Bag. 3-Isi

download Bag. 3-Isi

If you can't read please download the document

Transcript of Bag. 3-Isi

TUGAS AKHIR PENGANTAR HUBUNGAN INTERNATIONAL II

PRO- KONTRA: LEGALITAS HUMANITARIAN INTERVENTION (Analisis Pemberitaan Intervensi Kemanusiaan dalam Surat Kabar KOMPAS)

Dosen: Drs. Arry Bainus, M.A Wawan B. Darmawan, S. IP., M. Si Dadan Suryadipura, S. IP Satriya Wibawa, S.IP., M. Si

Disusun oleh: Resti Regina 170210070074

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) hingga saat ini masih menjadi suatu perdebatan di kalangan pen-studi maupun praktisi hubungan internasional. Kontroversi seputar intervensi kemanusiaan muncul dari pergesekkan antara prinsip kedaulatan (sovereignty) yang dimiliki tiap negara dan prinsip non-intervensi (non-intervention) yang hidup dalam hubungan antar negara dengan prinsip kemanusiaan yang kini menjadi prinsip yang bersifat universal, di mana umat manusia berkomitmen untuk memelihara hak-hak dasar kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan menjadi konsep yang legalitasnya cair; tindakan nyata dalam penanggulangan bencana kemanusiaan mendesak dilakukan sementara bayangan pelanggaran prinsip-prinsip kehidupan antar negara terus mengikuti. Adanya keyakinan bahwa negara merupakan pelayan warganya menuntut negara untuk melakukan perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki warganya itu. Lalu bagaimana ketika negara tidak mampu mengatasi masalah kemanusiaan, bahkan menjadi penyebab munculnya masalah kemanusiaan di tengah-tengah warga negara bersangkutan? Identifikasi konsep intervensi dan kemanusiaan merupakan hal sangat penting. Disamping itu, konsep legalitas yang mendasari kontroversi dari intervensi kemanusiaan juga menjadi hal penting untuk dibahas agar dapat diketahui kapan masalah kemanusiaan yang terjadi dapat dijadikan sebagai dasar bagi dilakukannya intervensi kemanusiaan dan siapa yang

berhak melakukan intervensi kemanusiaan tersebut. Oleh karena itu, dalam penulisan ini penulis akan memaparkan bagaimana pandangan dari beberapa jurnalis mengenai konsep intervensi kemanusiaan baik yang dilakukan oleh negara ataupun organisasi internasional dan bagaimana kontroversi ini terus berlanjut menjadi dilema tersendiri dalam masyarakat internasional untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan terutama pada kasus Intervensi AS di Irak dan NATO.di Kosovo. 1.2 Permasalahan 1.2.1 Identifikasi Masalah Konsep intervensi secara umum dianggap memberikan nuansa ketidakterimaan negara yang diintervensi untuk menerima praktek campur tangan pihak asing. Intervensi dianggap terjadi karena ketidakberdayaan negara target untuk menolak tekanan asing itu dan jika dikaitkan dengan konsep kemanusiaan, bisa diakibatkan dari ketidakberdayaannya menghadapi krisis kemanusiaan yang terjadi. Yang perlu diperhatikan semenjak awal adalah bahwa intervensi kemanusiaan, sebagaimana intervensi secara umum, tidaklah hanya dalam pengertian penggunaan kekuatan militer saja. Intervensi juga bisa dilakukan melalui instrumen lain seperti ekonomi dan politik. Di samping itu, aktor yang melakukan intervensi bukan hanya negara saja, tetapi organisasi internasional pun dapat menjadi aktor yang melakukan intervensi. Dalam khazanah hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan telah menimbulkan perdebatan yang hangat. Perdebatan timbul karena doktrin tersebut berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum international, yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip nonintervensi. Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi dalam pasal-pasal berikutyang berbunyi:11 Chris Pearson. 2009. Doktrin Intervensi Kemanusiaan dalam hukum Internasional. Melalui

3

Pasal 2 (1): The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members. Pasal 2 (4) : All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations. Pasal 2 (7) : Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present charter, but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII. Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober 1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang Berkaitan dengan Piagam PBB.2 Namun, dalam praktek negara-negara dewasa ini, prinsip-prinsip tersebut kerap dilanggar dengan alasan-alasan kemanusiaan. Dalam hal ini, kasus Intervensi Kosovo tahun 1999 dapat dijadikan bukti bahwa doktrin tersebut telah dilakukan oleh negara-negara dalam hubungan internasionalnya. Tindakan negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional yanghttp://senandikahukum.wordpress.com/ [13/04/09]. 2 Ibid.

merupakan tujuan dibentuknya PBB. Atas dasar itulah mengapa beberapa negara mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan dalam hukum internasional. Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antarnegara. Indikasinya dapat terlihat dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (1948) serta International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. Sebagian pendapat dari para pakar hukum internasional mengindikasikan bahwa doktrin intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. Hal ini dikarenakan doktrin tersebut bertentangan dengan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional, yaitu prinsip non-intervensi. Prinsip non-intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap peremptory norm (jus cogens).3 Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens. Menurut Schwarzerberger untuk membentuk jus cogens internasional, suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas yang yang bersangkutan harus mempunyai arti yang luar biasa dalam hukum internasional di samping arti penting istimewa dibandingkan dengan asasasas lainnya. Selain itu, asas-asas tersebut merupakan bagian esensial daripada sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik3 Jianming Shen. 2001. Then Non Intervention Principle and Humanitarian Intervention under International Law, International Legal Theory. hlm.1.

5

yang merupakan refleksi dari hukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu: kedaulatan, pengakuan, pemufakatan, itikad baik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.4 Sedangkan menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi jus cogens hukum internasional yaitu: a. Kepentingan internasional. b. Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.c. Sesuai atau selaras dengan piagam PBB.5

bersama

dalam

masyarakat

Kemungkinan sebuah prinsip menjadi jus cogens sangat mungkin dalam hukum internasional jika telah melewati tahapan yang diajukan oleh beberapa pendapat para ahli tersebut. Namun, dalam perkembangan hukum internasional, setiap ketentuan dan norma itu selalu berubah sesuai dengan ketentuan zaman, lalu bagaimana menentukan sebuah prinsip dapat dipertahankan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dikecualikan dalam praktek-praktek negara menurut hukum internasional. Shen menyandarkan pendapatnya bahwa prinsip non-intervensi telah masuk dalam kategori jus cogens berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional dan keputusan Mahkamah Internasional. Pasal 2(4) Piagam PBB menurut beliau merupakan dasar utama yang harus dirujuk ketika mengatakan bahwa prinsip non-intervensi merupakan sebuah jus cogens. Ketentuan piagam tersebut kemudian didukung oleh deklarasi yang dibuat oleh majelis umum PBB tentang Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and Soverei. Dalam paragraf pertama deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap negara tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun, di dalam4 Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2003. Hukum Internasional. hlm. 171. 5 Ibid. hlm. 176.

urusan dalam dan luar negeri sebuah negara.6 Deklarasi tersebut diteguhkan kembali oleh masyarakat internasional melalui deklarasi majelis umum PBB, yang dikenal dengan, Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations. Deklarasi tersebut tidak hanya mengutuk sebuah tindakan intervensi, namun juga menyatakan bahwa tindakan intervensi merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum internasional, sehingga perihal intervensi akan masuk dalam sebuah tanggung jawab internasional.7 Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka prinsip non-intervensi dapat dikategorikan sebagai jus cogens. Namun, tidak semua pakar hukum internasional sepakat bahwa prinsip non-intervensi dapat dikategorikan sebagai sebuah jus cogens. Alasan mereka adalah bahwa prinsip non intervensi bukanlah sesuatu yang absolut. Masih dimungkinkan menurut hukum internasional untuk melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya berdasarkan penafsiran atas pasal 2 (4) Piagam PBB. Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations).8 Menurut hasil penelitian DAmato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.9 Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi6 Jianming Shen, op. cit. hlm. 3-4. 7 Ibid. 8 Yoram Dinstein. 1994. War, Aggression and Self-Defence, Second Edition. hlm. 89. 9 Anthony DAmato. 2001. There is no Norm of Intervention or Non Intervention in International Law, International Legal Theory. hlm.20.

