan perkembangan pemba-

ngunan antar daerah”. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mengurangi

arus urbanisasi tersebut? Dari kasus itu misalnya hanya ada empat alternatif

kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu :

a. Membatasi kemungkinan orang tinggal di Jakarta dengan tidak memberikan

KTP baru bagi pendatang baru;

b. Membangun fasilitas yang lebih baik di derah daerah;

c. Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mambatasi pertambahan

investasi baru;

d. Mendorong perpindahan penduduk Pulau Jawa ke wilayah lain dengan lebih

mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah tersebut.

Dengan menggunakan kriteria kelayakan (feasibilitas) politik, ekonomi, keu-

Page 95: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

90

uangan/finansial, administratif/organisatoris, dan efektivitas, kita menilai ke-

empat alternatif tersebut di atas. Setiap alternatif kita beri nilai secara relatif,

dan kriterianya ada lima, yaitu : Paling baik sekali (istimewa) diberi nilai 5, baik

sekali diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, sedang diberi nilai 3, dan kurang baik

diberi nilai 1.

Alternatif 1 : Membatasi kemungkinan orang tinggal di Jakarta dengan tidak

memberikan KTP bagi pendatang baru.

- Dari segi politik : Kurang baik, karena akan menimbulkan kesan pembatasan

kebebasan warga negara bertempat tinggal di dalam negerinya sendiri;

- Dari segi ekonomi : Terhitung sedang, karena meskipun dapat mencegah

adanya pengangguran, akan tetapi hal ini dapat mengurangi pengadaan tenaga

kerja baru di Jakarta, sementara di pedesaan tidak ada kesempatan kerja;

- Dari segi keuangan : Paling baik, karena tidak memerlukan biaya besar;

- Dari segi administratif : Kurang baik, karena biar pun kelihatannya tidak sulit

untuk tidak memberikan KTP bagi pendatang baru, tetapi hal ini dapat

mendorong terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme);

- Dari segi efektivitas : Termasuk baik, karena dapat mengurangi minat tinggal di

Jakarta, yang dampaknya cukup baik pada pengurangan urbanisasi dalam

jumlah yang terbatas.

Alternatif 2 : Membangun fasilitas yang lebih banyak di daerah-daerah.

- Dari segi politik : Paling baik sekali, karena akan mengembangkan kemampuan

daerah dan mudah mendapat dukungan masyarakat dan kekuatan-kekuatan

politik yang ada;

- Dari wegi ekonomi : Paling baik sekali, karena pembangunan daerah merupa-

kan strategi yang memang harus dilakukan untuk menghilangkan ketimpangan/

kesenjangan antar daerah dan memperkuat basis perekonomian nasional,

memperluas pasar, dan daya beli dalam negeri, serta pemanfaatan sumber

daya nasional secara luas;

- Dari segi keuangan : Kurang baik, karena pembangunan daerah cukup mahal

dan tidak memberikan keuntungan dengan segera;

Page 96: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

91

- Dari segi administratif : Termasuk sedang, karena pembangunan daerah meru-

pakan kegiatan yang cukup berat, walaupun hal ini bergantung pada kemam-

puan penanganan oleh masing-masing daerah;

- Dari segi efektivitas : Termasuk baik sekali, karena untuk mengurangi urbani-

sasi dan dapat memberi dorongan untuk bertindak sendiri dalam merubah arah

arus urbanisasi.

Alternatif 3 : Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mambatasi

pertambahan investasi baru;

- Dari segi politik : Termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan

kota Jakarta adalah tindakan radikal dan secara langsung sulit mendapatkan

dukungan masyarakat, selain menimbulkan nuansa yang kurang menguntung-

kan. Secara tidak langsung bisa terjadi melalui perluasan pembangunan

daerah.

- Dari segi ekonomi : Termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan

kota dapat pula membatasi perkembangan ekonomi;

- Dari segi keuangan : Termasuk sedang, karena pembatasan pembangunan kota

Jakarta barangkali tidak akan banyak mengeluarkan biaya, akan tetapi juga

akan mengurangi tambahan pemasukan baru;

- Dari segi administratif : Termasuk sedang, karena pembatasan pembangunan

kota Jakarta tidak berarti tidak ada kegiatan, bahkan mungkin dapat menim-

bulkan berbagai kegiatan administratif baru;

- Dari segi efektivitas : Termasuk baik, karena pembatasan pembangunan kota

Jakarta barangkali akan mengurangi minat pendatang baru, tetapi tidak akan

mengurangi minat mereka yang sudah tinggal di Jakarta.

Alternatif 4 : Mendorong perpindahan penduduk Pulau Jawa ke wilayah lain

dengan lebih mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah

tersebut.

- Dari segi politik : Paling baik sekali, karena dapat memperluas wawasan politik

masyarakat, dan lebih memungkinkan mendapat dukungan yang luas dari

berbagai pihak;

- Dari segi ekonomi : Baik sekali, karena dapat memperluas jangkauan pereko-

Page 97: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

92

nomian dalam negeri melalui perluasan pemanfaatan sumber daya dan

perluasan pasar;

- Dari segi keuangan : Kurang baik, karena akan adanya pengeluaran yang cukup

besar;

- Dari segi administratif : Baik, karena akan menimbulkan kegiatan administratif

lebih banyak, perluasan hubungan dan memperlancar kegiatan administrasi

pembangunan;

- Dari segi efektivitas : Baik, karena untuk mengurangi urbanisasi, secara tidak

langsung sangat bermanfaat.

Untuk memilih alternatif yang terbaik dari keempat alternatif tersebut di

atas, dapat dibuat proyeksi dalam angka-angka seperti tercantum dalam tabel 1

di bawah ini.

No. KRITERIA POL EKO KEU ADM EFT JUMLAH

1 Membatasi tinggal di Jakarta. 1 2 5 1 3 12

2 Membangun daerah. 5 5 1 2 4 17

3 Membatasi investasi baru. 1 1 2 2 3 9

4 Membangun transportasi ke daerah.

5 5 1 2 3 16

Dari tabel 1 tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan daerah merupa-

kan salah satu alternatif yang mempunyai angka tertinggi, yakni 17, disusul oleh

alternatif pembangunan transportasi ke daerah lain dengan nilai 16. Dalam

penilaian untuk pemilihan lebih lanjut, angka-angka ini belum final. Yang perlu

dinilai adalah bobot dari masing-masing kriteria itu sendiri sesuai dengan

pertimbangan dalam hubungan dengan tujuan yang lebih tinggi atau yang lebih

mendesak. Pertimbangan ini bisa jadi berhubungan dengan persatuan dan

kesatuan nasional, kepentingan untuk segera meningkatkan daya saing, yang

mungkin diperkirakan makin mendsak, dsb.

Misalnya prioritas kita pada peningkatan daya saing nasional yang mende-

sak, sementara persatuan dan kesatuan nasional dianggap sudah mantap. Maka

kriteria itu dapat kita beri nilai bobot sebagai berikut :

Page 98: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

93

Kriteria politik ..................... 3

Kriteria ekonomi ................. 5

Kriteria keuangan ................ 2

Kriteria administratif ........... 3

Kriteria efektivitas ............... 4

Kiteria ekonomi dipandang paling penting, sedangkan efektivitas merupakan

sesuatu yang ingin diusahakan. Jadi nilainya tidak boleh kurang dari 4. Kriteria

politik juga cukup penting, namun masih di bawah kriteria ekonomi yang secara

langsung berkaitan dengan daya saing. Kriteria keuangan dipandang kurang

penting dibanding kriteria administrif karena keperluan adanya peningkatan

kemampuan dalam pelayanan publik. Dengan demikian, nilai dalam tabel 1

berubah seperti dalam table 2 berikut ini.

No. KRITERIA POL EKO KEU ADM EFT JUMLAH

1 Membatasi tinggal di Jakarta. 1x3 2x5 5x2 1x3 3x4 38

2 Membangun daerah. 5x3 5x5 1x2 2x3 4x4 64

3 Membatasi investasi baru. 1x3 1x5 2x2 2x3 3x4 30

4 Membangun transportasi ke daerah.

5x3 5x5 1x2 2x3 3x4 60

Pada table 2 ini terlihat bahwa pembangunan daerah masih tetap merupa-

kan strategi kebijakan yang terbaik, diikuti strategi keempat, pembangunan

transportasi ke daerah lain. Kondisi ini kelihatannya sama dengan table 1.

Namun keadaan ini tidak selalu demikian, bergantung pada prioritas yang kita

berikan terhadap kriteria-kriteria yang dipakai. Dengan demikian, pilihan kita

jatuh pada alternatif 2, yaitu pembangunan daerah dengan nilai akhir 64, diikuti

alternatif 4 dengan nilai 60.

D. TAHAP-TAHAP PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

1. Perumusan Masalah (Defining Problem).

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamen-

Page 99: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

94

mental dalam perumusan kebijakan pada umumnya dan kebijakan publik khusus-

nya, karena itu masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan

baik. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang

ada dalam masyarakat. Itulah sebabnya seberapa besar kontribusi yang diberi-

kan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dimaksud

menjadi pertanyaan yang menarik dalam sebuah evaluasi kebijakan publik.

Apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak, bergantung pada

ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Memang dalam prak-

teknya menurut Rushefky (Budi Winarno, 2012:124) secara eksplisit menyatakan

kita sering gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan

dengan menemukan masalah yang tepat.

2. Agenda Kebijakan.

Tidak semua masalah publik harus masuk ke dalam kebijakan publik. Masalah-

masalah dimaksud saling berkompetisi antara yang satu dengan yang lainnya.

Hanya masalah-masalah tertentu yang akhirnya masuk dalam agenda. Suatu

masalah yang masuk ke dalam agenda kebijakan publik harus memenuhi syarat

tertentu antara lain, apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar

bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilaksana-

kan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan publik akan

dibahas oleh para perumus kebijakan publik berdasarkan tingkat urgensinya,

seperti oleh eksekutif (Presiden dan para pembantunya), legislatif (DPR) dan

mungkin juga yudikatif (kalangan peradilan).

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan.

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus

kebijakan publik sepakat untuk memasukkan masalah dimaksud ke dalam

agenda kebijakan publik, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan

masalah. Dalam hal ini para perumus kebijakan publik akan berhadapan dengan

alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang dapat diambil guna memecahkan

masalah tersebut.

Contoh kasus misalnya `pendirian pabrik tekstil PT. Indorayon di zaman pe-

Page 100: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

95

merintahan Orde Baru. Pilihan kebijakan yang diambil meliputi :

a. Pabrik tersebut tetap didirikan di Porsea karena dilihat dari segi ekonomi akan

menguntungkan;

b. Pendirian pabrik di luar Porsea mengingat kerusakan lingkungan yang mung-

kin ditimbulkan oleh pendirian pabrik. Alternatif ini didasarkan pada bebe-

rapa usulan, yaitu pertama, dari Presiden Suharto, agar lokasi pabrik pulp dan

rayon dapat dipertanggungjawabkan, harus dilakukan studi kelayakan dengan

negara lain yang telah mendirikan pabrik sejenis. Kedua, dari Menteri Kepen-

dudukan dan LH yang menolak karena terletak di hulu sungai sehingga akan

mencemari lingkungan. Ketiga, dari Menristek B.J. Habibie yang tetap

menghendaki didirikan di Porsea dengan tujuan meningkatkan tarap hidup

masyarakat di sekitar pabrik dan dalam rangka meningkatkan pendapatan

pemerintah dan daerah.

Jelas, para perumus kebijakan dihadapkan pada pertarungan kepentingan

antarberbagai sektor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Dalam kondisi

seperti itu maka pilihan kebijakan didasarkan pada kompromi dan negosiasi

antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4. Penetapan Kebijakan.

Setelah salah satu alternatif diputuskan untuk diambil sebagai secara cara untuk

memecahkan masalah kebijakan publik, maka tahap paling akhir adalah

penetapan kebijakan publik sehingga mempunyai kekuatan hukum yang meng-

ikat. Alternatif kebijakan publik yang diambil pada dasarnya merupakan kompro-

mi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan

kebijakan publik tersebut. Penetapan kebijakan publik dimaksud dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya Undang-Undang, Kepu-

tusan Presiden, Keputusan Menteri/LPNK, bahkan Yurisprudensi.

Page 101: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

96

BAB X IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

A. KONSEP IMPLEMENTASI

Implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah

penetapan dasar hukumnya (UU, Keppres, Kepmen, Perda, dsb.). Implementasi

dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan UU yang melibatkan ber-

bagai sektor, organisasi, prosedur, dan teknik kerjasama untuk menjalankan

kebijakan dalam upaya meraih tujuan kebijakan atau program-program. Pada sisi

lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat

dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu

dampak (outcome).

Implementasi (pelaksanaan) kebijakan merupakan aspek yang sangat penting

dari keseluruhan proses kebijakan. Udji dalam Abdul Wahab (1991) mengemuka-

kan, “Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan lebih

penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar atau

berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak

diimplementasikan”.

Kendati implementasi kebijakan itu penting, akan tetapi baru beberapa

dasawarsa terakhir ini para ilmuwan sosial menaruh perhatian terhadap implemen-

tasi dalam proses kebijakan dimaksud. Kurangnya perhatian pada implementasi

kebijakan menyebabkan adanya semacam “mata rantai yang hilang” antara tahap

perumusan dan evaluasi kebijakan. Itulah sebabnya sering dikatakan bahwa

kebanyakan pemerintah di dunia ini baru mampu mengesahkan kebijakan, dan

belum sepenuhnya mampu menjamin bahwa kebijakan yang telah disahkan itu

benar-benar akan menimbulkan dampak atau perubahan yang diinginkan. Gejala

inilah yang menurut Andrew Dunsire (Abdul Wahab, 2001) sebagai “implementa-

tion gap” yaitu suatu keadaan dalam suatu proses kebijakan selalu akan terbuka

kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesenjangan atau perbedaan antara apa

yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai se-

Page 102: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

97

bagai hasil dari implementasi kebijakan itu.

Besar kecilnya perbedaan antara harapan dengan kenyataan itu bergantung

pada “implementation capacity” dari organisasi/instansi atau aktor yang dipercaya

mengimplementasikan kebijakan dimaksud. Implementation capacity ini adalah

kemampuan aktor/organisasi untuk melaksanakan kebijakan agar tujuan yang telah

ditetapkan dapat dicapai dengan baik. Dalam kenyataannya setiap kebijakan publik

mengandung resiko kegagalan. Hogwood and Gunn (1986) mengelompokkan kega-

galan implementasi kebijakan tersebut dalam dua ketegori, yaitu “nonimplemen-

tation” (tidak dapat dilaksanakan) dan “unsuccessfull implementation” (pelaksanaan

yang kurang berhasil). Contoh yang pertama adalah kebijakan Menteri Keuangan RI

(di zaman Orba) yang mengenakan pajak 5% untuk penukaran rupiah ke US$, yang

ternyata tiga hari kemudian dicabut kembali. Contoh yang kedua adalah implemen-

tasi kebijakan pemungutan retribusi televisi yang pelaksanaannya tersendat-sendat.

Secara umum, tugas implementasi kebijakan adalah mengembangkan suatu

struktur hubungan antara tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan dengan

tindakan-tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan dimaksud yang berupa

hasil kebijakan (policy outcomes). Untuk itu, perlu diciptakan suatu sistem, yang

dengan sistem itu diharapkan tujuan kebijakan dapat direalisasikan, dengan cara

menerjemahkan tujuan kebijakan yang luas itu ke dalam program-program kegiatan

yang mengarah pada tercapainya tujuan. Dengan demikian, maka untuk mencapai

tujuan itu perlu diciptakan berbagai macam program.

Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplemen-

tasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah, yaitu pertama, langsung meng-

implementasikan dalam bentuk program, dan kedua, melalui formulasi kebijakan

derivat atau turunan dari kebijakan publik dimaksud.

Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keputusan Presiden

(Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri (Kepmen), Keputusan

Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dll. Sedangkan kebijakan publik yang telah

ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) atau Peraturan Daerah (Perda)

adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan penjelas yang sering disebut per-

Page 103: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

98

aturan pelaksanaan yang merupakan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.

Adapun rangkaian implementasi kebijakan dimulai dari program ke proyek dan

ke kegiatan yang pada akhirnya diperoleh manfaat dari kebijakan publik dimaksud.

KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK PROGRAM PENJELAS

. PROYEK

KEGIATAN

PEMANFAAT Sumber : Riant Nugroho, 2012:675. (Beneficiaries)

Sementara dengan mengikuti manajemen sektor publik, secara lengkap dapat

digambarkan proses implementasi dimaksud sebagai berikut :

VISI

MISI

STRATEGI/RENCANA

KEBIJAKAN Umpan balik (feedback)

PROGRAM

PROYEK

KEGIATAN

Page 104: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

99

Pemahaman tentang manajemen kebijakan publik itu perlu dikemukakan

mengingat sebagian besar Perencanaan Strategis (Renstra) di Indonesia atau pada

sejumlah buku teks, visi adalah yang pertama dan dijabarkan dalam misi. Ber-

dasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional, disebutkan bahwa visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang

diinginkan pada akhir periode perencanaan, dan misi adalah rumusan umum

mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Semen-

tara strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk

mewujudkan visi dan misi.

Memang dalam beberapa literatur termasuk pendapat Riant Nugroho (2012:

677-678), visi itu bukan yang pertama, dan dijabarkan dalam misi. Justru yang

pertama adalah misi karena misi adalah tujuan melekat setiap organisasi sampai

organisasi ini bubar kelak. Misi organisasi memberikan acuan kepada pemimpin

untuk merumuskan visi yang sesuai dengan kapasitas pemimpin tersebut untuk

membuat mission accomplished melalui kapasitas dan keunggulan yang dimilikinya,

sementara visi melekat pada leader. Para pemimpin merumuskan visi selama kurun

waktu ia bekerja. Kombinasi antara misi (organisasi) dengan visi (pemimpin) ter-

tuang dalam bentuk strategi.

Penjabaran misi adalah strategi atau rencana. Strategi adalah arah makro atau

politik dari upaya pencapaian tujuan dan dieksekusi dalam bentuk kebijakan-

kebijakan, baik yang bersifat publik maupun nonpublik. Jadi, kebijakan publik dapat

dikatakan “keputusan politik” terhadap pilihan atas strategi. Tanpa keputusan

politik, strategi hanya tinggal konsep di atas kertas. Kebijakan ini dioperasionalisasi-

kan dalam bentuk program-program yang berjalan paralel dengan itu, seperti

penganggaran program. Program dirinci dalam proyek-proyek yang implementasi-

nya dalam bentuk “produk” baik berupa barang maupun pelayanan. Istilah produk

juga sering diganti dengan “kegiatan” namun sengaja tidak digunakan karena ada

output berupa intangible product yaitu jasa, dan tangible yaitu produk.

Adapun paparan pemikiran manajemen strategis di awal dan pemahan lanjutan

digambarkan dalam bagan di bawah ini. (Riant Nougroho, 2012:679) :

Page 105: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

100

SEKUENSI MANAJEMEN STRATEGIS

MISI VISI (organisasi) (leader) (raison d’etre) (where to go)

STRATEGI (plan, how to go)

KEBIJAKAN (decision)

KINERJA PROGRAM PENGANGGARAN (working decision) (budgeting)

PROYEK PENGENDALIAN (implementation) (termasuk pengawasan)

PRODUK EVALUASI (materializing the vision) Sumber : Riant Nugroho, 2012:679.

Menurut Riant Nugroho, kebijakan diturunkan berupa program-program, yang

kemudian diturunkan lagi menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada

kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, maupun

kerjasama pemerintah dengan masyarakat. Program, proyek, dan kegiatan, me-

rupakan bagian dari implementasi kebijakan dan hasilnya adalah “produk” yang

merupakan “materialisasi” dari misi.

Konsep implementasi dan pengendalian kebijakan publik lebih lanjut dapat

dijelaskan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan merupakan mata rantai perlengkapan

dalam proses kebijakan publik.

2. Kebijakan publik yang telah disahkan dan dicantumkan dalam Lembaran Negara/

Daerah siap untuk dilaksanakan.

Page 106: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

101

3. Kebijakan publik ada yang self executing (dengan sendirinya telah terimplikasikan

begitu suatu kebijakan publik ditetapkan) seperti misalnya pengaturan kedau-

latan suatu negara. Jumlah kebijakan publik yang self executing ini relatif sangat

sedikit.

4. Umumnya kebijakan publik adalah nonself executing harus dilaksanakan dan

dikendalikan oleh yang berwenang yang terdiri dari berbagai pihak, terutama

lembaga eksekutif, birokrat, dan badan-badan pemerintah serta badan-badan

legislatif (DPR/DPRD), yudikatif (MA, MK, KY) dan kelompok-kelompok kepen-

tingan masyarakat.

5. Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik ditujukan agar tujuan dikeluar-

kannya dapat segera tercapai dengan dampak negatif sedikit mungkin.

Adapun prinsip kebijakan publik adalah :

1. Sifat kebijakan publik adalah self executing atau nonself executing.

2. Yang bertanggung jawab adalah eksekutif, legislatif, yudikatif, badan-badan

pemerintah/lembaga negara, asosiasi perusahaan swasta dan pemerintah, LSM

dan masyarakat.

3. Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik dilakukan secara simutan.

4. Orientasi pada sasaran dan tujuan serta target group dari kebijakan publik.

5. Efektif, efisien dalam penggunaan sumber daya.

6. Berdasarkan prosedur dan tatalaksana pelaksanaan yang ditetapkan.

7. Tertib administrasi dan tertib hukum.

8. Akuntabilitas pelaksanaan.

B. MODEL PROSES IMPLEMENTASI

Van Meter dan van Horn (dalam Budi Winarno, 2012:158-172) menawarkan enam

variabel yang membentuk kaitan (lingkage) antara kebijakan dan kinerja (perfor-

mance).

1. Ukuran-ukuran dan Tujuan-tujuan Kebijakan.

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang

Page 107: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

102

menentukan kinerja kebijakan. Identifikasi indikator-indikator kinerja merupa-

kan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-

indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan

kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna

dalam menguraikan kebijakan secara menyeluruh. Ukuran-ukuran dasar dan

tujuan-tujuan ini pun akan merupakan bukti yang dapat diukur dengan mudah

dalam beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan

pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat

karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu

ditentukan jumlah pekerjaan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang

berkaitan.

Dalam banyak kasus, memang akan ditemukan beberapa kesulitan besar

untuk mengidentifikasi dan mengukur kinerja. Ada dua penyebabnya :

a. Mungkin bidang programnya yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks;

b. Mungkin akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksi-kontradiksi dalam

pernyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.

Kadangkala kekaburan dalam ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan

sengaja pula diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tang-

gapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggung jawab implementasi pada

tingkat-tingkat organisasi yang lain atau sistem penyampaian kebijakan.

Pada akhirnya, pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-

tujuan yang didukung oleh hasil penelitian.

2. Sumber-sumber Kebijakan.

Yang layak mendapat perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah

sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber dimaksud mencakup dana atau

perangsang (insentif) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi

yang efektif. Dalam praktek, sering terdengar para pejabat pimpinan atau

pelaksana mengatakan bahwa tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai

program-program yang telah direncanakan. Demikianlah maka dalam beberapa

kasus, kecilnya dana akan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan imple-

Page 108: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

103

mentasi kebijakan.

3. Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan.

Implementasi akan berjalan efektif jika ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan

dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijak-

an. Dengan begitu sangat penting memberi perhatian pada kejelasan ukuran-

ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasinya dengan

para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-

tujuan dasar yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Tanpa

kejelasan, bisa berakibat para pelaksana tidak mengetahui apa yang diharapkan

dari ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu, sehingga kebijakan akan

mengalami kegagalan.

Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu

proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan (message) ke

bawah dalam suatu organisasi atau dari organisasi ke organisasi lainnya (unit

kerja), baik sengaja atau tidak, bisa saja para komunikator salah atau menyim-

pangkannya serta menyebarkannya, sehingga para pelaksana menghadapi

kesulitan. Demikian juga jika sumber-sumber informasi yang berbeda mem-

berikan interpretasi yang tidak konsisten atau bahkan bertentangan terhadap

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.

Implementasi kebijakan yang berhasil seringkali memerlukan mekanisme-

mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini akan mendorong kemung-

kinan yang lebih besar bagi para pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong para

pejabat pelaksana (bawahan) bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam struktur

organisasi mempunyai pengaruh karena posisi hierarkis mereka. Para pejabat

atasan mempunyai kekuasaan personil yang diukur dari :

a. Rekrutmen dan seleksi;

b. Penugasan dan relokasi;

c. Promosi (kenaikan pangkat dan jabatan);

d. Pemberhentian (pensiun, pemecatan).

Page 109: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

104

Di sinilah peran atasan yang memiliki kontrol atas alokasi anggaran belanja

pada biro-biro pemerintah dan kantor-kantor daerah yang dapat ditingkatkan

ataupun dikurangi. Mereka juga memiliki kewenangan untuk menanggapi

pencapaian kebijakan yang memuaskan atau tidak memuaskan.

Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua

tipe pelaksanaan merupakan hal yang penting :

a. Nasihat dan bantuan teknis. Para pejabat tinggi seringkali melakukan banyak

hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan membantu para

pejabat bawahan menginterpretasikan aturan-aturan dan garis-garis pedo-

man pemerintah, menyusun tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif

dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan dan ber-

guna dalam melaksanakan kebijakan;

b. Penghargaan dan sanksi (reward and funishment). Para pejabat tinggi dapat

menerapkannya kepada para pejabat bawahan atau pelaksana, dalam arti

pemberian penghargaan bagi mereka yang berprestasi, dan hukuman bagi

mereka yang bersalah. Hal ini dapat menunjuk pada perbedaan antara kekua-

saan normatif, renumeratif, dan koersif. (Budi Winarno, 2012:163).

