babtigakek.pdf
-
Upload
angga-lintjewas -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of babtigakek.pdf
23
BAB III
PRODUK UNGGULAN, KOMPETENSI INTI, DAN DAYA SAING
PEREKONOMIAN DAERAH
Pada bab ini akan dibahas tentang konsep produk unggulan, kompetensi inti dan daya
saing perekonomian daerah. Konsep produk / komoditi unggulan adalah konsep yang berbeda
dengan konsep produk / komoditi yang menjadi kompetensi daerah. Kompetensi ini ini yang
adalah salah satu faktor dan memiliki keterkaitan yang erat dengan daya saing perkonomian
daerah.
3.1. Konsep Produk Unggulan (konsep OVOP)
Defenisi produk unggulan masih belum ada kesepakatan. Secara konsep, juga
terdapat perbedaan antara produk dan komoditas unggulan, walaupun banyak pendapat
yang menyamakan kedua hal tersebut. Namun jika dilihat secara saksama maka produk
dapat diartikan sebagai hasil olahan bahan baku atau olahan komoditas. Sedangkan
komoditas adalah sesuatu yang berasal langsung dari alam atau hasil dari alam (secara
alamiah). Padi, rotan, cengkeh, kelapa sawit, ikan adalah komoditi. Dikatakan produk jika
komoditi ini sudah diolah secara lanjut; padi diolah menjadi kue atau tepung, rotan diolah
menjadi furniture, cengkeh diolah menjadi rokok, kelapa sawit diolah menjadi minyak kelapa
sawit dan ikan diolah menjadi ikan kaleng. Baik produk atau komoditi yang ada, belum tentu
disebut produk atau komoditi unggulan suatu daerah. Hal ini disebabkan, untuk disebut
unggul maka diperlukan syarat-syarat atau karakteristik khusus.
Menurut Martani Huseini (pencetus Konsep SAKA-SAKTI), Komoditas unggulan
adalah komoditas yang memberikan nilai tambah dan sumbangan pendapatan tertinggi
pada suatu perekonomian daerah. Pendapat dari Martani Huseini ini didasari pada aspek
nilai dan kontribusi suatu komoditas / produk. Komoditas yang memberikan nilai tambah
tertinggi sepanjang rantai nilai dan memberikan kontribusi terbesar dari suatu perekonomian
daerah adalah komoditas unggul. Sehingga untuk mengetahui komoditas yang memberikan
nilai tambah maka perlu dianalisis dengan dua pendekatan yaitu pendekatan pohon industri
dan rantai nilai (value chain).
Pohon industri suatu komoditas pada dasarnya menggambarkan urutan suatu
komoditas dari komoditas awal sampai produk akhir. Contoh : komoditas pala (layer 1),
diolah menjadi minyak asirin (layer 2) dan kemudian minyak asirin diolah menjadi bahan
obat-obatan (layer 3). Selanjutnya untuk menentukan nilai tambah maka digunakan konsep
24
value chain (rantai nilai), dengan cara kita menghitung nilai dari tiap layer. Contoh : untuk
komoditas pala, layer 1 (untuk 1kg kering pala) seharga Rp. 60.000, jika diolah menjadi
minyak asirin, untuk satu kg pala akan bernilai Rp. 120.000, dan jika keseluruhan minyak
asirin ini diolah menjadi obat-obatan maka akan bernilai Rp.200.000. berdasarkan pendapat
dari Martani Huseini maka obat-obatan ini yang memiliki nilai tambah lebih besar sehingga
disebut sebagai komoditas / produk unggulan. Untuk syarat kedua, yaitu sumbangan
pendapatan tertinggi pada suatu perekonomian daerah, dapat dianalisis dari nilai eksport
pada komoditas / produk pala dan turunannya. Jika nilai eksport lebih besar pada produk
layer 3 maka produk itu disebut unggul. Namun yang menjadi masalah adalah ketika suatu
komoditas (pada layer 3) tidak seluruhnya menggunakan input bahan baku pada layer 2,
sehingga walaupun memiliki value added yang tinggi namun secara total rendah. Atau
walaupun memiliki value added tinggi, namun hanya dikuasai oleh beberapa orang atau
perusahaan saja, tidak melibatkan masyarakat banyak (tidak mengakar di masyarakat).
Berdasarkan kondisi itu maka minimal ada tiga hal menarik menyangkut komoditas
unggulan , yaitu :
1. Penentuan komoditas unggulan memegang peran kunci dalam pengembangan
perekonomian daerah.
2. Tidak semua daerah sukses dalam pengembangan komoditas unggulan di daerahnya.
3. Penentuan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-beda.
Bank indonesia memiliki sudut pandang lain dalam penentuan komoditas unggulan,
yaitu menggunakan potensi dasar sehingga dapat dikatakan unggul,yaitu :
1. Aspek pasar dan pemasaran untuk memastikan bahwa komoditas yang dihasilkan dapat
dipasarkan dengan baik.
2. Aspek teknik dan produksi untuk menentukan kapasitas produksi daerah sekaligus
pengendalian kualitas hasil produksi.
3. Aspek sosial ekonomi dan lingkungan untuk menentukan daya dukung sumber daya
ekonomi daerah serta kaitannya dengan lingkungan.
4. Aspek manajemen dan legalitas untuk menjamin kelancaran proses produksi komoditas
unggulan
5. Aspek keuangan untuk memastikan dukungan dana yang cukup bagi pelaksanaan
proses produksi.
Defenisi dari Bank Indonesia sudah lebih luas dan relatif lebih detail dalam
mendefenisikan produk / komoditas unggulan. Bukan semata-mata hanya bersifat aspek
ekonomi tetapi sudah melibatkan aspek pasar dan manajemennya serta aspek tehnik
25
/produksi dan pembiayaannya (keuangan). Namun kriteria yang banyak digunakan oleh
pemerintah daerah terhadap penentuan komoditas unggulan adalah produk khas daerah,
memiliki jumlah unit usaha relatif banyak dibanding komoditas lain, banyak menyerap
tenaga kerja dan memenuhi kepentingan beberapa dinas daerah yang terkait. Terlepas dari
persyaratan itu, konsep produk atau komoditas unggulan sebenarnya lahir di Jepang.
Pada tahun 1979, Hiramatsu,Gubernur daerah Oita di Jepang memperkenalkan
pendekatan OVOP (one villagee on product) atau satu desa, satu produk. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk membangun daya saing suatu desa atau wilayah tertentu.
Pendekatan ini didasari pada keyakinan bahwa daya saing suatu desa (daerah) akan dapat
dibangun jika desa yang bersangkutan memfokuskan kegiatan masyarakat di sana untuk
menghasilkan satu produk yang dipandang merupakan produk unggulan desa tersebut.
Konsep ini diadopsi di Thailand dengan nama OTOP (one tamboon / desa, one product).
Maulana (2011: 17).
kelebihan dari OVOP adalah dapat dihindarinya persaingan tidak sehat diantara desa-
desa bertetangga karena setiap desa dapat mengembangkan produk unggulan yang saling
berbeda dan karenanya dapat mengisi pasar yang sama tampa harus bersaing secara
langsung. Dengan demikian maka kejenuhan pasar akibat membanjirnya produk yang sama
dipasar dapat dicegah.
