babtigakek.pdf

29
23 BAB III PRODUK UNGGULAN, KOMPETENSI INTI, DAN DAYA SAING PEREKONOMIAN DAERAH Pada bab ini akan dibahas tentang konsep produk unggulan, kompetensi inti dan daya saing perekonomian daerah. Konsep produk / komoditi unggulan adalah konsep yang berbeda dengan konsep produk / komoditi yang menjadi kompetensi daerah. Kompetensi ini ini yang adalah salah satu faktor dan memiliki keterkaitan yang erat dengan daya saing perkonomian daerah. 3.1. Konsep Produk Unggulan (konsep OVOP) Defenisi produk unggulan masih belum ada kesepakatan. Secara konsep, juga terdapat perbedaan antara produk dan komoditas unggulan, walaupun banyak pendapat yang menyamakan kedua hal tersebut. Namun jika dilihat secara saksama maka produk dapat diartikan sebagai hasil olahan bahan baku atau olahan komoditas. Sedangkan komoditas adalah sesuatu yang berasal langsung dari alam atau hasil dari alam (secara alamiah). Padi, rotan, cengkeh, kelapa sawit, ikan adalah komoditi. Dikatakan produk jika komoditi ini sudah diolah secara lanjut; padi diolah menjadi kue atau tepung, rotan diolah menjadi furniture, cengkeh diolah menjadi rokok, kelapa sawit diolah menjadi minyak kelapa sawit dan ikan diolah menjadi ikan kaleng. Baik produk atau komoditi yang ada, belum tentu disebut produk atau komoditi unggulan suatu daerah. Hal ini disebabkan, untuk disebut unggul maka diperlukan syarat-syarat atau karakteristik khusus. Menurut Martani Huseini (pencetus Konsep SAKA-SAKTI), Komoditas unggulan adalah komoditas yang memberikan nilai tambah dan sumbangan pendapatan tertinggi pada suatu perekonomian daerah. Pendapat dari Martani Huseini ini didasari pada aspek nilai dan kontribusi suatu komoditas / produk. Komoditas yang memberikan nilai tambah tertinggi sepanjang rantai nilai dan memberikan kontribusi terbesar dari suatu perekonomian daerah adalah komoditas unggul. Sehingga untuk mengetahui komoditas yang memberikan nilai tambah maka perlu dianalisis dengan dua pendekatan yaitu pendekatan pohon industri dan rantai nilai (value chain). Pohon industri suatu komoditas pada dasarnya menggambarkan urutan suatu komoditas dari komoditas awal sampai produk akhir. Contoh : komoditas pala (layer 1), diolah menjadi minyak asirin (layer 2) dan kemudian minyak asirin diolah menjadi bahan obat-obatan (layer 3). Selanjutnya untuk menentukan nilai tambah maka digunakan konsep

Transcript of babtigakek.pdf

23

BAB III

PRODUK UNGGULAN, KOMPETENSI INTI, DAN DAYA SAING

PEREKONOMIAN DAERAH

Pada bab ini akan dibahas tentang konsep produk unggulan, kompetensi inti dan daya

saing perekonomian daerah. Konsep produk / komoditi unggulan adalah konsep yang berbeda

dengan konsep produk / komoditi yang menjadi kompetensi daerah. Kompetensi ini ini yang

adalah salah satu faktor dan memiliki keterkaitan yang erat dengan daya saing perkonomian

daerah.

3.1. Konsep Produk Unggulan (konsep OVOP)

Defenisi produk unggulan masih belum ada kesepakatan. Secara konsep, juga

terdapat perbedaan antara produk dan komoditas unggulan, walaupun banyak pendapat

yang menyamakan kedua hal tersebut. Namun jika dilihat secara saksama maka produk

dapat diartikan sebagai hasil olahan bahan baku atau olahan komoditas. Sedangkan

komoditas adalah sesuatu yang berasal langsung dari alam atau hasil dari alam (secara

alamiah). Padi, rotan, cengkeh, kelapa sawit, ikan adalah komoditi. Dikatakan produk jika

komoditi ini sudah diolah secara lanjut; padi diolah menjadi kue atau tepung, rotan diolah

menjadi furniture, cengkeh diolah menjadi rokok, kelapa sawit diolah menjadi minyak kelapa

sawit dan ikan diolah menjadi ikan kaleng. Baik produk atau komoditi yang ada, belum tentu

disebut produk atau komoditi unggulan suatu daerah. Hal ini disebabkan, untuk disebut

unggul maka diperlukan syarat-syarat atau karakteristik khusus.

Menurut Martani Huseini (pencetus Konsep SAKA-SAKTI), Komoditas unggulan

adalah komoditas yang memberikan nilai tambah dan sumbangan pendapatan tertinggi

pada suatu perekonomian daerah. Pendapat dari Martani Huseini ini didasari pada aspek

nilai dan kontribusi suatu komoditas / produk. Komoditas yang memberikan nilai tambah

tertinggi sepanjang rantai nilai dan memberikan kontribusi terbesar dari suatu perekonomian

daerah adalah komoditas unggul. Sehingga untuk mengetahui komoditas yang memberikan

nilai tambah maka perlu dianalisis dengan dua pendekatan yaitu pendekatan pohon industri

dan rantai nilai (value chain).

Pohon industri suatu komoditas pada dasarnya menggambarkan urutan suatu

komoditas dari komoditas awal sampai produk akhir. Contoh : komoditas pala (layer 1),

diolah menjadi minyak asirin (layer 2) dan kemudian minyak asirin diolah menjadi bahan

obat-obatan (layer 3). Selanjutnya untuk menentukan nilai tambah maka digunakan konsep

24

value chain (rantai nilai), dengan cara kita menghitung nilai dari tiap layer. Contoh : untuk

komoditas pala, layer 1 (untuk 1kg kering pala) seharga Rp. 60.000, jika diolah menjadi

minyak asirin, untuk satu kg pala akan bernilai Rp. 120.000, dan jika keseluruhan minyak

asirin ini diolah menjadi obat-obatan maka akan bernilai Rp.200.000. berdasarkan pendapat

dari Martani Huseini maka obat-obatan ini yang memiliki nilai tambah lebih besar sehingga

disebut sebagai komoditas / produk unggulan. Untuk syarat kedua, yaitu sumbangan

pendapatan tertinggi pada suatu perekonomian daerah, dapat dianalisis dari nilai eksport

pada komoditas / produk pala dan turunannya. Jika nilai eksport lebih besar pada produk

layer 3 maka produk itu disebut unggul. Namun yang menjadi masalah adalah ketika suatu

komoditas (pada layer 3) tidak seluruhnya menggunakan input bahan baku pada layer 2,

sehingga walaupun memiliki value added yang tinggi namun secara total rendah. Atau

walaupun memiliki value added tinggi, namun hanya dikuasai oleh beberapa orang atau

perusahaan saja, tidak melibatkan masyarakat banyak (tidak mengakar di masyarakat).

