Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009
description
Transcript of Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009
5/13/2018 Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-konfigurasi-pemilih-dalam-pemilu-2009 1/5
1
Bagaimana Konfigurasi Pemilih Pemilu 2009
Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi Dosen Sosiologi Politik UIN Yogyakarta
Dimuat harian Suara Mandiri berturut-turut tanggal 6-7 April 2009
Tinggal beberapa hari lagi rakyat akan menuju bilik suara untuk menentukan pilihannya
dalam pemilu 2009 ini, entah rakyat sudah benar-benar paham siapa caleg yang layak untuk
mereka pilih dan siapa caleg yang tidak. Hingga kini, rakyat belum dicerahkan dalam soal pemilu
2009 ini, tidak saja masa kampanye dilakukan dengan cara-cara yang kurang elegan, tetapi juga
mobilisasi massa dengan uang untuk menghadiri kampanye terbuka hampir dilakukan oleh semua
partai besar, kecuali itu – hanya sebagian kecil rakyat yang benar-benar melek politik.
Meskipun para caleg dan partai telah mengerahkan seluruh energi untuk memperoleh
dukungan rakyat, tetap saja suara para pemilih masih misteri hingga hari H pemilihan – hal ini
pertanda, bahwa proses politik yang demokratis tampaknya akan berlangsung. Misterinya suara
pemilih tidak seluruhnya disebabkan mereka merahasiakan suaranya – karena pemilih yang
memiliki keluarga yang menjadi caleg, hampir pasti suaranya akan dikerahkan kepada partai
yang mencalonkan keluarganya.
Misterinya suara pemilih dan kapan keputusan mereka akan diambil (voters decision-
making process) merupakan fenomena umum yang terjadi dalam sejumlah pemilu, baik di negara
maju maupun berkembang, termasuk kiat di Indonesia. Tulisan ini akan menganalisis seputar
keputusan pemilih dalam memberikan suaranya pada pemilu 9 April 2009 mendatang.
Pemilih Loyalis Pada Pemilu 2009
Semakin transparannya kehidupan politik bangsa membawa implikasi pada kebebasan
rakyat untuk memilih. Di masa lalu, pemilih (rakyat) diarahkan kepada salah satu partai politik
pendukung rezim berkuasa (Golkar) dengan berbagai cara termasuk dengan cara intimidasi untuk
memperoleh pemilih loyalis yang dapat melanggengkan status-quo. Kini pemilih sudah bebas
menentukan pilihannya, kepada siapa, partai mana – hingga kini masih sebuah tanda tanya.
Pengambilan keputusan pemilih menurut Bambang Cipto (1999) akan dipengaruhi oleh tiga tolok
ukur;
Pertama, party identification – yang biasa dikenalkan sebagai loyalitas pemilih sangat
menentukan keberhasilan sebuah partai, terutama dalam sistem partai yang telah mapan. Semakin
stabil sistem kepartaian, akan dengan sendirinya – loyalitas pemilih tradisional akan terjaga dan
5/13/2018 Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-konfigurasi-pemilih-dalam-pemilu-2009 2/5
2
menjadi pendukung setia partai itu, tetapi – kalau kondisi politik yang carut-marut akan
berimplikasi sangat jauh kepada pemilih, artinya loyalitas pemilih sulit terjaga, karena sistem
politik masih sementara mencari format yang tepat. Sistem partai yang sudah mapan akan terjaga
loyalitas pemilih tradisionalnya. Tetapi kalau sistem politik dan pemilihannya terus-menerus
mengalami perubahan akan membawa kondisi ketidak-stabilan pada massa pemilih. Akibatnya,
merosotnya loyalitas pemilih tradisional, oleh karena munculnya partai-partai baru. Misalnya,
pada Pemilu 1999 dan 2004, pemilih tradisional mungkin terjaga disejumlah daerah karena
tokoh-tokoh partai tersebut yang berkuasa di daerah sehingga dapat memenangkan Pemilu lokal.