Kelemahan dari OVOP adalah terciptanya kemungkinan bahwa suatu desa menjadi
terlalu sibuk dengan produk unggulannya sehingga melupakan kemungkinan atau peluang
adanya produk potensial lain yang mungkin dikembangkan. Kekhawatiran yang lain adalah
bahwa suatu desa menjadi terlalu berorientasi pada produk masa kini dan mengabaikan
peluang untuk mengembangkan produk masa depan yang barangkali pada saat ini belum
diterima pasar atau belum memberikan keuntungan financial yang memadai, meskipun
dimasa mendatang produk tersebut justru dapat menjadi tulang punggung perekonomian
warga desa. Maulana (2011: 17)
3.2. Defenisi Kompetensi Inti (core competence)
Pada dasarnya, kompetensi inti dibangun atas dasar produk / komoditas unggulan,
namun tidak semua produk /komoditas unggulan dapat menjadi suatu kompetensi inti suatu
daerah. Dan bisa jadi suatu kompetensi inti daerah, bukan berasal dari produk unggulan
daerah tersebut. Hal ini disebabkan, defenisi dari kompetensi inti yang lebih luas dan detail
ketimbang produk /komoditas unggulan.
26
Menurut departemen perindustrian ( 2007: xxvi), kompetensi inti adalah suatu
kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan
akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu
bisnis. Dalam perspektif ekonomi regional, kompetensi inti adalah kemampuan suatu
daerah untuk menarik investasi dari luar daerah itu, baik investasi asing maupun investasi
dalam negeri serta memfasilitasi perekonomian yang menghasilkan nilai tambah.
Defenisi ini sebenarnya dikutip dari pendapat Hamel dan Prahalad (1995). Defenisi ini
dan banyak defenisi kompetensi inti lainnya, bersandar pada aspek integrasi antara
keahlian dan teknologi yang dihasilkan dari proses pembelajaran, yang kemudian
membentuk daya saing, yang karakteristiknya sulit ditiru oleh pesaing atau daerah lainnya.
Defenisi ini juga mirip dengan pendapat dari Tjahajana, dalam artikelnya tentang :
kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah
(dalam departermen perindustrian, 2007:39), merumuskan kompetensi inti sebagai
kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan
akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu
bisnis. Kompetensi inti dapat dipandang sebagai suatu hasil dari pembelajaran kolektif,
sebagai penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai
kepada pelanggan, sebagai komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam
terhadap kerja lintas batas organisasi.
Berdasarkan kedua defenisi diatas maka kompetensi inti lahir dari aspek keahlian dan
teknologi yang unik, yang sulit ditiru pesaing dan berakar di suatu wilayah atau daerah serta
laku dan memiliki daya saing berkelanjutan di pasar. Keahian dan teknologi ini dihasilkan
oleh suatu akumulasi pembelajaran dalam kurun waktu yang relatif lama. Jadi berakar dari
masyarakat dan industri yang ada disuatu daerah atau wilayah. Departemen perindustrian (
2007:xxvii), menyatakan pengembangan kompetensi inti daerah didasarkan atas potensi
komoditi unggulan yang dimiliki suatu daerah + sejauh mana industri pengolahan di daerah
tersebut berkembang (seringkali industri yang ada IKM dan home industri).
Suatu komoditas unggulan atau suatu industri unggulan tidak akan dikatakan memiliki
kompetensi inti jika pengembangannya bersifat tradisional. Dalam arti bahwa sifat
tradisional ini menggunakan teknologi dan keahlian yang sederhana, sehingga mudah
dicontoh oleh pihak lain dalam pengembangannya serta memiliki nilai tambah yang rendah.
Contoh kasus produk kopra di Sulawesi Utara, sejak dahulu pengolahan buah kelapa
sampai menjadi kopra,dilakukan dengan cara tradisonal, yaitu dengan teknologi sederhana,
pengasapan. Dengan metode ini, kualitas kopra yang dihasilkan masih rendah karena
27
memiliki kadar air yang masih relatif tinggi dan bahkan mengandung zat-zat seperti
karbondioksida yang melekat dikopra selama proses pengasapan.
Pada kondisi ini, menurut hemat saya, tidak terjadi pembelajaran dalam pengolahan
kopra, padahal pengolahan kopra ini telah dilakukan secara turun temurun. Sebenarnya,
ada teknologi yang lebih baik yang dapat diadopsi oleh petani kelapa dalam proses
pengolahan kopra yaitu penggunaan teknologi kopra putih yang telah lama diadopsi di
Philipina. Pada hal, bentuk rumah pengasapannya tidak jauh berbeda dengan yang
tradisional, hanya mekanisme pengasapannya yang berbeda. Jika teknologi tradisional
menggunakan pengasapan langsung maka teknologi kopra putih menggunakan
pengasapan tidak langsung (seperti oven, yang gunakan panas). Perbedaan ini justru
menghasilkan harga kopra yang jauh berbeda, kopra putih lebih mahal harganya. Kondisi ini
tidak dapat bisa dijadikan kompetensi inti.
Menurut Tjahajana, dalam artikelnya tentang kebijakan pengembangan industri
nasional dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah (dalam departermen
perindustrian, 2007:39-40), Kompetensi inti mengarah pada pengembangan produk inti
yaitu perwujudan fisik dari satu atau lebih kompetensi-kompetesi inti. Produk inti (core
product) bukanlah produk yang secara langsung dijual kepada penggunae akhir (end user).
Produk inti digunakan untuk mengembangkan beragam produk akhir. Kompetensi inti
termanifestasi dalam produk inti yang merupakan penghubung antara kompetensi inti dan
produk akhir.
Defenisi dari Tjahajana, menjurus pada konsep diversifikasi produk dan rantai nilai
yang relatif panjang dari suatu komoditas. Semakin panjang rantai nilai maka semakin
mungkin produk tersebut dijadikan kompetensi inti, karena semakin panjang rantai nilai
maka semakin besar value addednya. Namun defenisi yang lebih luas datang dari Mulyadi
dan Monstiska, (2011:8), kompetensi dari perpektif ekonomi regional, adalah kemampuan
suatu daerah untuk menarik investasi dari luar daerah, baik investasi asing maupun
investasi dalam negeri.
De`fenisi dari Mulyadi dan Monstiska, (2011:8), sudah melihat kompetensi inti dari
perspektif ekonomi regional. Defenisi yang lebih lengkap diutarakan oleh Maulana, dalam
artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Hamel dan prahalad,
mendefenisikan kompetensi ini sebagai berikut :
1) Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan
perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran yang akan
28
bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-
sendiri tidak dapat optimal mendukung kemampuan bersaing
2) Hasil pembelajaran kolektif, khususnya mengenai bagaimana mengkoordinasikan
kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikan dengan arus
teknologi yang berkembang.
3) Penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai kepada
pelanggan. Keutamaan pemberian nilai kepada pelanggan akan memberikan
peningkatan pada kemampuan bersaing daerah.
4) Komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam terhadap kerja lintas batas
organisasi di suatu daerah. Masing masing organisasi dan institusi daerah harus
terintegrasi satu sama lain dan secara bersama-sama mengembangkan potensi daerah.
Defenisi-defenisi yang lain tentang kompetensi inti adalah:
1. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti
daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Barney,
menyatakan bahwa sumber daya dan kapabilitas penting bagi daya saing apabila
bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing. Kompetensi inti juga disarikan
menjadi kumpulan keahlian, pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis.
2. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti
daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Reve,
mendefenisikan kompetensi ini sebagai aset yang memiliki keunikan tinggi sehingga
berbeda dengan asset yang dimiliki daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya
saing ditentukan oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk kompetensi
inti.
3. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti
daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): menyatakan bahwa
kompetensi inti merupakan hasil dari “collective learning” dalam organisasi agar
mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan mengintegrasikan dengan
teknologi yang beragam secara optimal. Ditinjau dari aspek teoritis dan manajerial,
maka terdapat tiga masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti :
a) Penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses kewirausahaan atau
kemampuan inovasi.
b) Upaya upaya yang dilakukan dalam melindungi kompetensi inti untuk menjaga tetap
memiliki keunggulan komparatif.
29
c) Diperlukan perencanaan yang komprehensip mengenai insentif terutama dalam
menghadapi perilaku masyarakat.