Berdasarkan kondisi itu maka minimal ada tiga hal menarik menyangkut komoditas

unggulan , yaitu :

1. Penentuan komoditas unggulan memegang peran kunci dalam pengembangan

perekonomian daerah.

2. Tidak semua daerah sukses dalam pengembangan komoditas unggulan di daerahnya.

3. Penentuan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-beda.

Bank indonesia memiliki sudut pandang lain dalam penentuan komoditas unggulan,

yaitu menggunakan potensi dasar sehingga dapat dikatakan unggul,yaitu :

1. Aspek pasar dan pemasaran untuk memastikan bahwa komoditas yang dihasilkan dapat

dipasarkan dengan baik.

2. Aspek teknik dan produksi untuk menentukan kapasitas produksi daerah sekaligus

pengendalian kualitas hasil produksi.

3. Aspek sosial ekonomi dan lingkungan untuk menentukan daya dukung sumber daya

ekonomi daerah serta kaitannya dengan lingkungan.

4. Aspek manajemen dan legalitas untuk menjamin kelancaran proses produksi komoditas

unggulan

5. Aspek keuangan untuk memastikan dukungan dana yang cukup bagi pelaksanaan

proses produksi.

Defenisi dari Bank Indonesia sudah lebih luas dan relatif lebih detail dalam

mendefenisikan produk / komoditas unggulan. Bukan semata-mata hanya bersifat aspek

ekonomi tetapi sudah melibatkan aspek pasar dan manajemennya serta aspek tehnik

25

/produksi dan pembiayaannya (keuangan). Namun kriteria yang banyak digunakan oleh

pemerintah daerah terhadap penentuan komoditas unggulan adalah produk khas daerah,

memiliki jumlah unit usaha relatif banyak dibanding komoditas lain, banyak menyerap

tenaga kerja dan memenuhi kepentingan beberapa dinas daerah yang terkait. Terlepas dari

persyaratan itu, konsep produk atau komoditas unggulan sebenarnya lahir di Jepang.

Pada tahun 1979, Hiramatsu,Gubernur daerah Oita di Jepang memperkenalkan

pendekatan OVOP (one villagee on product) atau satu desa, satu produk. Tujuan dari

pendekatan ini adalah untuk membangun daya saing suatu desa atau wilayah tertentu.

Pendekatan ini didasari pada keyakinan bahwa daya saing suatu desa (daerah) akan dapat

dibangun jika desa yang bersangkutan memfokuskan kegiatan masyarakat di sana untuk

menghasilkan satu produk yang dipandang merupakan produk unggulan desa tersebut.

Konsep ini diadopsi di Thailand dengan nama OTOP (one tamboon / desa, one product).

Maulana (2011: 17).

kelebihan dari OVOP adalah dapat dihindarinya persaingan tidak sehat diantara desa-

desa bertetangga karena setiap desa dapat mengembangkan produk unggulan yang saling

berbeda dan karenanya dapat mengisi pasar yang sama tampa harus bersaing secara

langsung. Dengan demikian maka kejenuhan pasar akibat membanjirnya produk yang sama

dipasar dapat dicegah.

Kelemahan dari OVOP adalah terciptanya kemungkinan bahwa suatu desa menjadi

terlalu sibuk dengan produk unggulannya sehingga melupakan kemungkinan atau peluang

adanya produk potensial lain yang mungkin dikembangkan. Kekhawatiran yang lain adalah

bahwa suatu desa menjadi terlalu berorientasi pada produk masa kini dan mengabaikan

peluang untuk mengembangkan produk masa depan yang barangkali pada saat ini belum

diterima pasar atau belum memberikan keuntungan financial yang memadai, meskipun

dimasa mendatang produk tersebut justru dapat menjadi tulang punggung perekonomian

warga desa. Maulana (2011: 17)

3.2. Defenisi Kompetensi Inti (core competence)

Pada dasarnya, kompetensi inti dibangun atas dasar produk / komoditas unggulan,

namun tidak semua produk /komoditas unggulan dapat menjadi suatu kompetensi inti suatu

daerah. Dan bisa jadi suatu kompetensi inti daerah, bukan berasal dari produk unggulan

daerah tersebut. Hal ini disebabkan, defenisi dari kompetensi inti yang lebih luas dan detail

ketimbang produk /komoditas unggulan.

26

Menurut departemen perindustrian ( 2007: xxvi), kompetensi inti adalah suatu

kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan

akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu

bisnis. Dalam perspektif ekonomi regional, kompetensi inti adalah kemampuan suatu

daerah untuk menarik investasi dari luar daerah itu, baik investasi asing maupun investasi

dalam negeri serta memfasilitasi perekonomian yang menghasilkan nilai tambah.

Defenisi ini sebenarnya dikutip dari pendapat Hamel dan Prahalad (1995). Defenisi ini

dan banyak defenisi kompetensi inti lainnya, bersandar pada aspek integrasi antara

keahlian dan teknologi yang dihasilkan dari proses pembelajaran, yang kemudian

membentuk daya saing, yang karakteristiknya sulit ditiru oleh pesaing atau daerah lainnya.

Defenisi ini juga mirip dengan pendapat dari Tjahajana, dalam artikelnya tentang :

kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah

(dalam departermen perindustrian, 2007:39), merumuskan kompetensi inti sebagai

kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan

akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu

bisnis. Kompetensi inti dapat dipandang sebagai suatu hasil dari pembelajaran kolektif,

sebagai penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai

kepada pelanggan, sebagai komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam

terhadap kerja lintas batas organisasi.

Berdasarkan kedua defenisi diatas maka kompetensi inti lahir dari aspek keahlian dan

teknologi yang unik, yang sulit ditiru pesaing dan berakar di suatu wilayah atau daerah serta

laku dan memiliki daya saing berkelanjutan di pasar. Keahian dan teknologi ini dihasilkan

oleh suatu akumulasi pembelajaran dalam kurun waktu yang relatif lama. Jadi berakar dari

masyarakat dan industri yang ada disuatu daerah atau wilayah. Departemen perindustrian (

2007:xxvii), menyatakan pengembangan kompetensi inti daerah didasarkan atas potensi

komoditi unggulan yang dimiliki suatu daerah + sejauh mana industri pengolahan di daerah

tersebut berkembang (seringkali industri yang ada IKM dan home industri).