Penggunaan kekuasaan-kekuasaan normatif dan numeratif paling umum.

Misalnya di Amerika Serikat (AS), pemerintah federal berusaha memengaruhi

kegiatan pemerintah negara bagian melalui alokasi dan manipulasi ganjaran-

ganjaran simbolik dan materi. Ini dilakukan melalui sosialisasi, persuasi, dan

kooptasi para pejabat pemerintah negara bagian dan daerah. Dengan mencoba

membangun aliansi profesional sekitar organisasi dan misinya, para pejabat

pemerintah federal berusaha melindungi sekutu-sekutunya yang akan menjadi

pelaksana implementasi kebijakan mereka dengan sepenuh hati.

4. Karakteristik Badan-badan Pelaksana.

Pembahasan masalah ini tidak terlepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi

diartikan sebagai karekteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola

hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang

mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka

Page 110: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

105

miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-

ciri struktur formal dari personil mereka. Perhatian juga perlu ditujukan pada

ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pemeranserta-pemeranserta dalam

sistem penyampaian kebijakan. Meter dan van Horn (Budi Winarno, 2012:166)

mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu

organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu :

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan

proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

d. Vitalitas suatu organisasi;

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka” yang diartikan sebagai jaringan

kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan

yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar

organisasi;

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan

atau pelaksana keputusan.

5. Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya yang

dampaknya pada kebijakan publik menjadi pusat perhatian selama dasawarsa

yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus

tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada

hasil-hasil kebijakan. Sekalipun memang dampak dari faktor-faktor ini pada

implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian kecil, namun

mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

Meter da van Horn mengajukan usul pertimbangan dengan beberapa pertanyaan

tentang lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang memengaruhi yurisdiksi

atau organisasi yang di mana implementasi kebijakan itu dilaksanakan, yaitu :

a. Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana

Page 111: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

106

cukup mendukung implementasi yang berhasil?

b. Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku

akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan bersangkutan?

c. Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang

berhubungan?

d. Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan?

e. Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana, dan

apakah ada oposisi atau dukungan pengikut bagi kebijakan?

f. Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk

mendukung atau menentang kebijakan?

6. Kecenderungan Pelaksana (Implementors).

Pemahaman pelaksana akan tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan

tujuan-tujuan kebijakan merupakan hal yang sangat penting. Implementasi

kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan dimak-

sud secara menyeluruh. Ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijak-

an sering disebabkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan.

Dalam kondisi seperti ini persepsi individu memegang peran. Ketidaksesuaian

kognitif individu, mungkin akan berusaha menyimpangkan pesan yang tidak

menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan

keputusan kebijakan.

Ada beberapa alasan mengapa tujuan-tujuan suatu kebijakan ditolak oleh

orang-orang yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan tersebut,

yaitu : Tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya mungkin

bertentangan dengan sistem nilai pribadi para pelaksana, kesetiaan-kesetiaan

ekstra organisasi, perasaan akan kepentingan diri sendiri, atau karena hubungan-

hubungan yang ada dan yang lebih disenangi. Dengan gajala seperti ini maka

kelompok-kelompok manusia menemui kesulitan untuk melaksanakan tindakan-

tindakan secara efektif karena mereka tidak mempunyai kepercayaan yang men-

dasari tindakan-tindakan tersebut.

Demikianlah, maka intensitas kecenderungan-kecenderungan pelaksana

Page 112: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

107

akan memengaruhi kinerja kebijakan. Para pelaksana yang mempunyai pilihan-

pilihan negatif mungkin secara terbuka akan menimbulkan sikap menentang

tujuan-tujuan program. Jika demikian halnya, maka persoalan implementasi

akan mengundang perdebatan, bawahan mungkin menolak untuk berperanserta

dalam program tersebut sama sekali, atau mengelak secara sembunyi-sembunyi.

Di sinilah peran pengawasan dan pelaksanaan menjelaskan perbedaan-

perbedaan keefektifan implementasi. Itulah sebabnya para pengkaji implemen-

tasi kebijakan harus mengumpulkan banyak individu yang berasal dari unsur-

unsur yang cenderung beragam.

7. Kaitan antara Komponen-komponen Model.

Implementasi merupakan proses yang dinamis. Faktor-faktor yang akan meme-

ngaruhi pelaksanaan suatu kebijakan dalam tahap-tahap awal mungkin akan

mempunyai konsekuensi yang kecil dalam tahap selanjutnya. Dengan demikian

studi implementasi yang dilakukan secara longitudinal menjadi sangat penting di

mana hubungan-hubungan diidentifikasikan pada suatu waktu tidak harus

diperpanjang secara kausal pada periode waktu lainnya. Hal ini akan mampu

mendeskripsikan dan membenarkan secara singkat mengenai beberapa hubung-

an yang dihipotesiskan sebelumnya.

Meter dan van Horn membuat kaitan (linkages) yang dibentuk antara

sumber-sumber kebijakan dengan tiga komponen lainnya (komunikasi antar

organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik-karakteristik dari

badan-badan pelaksana, serta kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik).

Menurut mereka tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh

keputusan kebijakan akan memengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan

pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lainnya hanya dapat

ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para

pelaksana dapat dicapai hanya jika sumber-sumber yang tersedia cukup untuk

mendukung kegiatan tersebut. Kecenderungan para pelaksana dapat dipenga-

ruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau

sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin meman-

Page 113: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

108

dang program dengan senang hati dan kemungkinan besar akan mendorong

ketaatan mereka karena berharap memperoleh keuntungan dari sumber-sumber

tadi. Sebaliknya jika suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber

pendukung dan prospektif, maka dukungan ketaatan para pelaksana terhadap

program akan menurun.

Demikianlah, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial,

dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa

tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan

menimbulkan tuntutan (oleh warga negara, swasta, dan kelompok-kelompok

kepentingan yang terorganisasi) untuk peranserta dalam implementasi program

berhasil. Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk

berperanserta dalam implementasi kebijakan. Dengan perkataan lain, motivasi

mencari keuntungan dari sumber-sumber yang tersedia akan mendorong para

pemeranserta baru di dalam proses implementasi kebijakan. Namun jika

sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, para warga negara individual dan

kepentingan-kepentingan yang terorganisasi akan memilih jalan menentang

kebijakan berdasarkan perbandingan nilai keuntungan yang didapat dengan

biaya yang harus dibayar. Contohnya, para pejabat publik di daerah akan

menolak peraturan yang mengurangi nilai otonomi dan sebaliknya akan men-

dukung segala macam kebijakan yang menguntungkan kedudukannya di daerah.

Meter dan Horn pun mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi,

sosial, dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan memengaruhi

karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana

dan capaiannya itu sendiri. Kondisi-kondisi lingkungan dapat mempunyai

pengaruh yangpenting pada keinginan dan kemampuan yuridiksi atau organisasi

dalam mendukung struktur-struktur, vitalitas, dan keahlian yang ada dalam

badan-badan administratif maupun tingkat dukungan politik yang dimiliki.

Jika variabel lingkungan ekonomi, sosial, dan politik memengaruhi imple-

mentasi kebijakan, maka hal in i juga berlaku untuk variabel-variabel yang lain.

Beberapa karakteristik dari badan-badan pelaksana mempunyai pengaruh

terhadap kecenderungan-kecenderungan para personil yang ada di dalamnya.

Page 114: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

109

Sifat jaringan kerja komunikasi, tingkat pengawasan hierarkis, dan gaya kepe-

mimpinan dapat memengaruhi identifikasi individu terhadap tujuan-tujuan dan

sasaran-sasaran organisasi. Apakah pengaruh yang ditimbulkannya memper-

mudah atau menghalangi implementasi yang efektif bergantung pada orientasi

dari badan pelaksana. Kecenderungan-kecenderungan individu pelaksana kebi-

jakan juga dapat dipengaruhi oleh ikatan-ikatan formal dan tidak formal dari

badan itu dengan badan “pembentuk kebijakan” atau badan “pelaksana kebijak-

an” (misalnya, apakah mereka melakukan kegiatannya pada tingkat pemerintah-

an yang sama? Apakah suatu aliansi yang efektif telah terbentuk antara pe-

nguasa tinggi dan para pejabat pelaksana?).

8. Masalah Kapasitas.

Meter dan Horn juga menyinggung kapasitas sebagai faktor yang berpengaruh

bagi implementasi kebijakan. Menurut mereka, implementasi yang berhasil juga

merupakan fungsi dari kemampuan organisasi pelaksana untuk melakukan apa

yang diharapkan untuk dikerjakan. Kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-

kebijakan mungkin dihambat oleh faktor-faktor seperti staf yang kurang terlatih

dan terlalu banyak pekerjaan, informasi yang tidak memadai dan sumber-sumber

keuangan atau waktu yang tidak memungkinkan.

Masalah kapabilitas ini disoroti dalam empat komponen model, yakni :

Sumber-sumber kebijakan (sifat dan kuantitas mereka); komunikasi antarorga-

nisasi, dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan (penyediaan dukungan politik, nasihat,

dan bantuan teknis); karakteristik-karakteristik dari badan-badan pelaksana

(kompetensi staf, kepemimpinan, vitalitas, ikatan-ikatan formal dan tidak formal

terhadap para pembuat kebijakan); dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

(opini publik, kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisasi, kondisi-

kondisi ekonomi dari yuridiksi).

Model proses implementasi kebijakan dapat dilihat dalam bagan di bawah

ini.

Page 115: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

110

MODEL PROSES IMPLEMANTASI KEBIJAKAN

Ukuran-ukuran ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Dasar dan Tujuan-tujuan

Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan

Pelaksanaan

Kebijakan Kinerja Karakteristi-kerakteristik Kecenderungan

dari Badan-badan Pelaksana- Pelaksana pelaksana

Sumber- sumber

Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik

Sumber : Budi Winarno, 2012:160.

C. TEKNIK/METODE IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

1. Hierarki dan Kategori Kebijakan Publik.

Teknik/metode pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik ditentukan oleh

hierarki dan kategori kebijakan publik :

a. Hierarki :

Lazimnya dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Ber-

dasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, tata urutnya adalah :

1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

2) Tap MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat).

3) UU/PERPPU (Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang).

4) Peraturan Pemerintah (PP).

5) Peraturan Presiden (Perpres).

6) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.

Page 116: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

111

7) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.

b. Kategori kebijakan :

1) Substantive atau Procedural Policies.

Misalnya kebijakan luar negeri, perdagangan, perburuhan, pendidikan,

energi, kesehatan, pertanahan, lingkungan hidup dan kehutanan, dsb.

2) Distributive Policies, Redistributive Policies, Regulatory Policies, Self Regu-

latory Policies.

- Contoh distributive policies : Bea siswa, subsidi, tax holiday, dll.

- Contoh Redistributive policies : Land reform, PIR, pemberian tanah

kepada transmigran, dll.

- Contoh Regulatory policies : Larangan-larangan dan pembahasan (kebi-

jakan tree in one lalu lintas, batas kecepatan berkendara di jalan tol,

kepemilikan senjata api tanpa izin, dll.

- Contoh Self Regulatory Policies : Pemberian surat izin kerja, tarif dasar

listrik, dll.

3) Material atau Symbolic Policies.

Contohnya UMR, KPR, larangan menginjak rumput di taman, iuran tv,

konversi hutan, dll.

4) Collective (Public) Goods dan Private Goods Policies.

Barang-barang publik (public goods) adalah barang-barang yang dalam

mengkonsumsinya oleh seseorang/sekelompok orang tidak bisa mengha-

langi/melarang orang/kelompok lain untuk juga mengkonsumsinya. (LAN,

2009:102).

Untuk dapat menghalangi seseorang/sekelompok orang lain dalam

mengkonsumsi/menikmati barang-barang publik tersebut biayanya sangat

mahal. Demikian juga nonrivalry, artinya tidak ada persaingan antar

konsumen dalam mengkonsumsi barang-barang publik tersebut, karena

dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa halangan, dan yang penting tidak

akan mengurangi ketersediaannya untuk dinikmati oleh orang-orang

lainnya. Public Goods (Barang-barang Publik) ada yang murni (pure public

goods) dan ada yang tidak murni (nonpublic goods).

Page 117: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

112

a) Contoh Public Goods : Mercu suar (lighthouse), yang tidak mungkin

menghalangi kapal-kapal yang lewat di sekitar yang diteranginya untuk

memanfaatkannya (nonexcludable). Demikian juga taman kota yang

dinikmati oleh seseorang/sekelompok orang, dan tidak mengurangi

ketersediaannya untuk dinikmati oleh masyarakat lainnya (nonrevalry).

Barang-barang publik itu ada dua macam, yaitu barang-barang publik

murni (pure public goods), dan barang-barang publik tidak murni (non-

public goods).

b) Contoh Collective (Public) Goods : Pengadaan barang-barang publik

biasanya oleh pemerintah. Sebagian dari APBN, seperti pengadaan mili-

ter dengan peralatannya, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup, trans-

portasi, hukum dan penegakkan hukum (law and orders).

Dalam dunia nyata, hampir tidak ada “pure public goods” karena

dalam kemajuan ilmu dan teknologi (high technology di dunia modern),

misalnya mercu suar pun bisa diberi kode, sehingga kapal-kapal tertentu

saja yang memiliki perangkat pembaca yang bisa menggunakannya. Jadi,

nonrivalry dan nonexcludability) itu tidak berlaku jika tidak ada tambahan

biaya yang ditimbulkan untuk konsumsi barang publik tersebut oleh

konsumen lainnya.

Kaitan dengan peran pemerintah dalam penyediaan barang publik,

terdapat dua jenis, yaitu “pure public goods” (murni) dan “semi public

goods” (semi murni). Namun semi public goods sering disebut juga pure

public goods yang diperluas. Kategori barang-barang publik murni seperti

pertahanan, hukum, dan penelitian (basic research). Barang-barang publik

semi murni seperti pendidikan, kualitas lingkungan hidup, transportasi, dan

semi yang luas “community and regional development”. Intinya di sini

adalah jika dapat dilakukan “partial exclusion”, maka dapat dikategorikan

sebagai barang-barang publik yang diperluas.

Sementara itu privat goods adalah semua barang publik yang untuk

menikmatinya harus mengeluarkan biaya (excludable/revalary), seperti

restoran, tempat hiburan, perumahan, sekolah/perguruan tinggi, jalan tol

Page 118: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

113

dsb. Barang-barang privat dikonsumsi secara individu dan dapat dipisah-

kan antara yang membeli dan yang tidak.

5) Liberal dan Conservative Policies.

Misalnya kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan di bidang

kesejahteraan rakyat.

c) Urutan Langkah Pelaksanaan dan Pengedalian Kebijakan :

1) Sosialisasi dan diseminasi kebijakan agar seluruh masyarat mengetahui

tentang adanya kebijakan tertentu.

2) Pembentukan organisasi pelaksanaan :

a) Pembagian tugas pokok dan fungsi;

b) Penyusunan lembaga/unit kerja;

c) Tata kerja dan petunjuk pelaksanaan;

d) Koordinasi.

3) Penyusunan Program Kerja dengan memperhatikan :

a) Hierarki kebijakan publik;

b) Kategori kebijakan publik;

c) Sistem dan proses pengelolaan kebijakan publik;

d) Faktor-faktor yang memengaruhi dinamika dan proses pembuatan

kebijakan publik dan pelaksanaannya;

e) Pemahaman terhadap masalah yang perlu dipecahkan melalui kebijakan

publik;

f) Rincian program kerja;

g) Volume target;

h) Sumber daya dan besarannya :

(1) Sumber daya alam;

(2) Sumber daya manusia;

(3) Sumber dana.

i) Waktu dan jaringan kerja (networking) pelaksanaan (Barchart, Network

Planning, dll.).

j) Prasarana dan sarana.

4) Pelaporan secara berkala hasil pelaksanaan untuk :

Page 119: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

114

a) Pengendalian;

b) Bahan evaluasi;

c) Bahan pertanggungjawaban.

d) Esensi Pelaksanaan Kebijakan :

1) Pelaksanaan kebijakan merupakan mata rantai penting dalam proses

kebijakan publik.

2) Pelaksanaan kebijakan merupakan sarana terpenting dalam mewujudkan

tujuan.

3) Pelaksanaan kebijakan dapat dilakukan oleh :

a) Instansi pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif);

b) Perusahaan-perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD) dan swasta (PT,

CV, Firma, UD, dll.

c) Asosiasi-asosiasi perusahaan;

d) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM);

e) Masyarakat;

f) Perorangan.

4) Pelaksanaan kebijakan konstitutif dapat berupa :

a) Kebijakan deklaratif;

b) Opreasional.

5) Dampak pelaksanaan kebijakan dirasakan oleh :

a) Lingkungan luas;

b) Lingkungan terbatas.

6) Pelaksanaan kebijakan dapat berupa :

a) Perbuatan hukum;

b) Bukan perbuatan hukum.

7) Pelaksanaan kebijakan harus memehami paradigma, visi, misi, dan nilai-

nilai/norma yang menjadi dasar penetapan kebijakan.

8) Pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu mata rantai kebijakan yang

mencakup :

a) Formulasi kebijakan;

b) Legislasi dan adopsi kebijakan;

Page 120: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

115

c) Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan;

d) Monitoring dan evaluasi kebijakan.

Dalam pelaksanaan kebijakan selalu ada perubahan dinamis dari demand

(kebutuhan) para stakeholders yang akan berdampak pada aspek waktu,

prasarana dan sarana, serta sumber daya yang digunakan.

e) Aspek-aspek Pokok dalam Pelaksanaan dan Pengendalian :

1) Penganggaran :

a) Sangat sedikit kebijakan publik yang pelaksanaannya tidak memerlukan

dana. Bahkan di semua bidang hampir semuanya memerlukan dana

(ipoleksosbudhankamag);

b) Proses penyusunan anggaran untuk pelaksanaan kebijakan dapat

sederhana, tetapi juga bisa kompleks, melibatkan berbagai instansi

terutama Kementerian Keuangan, BAPPENAS, instansi sektoral penang-

gung jawab dan instansi terkait pada tingkat nasional. Rencana program

dan pelaksanaan kebijakan beserta besaran anggarannya diusulkan oleh

Presiden ke DPR untuk mendapatkan persetujuan, yang kemudian

ditetapkan berupa UU-APBN;

c) Budget Execution (pelaksanaan anggaran) setelah ditetapkan, sepenuh-

nya menjadi tanggung jawab instansi pelaksana. Tergantung dari jenis

kebijakan, satu jenis kebijakan dapat dilaksanakan oleh satu instansi

atau beberapa instansi;

d) Besar dan struktur anggaran telah dapat menunjukkan gambaran yang

baik mengenai program-program pelaksanaan dari berbagai kebijakan

yang telah ditetapkan untuk anggaran tahun bersangkutan baik untuk

pelaksanaan kebijakan publik yang telah ada sebelumnya maupun yang

baru ditetapkan pada tahun sebelum tahun anggaran dirumuskan;

e) Efektifitas dari kebijakan publik sangat tergantung dari jumlah anggaran

yang disediakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut;

f) Proses penganggaran memberikan kepada Presiden, DPR, dan lembaga

pengawasan keuangan suatu kesempatan untuk mengadakan review

secara periodik, disebabkan oleh dinamika sosial ekonomi politik yang

Page 121: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

116

pada waktu membuat program pelaksanaan belum diperhitungkan.

2) Pelaksana Kebijakan :

a) Lembaga Eksekutif : Presiden dan semua jajarannya (menteri-menteri

kabinet dan aparat birokrasi bawahannya baik di pusat maupun di

daerah) dan lembaga-lembaga nonkementerian yang bertanggung

jawab langsung kepada Presiden. Termasuk di dalamnya Kepolisian,

kejaksaan dan instansi-instansi pengawasan intern dan ekstern;

b) Lembaga Legislatif (DPR dan DPRD) : Melakukan kontrol terhadap kebi-

jakan publik;

c) Lembaga Yudikatif : Kekuasaan kehakiman (MA, MK, KY);

d) Pressure Group (kelompok penekan) : Konvensi-konvensi, dewan, atau

asosiasi perusahaan-perusahaan, partai politik, Komnas HAM, ICW,

Organda, Asosiasi Tekstil, dsb.

e) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti : KPA (Komisi Pemba-

haruan Agraria), CSIS (Central Strategic for Indonesia Studies), pencinta

lingkungan hidup, lembaga-lembaga penegak demokrasi, dsb.

f) Perorangan yang patuh pada peraturan perundangan atau tidak.

3) Proses Administrasi :

Dimaksudkan sebagai operasionalisasi sistem administrasi sepanjang

waktu. Aspek-aspek dalam proses administrasi dalam rangka pelaksanaan

dan pengendalian kebijakan publik meliputi :

a) Organisasi Administrasi :

Instansi pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, meliputi

struktur, tugas pokok dan fungsi, serta tanggung jawabnya;

b) Politik Administrasi :

Lembaga pada semua instansi akan efektif jika didukung (support) oleh

berbagai kekuatan partai politik. Aspek-aspek politik dalam administrasi

pelaksanaan kebijakan publik antara lain :

(1) Peraturan perundang-undangan yang terkait;

(2) Pimpinan instansi;

(3) Supervisi dan sistem legislatif;

Page 122: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

117

(4) Badan peradilan;

(5) Instansi lain yang terkait;

(6) Pemerintah (pusat) dan Daerah;

(7) Interest groups;

(8) Partai politik.

c) Administrasi Policy Making :

Kendati suatu instansi terlibat sejak awal dalam pembuatan kebijakan,

tetapi setelah kebijakan itu ditetapkan, maka instansi tersebut harus

membuat kebijakan pelaksanaannya, antara lain :

(1) Kebijakan operasional (juklak, juknis);

(2) Ajudikasi;

(3) Law enforcement;

(4) Program operations.

d) Kepatuhan Masyarakat :

Kebijakan publik yang telah ditetapkan hendaknya dipatuhi oleh seluruh

masyarakat (stakeholders). Banyak faktor yang mempengaruhi apakah

masyarakat mentaati kebijakan dimaksud atau tidak (misalnya kebijakan

tentang RTRW, larangan menyimpan senpi tanpa izin, larangan perjudi-

an dalam segala bentuknya, aturan berjualan untuk K-5, dsb.). Faktor-

faktor dimaksud adalah :

(1) Patuh :

(a) Sadar dan menghayati tujuannya;

(b) Legitimate (resmi, berkekuatan hukum);

(c) Takut akan sanksi jika melanggar;

(d) Self interest;

(e) Mensupport kebijakan yang ditetapkan;

(f) Kebijakan telah berjalan lama, dsb.

(2) Tidak patuh karena :

(a) Kebijakan yang ditetapkan bertentangan dengan norma-norma

kelompok tertentu;

(b) Kebijakan dirasa tidak adil;

Page 123: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

118

(c) Ada kelompok yang tidak respek terhadap kebijakan yang

ditetapkan sehingga memengaruhi masyarakat/kelompok lain.

(3) Teknik Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan :

(a) Pengendalian kebijakan publik dilakukan sejalan dengan pelaksa-

naan program pengendalian yang dibuat sejalan dengan program

pengendalian;

(b) Penunjukan organisasi pengendalian dalam instansi pelaksanaan.

Organisasi ini umumnya terdiri dari unit kerja perorangan untuk

intern tetapi dapat juga dari luar instansi (yaitu BPKP) atau dari

luar lembaga eksekutif (seperti DPR dan BPK).

(c) Pemahaman pengawasan dan pengendalian, yaitu :

- WAS : DAL + TK

- DAL : WAS + TK

(WAS = Pengawasan; DAL = Pengendalian; TK = Tindakan Korek-

si).

Dua pemahaman ini dapat benar kedua-duanya, tetapi dalam

birokrasi kita yang umum dipakai adalah DAL = WAS + TK. Hal ini

dilakukan oleh para menteri/pimpinan LPNK atas dasar hasil

pengawasan dari Inspektorat Jenderal (Irjen), dan para men-

teri/pimpinan LPKN melakukan koreksi yang pelaksanaannya

oleh para Direktur Jenderal (Dirjen).

(d) Pengendalian dilaksanakan sebagai proses pelaksanaan sedang

berlangsung, sedangkan pengawasan dapat dilaksanakan sebagai

pelaksanaan sedang berlangsung dan setelah pelaksanaan

selesai.

(e) Pengendalian berfungsi agar pelaksanaan kebijakan publik dalam

tahapan tertentu mencapai sasaran dengan terkait yang sesuai,

dan sumber daya/dana yang telah diprogramkan.

(f) Penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan dari pelaksanaan

kebijakan melalui pengawasan dan monitoring (pemantauan)

dapat ditindaklanjuti dengan :

Page 124: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

119

- Pembatalan pelaksanaan;

- Penerapan revisi program pelaksanaan.

(g) Instrumen pengawasan adalah :

- Laporan pelaksanaan yang dibuat secara berkala;

- Hasil peninjauan lapangan baik secara sampel maupun menye-

luruh.

(h) Kejujuran dalam laporan pelaksanaan dan kejujuran dalam

tindakan pengendalian merupakan faktor kunci apakah kebijakan

publik yang ditetapkan dan dilaksanakan tersebut mencapai

sasaran dan tujuannya.

(i) Seperti halnya kegiatan pelaksanaan, maka kegiatan pengawasan

pun harus ditopang dengan dana, organisasi, kewenangan, pra-

sarana dan sarana yang memadai.

D. PELAKSANA (IMPLEMENTOR) KEBIJAKAN

1. Birokrasi.

Dalam sistem politik modern, misalnya di AS, pada umumnya kebijakan publik

diimplementasikan terutama oleh sistem badan-badan administrasi yang kom-

pleks. Badan-badan administrasi ini yang melakukan tugas pemerintahan sehari-

hari, dan dengan demikian memengaruhi warga negara secara lebih langsung

dalam tindakan-tindakan mereka. Badan-badan ini yang disebut birokrasi dan

mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan

publik yang berada dalam yurisdiksinya karena bekerja berdasarkan mandat

peraturan perundang-undangan.

Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi untuk mencapai tugas-tugas

administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis

pekerjaan dari orang banyak (Wahyudi Kumorotomo, 1992:74). Kata birokrasi

juga bermakna suatu metode organisasi yang rasional dan efisien (David Osborne

dan Ted Gaebler, 1999:14).

Birokrasi menurut Peter M. Blau dan Marshal W. Meyer dalam Riant Nugro-

Page 125: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

120

ho (2012:161), adalah lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk

meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik ataupun

buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrassi rasional yang

netral pada skala besar. Dalam masyarakat modern, di mana terdapat begitu

banyak urusan yang terus-menerus dan rutin, hanya organisasi birokrasi yang

mampu menjawabnya. Birokrasi disematkan pada jabatan-jabatan eksekutif

yang dalam prakteknya dijabarkan dalam pekerjaan yang dilaksanakan oleh

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pejabat eksekutif dimaksud adalah :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Menteri dan Pejabat Pemerintah setingkat Menteri (LPNK);

c. Gubernur dan Wakil Gubernur;

d. Duta Besar;

e. Perbankan milik negara dan perusahaan-perusahaan pemerintah (BUMN/

BUMD), dll.

f. Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;

g. Pejabat Administratif :

1) Pejabat Struktural Pusat (Eselon I dan II);

2) Pejabat Struktural Daerah Provinsi (Eselon I dan II);

3) Pejabat Struktural Daerah Kabupaten/Kota (Eselon II dan III);

4) Para Pejabat Humas Pemerintah;

5) Pejabat Pimpinan Pelaksana di tingkat bawah (Camat, Kepala Kelurahan/

Kepala Desa).

2. Lembaga Legislatif.

Secara tradisional, asumsi dalam banyak literatur administrasi publik dinyatakan

bahwa politik dan administrasi merupakan kegatan-kegiatan yang terpisah.

Politik mempunyai kegiatan yang erat dengan perumusan kebijakan yang harus

ditangani oleh cabang-cabang “politik” dari pemerintah, dalam arti cabang

eksekutif dan cabang legislatif. Di sisi lain, tata kelola kebijakan berkaitan

dengan implementasi keputusan yang dibuat oleh lebih banyak cabang politik

Page 126: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

121

dan ditangani oleh berbagai badan administratif. (Budi Winarno, 2012:222).

Sekarang asumsi ini dipersoalkan, karena cabang-cabang administratif

seringkali terlibat dalam perumusan maupun implementasi kebijakan publik.

Misalnya, pada saat badan-badan administratif merancang regulasi yang

mendukung perundang-undangan yang sudah ada, badan-badan ini acap

merumuskan kebijakan. Lebih dari itu, badan-badan legislatif seringkali terlibat

dalam proses implementasi kebijakan publik. Malahan sekarang ini semakin

meningkat keterlibatan badan-badan legislatif dalam implementasi, dan dengan

demikian, merancang UU yang sangat spesifik, ketika berkaitan dengan imple-

mentasi.

Lembaga-lembaga legislatif sesuai dengan ketatanegaraan Indonesia adalah

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi MPR itu bikameral. DPD

adalah wakil-wakil dari daerah provinsi semacam senat di AS. Adapun di ling-

kungan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota terdapat DPRD Pro-

vinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

3. Lembaga Peradilan.

Dalam banyak kasus, dalam sebuah sistem politik modern seperti di AS, diber-

lakukan tindakan yudisial. Misalnya, UU berkenaan dengan kejahatan merupa-

kan contoh kasus yang jelas, di mana lembaga peradilan juga terlibat dalam

implementasi UU yang mengatur aborsi.

Lembaga peradilan bisa terlibat langsung dalam tata kelola kebijakan.

Contohnya, naturalisasi bagi warga negara asing sebenarnya merupakan bentuk

administrasi, namun ditangani oleh peradilan distrik federal. Demikian juga

halnya di Indonesia. Namun demikian, yang terpenting keterlibatan lembaga

peradilan adalah dalam konteks memengaruhi tata kelola/administrasi melalui

interpretasi nyata terhadap perundang-undangan dan peraturan-peraturan

administratif dan regulasi, dan kajian ulang terhadap keputusan-keputusan

administratif dalam kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan. Lembaga peradilan

bisa memfasilitasi, menghambat, atau secara luas mementahkan implementasi

Page 127: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

122

kebijakan-kebijakan tertentu melalui putusan-putusan yang ditetapkan oleh

lembaga itu. Contohnya putusan uji materil (yudisial review) atas UU terhadap

UUD 1945 yang berakibat batalnya implementasi oleh pihak eksekutif bila uji

materil dikabulkan oleh MK.

Lembaga peradilan (yudikatif) di Indonesia berdasarkan ketatanegaraan

yang berlaku sekarang adalah Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi

(MK), dan Komisi Yudisial (KY).

4. Kelompok-kelompok Penekan (Pressure Group).

Perjuangan antarkelompok kepentingan yang biasanya bergerak di wilayah

legisletif bisa bergeser ke wilayah administrastif. Berdasarkan diskresi yang

berlaku dalam banyak badan administrasi, suatu kelompok yang berhasil

memengaruhi tindakan badan administrasi mungkin mempunyai efek secara

substansial pada arah dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan

antara suatu kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bisa begitu

dekat, sehingga kelompok kepentingan dimaksud telah “menguasai” badan

administrasi bersangkutan.

Kelompok-kelompok penekan tersebut bisa konvensi-konvensi, dewan, atau

asosiasi perusahaan-perusahaan, partai politik, organisasi massa, organisasi

keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, komnas atau pegiat hak asasi manu-

sia, kaum pluralis, federasi buruh, ICW, Organda, asosiasi-asosiasi seperti Aso-

siasi Tekstil, komunitas orang-orang (massa) yang berunjuk rasa memprotes

sesuatu karena merasa dirugikan oleh tindakan pejabat publik, dsb.

5. Organisasi-organisasi Masyarakat.

Pada tingkat lokal, organisasi-organisasi atau komunitas masyarakat termasuk

partai politik juga seringkali terlibat dalam implementasi program-program pub-

lik. Contoh di AS misalnya masyarakat tergabung dalam dewan penasihat untuk

pengelolaan limbah dan sangat berbahaya pada tahun 1984, sehingga

perusahaan-perusahaan yang menghasilkan limbah yang berdampak polusi harus

mentaati UU federal. Juga pembentukan berbagai komite petani di bawah

program konservasi tanah dan penyangga harga departemen pertanian, dll. Di

Page 128: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

123

Indonesia pun misalnya adanya komite sekolah (dulu POMG, POM) yang

dibentuk untuk membantu penyelenggaraan sekolah, dll.

E. HAMBATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DAN UPAYA PENANGGULANNYA

Dalam realisasinya suatu kebijakan publik seringkali menghadapi hambatan.

Hambatan-hambatan dimaksud dapat dikemukakan antara lain :

1. Para pejabat dan instansi-instansi pemerintah lebih dominan dalam merumuskan

kebijakan, namun kurang dalam implementasinya.

2. Kurang sosialisasi/diseminasi kebijakan publik yang telah ditetapkan, sehingga

instansi terkait dan masyarakat kurang/tidak memahami arti pentingnya

kebijakan tersebut.

3. Kebijakan yang telah ditetapkan tidak cukup hanya dengan menaruh dalam

Lembaran Negara/Lembaran Daerah saja, tetapi harus disebarluaskan melalui

beebagai media massa (cetak seperti surat kabar, majalah, bulletin; elektronik

seperti radio, televisi, media sosial, dll.) termasuk dalam seminar-seminar,

workshop, diskusi, dsb.

4. Pejabat yang korup, “moral hazard” KKN, ingin cepat kaya dengan sedikit kerja,

dll. adalah sumber hambatan, bahkan mungkin yang paling utama.

5. Program pelaksanaan kurang didukung dana dan organisasi yang memadai.

6. Penegakan hukum yang masih sangat lemah.

7. Masyarakat kurang patuh karena kebijakan kurang/tidak menyentuh kepen-

tingannya.

Dalam pelaksanaan kebijakan publik pada tahap tertentu sering timbul

masalah sehingga menghambat, baik yang dapat diperkirakan sebelumnya maupun

yang tidak. Masalah yang timbul tersebut dapat juga disebut sebagai dampak

negatif dari pelaksanaan kebijakan publik.

1. Masalah yang Timbul.

Masalah yang timbul atau dampak negatif itu bervariasi, ada yang mudah diatasi

namun ada juga yang sangat kompleks sehingga kebijakan publik yang diambil

Page 129: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

124

justru menimbulkan masalah publik baru yang lebih besar. Hal ini dapat

menyebabkan dibatalkannya kebijakan publik dimaksud untuk kemudian diganti

dengan kebijakan pbulik baru guna mengatasi masalah yang timbul.

Masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan publik atau

dampak negatif dari kebijakan tersebut contohnya antara lain sebagai berikut :

a. Pengangguran karena kehilangan pekerjaan sebagai akibat pelaksanaan

penertiban pedagang kaki lima (K-5), penertiban daerah kumuh, penertiban

perumahan di bantaran kali, penertiban jalan bebas becak, dan kebijakan-

kebijakan sejenisnya yang dalam pelaksanaannya harus menghilangkan/

memindahkan lahan pencarian penghidupan masyarakat, memindahkan

penduduk, dsb.

b. Externalitas dan limbah dari pelaksanaan kebijakan PLTN yang menimbulkan

masalah harga sosial yang tinggi;

c. Pengurangan produksi akibat kebijakan pajak ekspor (kelapa sawit);

d. Pengembangan beberapa kelompok masyarakat yang dirugikan dalam

pelaksanaan kebijakan butir c. sehingga timbul konflik antara petugas dengan

dengan masyarakat;

e. Korupsi dan spekulasi dalam pelaksanaan kebijakan harga bahan bakar yang

diskriminatif;

f. Penyelundupan sebagai akibat pajak ekspor atau pajak impor;

g. Menurunnya produksi pertanian dalam negeri dengan adanya kebijakan im-

por bebas pajak untuk berbagai jenis produksi pertanian (buah-buahan,

daging, kacang kedelai, beras, dsb.

h. Banyaknya pegawai di daerah yang minta pindah ke tempat asal sebagai

dampak kebijakan Pemda di bidang kepegawaian dalam rangka pelaksanaan

otonomi daerah;

i. Penyerobotan dan pendudukan tanah-tanah perkebunan dalam pelaksanaan

kebijakan Tata Guna Hak Kepemilikan (TGHK).

2. Penanggulangan Masalah.

Masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan itu sangat bervariasi,

Page 130: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

125

akan tetapi pola dan struktur masalahnya bersumber pada masalah ketidak-

adilan. Kelompok-kelompok yang merasa dirugikan atau tidak mendapat man-

faat dari pelaksanaan dimaksud akan bersifat apatis atau bahkan menentang

pelaksanaan. Dengan demikian maka perlu diupayakan agar masalah keadilan

mendapat perhatian semestinya.

3. Langkah-langkah Mengatasi Masalah.

a. Kelompok yang dirugikan harus mendapat kompensasi yang wajar, setidaknya

tidak menyebabkan menurunnya pendapatan mereka;

b. Biaya sosial (social cost) yang timbul haus segera diatasi dengan jika perlu

kebijakan pelaksanaan yang sesuai dengan keinginan kelompok-kelompok

yang dirugikan;

c. Meninjau dan meriview program pelaksanaan, termasuk teknis dan prosedur

serta pembiayaannya yang harus memasukkan anggaran kompensasi bagi

kelompok-kelompok yang dirugikan;

d. Jika masalah yang timbul justru lebih besar akibat buruknya bagi kehidupan

sosial ekonomi dan budaya masyarakat secara luas kebijakan tersebut, harus

segera dibatalkan dan diperbarui dengan kebijakan baru yang lebih mengena

pada sasaran.

Page 131: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

126

BAB XI MONITORING DAN EVALUASI

A. MONITORING KEBIJAKAN PUBLIK

Monitoring adalah proses kegiatan pengawasan kegiatan terhadap implementasi

kebijakan yang meliputi keterkaitan antara implementasi dan hasil-hasilnya

(outcomes). Monitoring bukan sekedar mengumpulkan informasi, karena moni-

toring memerlukan adanya keputusan-keputusan, mengenai tindakan-tindakan apa

yang akan dilakukan jika terjadi penyimpangan-penyimpangan dari yang telah

ditentukan.

Menurut William N. Dunn (1994), monitoring itu mempunyai beberapa tujuan,

yaitu :

1. Kesesuaian/Kepatuhan (Compliance).

Untuk menentukan apakah implementasi kebijakan sesuai dengan standar dan

prosedur yang telah ditentukan. Contohnya, dalam Inpres Desa Tertinggal (IDT),

setiap Desa menerima dana sebesar Rp 20.000,000,00 (standar). Monitoring

yang dilakukan adalah untuk mengetahui apakah dana yang diserahkan itu

benar-benar Rp 20.000.000,00 per desa.

2. Pemeriksaan (Auditing).

Untuk menentukan apakah sumber-sumber/pelayanan kepada kelompok

sasaran (target group) memang benar-benar sampai kepada mereka. Contoh-

nya, untuk menentukan apakah dana IDT sebesar Rp 20.000.000,00 itu benar-

benar sampai ke kelompok sasaran, yaitu kelompok masyarakat miskin.

3. Akuntansi (Accounting).

Untuk menentukan perubahan sosial dan ekonomi apa saja yang terjadi setelah

implementasi sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. Contohnya,

apakah setelah menerima dana IDT sebesar Rp 20.000.000,00 itu benar-benar

ada perubahan kondisi sosial-ekonomi dari kelompok sasaran, atau dengan kata

lain mereka yang tadinya miskin sekarang tidak miskin lagi.

Page 132: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

127

4. Penjelasan (Explanation).

Untuk menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik berbeda dengan tuju-

annya. Contohnya, mengapa setelah menerima dana IDT sebesar Rp 20.000.

000,00 (dua puluh juta rupiah) masyarakat miskin tidak berkurang, atau

mengapa dana IDT tersebut yang mestinya digulirkan kepada kelompok lainnya,

ternyata tidak dapat digulirkan.

B. EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

1. Pengertian.

Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijakan.

Evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas

sebelumnya, yaitu pengesahan dan implementasi kebijakan, tetapi dapat terjadi

pada seluruh aktivitas fungsional lain dalam proses kebijakan. Dengan demikian,

evaluasi kebijakan mencakup isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan dampak

kebijakan. Jadi dapat dilakukan pada fase perumusan masalahnya, formulasi

usulan kebijakan, imlementasi, legitimasi kebijakan, dst.

David Mackmias seperti dikutip Howlett and Ramesh (1995) dalam Sutopo

(2001:30) mendefinisikan evaluasi kebijakan sebagai “suatu pengkajian secara

sistematik dan empiris terhadap akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program

pemerintah yang sedang berjalan dan kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan yang

ingin dicapai oleh kebijakan tersebut”. Sementara itu menurut Charles O. Jones

(1977:175) penilaian kebijakan adalah “... an activity designed to judge he merits

of government programs which varies significantly in the specification of object,

the techniques of measurement, and the methods of analysis”. (...suatu aktivitas

yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program pemerintah yang mempunyai

perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi obyeknya; teknik-

teknik pengukurannya dan metode analisisnya).

Dalam pada itu Thomas R. Dye menawarkan definisi tentang evaluasi kebi-

jakan (LAN, Pusdiklat Spimnas, 2009:118) adalah “pemeriksaan yang obyektif,

sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik ter-

Page 133: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

128

hadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai”. William N. Dunn (2000)

mengaitkan evaluasi dengan informasi mengenai nilai atau manfaat hasil

kebijakan.

Dari aspek spesifikasi obyeknya, berarti menilai hasil berbagai macam

program yang dilaksanakan pemerintah, sesuai dengam masalah-masalah yang

dihadapi masyarakat, seperti misalnya di bidang kesehatan, ketenagakerjaan,

perumahan, dsb., apakah terlaksana dengan baik atau belum. Dari aspek teknik

penilaian, yaitu cara-cara dalam mengumpulkan data/informasi yang diperlukan

untuk menilai hasil program-program pemerintah tadi. Teknik yang dipakai

mulai dari yang sangat ilmiah (scientific) dan sistematis, sampai yang dapat

menimbulkan kesan (impressio-nistic). Yang pertama akan menghasilkan data

penilaian kuantitatif dan yang kedua data penilaian kualitatif. Contohnya, jika

penilaian dilakukan dengan penelitian (research), maka hasilnya akan ilmiah dan

sistematik, sedangkan jika dilakukan dengan pengamatan saja (observasi),

hasilnya akan merupakan kesan-kesan saja.

Selanjutnya dari aspek metode analisisnya, akan dapat menunjukkan hasil

akhir (kesimpulan) dari kegiatan menilai program-program pemerintah tersebut,

yaitu apakah efektif atau tidak; mempunyai dampak positif yang lebih besar dari

dampak negatifnya, atau sebaliknya.

Kesulitan dalam evaluasi kebijakan antara lain adalah tujuan-tujuan dalam

kebijakan publik jarang dilakukan (ditulis) secara jelas, dalam arti seberapa jauh

tujuan-tujuan kebijakan publik itu harus dicapai. Pengembangan ukuran-ukuran

yang tepat dan dapat diterima oleh semua pihak sulit dilakukan. Lain daripada

itu, evaluasi kebijakan, seperti tahap-tahap lainnya merupakan kegiatan politis.

Evaluasi kebijakan selalu melibatkan para birokrat (pejabat pemerintahan), para

politisi, dan juga seringkali melibatkan juga pihak-pihak di luar pemerintahan.

Menurut Samodera Wibawa (1994), evaluasi kebijakan merupakan aktivitas

ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan di dalam tubuh

birokrasi pemerintah. Di tangan para aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi

yang sangat penting, yaitu memberikan masukan untuk penyempurnaan dalam

kebijakan berikutnya. Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat mening-

Page 134: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

129

katkan efektivitas program-program kegiatan, sehingga akan meningkatkan

kepuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Seperti telah disinggung terdahulu, bahwa kebijakan publik merupakan

proses dan produk politik, yang mengakomodasi beraneka ragam kepentingan.

Oleh karena itu, seringkali hasil penilaiannya pun bersifat “politis” dan mem-

punyai kecenderungan-kecenderungan tertentu (value laden). Kriteria-kriteria

pribadi (personal value), ideologi (ideological value), dsb. seringkali sangat

berpengaruh terhadap obyektivitas penilaian kebijakan publik. Terdapat banyak

tujuan formal yang diumumkan kepada masyarakat, tetapi tujuan yang

sesungguhnya tidak dapat diketahui (Samodera Wibawa, 1944). Akibatnya

banyak evaluator tidak dapat membuat indikator efektivitas kebijakan/program

tersebut, sehingga terdapat kebijakan/program kerja yang tujuan sebenarnya

kabur. Lain daripada itu seringkali tidak disadari bahwa yang biasa disebut

evaluasi oleh birokrasi pemerintah, sebenarnya bukan evaluasi dalam arti yang

benar. Para evaluator sering tidak bersungguh-sungguh dalam menilai apakah

kebijakan yang mereka evaluasi itu efektif atau tidak. Hal ini mengingat yang

mengevaluasi adalah pejabat pemerintah. Mereka mempunyai kepentingan

untuk menunjukkan bahwa kebijakan/program telah berjalan dengan baik.

(Samodera Wibawa, ibid). Akibatnya, banyak evaluasi yang dilakukan tetapi

hasilnya jarang dipublikasikan, sehingga masyarakat sulit mengetahui hasil

evaluasi kebijakan tersebut.

2. Bentuk Evaluasi.

Howlett and Ramesh (1995) mengemukakan beberapa bentuk evaluasi

kebijakan, yaitu :

a. Evaluasi Usaha (Effort Evaluation), yang bertujuan untuk mengukur kuantitas

input program, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Input

dimaksud adalah personil, ruang kantor, komunikasi, transportasi, dll. yang

dihitung berdasarkan biaya yang digunakan;

b. Evaluasi Kinerja (Performance Evaluation), yang mengkaji output program.

Contohnya, output rumah sakit : Tempat tidur yang tersedia, jumlah pasien,

Page 135: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

130

dsb.

c. Evaluasi Keefektifan (Evectiveness Evaluation), yang bertujuan untuk menilai

apakah program telah dilaksanakan, kemudian diadakan perbandingan

kesesuaian antara pelaksanaan program dengan tujuan kebijakan;

d. Evaluasi Proses (Process Evaluation), yang mengkaji peraturan-peraturan dan

prosedur-prosedur operasional organisasi yang digunakan dalam penyampai-

an program;

e. Evaluasi Yudisial (Judicial Evaluation).

Dengan mengadakan pengkajian apakah kebijakan yang dibuat pemerintah

telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Apakah tidak melang-

gar HAM dan hak-hak individu?

f. Evaluasi Politis (Political Evaluation).

Evaluasi ini hanya masuk dalam proses kebijakan pada waktu-waktu tertentu,

misalnya Pemilihan Umum (Legislatif, Presiden, Kepala Daerah).

Sementara itu bentuk evaluasi kebijakan menurut Parsons (2005) dapat

dibedakan menjadi :

a. Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan/program

sedang diimplementasikan dan apa saja kondisi yang bisa meningkatkan

keberhasilan implementasi;

b. Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengukur dampak

kebijakan/program secara aktual terhadap permasalahan.

3. Sifat Evaluasi.

a. Fokus nilai : Evaluasi ditujukan peda pemberian nilai terhadap manfaat atau

kegunaan dari suatu kegiatan, program, atau kebijakan;

b. Interdependensi fakta dan nilai : Hasil evaluasi tidak hanya bergantung pada

bukti-bukti (fakta) tetapi juga terhadap nilai;

c. Berorientasi masa kini dan masa lalu : Evaluasi mempersoalkan hasil sekarang

dan masa lalu;

d. Dualitas nilai : Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kua-

litas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.

Page 136: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

131

4. Fungsi Evaluasi.

Beberapa fungsi utama dalam analisis evaluasi kebijakan, yaitu :

a. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya tentang kinerja kebi-

jakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat

dicapai melalui tindakan publik;

b. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang

mendasari pemilihan dan target;

c. Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan

lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

5. Kriteria Evaluasi.

Ada beberapa kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan, antara lain :

a. Efektivitas : Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

b. Efisiensi : Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil

yang diinginkan efiesien?

c. Kecukupan : Seberapa jauh capaian hasil yang diinginkan memecahkan

masalah?

d. Pemerataan : Apakah biaya dan manfaatnya didistribusikan dengan merata

kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

e. Responsivitas : Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan preferensi

atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

f. Ketepatan : Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau

bernilai?

6. Tipe Evaluasi.

Menurut Howlett dan Ramesh (1995), evaluasi mempunyai tiga tipe :

a. Evaluasi Administratif, dengan maksud untuk menjamin bahwa kebijakan

telah dilaksanakan dengan biaya dan beban sekecil mungkin pada setiap

warga negara;

b. Evaluasi di bidang hukum, yaitu yang berkaitan dengan cara di mana prog-

ram pemerintah dilaksanakan oleh aparat hukum yang mungkin menimbul-

kan konflik antara tindakan pemerintah dengan konstitusi atau standar yang

Page 137: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

132

ditentukan perilaku administrasi dan hak-hak individu;

c. Evaluasi politik, yaitu dari kebijakan pemerintah terhadap siapa saja dengan

suatu kepentingan politik yang biasanya tidak jelas, tidak sistematis, maupun

teknis. Dalam hal ini bukan hanya rasional melainkan juga harus aspiratif.

7. Cara Pengukuran Kinerja.

Cara pengukuran kinerja bisa dilakukan dengan BPM (Basic Production Model),

BSc (Balanced Scorecard), dan CBA (Cost Benefit Analysis).

Sebagai contoh, dalam BPM, terjadi proses dari mulai input, dikonversi

dalam proses menjadi output, kemudian menjadi outcome dalam rangka

pencapaian sasaran atau tujuan. Yang perlu diperhatikan di sini, bagaimana

pengaruh kebijakan terhadap keberhasilan proses tersebut.

Ada beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan. Agar input dapat

diperoleh dengan biaya sekecil mungkin perlu instrumen kebijakan kelancaran

arus barang sehingga dikembangkan konsep just in time inventory agar biaya

penyimpanan, resiko persediaan, dan biaya-biaya lainnya bisa ditekan. Tidak

kalah pentingnya juga pencegahan pungutan liar dan KKN (Korupsi Kolusi dan

Nepotisme) untuk menghilangkan biaya ekonomi tinggi. Dengan demikian

diharapkan harga pokok output akan serendah mungkin.

Output hanya berarti jika laku dijual sehingga menjadi outcome guna

menunjang sasaran penjualan. Pemerintah pun dapat berfungsi untuk mem-

beri perlindungan (proteksi), yaitu dengan mengenakan pajak atau bea masuk

yang tinggi, dan pengenaan kuota terhadap barang yang sama yang diimpor.

Namun proteksi hanya akan efektif jika pemerintah berhasil menegakkan

hukum terhadap usaha penyelundupan. Lain daripada itu selain anjuran

kepada masyarakat, pemerintah juga harus menggunakan produk dalam negeri.

Dalam BSc, diperlukan adanya pembanding, yaitu keberhasilan dari setiap

kebijakan yang dilakukan dengan dengan usaha pemerintah, pengusaha atau

pihak lain yang melakukan kegiatan semacam (input-proses-output-outcome).

Dalam CBA, agar memperoleh keuntungan benar-benar diperhatikan analisis

biayanya.