7

manusia pada suatu negara. Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar piagam PBB. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Teson, menurut beliau kekerasan bersenjata hanya dilarang oleh PBB jika melanggar;a. when it impairs the territorial integrity of the

target state; b. when it affects its political independence; orc. when it is otherwise against the purposes of the

United Nations.10 Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh ketentuan pasal 2(4). Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia (Pasal 1 (3) Piagam PBB). Menurut DAmato, sejak tahun 1945 dan lahirnya konvensi tentang pelarangan genosida, deklarasi HAM universal, maka kewenangan negara untuk bertindak sewenang-wenang atas warganya telah dibatasi. Batas teritorial sudah tidak menjadi permasalahan dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.11 Kedaulatan negara yang biasanya menjadi alasan bahwa intervensi kemanusiaan tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional secara kontekstual telah gagal. Pendapat ini diberikan oleh Hans Kelsen, menurut beliau, bahwa tujuan adanya hukum internasional adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri. Sejak individu menjadi subyek hukum internasional, maka sebenarnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang mendelegasikan kewenangannya kepada negara.12 Jadi, ketika negara telah melanggar hak-hak individu, maka para individu tersebut10 Eric Adjei. 2005. The Legalitiy of Humanitarian Intervention, hlm. 29. Melalui http://www.wordpress.com [13/04/09]. 11 Anthony DAmato, op. cit. hlm.21. 12 Hans Kelsen. 2007. General Theory of Law and State (alih bahasa oleh Somardi). hlm.414415.

dapat meminta bantuan kepada pihak lain (negara atau organisasi internasional) untuk memulihkan hak-hak mereka. Pada saat itulah intervensi kemanusiaan menjadi eksis dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerjasama (bantuan) demi melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia. Praktek-praktek negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah preseden, bahwa intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Intervensi kemanusiaan merupakan sebuah kewajiban tiaptiap negara. Doktrin tersebut bukan merupakan hak seperti hak membela diri. Doktrin tersebut menjadi eksis ketika terjadi sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi kemanusiaan hanya bisa dilakukan secara kolektif melalui otoritas dewan keamanan dengan membentuk kerjasama internasional. Hal ini didasarkan melalui piagam PBB bab VII, yang merupakan pasal tentang pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan secara unilateral atau kolektif tetapi tanpa adanya otoritas dari dewan keamanan. Kritik yang sering disorot atas legitimisi penggunaan kekerasan atas nama intervensi kemanusiaan oleh adalah seringnya tindakan tersebut dan disalahgunakan bukanlah negara kuat untuk menekan hukum, doktrin kebebasan

kemerdekaan negara lemah. Shen menyatakan, intervensi kemanusiaan sebuah persoalan tersebut merupakan permasalahan kepentingan (interest), kekuatan (power) dan dominasi (dominance).13 Kritik itu dihadapi oleh pembela legitimasi intervensi kemanusiaan dengan sebuah analogi polisi dengan kantor polisi. Jika ada seorang polisi yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, apakah kemudian untuk meminimalisir penyelewengan tersebut kita harus menutup semua kantor polisi? Jawabannya tentu tidak. Begitupun dengan intervensi13 Jianming Shen, op.cit. hlm. 9.

9

kemanusiaan, tugas hukum internasional dan masyarakat internasional adalah bagaimana melindungi dan mempromosikan agar pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi, bukannya menghapus intervensi kemanusiaan. Prinsip lain yang melegalkan dilakukannya intervensi adalah prinsip pembelaan diri (self defence) yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi:14 Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of theSecurity Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersurat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux preparatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Pengaturan hak tersebut memiliki presedenya apabila dikaitkan dengan Kellog-Briand Pact 1928. Dalam perjanjian tersebut hak pembelaan tidak disebutkan secara tersurat, namun menurut Tuan Kellog, sekretaris negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa hak membela diri merupakan sesuatu yang inherent atau melekat, sehingga penyebutannya dalam sebuah kata tidak lagi diperlukan.15 Hak membela diri yang diatur dalam pasal tersebut dapat dilakukan oleh negara dengan beberapa pembatasan. Pertama, hak tersebut dapat14 Goodrich dan Hambro. 1949. Charter of The United Nations Commentary and Documents. hlm. 299. 15 Ibid.

dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata (armed attack). Pemilihan kata armed attack dan tidak forces seperti tersurat dalam pasal 2 (4) merupakan sebuah kemajuan. Dengan menggunakan kata armed attack maka pengertiannya menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kedua, setelah dewan keamanan mengambil tindakan yang perlu untuk memelihata perdamaian dan keamanan internasional. Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya. Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4), maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai perdamain dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangkan hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik.16 Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri.17 Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri.16 Rosalyn Higgins. 1994. Problem and Process International Law and How We use it. hlm. 238. 17 J.L. Brierly. 1955. The Law of Nations. hlm. 316.

11

Pendapat Bowett inilah kemudian yang memunculkan doktrin anticipatory self-defence atau yang sering dipraktekan oleh Amerika sebagai serangan pencegahan (pre-emptive strike).18 Ada dua pandangan mengenai hak membela diri:1. Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan

yang dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut. Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang terusmenerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus berlangsung.192. Hak membela diri dilakukan apabila telah terjadi sebuah

serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51 tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri.20 Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara (individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian18 D.J. Harris. 1998. Cases and Materials on International Law, Fifth Edition. hlm. 897. 19 Ibid. hlm. 898. 20 Ibid. 897.

dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak. 1.2.2 Pembatasan Masalah Dari pemaparan identifikasi masalah di atas, terlihat luasnya permasalahan yang akan dibahas. Mengingat hal tersebut, maka penulis memberikan batasan masalah dengan memfokuskan pembahasan pada pandangan dari beberapa jurnalis terhadap intervensi kemanusiaan dalam kasus intervensi AS di Irak dan Intervensi NATO di Kosovo terkait dengan legalitas intervensi kemanusiaan menurut hukum internasional. 1.2.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah: a. Sejauh mana pandangan jurnalis terhadap masalah kemanusiaan di suatu negara dijadikan alasan untuk dilakukannya intervensi oleh suatu negara atau organisasi internasional. b. Sejauh mana pandangan jurnalis terhadap ke-efektif-an intervensi kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang ada di suatu negara. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir semester sekaligus sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pengantar Hubungan Internasional II, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, tahun ajaran 2008/2009.

13

1.3.2

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui KOMPAS terhadap intervensi kemanusiaan

pandangan dari surat kabar

yang dilakukan baik oleh negara ataupun organisasi internasional dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan berdasarkan legalitas intervensi kemanusiaan berdasarkan hukum internasional. 1.4 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1.4.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah: Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.21 Sedangkan Nazir mendefinisikan metode deskriptif sebagai berikut: Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.22

21 Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Hlm. 3. 22 Mohammad Nazir. 2003. Metode Penelitian. Hlm. 54.

Dalam penelitian ini, peneliti akan memaparkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai konsep intervensi kemanusiaan berkaitan dengan kedaulatan dan prinsip non-intervensi serta berbagai pandangan mengenai intervensi kemanusiaan baik menurut para ahli maupun berdasarkan hukum internasional. 1.4.2 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik studi kepustakaan (library research), yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber dari buku-buku, surat kabar, jurnal, serta sumber-sumber informasi lainnya seperti data-data yang terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang relevan. Teknik studi kepustakaan ini digunakan untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai tinjauan pustaka, pembahasan teori dan konsep yang relevan dalam penelitian ini, yaitu mengenai konsep intervensi kemanusiaan, kedaulatan dan prinsip nonintervensi, serta berbagai pendapat mengenai intervensi kemanusiaan baik menurut para ahli maupun berdasarkan hukum internasional. 1.5 Metode Analisis Ada beberapa metode yang digunakan untuk menganalisa berita, yaitu: analisis isi (content analysis), analisis faming (framing analysis), analisis wacana(disccourse analysis), dan analisis semiotik (semiotic analysis). Semuanya memiliki tujuan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan target pelaku analisis.23 Dalam menganalisis pemberitaan intervensi kemanusiaan dari kasus intervensi AS di Irak dan NATO di Kosovo dalam surat kabar KOMPAS, penulis menggunakan analisis framing. Analisis framing merupakan suatu23 Dodo Suwanda. 2008. Membongkar Ideologi Di Balik Penulisan Berita Dengan Analisa Framing. Melalui http://dossuwanda.wordpress.com/2008/06/21/membongkar-ideologi-di-balikpenulisan-berita-dengan-analisa-framing [24/12/08].

15

tradisi dalam ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. Analisis framing sebagai pengembangan lebih lanjut dari analisis wacana, banyak mengadopsi perangkat operasional analisis wacana. Analisis framing dapat mengungkapkan kecendrungan perspektif jurnalis atau media saat mengkonstruksi fakta sebagai bangunan realitas konstruksional. Gagasan mengenai analisis framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.24 Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasikan realitas. Konsepini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strip of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.25 Dalam praktiknya, analisis framing juga dimungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politis, dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena sehingga suatu fenomena benarbenar dipahami dan diapresiasikan berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya.26 Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, dan lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh jurnalis ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.27 Oleh karenanya,24 Agus Sudibyo. 1999. Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru. hlm. 23. 25 Ibid. 26 Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media. hlm. 5-6. 27 Bimo Nugroho & Frans Sudiarsis. 1999. Politik Media Mengemas Berita. hlm. 21.

berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tidak terelakkan.28 Gamson dan Modigliani menyebutkan cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara berberita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.29 Menurut Erving Goffman, secara sosiologis konsep analisis framing memelihara kelangsungan kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya. Skemata interpretasi itu disebut frame yang memungkinkan informasi.30 Dengan konsep yang sama, Gitlin mendefinisikan frame sebagai seleksi, penegasan, dan akslusi yang ketat. Ia menghubungkan konsep tersebut dengan proses memproduksi wacana berita dengan mengatakan, Frames memungkinkan para jurnalis memproses sebagian besar informasi secara cepat dan rutin, sekaligus mengemas informasi demi penyiaran yang efisien kepada khalayak.31 Berdasarkan konsep psikologi, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan.32 Dalam disiplin ilmu lain, framing terkesan tumpang tindih. Fungsi28 Ibid. 29 Ibid. hlm. 21-22. 30 Hotman Siahaan, et. al. 2001. Pers yang Gamang; Studi Pemberitaan Jejak Pendapat Timor Timur.. hlm. 76-77. 31 Ibid. 32 Alex Sobur, op.cit. hlm. 163.