4. Menurut Kotler (1994), ada 3 (tiga) syarat dari kompetensi inti yaitu :
a) Kompetensi inti harus menjadi sumber utama bagi keunggulan bersaing sehingga
dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ekonomi daerah
b) Kompetensi inti harus sulit ditiru pesaing.
c) Kompetensi inti harus memiliki bidang aplikasi yang luas dan dapat diterapkan
kepada seluruh elemen masyarakat di bidang pemerintahan, bidang usaha dan
bidang lainnya.
5. Menurut Departemen perindustrian ( 2007:vi), pembangunan industri berbasis
kompetensi inti daerah dapat ditempuh dengan cara memberikan fasilitas kepada
daerah sebagai pemicu ( trigger) dalam bentuk pendirian Unit pelaksana teknis
(common facilities service) yang berfungsi untuk memberikan bantuan layanan teknis di
bidang teknologi produksi dan manajemen bagi IKM di daerah.
6. kompetensi adalah kemampuan yang spesifik dalam suatu bidang atau jasa tertentu
sehingga dapat menjadi indikator penentu keberhasilan pembangunan disuatu daerah.
Tjahajana, kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan
kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian, 2007:40).
3.3. Defenisi daya saing daerah
Defenisi daya saing, kebanyakan didasari pada konsep produktivitas. Suatu daerah
yang memiliki produktivitas tinggi dapat dikatakan memiliki daya saing yang tinggi. Dalam
konteks produktivitas sebenarnya menggambarkan aspek efisiensi dan efektivitas. Efisiensi
lebih mengarah pada input sedangkan efektivitas lebih mengarah pada output. Pambudhi,
dalam artikelnya : Daya saing investasi daerah, opini dunia usaha, dalam Departemen
perindustrian ( 2007:95): menyatakan bahwa daya saing (competitiveness) pada umumnya
didefenisikan sebagai seberapa besar pangsa pasar produk suatu negara dalam pasar
dunia. Tetapi defenisi yang lebih tepat mengenai daya saing itu adalah produktivitas. Daya
saing disini meliputi kondisi makroekonomi, politik dan lingkungan hukum yang mendukung
perekonomian yang maju.
Defenisi dari Pambudhi, ini didasari pada konsep penguasaan pasar suatu negara
dalam pasar dunia (daya saing negara). Atau penguasaan pasar suatu daerah dalam pasar
nasional (daya saing daerah). Semakin besar pangsa pasar yang dikuasai suatu negara
atau daerah maka dikatakan semakin tinggi daya saing negara atau daerah tersebut.
30
Defenisi lain dari daya saing, melihat dari sisi produktivitas. Menurut satriagung,
dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya saing daerah, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:111-124), menyatakan bahwa konsep daya saing menurut
porter (1990) adalah produktivitas yang didefenisikan sebagai nilai output yang dihasilkan
oleh tenaga kerja. Sedangkan menurut World economic forum, daya saing nasional adalah
kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
bekelanjutan.
Defenisi dari Satriagung dan World economic forum masih berbau produktivitas yang
lebih menekankan pada aspek output. Baik secara mikro (produktivitas) maupun secara
makro (PDRB). Disamping sisi produk, ada juga yang melihat daya saing dari sisi
pendapatan.
Menurut UK-DTI, yang diterbitkan oleh Departemen perdagangan dan perindustrian
Inggris, daya saing adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun
internasional. Menurut Centre for urban and regional studies (CURDS) Inggris, daya saing
daerah adalah kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam
menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk
penduduknya.
Defenisi yang lebih luas dari daya saing adalah melibatkan aspek atau kontribusinya
pada kesejahtraan dan keberlanjutan pertumbuhan. Menurut satriagung, dalam artikelnya :
kendala dan tantangan membangun daya saing daerah, dalam Departemen perindustrian (
2007:111-124), jadi daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam
mencapai pertumbuhan tingkat kesejahtraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap
terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Beberapa indikator daya saing daerah
yang disebutkan oleh Pusat studi dan pendidikan kebanksentralan Bank Indonesia adalah :
1) perekonomian daerah
2) keterbukaan
3) sistem keuangan
4) infrastruktur dan sumber daya alam
5) ilmu pengetahuan dan teknologi
6) sumber daya alam
7) kelembagaan
8) governance dan kebijakan pemerintah
9) manajemen dan ekonomi mikro
31
3.4. Sejarah Daya Saing Pengusaha Lokal Di Indonesia
Menurut Adiningsih, dalam artikelnya : perkembangan daya saing perusahaan lokal,
dalam Departemen perindustrian ( 2007:127-141): perkembangan daya saing pengusaha
lokal di Indonesia dapat dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman pra kemerdekaan, zaman
revolusi, zaman orde baru dan zaman reformasi.
1) Zaman pra kemerdekaan
Pada zaman ini indonesia masih merupakan jajahan Belanda.
Pengusaha lokal sangat dikontrol oleh pihak penjajah
Pengusaha lokal dipaksa harus menanam tanaman tertentu untuk memenuhi
kebutuhan pihak penjajah
Hampir tidak ada peluang untuk lakukan inovasi bisnis dan pengembangan
kreativitas lokal
Daya saing sangat rendah
Dualisme perekonomian di saman penjajahan yaitu perekonomian modern dipegang
penjajah sedangkan perekonomian tradisional dijalankan oleh pengusaha lokal.
Sehingga kesenjangan ekonomi sangat tinggi.
2) Zaman revolusi
Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda,masyarakat pribumi sangat
bersemangat membangun negaranya yang baru saja merdeka
Daya saing pada saat itu ditentukan oleh negara atau perusahaan yang terkait
dengan perdagangan internasional
Teori daya saing yang berkembang adalah keunggulan komparatif yang sangat
bertumpu pada efisiensi produksi sehingga biaya produksi menjadi murah.
Pemerintah Indonesia saat itu menjalankan Politik Banteng yang bertujuan untuk
mengakumulasi kapital yang ada guna mendukung pembangunan. Yang ditandai
dengan nasionalisasi beberapa perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dan
bertujuan untuk meningkatkan daya saing pengusaha lokal
3) Zaman orde baru
Pada saman ini KKN berkembang di segala bidang, industri berkembang dengan
terkoneksi dengan kekuasaan (patron).
Daya saing pengusaha yang tidak dalam lingkaran kekuasaan menjadi lemah.
32
Industri lokal diproteksi dari masuknya produk-produk pesaing, pembatasan import
dilakukan untuk mencegah masuknya barang dari luar. Kondisi ini justru
menimbulkan efek negatif yaitu matinyadaya saing pengusaha lokal. Proteksi yang
berlebihan kepada produksi lokal menyebabkan ketidakefisienan.
Struktur ekonomi pada era orde baru relatif dangkal yang ditandai dengan besarnya
komponen import pada produk-produk domestik. Terjadinya ketergantungan
bahanbaku dari luar negeri sehingga industri dalam negeri rentan terhadap
perubahan perekonomian luar negeri.
Sebagian besar eksport merupakan produksi industri padat karya dn berteknologi
rendah sehingga tidak inovatif dan memiliki kemampuan bersaing di pasar
internasional yang rendah.
4) Zaman reformasi
Zaman reformasi dimulai sejak krisis ekonomi, seiring dengan kejatuhan Orde Baru
Daya saing pengusaha lokal masih rendah sehingga masih kalah bersaing dengan
produk-produk dari luar negeri (khsusnya china)
Setelah krisis, sektor industri mulai bangkit namun IKM masih belum berkontribusi
besar dalam perekonomian
Jawa masih tetap menjadi pusat industri
`pada masa ini ekonomi nasional ditopang oleh investasi dalam negeri akibat
hilangnya kepercayaan invesstor asing akibat ketidakstabilan politik, keamanan dan
sosial dalam negeri.