Page 138: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

133

Dengan instrumen-instrumen atau model tersebut di atas diharapkan

dapat menekan harga pokok dan mencapai harga jual yang layak, sehingga

meraih nilai tambah dari keuntungan yang besar. Dengan begitu walaupun

pemerintah pada awalnya telah mengorbankan penerimaan negara, namun

pada akhirnya dapat diperoleh penerimaan negara yang lebih besar, yang

berasal dari pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Peng-

hasilan). Keberhasilan lainnya adalah tumbuhnya ekonomi secara memadai,

sehingga dapat menanggulangi pengangguran dan kemiskinan, serta pada

gilirannya akan menekan kriminalitas. Yang penting, dengan pengorbanan

pemerintah dapat diukur efektifitas biayanya (cost benefit effectiveness).

Jika dalam evaluasi kinerja kebijakan ternyata instrumen yang digunakan

kurang memuaskan, kiranya perlu ditinjau kembali apakah instrumennya yang

kurang tepat, atau sasaran kebijakannya yang perlu disesuaikan.

C. METODE DAN PENDEKATAN EVALUASI KINERJA Analisis lintas dampak (cross impact analysis) perlu dilakukan untuk mendapatkan

bukti manfaat dalam mengidentifikasi hasil kebijakan yang terantisipasi (kurang

diperhitungkan) yang berlawanan dengan upaya mencapai sasaran. Dalam hal ini :

1. Yang digunakan secara retrospektif (ex-post) ataupun prospektif (ex-ante).

2. Teknik-teknik yang bervariasi mulai penyajian grafik dan angka-angka indeks

sampai analisis serial terkontrol (control series analysis). Cara ini menjadi

penting sekali untuk memantau hasil kebijakan sebagai awal dari evaluasi.

3. Banyak metode dan teknik yang relevan dengan evaluasi semu, evaluasi formal,

dan evaluasi teoritis.

Di bawah ini digambarkan dengan tabel tentang tek nik evaluasi dengan tiga

pendekatan.

No. PENDEKATAN TEKNIK

1. Evaluasi Semu

- Sajian grafik - Tampilan tabel - Angka indeks - Analisis seri waktu terinterupsi

Page 139: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

134

- Analisis seri terkontrol - Analisis diskontinyu-regresi

2. Evaluasi Formal

- Pemetaan sasaran - Klasifikasi nilai - Kritik nilai - Pemetaan hambatan - Analisis dampak selang - Diskonting

3. Evaluasi Keputusan Teori

- Brainstroming - Analisis argumentasi - Delphi kebijakan - Analisis survey pemakai

Sumber : LAN, Pusdiklat Spimnas, 2009:124.

Evaluasi semu merupakan analisis trend dari suatu penyebaran yang

sebenarnya. Evaluasi formal lebih melihat pada hubungan sebab akibat. Sedangka

evaluasi keputusan teori lebih banyak pada bobot berdasarkan pertimbangan

(judgement) teoritis.

Dalam tabel tersebut di atas belum dijelaskan teknik analisis survey pemakai

(user survey analysis) yaitu serangkaian prosedur untuk mengumpulkan informasi

mengenai evaluabilitas suatu kebijakan atau program dari calon pengguna dan

pelaku-pelaku kebijakan lainnya. Survey pemakai sangat penting untuk dapat

dilakukannya penaksiran evaluabilitas dan bentuk-bentuk lain dari evaluasi teoritis

keputusan. Instrumen utama untuk mengumpulkan informasi adalah wawancara

formal dengan sejumlah pertanyaan terbuka.

Contoh pedoman wawancara untuk suatu analisis survey dari William N. Dunn

dapat disajikan dalam tabel di bawah ini.

TAHAP DALAM PELAKSANAAN

EVALUABILITAS PERTANYAAN-PERTANYAAN

Spesifikasi Program Kebijakan

Modeling Program Kebijakan

Penaksiran Evaluabilitas Prog-ram Kebijakan

1. Apa tujuan kebijakan atau program? 2. Apakah bukti yang dapat diterima mengenai

capaian tujuan program kebijakan? 3. Tindakan kebijakan apa (mis. Sumber daya,

tuntunan, aktivitas, staf) tersedia untuk pencapaian tujuan?

4. Kenapa tindakan A dapat membawa kepada tujuan O?

5. Apa yang diharapkan oleh berbagai pelaku (mis. kongres, OMB, BPK, Kantor Walikota) mengenai program dalam hal inerja? Aakah harapan tersebut konsisten?

Page 140: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

135

Umpan balik Penaksiran Evalua-bilitas untuk Pemakai

6. Apa hambatan paling serius untuk mencapai tujuan?

7. Informasi kinerja apa yang diperlukan? Mengapa? 8. Apakah informasi kinerja saat ini memadai? Kenapa

ya? Kenapa tidak? 9. Sumber informasi kinerja apa yang paling penting

yang diperlukan tahun depan? 10. Apa isu kunci yang harus difokuskan untuk setiap

evaluasi? Sumber : LAN, Pusdiklat Spimnas, 2009:125.

D. TEKNIK-TEKNIK PENGUKURAN DALAM EVALUASI KINERJA

1. Penaksiran Evaluasi.

Dalam melakukan penaksiran evaluasi analisis, mengikuti serangkaian langkah

yang memperjelas suatu kebijakan atau program dai sudut pandang pemakai

informasi kinerja yang dituju dan evaluasi itu sendiri.

a. Spesifikasi program kebijakan : Apakah yang menjadi kegiatan pemerintah

(pusat dan daerah) dan apa pula yang menjadi sasaran dan tujuan yang

menjadi landasan dari program?

b. Kompilasi informasi program kebijakan : Informasi apa yang dikumpulkan

untuk pengidentifikasian?

c. Modelling program kebijakan : Model apa yang paling baik untuk menerang-

kan program dan tujuan dari suatu kegiatan?

d. Penaksiran evaluasi program kebijakan : Apakah model program kebijakan

dan tipe studi apa yang paling berguna?

e. Umpan balik penaksiran evaluasi untuk pemakaian : Setelah disimpulkan,

apakah mungkin dijadikan langkah berikutnya untuk mengevaluasi kinerja

kebijakan?

2. Tahap-tahap dalam Pelaksanaan Analisis Manfaat Ganda.

Pada dasarnya pelaksanaan kebijakan dilakukan bersama antara pemerintah se-

bagai regulator, dan masyarakat termasuk dunia usaha/swasta sebagai operator.

Pemerintah berfungsi mengarahkan, membimbing, memberdayakan, dan men-

ciptakan suasana yang menunjang. Kalaupun ada kegiatan pelaksanaan yang

Page 141: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

136

dilakukan pemerintah, itu terbatas pada kegiatan pelayanan, perizinan, dan

pembangunan prasarana dasar/umum.

Hubungan antara regulator dengan operator harus saling menguntungkan,

sehingga masyarakat dan dunia usaha/swasta tertarik untuk berperanserta,

berinisiatif, dan berkreasi dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, sehingga

di lain pihak sasaran pemerintah tercapai. Dalam evaluasi kinerja kebijakan,

pada umumnya hubungan kegiatannya tidak linier, melainkan suatu kolaborasi

atau dalam suatu jejaring hubungan kerja (networking) antara kegiatan berbagai

instansi pemerintah dengan berbagai kelompok masyarakat dan dunia usaha/

swasta, sehingga untuk evaluasinya memerlukan waktu dan tenaga ahli tertentu

terutama para analis kebijakan.

Teknik dari tahap-tahap dalam pelaksanaan analisis kebijakan manfaat

ganda adalah sebagai berikut.

a. Identifikasi pelaku : Mengidentifikasi pihak-pihak yang memengaruhi dan

dipengaruhi oleh suatu kebijakan atau program;

b. Spesifikasi isu keputusan yang relevan : Menentukan secara operasional

berbagai kecenderungan aksi atau nonaksi yang tidak disepakati oleh para

pelaku kebijakan;

c. Spesifikasi hasil kebijakan : Menentukan cakupan konsekuensi yang bisa

timbul akibat dari adanya aksi. Hasil-hasilnya dapat disusun secara hierarkis di

mana satuan aksi mempunyai beberapa konsekuensi, dan masing-masing

mempunyai konsekuensi yang lebih jauh;

d. Identifikasi atribut hasil : Tugasnya adalah untuk mengidentifikasi semua

atribut yang relevan yang membuat hasil berharga/bernilai;

e. Penyusunan jenjang nilai atribut : Menyusun nilai atribut menurut kepen-

tingannya;

f. Penyusunan skala atribut : Menyusun skala atribut yang telah diurutkan ber-

dasarkan kepentingannya;

g. Standarisasi skala;

h. Pengukuran hasil;

i. Kalkulasi utilities;

Page 142: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

137

j. Evaluasi presentasi.

Dalam menentukan hasil kebijakan dengan total kinerja terbesar dan

menyajikan informasi kepada pembuat keputusan yang relevan dan penting,

harus ditemukan adanya bottle neck dari suatu kegiatan yang akan berpengaruh

pada capaian sasaran secara keseluruhan. Di sini harus dimanfaatkan prinsip

win-win solution.

3. Teknik-teknik Pengukuran.

a. Tujuan :

1) Tujuan kebijakan harus jelas;

2) Menentukan dan mengukur kriteria keberhasilan;

3) Berapa yang dianggap cukup (spesifik dan prioritas);

4) Pengaruh sampingan;

5) Informasi;

6) Pemisahan pengaruh program dari pengaruh-pengaruh lain;

7) Sasaran-sasaran multi program;

8) Penyebaran pengaruh;

9) Sensitifitas politik dari pemantauan dan evaluasi;

10) Pembiayaan.

b. Teknik-teknik untuk Evaluasi Sistematik :

1) Pemilihan teknik metodologi perlu dipertimbangkan keuntungan dan keru-

gian sebagai ciri-cirinya termasuk juga pertimbangan etika dan politik yang

dipakai;

2) Dalam mempertimbangkan metodologi harus diingat bahwa ketepatannya

ditentukan oleh maksud evaluasi dibuat;

3) Sangat diharapkan pada permulaan maksud evaluasi harus jelas dan

perbedaan pendapat harus dipecahkan terlebih dulu;

4) Kriteria seleksi untuk ukuran kinerja :

a) Ketepatan dan keabsahan : Pengukuran harus berupa angka kuantitatif

sesuai dengan maksud dan tujuan untuk pelayanan dan mengarah

mempertemukan kebutuhan warga negara dan mengurangi seminimal

Page 143: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

138

mungkin pengaruh buruk;

b) Unik (khusus), ketepatan dan realitas : Pengukuran umum tidak tum-

pang tindih, penghitungan ganda dihindari, namun beberapa penolakan

mungkin berguna untuk menguji pengukuran mereka sendiri;

c) Kelengkapan dan komprehensif : Sesuatu dapat diukur, harus meliputi

tujuan yang diharapkan dan dipahami;

d) Mudah dikendalikan : Kondisi yang diukur paling sedikit harus merupa-

kan bagian dari pengendalian pemerintah;

e) Pembiayaan : Biaya staf dan pengumpulan data harus rasional;

f) Waktu umpan balik : Informasi harus selalu siap dalam jangka waktu

tertentu untuk pengambilan keputusan.

4. Macam-macam Bentuk Ukuran Kinerja.

a. Rasio masukan dan keluaran dengan sejumlah atau pelayanan yang diberikan

sebagai ukuran dan jam kerja atau unit biaya pelayanan yang diberikan

sebagai ukuran masukan;

b. Asumsi pada setiap tipe pengukuran merupakan kualitas keluaran yang

dilaksanakan secara tetap atau penyempurnaan-penyempurnaan sebagai

suatu rasio yang lebih efisien yang dapat dicapai;

c. Jika evaluasi dilakukan dengan tipe lain, pengukuran kinerja kebijakan dapat

dibandingkan seperti :

1) Pembandingan dengan perpanjangan waktu yang memberikan gambaran

kecenderungan dan kemajuan;

2) Perbandingan dapat dibuat lintas yuridis, khusus bagi yang mempunyai

kesamaan ciri-ciri;

3) Perbandingan dapat dibuat di antara unit-unit operasional yang melayani khusus.

5. Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard.

Pengukuran kinerja yang komprehensif dan efektif dapat dilakukan dengan

menggunakan metode Balanced Scorecard (BSc). Digunakan bukan hanya

terhadap keberhasilan dalam jangka pendek tetapi juga harus seimbang dengan

Page 144: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

139

potensi keberhasilan dalam jangka panjang. Metode BSc ini dapat diumpamakan

sebagai dashboard mobil atau cockpit pesawat terbang yang memberikan data

akurat dan relevan kepada pengemudi/pilot organisasi. BSc dikembangkan seba-

gai suatu sistem pengukuran kinerja yang memungkinkan para eksekutif meman-

dang/mengetahui perusahaan/organisasi dari berbagai perspektif secara simul-

tan. Setiap perusahaan/organisasi sebaiknya mendesain BSc sesuai dengan

strategi dengan menggunakan tolok ukur terpilih dari setiap perspektif.

BSc dinyatakan oleh para ahli sebagai suatu sistem manajemen strategik

(Strategic Based Responsibility Accounting Systems) yang menjabarkan misi dan

strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja

dalam empat persepektif yang saling berhubungan, yaitu :

a. Keuangan.

Tolok ukurnya antara lain mepiluti :

- Total assets/employee;

- Revenue/total assets;

- Revenue from new products;

- Revenue/employee;

- Profit/total assets;

- Profit from new products;

- Market value;

- Return on net assets;

- Value added/employee;

- Return on capital employee;

- Profit margin;

- Contribution/revenue;

- Contrubution/employee;

- Cash flow;

- Shareholders equity/total assets or solvency;

- Return of investment;

- Total cost.

Page 145: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

140

b. Kepuasan Pelanggan.

Tolok ukurnya antara lain meliputi :

- Number of customers;

- Market share;

- Annual sales/customer;

- Customer lost person;

- Average time spend on customer relations;

- Customer/employee;

- Sales closed/sales contast;

- Satisfide customer index;

- Customer loyality index;

- Cost/customer;

- Number of visit;

- Number of complaints;

- Marketing expenses;

- Brand image index;

- Average customer size;

- Customer rating;

- Customer visit to the company;

- Average time from customer contact to sales response;

- Service expense/customer/year.

c. Penyempurnaan Proses Internal.

Tolok ukurnya antara lain meliputi :

- Administrative expenses/total revenue;

- Processing time out payment;

- On time delivery;

- Average lead time;

- Lead time product development;

- Lead time from arder to delivery;

- Lead time supplier;

- Lead time production

Page 146: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

141

- Average time for decision making;

- Inventory turnover;

- Improvement in productivity;

- It capacity (CPU and DASD).

d. Pembelajaran dan Inovasi/pertumbuhan.

Tolok ukurnya antara lain meliputi :

- R and D expenses;

- R and D expenses/total expenses;

- IT development expenses/total expenses;

- Hour R and D;

- R and D resource/total resource;

- Leadership index;

- Motivation index;

- Number of employee;

- Employee turnover;

- Average employee years of service with company.

Perspektif yang satu akan berdampak pada keberhasilan perspektif lainnya.

Hal yang perlu diperhatikan, dewasa ini hampir semua program dan kegiatan

langsung atau tidak langsung memerlukan dana. Kondisi keungan yang kuat dan

sehat akan menentukan keberhasilan keseluruhan usaha karena berarti akan

mampu membiayai upaya penyempurnaan proses internal serta kegiatan pem-

belajaran dan inovasi/pertumbuhan, juga harus berdampak pada peningkatan

keuangan negara/pemerintah. Ini awalnya memang dari pemikiran bisnis, namun

ada baiknya diterapkan dalam pemerintahan.

Akibat kekurangan dana dewasa ini juga sering menimbulkan ketegangan

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu dari pembagian hasil

pengusahaan sumber daya alam. Hal ini tidak perlu terjadi seandainya pemerin-

tah lebih bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia. Mengapa?

Karena sumber daya alam pada suatu saat pasti akan habis, sedangkan kompe-

tensi sumber daya manusia selalu dapat ditingkatkan.

Kondisi keuangan yang kuat dari suatu perusahaan sangat bergantung pada

Page 147: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

142

kepuasan pelanggan. Para pelanggan akan membeli barang atau jasa yang

dihasilkan perusahaan tersebut. Demikian juga negara, keuangan negara kuat

bersumber pada kepuasan masyarakat. Masyarakat yang puas akan percaya

kepada pemerintah, dan akan terpacu untuk meningkatkan partisipasi mereka

dalam pembangunan dengan mengembangkan inisiatif dan daya kreativitas.

Dalam rangka memberi kepuasan kepada masyarakat, pemerintah harus

mampu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta mampu men-

ciptakan peluang dan menghilangkan kendala dalam upaya meningkatkan

kecerdasan dan kesejahteraan mereka. Dari sini diharapkan masyarakat dengan

penuh kesadaran akan melaksanakan kewajiban membayar pajak, retribusi dan

lain-lain, bahkan akan menjadi pemeran utama dalam melakukan investasi.

Memang sebetulnya dengan terbatasnya dana pemerintah, kegiatan investa-

si masyarakat (termasuk dunia usaha/swasta) harusnya makin besar. Dengan

demikian diharapkan masyarakat sendiri mampu berperan menciptakan lapang-

an kerja baru sebagai upaya untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan,

yang berdampak juga pada berkurangnya kriminalitas sosial. Semua itu akan

menciptakan potensi pajak dan retribusi (termasuk penerimaan negara bukan

pajak) bagi peningkatan penerimaan negara/daerah, yang sekaligus akan

mengurangi biaya sosial (social cost) yang secara tidak langsung akan menambah

belanja negara.

Dalam rangka menarik investor, tidak kalah pentingnya, agar masyarakat

tidak dibebani pungutan liar dan berbagai beban yang tidak perlu seperti KKN

(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Seharusnya pemerintah/pemerintah daerah

mampu menciptakan sistem dan prosedur yang didukung teknologi mutakhir

yang memungkinkan pelayanan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat serta

mengurangi kontak pribadi yang rawan KKN. Upaya ini hanya mungkin terlaksa-

na dengan baik jika segala aktivitas dirancang dan dilaksanakan oleh tenaga

profesional dan terus-menerus memelihara dan meningkatkan kompetensi me-

lalui organisasi pembelajaran (Learning Organization/LO). Dengan LO yang

didukung komitmen belajar (learning commitment/LC) dari masing-masing

individu diharapkan secara gradual dan inkremental terjadi perubahan perilaku

Page 148: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

143

yang sangat penting untuk menunjang pemulihan (recovery) bangsa Indonesia.

Satu dan lain hal karena keterpurukan bangsa ini lebih banyak disebabkan

kerusakan moral (moral hazard).

Cara pengukuran kinerja atas penerimaan negara/daerah, demikian juga dari

sisi belanjanya akan sngat berguna untuk dapat menilai LPJ (Laporan Pertang-

gungjawaban) oleh DPR/DPRD secara obyektif dan konsisten. Dengan demikian

dapat dihindarkan praktek-praktek “tidak sehat” yang dewasa ini banyak dikeluh-

kan. Bahkan bagi DPR/DPRD akan sangat berguna untuk memberi umpan balik

(feedback) bagi penyempurnaan kebijakan yang berlaku yang merupakan tugas

lain (di luar pengawasan), yaitu tugas legislasi dan persetujuan APBN/APBD.

Page 149: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

144

BAB XII ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

A. DIMENSI-DIMENSI KEBIJAKAN PUBLIK

Sebagai usaha untuk mengadakan informasi dalam pembuatan kebijakan, analisis

kebijakan publik sebenarnya sudah ada semenjak manusia mengenal organisasi dan

mengetahui tentang pembuatan keputusan, mulai dari penggunaan cara yang

paling sederhana dan tradisional (berdasarkan mistik) sampai dengan penggunaan

cara-cara ilmiah, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Akan tetapi

sebagai ilmu tersendiri, ilmu kebijakan dimulai setelah Perang Dunia II, yakni

dengan terbitnya buku karya Harold D. Lasswell dan Daniel Larner yang berjudul

“The Policy Science : Recent Development in Scope and Methods” pada tahun 1951.

Buku ini berorientasi praktis dan dianggap sebagai buku pertama yang ditulis cukup

sistematis yang menyumbang lahirnya “Ilmu Kebijakan” sebagai ilmu sosial terapan.

(Said Zainal Abidin, 1991).

Dalam perkembangan selanjutnya, para penulis masa kini lebih menyukai

istilah “Analisis Kebijakan Publik” (Policy Analysis) daripada istilah “Ilmu Kebijakan”

(Policy Science). Kebijakan publik meliputi dua dimensi, yaitu proses kebijakan

(policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis). Dimensi pertama, mengkaji

proses penyusunan kebijakan, mulai dari identifikasi dan perumusan masalah,

implementasi kebijakan, monitoring kebijakan, serta evaluasi kebijakan. Sedangkan

dimensi kedua, meliputi penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat

multidisiplin dalam proses kebijakan. Dengan demikian analisis kebijakan tidak

hanya terkait pada satu disiplin ilmu saja, tetapi terkait atau dengan pendekatan

berbagai disiplin ilmu, yaitu penerapan berbagai metode dan teknik analisis.

B. PENGERTIAN DAN TUJUAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Berbagai definisi tentang analisis kebijakan publik dikemukakan oleh para ahli,

antara lain :

Page 150: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

145

1. William N. Dunn (1998:vii) :

Analisis kebijakan dipandang sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang me-

nerapkan berbagai metode pengkajian, dalam konteks argumentasi dan debat

publik, untuk menciptakan, secara kritis menaksir, dan mengkomunikasikan

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

2. E.S. Quade :

Analisis kebijakan publik dalam arti luas adalah suatu bentuk penelitian terapan

untuk memehami secara mendalam berbagai permasalahan sosial guna

mendapatkan pemecahan yang lebih baik.

3. Stuart S. Nagel :

Analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan antara

berbagai alternatif kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan; manakah di antara

berbagai alternatif kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik

untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan tertentu.

Dari definisi-definisi itu, Sutopo (2001:37-38) menyimpulkan bahwa analisis

kebijakan publik adalah :

1. Penelitian untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan per-

masalahan yang dihadapi.

2. Mencari dan mengkaji berbagai alternaif pemecahan masalah atau pencapaian

tujuan.

3. Semuanya dilakukan secara multidisiplin.

Adapun tujuan dari analisis kebijakan publik adalah untuk memberikan

informasi kepada pembuat kebijakan, yang dapat dipergunakan untuk memecahkan

masalah-masalah masyarakat. Di samping itu, analisis kebijakan juga bertujuan

untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Aplikasi

analisis kebijakan publik meliputi wilayah permasalahan yang sangat luas, misalnya

energi, pendidikan, hubungan internasional, kriminalitas, kesejahteraan masyara-

kat, pangangguran, transportasi, lingkungan hidup, stabilitas keamanan, kemiskin-

an, dsb.

Page 151: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

146

C. FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS YANG BERPENGARUH DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

1. Faktor Politik.

Faktor politik ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan,

karena dalam perumusan kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor

kebijakan (policy actors), baik dari kalangan pemerintah (Presiden, para

Menteri/LPNK, Panglima TNI, Kepala POLRI, Kejaksaan, dsb.), maupun dari

kalangan bukan pemerintah (Swasta/Pengusaha, LSM, Asosiasi Profesi, Ilmuwan,

Media Massa, dll.).

2. Faktor Ekonomi/Finansial.

Faktor Ekonomi/finansial atau pembiayaan pun peru dipertimbangkan, terutama

jika kebijakan dimaksud akan menggunakan dana yang cukup besar, atau akan

berpengaruh pada siatuasi ekonomi dalam negara.

3. Faktor Administrasi/Organisasi.

Dalam perumusan kebijakan perlu juga dipertimbangan faktor administratif/

organisatoris, yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan

didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada

organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.

4. Faktor Teknologi.

Faktor teknologi pun dalam perumusan kebijakan perlu dipertimbangkan, yaitu

apakah teknologi yang ada mendukung jika kebijakan itu diimplementasikan.

5. Faktor Sosial, Budaya, dan Agama.

Faktor sosial, budaya, dan agama pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah

kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama,

atau memasuki masalah SARA (Suku Agama, Ras, dan Antar Golongan).

6. Faktor Pertahanan dan Keamanan.

Faktor hankam ini akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apa-

kah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak akan mengganggu stabilitas keamanan

Page 152: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

147

negara, dsb. Faktor-faktor tersebut di atas, akan menjadi cerita dalam menentu-

kan kelayakan (feasibilitas) dari alternatif-alternatif kebijakan yang akan dipilih

dalam langkah-langkah perumusan kebijakan.

D. ASPEK-ASPEK DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Amir Santoso dalam Jurnal Ilmu Politik (Sutopo, 2001:39), menjelaskan tentang

adanya tiga aspek dalam analisis kebijakan publik, yaitu :

1. Analisis tentang Perumusan Kebijakan.

Hal ini misalnya hubungan antara lembaga/badan-badan pemerintah, yang

merumuskan hubungan antara eksekutif dengan legislatif selama proses

perumusan dimaksud berlangsung. Analisis ini mencoba menjawab pertanyaan,

misalnya bagaimana kebijakan itu dibuat. Mengapa pemerintah memiliki

alternatif A dan bukan B sebagai kebijakannya. Siapa saja yang terlibat dalam

perumusan tersebut dan siapa yang paling dominan. Mengapa orang/golongan

itu yang dominan, dsb.