individu

untuk

dapat

melokalisasi,

merasakan,

mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta

17

frame kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan perangkat yang dibangun dalam wacana politik. Etman melihat dalam dua dimensi besar; seleksi dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif jurnalislah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya, dan dibuangnya. Di balik semua ini, pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideology para jurnalis yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita.33 Realitas yang disajikan secara menonjo atau mencolok dalam berita membuat informasi tersebut lebih bermakna dan memiliki peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhin khalayak dalam memahami realitas. Karena itu, dalam praktiknya framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana. Framing, kata Entman, memiliki implikasi penting bagi komunikasi politik. Frames menurutnya, menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa framing memainkan peran utama dalam mendesak kekuasaan politik, dan frame dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak ia menunjukkan identitas para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks. Namun Entman menyayangkan, banyak teks berita dalam merefleksikan permainan kekuasaan dan batas wacana atas sebuah isu, memperlihatkan homogenitas framing pada satu tingkat analisis, dan belum mempersaingkannya denga framing lainnya.34 Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of

33 Ibid. 34 Hotman Siahaan, et. Al, op.cit. hlm. 80.

communication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer atau komunikasi informasi dari sebuah lokasi seperti, pidato, novel, atau news report. Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan penanganannya.35 Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama36

menginginkan

pandangannya didukung pembaca. Dalam analisis Framing, Menurut Eriyanto terdapat empat model framing, yaitu pertama, Murai Edelman, dalam bukunya Contestable Categories and Public opinion. Ia mensejajarkan framing sebagai kategorisasi, artinya pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian katakata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategorisasi juga dapat diartikan sebagai penyederhanaan realitas yang kompleks dan berdimensi banyak dan ditekankan supaya dipahami oleh khalayak. Kedua adalah model analisis framing dari Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam tulisan mereka yang berjudul Framing analysis: An Approach to New Discourse, mengoperasionalkan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing, yaitu sintaksis, skrip, tematik, dan retoris.37

35 Ibid. hlm. 80-81. 36 Eriyanto. 2002. Analisis Framing: konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. hlm. 155-167. 37 Alex Sobur, op.cit. hlm. 172-175.

19

Model ketiga adalah William A. Gamson. Ia mendefinisikan framing dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan menghasilkan framing dalam level kultural, dan pendekatan psikologis yang menghasilkan framing dalam level individual. Framing dalan level kultural dimaknai sebagai batasan-batasan wacana serta elemen-elemen konstitutif yang tersebar dalam konstruksi wacana. Dalam hal ini, frame memberikan petinjuk elemen-elemen isu mana yang relevan untuk diwacanakan, problem-problem apa yang memerlukan tindakan-tindakan politis, solusi yang pantas diambil, serta pihak mana yang legitimate dalam wacana yang terbentuk. Sedangkan framing yang berasal dari individu berangkat dari asumsi bahwa individu selalu atau mengambil keputusan secara sadar, rasional, dan intensional yang selalu bertindak atau merujuk pada frame of reference (kerangka referensi) dan field of experience (bidang pengalaman). Artinya, individu dalam memaknai realitas selalu melibatkan pengalaman hidup, wawasan sosial, dan kecendrungan psikologinya dalam menginterpretasi pesan yang diterimanya. Pengalaman dan pengetahuan individu pada akhirnya mengendap dan mengkristal sehingga terbentuk schemata of interpretation. Skema inilah yang memberikan kemampuan kepada individu untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi, dan memeberikan label pada infoermasi yang diterima.38 Keempat adalah model analisis Robert Entman, dalam metodenya framing berita dilakukan dengan empat cara, yaitu: Problem Identification (identifikasi masalah), masalah), Moral Causal Interpretation (evaluasi (identifikasi dan penyebab Treatment Identification moral),

Recommendation (saran penanggulangan masalah.39 Secara teknis, tidak mungkin bagi seorang jurnalis untuk memframing seluruh bagian berita. Artinya, hanya bagian dari kejadian-kejadian penting saja yang menjadi objek framing jurnalis. Namun, bagian-bagian kejadian penting ini sendiri merupakan salah satu aspek yang sangat ingin38Eriyanto, op.cit,hlm. 217-228. 39Ibid. hlm. 185-192.

Problem Identification Causal Interpretation Peristiwa dilihat sebagai apa Siapa penyebab masalah

Treatment Recommendation Moral Evaluation Saran Penanggulangan Masalah Penilaian atas PenyebabMasalah

diketahui khalayak. Aspek lainnya adalah peristiwa atau ide yang diberitakan. Seperti yang telah disinggung dibagian model framing, Entman mengemukakan empat cara framing yang dilakukan dalam berita:40 1. Identifikasi masalah (problem identification), yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa. 2. Identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap penyebab masalah. 3. Evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian terhadap penyebab masalah. 4. Saran penanggulangan masalah (treatment recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya. Untuk lebih jelasnya, keempat cara tersebut dapat dilihat pada skema dibawah ini: Teknik Framing

40 Alex Sobur, op.cit. hlm. 172-173.

21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asas Legalitas Pada zaman Romawi Kuno, dimana pada saat itu dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatanyang dikatakan jahatnamun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hakhaknya sebagai manusia.41 Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal41 Mansor Faqih. Menegaskan kembali Komitemen HAM. dalam Jurnal Wacana Edisi 8 Tahun II 2001. hlm. 4.

39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid).42 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan legalitas, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui makna dari kata legal. Secara umum, legal dapat diartikan sebagai tindakan yang tidak bertentangan dengan aturan atau undang-undang yang berlaku. Menurut Antoine de La Rochefordiere, prinsip legalitas bisa dijalankan berdasar pada: kriteria legalitas yang dapat diaudit, menggambarkan peraturan dan perundangan nasional atau prinsip-prinsip yang disepakati secara internasional, dan diakui oleh stakeholder.43 Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasaa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E. Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi,42 Bambang Purnomo. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. hlm. 68-69. 43 Ibid.

23

paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).44 2.2 Kedaulatan (Sovereignty) Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (15391596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagibagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.45 Kelahiran kedaulatan negara tersebut berkaitan dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara bangsa.46 Negarabangsa (nation-state) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat, bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain.47 Kedaulatan atau sovereignty adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara yang sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignty itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri.48 Menurut hukum internasional, kedaulatan merupakan suatu hak44 A. Ahsin Thohari. 2008. Asas Legalitas. Melalui http://ilmuhukum76.wordpress.com/ [13/04/09]. 45 Kelik Pramudya. 2009. Teori Kedaulatan. Melalui http://click-gtg.blogspot.com/2009/03/teorikedaulatan.html [13/04/09]. 46 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op.cit. hlm. 27. 47 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. hlm.19. 48 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit.

eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat.49 Konsep kedaulatan ini terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik. 2.3 Prinsip Non-Intervensi Prinsip non-intervensi merupakan salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Prinsip non-intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip ini tidak jarang telah dilanggar dalam praktek-praktek negara. Secara teknis, hukum internasional sudah memberikan ketegasan akan adanya dua prinsip, kedaulatan dan non-intervensi di atas. Dalam Piagam PBB disebutkan pada artikel 2 (4): All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of United Nations.50 Artikel ini memberikan ketegasan bahwa intervensi kemanusiaan, khususnya dengan ancaman dan kekuatan senjata, tidaklah bisa dibenarkan dan dianggap sebagai suatu tindakan ilegal karena melanggar integritas teritori atau kemerdekaan politik suatu negara. Dalam artikel 2 (7) Piagam PBB disebutkan:49 Ibid. 50 Chris Pearson, op.cit.

25

Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters shall require the Members to submit such which matters are to essentially within the domestic jurisdiction of any state or settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII.51 Artikel ini menjadi dasar bagi pola hubungan antara negara-negara di dunia untuk tidak saling mengintervensi, termasuk PBB yang baru dapat melakukan intervensi ketika terjadi kondisi yang termaktub dalam Chapter VII Piagam PBB. 2.4 Definisi Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Berdasarkan yang dikutip oleh Nicholas J. Wheeler dan Alex J. Bellamy dalam artikelnya Humanitarian Intervention and World Politics, R.J. Vincent mendefinisikan intervensi sebagai: Aktivitas yang dilakukan oleh suatu negara, suatu kelompok dalam sebuah negara, suatu kelompok negaranegara, atau organisasi internasional yang secara memaksa turut campur dalam urusan-urusan domestik negara lainnya. Intervensi merupakan peristiwa khusus yang memiliki awal dan akhir, dan ditujukan kepada struktur otoritas dari negara target. Ini bukanlah semata-mata sah atau tidak menurut hukum, tetapi lebih kepada pelanggaran pola konvensional dari hubungan internasional.52 Dari definisi Vincent, kita bisa melihat bahwa intervensi bukanlah sesuatu hal umum dilakukan dalam hubungan internasional, lebih dalam lagi, bukanlah sesuatu yang bisa diterima dalam kehidupan negara-negara. Pola hubungan antar negara tidak menghendaki adanya turut campur pihak asing dalam permasalahan domestik tiap negara. Dalam International Relations; The Key Concepts, Martin Griffiths51 Ibid. 52 Nicholas J. Wheeler dan Alex J. Bellamy. 2001. Humanitarian Intervention and World Politics dalam John Baylis dan Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics. hlm. 472.