Suatu komoditas unggulan atau suatu industri unggulan tidak akan dikatakan memiliki

kompetensi inti jika pengembangannya bersifat tradisional. Dalam arti bahwa sifat

tradisional ini menggunakan teknologi dan keahlian yang sederhana, sehingga mudah

dicontoh oleh pihak lain dalam pengembangannya serta memiliki nilai tambah yang rendah.

Contoh kasus produk kopra di Sulawesi Utara, sejak dahulu pengolahan buah kelapa

sampai menjadi kopra,dilakukan dengan cara tradisonal, yaitu dengan teknologi sederhana,

pengasapan. Dengan metode ini, kualitas kopra yang dihasilkan masih rendah karena

27

memiliki kadar air yang masih relatif tinggi dan bahkan mengandung zat-zat seperti

karbondioksida yang melekat dikopra selama proses pengasapan.

Pada kondisi ini, menurut hemat saya, tidak terjadi pembelajaran dalam pengolahan

kopra, padahal pengolahan kopra ini telah dilakukan secara turun temurun. Sebenarnya,

ada teknologi yang lebih baik yang dapat diadopsi oleh petani kelapa dalam proses

pengolahan kopra yaitu penggunaan teknologi kopra putih yang telah lama diadopsi di

Philipina. Pada hal, bentuk rumah pengasapannya tidak jauh berbeda dengan yang

tradisional, hanya mekanisme pengasapannya yang berbeda. Jika teknologi tradisional

menggunakan pengasapan langsung maka teknologi kopra putih menggunakan

pengasapan tidak langsung (seperti oven, yang gunakan panas). Perbedaan ini justru

menghasilkan harga kopra yang jauh berbeda, kopra putih lebih mahal harganya. Kondisi ini

tidak dapat bisa dijadikan kompetensi inti.

Menurut Tjahajana, dalam artikelnya tentang kebijakan pengembangan industri

nasional dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah (dalam departermen

perindustrian, 2007:39-40), Kompetensi inti mengarah pada pengembangan produk inti

yaitu perwujudan fisik dari satu atau lebih kompetensi-kompetesi inti. Produk inti (core

product) bukanlah produk yang secara langsung dijual kepada penggunae akhir (end user).

Produk inti digunakan untuk mengembangkan beragam produk akhir. Kompetensi inti

termanifestasi dalam produk inti yang merupakan penghubung antara kompetensi inti dan

produk akhir.

Defenisi dari Tjahajana, menjurus pada konsep diversifikasi produk dan rantai nilai

yang relatif panjang dari suatu komoditas. Semakin panjang rantai nilai maka semakin

mungkin produk tersebut dijadikan kompetensi inti, karena semakin panjang rantai nilai

maka semakin besar value addednya. Namun defenisi yang lebih luas datang dari Mulyadi

dan Monstiska, (2011:8), kompetensi dari perpektif ekonomi regional, adalah kemampuan

suatu daerah untuk menarik investasi dari luar daerah, baik investasi asing maupun

investasi dalam negeri.

De`fenisi dari Mulyadi dan Monstiska, (2011:8), sudah melihat kompetensi inti dari

perspektif ekonomi regional. Defenisi yang lebih lengkap diutarakan oleh Maulana, dalam

artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Hamel dan prahalad,

mendefenisikan kompetensi ini sebagai berikut :

1) Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan

perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran yang akan

28

bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-

sendiri tidak dapat optimal mendukung kemampuan bersaing

2) Hasil pembelajaran kolektif, khususnya mengenai bagaimana mengkoordinasikan

kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikan dengan arus

teknologi yang berkembang.

3) Penyelarasan arus teknologi, tentang kerja organisasi dan penghantaran nilai kepada

pelanggan. Keutamaan pemberian nilai kepada pelanggan akan memberikan

peningkatan pada kemampuan bersaing daerah.

4) Komunikasi, keterlibatan dan komitmen yang mendalam terhadap kerja lintas batas

organisasi di suatu daerah. Masing masing organisasi dan institusi daerah harus

terintegrasi satu sama lain dan secara bersama-sama mengembangkan potensi daerah.

Defenisi-defenisi yang lain tentang kompetensi inti adalah:

1. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti

daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Barney,

menyatakan bahwa sumber daya dan kapabilitas penting bagi daya saing apabila

bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing. Kompetensi inti juga disarikan

menjadi kumpulan keahlian, pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis.

2. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti

daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): mengutip pendapat Reve,

mendefenisikan kompetensi ini sebagai aset yang memiliki keunikan tinggi sehingga

berbeda dengan asset yang dimiliki daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya

saing ditentukan oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk kompetensi

inti.

3. Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti

daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:145-158): menyatakan bahwa

kompetensi inti merupakan hasil dari “collective learning” dalam organisasi agar

mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan mengintegrasikan dengan

teknologi yang beragam secara optimal. Ditinjau dari aspek teoritis dan manajerial,

maka terdapat tiga masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti :

a) Penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses kewirausahaan atau

kemampuan inovasi.

b) Upaya upaya yang dilakukan dalam melindungi kompetensi inti untuk menjaga tetap

memiliki keunggulan komparatif.

29

c) Diperlukan perencanaan yang komprehensip mengenai insentif terutama dalam

menghadapi perilaku masyarakat.

4. Menurut Kotler (1994), ada 3 (tiga) syarat dari kompetensi inti yaitu :

a) Kompetensi inti harus menjadi sumber utama bagi keunggulan bersaing sehingga

dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ekonomi daerah

b) Kompetensi inti harus sulit ditiru pesaing.

c) Kompetensi inti harus memiliki bidang aplikasi yang luas dan dapat diterapkan

kepada seluruh elemen masyarakat di bidang pemerintahan, bidang usaha dan

bidang lainnya.

5. Menurut Departemen perindustrian ( 2007:vi), pembangunan industri berbasis

kompetensi inti daerah dapat ditempuh dengan cara memberikan fasilitas kepada

daerah sebagai pemicu ( trigger) dalam bentuk pendirian Unit pelaksana teknis

(common facilities service) yang berfungsi untuk memberikan bantuan layanan teknis di

bidang teknologi produksi dan manajemen bagi IKM di daerah.

6. kompetensi adalah kemampuan yang spesifik dalam suatu bidang atau jasa tertentu

sehingga dapat menjadi indikator penentu keberhasilan pembangunan disuatu daerah.

Tjahajana, kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan

kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian, 2007:40).