2. Analisis tentang Implementasi Kebijakan.

Analisis ini mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan

kebijakan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempe-

ngaruhi implementasi kebijakan, seperti masalah kepemimpinan dan interaqksi

politik di antara pelaksana kebijakan. Aspek ini berkembang akibat kesadaran di

kalangan ilmuwan kebijakan, bahwa implementasi suatu kebijakan atau program

tidak hanya bersifat teknis dan administratif belaka. Implementasi kebijakan

ternyata melibatkan masalah-masalah politik yang sering merupakan faktor yang

mempengaruhi implementasi suatu kebijakan/program.

Pertanyaan yang hendak dijawab dalam analisis ini, antara lain adalah :

a. Bagaimana cara kebijakan diimplementasikan?

b. Siapa saja yang dilibatkan dalam proses implementasi tersebut?

c. Bagaimana interaksi antara orang-orang atau kelompok-kelompok yang

terlibat dalam implementasi kebijakan itu?

Page 153: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

148

d. Siapa yang secara formal diberi wewenang mengimplementasikan kebijakan

dan siapa yang informal lebih berkuasa, dan mengapa?

e. Bagaimana cara kerja birokrasi pusat dan daerah serta badan-badan lain yang

terlibat dalam implementasi kebijakan/program?

f. Bagaimana cara atasan mengawasi bawahan dan bagaimana mengkoordinasi-

kannya?

g. Bagaimana tanggapan target group terhadap kebijakan tersebut?

3. Analisis tentang Evaluasi Kebijakan.

Analisis ini mengkaji akibat-akibat dari suatu kebijakan atau mencari jawaban

atas pertanyaan “apa yang terjadi sebagai akibat dari implementasi suatu

kebijakan?” Analisis kebijakan sring juga disebut analisis dampak kebijakan, yang

mengkaji akibat-akibat implementasi suatu kebijakan dan membahas “hubungan

di antara cara yang digunakan dan hasil yang dicapai”. Misalnya, apakah

pelayanan terhadap penumpang kendaraan umum menjadi lebih bsik setelah

dikeluarkan kebijakan mengenai perbaiksn transportasi umum?

E. VARIASI KEGIATAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Menurut Gordon, Lewis, dan Young (Solichin Abdul Wahab, 1990; Hogwood and

Gunn, 1986; Michael Hill, 1997), terdapat tujuh variasi kegiatan analisis kebijakan,

yang sekaligus menggambarkan ruang lingkup analisis kebijakan dimaksud, yaitu :

1. Studi-studi tentang Isi Kebijakan (Studies of Policy Content).

Dalam studi ini analisis kebijakan menyajikan gambaran dan penjelasan asal

muasal serta perkembangan kebijakan-kebijakan tertentu. Di Inggris, keba-

nyakan studi tentang kebijakan sosial dan administrasi. Analisis yang menaruh

perhatian pada isi kebijakan, biasanya meneliti satu kasus, atau lebih gun a

melacak bagaimana kebijakan tertentu muncul, bagaimana kebijakan diimple-

mentasikan, dan apa hasil-hasilnya.

2. Studi-studi tentang Proses Kebijakan (Studies of Policy Process).

Yang menjadi sorotan atau perhatian utama dalam studi ini adalah tahap-tahap

Page 154: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

149

yang harus dilalui oleh isu (issue) kebijakan sebelum menjadi program/agenda

pemerintah dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai pengaruh berbagai

faktor terhadap perkembangan isu tersebut. Studi-studi ini seringkali berkaitan

dengan bidang-bidang kebijakan yang lebih khusus (specific policy areas), namun

mungkin juga memusatkan perhatiannya pada proses kebijakan yang ber-

langsung di lingkungan suatu organisasi atau masyarakat tertentu.

3. Studi-studi tentang Keluaran Kebijakan (Studies of Policy Outputs).

Studi-studi ini pada umumnya untuk menjelaskan mengapa tingkat pengeluaran

biaya atau atau penyediaan jasa oleh pemerintah anara daerah yang satu dengan

daerah lainnya tidak sama. Studi-studi semacam ini menurut Thomas R. Dye

disebut “policy determination”, yaitu studi-studi yang menempatkan kebijakan

sebagai variabel tergantung (policy as dependent variables), serta berusaha

memahami kebijakan-kebijakan tersebut dilihat dari aspek sosial-ekonomi,

teknologi, dll. yang mempengaruhinya.

4. Studi-studi tentang Evaluasi (Studies of Evaluation).

Studi-studi ini kadqangkala disebut studi dampak kebijakan (policy impact

studies), karena memang bermaksud untuk menganalisis dampak kebijakan-

kebijakan tertentu terhadap penduduk atau kelompoak sasaran.

5. Studi-studi tentang Informasi untuk Pembuatan Kebijakan (Studies of Infor-

mation for Policy Making).

Dalam studi ini, informasi dihimpun dan disusun sedemikian rupa guna

membantu pembuat kebijakan agar bisa mengambil keputusan-keputusan yang

tepat. Informasi ini mungkin berasal dari evaluasi yang dilakukan oleh kalangan

pemerintah sendiri sebagai bagian dari proses monitoring yang biasa dilakukan,

atau bisa juga yang memang telah disiapkan oleh para analis kebijakan dari

lingkungan akademik, yang hendak menerqapkan pengetahuan dan keahlian

mereka untuk memecahkan masalah-masalah praktis.

6. Proses Kepenasihatan (Advocacy Process).

Page 155: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

150

Merupakan suatu proses yang dilakukan oleh para analis untuk memperbaiki

sistem-sistem pembuatan kebijakan. Proses ini pada umumnya tercermin

dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin-mesin

pemerintahan melalui realokasi fungsi-fungsi dan tugas-tugas, seta dalam upaya

memantapkan landasan bagi pemilihan alternatif-alternatif kebijakan melalui pe-

ngembangan melalui sistem-sistem perencanaan serta pendekatan-pendekatan

baru untuk menilai dan memilih alternatif terbaik.

7. Nasihat Kebijakan (Policy Advocacy).

Merupakan suatu kegiatan yang melibatkan para analis dalam mendesakkan

alternatif-alternatif atau gagasan-gagasan tertentu dalam proses kebijakan, baik

secara perorangan atau dalam rangka kerjasama dengan pihak lain.

F. MODEL DAN PENDEKATAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

1. Model Analisis Kebijakan Publik.

Model sebenarnya adalah representasi teori yang disederhanakan tentang dunia

nyata. Model lebih merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyeder-

hanakan realitas. Berbeda dengan teori yang kesahihannya telah dibuktikan

melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorphism, yaitu kesamaan-

kesamaan antara kenyataan satu dengan kenyataan lainnya. (Brodbeck, 1959)

dalam Budi Winarno (2012:42). Atau dapat juga dikatakan, model adalah

isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris. Model seringkali sulit untuk

diuji kebenarannya di lapangan, namun tetap dapat digunakan sebagai pedoman

yang sangat bermanfaat dalam penelitian, terutama yang bertujuan untuk

mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan baru.

Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar man-

faatnya. Alasannya, pertama, kebijakan publik merupakan proses yang kompleks,

sehingga dapat disederhanakan melalui model sehingga akan membantu dalam

memahami realitas yang kompleks tersebut, terutama berguna untuk melihat

variabel-variabel apa saja yang berpengaruh dalam proses implementasi

kebijakan dimaksud. Kedua, karena sifat alamiah manusia yang tidak mampu

Page 156: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

151

memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu,

maka peran model dalam menjelaskan kebijakan publik akan semakin berguna.

Meskipun model sangat membantu untuk mengkaji kebijakan publik, akan

tetapi dibutuhkan beberapa kriteria untuk menentukan apakah suatu model

yang ditawarkan membantu atau tidak? Untuk itu Thomas Dye (Budi Winarno,

2012:43) menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat

kegunaan suatu model dalam mengkaji kebijakan publik.

a. Apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga

kita dapat memahami hubungan-hubungannya dalam dunia nyata dan

memikirkan-nya dengan lebih jelas? Jika model yang ditawarkan terlalu

sederhana sehingga mendorong terjadinya kesalahan dalam memahami

realitas atau sebaliknya, atau jika model dimaksud sangat kompleks sehingga

malah membuat bingung, maka model dimaksud mungkin tidak banyak

berguna. Jadi kriteria yang harus dipenuhi adalah model yang tidak terlalu

sederhana tetapi juga tidak terlalu kompleks. Yang terlalu sederhana akan

mendorong terjadinya pengertian yang salah, sedangkan yang terlalu

kompleks akan membingungkan.

b. Apakah model mengidentifikasi aspek-aspek yang sangat penting dari

kebijakan publik? Model seharusnya memfokuskan pada aspek-aspek yang

paling menonjol dari fenomena politik dan tidak ditujukan untuk variabel-

variabel yang tidak penting atau kondisi yang tidak signifikan.

c. Apakah model kongruen (sama sebangun) dengan realitas? Maksudnya,

apakah model menghasilkan hubungan yang kuat terhadap kenyataan yang

ada atau sebaliknya. Model yang baik seharusnya berhubungan dengan dunia

nyata dan menjembatani pemahaman yang lebih besar pada situasi atau

proses kebijakan yang spesifik.

d. Apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut

pemaham-an semua orang yang terlibat? Maksudnya apakah model

mempunyai karakteris-tik hubungan persetujuan yang dimengerti bersama.

Jika model dinilai mem-punyai sedikit hubungan persetujuan, maka model

dimaksud tidak akan mem-bantu dalam memahami fenomena.

Page 157: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

152

e. Apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik?

Model yang baik seharusnya menyarankan sejumlah hubungan yang dapat

diuji (hipotesis), dapat diamati, diukur, dan diverifikasi. Model harus

memungkinkan pengujian empiris, dan mempunyai proposisi yang berasal

dari realitas.

f. Apakah model menyarankan penjelasan dari kebijakan publik? Model yang

hanya menggambarkan (describe) kebijakan publik tidak akan sama gunanya

dengan model yang menjelaskan (explain) kebijakan publik. Karenanya

menurut Lester dan Stewart (Budi Winarno, 2012:45) model kebijakan yang

paling baik adalah model elitis dan pluralis.

Sementara itu model kebijakan publik yang dikemukakan oleh Budi

Winarno (2012:45) ada dua macam , yaitu :

a. Model Elitis.

Di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga (berkembang) yang menerap-

kan sistem otoriter seperti di Kuba, Korea Utara, dan Indonesia para era Orde

Baru, model elite dipandang cukup baik untuk menjelaskan pembentukan

kebijakan publik. Sebenarnya konsep kontrol elit atas sistem politik telah ada

sejak zaman kuno, seperti halnya teori elit sendiri. Teori elite mengatakan

bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak

dapat dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang

memanipulasi instrument-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka.

Kebijakan publik karenanya merupakan produk elite, yang merefleksikan nilai-

nilai mereka untuk penguatan kepentingan mereka. Thomas Dye dan

Harmon Zeigler (1970) berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan

preferensi nilai-nilai dari para elite yang berkuasa. (Budi Winarno, 21012:45).

Memang sering dikatakan bahwa kebijakan publik merefleksikan tuntutan-

tuntutan dari “rakyat”, namun sebenarnya tidak demikian karena bukan

merupakan realitas kehidupan masyarakat demokratis. Menurut Dye, rakyat

mempunyai perilaku apatis dan tidak memiliki informasi yang baik mengenai

kebijakan publik. Maka, yang terjadi sebenarnya para elite membentuk opini

masyarakat luas tentang persoalan-persoalan kebijakan, dan bukan masya-

Page 158: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

153

rakat luas yang membentuk opini elite. Dengan demikian, para pejabat publik

dan birokrat hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan

oleh para elite. Kebijakan-kebijakan publik mengalir “ke arah bawah” dari

para elite ke masyarakat, bukan berasal dari tuntutan atau aspirasi masya-

rakat.

Dye dan Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) dalam Budi Winar-

no (2012:46-47) memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut model

elite sebagai berikut :

1) Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai

kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya

sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masya-

rakat, sementara masyarakat tidak memutuskan kebijakan;

2) Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi.

Para elite ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat

yang tingkat ekonominya tinggi;

3) Perpindahan dari kedudukan nonelite ke elite sangat pelan tetapi berkesi-

nambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya

kalangan nonelite yang telah menerima konsensus elite yang mendasar

yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah;

4) Elite memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan peme-

liharaan sistem. Contohnya di AS, konsensus elit mencakup perusahaan

swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu;

5) Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-

nilai elite yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik

adalah secara inkremental tinimbang secara revolusioner. Perubahan-

perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang

timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang

relatif kecil dibandingkan jika perubahan tersebut didasarkan teori rasional

komprehensif;

6) Para elite secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari

massa yang apatis. Sebaliknya para elite memengaruhi massa yang lebih

Page 159: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

154

besar.

Teori elite ini banyak mendapat kritik, salah satunya dikemukakan oleh

Myung S. Park (1976). Menurut Park, jika kebijakan publik tidak merefleksikan

tuntutan-tuntutan masyarakat luas, namun hanya merefleksikan nilai-nilai

elite yang berlaku, bagaimana mungkin pembentukan kebijakan publik itu bisa

dipertanggungjawabkan secara politik dari sebuah pemerintahan demokratik?

Selain kebijakan publik ditentukan oleh the power elite, apa tidak ada

alternatif lain yang tersedia untuk model-model kebijakan publik itu? Jika

kebijakan publik ditentukan sesuai dengan nilai-nilai elite yang berlaku, nilai-

nilai mana yang pada dasarnya secara alami konservatif, kemudian

kemungkinan-kemungkinan apa, jika ada, inovasi dan kreativitas dalam pem-

bentukan kebijakan publik? Siapa yang berperanserta, karena teori elite

mengatakan bahwa hanya mereka para elite yang berperan dalam isu-isu

kebijakan penting, tetapi bagaimana mengenai masalah-masalah sehari-hari

yang membutuhkan keputusan-keputusan kebijak-an secara langsung yang

melibatkan perdebatan atau persaingan politik?

Menurut Anderson (1969), model elitis sangat berguna untuk menje-

laskan kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara otoriter, dan

model ini bersifat agak provokatif. Kebijakan ini produk elite merefleksikan

nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka, namun salah satu

dari tujuan itu mungkin merupakan keinginan untuk memberikan kesejah-

teraan masyarakat luas.

Singkatnya, model elitis lebih memusatkan perhatian pada peran kepe-

mimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan

pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerin-

tah orang banyak, para elite politik memengaruhi massa rakyat dan bukan

sebaliknya. Dalam hal ini Robert Dahl (1958) menyarankan suatu modifikasi

teori elite menjadi teori “polyarchy” yang menggabungkan pemerintahan elite

dengan kesepakatan demokratik, artinya tidak menolak samasekali konsep

pemerintahan oleh “a power elite” tetapi mencoba untuk memperluas teori

elite dalam batas-batas ideologi demokrasi. (Budi Winarno, 2012:48).

Page 160: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

155

b. Model Pluralis.

Jika model elitis titik perhatiannya lebih bertumpu pada elite politik, maka

kebalikannya, model pluralis lebih percaya pada peran subsistem-subsistem

yang berada dalam sistem demokrasi. Di negara-negara berkembang model

elitis akan cukup memadai untuk menjelaskan proses politik yang berlang-

sung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di negara yang

mendasarkan diri pada sistem demokrasi, terlebih demokrasi plural seperti di

AS.

Pandangan-pandangan pluralis disarikan oleh Robert Dahl dan David

Truman. Rangkumannya dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan

individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.

2) Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, namun

lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini

dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan tampak,

karena akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang ber-

beda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.

3) Tidak ada pembedaan yang tetap di antara “elite” dan “massa”. Individu-

individu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu

waktu tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam

waktu yang lain. Individu masuk dan keluar dalam pertisipasinya sebagai

pembuat keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam

politik.

4) Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kekaya-

an merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari

sekian banyak aset politik yang ada.

5) Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelom-

pok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua

masalah kebijakan.

6) Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik

lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang

Page 161: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

156

dicapai di antara kompetisi pemimpin-pemimpin politik.

2. Pendekatan Analisis Kebijakan Publik.

Para ilmuwan politik telah menciptakan teori-reori dan model untuk membantu

dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan keputusan. Mereka juga

mengembangkan bermacam-macam pendekatan teoritik untuk membantu

dalam mepelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Seberapa besar manfaat

dari penggunaan pendekatan-pendekatan teoritik tersebut dalam mengkaji

kebijakan publik, bergantung pada sumbangan yang diberikan dalam meng-

arahkan perhatian dan penjelasan bagi kegiatan politik atau kebijakan publik.

Ada beberapa pendekatan :

a. Pendekatan Kelompok.

Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan

pada dasarnya merupakan hasil perjuangan antara kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Suatu kelompok adalah kompulan individu yang diikat oleh

tingkah laku atau kepentingan yang sama. Meraka akan mempertahankan

dan membela tujuan-tujuan dalam persaingannya dengan kelompok lain. Jika

suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuannya melalui tindakan-tindakan-

nya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pemben-

tukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya.

Dalam rangka memengaruhi kebijakan publik, kelompok-kelompok kepen-

tingan akan menggunakan berbagai macam sumber seperti uang, prestise,

informasi, perhatian media massa, kepemimpinan, keahlian-keahlian penge-

lolaan politik, dsb. Di pihak lain kelompok-kelompok yang memiliki sumber

keuangan yang cukup, mungkin saja tidak memiliki sumber lain yang memadai

seperti misalnya akses terhadap media. Maka kebijakan-kebijakan publik

akan mengarah pada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh secara

ekonomis maupun nonekonomis dan semakin jauh dari kepentingan

kelompok-kelompok kecil. Dalam memperjuangkan kepentingan mereka,

kelompok-kelompok ini bisa menggunakan strategi membentuk koalisi

dengan kelompok-kelompok lain sambil tetap mengamati politik kebijakan

Page 162: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

157

bahwa koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koalisi kecil.

Kelompok-kelompok ini lebih memusatkan pada lembaga legislatif tinimbang

cabang-cabang pemerintahan lain, dan birokrasi eksekutif menduduki tempat

kedua sebagai pilihan untuk mendapatkan akses. Kelompok-kelompok ini pun

mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota legislatif dapat mencampuri

kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan mereka. Misalnya dalam

demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa, buruh tani,

dll. yang hampir selalu ditujukan kepada lembaga legislatif.

Kelemahan pendekatan ini adalah terlalu meremehkan peran bebas dan

kreatif yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah/birokrat dalam proses

pembuatan kebijakan publik, karena perhatiannya terlalu berlebihan terhadap

peran kelompok dalam sistem politik. Karena itu menganalisis kebijakan pub-

lik hanya mendasarkan pada pendekatan kelompok menjadi kurang memadai

jika tidak memperhatikan faktor-faktor lain yang memengaruhi pembuatan

kebijakan publik.

b. Pendekatan Proses Fungsional.

Analisis kebijakan publik juga dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian

pada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan.

Harold Lasswell (1956) mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang

dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional. (Budi

Winarno, 2012:54), yaitu :

1) Inteligensi : Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan

mendapat perhatian para pembuat keputusan dikumpulkan dan diproses.

2) Rekomendasi : Bagaimana rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk

mengatasi suatu masalah tertentu dibuat atau dikembangkan.

3) Preskripsi : Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau

diterapkan, dan oleh siapa.

4) Permohonan (invocation) : Siapa yang menentukan perilaku tertentu ber-

tentangan dengan peraturan-peraturan atau UU dan menuntut pengguna-

an peraturan-peraturan atau UU.

5) Aplikasi : Bagaimana peraturan-peraturan atau UU diterapkan/diberlaku-

Page 163: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

158

kan?

6) Penilaian : Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan-

nya dinilai.

7) Terminasi : Bagaimana peraturan-peraturan atau UU semula dihentikan

atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi.

Desain analisis ini memiliki beberapa keuntungan. Pertama, tidak terikat

pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua,

memberikan keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan.

Untuk hal tersebut dapat diselidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini

dilaksanakan, pengaruh apa dan siapa dalam sistem politik atau unit-unit

pemerintahan yang berbeda dilakukan.

Kelemahannya karena penekanan pada kategori-kategori fungsional,

mungkin akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebi-

jakan dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan

kebijakan publik. Jadi, pembentukan kebijakan hanya sekedar proses intelek-

tual.

c. Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme).

Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-lembaga

pemerintah. Pandangannya kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat

di sekitar lembaga-lembaga pemerintah tertentu seperti kongres, kepresiden-

an, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik, dsb. Kegiatan-kegiatan

individu dan kelompok secara umum diarahkan pada lembaga-lembaga

pemerintah, sehingga kebijakan publik pun secara otoritatif ditentukan dan

dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah.

Hubungan antara kebijakan publik dengan lemaga-lembaga pemerintah

sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi kebijakan publik sebelum ditetap-

kan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintahan.

d. Pendekatan Peranserta Warga Negara.

Teori peranserta warga negara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi

tentang kualitas warga negara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam

kehidupan publik. Hal ini dibutuhkan warga negara yang memiliki kepribadian

Page 164: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

159

yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga

negara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperanserta dalam masalah-

masalah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri, serta mam-

pu.

Para pembuat keputusan lebih responsif terhadap warga negara yang

berperanseta aktif, dengan tanggapan utama pada masyarakat aktivis, yang

memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang tinggi. Tetapi biasanya

masyarakat ini tidak mewakili masyarakar bawah. Respon para pembuat

keputusan akan lebih besar pada masyarakat lapisan bawah jika terdapat

konsensus antarkelompok yang berperanserta dan kelompok yang tidak

berperanserta. Hal ini dapat pula diperbesar oleh kerjasama antarorganisasi/

partai terpilih. Partai-partai besar dapat diibaratkan “perusahaan-perusahaan

perantara” yang berusaha meningkatkan dukungan politik.

e. Pendekatan Psikologis.

Perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antarpribadi dan faktor-

faktor kejiwaan yang memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat

dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Menurut Amir Santoso (1993:

11), Individu-individu selama dalam proses kebijakan tidak kehilangan diri,

sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat penting yang

memainkan peran dalam pembentukan kebijakan. Pendekatan ini menjelas-

kan hubungan antarpribadi perumus dengan pelaksana kebijakan. Hubungan

ini menjadi variabel yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kebijakan

suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menya-

takan adanya tiga jenis hubungan yang berbeda antara perumus dengan

pelaksana kebijakan, yaitu adaptasi bersama, kooptasi, dan nonimplementasi.

f. Pendekatan Proses.

Pendekatan yang paling umum dipakai adalah mengidentifikasi tahap-tahap

dalam proses kebijakan publik, kemudian menganalisis determinan-determi-

nan dari masing-masing tahap tertentu. Hal ini merujuk pada konsep siklus

kebijakan yang lazim dikenal seperti ban berjalan (conveyor). Dalam pende-

katan ini masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu

Page 165: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

160

untuk dilakukan tindakan, kemudian kebijakan ditetapkan, diimplementasikan

oleh para pejabat agensi, dievaluasi, dan akhirnya determinasi atau diubah

atas dasar keberhasilan atau kekurangannya.

g. Pendekatan Substantif.

Pendekatan ini menyangkut substansi atau isi daripada kebijakan sehingga

terjadi spesifikasi. Maka muncullah spesialis kebijakan publik bidang tertentu,

seperti kebijakan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, energi, penanggulang-

an kejahatan, dll.

Para spesialis ini mungkin tetap berada dalam bidang substantif tertentu

sebagai karier profesional mereka, tetapi mungkin juga menggeluti substansi

tertentu dalam jangka pendek, kemudian berpindah ke bidang kebijakan

lainnya. Tetapi banyak pakar yang berpendapat bahwa keahlian (expertise)

dalam bidang tertentu sangat dibutuhkan karena kredibilitasnya tinimbang

analis kebijakan “generic”.

Untuk memperoleh keahlian dalam satu bidang substantif, idealnya

seringkali dibutuhkan keakraban dengan aspek-aspek teknis dan politis dari

suatu bidang kebijakan. Pengetahuan substantif sangat dibutuhkan untuk

memahami dan menginterpretasikan penemuan-penemuan empirik seorang

peneliti. Namun ada juga yang berpendapat bahwa pengetahuan substantif

secara relatif tidak diperlukan untuk menjadi seorang analis kebijakan yang

bagus. Seseorang katanya hanya membutuhkan keterampilan dalam proses

dan metode kebijakan publik.

h. Pendekatan Logical-Positivist.

Pendekatan ini sering juga disebut pendekatan perilaku (behavioral approach)

atau pendekatan keilmuan (scientific approach). Pendekatan ini mengguna-

kan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived

theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode

komparasi, dan analisis statistik yang ketat. Sifat keilmuan (scientific) dalam

konteks ini mempunyai beberapa makna. Pertama, mengklarifikasi konsep-

konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan, misalnya implementasi

kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati dari sebelumnya. Memang

Page 166: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

161

sebelumnya implementasi didefinsikan sebagai dikotomi ya/tidak, tinimbang

sebagai suatu proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana,

memonitor kinerja, dan memperbaiki aturan (UU). Kedua, bekerja dari teori

eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji teori dengan hipotesis-

hipotesis. Ketiga, menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah

yang baik terhadap berbagai fenomena, dan secara ideal menyelidiki ber-

macam-macam penjelasan melewati waktu.

Pendekatan keilmuan ini bukan tanpa kritik, karena memahami proses

kebijakan tidak mesti dengan memperlakukannya sebagai sebuah “proyek

rasional” sebab prosesnya jauh lebih kompleks tinimbang perspektif seperti

ban berjalan. Jadi, tidak memberi kemungkinan sebagai suatu teknik analisis

yang sangat canggih.

i. Pendekatan Ekonometrik.