dan Terry OCallaghan mengidentifikasi intervensi sebagai: Aksi (dengan kekerasan) oleh suatu negara atau kelompok negara di dalam teritori negara lain tanpa persetujuan negara bersangkutan, dilakukan dengan dasar kemanusiaan atau dengan tujuan untuk mengembalikan tatanan yang konstitusional. 53 Intervensi berbeda dengan aneksasi (annexation) ataupun

penaklukan (conquest), di mana tidak ada upaya pengambilalihan atau pendudukan militer atas suatu negara sebagaimana yang terjadi dalam aneksasi ataupun penaklukan. Karena intervensi bukanlah penaklukan, maka aksi intervensi, juga intervensi kemanusiaan, ditujukan hanya untuk jangka pendek. Sebagai hasilnya, intervensi tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan hingga pada akar-akar sosial dan politik yang fundamental.54 Hal ini seperti yang terlihat juga dari pendefinisian intervensi oleh Oran Young dalam sebuah artikel tahun 1968: Intervensi menunjuk kepada aktivitas terorganisasi dan sistemik melewati batas-batas yang diakui yang ditujukan untuk mempengaruhi struktur kewenangan politik yang dirancang baik untuk mengganti struktur-struktur yang sudah ada ataupun untuk mempertahankan struktur yang sedang dalam bahaya keruntuhan.55 Mengenai kemanusiaan, International Committee of the Red Cross memberikan definisi aksi kemanusiaan sebagai aksi-aksi yang mencegah dan mengurangi penderitaan manusia.56 Definisi ini membawa kita pada pertanyaan apakah penderitaan manusia itu. Menurut penulis, ini merupakan bagian yang penting, bahkan turut menentukan muncul tidaknya dilema intervensi kemanusiaan. Dari beberapa definisi di atas, setidaknya dapat diperoleh53 Martin Griffiths dan Terry OCallaghan. 2002. International Relations; The Key Concepts. hlm. 145. 54 Ibid, hlm. 146. 55 Geoffrey Stern. 2000. The Structure of International Society; an Introduction to the Study of International Relations. hlm. 94. 56 Ibid.

27

pemahaman bahwa intervensi kemanusiaan merupakan intervensi yang dijalankan atas dasar permasalahan kemanusiaan, yaitu terganggunya prinsip dasar kemanusiaan yang luas dikenal sebagai hak asasi manusia, yang terjadi dalam masyarakat suatu negara yang pemerintah negara bersangkutan tidak mampu mengatasinya, atau bahkan sebagai penyebab munculnya permasalahan kemanusiaan itu. Intervensi kemanusiaan dimaksudkan untuk menekan pemerintah negara di mana krisis kemanusiaan muncul agar melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mengatasi krisis tersebut. Atau, jika pemerintah negara tersebut tidak berdaya mengatasinya, maka sang pemberi intervensi akan beraksi langsung dalam wilayah negara yang bermasalah tersebut guna mengakhiri krisis itu. Pertanyaannya kemudian, hak asasi manusia yang mana yang dimaksud dalam konsep kemanusiaan ini? Jika kita mencoba mengacu pada Pernyataan Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (the Declaration of Human Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka akan kita temukan banyak sekali hak dasar manusia yang perlu dilindungi oleh umat manusia itu sendiri, antara lain hak hidup merdeka dengan martabat dan hak-hak sama dalam derajat kemanusiaan (pasal 1); hak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu (pasal 3); hak untuk tidak diperbudak (pasal 4); hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara kejam (pasal 5); hak atas pengakuan di depan hukum sebagai pribadi di mana saja ia berada (pasal 6); hak atas perlindungan hukum yang sama dan tanpa diskriminasi (pasal 7); hak kebebasan bergerak dan berdiam dalam batas-batas setiap negara (pasal 13 ayat 1); hak atas kewarganegaraan (pasal 15 ayat 1 dan 2); hak untuk menikah dan membentuk keluarga (pasal 16 ayat 1,2, dan 3); hak memiliki harta baik sendiri maupun bersama-sama (pasal 17 ayat 1 dan 2); hak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (pasal 19); hak turut serta dalam pemerintahan negerinya (pasal 21 ayat 1); hak atas pekerjaan dan bebas memilih pekerjaan (pasal 23 ayat 1); hak atas istirahat dan liburan (pasal 24); dan hak atas pendidikan (pasal 26 ayat 1). Betapa luasnya hak asasi manusia jika mengacu pada deklarasi PBB

ini. Maka jelas tidak mungkin untuk menjadikan deklarasi atau pernyataan umum ini menjadi parameter hak asasi yang pelanggarannya dapat dijadikan alasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Belum pernah terdengar di satu sudut dunia manapun intervensi dilakukan terhadap suatu negara karena negara tersebut lemah dalam memberikan kebebasan hak warganya untuk menikah. Meskipun ini lebih disebabkan karena tidak ada negara yang tidak berdaya dalam menegakkan hak ini. Namun jika acuannya semua hak ini, jelas intervensi kemanusiaan akan semakin sulit menemukan tempatnya berdiri dalam suatu fenomena ketidakberdayaan negara dalam menegakkan hak-hak warganegaranya yang teramat luas. Dalam buku Key Concepts in Politics Andrew Heywood berpendapat bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu yang telah melekat dalam diri manusia sebagai pemberian dari Tuhan yang membentuk derajat kemanusiaan manusia itu. Karenanya menurut Heywood, hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat universal, fundamental, dan absolut. Universal dalam arti bahwa hak asasi manusia adalah milik seluruh umat manusia di dunia tanpa memandang kebangsaan, asal-usul etnik atau ras, latar belakang sosial dan lainnya. Fundamental dalam arti hak-hak asasi itu tidak dapat dicabut: hak-hak asasi manusia dapat dipungkiri ataupun dilanggar namun tidak dapat dihilangkan dari diri manusia. Absolut dalam arti, sebagai landasan dasar kehidupan manusia yang murni, hak-hak asasi itu tidak dapat disayaratkan, atau secara sederhana berarti hak asasi manusia pasti akan ada dan terus melekat dalam diri manusia dalam kondisi apapun.57 Jika kita melihat penjelasan di atas, hak asasi manusia dalam konteks intervensi kemanusiaan lebih mengarah kepada hak hidup manusia; masalah atau bencana yang mengancam hidup umat manusia akan menjadi dasar pelaksanaan intervensi kemanusiaan ketika negara di mana bencana itu terjadi tidak mampu mengatasi masalah tersebut. Bertolak belakang dengan pernyataan Heywood, ada pihak yang57 Andrew Heywood. 2000. Key Concepts in Politics. hlm. 131.

29

menganggap bahwa hak asasi manusia tidak bisa serta merta universal. Ini disebabkan pada lokal-lokal tertentu, standar hak asasi manusia tidaklah sama dengan lokal-lokal lainnya. Di sebuah suku terpencil misalnya, pengorbanan manusia (dengan membunuh seseorang) sebagai bentuk ritual kepercayaan akan dianggap sesuatu yang biasa dan tidak melanggar hak orang tersebut. Berbeda dengan wilayah terpencil itu, di sebuah kota modern, kejahatan yang tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang saja bisa dikatakan melanggar hak memperoleh ketenteraman, apalagi hingga menghilangkan nyawa manusia lain yang pasti akan dianggap melanggar hak hidup seseorang. Pandangan yang menganggap adanya perbedaan pelaksanaan hak asasi manusia ini kemudian dikenal sebagai pandangan partikularisme. Oleh Heywood, yang lebih cenderung pada universalisme hak asasi manusia, argumen kaum partikularis dijawab dengan membedakan antara hak-hak asasi manusia dengan hak-hak sipil. Menurutnya, hak-hak asasi manusia merupakan prinsip-prinsip moral yang mengkalim jurisdiksi universal, sementara hak-hak sipil bergantung pada kebebasan dan status menurut keanggotaan dalam masyarakat tertentu.58 Penegakkan yang universal inilah yang kemudian membawa pada permasalahan legalitas intervensi kemanusiaan. Universalitas hak asasi manusia membentuk tanggung jawab moral bagi seluruh umat manusia untuk saling menjaga hak-hak asasi mereka, tidak terbatas oleh dimensi ruang baik geografi maupun konsepsi negara. Ini yang kemudian memberikan dasar bagi dilakukannya intervensi kemanusiaan terhadap negara yang tidak mampu menjamin hak asasi warganya.

58 Ibid. hlm. 132.

BAB III ANALISIS

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan analisis framing dari pemberitaan intervensi kemanusiaan dalam surat kabar KOMPAS terhadap kasus intervensi AS di Irak dan NATO di Kosovo. 3.1 Artikel 1: Judul : Ahmadinejad: Kerajaan AS Nyaris Ambruk Hari/Tanggal : Rabu/24 September 2008 Identifikasi masalah: Pemberitaan ini mengenai pidato Ahmadinejad dalam sidang Majelis Umum PBB tanggal 23 September 2008. Dalam pidatonya, Ahmadinejad menyatakan bahwa kerajaan Amerika nyaris ambruk. Dalam kasus ini, Ahmadinejad (Irak) dianggap mengecam intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Irak karena mengakibatkan masalah lain yang juga dapat mengancam masyarakat internasional. Masalah tersebut adalah Meluasnya terorisme di wilayah Afganistan. Di samping mengakibatkan munculnya dampak negatif, intervensi AS di Irak juga dianggap sebagai alat untuk memenangkan pemilu Presiden George W Bush. Jadi, dalam kasus ini, jika dilihat dari beberapa pandangan mengenai intervensi kemanusiaan, maka jurnalis dapat digolongkan ke dalam kaum masyarakat internasional pluralis, dimana kaum ini berpendapat bahwa tindakan intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara sebenarnya merupakan media bagi negara tersebut untuk mencapai kepentingan nasionalnya.59 Di sini, kepentingan nasional yang ingin dicapai59 Wheeler dan Bellamy, loc.cit. hlm. 473.