Persaingan industri semakin tinggi akibat adanya komitmen dan kerjasama
perdagangan bebas (mis. APEC, dll)
3.5. Faktor-Faktor Penentu Daya Saing Daerah
Membangun daya saing daerah, bukanlah pekerjaan mudah dan dapat dilakukan
dalam jangka waktu pendek. Hal ini dikarenakan, daya saing daerah bersifat multidimensi.
Menurut Departemen perindustrian ( 2007: xxv), menciptakan daya saing daerah, tidaklah
mudah karena menghadapi berbagai kendala, antara lain : (1) kelembagaan (2)
keamanan,politik, dan sosial budaya (3) ekonomi daerah (4) tenaga kerja (5) infrastruktur
fisik.
33
Banyak faktor yang harus dibenahi agar suatu daerah memiliki daya saing yang tinggi
baik pada tingkat nasional maupun global. Berikut ini beberapa faktor yang menentukan
daya saing dari beberapa sumber :
1. Elemen daya saing menurut porter secara detail adalah :
a) Factor condition (kondisi faktor ): faktor-faktor produksi : SDM (tenaga kerja
terampil), bahan baku, pengetahuan, modal, infrastruktur.
b) Firm strategy, structure and rivalry (strategi, struktur dan tingkat persaingan
perusahaan) : kondisi di dalam suatu bangsa yang menentukan bagaimana unit-unit
usaha terbentuk, diorganisasikan, dikelola dan tingkat persaingan di dalam negeri.
c) Demand condition (kondisi permintaan) : sifat permintaan di dalam negeri terhadap
produk atau layanan industri bersangkutan.
d) Related and supporting industries (industri terkait dan pendukung) : keberadaan
industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara
internasional.``
2. Menurut lembaga pemeringkat daya saing internasional yang berbasis di SWISS yaitu
IMD, mengemukakan ada 4 (empat) faktor penentu daya saing ekonomi suatu negara
yaitu :
a) Kinerja ekonomi
b) Efisiensi sektor pemerintah
c) Efisiensi sektor dunia usaha
d) infrastruktur
3. Menurut IMD dalam world competitivenes report (1993), daya saing suatu negara sangat
dipengaruhi oleh delapan faktor penentu yaitu :
a) kekuatan ekonomi domestik
b) sumber daya manusia (ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi)
c) ilmu pengetahuan dan teknologi (kapasitas iptek yang unggul dan handal)
d) manajemen (pengelolaan secara inovatif, profitable dan responsible)
e) internasionalisasi (derajat partisipasi suatu negara dalam perdagangan dan investasi
internasional)
f) keuangan (kinerja pasar modal dan kualitas pelayanan lembaga keuangan)
g) infrastruktur ( industri dan perdagangan yang memadai)
34
4. Menurut Pambudhi, dalam artikelnya : Daya saing investasi daerah, opini dunia usaha,
dalam Departemen perindustrian ( 2007:97), menurut hasil studi dari Komitepemantauan
pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD), daerah yang berdaya saing tinggi dapat
diindikasikan dari beberapa indikator yaitu :
a) Kelembagaan : mencakup kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, kebijakan
daerah dan kepemimpinan lokal
b) Keamanan,politik dan sosial budaya
c) Ekonomi daerah : mencakup potensi ekonomi dan struktur ekonomi
d) Tenaga kerja : mencakup ketersediaan tenaga kerja, kualitas tenaga kerja dan biaya
tenaga kerja
e) Infrastruktur fisik: mencakup ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur
fisik
5. Menurut satriagung, dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya saing
daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:111-124), daya saing menurut Pusat
studi dan pendidikan kebanksentralan Bank Indonesia (2002), harus
mempertimbangkan beberapa hal yaitu :
a) daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau efisiensi
pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefenisikan daya
saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor
swasta atau perusahaan”
b) pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga
rumah tangga, pemerintah dan lain lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem
ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan
dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal
itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.
c) Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain
adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian
tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang mahaluas yang pasti
tidak hanya tergambarkan dalam suatu besaran variabel seperti pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi
dalam rangka peningkatan standart kehidupan masyarakat.
35
d) Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan
terhadap kompetisi dengan kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi
kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.
6. Menurut Rachbini, strategi “export led industry” dan daya saing berkelanjutan, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:65-75):, faktor penentu daya saing adalah
a) Keterbukaan (institusi keuangan dan perdagangan), good governance
b) Ketersediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan laut, bandara)
c) Peranan pemerintah (sebagai fasilitator, regulator dan pro ekonomi)
d) Teknologi, kelembagaan publik (terjaminnya hak kepemilikan), lingkungan ekonomi
makro (indeks daya saing pertumbuhan ekonomi)
e) Menurut porter : strategi, struktur dan persaingan perusahaan, sumber daya
disebuah negara, permintaan domestik dan keberadaan industri terkait dan
pendukung.
Disamping faktor-faktor penentu diatas, maka dalam upaya meningkatkan daya saing
daerah, maka diperhadapkan dengan berbagai kendala baik yang berasal dari pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah.
1) Faktor-Faktor yang berasal dari Pemerintah pusat
a. Kurang lengkapnya undang-undang
b. Lemahnya dukungan insentif fiskal
c. Belum kuatnya kebijakan pengembangan industri unggulan nasional
d. Lemahnya integrasi antara pusat dan daerah
e. Lemahnya dukungan perundang-undangan untuk mendorong sektor intermediasi
f. Lemahnya penanganan terhadap gangguan daya saing industri
g. Kebijakan klastering sektor industri yang belum berjalan optimal
2) Faktor-faktor yang berasal dari internal kabupaten / kota
a. Kelembagaan (mencerminkan seberapa kuat iklim sosial, politik, hukum dan aspek
kemaman mampu mempengaruhi secara positip aktivitas perekonomian di daerah)
b. Infrastuktur (fisik dan non fisik)
c. Sumber daya manusia (angkatan kerja yang terampil, pelatihan dan pendidikan,
sikap dan nilai, dan kualitas hidup masyarakat)
36
d. Lemahnya jaringan informasi
e. Pelaku usaha (keterbatasan informasi peluang pasar, keterbatasan informasi potensi
unggulan daerah, lemahnya dukungan permodalan khususnya untuk industri baru)
f. Pertanahan (sulitnya proses pembebasan tanah, rumitnya proses sertifikasi)
g. Keterbatasan supply energi
Menurut Adiningsih, dalam artikelnya : perkembangan daya saing perusahaan lokal,
dalam Departemen perindustrian ( 2007:127-141), terdapat permasalahan-permasalah yang
utama dalam perkembangan daya saing pengusaha lokal yaitu:
1) permasalahan dalam aspek ketenagakerjaan
a. etos kerja dan motivasi kerja yang rendah ( 51.5%)
b. adanya ketentuan mengenai jam kerja yang menghambat produktivitas (12.4%)
c. hubungan antar tenaga kerja yang kurang harmonis (6.2%)
d. adanya konflik antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam hubungan kerja (5.2%)
e. belum berfungsinya lembaga yang mengatasi perselisihan hubungan kerja (3.1 %)
2) permasalahan dalam aspek manajemen
a. pemasaran produk yang kurang efisien (33.0%)
b. perusahaan belum menerapkan sistem akuntansi dan audit yang baik (21.6%)
c. perusahaan kurang dapat beradaptasi dengan cepat pada perubahan lingkungan
usaha (14.4%)
d. manajer kurang kompeten dalam manajemen usaha (12.4 %)
e. perusahaan belum dapat memenuhi kepuasan pelanggan ( 12.4%)
f. etika manajemen kurang mendukung (9.3%)
g. manajer kurang memiliki jiwa kewirausahaan (5.2%)
h. para manajer kurang memperhatikan masalah kesehatan, keamanan dan lingkungan
(3.1 %)
i. dewan penasehat di perusahaan kurang berfungsi secara efektif (2.1%)
j. tanggungjawab sosial perusahaan belum maksimal (1.0%)
3) Permasalahan dalam aspek budaya
a. rendahnya fleksibilitas dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap tantangan
baru (29.9%)
37
b. nilai-nilai masyarakat kurang mendukung budaya persaingan ( 25.5%)
c. masyarakat kurang memahami pentingnya perubahan kebijakan ekonomi dan sosial
(18.6%)
d. kurangnya perilaku yang positip mengenai globalisasi (14.7%)
e. kurangnya citra positip terhadap pasar di luar negeri (11.7%)
f. nilai-nilai perusahaan dapat dipahami dan dijalankan oleh tenaga kerja (4.1`%)
Namun terlepas dari kendala dan kompleksitas faktor-faktor penentu daya saing
daerah, kita tentunya tidak boleh berkecil hati dalam mencapainya. Untuk itu pemerintah
harus ciptakan iklim berusaha yang kondusif : kebijakan daerah yang pro investasi, inovasi,
berbagai peraturan daerah yang mendukung perkembangan industri di daerah. Sehingga
dalam jangka panjang daya saing daerah akan meningkat, sehingga tujuan pembangunan
ekonomi di daerah dapat secepatnya tercapai.