3.3. Defenisi daya saing daerah

Defenisi daya saing, kebanyakan didasari pada konsep produktivitas. Suatu daerah

yang memiliki produktivitas tinggi dapat dikatakan memiliki daya saing yang tinggi. Dalam

konteks produktivitas sebenarnya menggambarkan aspek efisiensi dan efektivitas. Efisiensi

lebih mengarah pada input sedangkan efektivitas lebih mengarah pada output. Pambudhi,

dalam artikelnya : Daya saing investasi daerah, opini dunia usaha, dalam Departemen

perindustrian ( 2007:95): menyatakan bahwa daya saing (competitiveness) pada umumnya

didefenisikan sebagai seberapa besar pangsa pasar produk suatu negara dalam pasar

dunia. Tetapi defenisi yang lebih tepat mengenai daya saing itu adalah produktivitas. Daya

saing disini meliputi kondisi makroekonomi, politik dan lingkungan hukum yang mendukung

perekonomian yang maju.

Defenisi dari Pambudhi, ini didasari pada konsep penguasaan pasar suatu negara

dalam pasar dunia (daya saing negara). Atau penguasaan pasar suatu daerah dalam pasar

nasional (daya saing daerah). Semakin besar pangsa pasar yang dikuasai suatu negara

atau daerah maka dikatakan semakin tinggi daya saing negara atau daerah tersebut.

30

Defenisi lain dari daya saing, melihat dari sisi produktivitas. Menurut satriagung,

dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya saing daerah, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:111-124), menyatakan bahwa konsep daya saing menurut

porter (1990) adalah produktivitas yang didefenisikan sebagai nilai output yang dihasilkan

oleh tenaga kerja. Sedangkan menurut World economic forum, daya saing nasional adalah

kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

bekelanjutan.

Defenisi dari Satriagung dan World economic forum masih berbau produktivitas yang

lebih menekankan pada aspek output. Baik secara mikro (produktivitas) maupun secara

makro (PDRB). Disamping sisi produk, ada juga yang melihat daya saing dari sisi

pendapatan.

Menurut UK-DTI, yang diterbitkan oleh Departemen perdagangan dan perindustrian

Inggris, daya saing adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan

kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun

internasional. Menurut Centre for urban and regional studies (CURDS) Inggris, daya saing

daerah adalah kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam

menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk

penduduknya.

Defenisi yang lebih luas dari daya saing adalah melibatkan aspek atau kontribusinya

pada kesejahtraan dan keberlanjutan pertumbuhan. Menurut satriagung, dalam artikelnya :

kendala dan tantangan membangun daya saing daerah, dalam Departemen perindustrian (

2007:111-124), jadi daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam

mencapai pertumbuhan tingkat kesejahtraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap

terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Beberapa indikator daya saing daerah

yang disebutkan oleh Pusat studi dan pendidikan kebanksentralan Bank Indonesia adalah :

1) perekonomian daerah

2) keterbukaan

3) sistem keuangan

4) infrastruktur dan sumber daya alam

5) ilmu pengetahuan dan teknologi

6) sumber daya alam

7) kelembagaan

8) governance dan kebijakan pemerintah

9) manajemen dan ekonomi mikro

31

3.4. Sejarah Daya Saing Pengusaha Lokal Di Indonesia

Menurut Adiningsih, dalam artikelnya : perkembangan daya saing perusahaan lokal,

dalam Departemen perindustrian ( 2007:127-141): perkembangan daya saing pengusaha

lokal di Indonesia dapat dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman pra kemerdekaan, zaman

revolusi, zaman orde baru dan zaman reformasi.

1) Zaman pra kemerdekaan

Pada zaman ini indonesia masih merupakan jajahan Belanda.

Pengusaha lokal sangat dikontrol oleh pihak penjajah

Pengusaha lokal dipaksa harus menanam tanaman tertentu untuk memenuhi

kebutuhan pihak penjajah

Hampir tidak ada peluang untuk lakukan inovasi bisnis dan pengembangan

kreativitas lokal

Daya saing sangat rendah

Dualisme perekonomian di saman penjajahan yaitu perekonomian modern dipegang

penjajah sedangkan perekonomian tradisional dijalankan oleh pengusaha lokal.

Sehingga kesenjangan ekonomi sangat tinggi.

2) Zaman revolusi

Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda,masyarakat pribumi sangat

bersemangat membangun negaranya yang baru saja merdeka

Daya saing pada saat itu ditentukan oleh negara atau perusahaan yang terkait

dengan perdagangan internasional

Teori daya saing yang berkembang adalah keunggulan komparatif yang sangat

bertumpu pada efisiensi produksi sehingga biaya produksi menjadi murah.

Pemerintah Indonesia saat itu menjalankan Politik Banteng yang bertujuan untuk

mengakumulasi kapital yang ada guna mendukung pembangunan. Yang ditandai

dengan nasionalisasi beberapa perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dan

bertujuan untuk meningkatkan daya saing pengusaha lokal

3) Zaman orde baru

Pada saman ini KKN berkembang di segala bidang, industri berkembang dengan

terkoneksi dengan kekuasaan (patron).

Daya saing pengusaha yang tidak dalam lingkaran kekuasaan menjadi lemah.

32

Industri lokal diproteksi dari masuknya produk-produk pesaing, pembatasan import

dilakukan untuk mencegah masuknya barang dari luar. Kondisi ini justru

menimbulkan efek negatif yaitu matinyadaya saing pengusaha lokal. Proteksi yang

berlebihan kepada produksi lokal menyebabkan ketidakefisienan.

Struktur ekonomi pada era orde baru relatif dangkal yang ditandai dengan besarnya

komponen import pada produk-produk domestik. Terjadinya ketergantungan

bahanbaku dari luar negeri sehingga industri dalam negeri rentan terhadap

perubahan perekonomian luar negeri.

Sebagian besar eksport merupakan produksi industri padat karya dn berteknologi

rendah sehingga tidak inovatif dan memiliki kemampuan bersaing di pasar

internasional yang rendah.

4) Zaman reformasi

Zaman reformasi dimulai sejak krisis ekonomi, seiring dengan kejatuhan Orde Baru

Daya saing pengusaha lokal masih rendah sehingga masih kalah bersaing dengan

produk-produk dari luar negeri (khsusnya china)

Setelah krisis, sektor industri mulai bangkit namun IKM masih belum berkontribusi

besar dalam perekonomian

Jawa masih tetap menjadi pusat industri

`pada masa ini ekonomi nasional ditopang oleh investasi dalam negeri akibat

hilangnya kepercayaan invesstor asing akibat ketidakstabilan politik, keamanan dan

sosial dalam negeri.

Persaingan industri semakin tinggi akibat adanya komitmen dan kerjasama

perdagangan bebas (mis. APEC, dll)

3.5. Faktor-Faktor Penentu Daya Saing Daerah

Membangun daya saing daerah, bukanlah pekerjaan mudah dan dapat dilakukan

dalam jangka waktu pendek. Hal ini dikarenakan, daya saing daerah bersifat multidimensi.