31

oleh AS, dalam hal ini adalah terutama Presiden Bush, yaitu memenangkan pemilihan umum. Identifikasi Penyebab Masalah Kecaman yang dilayangkan oleh Ahmadinejad terhadap AS dikarenakan keinginan dari Irak agar Pemerintah AS menghentikan campur tangan militernya ke negara lain. Dalam kasus ini, Irak mengambil langkah untuk mengemukakan satu dari lima alasan utama penolakan terhadap pelegitimasian praktek intervensi kemanusiaan dengan kekerasan (militer) yang dilakukan oleh AS menurut teori kaum masyarakat internasional pluralis yaitu, ketidakbolehan negara untuk membahayakan tentaranya didasarkan pada ketidakadaan hak moral para pembuat keputusan yang mengatasnamakan negara untuk meneteskan darah tentaranya di medan kekejaman terhadap kemanusiaan. Warga negara merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan, dan negara itu merupakan urusan warga negara itu sendiri.60 Ini mengindikasikan bahwa masalah kemanusiaan yang terjadi dalam suatu negara pada akhirnya tanggung jawab warga negara itu sendiri karena negara sebagai pengatur kehidupan warganya dikendalikan oleh warga negara itu. Atas dasar ini, AS tidaklah memiliki tanggung jawab terhadap penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi di Irak. Evaluasi Moral Penilaian terhadap penyebab masalah ini adalah AS yang saat ini dapat dianggap sebagai penguasa harus membatasi intervensi mereka pada wilayah perbatasan mereka sendiri.

60 Ibid.

Rekomendasi Saran atas penanggulangan masalah yang terlihat di dalam pemberitaan ini adalah AS harus menghentikan campur tangan militernya ke negara lain dan AS beserta negara-negara Barat diminta untuk menghentikan program nuklir Iran. 3.2 Artikel 2: Judul : Bush: Invasi Ke Irak Sulit, Tapi Penting Hari/Tanggal : Senin/15 Desember 2008 Identifikasi Masalah Presiden Bush memerintahkan invasi AS ke Irak dengan alasan pekerjaan tersebut tidak mudah, tetapi itu penting bagi keamanan Amerika, harapan Irak, dan perdamaian dunia. Dari alasan Bush tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Bush melakukan intervensi dengan mendapatkan legitimasinya berdasarkan penafsiran atas pasal 2 (4) Piagam PBB, dimana pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations).61 Hal ini juga di dasarkan pada hasil penelitian DAmato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.62 Jadi, intervensi yang dilakukan oleh AS dianggap tidak melanggar kebebasan politik Irak. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia. Setiap negara dan penduduknya tetap61 Yoram Dinstein, op.cit. 62 Anthony DAmato, op.cit.

33

memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini AS menyatakan bahwa intervensi yang dilakukannya tidak melanggar piagam PBB. Identifikasi Penyebab Masalah Presiden Bush akan melakukan kunjungan ke Irak untuk mengadakan perjanjian keamanan AS-Irak yang menetapkan penarikan pasukan Amerika pada akhir 2011. Perjanjian keamanan ini dianggap Bush sebagai kenangan persahabatan dan cara untuk membantu rakyat Irak menyadari berkah menjadi masyarakat yang bebas. Penyebab dilakukannya kunjungan oleh Presiden Bush ke Irak ini masuh terkait dengan alasan dilakukannya tindakan intervensi yaitu untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara. Evaluasi Moral Nilai moral yang ada dalam berita ini terlihat pada kalimat seorang teman hebat bagi rakyat Irak yang membantu kami membebaskan negara kami. Ini mengisyaratkan bahwa AS memang melaksanakan kunjungan (intevensi) ke Irak dalam rangka menciptakan kebebasan politik bagi masyarakat Irak. Rekomendasi Rekomendasi penulis dalam berita ini adalah diadakannya perjanjian Status Pasukan yang akan mengatur keberadaan 146.000 prajurit AS yang ditempatkan di lebih dari 400 pangkalan untuk berakhir pada akhir tahun ini (2008), dan memberi pemerintah Irak kekuatan veto atas seluruh operasi mereka.

3.3 Artikel 3: Judul : Tentara AS Dikurangi Hari/Tanggal : Sabtu/28 Februari 2009 Identifikasi Masalah Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, berencana menarik sebagian besar tentara AS di Irak pada akhir Agustus 2010. Namun, Obama menyisakan antara 35.000-50.000 tentara di Irak hingga tahun 2011 untuk melindungi kepentingan AS dan Irak. Obama mengatakan bahwa sisa pasukan AS akan membantu pasukan Irak untuk menggelar operasi kontraterorisme terbatas. Identifikasi Penyebab Masalah Penarikan secara besar pasukan AS dari Irak dikarenakan untuk memenuhi janji Obama semasa kampanye presiden. Sedangkan tindakan menyisakan tentara di Irak setelah perang selesai disebabkan agar terfokus pada misi kontraterorisme, pelatihan, pemberian nasihat, pendampingan, dan hal-hal semacam itu. Evaluasi Moral Nilai moral terlihat dari kalimat yang di sampaikan oleh sejumlah anggota Partai Demokrat yang menggugat jumlah dan misi sisa tentara AS di Irak, mereka mengatakan bahwa 50.000 (tentara), itu lebih banyak dari yang kami perkirakan. Ini menggambarkan bahwa anggota Partai Demokrat tidak setuju dengan kebijakan Presiden Obama untuk menyisakan 50.000 tentara di Irak. Rekomendasi Rekomendasi dari penulis adalah Para komandan tentara Irak harus memiliki fleksibilitas yang diperlukan guna merespons tantangan peninjauan 35

kembali penarikan pasukan tentara AS dari Irak jika situasi keamanan Irak memburuk karena hal tersebut akan dalam pemilihan umum parlemennya. 3.4 Artikel 4: Judul : Kaum Muda Serbia Mengamuk Hari/Tanggal : Senin/18 Februari 2008 Identifikasi Masalah Kaum muda Serbia mengamuk di jalan-jalan pusat Kota Beograd dan menyasar kedutaan-kedutaan besar Barat yang mendukung kemerdekaan Kosovo. Anak-anak muda yang jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan itu menghancurkan jendela restoran McDonald dan kedutaan besar Amerika Serikat (AS) sembil meneriakkan slogan-logan anti-Amerika dan Kosovo adalah Serbia. Dalam kasus ini, tampak bahwa kaum muda Serbia menolak adanya intervensi dalam menyelesaikan masalah di Kosovo. Kaum musa Serbia tergolong kepada kaum tradisional yang kaku dalam melihat konsep intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh AS dan negara-negara Barat lainnya (NATO) dimana kaum muda ini mengartikan intervensi sebagai sebuah pelanggaran dengan kekerasan (militer) atas kedaulatan yang membawa campur tangan dalam urusan-urusan internal suatu negara.63 Identifikasi Penyebab Masalah Masalah penyerangan yang dilakukan kaum muda Serbia terjadi karena mereka tidak ingin melepaskan Kosovo dari Serbia. Mereka menyatakan bahwa Kosovo adalah Serbia dan mereka mengancam menginginkan Kosovo kembali ke Serbia. menjadi tantangan besar bagi Irak

63 Wheeler dan Bellamy, loc.cit. hlm. 473.

Evaluasi Moral Nilai moral yang ada dalam berita ini terdapat pada kalimat Kosovo adalah Serbia. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat Serbia tetap menginginkan adanya penyatuan Serbia denga Kosovo. Disini berlaku prinsip non-intervensi yang salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Prinsip nonintervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Rekomendasi Saran dalam penaggulangan yang di ajukan penulis adalah agar intervensi di Kosovo segera di hentikan agar tidak bertambah lagi korban dan kerusakan-kerusakan fisik. Disamping itu, dampak lain yang dapat ditimbulkan jika intervensi terus dilakukan adalah adiasi. Hal itu disebabkan oleh penggunaan depleted uranium (DU) dalam peralatan atau persenjataan perang yang digunakan oleh pasukan NATO dalam konflik Kosovo. 3.5 Artikel 5: Judul : Dampak Perang Kosovo Terhadap Hukum Internasional Hari/Tanggal : Selasa/24 Maret 2009 Identifikasi Masalah Munculnya kritikan-kritikan terhadap intervensi NATO di Kosovo, dimana NATO dianggap melanggar hukum internasional, karena Dewan Keamanan PBB tidak memberikan mandat untuk melakukan serangan itu. Disebutkan, NATO bukan saja melanggar wilayah kekuasaan Yugoslavia, melainkan melakukan aksi militer di luar kawasannya. Di pihak lain, para pendukung langkah NATO justru menggunakan serangkaian resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai legitimasi. Ditekankan, pemerintah Beograd yang 37