Pendekatan ini kadang dinamakan pendekatan pilihan publik (the public cho-

ice approach) atau pendekatan ekonomi politik, karena didasarkan pada teori-

teori ekonomi politik. Sifat manusia diasumsikan “rasional” atau dimotivasi

oleh capaian secara pribadi murni. Pendekatan ini memadukan wawasan

umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan

publik. Misalnya, bahwa preferensi-preferensi individu adalah sempit dan

beragam, yang membutuhkan preferensi-preferensi ke dalam masyarakat luas

yang bisa meminta tindakan pemerintah.

Pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam asumsi-asumsinya tentang

sifat manusia dan kekuasaan politik. Sifat manusia adalah altruistik (tidak

hanya rasional atau egois), yang kadang dimotivasi untuk melakukan kepen-

tingan publik atau kepentingan kolektif.

j. Pendekatan Fenomologik (Postpositivist).

Pendekatan ini disebut juga pendekatan phenomologik atau naturalistik.

Intinya pendekatan ini berpandangan bahwa para analis perlu mengadopsi

atau menggunakan intuisi (naluri) yang sehat secara tertib yang berasal dari

peng-alaman yang tidak dapat direduksi ke model, hipotesis, kuantifikasi, dan

data keras. Pandangan ini dideskripsikan oleh kepeduliannya dengan pema-

Page 167: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

162

haman tinimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis tinimbang pengujian

hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti

dengan obyek studi tinimbang observasi yang terpisah di pihak para analis.

Untuk mengumpulkan “bukti”, pendekatan ini lebih memanfaatkan peng-

gunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan tinimbang menggunakan

teknik-teknik analisis yang canggih.

Kritik-kritik terhadap pendekatan ini karena kurang taat dan bergerak

menjauhi keilmuan yang dianjurkan oleh kelompok behavioralis dan kelompok

ekonomi. Singkatnya pendekatan postpositivist lebih menekankan kepeduli-

annya pada keketatan keilmuan dengan intuisi dan pembenaman secara

menyeluruh dalam informasi yang relevan.

k. Pendekatan Partisipatori.

Pandekatan ini mempunyai kaitan erat dengan pendekatan postpositivist dan

mencakup perhatian besar terhadap nilai-nilai dari berbagai stakeholders da-

lam proses pembuatan keputusan kebijakan. Pendekatan ini mencakup

dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar warga

negara yang mempunyai kepedulian, dan hasilnya disusun dalam suatu cara

guna mempercepat individu-individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan

para pejabat agensi memberikan kontribusi mereka pada pembuatan desain

dan redesain kebijakan.

Tujuan dari analisis kebijakan partisipatori adalah mengumpulkan infor-

masi sehingga para pembentuk kebijakan dapat membuat rekomendasi dan

keputusan yang lebih baik. Pendekatan ini menyarankan pertimbangan

tentang sejumlah besar players (pemain) dan nilai-nilai dalam proses pem-

buatan kebijakan, yang dengan demikian mempunyai katalog yang lebih baik

dari berbagai perspektif yang dihadirkan pada saat kebijakan sedang diper-

timbangkan. Pendekatan ini juga bermanfaat sebagai arahan kepada

penyusun agenda, perumus kebijakan, dan implementasi kebijakan, tinimbang

tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik.

Kritik terhadap pendekatan ini adalah bahwa keterlibatan warga negara

yang meingkat akan menimbulkan peningkatan konflik (pertikaian) kelompok

Page 168: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

163

atas program dan prosedur sehingga dapat terjadi penundaan yang tidak ada

gunanya dalam perumusan dan implementasi. Akibatnya biaya pembuatan

kebijakan dan implementasi akan meningkat, dan kepentingan-kepentingan

yang tidak senang akan mencoba merusak program-program melalui litigasi

atau meminta perlindungan kepada parlemen.

l. Pendekatan Normatif atau Preskriptif.

Dalam pendekatan ini analis perlu mendefinisikan tugasnya sebagai analis

kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan “end state” dalam arti

bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pende-

katan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan

retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain

tentang manfaat dari posisi mereka. Tipe analisis ini mengarah pada tuduhan

bahwa para analis kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi mereka se-

bagai ilmu.

m. Pendekatan Ideologik.

Thomas Sowell (1987) dalam Budi Winarno (2012:68) menamakan pendekat-

an ini “visi” (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing, yaitu

pertama, visi yang dibatasi (the constrained vision) yang merupakan suatu

gambaran manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Karenanya, tan-

tangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang

terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/

keterbatasan tinimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang sia-

sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini kemudian orang meng-

andalkan pada insentif tinimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang

pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman memberi-

kan insentif untuk memperoleh perilaku yang pantas.

Kedua, “visi yang tidak dibatasi” (the unconstrained vision) memberikan

suatu pandangan tentang sifat manusia yang mampu memperoleh

keuntungan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu merasakan

secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting tinimbang

kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak seca-

Page 169: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

164

ra konsisten dan adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka

atau keluarga mereka terlibat. Pandangan tentang sifat manusia ini dikaitkan

dengan pandangan liberal bahwa manusia tidak mempunyai keterbatasan.

Keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.

n. Pendekatan Historis (Sejarah).

Pendekatan ini dengan memperhatikan pada evolusi kebijakan publik

melintasi waktu. Peneliti dapat melakukan penelitian tentang kebijakan pub-

lik dari perspektif lima puluh tahunan atau lebih. Dengan demikian peneliti

bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelum-

nya tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek

(misalnya analisitis lintas sektoral, atau analitis terbatas pada kurun waktu

satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik

dari titik pandang kurun waktu yang panjang, analis dapat memperoleh

perspektif yang jauh lebih baik tentang pola-pola yang ada dalam pembuatan

kebijakan publik, misalnya di negara-negara maju seperti AS, maupun negara-

negara berkembang termasuk Indonesia.

Dalam kasus kebijakan publik di AS misalnya, ada dua perspektif yang

bertentangan mengenai sifat pembuatan kebijakan publik. Pertama, perspek-

tif yang menjelaskan bahwa pembuat kebijakan cenderung mengikuti pola

siklus atau pola “zigzag” yang lebih konservatif dan liberal, terulang melintasi

waktu. Perspektif ini menyarankan suatu pendekatan reaktif terhadap pem-

buatan kebijakan yang repetitif, dan dalam beberapa hal nonrasional sepan-

jang waktu. Kedua, perspektif yang menyarankan suatu penjelasan evolusi-

oner, yaitu kebijakan publik yang merefleksikan pembelajaran kebijakan yang

lebih bijak dengan implikasi lebih rasional.

Page 170: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

165

BAB XIII KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG

PENDIDIKAN

A. MAKNA KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG PENDIDIKAN

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menurut Winarno (2005:17), kebijakan

publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga dan pejabat-

pejabat pemerintah, yang dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan

pemerintah. Dari pengertian ini, maka :

1. Kebijakan tidak semata-mata didominasi oleh kepentingan pemerintah.

2. Aktor-aktor di luar pemerintah harus diperhatikan aspirasinya.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh harus dikaji sebelumnya.

Ketiga hal tersebut perlu ditekankan mengingat ketika sektor di luar negara/

pemerintah tidak dilibatkan sejak awal, akan menjadikan kebijakan mengalami

kontra produktif. Artinya, kebijakan tidak akan memiliki pengaruh apa pun di

semua sektor. Demikianlah halnya dengan pendidikan yang peran dan tanggung

jawabnya bukan hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga masyarakat, dan dunia

usaha (swasta).

Pengertian yang berbeda dikemukakan oleh Dye (1981:2) yang mendefinisikan

kebijakan publik sebagai whatever government choose to do or not to do.

Maksudnya adalah pilihan tindakan apa pun yang dilakukan atau tidak ingin

dilakukan oleh pemerintah. Penekanan pendapat ini bahwa kebijakan tidak hanya

rumusan di atas kertas saja, tetapi pilihan tindakan yang akan diambil oleh peme-

rintah, baik dilakukan maupun tidak dilakukan tanpa dipengaruhi oleh pihak

nonpemerintah.

Dua pengertian di atas bertolak belakang karena yang pertama sangat memper-

hatikan pihak di luar pemerintah, sedangkan yang kedua sangat mengabaikan

sektor di luar pemerintah, seperti masyarakat yang secara langsung mendapat

dampak langsung dari kebijakan. Namun pendapat kedua menggarisbawahi ten-

tang “memilih dan tidak memilih tindakan” harus dipahami dalam kerangka seperti

Page 171: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

166

digambarkan dalam matrik/tabel di bawah ini.

Kebijakan Dilihat dari Kegiatan dan Kemampuan Masyarakat

Kegiatan Strategis Kegiatan Tidak/Kurang Strategis

Masyarakat mampu melaksanakan I

Pemerintah dengan Masyarakat

II Masyarakat

Masyarakat tidak mampu melaksa-nakan

III Pemerintah

IV Pemerintah (dibiarkan)

Sumber : Muh. Munadi & Barnawi, 2011:18.

Menurut Riant Nugroho (2003:54), dilihat dari empat kuadran tersebut di atas,

kebijakan pendidikan termasuk dalam kuadran I sehingga diperlukan partisipasi

aktif sektor di luar pemerintah. Pendidikan sebenarnya bisa dilaksanakan oleh

masyarakat, tetapi pemerintah menganggap bahwa pendidikan merupakan kegiat-

an strategis bagi perkembangan sebuah negara karena penentu kualitas sebuah

bangsa terletak pada tingkat pendidikan yang dicapai penduduknya. Karenanya

pemerintah tidak bisa lepas tangan. Keterlibatan pemerintah dan masyarakat

meliputi perencanaan, pembuatan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebi-

jakannya.

Demikianlah, maka kebijakan publik di bidang pendidikan dapat didefinisikan

sebagai keputusan yang diambil bersama antara pemerintah dengan aktor di luar

pemerintah dan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi untuk

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan pada bidang pendidikan bagi seluruh warga

masyarakat. Kebijakan publik di bidang pendidikan ini meliputi anggaran, kuri-

kulum, rekrutmen tenaga kependidikan, pengembangan profesional staf, tanah dan

bangunan, pengelolaan sumber-sumber daya, dan kebijakan lain yang bersentuhan

langsung maupun tidak langsung atas pendidikan.

Kebijakan publik di bidang pendidikan dalam pembuatannya melalui tahapan

yang panjang yang menurut Dunn (2003) dibagi menjadi lima tahapan, yaitu

penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,

dan penilaian kebijakan. Kelima tahapan ini harus memperhatikan tiga hal pokok,

yaitu pemerintah, aktor-aktor di luar pemerintah (kelompok kepentingan dan ke-

Page 172: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

167

lompok penekan), serta faktor-faktor selain manusia yang akan maupun telah

mempengaruhi kebijakan.

Sementara itu kebijakan pendidikan menurut Devine (2007) memiliki empat

dimensi pokok, yaitu dimensi normatif, struktural, konstituentif, dan teknis.

Dimensi normatif terdiri atas nilai, standar, dan filsafat, yang memaksa masyarakat

untuk melakukan peningkatan dan perubahan melalui kebijakan pendidikan yang

ada. Dimensi ini memerlukan dukungan dimensi struktural yang berkaitan dengan

ukuran pemerintah (sentralisasi, desentralisasi, atau bentuk lain), dan struktur orga-

nisasi, metode, dan prosedur yang menegaskan dan mendukung kebijakan bidang

pendidikan. Dimensi konstituentif terdiri dari individu, kelompok kepentingan

(stakeholders), dan penerima yang menggunakan kekuatan untuk mempengaruhi

prose pembuatan kebijakan, Sementara dimensi teknis menggabungkan pengem-

bangan, praktek, implementasi, dan penilaian dari pembuatan kebijakan publik.

Dalam pada itu untuk menyusun agenda kebijakan, pertanyaan besarnya, di

mana posisi pendidikan? Bagiamana memposisikan kembali pendidikan, dan apa

yang dapat dilakukan oleh pendidikan? Jawabannya antara lain dapat diidentifi-

kasikan kelompok besar isu strategis yang masing-masing isu dimaksud mengan-

dung dimensi-dimensi ekonomi, politik, sosial-budaya, dan hukum. {Fasli Jalal dan

Dedi Supriadi (ed), 2001:15-16}. Isu-isu dimaksud adalah :

1. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan, termasuk dalam

hal finansial, sosial, kultural, dan legal, serta kamauan politik yang cukup untuk

memprioritaskan pendidikan.

2. Lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional, dalam arti belum memiliki

kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Struk-

tur dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya lebih belum jelas,

inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan masih mungkin terjadi.

Secara ekonomis pun masih banyak yang belum baik, pemorosan dan inefisiensi

masih banyak ditemui.

3. Desentralisasi sudah dilaksanakan, namun dalam urusan pendidikan belum

mencapai tingkat kesiapan yang memadai. Identifikasi dan pemilahan urusan

daerah dari urusan pusat belum mantap, seperti misalnya penyerahan urusan

Page 173: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

168

pendidikan dasar dan menengah kepada kabupaten/kota, sehingga menjadi

ajang politisasi Kepala Daerah, juga perlunya penataan sistem organisasi,

manajemen, pengembangan sumber daya manusia, sumber daya finansial, dsb.

4. Relevansi pendidikan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat, pereko-

nomian, struktur ketenagakerjaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekno-

logi, serta tatanan politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan

pemikiran yang mendasar.

5. Akutabilitas pendidikan, sehingga dituntut pertanggungjawaban/pertanggung-

gugatan tugasnya sesuai dengan visi dan misinya kepada masyarakat yang ikut

memiliki dan diharuskan oleh pendidikan. Adalah kewajiban pemerintah untuk

menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan sumber daya yang

tersedia dan dipercayakan kepadanya.

B. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

1. Makna Pembangunan.

Istilah pembangunan semula diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS)

Harry S. Truman pada pidato pelantikannya sebagai Presiden tanggal 20 Januari

1949, dengan menyebut istilah baru kepada dunia, yaitu “kawasan terbelakang”

(underdeveloped areas) yang memerlukan pembangunan (development). Pada

awalnya istilah ini untuk menyebut kawasan Amerika bagian selatan, namun

kemudian berkembang menjadi konsep pembangunan di Asia, Afrika, dan Ame-

rika Latin, yang menjadi politik AS sebagai kelanjutan dari program “Marshall

Plan” pada tahun 1950an yang berhasil memulihkan Eropa yang hancur karena

Perang Dunia Kedua. Bendera “pembangunan” ini dijadikan ideologi gobal bagi

negara-negara pengikut maupun simpatisan AS sebagai lawan dari “revolusi”

yang ditawarkan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan pembangunan sebagai

sebuah upaya atau proses dinamis tanpa akhir. (Riant Nugroho, 2008:14).

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Sudjatmoko, Rektor Universitas PBB,

yaitu : “… sebuah proses pembelajaran dari satu kehidupan ke satu kehidupan

Page 174: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

169

yang lebih baik…” Pemahaman Sudjatmoko adalah bahwa pembangunan meru-

pakan sebuah proses alami, otonom, dan kontekstual. Menurut Sudjatmoko,

pembangunan adalah proses belajar yang bertahap, sehingga selalu ada proses

kapitalisasi kemajuan pada setiap tahap. Pembangunan dipahami sebagai

sebuah proses yang positif dari tahap ke tahap.

Definisi lain tentang pembangunan dikemukakan oleh Sondang P. Siagian

(2005:4), sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan

secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju

modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).

Di Indonesia, pembangunan adalah kegiatan yang dirancang dengan sengaja

oleh pemerintah dalam rangka kemajuan kehidupan bersama. Dokumen-

dokumen perencanaan pembangunan yang dirumuskan sejak era pemerintahan

Presiden Sukarno dengan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapin), Presiden

Suharto dengan “Garis-garis Besar Haluan Negara” (GBHN) dan “Rencana Pem-

bangunan Lima Tahun” (Repelita), Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati

Sukarnoputri dengan “Rencana Strategis Pembangunan Nasional” (Renstrabang-

nas) dan Program Pembangunan Nasional (Propenas), hingga Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dengan “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasio-

nal” (RPJMN), merupakan indikator yang menunjukkan bahwa pembangunan

merupakan sebuah rekayasa sosial (social engineering).

2. Pendidikan.

Pendidikan merupakan sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan

bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. John Dewey menge-

mukakan bahwa pendidikan dapat difahami sebagai sebuah upaya konservatif

dan progresif dalam bentuk pendidikan sebagai formasi, sebagai rekapitulasi,

dan restrospeksi, dan sebagai rekonstruksi. (Riant Nugroho, 2008:19). Menurut

Michael Rutz, pendidikan berawal dari fakta bahwa manusia mempunyai keku-

rangan, dan pendidikan merupakan jawaban untuk membuat manusia menjadi

lengkap. Sementara itu P.J. Hills, memahami pendidikan sebagai proses belajar

yang ditujukan untuk membangun manusia dengan pengetahuan dan keteram-

Page 175: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

170

pilan.

Demikianlah pemahaman akan pendidikan seperti dikemukakan di atas

memberikan arah bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang melekat pada

setiap kehidupan bersama, atau dalam bahasa politik menurut Riant Nugroho

(2008:20) disebut sebagai “negara-bangsa”, dalam rangka menjadikan kehidupan

bersama itu mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan mengantisipasi

perkembangan kehidupannya. Mengingat peran strategisnya itu, maka pendidik-

an perlu dikembangkan oleh negara. Maka tepatlah pemahaman mengenai

pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : “Pendidikan adalah usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembe-

lajaran agarpeserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecer-

dasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa, dan negara.”

Dari uraian tentang pembangunan dan pendidikan tersebut di atas, maka

dapat dikatakan untuk menyelenggarakan pembangunan bangsa dan negara

adalah melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Yang dimaksud

dengan seluas-luasnya adalah segala upaya yang dilakukan demi terwujudnya

masyarakat modern yang didambakan. Artinya, pendidikan dapat bersifat

formal, yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari yang paling

dasar hingga pada strata yang paling tinggi, termasuk berbagai jenis pelatihan,

dan dapat pula bersifat nonformal yang diselenggarakan di luar “bangku”

sekolah.

3. Otonomi Daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masya-

rakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan ma-

Page 176: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

171

syarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Otonomi merupakan produk atau desentralisasi. (UU No. 32/2004).

Desentralisasi pada masa kini perlu dipahami dalam konteks meningkatnya

intensitas globalisasi. S. Jun dan Deil S. Wright (1996) secara khusus mengaitkan

globalisasi dengan desentralisasi. Menurut mereka, globalisasi menjadikan

pelaku-pelaku ekonomi bergerak secara langsung masuk ke daerah-daerah dari

suatu negara. Globalisasi mendorong terbukanya potensi lokal yang mendorong

setiap daerah menyelenggarakan ekonomi daerah untuk menanggapi perkem-

bangan global. (Riant Nugroho, 2008:24). Sementara itu Dennis A. Rondinelli dan

Shabbir Cheema (1996) mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan

saja berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan administrasi

publik yang tersentralisasi, namun juga disebabkan meningkatnya kompleksitas

dan ketidakpastian proses pembangunan. Mereka juga mendefinisikan desen-

tralisasi sebagai transfer pengelolaan ke unit-unit yang lebih kecil atau berada di

bawahnya. Selanjutnya mereka merumuskan empat bentuk utama atau model

desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi.

Pengertian tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Dekonsentrasi : Pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif

antara departemen (sekarang kementerian) pusat dan pejabatnya di lapangan

tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau

keleluasaan untuk membuat keputusan;

b. Delegasi : Pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial

untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak

secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat;

c. Devolusi : Transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan,

dan manajemen kepada unit otonomi daerah;

d. Privatisasi : Tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada

badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat.

Dari empat bentuk/model desentralisasi tersebut di atas, yang diterapkan di

Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerin-

tahan Daerah adalah model devolusi. Model ini memiliki konsekuensi tanggung

Page 177: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

172

jawab atas apa saja yang diputuskan termasuk berimplikasi pada keuangan dan

manajemen dibebankan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Di sinilah

kabupaten/kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab pada semua urusan

kecuali urusan luar negeri, moneter, peradilan, pertahanan, keamanan, dan

agama. Dengan demikian urusan pendidikan dan kebudayaan, juga yang lainnya

seperti pertanahan, pertanian, tenaga kerja dan transmigrasi, kesehatan, ling-

kungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, perdagangan dan industri, kope-

rasi, penanaman modal, serta pelayanan dasar lainnya menjadi urusan otonomi

daerah.

Devolusi dalam bidang pendidikan menurut Florestal dan Cooper (1997)

dalam M. Munadi & Barnawi (2011:24-25) memiliki lima keistimewaan, yaitu :

a. Melatih tanggung jawab secara legal dari departemen pusat;

b. Tidak di bawah pengawasan hierarki departemen pusat;

c. Dapat melatih kekuasaan yang diberikan oleh hukum;

d. Dapat bertindak sesuai dengan wilayah hukumnya;

e. Departemen pusat tidak bertanggung jawab untuk tindakan lembaga lokal.

Sementara itu Christopher Pollit, Johnson Birchal, dan Keith Putman (1998)

dalam Riant Nugroho (2008:25-26) memahami desentralisasi sebagai sebuah

upaya yang bersifat ekonomis, yaitu meminimalisasi biaya dari sumber daya yang

ada, untuk meningkatkan hasil atau kinerja. Lebih lanjut dikemukakan bahwa

kualitas kinerja ditentukan oleh standar-standar yang dapat diukur dalam

takaran profesional dengan standar-standar teknis. Aspek inti dari kinerja desen-

tralisasi adalah kualitas, responsivitas, akuntabilitas, dan kontrol.

Demikianlah, maka dapat dirumuskan desentralisasi sebagai pendelegasian

manajemen pembangunan dan pelayanan publik dari pemerintah (pusat) kepada

daerah-daerah otonom yang diselenggarakan oleh organisasi administrasi publik

daerah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan pemerintah/

negara.

Page 178: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

173

C. POLITIK DEMOKRATIK DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN Pelibatan pemerintah, aktor-aktor di luar pemerintah, dan faktor-faktor di luar ma-

nusia dalam kebijakan publik tidak secara otomatis dilakukan, akan tetapi

disesuaikan dengan tahapan yang telah dicapai dalam proses demokrasi. Masing-

masing tahapan memiliki intensitas yang berbeda dalam pelibatan ketiga komponen

tersebut di atas dalam pembuatan kebijakan publik. Makna demokrasi dalam

bidang pendidikan pun pengertiannya berbeda. Priyono dan Pranarka (1996:2)

membagi demokrasi dalam tiga tahap, yaitu :

1. Tahap Inisial : Dari pemerintah, oleh pemerintah, untuk rakyat. Hal ini menun-

jukkan dominasi pemerintah sangat kuat, sementara rakyat hanya dianggap

sebatas penerima apa pun yang datang dari pemerintah. Artinya, rakyat tidak

perlu diikutsertakan dalam proses apa pun yang berkait dengan diri mereka.

2. Tahap Partisipatoris : Dari pemerintah bersama rakyat, oleh pemerintah ber-

sama rakyat, untuk rakyat. Dalam hal ini sudah terdapat keikutsertaan dari luar

pemerintah, yaitu rakyat yang punya kepentingan untuk memperjuangkan

nasibnya.

3. Tahap Emansipatif : Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang didukung

oleh pemerintah bersama rakyat. Dalam hal ini rakyat dilibatkan secara penuh

sejak awal perencanaan pembuatan keputusan/kebijakan.

Griffin dan Moorhead (1986:565) ketika membahas operasional organisasi,

yaitu sentralisasi dan desentralisasi berkaitan dengan tingkat partisipasi pembuatan

keputusan, menggambarkannya dengan tabel sebagai berikut :

Tingkat Partisipasi Pembuatan Keputusan Berkait dengan Tipe Keputusan

Participation in Decision Making

Much Little

Formalized Decentalization

True Decentralization

Centralizaion

Sumber : M. Munadi & Barnawi, 2011:22.

Tabel tersebut di atas menunjukkan ada tiga kemungkinan dalam memahami

sebuah partisipasi dikaitkan dengan tipe keputusan yang dibuat, yaitu :

1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan hanya kalangan terbatas dan jumlah-

nya kecil. Maka struktur organisasinya bersifat sentralisasi.

Page 179: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

174

2. Jika individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan kepu-

tusan, tetapi hanya dalam keputusan terprogram (programmed decisions),

disebut desentralisasi formal.

3. Jika yang terjadi individu atau kelompok berpartisipasi secara luas, tetapi dalam

pembuatan keputusan tak terprogram (nonprogrammed decisions), disebut

desentralisasi nyata (true decentralization).

Desentralisasi pun bisa memiliki dua sifat, yaitu rendah dan tinggi. Greenberg

dan Baron (2003:555) menggambarkannya dalam tabel sebagai berikut :

Perbandingan Desentralisasi Rendah dan Tinggi

Low Decentralization High Centralization (Desentralisasi Rendah Sentralisasi Tinggi)

High Decentralization Low Centralization (Desentralisasi Tinggi Sentralisasi Rendah

Menghapuskan tambahan tanggung jawab yang tidak diinginkan oleh orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin.

Izinkan pembuatan keputusan krusial dibuat oleh individu yang mempunyai “big picture”.

Dapat mengurangi tingkat manajemen, membuat sebuah organisasi pembelajar.

Menaikkan kesempatan yang sangat besar untuk keputusan yang dibuat oleh orang yang mengakrabi masalah.

Sumber : M. Munadi & Barnawi, 2011:23.

Perbandingan di atas menunjukkan bahwa desentralisasi yang tinggi sangat

menghargai keterlibatan semua unsur yang langsung menghadapi masalah. Dengan

demikian keputusan yang diambil bersifat bottom-up, dapat memiliki efektivitas

keputusan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di bawah.

Desentralisasi karenanya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan

menciptakan magnet sekolah untuk berusaha menarik kelas menengah berpartisi-

pasi pula di dalamnya. Kebijakan daerah yang dicoba untuk meningkatkan partisi-

pasi di antaranya program perbaikan atau proyek-proyek perbaikan sekolah,

pelayanan-pelayanan daya ingat pelajar, sekolah kecil, standarisasi, dan evaluasi

kurikulum melalui ujian, dsb.