Pada Pemilu 2009, pemilih tradisional itu tergeser dengan kehadiran partai baru seperti Hanura,
Gerindra, selain Demokrat dan partai-partai lainnya.
Kedua, issue of candidate and party. Untuk menentukan ke arah manakah pemilih akan
menjatuhkan pilihan pada hari H Pemilu, akan sangat tergantung kepada figur (caleg) dan partai
dalam menjual isu-isu strategis bagi perbaikan kondisi rakyat dan bangsa. Lazimnya partai
dominan dalam sistem otoritarian akan menjual isu kemapanan dan keberhasilan mereka dalam
membuat kebijaksanaan (baca isu swasembada pangan) yang dieksploitasi oleh beberapa partai
berkuasa. Banyak elite partai dan caleg pada Pemilu ini – sebagaimana juga yang pernah terjadi
pada Pemilu sebelumnya, mengumbar janji- janji yang “bombastis” pada kampanye Pemilu nanti,
meskipun janji itu tidak akan diperjuangkan secara serisu bila terpilih
Problem serius segera kita peroleh, apakah pemilih akan mudah mempercayai janji-janji
para politisi dalam kampanyenya? Soalnya, rakyat juga segera menyadari penipuan yang terus-
menerus mereka peroleh pada setiap Pemilu, padahal mungkin jalan dan prasarana di tempat
tinggal mereka belum pernah diperhatikan oleh elite politik yang mengumbar janji bohong pada
setiap pemilu. Selama ini hubungan antara politisi dengan pemilih dijalin dalam pola patron-
client, selaku patron, politisi merasa selalu akan didukung oleh klien yang tergantung pada kerja
mereka. Nampaknya, pola hubungan semacam itu tidak lagi relevan diteruskan dalam politik yang berubah, karena rakyat yang selama ini menjadi klien semakin rasional dan cerdas dalam
menentukan pilihan. Mereka akan memilih figur yang bermoral alias bukan politisi busuk, bukan
politisi bermasalah, tetapi politisi jujur dan diharapkan dapat membawa perubahan bagi
kehidupan mereka sebagai rakyat.
Isu yang berkaitan dengan ideologi akan mengalami kemerosotan pada pemilu 2009 –
meskipun isu ideologi memperoleh momentum yang tepat pada pemilu 1999 dan isu ideologis
akan terus dipelihara oleh politisi-politisi ideologis. Menguatnya isu ideologis tahun 1999, karena
rakyat masih dalam alam euforia atau arus “mabuk” politik dan demokrasi yang melanda rakyat
kita. Pada pemilu 9 April 2009 akan semakin rasional, pragmatis, praktis dan aktual isunya – dan
5/13/2018 Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-konfigurasi-pemilih-dalam-pemilu-2009 3/5
3
bukan lagi isu-isu utopis dan filosofis yang dijual kepada rakyat, karena isu demikian hampir
pasti tidak laku.
Ketiga, candidate’s (party elite’s) personality, style, and performance. Caleg partai politik
mungkin telah ada yang menghabiskan uang ratusan juta atau bahkan miliaran guna dikenal oleh
massa pemilih dengan berbagai cara, gaya, dan upaya – umpamanya membagi-bagikan kalender
yang mencantumkan foto, nama calon dan partainya, mungkin ada yang membagi-bagikan
sembako, ada pula yang bagikan selembar kartu kecil sebesar kartu nama dalam jumlah yang
banyak. Belum lagi pada hari H kampanye dan pemungutan suara, caleg akan keluarkan uang
yang tidak sedikit. Sebagai contoh, seorang kandidat parlemen Jepang pada tahun 1996
menghabiskan tidak kurang dari US $800.000 untuk menyelenggarakan kampanye. Dana sebesar
itu dipergunakan untuk menandingi calon-calon lain.