dipimpin Presiden Slobodan Milosevic menolak tuntutan Dewan Keamanan PBB untuk menarik pasukannya, maupun desakan untuk menghentikan perang di Kosovo. Karenanya, tindakan NATO yang menghindari terjadinya pemusnahan etnis itu patut dikategorisasikan sebagai intervensi kemanusiaan dalam situasi darurat, dimana NATO menyerang Serbia untuk menjaga perdamaian dunia. Identifikasi Penyebab Masalah Perdebatan mengenai intervensi NATO muncul dengan berpedoman pada definisi kedaulatan negara dalam hukum internasional. Apakah sebuah negara, baru bisa menikmati hak untuk memiliki kedaulatan penuh, apabila negara itu merepresentasikan dan melindungi seluruh warganya? Artinya, apakah sebuah negara akan kehilangan kedaulatannya, apabila melakukan atau membiarkan pengejaran dan pemusnahan NATO di Kosovo diperdebatkan. Dengan melihat penyebab masalah ini, maka terlihatlah bahwa konsep kedaulatan sangat memiliki peranan penting dalam membahas kasus intervensi yang dilakukan oleh NATO. Kedaulatan merupakan suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat. Konsep kedaulatan ini terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Jadi, jika di dasarkan pada konsep kedaulatan, maka intervensi NATO di Kosovo tidak dapat dibenarkan. kelompok etnis atau kelompok minoritas di negaranya. Hal inilah yang menyebabkan Intervensi

Evaluasi Moral Nilai moral yang terdapat dalam artikel berita ini adalah menghormati doktrin suveranitas artinya tidak mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara lain. Jadi, dalam hal ini kedaulatan memang merupakan kekuasaan tertinggi suatu negara dan pemerintah memiliki kendali penuh dalam negaranya. Rekomendasi Rekomendasi dari penulis adalah agar intervensi yang dilakukan baik oleh negara maupun organisasi internasional harus didasarkan pada mandat yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB. Tabel Analisis Framing Pemberitaan Intervensi Kemanusiaan dalam Surat Kabar KOMPAS N o 1. Judul Berita (Hari/Tanggal) Ahmadinejad: Kerajaan AS Nyaris Ambruk (Rabu/24 September 2008) Identifikasi Masalah Pemberitaan ini mengenai pidato Ahmadinejad dalam sidang Majelis Umum PBB tanggal 23 September 2008. Dalam pidatonya, Ahmadinejad menyatakan bahwa kerajaan Amerika nyaris ambruk. Identifikasi Penyebab Masalah Kecaman yang dilayangkan oleh Ahmadinejad terhadap AS dikarenakan keinginan dari Irak agar Pemerintah AS menghentikan campur tangan militernya ke negara lain. Evaluasi Moral AS yang saat ini dapat dianggap sebagai penguasa harus membatasi intervensi mereka pada wilayah perbatasan mereka sendiri. Rekomendasi

AS harus menghentika n campur tangan militernya ke negara lain dan AS beserta negaranegara Barat diminta untuk menghentika n program nuklir Iran.

39

2.

Bush: Invasi Ke Irak Sulit, Tapi Penting (Senin/15 Desember 2008)

Presiden Bush memerintahkan invasi AS ke Irak dengan alasan pekerjaan tersebut tidak mudah, tetapi itu penting bagi keamanan Amerika, harapan Irak, dan perdamaian dunia.

Presiden Bush akan melakukan kunjungan ke Irak untuk mengadakan perjanjian keamanan ASIrak yang menetapkan penarikan pasukan Amerika pada akhir 2011.

Seorang teman hebat bagi rakyat Irak yang membantu kami membebaska n negara kami. Ini mengisyaratk an bahwa AS memang melaksanaka n kunjungan (intevensi) ke Irak dalam rangka menciptakan kebebasan politik bagi masyarakat Irak.

3.

Tentara AS Dikurangi (Sabtu/28 Februari 2009)

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, berencana menarik sebagian besar tentara AS di Irak pada akhir Agustus 2010. Namun, Obama menyisakan antara 35.000-

Penarikan secara besar pasukan AS dari Irak dikarenakan untuk memenuhi janji Obama semasa kampanye presiden. Sedangkan tindakan menyisakan

Diadakannya perjanjian Status Pasukan yang akan mengatur keberadaan 146.000 prajurit AS yang ditempatkan di lebih dari 400 pangkalan untuk berakhir pada akhir tahun ini (2008), dan memberi pemerintah Irak kekuatan veto atas seluruh operasi mereka. Kalimat yang Para di sampaikan komandan oleh tentara Irak sejumlah harus anggota memiliki Partai fleksibilitas Demokrat yang yang diperlukan menggugat guna jumlah dan merespons misi sisa tantangan tentara AS di peninjauan Irak, mereka kembali mengatakan penarikan

50.000 tentara di Irak hingga tahun 2011 untuk melindungi kepentingan AS dan Irak.

tentara di Irak setelah perang selesai disebabkan agar terfokus pada misi kontraterorism e, pelatihan, pemberian nasihat, pendampingan, dan hal-hal semacam itu.

bahwa 50.000 (tentara), itu lebih banyak dari yang kami perkirakan. Ini menggambar kan bahwa anggota Partai Demokrat tidak setuju dengan kebijakan Presiden Obama untuk menyisakan 50.000 tentara di Irak. Kosovo adalah Serbia. Ini memperlihat kan bahwa masyarakat Serbia tetap menginginka n adanya penyatuan Serbia denga Kosovo.

pasukan tentara AS dari Irak jika situasi keamanan Irak memburuk karena hal tersebut akan menjadi tantangan besar bagi Irak dalam pemilihan umum parlemennya.

4.

Kaum Muda Serbia Mengamuk (Senin/18 Februari 2008)

Kaum muda Serbia mengamuk di jalan-jalan pusat Kota Beograd dan menyasar kedutaankedutaan besar Barat yang mendukung kemerdekaan Kosovo. Anakanak muda yang jumlahnya diperkirakan

Masalah penyerangan yang dilakukan kaum muda Serbia terjadi karena mereka tidak ingin melepaskan Kosovo dari Serbia. Mereka menyatakan bahwa Kosovo adalah Serbia dan mereka mengancam menginginkan

Agar interv ensi di Koso vo seger a di henti kan agar tidak berta mbah lagi korba n dan 41

mencapai ratusan itu menghancurka n jendela restoran McDonald dan kedutaan besar Amerika Serikat (AS) sembil meneriakkan slogan-logan anti-Amerika dan Kosovo adalah Serbia.

Kosovo kembali ke Serbia.

kerus akankerus akan fisik. Disa mpin g itu, damp ak lain yang dapat ditim bulka n jika interv ensi terus dilak ukan adala h adiasi . Hal itu diseb abkan oleh pengg unaan deplet ed urani um (DU) dalam perala tan atau

perse njataa n peran g yang digun akan oleh pasuk an NAT O dalam konfli k Koso vo. 5. Dampak Perang Kosovo Terhadap Hukum Internasional (Selasa/24 Maret 2009) Munculnya kritikankritikan terhadap intervensi NATO di Kosovo, dimana NATO dianggap melanggar hukum internasional, karena Dewan Keamanan PBB tidak memberikan mandat untuk melakukan serangan itu. Perdebatan mengenai intervensi NATO muncul dengan berpedoman pada definisi kedaulatan negara dalam hukum internasional. Menghormati doktrin suveranitas artinya tidak mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara lain. Jadi, dalam hal ini kedaulatan memang merupakan kekuasaan tertinggi suatu negara. Agar intervensi yang dilakukan baik oleh negara maupun organisasi internasional harus didasarkan pada mandat yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.

43

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Perdebatan mengenai intervensi kemanusiaan pada akhirnya bermuara pada legalitas intervensi yang dilakukan atas dasar kemanusiaan. Ini dikarenakan hingga kini belum ada mekanisme yang bisa dijadikan patokan dalam melakukan intervensi tersebut. Dalam kesimpulan ini akan dibicarakan bagaimana intervensi kemanusiaan bisa dilakukan dengan mengakhiri dilema yang terjadi baik terkait dengan prinsip-prinsip kedaulatan dan non-intervensi maupun argumen-argumen yang telah dimunculkan. Masalah klasik yang sering dihadirkan adalah bahwa intervensi kemanusiaan melanggar prinsip yang tertuang dalam artikel 2 (4) dan (7) Piagam PBB mengenai kedaulatan negara dan non-intervensi di antara negara-negara. Di sisi lain masalah kemanusiaan, seperti: genosida, kelaparan, dan perang sipil tidak bisa dinafikan menimbulkan korban yang memilukan. Dilema ini sebenarnya bisa diatasi ketika terdapat sebuah acuan yang jelas kapan dan bagaimana intervensi kemanusiaan bisa dilakukan. Ketentuan-ketentuan yang komprehensif dalam acuan itu akan memberi kepastian bagaimana intervensi kemanusiaan tidak melanggar kedaulatan dan prinsip non-intervensi yang telah dijadikan acuan selama ini dalam kehidupan internasional. Pelanggaran berarti melewati dengan sengaja batas yang telah ditentukan dari hal-hal apa yang boleh dilakukan ke wilayah hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan. Inti dari pelanggaran itu adalah ada batas antara boleh dan tidak boleh. Intervensi kemanusiaan dikatakan melanggar kedaulatan karena hanya negara yang di mana terjadi bencana kemanusiaan-