3.6. Konsep SAKA-SAKTI (satu kabupaten-satu kompetensi inti)
Konsep SAKA-SAKTI adalah salah satu konsep penciptaan kompetensi inti di tiap
kabupaten di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan oleh Martani Huseini dalam pidato
pengukuhan guru besarnya di Universitas Indonesia, pada tahun 1999, memperkenalkan
model Sakasakti (satu kabupaten, satu kompetensi inti) untuk membangun daya saing
daerah yang dapat dikatakan memanfaatkan konsep kompetensi inti dari Hamel dan
Prahalad (1995) dan Hitt (1996) tentang sumber sumber daya saing organisasi dan Sveiby
(1999) tentang daya saing berbasis sumber daya. Maulana (2011: 17)
Jika konsep OVOP bertitiktolak dari identifikasi dan pengembangan produk
unggulan, maka model sakasakti lebih difokuskan pada identifikasi kompetensi khas
yang dimiliki suatu daerah yang diyakini menjadi sumber terciptanya suatu produk
unggulan. Artinya, model sakasakti difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi
kompetensi yang dimiliki (atau soyogyanya dimiliki) suatu daerah (kabupaten/kota) dengan
mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada di suatu daerah. Maulana (2011: 17).
Model konseptual saka-sakti, merupakan keterkaitan antara rantai nilai dari komoditas
unggulan yang dibentuk dari 3 (tiga) komponen utama yaitu pembelajaran kolektif (collective
learning), kompetensi (competency) dan sumber daya (reseources: tangible maupun
intangible). Ketiga komponen utama ini dipengaruhi oleh social capacity yang terbentuk dari
sembilan faktor yang dikembangkan oleh Choo and Moon yaitu
1. Politisi dan birokrat
38
2. Tenaga kerja
3. Manajer dan insinyur profesional
4. Wirausahaan
5. Lingkungan bisnis
6. Sumber daya
7. Permintaan domestik
8. Industri terkait dan pendukung
9. Peluang eksternal
Selanjutnya Konsep SAKA-SAKTI, dikembangkan dengan memperhatikan :
1. Pemberdayaan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar sumber
daya saing yang sudah ditetapkan sebagai kompetensi inti, baik yang bersifat tangible,
intangibles¸ maupun very intangibles. `
2. Kabupaten /kota dikembangkan bukan berdasarkan komoditi atau produk unggulan
melainkan berdasarkan kompetensi inti. Komoditas unggulan tidak selalu mendapatkan
seluruh dukungan dari sumber daya yang ada di daerah tersebut. Namun salah satu
komoditas unggulan dapat dijadikan dasar pengembagan pembentukan kompetensi inti.
3. Pengembangan kompetensi inti didasarkan pada pembelajaran kolektif dari sumber
daya manusia yang ada sehingga dukungan pada kompetensi inti dapat diwujudkan.
4. Kerjasama atau kemitraan daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti
yang berbeda contonya melalui kebijakan rantai nilai lintas batas dan analisis skala dan
cakupan ekonomis.
Ada 3 (tiga) variabel kunci implementasi SAKA-SAKTI :
1. Komoditas Unggulan. Komoditas unggulan adalah komoditas yang memberikan nilai
tambah dan sumbangan pendapatan tertinggi pada suatu perekonomian daerah.
Terdapat tiga hal menarik menyangkut komoditas unggulan , yaitu :
a. Penentuan komoditas unggulan memegang peran kunci dalam pengembangan
perekonomian daerah.
b. Tidak semua daerah sukses dalam pengembangan komoditas unggulan di
daerahnya.
c. Penentuan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-
beda. Kriteria yang banyak digunakan oleh pemerintah daerah terhadap penentuan
komoditas unggulan adalah produk khas daerah, memiliki jumlah unit usaha relatif
banyak dibanding komoditas lain, banyak menyerap tenaga kerja dan memenuhi
39
kepentingan beberapa dinas daerah yang terkait . jadi Harus ada perubahan
paradigma dari “orientasi produk unggulan” menjadi “komptensi inti daerah”.
2. Analisis rantai nilai (value chain analysis). Untuk analisis rantai nilai lebih detail,
dapat dilihat pada bab tentang rantai nilai.
3. Penyusunan Kompetensi inti.
Implementasi konsep saka sakti ,dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai
berikut :
1. Identifikasi komoditas / produk unggulan. Komoditas unggulan yang terpilih haruslah
memiliki akses kepasar domestik dan internasional yang mudah, memiliki kontribusi
pada perekonomian daerah yang besar, tidak mudah ditiru serta memiliki nilai tambah
ekonomis dan sosial yang tinggi.
2. Analisis sembilan faktor daerah
3. Analisis rantai nilai komoditas unggulan yang menyeluruh mulai dari pasokan bahan
baku, bahan setengah jadi, produksi barang jadi hingga proses distribusi kepada
konsumen.
4. Tentukan kompetensi inti yang akan dikembangkan berdasarkan hasil analisis rantai
nilai. Kompetensi inti didasarkan pada analisis yang akurat dan didukung oleh metode
yang tepat
5. Identifikasi kesenjangan pada sembilan faktor yang ada. Kesenjangan ini harus segera
diperkecil agar pengembangan kompetensi inti tidak terkendala.