Menurut Departemen perindustrian ( 2007: xxv), menciptakan daya saing daerah, tidaklah

mudah karena menghadapi berbagai kendala, antara lain : (1) kelembagaan (2)

keamanan,politik, dan sosial budaya (3) ekonomi daerah (4) tenaga kerja (5) infrastruktur

fisik.

33

Banyak faktor yang harus dibenahi agar suatu daerah memiliki daya saing yang tinggi

baik pada tingkat nasional maupun global. Berikut ini beberapa faktor yang menentukan

daya saing dari beberapa sumber :

1. Elemen daya saing menurut porter secara detail adalah :

a) Factor condition (kondisi faktor ): faktor-faktor produksi : SDM (tenaga kerja

terampil), bahan baku, pengetahuan, modal, infrastruktur.

b) Firm strategy, structure and rivalry (strategi, struktur dan tingkat persaingan

perusahaan) : kondisi di dalam suatu bangsa yang menentukan bagaimana unit-unit

usaha terbentuk, diorganisasikan, dikelola dan tingkat persaingan di dalam negeri.

c) Demand condition (kondisi permintaan) : sifat permintaan di dalam negeri terhadap

produk atau layanan industri bersangkutan.

d) Related and supporting industries (industri terkait dan pendukung) : keberadaan

industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara

internasional.``

2. Menurut lembaga pemeringkat daya saing internasional yang berbasis di SWISS yaitu

IMD, mengemukakan ada 4 (empat) faktor penentu daya saing ekonomi suatu negara

yaitu :

a) Kinerja ekonomi

b) Efisiensi sektor pemerintah

c) Efisiensi sektor dunia usaha

d) infrastruktur

3. Menurut IMD dalam world competitivenes report (1993), daya saing suatu negara sangat

dipengaruhi oleh delapan faktor penentu yaitu :

a) kekuatan ekonomi domestik

b) sumber daya manusia (ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi)

c) ilmu pengetahuan dan teknologi (kapasitas iptek yang unggul dan handal)

d) manajemen (pengelolaan secara inovatif, profitable dan responsible)

e) internasionalisasi (derajat partisipasi suatu negara dalam perdagangan dan investasi

internasional)

f) keuangan (kinerja pasar modal dan kualitas pelayanan lembaga keuangan)

g) infrastruktur ( industri dan perdagangan yang memadai)

34

4. Menurut Pambudhi, dalam artikelnya : Daya saing investasi daerah, opini dunia usaha,

dalam Departemen perindustrian ( 2007:97), menurut hasil studi dari Komitepemantauan

pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD), daerah yang berdaya saing tinggi dapat

diindikasikan dari beberapa indikator yaitu :

a) Kelembagaan : mencakup kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, kebijakan

daerah dan kepemimpinan lokal

b) Keamanan,politik dan sosial budaya

c) Ekonomi daerah : mencakup potensi ekonomi dan struktur ekonomi

d) Tenaga kerja : mencakup ketersediaan tenaga kerja, kualitas tenaga kerja dan biaya

tenaga kerja

e) Infrastruktur fisik: mencakup ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur

fisik

5. Menurut satriagung, dalam artikelnya : kendala dan tantangan membangun daya saing

daerah, dalam Departemen perindustrian ( 2007:111-124), daya saing menurut Pusat

studi dan pendidikan kebanksentralan Bank Indonesia (2002), harus

mempertimbangkan beberapa hal yaitu :

a) daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau efisiensi

pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefenisikan daya

saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor

swasta atau perusahaan”

b) pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga

rumah tangga, pemerintah dan lain lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem

ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan

dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal

itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.

c) Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain

adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian

tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang mahaluas yang pasti

tidak hanya tergambarkan dalam suatu besaran variabel seperti pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi

dalam rangka peningkatan standart kehidupan masyarakat.

35

d) Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan

terhadap kompetisi dengan kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi

kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.

6. Menurut Rachbini, strategi “export led industry” dan daya saing berkelanjutan, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:65-75):, faktor penentu daya saing adalah

a) Keterbukaan (institusi keuangan dan perdagangan), good governance

b) Ketersediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan laut, bandara)

c) Peranan pemerintah (sebagai fasilitator, regulator dan pro ekonomi)

d) Teknologi, kelembagaan publik (terjaminnya hak kepemilikan), lingkungan ekonomi

makro (indeks daya saing pertumbuhan ekonomi)

e) Menurut porter : strategi, struktur dan persaingan perusahaan, sumber daya

disebuah negara, permintaan domestik dan keberadaan industri terkait dan

pendukung.

Disamping faktor-faktor penentu diatas, maka dalam upaya meningkatkan daya saing

daerah, maka diperhadapkan dengan berbagai kendala baik yang berasal dari pemerintah

pusat maupun pemerintah daerah.

1) Faktor-Faktor yang berasal dari Pemerintah pusat

a. Kurang lengkapnya undang-undang

b. Lemahnya dukungan insentif fiskal

c. Belum kuatnya kebijakan pengembangan industri unggulan nasional

d. Lemahnya integrasi antara pusat dan daerah

e. Lemahnya dukungan perundang-undangan untuk mendorong sektor intermediasi

f. Lemahnya penanganan terhadap gangguan daya saing industri

g. Kebijakan klastering sektor industri yang belum berjalan optimal

2) Faktor-faktor yang berasal dari internal kabupaten / kota

a. Kelembagaan (mencerminkan seberapa kuat iklim sosial, politik, hukum dan aspek

kemaman mampu mempengaruhi secara positip aktivitas perekonomian di daerah)

b. Infrastuktur (fisik dan non fisik)

c. Sumber daya manusia (angkatan kerja yang terampil, pelatihan dan pendidikan,

sikap dan nilai, dan kualitas hidup masyarakat)

36

d. Lemahnya jaringan informasi

e. Pelaku usaha (keterbatasan informasi peluang pasar, keterbatasan informasi potensi

unggulan daerah, lemahnya dukungan permodalan khususnya untuk industri baru)

f. Pertanahan (sulitnya proses pembebasan tanah, rumitnya proses sertifikasi)

g. Keterbatasan supply energi

Menurut Adiningsih, dalam artikelnya : perkembangan daya saing perusahaan lokal,

dalam Departemen perindustrian ( 2007:127-141), terdapat permasalahan-permasalah yang

utama dalam perkembangan daya saing pengusaha lokal yaitu:

1) permasalahan dalam aspek ketenagakerjaan

a. etos kerja dan motivasi kerja yang rendah ( 51.5%)

b. adanya ketentuan mengenai jam kerja yang menghambat produktivitas (12.4%)

c. hubungan antar tenaga kerja yang kurang harmonis (6.2%)

d. adanya konflik antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam hubungan kerja (5.2%)

e. belum berfungsinya lembaga yang mengatasi perselisihan hubungan kerja (3.1 %)