lah yang berhak mengurusi masalah dalam negerinya, atau dengan kata lain hanya negara bersangkutanlah yang boleh mengurusi masalah dalam negerinya. Lalu bagaimana ketika dalam acuan yang telah disepakati bersama terdapat ketentuan bahwa intervensi kemanusiaan hanya boleh dilakukan dengan persetujuan atau izin dari negara tujuan intervensi? Masihkah intervensi itu dikatakan melanggar kedaulatan suatu negara ketika intervensi itu dilakukan dengan izin, dan mungkin bahkan undangan, dari negara bersangkutan? Jawabannya jelas, tidak! Izin dari suatu negara untuk dilakukan intervensi kemanusiaan kepadanya menggambarkan bergesernya batas antara boleh dan tidak boleh yang berakibat pada makin luasnya wilayah yang boleh itu. Mengenai prinsip non-intervensi hendaknya diterjemahkan sebagai sikap yang menolak tiap bentuk campur tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan alasan kepentingan pribadi dan tidak dalam kerangka nilai-nilai universal, baik itu kemanusiaan, keamanan maupun perdamaian dunia. Bagaimana mungkin suatu negara yang bertindak sebagai pelaku kekejaman terhadap kemanusiaan diharapkan dapat mengatasi masalah yang ditimbulkanya? Bagaimana mungkin pula sebuah negara dibiarkan begitu saja membunuh banyak warganya sementara warga negara lainnya terus tertekan dan dibayang-bayangi pembantaian? Tidak ada waktu lagi untuk menyusahkan diri sendiri dengan pemahaman yang tidak tegas terhadap prinsip non-intervensi ini. Kondisi tentu akan jauh lebih baik ketika kita telah bersepakat bahwa prinsip non-intervensi hanya bisa dilakukan ketika terjadi masalah kemanusiaan, gangguan terhadap keamanan dan perdamaian dunia, dan tidak untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan pribadi suatu negara. Pada akhirnya semua akan berpusat pada dua hal yang saling timbal balik, yaitu: kemauan setiap negara untuk melindungi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tidak dapat dilakukan oleh negara bersangkutan dan usaha yang konsisten dalam menegakkan kemauan itu. Kemauan yang 45

murni hanya karena alasan kemanusiaan. Inilah nilai moral dalam sebuah tindakan yang dinamakan intervensi kemanusiaan. Karena manusia yang bermoral yang saling membantu satu dengan lainnya, maka hanya negara bermoral-lah yang akan saling membantu satu dengan lainnya. Upaya konsisten bisa diwujudkan dengan memberikan mekanisme yang tegas bagaimana intervensi kemanusiaan bisa dilakukan. Mekanisme tegas ini akan menjauhkan dari perdebatan panjang namun tak menyelesaikan masalah. Kemauan tidak akan tegak tanpa kerja keras melalui mekanisme yang jelas. Sebaliknya, mekanisme itu tidak akan bisa berjalan, bahkan tidak akan ada, tanpa kemauan keras dari tiap pihak. 4.2 Saran Di atas telah kita lihat betapa komleksnya perdebatan mengenai intervensi kemanusiaan. Hal ini dikarenakan intervensi kemanusiaan tidak saja menyangkut hukum internasional namun juga moral. Meskipun moral, karena abstraknya, terkadang menjadi sumber ketidakjelasan bagaimana suatu hal bisa diterapkan dalam kondisi yang beragam, namun penulis melihat bahwa moral-lah yang membentuk kesadaran negara-negara untuk menghadirkan hukum internasional dalam kehidupan mereka sekaligus menjadi modal utama negara-negara itu mematuhi hukum internasional yang telah dibentuknya. Pada bagian ini, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, penulis akan mencoba memberikan pandangan yang dapat dijadikan titik awal bagi keberanian negara-negara mewujudkan persetujuan bersama untuk mengakhiri perdebatan panjang, dan tentunya segala bentuk kejahatan kemanusiaan di muka bumi. Kesepakatan bersama pertama yang harus dicapai di antara negaranegara adalah pemahaman mengenai intervensi dan kemanusiaan. Memang mengenai dua hal ini telah banyak pengertian yang telah dirumuskan. Masalahnya, pengertian-pengertian tersebut hingga kini masihlah dalam tataran pendapat dan, jikapun telah dimasukkan ke dalam perjanjian

internasional serupa Piagam PBB, masih dalam bentuk abstrak dan belum menyentuh tataran teknis. Masalah lainnya adalah bahwa pengertian dua hal ini hendaknya dilihat dalam konteks intervensi kemanusiaan bisa diterapkan. Intervensi memang dinilai melanggar hukum internasional jika tidak ada landasan kuat yang mendasari tindakan itu. Ini berarti intervensi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidaklah selamanya terlarang; terdapat alasan yang mendasar yang bisa membenarkan tindakan intervensi. Begitu mendasarnya, sehingga tidak semua hal menyangkut kemanusiaan bisa dijadikan alasan untuk intervensi. R.J. Vincent dalam hal ini mengatakan bahwa masalah kemanusiaan yang dimaksud bukanlah masalah yang dihadapi manusia sehari-hari.64 Intervensi bisa dilakukan ketika suatu bencana kemanusiaan telah mengancam kehidupan manusia yang terkenanya, dan jika memang disepakati, perlu ada permintaan dari negara bersangkutan. Kesepakatan ini kemudian diperdalam lagi pada jawaban akan kapan masalah kemanusiaan yang terjadi di sebuah negara bisa menjadi dasar pihak asing melakukan intervensi. Pernyataan yang jelas mengenai tindakan apa yang dinilai pelanggaran kemanusiaan, sebanyak apa korban yang jatuh, dan akibat seperti apa yang ditimbulkan sehingga menuntut pihak asing melakukan intervensi guna menyelamatkan kemanusiaan yang telah disepakati itu sangat penting dalam membuat batasan itu. Ini juga berkaitan dengan kesepakatan yang diberikan oleh negara yang akan diintervensi. Apakah pihak asing harus menunggu permintaan dari pemerintah negara di mana bencana kemanusiaan terjadi ataukah dapat bertindak secara langsung demi mencegah jatuhnya korban yang kian banyak, merupakan pertanyaan yang jika terdapat kepastian jawaban yang disepakati bersama melalui perjanjian yang melibatkan seluruh atau mayoritas negara seperti dalam PBB akan memberikan kemudahan penerapan intervensi kemanusiaan yang pada akhirnya membawa pada kesepakatan akan legalitas intervensi itu.

64 Ibid, hlm. 476.

47

Hal lain yang perlu dipertegas adalah perihal siapa; Siapa yang berhak menilai suatu kondisi bisa dikenai intervensi kemanusiaan dan siapa yang berhak melakukan intervensi kemanusiaan itu. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional tentu memiliki pandangan masingmasing mengenai bencana kemanusiaan yang terjadi di suatu negara. Keberagaman ini pasti akan menyulitkan bagaimana masyarakat internasional memutuskan apakah intervensi kemanusiaan bisa dilakukan atau tidak. Ini juga akan menghindarkan tindakan sewenang-wenang pihak tertentu yang hanya ingin campur tangan dalam urusan negara lain berdasarkan pandangannya sendiri. Kesepakatan mengenai pelaksana mekanisme intervensi juga harus ditegaskan untuk mendapatkan kepastian bahwa intervensi kemanusiaan yang dilakukan memang benar-benar diarahkan pada penyelesaian masalah kemanusiaan. Pada akhirnya penulis merasa yakin bahwa intervensi kemanusiaan bisa diterapkan jika semua hal di atas telah mencapai titik kesepakatan kuat yang luas di antara negara-negara. Kesepakatan itu hendaknya dibuat mengikat semua negara baik yang menandatanganinya maupun yang berada di luar kesepakatan. Untuk itu mekanisme yang paling kuat adalah melalui PBB. Semua kesepakatan hendaknya ditegaskan dalam rangka menegakkan hak asasi manusia yang lebih khusus lagi menyelamatkan kehidupan umat manusia. Kesepakatan yang telah terbentuk kemudian dijadikan sebuah perjanjian internasional yang menjadi dasar bagi hukum internasional dalam hal intervensi kemanusiaan. Perjanjian ini tidaklah akan berlawanan dengan sifat hukum internasional yang koordinatif, sebaliknya, perjanjian internasional ini akan memudahkan koordinasi di antara negara-negara dalam mengatasi masalah kemanusiaan. Penulis menganjurkan perjanjian internasional hingga taraf mekanisme ini tak lain dikarenakan selama ini kelemahan penerapan hukum internasional salah satunya disebabkan terbukanya hukum tersebut terhadap intepretasi yang beragam. Hukum internasional tidak memberikan petunjuk