Keterkaitan antara kompetensi inti dengan pemasaran (MASUKKAN GAMBAR HAL
156) :
1. Pemasaran yang holistik diwujudkan dengan pemasaran fokus pada konsumen yang
memiliki keterkaitan dengan 3 komponen inti dari kompetensi inti yaitu ruang
kompetensi, domain bisnis dan manajemen sumber daya internal. Fokus pada
konsumen dapat dicapai dengan memperhatikan tiga aspek yaitu :
a. Ruang kognitif
b. Keuntungan konsumen yang dapat diindikasikan dengan kepuasan konsumen
c. Pengelolaan hubungan dengan konsumen untuk menciptakan loyalitas konsumen
agar produk dapat terus berkembang
2. Hal-hal yang berkaitan dengan pemasaran logistik adalah :
a. Kemampuan daerah dalam mengidentifikasi peluang peluang baru yang bernilai
tinggi (value exploration)
40
b. Kemampuan daerah untuk secara efisien menciptakan nilai-nilai baru yang lebih
menjanjikan untuk ditawarkan kepada pasar (value creation)
c. Kemampuan daerah dalam memanfaatkan kapabilitas dan infrastuktur yang dimiliki
untuk menyampaikan nilai baru yang ditawarkan secara lebih efisien (value delivery)
3. Value creation menuntut kebupaten / kota memiliki tiga ketrampilan penciptaan nilai
yaitu :
a. Identifikasi manfaat yang dibutuhkan pasar. Pemerintah harus berusaha
menciptakan pasar-pasar baru yang mendorong berkembangnya komptensi inti
daerah
b. Memanfaatkan kompetensi inti dari domain bisnisnya. Penciptaan nilai diharapkan
dapat mengikutsertakan kalangan bisni untuk berperan aktif dalam pembangunan
daerah
c. Memilih dan mengelola mitra usaha dari jejaring kolaboratifnya untuk mendukung
keseluruhan proses produksi yang ada. Pemerintah daerah harus mengupayakan
berbagai alternatif mitra bisnis untuk mengurangi ketergantungan pada satu pihak
saja. Kemitraan rantai nilai adalah suatu kemitraan yang dibangun oleh dua atau
lebih kabupaten/kota untuk mengembangkan suatu industry yang menghasilkan nilai
tambah tinggi bagi para pemangku kepentingan. Maulana (2011: 19)
3.7. Metodologi Penentuan Kompetensi Inti Di Daerah
Kompetensi inti di suatu daerah, tidak akan berjalan optimal jika tidak dianalisis
dengan baik eksistensinya. Pengembangan kompetensi inti, setidaknya berkaitan dengan
produk atau komoditas unggulan daerah, proses penetapannya dan perumusan strategi
pengembangannya. Kesalahan dalam penentuan industri yang berbasis kompetensi inti,
akan menyebabkan pemborosan pembiayaan dan pengembangan daya saing daerah.
Menurut Tjahajana, kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan
kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian, 2007:39-41), dalam pelaksanaan
strategi pengembangan kompetensi inti daerah, hendaknya berawal dari penentuan sektor
dan sub sektor unggulan guna merumuskan kompetensi inti daerah yang bersangkutan
sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangannya.
Untuk itu diperlukan suatu metodologi yang lebih akurat dalam penentuan kompetensi
inti daerah. Menurut Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah,
dalam Departemen perindustrian ( 2007:197-222): ruang lingkup metodologi penentuan
41
kompetensi inti daerah mencakup pendalaman materi dan penyusunan dokumen-dokumen
sebagai berikut :
1. Analisis terhadap faktor kompetensi inti dan gagasan pemikiran, strategi kebijakan
aparat serta isu-isu terkait dari perspektif dari stakeholders (termasuk masyarakat
umum, pelaku usaha dan pihak lainnya)
2. Verifikasi dan konsolidasi berbagai perspektif, strategi dan kebijakan dalam rangka
perumusan kompetensi inti daerah.
3. Penentuan /perumusan kompetensi inti daerah
4. Penyusunan rencana tindak (rencana implementasi) pengembangan kompetensi inti
daerah
5. Diseminasi hasil rumusan pengembanga kompetensi inti daerah (penentuan kompetensi
inti, rencana strategis dan rencana tindak) berupa seminar / workshop terbatas yang
dihadiri oleh departemen perindustrian, pemerintah daerah dan instansi / unsur lainnya
yang terkait
Selanjutnya dikatakan bahwa ada delapan tahapan dalam menyusun kompetensi inti
daerah yaitu :
1. Pengenalan kondisi dengan menyusun daftar potensi dan permasalahan yang ada
2. Identifikasi sektor berikut sub sektor industri yang menjadi andalan suatu daerah
3. Identifikasi produk unggulan
4. Penyaringan hasil identifikasi produk unggulan sehingga mendapatkan produk unggulan
prioritas
5. Penyusunan rantai nilai atau value chain
6. Penyusunan kompetensi inti
7. Penyusunan strategi pengembangan kompetensi inti.
8. Penyusunan rencana tindak (action plan)
Secara umum tahapan kajian diuraikan sebagai berikut :
42
GAMBAR 3.1 Tahapan Penelitian Kompetensi Inti
Sumber : Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:197-222)
Tahap pertama adalah identifikasi atas potensi, permasalahan dan tantangan yang
ada disuatu daerah. Setelah itu, diadakan analisis untuk menentukan sektor dan sub sektor
andalan daerah. Tujuan analisis ini adalah agar analisis lebih terkonsentrasi pada sektor
dan sub sektor yang paling berperan dalam perekonomian daerah. Dari analisis sektor dan
sub sektor andalan tadi, kemudian diidentifikasi produk-produk unggulannya. Setelah
produk unggulan diketahui maka dipilih dua atau tiga produk yang akan disebut sebagai
produk unggulan strategis.
Berdasarkan produk-produk unggulan strategis maka langkah selanjutnya adalah
dengan menganalisis rantai nilainya (value chain), yang tentunya dianalisis berdasarkan
pohon produknya. Dalam analisis rantai nilai, akan diketahui produk turunan mana yang
memberikan nilai tambah terbesar. Produk dengan nilai tambah terbesar inilah yang
menjadi dasar penentuan kompetensi inti suatu daerah. Agar penentuan kompetensi inti ini
lebih akurat maka harus ditambahkan analisis karakteristik kompetensi inti yang
berdasarkan pada karakteristik-karakteristik seperti : dikembangkan berdasarkan keahlian
dan teknologi akibat pembelajaran kolektif, sukar ditiru, memiliki daya saing yang tinggi di
Faktor Kondisi :
1. potensi
2. permasalahan
3. Tantangan
Sektor dan sub sektor andalan
daerah
produk
unggulan
produk unggulan strategis
rantai nilai
Kompetensi Inti
Strategi pengembangan kompetensi inti
rencana tindak
43
pasar regional, nasional dan global, diterima dimasyarakat dan karakteristik kompetensi inti
lainnya.
Setelah ditentukan kompetensi intinya maka kemudian disusun strategi
pengembangan kompetensi intinya. Setelah strategi pengembangan disusun maka
dilakukan pembuatan rencana tindak (action plan). Rencana tindak akan berisi tahapan
pengembangan, sumber dan jumlah pembiayaan infrastuktur, peraturan daerah yang
memanyunginya dan aspek teknis lainnya.
Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:197-222), untuk penentuan produk unggulan maka :
1. Pengenalan kondisi berupa menyusun daftar potensi dan permasalahan yang ada
dengan menggunakan analisis SWOT.
a. Sel 1 adalah situasi yang paling menguntungkan. Disini perusahaan memiliki
beberapa peluang lingkungan dan memiliki berbagai kekuatan yang dapat
digunakan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut. Situasi ini menyarankan
strategi yang berorientasi pada pertumbuhan ( growth oriented strategy) untuk
mengeksploitasi perpaduan yang menguntungkan.
b. Sel 2 adalah situasi dimana perusahaan memiliki kekuatan-kekuatan utama namun
berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dalam situasi ini, disarankan agar
mengembangkan strategi alternatif yang dapat memaksimalkan kekuatan-kekuatan
yang ada untuk menghadapi ancaman yang ada.
c. Sel 3 adalah situasi dimana posisi perusahaan menghadapi peluang yang tinggi
/impresif namun terhambat oleh kelemahan-kelemahan internal. Fokus strategi dari
perusahaan yang mengalami situasi ini adalah menghilangkan kelemahan internal
agar dapat lebih mengejar peluang (mendukung strategi yang berorientasi “turn
around”.
d. Sel 4 adalah situasi dimana posisi perusahaan berada pada kondisi yang paling
tidak menguntungkan. Disini perusahaan menghadapi ancaman lingkungan yang
utama dari suatu posisi yang relatif lemah. Situasi ini jelas memerlukan strategi-
strategi yang efektif untuk mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada sehingga
perusahaan dapat bertahan hidup dan terhindar dari kebangkrutan.