2) permasalahan dalam aspek manajemen

a. pemasaran produk yang kurang efisien (33.0%)

b. perusahaan belum menerapkan sistem akuntansi dan audit yang baik (21.6%)

c. perusahaan kurang dapat beradaptasi dengan cepat pada perubahan lingkungan

usaha (14.4%)

d. manajer kurang kompeten dalam manajemen usaha (12.4 %)

e. perusahaan belum dapat memenuhi kepuasan pelanggan ( 12.4%)

f. etika manajemen kurang mendukung (9.3%)

g. manajer kurang memiliki jiwa kewirausahaan (5.2%)

h. para manajer kurang memperhatikan masalah kesehatan, keamanan dan lingkungan

(3.1 %)

i. dewan penasehat di perusahaan kurang berfungsi secara efektif (2.1%)

j. tanggungjawab sosial perusahaan belum maksimal (1.0%)

3) Permasalahan dalam aspek budaya

a. rendahnya fleksibilitas dan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap tantangan

baru (29.9%)

37

b. nilai-nilai masyarakat kurang mendukung budaya persaingan ( 25.5%)

c. masyarakat kurang memahami pentingnya perubahan kebijakan ekonomi dan sosial

(18.6%)

d. kurangnya perilaku yang positip mengenai globalisasi (14.7%)

e. kurangnya citra positip terhadap pasar di luar negeri (11.7%)

f. nilai-nilai perusahaan dapat dipahami dan dijalankan oleh tenaga kerja (4.1`%)

Namun terlepas dari kendala dan kompleksitas faktor-faktor penentu daya saing

daerah, kita tentunya tidak boleh berkecil hati dalam mencapainya. Untuk itu pemerintah

harus ciptakan iklim berusaha yang kondusif : kebijakan daerah yang pro investasi, inovasi,

berbagai peraturan daerah yang mendukung perkembangan industri di daerah. Sehingga

dalam jangka panjang daya saing daerah akan meningkat, sehingga tujuan pembangunan

ekonomi di daerah dapat secepatnya tercapai.

3.6. Konsep SAKA-SAKTI (satu kabupaten-satu kompetensi inti)

Konsep SAKA-SAKTI adalah salah satu konsep penciptaan kompetensi inti di tiap

kabupaten di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan oleh Martani Huseini dalam pidato

pengukuhan guru besarnya di Universitas Indonesia, pada tahun 1999, memperkenalkan

model Sakasakti (satu kabupaten, satu kompetensi inti) untuk membangun daya saing

daerah yang dapat dikatakan memanfaatkan konsep kompetensi inti dari Hamel dan

Prahalad (1995) dan Hitt (1996) tentang sumber sumber daya saing organisasi dan Sveiby

(1999) tentang daya saing berbasis sumber daya. Maulana (2011: 17)

Jika konsep OVOP bertitiktolak dari identifikasi dan pengembangan produk

unggulan, maka model sakasakti lebih difokuskan pada identifikasi kompetensi khas

yang dimiliki suatu daerah yang diyakini menjadi sumber terciptanya suatu produk

unggulan. Artinya, model sakasakti difokuskan pada usaha menggali dan mengidentifikasi

kompetensi yang dimiliki (atau soyogyanya dimiliki) suatu daerah (kabupaten/kota) dengan

mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada di suatu daerah. Maulana (2011: 17).

Model konseptual saka-sakti, merupakan keterkaitan antara rantai nilai dari komoditas

unggulan yang dibentuk dari 3 (tiga) komponen utama yaitu pembelajaran kolektif (collective

learning), kompetensi (competency) dan sumber daya (reseources: tangible maupun

intangible). Ketiga komponen utama ini dipengaruhi oleh social capacity yang terbentuk dari

sembilan faktor yang dikembangkan oleh Choo and Moon yaitu

1. Politisi dan birokrat

38

2. Tenaga kerja

3. Manajer dan insinyur profesional

4. Wirausahaan

5. Lingkungan bisnis

6. Sumber daya

7. Permintaan domestik

8. Industri terkait dan pendukung

9. Peluang eksternal

Selanjutnya Konsep SAKA-SAKTI, dikembangkan dengan memperhatikan :

1. Pemberdayaan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar sumber

daya saing yang sudah ditetapkan sebagai kompetensi inti, baik yang bersifat tangible,

intangibles¸ maupun very intangibles. `

2. Kabupaten /kota dikembangkan bukan berdasarkan komoditi atau produk unggulan

melainkan berdasarkan kompetensi inti. Komoditas unggulan tidak selalu mendapatkan

seluruh dukungan dari sumber daya yang ada di daerah tersebut. Namun salah satu

komoditas unggulan dapat dijadikan dasar pengembagan pembentukan kompetensi inti.

3. Pengembangan kompetensi inti didasarkan pada pembelajaran kolektif dari sumber

daya manusia yang ada sehingga dukungan pada kompetensi inti dapat diwujudkan.

4. Kerjasama atau kemitraan daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti

yang berbeda contonya melalui kebijakan rantai nilai lintas batas dan analisis skala dan

cakupan ekonomis.

Ada 3 (tiga) variabel kunci implementasi SAKA-SAKTI :

1. Komoditas Unggulan. Komoditas unggulan adalah komoditas yang memberikan nilai

tambah dan sumbangan pendapatan tertinggi pada suatu perekonomian daerah.

Terdapat tiga hal menarik menyangkut komoditas unggulan , yaitu :

a. Penentuan komoditas unggulan memegang peran kunci dalam pengembangan

perekonomian daerah.

b. Tidak semua daerah sukses dalam pengembangan komoditas unggulan di

daerahnya.

c. Penentuan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-

beda. Kriteria yang banyak digunakan oleh pemerintah daerah terhadap penentuan

komoditas unggulan adalah produk khas daerah, memiliki jumlah unit usaha relatif

banyak dibanding komoditas lain, banyak menyerap tenaga kerja dan memenuhi

39

kepentingan beberapa dinas daerah yang terkait . jadi Harus ada perubahan

paradigma dari “orientasi produk unggulan” menjadi “komptensi inti daerah”.

2. Analisis rantai nilai (value chain analysis). Untuk analisis rantai nilai lebih detail,

dapat dilihat pada bab tentang rantai nilai.

3. Penyusunan Kompetensi inti.

Implementasi konsep saka sakti ,dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai

berikut :

1. Identifikasi komoditas / produk unggulan. Komoditas unggulan yang terpilih haruslah

memiliki akses kepasar domestik dan internasional yang mudah, memiliki kontribusi

pada perekonomian daerah yang besar, tidak mudah ditiru serta memiliki nilai tambah

ekonomis dan sosial yang tinggi.