Humanitarian outcomes

atau perangkat yang memadai guna dilakukannya satu tindakan yang umum. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa semua kesepakatan yang membentuk hukum internasional tidak akan pernah berjalan, dan bahkan tidak akan pernah terwujud, tanpa adanya kemauan yang sebenar-benarnya dari semua pihak individu, negara, organisasi internasional untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Negara merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan hidup manusia, terlepas dari pandangan atau perspektif apapun. Manusia berkelompok-kelompok awalnya karena mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri; terlalu banyak hal yang harus dihadapi bersama yang menjadikan manusia saling tergantung satu dengan lainnya. Hingga pada taraf negara, keyakinan manusia akan berjalannya hidup dengan baik terefleksikan dalam tindakan manusia membentuk negara itu. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bernegara, masing-masing negara bertindak dengan mengusung kepentingannya masing-masing. Kepentingan nasional ini yagn kemudian membawa arah tindakan negara pada tjuan yang beragam, bahkan terkadang bertentangan satu dengan lainnya. Kepentingan negara ini pulalah yang menjadi benteng terbesar bagi negara untuk mewujudkan Objektivitas kemauan negara menegakkan dalam nilai-nilai dasar kemanusiaan. menerapkan intervensi

kemanusiaan sering kali diuji dengan kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional inilah yang menurut penulis perlu terus mendapat perhatian agar tidak bertentangan dengan perkembangan kehidupan umat manusia itu sendiri. Sebagaimana diidentifikasi oleh Wheeler dan Bellamy, motif suatu negara melakukan intervensi pada kenyataannya tidak selalu sesuai dengan hasil kepentingan yang ditampakkan. Keduanya menggambarkan hubungan antara motif intervensi kemanusiaan dengan produk intervensi itu sebagai berikut.65

65 Wheeler dan Bellamy, op.cit. hlm. 481.

49

Bagan di atas memperlihatkan bahwa tidak selamanya tindakan intervensi kemanusiaan dilandasi oleh motivasi untuk menyelamatkan manusia dari bencana kemanusiaan. Tidak selamanya pula motivasi kemanusiaan berujung pada hasil intervensi yang bernilai kemanusiaan. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa intervensi kemanusiaan perlu dilandasi dengan niat dan upaya yang konsisten terhadap perlindungan nilainilai dasar kemanusiaan yang telah disepakati bersama. Apa yang penulis tekankan tidaklah semata-mata sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh kaum solidaris. Lebih dari itu, penulis tidak sertamerta mengangkat isu moral sebagai salah satu argumen utama yang penulis nilai masih merupakan sesuatu yang peka untuk diperdebatkan. Moral sangatlah abstrak dan masing-masing pihak dapat mengklaim standar moral yang berbeda-beda. Dalam pandangan hukum internasional pun penulis berpandangan

Non-humanitarian motiva

Humanitarian motiv

Non-humanitarian motives: Humanitarian motives: Non-humanitarian outcomes: Non-humanitarian Humanitarian Motives and outcomes: outcomes motives and outcomes: Non-humanitarian Humanitarian outcomes: Soviet intervention in Afghanistan in 1979 N intervention in Somalia from May 1993 to February 1996 e international intervention in Northern Iraq in April 1991 Vietnams intervention in Cambodia in December 1978 and Tanzanias intervention in Uganda

lebih jauh dari sekedar menjadikan hukum internasional yang sudah ada itu, baik dari perjanjian maupun kebiasaan, sebagai dasar legal intervensi kemanusiaan, namun juga mengajukan usulan untuk membentuk mekanisme yang jelas bagaimana intervensi itu bisa dilaksanakan. Mekanisme yang tidak lagi bisa menuai intepretasi beragam, dan tentu, mekanisme yang mengikat semua negara di dunia. Terhadap kaum pluralis, penulis melihat argumen yang diungkapkan tidak lagi mencerminkan perkembangan dunia yang ada. Manusia yang satu dengan lainnya walau terpisah oleh benteng-benteng kedaulatan namun mereka telah semakin terhubungkan, tidak hanya oleh kemajuan teknologi, namun juga kepedulian yang kian meningkat di antara manusia-manusia itu. Sebuah contoh sederhana, ketika berlangsung pertemuan negara-negara World Trade Organization (WTO) di Hong Kong, puluhan ribu manusia berunjuk rasa di depan tempat di mana pertemuan itu dilangsungkan. Mereka bukan saja warga Hong Kong namun juga, bahkan mayoritas, berasal dari Korea Selatan, sementara beberapa dari negara-negara lain termasuk Indonesia. Mereka bergerak bersama karena mereka memiliki kepentingan yang sama: bubarkan WTO. Demikian pula dengan kepentingan kemanusiaan yang telah mengglobal, di mana kemanusiaan kini telah menjadi perhatian umat manusia secara luas. Kepedulian ini setidaknya muncul karena mereka merasa saling bergantung, dan karenanya harus saling menjaga satu sama lain. Lima argumen kaum pengikut teori masyarakat internasional pluralis bisa kita lihat satu per satu sebagai bukti bahwa kemauan negara untuk mengakomodasi kemauan warganya dalam melindungi hak-hak dasar mereka masih selemah mekanisme yang disediakan dalam menjalankan upaya nyata perlindungan hak-hak dasar itu. Anggapan kaum ini bahwa negara tidak mengintervensi hanya karena semata-mata alasan kemanusiaan disandarkan pada keyakinan bahwa negara akan selalu beraksi dengan diarahkan oleh kepentingan nasionalnya. Hal ini telah beberapa kali disinggung di atas, bahwa kepentingan 51

nasional sudah seharusnya merupakan cerminan dari apa yang menjadi kemauan dari warganya. Ini menunjukkan bahwa kepentingan nasional merupakan sesuatu yang dinamis; kepentingan nasional terus berkembang sejalan dengan perkembangan umat manusia. Ketika umat manusia yakin bahwa negara sebenarnya merupakan institusi yang berkewajiban melindungi mereka, maka bukan tidak mungkin untuk menterjemahkan kepentingan kolektif sebagai kepentingan nasional. Tindakan ini tidak akan merubah tujuan negara mensejahterakan bangsanya, sebaliknya, karena hakhak dasar kemanusiaan warga negara yang merupakan bagian dari bangsa sebuah negara perlu mendapat perlindungan, maka menerapkan kepentingan kolektif sebagai kepentingan nasional malah akan memperkuat tujuan negara itu. Argumen keempat dari pluralis juga kembali pada permasalahan sejauh mana kepentingan nasional mengakomodasi kepentingan kolektif akan perlindungan terhadap hak dasar kemanusiaan, hak hidup utamanya. Ketika negara menjalankan intervensi kemanusiaan secara selektif, maka itu menunjukkan negara masih berkutat dalam dimensi kepentingan nasional yang lama dan tentu saja, belum menyadari betul perkembangan kemanusiaan yang terjadi. Argumen kedua bahwa negara tidak diizinkan untuk mengambil resiko bagi tentaranya untuk berada dalam kekejaman kemanusiaan terdengar menggelikan bagi penulis. Ketika negara merasa takut akan resiko yang bisa terjadi pada tentaranya ketika bertugas mengakhiri kekejaman kemanusiaan, lalu mengapa negara menjadikan tentara sebagai barisan pertama ketika ia berperang dalam mempertahankan dirinya? Apa yang seharusnya kita lihat adalah esensi dari tujuan pengiriman tentara baik ketika ditujukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan maupun dalam perang mempertahankan diri. Keduanya dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pelanggaran, di mana ketika jalan terakhir untuk menghentikan pelanggaran itu adalah dengan kekuatan militer, maka tindakan itu sudah merupakan wilayah tugas tentara untuk menjalankannya.

Masalah penyalahgunaan alasan intervensi kemanusiaan dan adanya ketidaksepakatan perihal prinsip-prinsip apa yang hendaknya mengatur hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan telah dijawab oleh penulis melalui pembuatan perjanjian mulai dari kesepahaman mengenai intervensi dan kemanusiaan hingga kapan intervensi kemanusiaan bisa diterapkan dan siapa yang berhak melakukannya, sebagai dasar legalitas hukum yang jelas di antara negara-negara dunia melalui mekanisme PBB sebagai organisasi internasional terbesar yang di dalamnya terepresentasikan mayoritas negara di dunia, yang mengikat semua negara di dunia. Perihal bagaimana bisa mewujudkan perjanjian itu, penulis kembalikan kepada kesadaran dan keseriusan tiap negara untuk mengakhiri penderitaan manusia akibat bencana kemanusiaan. Hal yang perlu ditekankan adalah, bencana kemanusiaan bisa saja terjadi sewaktu-waktu dan tidak mungkin untuk terus dan terus menghadapinya dengan perdebatan apakah intervensi kemanusiaan bisa dilakukan atau tidak, apakah pihak yang bergerak memegang hak legal atau tidak dalam melakukan intervensi kemanusiaan.

53

DAFTAR PUSTAKA

Adjei, Eric. 2005. The Legalitiy of Humanitarian Intervention, hlm. 29. Melalui http://www.wordpress.com [13/04/09].

55

Alexander, Klinton W. 2000. NATO'S intervention in Kosovo: the legal case for violating Yugoslavia's national sovereignty in the absence of Security Council approval. Melalui http://findarticles.com/p/articles/mi_hb3094?tag=content;col1 [13/04/09]. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2003. Alumni. Brierly, J.L. 1955. The Law of Nations. Great Britain: Clarendon Press. DAmato, Anthony. 2001. There is no Norm of Intervention or Non Intervention in International Law, International Legal Theory. ASIL. Dinstein, Yoram. 1994. War, Aggression, and Self-Defence, Second Edition. Australia: Cambridge University Press. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: KLiS. Faqih, M