44
`
2. Memasukkan hasil analisis swot pada matrik seperti pada gambar 3.2
3. Merumuskan / menganalisis tahapan dari produk unggulan sampai penentuan
kompetensi inti dengan beberapa metode yang sering dipakai. Tahapan metode yang
digunakan menurut tahapan penentuan kompetensi inti adalah :
a. Penentuan kriteria untuk menghasilkan lima produk unggulan paling atas
b. Penggunaan metode AHP (analytic hierarchy process) dan diskusi untuk menyaring
lima produk unggulan menjadi dua produk unggulan prioritas. Dalam pelaksanaanya,
terkadang digunakan SWOT untuk membantu dan mengarahkan jalannya diskusi.
c. Penggunaan FGD (focus group discussion) dan analisis ROI untuk menentukan satu
produk unggulan prioritas.
d. Penggunaan FGD (focus group discussion) untuk menentukan rantai nilai
e. Penggunaan Fuzzy untuk menentukan kompetensi inti.
Sel 3: mendukung
strategi yang
berorientasi pada
“turn around”
Sel 4: mendukung
strategi Defensif
Sel 1: mendukung
strategi agresif
Sel 4: mendukung
strategi diversifikasi
PELUANG
ANCAMAN
KEKUATAN PELUANG
Gambar 3.2 Diagram Analisis SWOT
45
4. Menggunakan metode AHP untuk menentukan dua produk unggulan prioritas. AHP
adalah sebuah alat analisis yang didukung oleh pendekatan matematika sederhana dan
dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan “decision making” seperti
pengambilan kebijakan atau penyusunan prioritas dengan cara melakukan penilaian
perbandingan antara komoditi /produk / jenis usaha untuk setiap kriteria didasarkan
atas kondisi saat ini dan prospeknya. Metode ini menggunakan penilaian seseorang
atau beberapa orang yang dianggap pakar untuk mengidentifikasi kriteria mana yang
lebih penting yang dapat menunjukkan komoditi /produk / jenis usaha unggulan. Dari
persepsi pakar tersebut, nantinya akan diperoleh suatu bobot kuantitatif bagi kriteria-
kriteria penetapan komoditi /produk / jenis usaha unggulan. Metode AHP menggunakan
kriteria dan sub kriteria yang dimasukkan ke dalam level-level tertentu. Tujuan akhir dari
metode AHP adalah memberikan penilaian secara kuantitatif penetapan komoditi
/produk / jenis usaha usaha unggulan. Nilai inilah yang menunjukkan komoditi /produk /
jenis usaha unggulan di suatu wilayah( masukkan gambar 11.4 pada halaman 205)
5. Analisis Kompetensi inti.
6. Analisis rantai nilai
7. Penentuan kriteria kompetensi inti : memiliki bagian peluang (opportunity share),
sanggup merebut market share, memiliki production skill, teknologi, pembelajaran
kolektif, sulit di tiru, memiliki aplikasi yang luas, memberikan kontribusi yang nyata bagi
konsumen, biaya yang rendah, penentu keberhasilan usaha, memiliki keunikan yang
tinggi.
Lima besar
produk
unggulan
Dua produk
unggulan
prioritas
Satu produk
unggulan
fokus
Penentuan
rantai nilai
Penentuan
kompetensi
Inti
Kriteria AHP + diskusi FGD + ROI FGD FUZZY
Gambar 3.3 Metode dari penyusunan produk unggulan hingga penentuan kompetensi inti
46
8. Penyusunan strategi pengembangan dan implementasinya. (masukkan gambar 11.7
dan 11.8 dihalaman 215 dan 217).
Contoh kasus strategi dan implementasi dari pengembangan kompetensi inti daerah untuk
kota palu (industri rotan ).
TABEL 3.1
Strategi Dan Implementasi Dari Pengembangan Kompetensi Inti Daerah Untuk Kota Palu
(Industri Rotan ).
Item strategi item Keterangan
1. Kondisi Umum
a. fokus Industri rotan
b. kompetensi inti Industri mebel rotan (finishing)
c. sasaran Memberdayakan masyarakat lokal
d. tujuan Meningkatkan nilai tambah di tingkat msyarakat lokal
2. strategi Rekayasa kelembagaan dan meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai melalui 6 pendekatan
1. rekayasa kelembagaan petani : meningkatkan pendapatan petani desa dengan menggeser aktivitas penggorengan rotan ke kelompok tani(petani, ketua kelompok, pengumpul dan pedagang)
2. membangun unit pelayanan teknis (UPT) yang memberikan fasilitas peralatan mesin rotan, pemasaran dan pendidikan /pelatihan
3. pembangunan kawasan industri dan badanotoritas kawasan industri
4. penciptaan badan promosi Palu
5. dukungan sumberdaya manusia melalui sekolah khusus rotan
6. dukungan infrastruktur fisik
3. skenario implementasi strategi
a. skenario inkremental
Implementasi secara gradual melalui 3 tahap (petani menjadi pengelola rotan asalan, pengelola rotan asalan menjadi pengelola rotan setengah jadi, pengelola rotan setengah jadi menjadi industri mebel
b. skenario percepatan
Investor industri pengolahan rotan setengah jadi membuka usaha di kawasan industri
c. skenario progresif
Investor industri pengolahan rotan setengah jadi dan investor industri pembuatan mebel rotan sekaligus membuka usahanya di kawasan industri
4. 3 tahapan pengembangan kompetensi inti
a. Tahap 1 (2007-2009)
1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah di tingkat petani
2. Strategi : menggeser aktivitas penggorengan yang sebelumnya berada di tingkat pengusaha ke tingkat petani (rekayasa kelembagaan di tingkat petani)
3. Output : menghasilkan rotan asalah
47
4. Langkah –langkah : a. Petani pemunggut dan pengumpul (non
penggorengan) membentuk kelompok kerja b. Kelompok tersebut melakukan aktivitas
penggorengan rotan
b. Tahap 2 (2008-2011)
1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah ditingkat petani
2. Strategi : menggeser aktivitas pengolahan rotan setengah jadi ke tingkat petani
3. Output : menghasilkan rotan setengah jadi 4. Langkah-langkah :
a. Rotan asalah hasil pengolahan kelompok petani, diolah menjadi rotan setengah jadi
b. Memanfaatkan fasilitas pengolahan rotan setengah jadi yang menjadi milik UPT yang berada di kawasan industri dengan cara menyewa
c. Tahap 3 (2010-2022)
1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah dan ketrampilan masyarakat
2. Strategi : mendorong masyarakat untuk bergerak di bidang pembuatan mebel rotan
3. Output : menghasilkan mebel 4. Langkah-langkah :
a. Rotan setengah jadi hasil olahan di UPT digunakan sebagai bahan baku pembuatan mebel rotan
b. Memanfaatkan fasilitas UPT terkait dengan pembuatan mebel
c. Menjalin kerjasama antar pengrajin dengan pengusaha mebel rotan yang ada di kawasan industri
d. Menjalin kerjasama dengan pelaku usaha perdagangan mebel rotan di sentra industri di Pulau Jawa seperti Cirebon.
3.8. Hubungan Kompetensi Inti dan Daya Saing Daerah
Kompetensi inti memiliki hubungan yang erat dengan daya saing daerah. menurut
Mulyadi dan Monstiska, (2011:8), seharusnya, kebijakan pengembangan industry diarahkan
untuk mengembangkan industry daerah dengan cara optimalisasi potensi sumber daya
local, sehingga kebijakan pengembangan kawasan industry di daerah harus diarakan untuk
memfasilitasi industry yang berbasis kompetensi inti industry daerah. Selanjutnya dikatakan
bahwa manfaat dari pengembangan kompetensi inti adalah :
1. terwujudnya pertumbuhan ekonomi oleh karena meningkatnya pendapatan riil
masyarakat, meningkatnya penanaman modal dan meningkatnya tabungan masyarakat.