2. Analisis sembilan faktor daerah

3. Analisis rantai nilai komoditas unggulan yang menyeluruh mulai dari pasokan bahan

baku, bahan setengah jadi, produksi barang jadi hingga proses distribusi kepada

konsumen.

4. Tentukan kompetensi inti yang akan dikembangkan berdasarkan hasil analisis rantai

nilai. Kompetensi inti didasarkan pada analisis yang akurat dan didukung oleh metode

yang tepat

5. Identifikasi kesenjangan pada sembilan faktor yang ada. Kesenjangan ini harus segera

diperkecil agar pengembangan kompetensi inti tidak terkendala.

Keterkaitan antara kompetensi inti dengan pemasaran (MASUKKAN GAMBAR HAL

156) :

1. Pemasaran yang holistik diwujudkan dengan pemasaran fokus pada konsumen yang

memiliki keterkaitan dengan 3 komponen inti dari kompetensi inti yaitu ruang

kompetensi, domain bisnis dan manajemen sumber daya internal. Fokus pada

konsumen dapat dicapai dengan memperhatikan tiga aspek yaitu :

a. Ruang kognitif

b. Keuntungan konsumen yang dapat diindikasikan dengan kepuasan konsumen

c. Pengelolaan hubungan dengan konsumen untuk menciptakan loyalitas konsumen

agar produk dapat terus berkembang

2. Hal-hal yang berkaitan dengan pemasaran logistik adalah :

a. Kemampuan daerah dalam mengidentifikasi peluang peluang baru yang bernilai

tinggi (value exploration)

40

b. Kemampuan daerah untuk secara efisien menciptakan nilai-nilai baru yang lebih

menjanjikan untuk ditawarkan kepada pasar (value creation)

c. Kemampuan daerah dalam memanfaatkan kapabilitas dan infrastuktur yang dimiliki

untuk menyampaikan nilai baru yang ditawarkan secara lebih efisien (value delivery)

3. Value creation menuntut kebupaten / kota memiliki tiga ketrampilan penciptaan nilai

yaitu :

a. Identifikasi manfaat yang dibutuhkan pasar. Pemerintah harus berusaha

menciptakan pasar-pasar baru yang mendorong berkembangnya komptensi inti

daerah

b. Memanfaatkan kompetensi inti dari domain bisnisnya. Penciptaan nilai diharapkan

dapat mengikutsertakan kalangan bisni untuk berperan aktif dalam pembangunan

daerah

c. Memilih dan mengelola mitra usaha dari jejaring kolaboratifnya untuk mendukung

keseluruhan proses produksi yang ada. Pemerintah daerah harus mengupayakan

berbagai alternatif mitra bisnis untuk mengurangi ketergantungan pada satu pihak

saja. Kemitraan rantai nilai adalah suatu kemitraan yang dibangun oleh dua atau

lebih kabupaten/kota untuk mengembangkan suatu industry yang menghasilkan nilai

tambah tinggi bagi para pemangku kepentingan. Maulana (2011: 19)

3.7. Metodologi Penentuan Kompetensi Inti Di Daerah

Kompetensi inti di suatu daerah, tidak akan berjalan optimal jika tidak dianalisis

dengan baik eksistensinya. Pengembangan kompetensi inti, setidaknya berkaitan dengan

produk atau komoditas unggulan daerah, proses penetapannya dan perumusan strategi

pengembangannya. Kesalahan dalam penentuan industri yang berbasis kompetensi inti,

akan menyebabkan pemborosan pembiayaan dan pengembangan daya saing daerah.

Menurut Tjahajana, kebijakan pengembangan industri nasional dalam rangka perkuatan

kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian, 2007:39-41), dalam pelaksanaan

strategi pengembangan kompetensi inti daerah, hendaknya berawal dari penentuan sektor

dan sub sektor unggulan guna merumuskan kompetensi inti daerah yang bersangkutan

sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangannya.

Untuk itu diperlukan suatu metodologi yang lebih akurat dalam penentuan kompetensi

inti daerah. Menurut Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah,

dalam Departemen perindustrian ( 2007:197-222): ruang lingkup metodologi penentuan

41

kompetensi inti daerah mencakup pendalaman materi dan penyusunan dokumen-dokumen

sebagai berikut :

1. Analisis terhadap faktor kompetensi inti dan gagasan pemikiran, strategi kebijakan

aparat serta isu-isu terkait dari perspektif dari stakeholders (termasuk masyarakat

umum, pelaku usaha dan pihak lainnya)

2. Verifikasi dan konsolidasi berbagai perspektif, strategi dan kebijakan dalam rangka

perumusan kompetensi inti daerah.

3. Penentuan /perumusan kompetensi inti daerah

4. Penyusunan rencana tindak (rencana implementasi) pengembangan kompetensi inti

daerah

5. Diseminasi hasil rumusan pengembanga kompetensi inti daerah (penentuan kompetensi

inti, rencana strategis dan rencana tindak) berupa seminar / workshop terbatas yang

dihadiri oleh departemen perindustrian, pemerintah daerah dan instansi / unsur lainnya

yang terkait

Selanjutnya dikatakan bahwa ada delapan tahapan dalam menyusun kompetensi inti

daerah yaitu :

1. Pengenalan kondisi dengan menyusun daftar potensi dan permasalahan yang ada

2. Identifikasi sektor berikut sub sektor industri yang menjadi andalan suatu daerah

3. Identifikasi produk unggulan

4. Penyaringan hasil identifikasi produk unggulan sehingga mendapatkan produk unggulan

prioritas

5. Penyusunan rantai nilai atau value chain

6. Penyusunan kompetensi inti

7. Penyusunan strategi pengembangan kompetensi inti.

8. Penyusunan rencana tindak (action plan)

Secara umum tahapan kajian diuraikan sebagai berikut :

42

GAMBAR 3.1 Tahapan Penelitian Kompetensi Inti

Sumber : Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:197-222)

Tahap pertama adalah identifikasi atas potensi, permasalahan dan tantangan yang

ada disuatu daerah. Setelah itu, diadakan analisis untuk menentukan sektor dan sub sektor

andalan daerah. Tujuan analisis ini adalah agar analisis lebih terkonsentrasi pada sektor

dan sub sektor yang paling berperan dalam perekonomian daerah. Dari analisis sektor dan

sub sektor andalan tadi, kemudian diidentifikasi produk-produk unggulannya. Setelah

produk unggulan diketahui maka dipilih dua atau tiga produk yang akan disebut sebagai

produk unggulan strategis.