Mereka yang memiliki sumber keuangan yang besar melakukan banyak hal agar dapat
tampil prima dihadapan pemilih, hal ini akan menggeser loyalitas yang semula terpelihara,
sehingga loyalitas dapat direkayasa dalam waktu yang relatif singkat. Suksesnya Mahathir
Muhammad sebagai pemimpin kharismanya Malaysia misalnya, karena ia mampu tampil prima
dihadapan massa loyalisnya dan menguasai media strategis, atau suksesnya Bill Clinton dan
Barack Obama, antara lain, karena ia tampak selalu tampil prima dalam setiap kesempatan dan
mampu menyihir para pendukung maupun penentangnya.
Selain itu, kefiguran puncak partai, akan sangat menentukan loyalitas pemilih tradisional,
selain kerja-kerja ekstra para caleg (DPR/DPRD) dengan tampil maksimal dihadapan pemilih
pada saat kampanye. Elite-elite lama akan segera tergeser dengan kehadiran elite baru dengan
partai baru – yang barangkali jauh lebih “menjanjikan” daripada elite lama yang cenderung
mempertahankan status-quo. Dalam sistem politik yang mapan seperti Indonesia, loyalitas
pemilih terhadap partai ditentukan oleh kondisi-kondisi sosio-politik yang dihadapi, selalu
mengambang dan menyebar. Pemilu 1999, PDIP menang, pemilu 2004 Golkar yang menang, danpemilu 2009 menurut hasil survei Demokrat yang kemungkinan menang, itu berarti loyalitas
pemilih selalu mengikuti kecendrungan perubahan.
Volatilitas Pemilih Pemilu
Menurut Scott Mainwaring (1998) volatilitas adalah gejala pergeseran kesetiaan pemilih
dari satu partai ke partai lain dari satu pemilihan ke pemilihan lain. Gejala semacam ini pada
mulanya diidentifikasi dalam proses pemilihan di Amerika pada dekade 80-an ketika penggunaan
televisi dan multimedia lainnya semakin tak terhindarkan dan bahkan sangat menentukan
5/13/2018 Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-konfigurasi-pemilih-dalam-pemilu-2009 4/5
4
keberhasilan calon khususnya calon presiden ( Dye and Zeigler, 1983, American Politics in the
Media Age)
Media massa (televisi dan cetak) sedikit-banyak akan mempengaruhi keputusan pemilih,
sehingga keputusannya menjadi tidak stabil. Sebagai contoh, ketika Carter yang semula
diunggulkan bakal terpilih kembali, menurut sebuah polling, ternyata pada hari-hari terakhir
sebelum pemilihan Presiden diselenggarakan justru ditinggalkan dengan cepat oleh Ronald
Reagan. Reagan terpilih sebagai Presiden karena tim kampanyenya memahami dan
memanfaatkan semaksimal mungkin sikap pemilih Carter yang tidak menentu (volatile) akibat
ulahnya yang kurang meyakinkan dalam menyelesaikan kasus penyenderaan diplomat Amerika
di Teheran.
Gejala serupa dapat ditemukan di Amerika Latin, ketika berakhirnya rezim militer yang
diikuti dengan berdirinya partai dalam jumlah yang banyak, membuat partai lama berguguran.
Kesimpulan yang menarik dari Mainwaring, bahwa akibat dari volatilitas kesetiaan pemilih
membuat pola pemilihan di Brasil menjadi personalistic pattern of voting. Artinya, person atau
elite partai menjadi jauh lebih menentukan di bandingkan dengan partai atau lambang partai.
Gejala semacam ini belum menjadi trend dalam politik bangsa kita, karena banyaknya
politisi diasporal (politisi-politisi lama yang sudah tersisih dari partai status-quo) – mereka bisa
berubah bentuk dan “menyelipkan” dirinya dalam partai reformis dan lantang meneriakkan
reformasi. Barangkali volatilitas ini hanya dapat berlaku di perkotaan yang memiliki akses
informasi yang memadai dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi – bila dibandingkan
dengan rakyat pelosok pedesaan yang jauh dari informasi dan keterbelakangan dalam banyak
hal, mereka umumnya pemilih loyalis (tradisional).