Kondisi tersebut di atas dapat terwujud ketika sebuah kebijakan publik

memenuhi prasyarat, yaitu bahwa pembuatan kebijakan harus berproses melalui

interaksi kritis di antara para tenaga ahli, politikus, dan keterlibatan masyarakat.

Mereka saling mempercakapkan kepentingan umum secara bebas tanpa paksaaan

Page 180: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

175

sehingga terselenggara kesejahteraan bagi masyarapat (publik). Hal ini memungkin-

kan tumbuhnya potensi sebuah lingkungan dan suasana yang komunikatif demo-

kratis dalam masyarakat dengan banyak anggota. (Habermas dalam Hardiman,

1993:127-129).

Berkaitan dengan partisipasi masyarakat, menurut Suci Handayani (2006:18)

terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Partisipasi masyarakat sebagai tujuan. Partisipasi semacam ini akan membe-

lenggu, mendistorsi, dan menghilangkan hak warga negara untuk terlibat pro-

aktif dalam setiap kebijakan yang diambil. Pamaknaan ini hanya menekankan

pada aspek partisipasi formal atas masyarakat.

2. Partisipasi masyarakat sebagai alat. Partisipasi semacam ini mengandung

maksud bahwa setiap tindakan partisipasi menjadi sebuah keniscayaan. Pemak-

naan ini keterlibatan masyarakat harus proaktif.

Pemaknaan-pemaknaan partisipasi masyarakat mensyaratkan beberapa hal

sebagai berikut (Munadi & Barnawi, 2011:29) :

1. Kesadaran penuh kelompok elite atas interaksinya dengan kelompok nonelite.

2. Kelompok nonelite tidak merasa interaksinya dengan kelompok elite sebagai

sebuah bentuk belas kasihan.

3. Interaksi yang ada menjadikan kedua kelompok (elite dan nonelite) berpartisipasi

aktif.

4. Partisipasi berawal dari penentuan tujuan bersama dan cara-cara mewujudkan-

nya, pelaksanaan, memperoleh hasil (keuntungan), serta penilaian terhadap

seluruh kegiatan atau program.

5. Interaksi kedua kelompok menghasilkan keputusan strategis di bidang pendidik-

an (formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan

bangunan, pengelolaan sumber daya, serta kurikulum).

Adapun bentuk partisipasi masyarakat dalam pendidikan menurut Soebagio

Atmodiwirio (2000:74-75) meliputi :

1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah

maupun jalur pendidikan luar sekolah pada semua jenis pendidikan kecuali pen-

didikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan sekolah.

Page 181: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

176

2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan

atau membantu pengajaran, pembimbingan, dan pelatihan peserta didik.

3. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan

belajar-mengajar atau penelitian dan pengembangan.

4. Pengadaan dan penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan atau

diselenggarakan oleh instansi pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional.

5. Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang berupa wakaf, hibah, sumbangan,

pinjaman, beasiswa dan bentuk lain yang sejenis.

6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung dan tanah untuk melak-

sanakan kegiatan belajar-mengajar.

7. Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan

untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.

8. Pemberian kesempatan untuk magang atau latihan kerja.

9. Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan

pengembangan pendidikan nasional.

10. Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan kebijakan dan

penyelenggaraan pengembangan pendidikan.

11. Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengem-

bangan.

12. Keikutsertaan dalam program pendidikan atau penelitian yang diselenggarakan

oleh pemerintah di dalam dan di luar negeri.

Selanjutnya menurut Yuliantara (2004:130), bahwa partisipasi sebagai bentuk

demokrasi setidaknya membutuhkan tiga hal utama, yaitu :

1. Kesukarelaan dari masyarakat untuk menggerakkan demokrasi.

2. Keterampilan masyarakat untuk bekerja dengan demokrasi.

3. Arena yang terjamin untuk pelaksanaan demokrasi.

D. KEBIJAKAN PENDIDIKAN

1. Rumusan Kebijakan.

Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang

Page 182: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

177

Sistem Pendidikan Nasional, maka Pemerintah (Pusat) d.h.i. Kementerian Pendi-

dikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sekarang ditambah dengan Kemen-

terian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), karena urusan

pendidikan tinggi beralih dari Kemendikbud ke Kemenristek Dikti, merumuskan

lebih lanjut kebijakan pelaksanaannya. Teknis edukatif masih merupakan

kewenangan dua kementerian dimaksud sementara yang menyangkut personil,

pembiayaan, dan perlengkapan (3 P) menjadi kewenangan daerah dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan.

Kebijakan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah

pengelolaan pendidikan, yaitu kebijakan nasional dan standar nasional pendi-

dikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Pengelolaan sistem pendidik-

an nasional ini merupakan tanggung jawab Menteri. Perumusan kebijakannya

dilaksanakan oleh perangkat di bawahnya yang mengacu pada standar nasional

pendidikan yang terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian

pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar

nasional pendidikan ini digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum,

tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.

Acuan sebagai amanat dari UU No. 20 Tahun 2003 itu telah ditindaklajuti dengan

Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 23

Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Perumusan lebih lanjut kebijakan pendidikan ini dilakukan oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah

menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua

jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang

bertaraf internasional. Pemerintah Daerah Provinsi melakukan koordinasi atas

penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penye-

diaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk

tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola

pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang ber-

Page 183: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

178

basis keunggulan lokal. Adapun perguruan tinggi menentukan kebijakan dan

memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

Perumusan lebih lanjut kebijakan pendidikan di daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota dan Keputus-

an Gubernur atau Keputusan Bupati/Walikota sebagai pelaksanaanya. Perda

merupakan peraturan tertinggi pada tingkat daerah otonom yang dilaksanakan

dengan Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati/Walikota yang ada di

bawahnya.

Perumusan kebijakan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota pada hakekat-

nya sebagai perwujudan tanggung jawab karena dengan kewenangan wajibnya

Pemerintah Daerah yang harus dapat menjamin pemerataan kesempatan

memperoleh pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi mana-

jemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan

kehidupan lokal, nasional, dan global secara terarah dan berkesinambungan. Hal

ini baik sekali jika ditindaklanjuti dengan Perda dan Keputusan Bupati. Sebagai

salah satu contoh, adalah di Kabupaten Jembrana, dengan terbitnya dua Perda

dan dua Kepbup, yaitu :

a. Perda No. 10 Tahun 2006 tentang Subsidi Biaya Pendidikan Pada TK, SD, SMP,

SMA, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana;

b. Perda No. 14 Tahun 2006 tentang Pemberian Beasiswa kepada Siswa yang

Tidak Mampu pada Sekolah Swasta yang Berprestasi di Sekolah Negeri

maupun Swasta di Kabupaten Jembrana;

c. Kepbup No. 24 Tahun 2003 tentang Pembebasan Iuran Wajib pada SD, SLTP,

SMU, dan SMK Negeri di Kabupaten Jembrana;

d. Kepbup No. 1615 Tahun 2004 tentang Pemberian Beasiswa kepada Siswa

Tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK yang Memperoleh Nilai Surat Tanda

Kelulusan (STK) Tertinggi dan Berprestasi di Bidang Olah Raga.

Perda dan Kepbup tersebut di atas sebagai fenomena khas, dan merupakan

bentuk pelembagaan (institutionalization) dari kebijakan pendidikan di Kabupa-

ten Jembrana. Karena itu Kabupaten Jembrana dapat dikatakan berada di depan

dalam kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Namun demikian “posisi di

Page 184: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

179

depan” itu tetap berada pada koridor kebijakan pendidikan yang ada, sesuai

dengan Pasal 50 (5) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan

bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan

menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, dan Pasal 10

(3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan

bahwa urusan pendidikan merupakan kewenangan Pemda (daerah otonom)

karena tidak termasuk di dalam kelompok urusan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,

moneter dan fiskal nasional, serta agama.

Kebijakan pendidikan model Jembrana ini memilih pola “negara kesejah-

teraan” yaitu negara menanggung kabutuhan sosial dari rakyat, khususnya di

bidang pendidikan daripada menyerahkan kepada mekanisme pasar atau swasta.

Kebijakan ini satu jiwa dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan

Kebudayaan yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, yang peme-

rintah wajib membiayainya. Tanggung jawab negara dipresentasikan sebagai

tanggung jawab Pemda dalam memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia

yang berada di Jembrana (warga daerah Kabupaten Jembrana) berhak menda-

patkan pendidikan dasar yang dibiayai oleh Pemda. Sekarang ini memang sudah

diprogramkan oleh Pemerintah Pusat dengan “wajib belajar sembilan tahun”

(Wajar Dikdas 9 Tahun) yang memang peserta didiknya dibebaskan dari biaya.

Malahan rencananya akan ditingkatkan menjadi 12 tahun, artinya sampai tingkat

SLTA.

2. Implementasi Kebijakan.

a. Birokrasi Pendidikan.

Birokrasi pendidikan Indonesia adalah hierarki jabatan-jabatan khusus di ling-

kungan Depatemen (sekarang Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan yang

didasarkan atas aturan peraturan tertulis. (Soebagio Atmodiwirio, 2000:68).

Titik beratnya adalah pada kewenangan dan kekuasaan para pejabat yang

diangkat oleh Mendibud dalam pelaksanaan tugasnya. Jadi, birokrasi di sini

Page 185: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

180

hanya meliputi jabatan-jabatan dengan segala kewenangan dan kekuasaan

serta tanggung jawabnya berada di bawah Mendikbud.

Aparat birokrasi di lingkungan Kemendikbud adalah organisasi dan tata

kerja di lingkungannya, yang pada pokoknya mencakup :

1) Sekretariat Jenderal (Setjen) yang membawahkan Biro-biro;

2) Direktorat Jenderal (Ditjen) yang membawahkan Direktorat-direktorat;

3) Inspektorat Jenderal (Itjen) yang membawahkan satu Sekretariat dan

Inspektur-inspektur;

4) Badan Penelitian dan Penelitian (Balitbang) yang membawahkan satu

Sekretariat dan Pusat-pusat Pelatihan;

5) Pusat-pusat;

6) Unit Pelaksana Teknis Sekolah;

7) Unit Pelaksana Teknis Non Sekolah;

8) Perguruan Tinggi;

9) Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) terdiri atas Kopertis Tipe A

dan Tipe B.

Sistem birokrasi pendidikan Indonesia bercirikan :

1) Penentuan kebijakan yang terpusat;

2) Hierarki kekuasaan yang jelas;

3) Pengorganisasian yang terpusat;

4) Perlakuan yang sama bagi setiap pegawai (dalam rangka karier);

5) Kontrol yang terpusat;

6) Keterbatasan bagi pelaksana teknis baik sekolah maupun non sekolah

untuk melaksanakan kebijakan;

7) Profesional dalam tugas.

Sementara itu sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah termasuk

dalam dalam bidang pendidikan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, maka sekarang di daerah (Provinsi dan Kabupaten

Kota) tidak ada lagi Kantor Kemendikbud. Urusan pendidikan dan kebudayaan

sudah dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan (dan kebu-

dayaan) Daerah.

Page 186: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

181

b. Kelembagaan Pendidikan di Tingkat Dinas.

Sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah di bidang pendidikan, maka di dae-

rah dibentuk Dinas Pendidikan. Karena tidak ada pedoman/petunjuk lebih

lanjut tentang bentuk organisasi termasuk tipenya, serta urusan yang

ditangani oleh dinas dari Kementerian Dalam Negeri berkaitan dengan

pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (berbeda

halnya pada waktu pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah), dalam kenyataannya, urusan yang menjadi tugas

pokok dan fungsi dinas ini untuk tiap daerah berbeda. Ada dinas dengan

nomenklatur Dinas Pendidikan Nasional Daerah atau Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan dengan memasukkan urusan kebudayaan ke dalamnya. Ada juga

dinas dengan nomenklatur Dinas Pendi-dikan yang tidak memasukkan urusan

kebudayaan, karena kebudayaan dimasukkan menjadi urusan yang ditangani

oleh salah satu dinas, yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah.

Pada waktu berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah, terdapat dua kelembagaan pendidikan di daerah. Di

provinsi ada Departemen Pendidikan Provinsi, dan ada Dinas Pendidikan dan

Kabudayaan Provinsi Daerah Tingkat I, di Kabupaten/Kotamadya ada Depar-

temen Pendidikan Kabupaten/Kotamadya, dan ada Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Departemen Pendidik-

an Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya merupakan kepanjangan tangan dari

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (pusat) sebagai pelaksanaan asas

dekonsentrasi, sedangkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/

Kotamadya Daerah Tingkat II sebagai pelaksanaan asas desentralisasi (otda).

Bidang tugas yang dilaksanakannya pun berbeda, Departemen menangani

teknis edukatif pendidikan dan urusan sekolah menengah (SLTP dan SLTA),

sementara Dinas menangani 3P (Pembiayaan, Perlengkapan/sarana dan pra-

sarana, serta Personil/kepegawaian), dan urusan pendidikan dasar (TK/ SD).

Sekarang ini sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, maka di

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hanya terdapat satu kelembagaan

pendidikan dengan nama Dinas Pendidikan yang murni berdasarkan asas oto-

Page 187: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

182

nomi daerah. Adapun tugasnya di kabupaten/kota meliputi urusan teknis

edukatif sekaligus 3P, serta menangani pendidikan dasar dan menengah

(TK/SD dan SLTP/SLTA). Namun ada Dinas Pendidikan yang menangani juga

urusan kebudayaan, dan ada yang tidak (karena sudah dimasukkan ke Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata).

Berbicara kebudayaan, sebenarnya pengertiannya sangat luas luas. Kebu-

dayaan tidak harus diartikan “menjual produk” berupa tampilan seni budaya,

destinasi wisata, hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi kreatif saja, yang

kemudian dimasukkan sebagai salah satu tugas dan fungsi Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata. Menurut Koentjaraningrat (2000:186-188), kebudayaan itu

ada tiga wujudnya, yaitu :

1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,

peraturan, dsb.

2) Sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat.

3) Sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama kebudayaan sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau

dipotret, lokasinya ada dalam kepala-kepala warga masyarakat di mana

kebudayaan itu hidup. Jika ide atau gagasan yang ada dalam kepala-kepala

warga masyarakat itu dinyatakan dalam tulisan, maka lokasi kebudayaan itu

sering ada dalam karangan atau buku-buku hasil karya penulis warga

masyarakat bersangkutan. Bahkan sekarang ide atau gagasan kebudayaan itu

banyak tersimpan dalam arsip, disk, microfilm, komputer, internet, dll. Ide

atau gagasan itu memberi jiwa kepada masyarakat itu dan tidak terlepas satu

sama lain, tetapi selalu berkaitan menjadi satu sistem. Para ahli antropologi

dan sosiologi menyebut sistem ini sebagai cultural systems, yaitu wujud ideal

kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia disebut adat atau adat-istiadat

untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua kebudayaan disebut sistem sosial (social systems), tentang

tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivi-

vitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta berga-

Page 188: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

183

ul satu sama lain dari detik ke detik, hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke

tahun, yang selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata

kelakuan. Hal ini sifatnya konkrit, nyata, terjadi di sekeliling kita, bisa diobser-

vasi, dipotret, dan didokumentasikan.

Wujud ketiga kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu keseluruhan

(totalitas) hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam

masyarakat, yang sifatnya paling konkrit berupa benda-benda atau hal-hal

yang dapat diraba, dilihat, atau dipotret. Misalnya benda-benda besar seperti

rumah, pabrik, candi, dll.; benda-benda kecil seperti baju, buku, ponsel, dll.;

benda-benda bergerak seperti mobil, kapal laut/udara, tampilan kesenian, dll.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas tak terpisah satu dengan yang

lainnya. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah

kepada pikiran dan tindakan manusia. Pikiran, ide-ide, tindakan dan karya

manusia menghasilkan benda-benda dan kebudayaan fisik, sebaliknya kebu-

dayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama

makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempenga-

ruhi pola-pola perbuatannya, bahkan cara berpikiranya. Sungguh pun ketiga

wujud kebudayaan itu erat berkaitan, namun untuk keperluan analisis perlu

diadakan pemisahan yang tajam, dalam arti kebudayaan dapat dilihat dengan

jelas dari aspek mana pembahasannya.

Demikianlah, maka memasukkan kebudayaan ke dalam salah satu tugas

pokok dan fungsi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, terlalu sumir, karena

hanya melihat dari satu aspek yaitu kebudayaan fisik, yang hendak “dijual” ke

publik. Padahal kebudayaan kental dengan nuansa nilai, norma/kaidah, adat-

istiadat yang keberlanjutannya perlu dengan upaya pendidikan. Maka

sepantasnya kebudayaan dimasukkan sebagai salah satu tugas pokok dan

fungsi dalam kelembagaan pendidikan. Dan ternyata di pusat kelembagaan

pendidikan ini sudah kembali menjadi sebagian dari tugas pokok Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dengan mengembalikan urusan

kebudayaan ke dalam lingkup tugasnya. Sementara Kementerian Pariwisata

tidak lagi mengurusi kebudayaan. Sayangnya di daerah, masih ada yang

Page 189: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

184

belum mengubahnya, dalam arti masih tetap ada Dinas Pendidikan dan Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata.

Latar belakang efisiensi dari penggabungan sekolah, secara keilmuan di-

dukung oleh pemikiran Herbert Simon. Menurut Simon (Riant Nugroho,

2008:117), bahwa alasan dari setiap penyelenggaraan desentralisasi mengacu

pada dua alasan dan sekaligus tujuan, yaitu efficciency and adequacy (efisiensi

dan kecukupan).

Penulis pun setuju saja apabila dengan prinsip efisiensi, kelembagaan

beberapa dinas digabungan seperti Dinas Pendidikan dengan Dinas Kebudaya-

an dan Pariwisata seperti halnya di Kabupaten Jembrana. Prinsipnya memiliki

tugas pokok dan fungsi yang selaras, tidak tumpang tindih. Hal ini mengacu

pada prinsip hemat struktur tetapi kaya fungsi. Namun ternyata banyak juga

Pemda Kabupaten yang malah memekarkan kelembagaan dinas atau

Sekretariat Daerah (Setda) yang berfungsi sebagai badan staf dan melaksana-

kan tugas koordinatif, dengan alasan kewenangan daerah, dan mengacu pada

prinsip kaya struktur dan kaya fungsi. Inilah model pemecahan masalah di

Indonesia, di mana setiap ada isu pencapaian kinerja, diikuti dengan peme-

karan atau pembentukan kelembagaan. Contohnya di Kabupaten Cianjur,

Dinas Koperasi, kendati tugas pokoknya dan fungsinya sedikit, tetap saja

dibentuk Dinas Koperasi, dengan alasan mengikuti trend karena pentingnya

koperasi sebagai soko guru perekonomian. Padahal pembinaan koperasi

merupakan tugas seluruh dinas secara koordinatif. Yang tepat justru diga-

bung dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kemudian ada Badan

Ketahanan Pangan Kabupaten, padahal ketahanan pangan mestinya merupa-

kan kerja koordinasi dari berbagai unsur atau lintas dinas, bukan merupakan

institusi sendiri. Demikian juga setiap ada Dinas, maka di lingkungan Setda

terdapat juga Bagian yang nomenklaturnya persis sama dengan Dinas,

dengan alasan untuk memudahkan koordinasi dengan Dinas-dinas bersang-

kutan. Inilah yang menyebabkan pemborosan anggaran karena setiap ada

dinas/setda tentu memerlukan biaya operasional, mobilitas, tunjangan jabat-

an, dll.

Page 190: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

185

c. Kelembagaan Sekolah.

Menurut catatan Soebagio Atmodiwirio (2000:56-57), sistem persekolahan

sejak kemerdekaan Indonesia, tercatat sebagai berikut :

1) Periode 1945 – 1950 :

a) Pendidikan rendah : Sekolah Rakyat (SR) enam tahun;

b) Pendidikan menengah umum : SMP dan SMA lama pendidikan masing-

masing tiga tahun;

c) Pendidikan menengah kejuruan, lama pendidikan tiga tahun :

- Tingkat pertama : SMEP, ST, SKP, SGB, KPKPKB (Sekolah Guru Darurat

untuk Kewajiban Belajar);

- Tingkat atas : SMEA, STM, SPMA, SKMA, SPM (Sekolah Pendidikan

Masya-rakat), SMKA (Sekolah Menengah Kehakiman Atas), SGA (Seko-

lah Guru A), SGTK, SGKP, SGPD).

d) Pendidikan tinggi : Universitas, Konservatori/Karawitan, Kursus B-1,

ASRI.

Tidak boleh dilupakan juga pada masa pra kemerdekaan adanya par-

tisipasi pendidikan swasta yang hampir seluruhnya berlandaskan keagama-

an, misalnya :

a) Islam : Pendidikan Surau, Pesantren, Madrasah, Perguruan Muhamma-

dyah (HIS, MULO, AMS, CVO, HIK), Pendidikan Ma’Arif ;

b) Kristen : Seminari untuk anak-anak dari pemuka pribumi. Selain belajar

agama di sini diajarkan juga membaca, menulis, dan berhitung. Juga

ada zending yang menyelenggarakan pendidikan dasar, sekolah latin,

seminarium theologicum, akademi pelayaran, dan sekolah Tinghwa;

c) Kebangsaan : Majlis Luhur Taman Siswa, Pendidikan INS Kayutaman.

Pada masa kemerdekaan peranserta masyarakat ini antara lain diwu-

judkan melalui pendidikan sekolah swasta yang bercirikan keagamaan

seperti : Muhammadyah, Ma’arif, Kristen dan Katholik, dan yang bercirikan

kebangsaan seperti Taman Siswa.

2) Periode 1950 – 1975 :

a) Pendidikan pra sekolah, dan pendidikan dasar : TK dan SD enam tahun;

Page 191: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

186

b) Pendidikan menengah umum : SMP dan SMA masing-masing tiga

tahun;

c) Pendidikan kejuruan :

- Tingkat pertama : SMEP, SKP, ST, STP, SGB, KPKPKB;

- Tingkat atas : SMEA, SGA, SMOA, SKMA, SPMA, SGKP,STM, SPM, SPIK.

d) Pendidikan tinggi : Universitas, Institut Teknologi, Institut Pertanian,

Institut Keguruan, Sekolah Tinggi, dan Akademi.

3) Periode 1978 – sekarang :

a) Pendidikan pra sekolah : TK, Roudhatul Athfal.

b) Pendidikan dasar : SD, MI;

c) Pendidikan menengah umum : SMP dan SMA;

d) Pendidikan menengah kejuruan :

- Tingkat pertama : ST, SKKP;

- Tingkat atas : SMEA, SMKK, STM, SPMA, SKMA, SMTK (Sekolah Mene-

ngah Teknik Kerumahtanggaan), SMPS (Sekolah Menengah Pekerja So-

sial), SMKI (Sekolah Menengah Kerajinan Industri), SMT Peb. (Sekolah

Menengah Teknologi Pembangunan), SMTP (Sekolah Menengah Tek-

nologi Pertama), SMT Grafika, SMT Penerbangan, SMSR (Sekolah Me-

nengah Seni Rupa), SMM (Sekolah Menengah Musik), STM Kimia, STM

Perkapalan.

e) Pendidikan tinggi : Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, Poli-teknik.

Catatan : Sekarang ini sekolah menengah untuk tingkat pertama seperti

SMEP, SKP, ST tidak ada lagi (dihapus). Untuk tingkat atas seperti SMEA,

SMKK, STM, SPMA, SMOA dihapus dan diganti atau masuk menjadi Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK). Kemudian SMA pernah berganti nama menjadi

SMU, namun kini sudah kembali menjadi SMA.

Kelembagaan sekolah di lingkungan Pemda Kabupaten/Kota mengikuti

pedoman dari pusat, yaitu pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan dasar

sekarang ini meliputi SD/MI enam tahun ditambah SLTP (SMP/MTs) tiga tahun,

dalam rangka pelaksanaan “Wajar Dikdas Sembilan Tahun”. Adapun pendidikan

Page 192: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

187

menengah adalah SLTA yang terdiri dari SMA, SMK, MA dan MAK baik negeri

maupun swasta. Dulu pernah ada Pendidikan Guru Agama (PGA) tiga tahun

setingkat SLTP dan PGA enam tahun setingkat SLTA berada dalam naungan

Depertemen Agama, sekarang manjadi MA. Selain itu ada juga pendidikan

prasekolah seperti PAUD dan TK, malah kini dikembangkan juga grup bermain

(playgroup).

Teknis edukatif untuk pendidikan dasar dan menengah umum mengikuti

pedoman dan juknis dari Kemendikbud, sedangkan untuk pendidikan Agama

(PAI) mengikuti pedoman dan juknis dari Kementerian Agama (Kemenag). Untuk

PAI penyelenggaraannya malah banyak dilakukan oleh masyarakat, seperti

diniyah, madrasah ibtidaiyah, dan pesantren.

3. Anggaran Pendidikan.

Pada prinsipnya dana pendidikan setiap tahun dianggarkan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sesuai dengan Pasal 49 (1)

UU No. 20 Tahun 2003 dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan

kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan

minimal 20% dari APBD. Namun di daerah dalam prakteknya banyak yang tidak

sampai 20% mengingat keterbatasan kemampuan keuangannya. Dana ini pun

sudah termasuk anggaran untuk tiap sekolah yang dimasukkan dalam APBS

dalam bentuk hibah.