2. Terciptanya full employment atau tingkat penangguran yang rendah
48
3. Memperbaiki ketidakserasian akibat disparitas antar wilayah
4. Memungkinkan terjadinya kerjasama antar daerah berlandaskan kedekatan dan potensi
yang sama serta masuk dalam rantai nilai komoditi yang akan dikembangkan.
Hal ini identik dengan pendapat dari Departemen perindustrian ( 2007: xxvi), bahwa
manfaat yang diharapkan dari pengembangan kompetensi inti yang dimaksud antara lain :
1. Terwujudnya pertumbuhan ekonomi oleh karena meningkatnya pendapatan riil
masyarakat, meningkatnya penanaman modal dan meningkatnya tabungan masyarakat
2. Terciptanya full employment atau setidak-tidaknya pencapaian tingkat pengangguran
yang rendah
3. Memperbaiki ketidakserasian sebagai akibat dari disparitas antar wilayah dalam upaya
untuk memperkecil perbedaan pendapatan per kapita antar golongan masyarakat dan
antar wilayah
4. Memungkinkan terjadinya kerjasama antar daerah berlandaskan kedekatan dan potensi
yang sama serta masuk dalam rantai nilai komoditi yang akan dikembangkan.
Kedua pendapat diatas dalam menjelaskan hubungan atau manfaat dari
pengembangan kompetensi inti daerah dengan daya saing daerah. Suatu daerah yang
memiliki satu atau beberapa kompetensi inti, akan menyebabkan jumlah produk (barang
atau jasa) yang dihasilkan suatu daerah akan meningkat. Mengapa demikian ? karena
produk yang menjadi kompetensi inti adalah produk yang laku dijual (daya saing tinggi)dan
sulit ditiru. Hal ini menyebabkan permintaan akan produk tersebut juga menjadi tinggi,
sehingga secara agregrat dapat meningkatkan nilai PDRB suatu daerah.
Semakin banyak produk yang menjadi kompetensi inti suatu daerah akan memicu
perkembangan industri atau perusahan yang berbasis produk tersebut. Hal ini akan
menyebabkan industri itu menarik bagi investor, konsekuensinya modal dari luar daerah
(nasional maupun luar negeri) akan masuk ke daerah. Perkembangan industri berbasis
kompetensi ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga akan mengurangi
pengangguran dan kemiskinan di daerah tersebut. Peningkatan daya serap tenaga kerja
akan diimbangi dengan penambahan pendapatan masyarakat dan otomatis meningkatkan
daya menabung masyarakat. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah meningkatnya
kesejahtraan daerah yang dapat meminimalkan disparitas kesejahtraan dengan wilayah
yang lebih makmur lainnya.
Berkembangnya industri yang berbasis pada kompetensi inti disuatu daerah akan juga
menyebabkan permintaan bahan baku yang lebih besar. Apabila bahan baku tidak dapat
dipenuhi dari dalam daerah tersebut maka kemudian akan disupply dari daerah lain. Pada
49
kondisi ini akan tercipta konektivitas dengan daerah lain khususnya menyangkut supply
bahan baku dan aspek produksi lainnya. Konektivitas antar wilayah juga akan semakin kuat
jika wilayah lain masuk dalam rantai nilai (value chain) dari produk yang dikembangkan
disuatu daerah.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan
daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen perindustrian (
2007:145-158): bahwa kompetensi inti berperan dalam membangunan daya saing daerah
dalam hal :
1. Menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai industri
yang akan dikembangkan. Pemilihan industri yang tepat akan memberikan dampak
yang lebih baik bagi pengembangan daya saing daerah.
2. Sumber keunggulan daerah dalam menghadapi kompetisi global, serta mendorong
kemandirian pembangunan.
Pendapat dari Maulana ini mengaitkan antara pengembangan kompetensi inti dengan
kebijakan daerah. Hal ini logis karena pengembangan industri yang berbasis kompetensi
inti, tentunya perlu didukung oleh infrastruktur dan kondisi atau iklim berusaha yang
kondusif didaerah. Dengan bantuan pemerintah daerah, salah satunya lewat kebijakan
daerah yang pro investasi maka akan mempercepat pengembangan daya saing daerah
tersebut.
Peranan pemerintah dalam pengembangan kompetensi inti di daerah juga diutarakan
oleh Huseini dan Fauzi, dalam artikelnya : pengembangan kompetensi inti dibidang kelautan
dan perikanan, dalam Departemen perindustrian ( 2007:161-197): mereka menyatakan
bahwa ada tiga agent dalam pengembangan kompetensi inti yaitu (masukkan gambar di
hal 185) :
1. Pemerintah daerah (aspek kawasan /teritorial, kelembagaan, politik, sosial budaya)
2. Pemerintah pusat (aspek SDM, kewenangan dan IPTEK)
3. Swasta (aspek Sense of business, market, net work, modal , lahan)
Tjahajana, dalam artikelnya tentang : kebijakan pengembangan industri nasional
dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian,
2007:39-41), menyatakan bahwa peran dari kompetensi inti dalam mengembangkan daya
saing daerah :
1 Kompetensi inti sebagai pemacu kegairahan perekonomian daerah (misalnya : adanya
pembaharuan peraturan-peraturan daerah yang dinilai kontra produktif dengan investasi
/ iklim bisnis di daerah)
50
2 Kompetensi inti sebagai indikator penentu keberhasilan pembangunan di daerah.
3 Kompetensi inti sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan daerah
4 Kompetensi inti sebagai syarat berkompetisi
5 Kompetensi inti sebagai jati diri daerah
Untuk menyakinkan bahwa pengembangan kompetensi inti didaerah berhasil, maka
ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya. Menurut Maulana,
dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam
Departemen perindustrian ( 2007:145-158): indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan kompetensi inti adalah :
1. Kinerja ekonomi, untuk menangkap outcome pengembangan kompetensi inti. Indikator
ekonomi antara lain : pendapatan asli daerah, tingkat pengangguran, tingkat inflasi
maupun besaran-besaran setiap sektor usaha.
2. Jaringan dan kemitraan antara pemerintah daerah dan dunia usaha. Kemitraan juga
dijalin antar daerah dan apabila memungkinkan dapat menjalin kerjasama dengan
investor luar negeri.
3. Perluasan modal sosial masyarakat. Modal ini diperlukan untuk mendukung proses
pengembangan kompetensi inti melalui semangat kerja dari masyarakat di daerah.
4. Inovasi melalui peningkatan penelitian dan pengembangan. Termasuk didalamnya;
penambahan kapasitas penelitian dan pengembangan. Indikator yang bisa digunakan
adalah kreativitas dan inovasi-inovasi dan pengembangan kompetensi inti daerah.
5. Indikator sumber daya manusia, berupa : keahlian, ketersediaan dan kualitas tenaga
kerja daerah.
6. Pengembangan perekonomiandan dunia usaha yang dapat menunjukkan keterlibatan
tenaga kerja serta ketersediaan lapangan kerja. Indikator yang bisa digunakan adalah :
tingkat pekerja, jumlah perusahaan beserta kinerja dan hasilnya.
Lebih lanjut Maulana, menyatakan bahwa ada tiga macam sumber daya daerah yang
dioptimalkan dalam mendukung kompetensi inti daerah yaitu:
1. Sumber daya yang bersifat tangible, misalkan ; pegawai, masyarakat, sumber daya
alam, sumber daya keuangan, produk,infrastruktur. Sumber daya jenis ini lebih dapat
dilihat paa ketersediaanya secara fisik saja.
2. Sumber daya yang bersifat intangible, antara lain : kemampuan pegawai, kualitas
masyarakat, efisiensi biaya, kualitas produk.