Muncul tenggelamnya elite-elite dan partai politik pasca Orde Baru mencerminkan proses
transisi demokrasi terus berlangsung, partai-partai baru dengan tokoh-tokohnya yang popular
akan mengeksploitasi sang tokoh untuk mempengaruhi massa, partai-partai lama yang sulitmempertahankan jaringan organisasi partai akan segera tersisih dari pentas politik nasional,
setidaknya massa yang tak menentu – yang sebelumnya memilih partai tersebut akan segera
mengalihkan dukungannya kepada partai baru dengan elite-elitenya yang jauh lebih menjanjikan.
Pemilu: Sarana Transformasi Sosial
Pemilu yang berlangsung 9 April nanti tentu akan berbeda dengan pemilu-pemilu yang
pernah lewat termasuk pemilu 1999 dan 2004 yang disebut sebagai pemilu yang relatif bebas dan
demokratis, meskipun memunculkan dugaan tentang keterlibatan militer, baik pada pemilu 1999
maupun 2004. Pentingnya pemilu nanti, karena yang akan dipilih tidak lagi partai politik, tetapi
5/13/2018 Bagaimana Konfigurasi Pemilih dalam Pemilu 2009 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/bagaimana-konfigurasi-pemilih-dalam-pemilu-2009 5/5
5
calon-calon dari partai yang telah diurut berdasarkan mekanisme internal partai yang transparan
dan demokratis, calon terpilih sebagai wakil rakyat adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak.
Pemilu 2009 akan meneruskan political change yang telah dirintis oleh pemilu 1999 dan
2004. Ia akan menguatkan sistem politik dan pemerintahan, juga akan menentukan layak atau
tidaknya sebuah partai politik mencalonkan elitenya sebagai Presiden pada Pilpres yang
diselenggarakan Juli 2009. Karena begitu pentingnya pemilu 9 April, pemilih harus pandai
membedakan antara figur (caleg) yang bermasalah, caleg yang masuk dalam kategori politisi
busuk, politisi hitam – meskipun caleg itu berada dalam partai reformis. Pemilih harus
menjatuhkan pilihan pada caleg yang jujur dan bersih. Pemilu nanti akan dilihat sebagai bentuk
ganjaran (rewards) dan sanksi (sanction) bagi para politisi bermasalah, sekaligus hukuman bagi
partai yang mencalonkannya.
Pilihan rakyat akan ditentukan seberapa jauh kalangan civil society sebelum pemilu 9 April
ini mensosialisasikan jenis politisi bermasalah dan politisi kutu loncat kepada pemilih, dengan
luasnya sosialisasi akan memungkinkan pemilih dapat memberi rewards and sanction kepada
politisi bermasalah tersebut. Tanpa sosialisasi yang menjangkau massa pemilih tradisional akan
berimplikasi kepada kembalinya politisi bermasalah di arena politik nasional dan lokal
(khususnya di Mbojo) – atas nama pemilihan yang demokratis mereka menguasai proses
pengambilan kebijakan.
Politisi bermasalah masih banyak bertebaran di sejumlah partai besar, di Mbojo fenomena
tersebut merupakan fenomena yang lumrah, karena transformasi politik dan perilaku para
aktornya belum sepenuhnya berhasil, setidaknya membangun integritas partai yang sehat dan
demokratis, partai yang terbebas dari politisi bermasalah atau politisi yang standar rendah.
Pemilih (perkotaan dan pedesaan) harus dihindarkan dari jebakan politisi bermasalah atau
dulu kita mengenai mereka dengan politisi hitam atau politisi busuk – mereka (politisi hitam danbusuk) akan mengerahkan seluruh energi untuk memperoleh legitimasi dan terpilih sebagai wakil
rakyat. Political education dan sosialisasi mesti memperoleh bagian yang besar dari kelompok
civil sciety untuk mendapatkan hasil pemilu yang bertanggungjawab. Mengabaikan sosialisasi
dan political education sama saja dengan membiarkan politisi busuk dan politisi hitam hadir
sebagai yang dominan pada pemilu mendatang. Wallahu a’lam bi shawab