Sekarang ini ada ketentuan bahwa setiap sekolah (TK/SD, SLTP, dan SLTA)

negeri tidak diperbolehkan memungut iuran sekolah dari orang tua/wali murid

karena sudah digratiskan oleh Pemerintah/Pemda. Hal ini sebenarnya menutup

kemungkinan “kepedulian” orang tua/wali murid yang mampu untuk berpar-

tisipasi dalam pembiayaan pendidikan, padahal sesuai dengan Pasal 46 (1) UU

No. 20 Tahun 2003 tanggung jawab pendanaan pendidikan itu bukan saja

terletak pada Pemerintah/Pemda, tetapi juga tanggung jawab bersama antara

Pemerintah, Pemda, dan masyarakat. Pengertian masyarakat mungkin termasuk

juga dunia usaha/swasta. Sebelumnya malah ada kebijakan dalam Manajemen

Page 193: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

188

Berbasis Sekolah (MBS), jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS)

lebih tinggi dari bantuan atau subsidi (hibah) Pemerintah/Pemda, maka keku-

rangannya pihak sekolah melalui persetujuan Komite Sekolah dapat memungut

iuran kepada orang tua/wali murid, sebaliknya jika APBS lebih rendah dari

bantuan atau hibah Pemerintah/Pemda maka pihak sekolah tidak perlu lagi

memungut iuran dari orang tua/wali murid.

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,

kecukupan, dan keberlanjutan. Untuk itu Pemerintah, Pemda, dan masyarakat

mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Adapun pengelolaan dana pendidikan dimaksud ber-

dasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Untuk sekolah-sekolah swasta bantuan atau subsidi dari Pemerintah itu bia-

sanya dalam bentuk penempatan tenaga guru negeri yang dipekerjakan (dpk)

atau diperbantukan (dpb).

4. Kurikulum.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan

bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengem-

bangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan

untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum pada semua jenjang

dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan

satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan :

a. Peningkatan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Peningkatan akhlak mulia;

c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. Tuntutan dunia kerja;

Page 194: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

189

g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h. Agama;

i. Dinamika perkembangan global;

j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :

a. Pendidikan agama;

b. Pendidikan kewarganegaraan;

c. Bahasa;

d. Matematika;

e. Ilmu pengetahuan alam;

f. Ilmu pengetahuan sosial;

g. Seni dan budaya;

h. Pendidikan jasmani dan olah raga;

i. Keterampilan/kejuruan;

j. Muatan loka.

Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat :

a. Pendidikan agama;

b. Pendidikan kewarganegaraan;

c. Bahasa.

Adapun kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan

menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Kurikulum ini dikembangkan sesuai

dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite

sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau

Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar, dan Dinas Pen-

didikan atau Kementerian Agama Provinsi untuk pendidikan menengah. Semen-

tara itu kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang

bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap

program studi.

Selama perjalanan pendidikan di Indonesia, penetapan kurikulum oleh Pe-

merintah dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Rencana pelajaran;

Page 195: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

190

b. Kurikulum tahun 1968;

c. Kurikulum tahun 1975;

d. Kurikulum tahun 1984;

e. Kurikulum tahun 1990;

f. Kurikulum tahun 2000;

g. Kurikulum Suplemen tahun 2002;

h. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004;

i. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006;

j. Kurikulum Tahun 2013 (Kurtilas).

Dalam penetapan kebijakan kurikulum khususnya dan kebijakan pendidik-

an pada umumnya, terlihat jelas bahwa dengan bergantinya Menteri (Mendik-

nas/Mendikbud) maka kecenderungannya berganti pula. Maka muncul ungkap-

an “berganti menteri berganti pula kebijakan”. Demikian juga halnya Kurtilas

oleh Mendikbud yang sekarang (Dr. Anis Baswedan) sementara dibekukan untuk

dievaluasi dan kemungkinan besar akan diganti pula. Lalu, kapan kondisi pendi-

dikan kita mantap?

5. Manajemen Sekolah.

Manajemen lebih ditekankan pada upaya untuk mempergunakan sumber daya

seefisien dan seefektif mungkin mengingat terbatasnya sumber daya yang ada.

Menurut Made Pidarta (1988:4), manajemen pendidikan adalah aktivitas

memadukan sumber-sumber daya pendidikan agar terpusat dalam mencapai

tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Yang dimaksud sumber

daya meliputi ketenagaan, dana, sarana dan prasarana, termasuk informasi.

Demikianlah, maka kemampuan seorang manajer memadukan sumber daya

tersebut merupakan hal yang sangat penting. Tentu saja di dalamnya meliputi

proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian sebagai

fungsi-fungsi manajemen. Artinya, bagaimana sumber daya itu direncanakan,

diorganisasikan, diarahkan, dan dikendalikan dalam upaya mencapai tujuan or-

ganisasi.

Dalam memahami implementasi kebijakan pendidikan di tingkat sekolah,

Page 196: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

191

isu/masalah yang mengemuka adalah filosofi keadilan dalam penyelenggaraan

pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, insentif bagi pengelola pendidikan

khususnya guru, dan upaya meningkatkan kualitas pengelola sekolah, khususnya

guru dan kepala sekolah sebagai manajer sekolah.

a. Pendidikan di tingkat sekolah silaksanakan dengan prinsip kesamaan dan

pemerataan keadilan. Implementasi kebijakan khasnya adalah tidak ada pem-

bedaan perlakuan antara murid kaya dan miskin. Logika yang berkembang

adalah pembiayaan pendidikan subsidi silang. Anak-anak orang kaya kalau

perlu membayar lebih mahal, sementara yang miskin dibebaskan;

b. Untuk mempercepat peningkatan mutu, dikembangkan model pengembang-

an berpola benchmark school, yang di Kabupaten Jembrana diberi nama

"Sekolah Kajian” dengan menganut pendekatan difusi inovasi. Difunsi inovasi

akan efektif jika inovasi dimulai dari seorang individu pemuka masyarakat

atau organisasi yang dinilai unggul, untuk kemudian terrefleksi pada orang/

organisasi lain. Mereka yang menerima inovasi pada saat pertama disebut

inovator, yang kedua disebut early adopters, selanjutnya early majority,

kemudian late majority, sedangkan yang menolak inovasi disebut laggar.

(Riant Nugroho, 2008:131);

c. Insentif khusus untuk guru. Kebijakan pengembangan mutu pendidikan mem-

butuhkan komitmen dari para guru, karena guru merupakan kekuatan utama

dalam menggerakkan sekolah. Maka pemberian insentif sangat penting dan

hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen,

bahwa Pemerintah wajib memberikan tunjangan khusus kepada guru. Untuk

hal ini kiranya Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah memperhatikan

dan merealisasikannya kendati dengan jumlah yang tidak ideal;

d. Meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah dalam rangka meningkatkan

kualitas pendidikan di tingkat mikro. Implementasi kebijakannya dilakukan

dengan memberikan pelatihan, kursus, dan subsidi biaya sekolah.

Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Kompleks karena

sekolah sebagai organisasi yang di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang

satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Unik karena menun-

Page 197: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

192

jukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak

dimiliki oleh organisasi-organisasi lain, dan memiliki karakter tersendiri di mana

terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya “pembudayaan”

kehidupan umat manusia. Itulah sebabnya sekolah sebagai organisasi memerlu-

kan tingkat kerjasama dan koordinasi yang tinggi dengan berbagai stakeholders.

Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan dari kepala sekolahnya sebagai

manajer.

Kepala sekolah yang sukses jika dia memahmi keberadaan sekolah sebagai

organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranannya

sebagai seorang manajer yang diberi tanggung jawab memimpin sekolah. Kunci

keberhasilan kepala sekolah karena peranannya :

a. Sebagai pejabat formal;

b. Sebagai manajer;

c. Sebagai pemimpin;

d. Sebagai pendidik;

e. Sebagai staf dalam hierarki kepemimpinan pendidikan yang lebih luas.

Terdapat tiga macam peran kepemimpinan dilihat dari otoritas dan status

formal seorang pemimpin. Penjelasannya sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1999:

90-93) :

a. Peranan Hubungan antar Perseorangan (Interpersonal Roles). Peranan ini

timbul akibat otoritas formal dari seorang manajer yang meliputi figurehead,

leadership, dan liaison.

1) Figurehead : Figurehead berarti lambang. Kepala sekolah sebagai lambang

mempunyai kedudukan yang selalu melekat dengan sekolah. Karenanya

kepala sekolah harus selalu dapat memelihara integritas diri agar peranan-

nya sebagai lambang tidak menodai nama sekolah.

2) Leadership (kepemimpinan) : Peranan sebagai pemimpin mencerminkan

tanggung jawab kepala sekolah untuk menggerakkan seluruh sumber daya

yang ada di sekolah, sehingga lahir etos kerja dan produktivitas yang tinggi

dalam mencapai tujuan pendidikan.

3) Liaison (Penghubung) : Kepala sekolah berperan menjadi penghubung an-

Page 198: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

193

tara kepentingan sekolah dengan lingkungan di luar sekolah. Secara inter-

nal sekolah, kepala sekolah menjadi alat perantara antara wakil kepala

sekolah, para guru, staf tata usaha, dan siswa dalam menyelesaikan kepen-

tingan mereka. Tujuan liaison adalah memperoleh informasi dari berbagai

pihak untuk keberhasilan tugas kepala sekolah.

b. Peranan Informasional (Informational Roles).

Kepala sekolah berperan untuk menerima dan menyebarluaskan/meneruskan

informasi kepada para guru, staf tata usaha, siswa, dan orang tua/wali murid.

Dalam fungsi informasional inilah kepala sekolah berperan sebagai “pusat urat

syaraf” (nerve centre) sekolah. Ada tiga macam peran kepala sekolah sebagai

pusat urat syaraf, yaitu :

1) Sebagai Motivator : Kepala sekolah selalu memotivasi bawahan dan

mengadakan pengamatan terhadap lingkungan, yaitu kemungkinan adanya

informasi-informasi yang berpengaruh terhadap kinerja sekolah seperti

sasus, gosip, kabar angin (hearsay).

2) Sebagai Disseminator : Kepala sekolah bertanggung jawab untuk menye-

barluaskan dan membagi-bagikan informasi kepada para guru, staf tata

usaha, siswa, dan orang tua/wali murid.

3) Sebagai Spokesman (Juru Bicara) : Kepala sekolah menyebarkan (transmits)

informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu. Di sini kepala

sekolah berperan sebagai wakil resmi sekolah.

c. Peranan Pengambil Keputusan (Desicional Roles).

Peran ini sangat penting karena pada prinsipnya inti dari kepemimpinan

adalah pengambilan keputusan. Terdapat empat macam peran kepala

sekolah sebagai pengambil keputusan, yaitu :

1) Entrepreneur : Kepala sekolah seolah pengusaha yang peka dan selalu

berusaha untuk memperbaiki penampilan sekolah (kinerja) melalui berba-

gai macam pemikiran program-program yang baru dan menguntungkan,

serta melakukan survey untuk mempelajari berbagai persoalan yang timbul

di lingkungan sekolah.

2) Disturbance Handler : Kepala sekolah adalah orang yang selalu memper-

Page 199: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

194

hatikan gangguan yang timbul, tidak saja akibat kurang mempertimbang-

kan situasi kondisi, tetapi juga akibat tidak mampu mengantisipasi semua

akibat keputusan yang telah diambil.

3) A Resource Allocator : Kepala sekolah bertanggung jawab atas penentuan

penjatahan siapa yang akan menerima sumber-sumber yang disediakan,

a.l. sumber daya manusia, dana, peralatan, dan berbagai kekayaan sekolah

lainnya.

4) A Negotiator Roles : Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan

pembicaraan dan musyawarah, atau menjalin komunikasi dan usaha

dengan pihak luar termasuk dunia usaha/swasta. Dalam kerjasama ini

meliputi kebutuhan pasar tenaga kerja, penempatan lulusan, penyesuaian

kurikulum, tempat praktek tenaga pengajar, dsb. Fungsi negosiator ini

akan lebih banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah kejuruan, khususnya

dengan dunia usaha dan industri.

Kepala sekolah sebagai pejabat formal, dan pemimpin-pemimpin formal

pada umumnya, akan berhasil baik dalam melaksanakan tugas-tugas kepemim-

pinannya jika selalu memperhatikan tujuh hal yang sangat berpengaruh (Wahjo-

sumidjo, Ibid:93), yaitu :

a. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku;

b. Variabel-variabel yang terjadi di dalam sekolah maupun di luar sekolah;

c. Interaksi antara sumber daya manusia (guru, staf TU, siswa, orang tua/wali

murid), sistem, dan berbagai macam peralatan dan hal-hal yang lain yang

berkaitan;

d. Efektivitas;

e. Masalah untung dan rugi;

f. Terpercaya dan berpengalaman, artinya kepala sekolah harus selalu meme-

lihara kepercayaan yang diberikan oleh atasan. Ia harus senantiasa membuka

diri untuk menerima dan mencari pengalaman sesuai dengan perkembangan

keadaan;

g. Kewibawaan, status, stres, dan konflik.

Page 200: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

195

6. Lembaga Swadaya Masyarakat Internal : Komite Sekolah.

Peningkatan mutu pendidikan di tingkat manajemen sekolah dengan member-

dayakan Komite Sekolah dan membangun tata kelola (pemerintahan) yang baik,

atau Good Governance (GG). Komite Sekolah itu dulu namanya POMG (Persatu-

an Orangtua Murid dan Guru), kemudian berubah menjadi POM (Persatuan

Orangtua Murid) yang akhirnya menjadi Komite Sekolah sekarang. Komite

Sekolah dipimpin oleh salah satu dari orang tua atau wali murid. Posisi Komite

Sekolah ini sangat strategis karena dapat membantu segala hal yang berkaitan

dengan kelancaran penyelanggaraan pendidikan sekolah.

Pendayagunaan Komite Sekolah sesuai dengan pemahaman yang tidak lagi

berpikir tentang School Based Management (SBM), namun peningkatan keefek-

tifannya. Metode yang dikembangkan adalah kontrol dari komunitas sekolah di

dalam manajemen sekolah. Manajemen sekolah yang bertatakelola yang baik

sesuai dengan prinsip GG, adalah manajemen yang mampu menyeimbangkan

pemenuhan hak dan kewajiban dari para partisipan di dalam proses pendidikan,

khususnya antara kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Pemberdayaan Komi-

te Sekolah merupakan pilihan yang dianggap efektif karena terjalinnya interaksi

dan komunikasi yang baik antara sekolah dengan pihak stakehorlders khususnya

orang tua/wali murid.

7. Lembaga Swadaya Masyarakat Eksternal : Dewan Pendidikan.

Dewan Pendidikan pertama kali dikembangkan dengan acuan Kepmendiknas

No. 044/U/2002, yang pada setiap daerah otonom dibentuk. Dewan Pendidikan

adalah badan yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkat-

kan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di daerah otonom

dimaksud. Keberadaan Dewan Pendidikan ini kemudian diperkuat dengan

memasukkannya dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang pada

Pasal 56 (2) disebutkan bahwa Dewan Pendidikan dibiayai oleh dana Pemerintah

Pusat.

Peran Dewan Pendidikan pada dasarnya merupakan wadah aspirasi dari pa-

Page 201: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

196

ra konstituen pendidikan di daerah, khususnya dalam rangka menjaga agar

kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk kepentingan pembangunan pendi-

dikan rakyat daerah, benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan tersebut. Peran

ini dibutuhkan dalam masyarakat yang berkembang menjadi masyarakat

konstituen atau stakeholders society, yang merupakan bagian penting dalam

kehidupan masyarakat dengan demokrasi modern. Hal ini menurut H.A.R. Tilaar

(2005) merupakan kondisi di mana lembaga negara berkolaborasi, baik dalam

bentuk kerjasama maupun pengawasan dan pengendalian, dengan lembaga

masyarakat. Untuk lebih jelasnya digambarkan dalam bagan di bawah ini.

Lembaga Konstituen dan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan Konstituen Luas Pendidikan Dewan Pendidikan (Masyarakat Daerah)

(Dinas?Pemda)

Penyelenggaraan Konstituen Sempit Pendidikan Komite Sekolah Orangtua Murid (Manajemen Sekolah)

Sumber : Riant Nugroho (2008:137.

Dalam prakteknya kurang berperan sebagaimana mestinya. Hal ini dimung-

kinkan karena beberapa hal. Pertama, adanya politisasi dari pihak Pemda,

karena yang diangkat menjadi Ketua adalah orang pilihan Kepala Daerah, sehing-

ga kurang memperhatikan profesionalismenya di bidang pendidikan. Kedua,

struktur organisasi dan sumber daya belum ditata secara baik, karena terdiri dari

orang-orang yang tidak kapabel dalam hal pengelolaan pendidikan, di antaranya

karena ada juga dari kalangan partai politik dan LSM.

Menurut Riant Nugroho (2008:138), marginalisasi Dewan Pendidikan ber-

beda dengan konsep kebijakan yang menjadi salah satu arus utama pada saat ini,

yaitu deliberative policy analysis model, model yang mensyaratkan bahwa setiap

kebijakan termasuk kebijakan pendidikan, dirumuskan setelah melalui proses

partisipasi yang aktif bahkan proaktif dari publik melalui civil society institutions-

Page 202: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

197

nya (kelembagaan masyarakat madani). Pemerintah (Daerah) mestinya hanya

sebagai legalisator formal saja, dan pertimbangan politis mungkin dapat diambil

ketika Dewan Pendidikan tidak mampu memberikan kontribusi optimal, dalam

arti memberi tendensi dukungan politik pada kebijakannya. Prinsip efisiensi dan

efektivitas sebagai kaidah dalam manajemen sektor bisnis, kemungkinan besar

yang menjadi latar belakang penyebabnya.

8. Kinerja Kebijakan.

Kinerja kebijakan ditandai dengan capaian angka-angka formal, yaitu Angka

Pertisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Putus Sekolah

(APS), tingkat kelulusan, dan tingkat melanjutkan pendidikan.

Kinerja kebijakan pendidikan yang baik tidak ditentukan oleh besaran ang-

garan pendidikan 20% atau lebih, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai sebuah keharusan dalam

rangka mencapai keberhasilan pembagunan pendidikan. Angka 20% lebih diteri-

ma sebagai “batas psikologis” yang dipenuhi secara “politis” dalam bentuk

melakukan penggabungan anggaran pendidikan dengan belanja pegawai (guru

dan sumber daya manusia dalam manajemen pendidikan di daerah. Padahal

yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas tersebut di atas, prosen-

tase 20% itu harus dibaca “selain” atau “di luar” gaji tenaga pendidikan dan

pendidikan kedinasan.

Dalam memahami kinerja pendidikan, yang dipergunakan sebagai acuan

haruslah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat pendidikan Pegawai Nege-

ri Sipil (PNS) atau sekarang disebu Aparatur Sipil Negara(ASN). IPM dimaksud

indikatornya adalah ekonomi khususnya daya beli, kesehatan, dan pendidikan.

Page 203: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

198

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Wahab, Solihin. 2004. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Cetakan Keempat. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Edisi 2. Jakarta : Salemba Humanika. Agustino, Leo. 2012. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Cetakan Ketiga. Bandung :

Alfabeta. Atmodiwirio, Soebagio. 2000. Manajemen Pendidikan Indonesia. Cetakan Pertama.

Jakarta : PT. Ardadizya. Atmosudirdjo, S. Prajudi. 1979. Dasar-dasar Ilmu Administrasi : Administrasi dan

Manajemen Umum. Jilid II. Cetakan Ketujuh. Jakarta : Tanpa Nama Penerbit. Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Cetakan

pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Handayani, Suci. 2006. Pelibatan Masyarakat Marginal dalam Perencanaan dan

Penganggaran Partisipatif (Sebuah Pengalaman di Kota Solo). Surakarta : KOMPIP.

Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta : Kanisius. Islamy, Irfan. 2009. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Cetakan kelima

belas. Jakarta : Bumi Aksara. Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi (ed). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks

Otonomi Daerah. Jakarta : Kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karyanusa. Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta :

Rineka Cipta. Munadi, Muhammad, dan Barmawi. Kebijakan Publik Di Bidang Pendidikan. Cetakan

I. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. Mustopadidjaja AR. 1992. Studi Kebijaksanaan : Perkembangan dan Penerapannya

dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta : Lembaga Penerbit FE-UI.

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.

Jakarta : Elex Media Komputindo.

Page 204: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

199

-----------------------. 2008. Kebijakan Pendidikan yang Unggul : Kasus Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Jembrana 2000-2006. Cetakan I. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar. -----------------------. 2012. Public Policy. Edisi keempat, Revisi 2012. Jakarta : PT. Elex

Media Komputindo. Osborne, David, dan Gaebler, Ted. 1999. Mewirausahakan Birokrasi : Mentransfor-

masi Semangat Wirausaha dalam Sektor Publik. Terjemahan Abdul Rosyid. Cetakan Kelima. Jakarta : PT. Binaman Pressindo.

Osborne, David, dan Plastrik, Peter. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi

Menuju Pemerintahan Wirausaha. Cetakan Pertama. Penerjemah Abdul Rosyid, Ramelan. Jakarta : Penerbit PPM.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara. Pusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan. 2009. Kajian Kebijakan Publik. Jakarta :

LANRI. Santoso, Amir. 1993. Analisis Kebijakan Publik : Suatu Pengantar. (Jurnal Ilmu Poli-

tik 3). Jakarta : Gramedia. Siagian, Sondang P. 2005. Administrasi Pembangunan : Konsep, Dimensi, dan Stra- teginya. Cetakan keempat. Jakarta : PT. Bumi Aksara. ---------------------------. 1996. Filsafat Administrasi. Cetakan Kedua puluh empat. Jakar-

ta : PT. Toko Gunung Agung. Suharto, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Cetakan Kelima. Bandung : Alfabeta. Sutopo dan Indrawijaya, Adam Ibrahim. 2001. Dasar-dasar Administrasi Publik. Jakar-

ta : LANRI. Sutopo dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta : LANRI. Syafiie, Inu Kencana, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Cetakan Pertama. Jakarta :

PT. Fineka Cipta. The Liang Gie. 1978. Administrasi Perkantoran Modern. Cetakan Ke-8. Yogyakarta :

Nur Cahaya. Utomo, Warsito. 2007. Administrasi Publik Baru Indonesia. Cetakan II. Yogyakarta :

MAP-UGM dan Pustaka Pelajar.

Page 205: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

200

Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah : Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik : Teori, Proses, dan Studi Kasus. Cetakan Ke-

dua. Yogyakarta : CAPS.

Page 206: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

SOAL-SOAL LATIHAN

A. Pengertian, Jenis-jenis dan Tingkat-tingkat Kebijakan Publik :

1. Menurut Thomas R. Dye, tidak melakukan sesuatu pun merupakan kebijakan publik. Coba jelaskan dan berikan contohnya!

2. Jelaskan tentang Substantive and Procedural Policies, dan berikan contohnya masing-masing!

3. Jelaskan tentang Distibutive, Redistributive and Regulatory Policies, dan berikan contohnya masing-masing!

4. Jelaskan tentang Public Good and Private Goods Policies, dan berikan contohnya masing-masing!

5. Jelaskan kebijakan publik lingkup nasional! 6. Jelaskan kebijakan publik lingkup daerah!

B. Sistem, Proses, dan Siklus Kebijakan Publik :

1. Jelaskan tentang unsur-unsur dalam sistem kebijakan publik! 2. Jelaskan tentang tiga bentuk kebijakan publik dilihat dari implemen-

tasinya! 3. Jelaskan tahap-tahap dalam proses kebijakan publik! 4. Gambarkan bagan siklus kebijakan publik!

C. Peran Informasi dalam Kebijakan Publik :

1. Jelaskan perbedaan data dengan informasi! 2. Jelaskan syarat-syarat informasi yang baik! 3. Jelaskan pentingnya informasi dalam pembuatan kebijakan publik! 4. Jelaskan metodologi analisis kebijakan yang dapat memberikan informasi

untuk menjawab lima bentuk pertanyaan! D. Agenda Setting :

1. Jelaskan yang disebut isu atau masalah, dan isu krusial! 2. Jelaskan apa yang dimaksud agenda dan agenda setting! 3. Jelaskan tentang Systemic Agenda dan Governmental Agenda! 4. Mengapa isu-isu yan g ada di dalam masyarakat tidak semuanya masuk

dalam agenda sistemik, dan apa syaratnya agar dapat masuk ke dalam agenda setting?

5. Jelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalahan masyarakat dapat masuk ke dalam agenda pemerintah!

Page 207: Bahan Ajar Kebijakan Publik (Naskah)

E. Perumusan Kebijakan Publik :

1. Jelaskan pengertian masalah menurut David G. Smith! 2. Jelaskan pengertian peristiwa menurut Jones yang terkait dengan

perumusan masalah kebijakan publik! 3. Jelaskan pengertian public problem dan private problem! 4. Jelaskan langkah-langkah perumusan kebijakan publik! F. Implementasi, Monitoring, dan Evaluasi Kebijakan Publik :

1. Jelaskan te ntang pentingnya implementasi kebijakan publik! 2. Jelaskan tentang implementation gap! 3. Jelaskan tentang kebijakan yang tidak dapat diimplementasikan (non-

implementation) dan berikan contohnya! 4. Jeaskan tentang kebijakan yang implementasinya kurang berhasil

(unsuccessfull implementation), dan berikan contgohnya! 5. Jelaskan pengertian monitoring kebijakan! 6. Jelaskan empat tujuan monitoring kebijakan! 7. Jelaskan pengertian evaluasi kebijakan! 8. Jelaskan kesulitan-kesulitan dalam evaluasi kebijakan!

G. Analisis Kebijakan Publik :

1. Jelaskan tentang dua dimensi kebijakan publik! 2. Jelaskan pengertian analisis kebijakan publik! 3. Jelaskan faktor-faktor strategis yang mempengaruhi perumusan kebijakan

publik! 4. Jelaskan aspek-aspek kebijakan publik!