Berdasarkan produk-produk unggulan strategis maka langkah selanjutnya adalah

dengan menganalisis rantai nilainya (value chain), yang tentunya dianalisis berdasarkan

pohon produknya. Dalam analisis rantai nilai, akan diketahui produk turunan mana yang

memberikan nilai tambah terbesar. Produk dengan nilai tambah terbesar inilah yang

menjadi dasar penentuan kompetensi inti suatu daerah. Agar penentuan kompetensi inti ini

lebih akurat maka harus ditambahkan analisis karakteristik kompetensi inti yang

berdasarkan pada karakteristik-karakteristik seperti : dikembangkan berdasarkan keahlian

dan teknologi akibat pembelajaran kolektif, sukar ditiru, memiliki daya saing yang tinggi di

Faktor Kondisi :

1. potensi

2. permasalahan

3. Tantangan

Sektor dan sub sektor andalan

daerah

produk

unggulan

produk unggulan strategis

rantai nilai

Kompetensi Inti

Strategi pengembangan kompetensi inti

rencana tindak

43

pasar regional, nasional dan global, diterima dimasyarakat dan karakteristik kompetensi inti

lainnya.

Setelah ditentukan kompetensi intinya maka kemudian disusun strategi

pengembangan kompetensi intinya. Setelah strategi pengembangan disusun maka

dilakukan pembuatan rencana tindak (action plan). Rencana tindak akan berisi tahapan

pengembangan, sumber dan jumlah pembiayaan infrastuktur, peraturan daerah yang

memanyunginya dan aspek teknis lainnya.

Mulyadi, dalam artikel : metodologi penentuan kompetensi inti daerah, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:197-222), untuk penentuan produk unggulan maka :

1. Pengenalan kondisi berupa menyusun daftar potensi dan permasalahan yang ada

dengan menggunakan analisis SWOT.

a. Sel 1 adalah situasi yang paling menguntungkan. Disini perusahaan memiliki

beberapa peluang lingkungan dan memiliki berbagai kekuatan yang dapat

digunakan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut. Situasi ini menyarankan

strategi yang berorientasi pada pertumbuhan ( growth oriented strategy) untuk

mengeksploitasi perpaduan yang menguntungkan.

b. Sel 2 adalah situasi dimana perusahaan memiliki kekuatan-kekuatan utama namun

berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dalam situasi ini, disarankan agar

mengembangkan strategi alternatif yang dapat memaksimalkan kekuatan-kekuatan

yang ada untuk menghadapi ancaman yang ada.

c. Sel 3 adalah situasi dimana posisi perusahaan menghadapi peluang yang tinggi

/impresif namun terhambat oleh kelemahan-kelemahan internal. Fokus strategi dari

perusahaan yang mengalami situasi ini adalah menghilangkan kelemahan internal

agar dapat lebih mengejar peluang (mendukung strategi yang berorientasi “turn

around”.

d. Sel 4 adalah situasi dimana posisi perusahaan berada pada kondisi yang paling

tidak menguntungkan. Disini perusahaan menghadapi ancaman lingkungan yang

utama dari suatu posisi yang relatif lemah. Situasi ini jelas memerlukan strategi-

strategi yang efektif untuk mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada sehingga

perusahaan dapat bertahan hidup dan terhindar dari kebangkrutan.

44

`

2. Memasukkan hasil analisis swot pada matrik seperti pada gambar 3.2

3. Merumuskan / menganalisis tahapan dari produk unggulan sampai penentuan

kompetensi inti dengan beberapa metode yang sering dipakai. Tahapan metode yang

digunakan menurut tahapan penentuan kompetensi inti adalah :

a. Penentuan kriteria untuk menghasilkan lima produk unggulan paling atas

b. Penggunaan metode AHP (analytic hierarchy process) dan diskusi untuk menyaring

lima produk unggulan menjadi dua produk unggulan prioritas. Dalam pelaksanaanya,

terkadang digunakan SWOT untuk membantu dan mengarahkan jalannya diskusi.

c. Penggunaan FGD (focus group discussion) dan analisis ROI untuk menentukan satu

produk unggulan prioritas.

d. Penggunaan FGD (focus group discussion) untuk menentukan rantai nilai

e. Penggunaan Fuzzy untuk menentukan kompetensi inti.

Sel 3: mendukung

strategi yang

berorientasi pada

“turn around”

Sel 4: mendukung

strategi Defensif

Sel 1: mendukung

strategi agresif

Sel 4: mendukung

strategi diversifikasi

PELUANG

ANCAMAN

KEKUATAN PELUANG

Gambar 3.2 Diagram Analisis SWOT

45

4. Menggunakan metode AHP untuk menentukan dua produk unggulan prioritas. AHP

adalah sebuah alat analisis yang didukung oleh pendekatan matematika sederhana dan

dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan “decision making” seperti

pengambilan kebijakan atau penyusunan prioritas dengan cara melakukan penilaian

perbandingan antara komoditi /produk / jenis usaha untuk setiap kriteria didasarkan

atas kondisi saat ini dan prospeknya. Metode ini menggunakan penilaian seseorang

atau beberapa orang yang dianggap pakar untuk mengidentifikasi kriteria mana yang

lebih penting yang dapat menunjukkan komoditi /produk / jenis usaha unggulan. Dari

persepsi pakar tersebut, nantinya akan diperoleh suatu bobot kuantitatif bagi kriteria-

kriteria penetapan komoditi /produk / jenis usaha unggulan. Metode AHP menggunakan

kriteria dan sub kriteria yang dimasukkan ke dalam level-level tertentu. Tujuan akhir dari

metode AHP adalah memberikan penilaian secara kuantitatif penetapan komoditi

/produk / jenis usaha usaha unggulan. Nilai inilah yang menunjukkan komoditi /produk /

jenis usaha unggulan di suatu wilayah( masukkan gambar 11.4 pada halaman 205)

5. Analisis Kompetensi inti.

6. Analisis rantai nilai

7. Penentuan kriteria kompetensi inti : memiliki bagian peluang (opportunity share),

sanggup merebut market share, memiliki production skill, teknologi, pembelajaran

kolektif, sulit di tiru, memiliki aplikasi yang luas, memberikan kontribusi yang nyata bagi

konsumen, biaya yang rendah, penentu keberhasilan usaha, memiliki keunikan yang

tinggi.

Lima besar

produk

unggulan

Dua produk

unggulan

prioritas

Satu produk

unggulan

fokus

Penentuan

rantai nilai

Penentuan

kompetensi

Inti

Kriteria AHP + diskusi FGD + ROI FGD FUZZY

Gambar 3.3 Metode dari penyusunan produk unggulan hingga penentuan kompetensi inti

46

8. Penyusunan strategi pengembangan dan implementasinya. (masukkan gambar 11.7

dan 11.8 dihalaman 215 dan 217).

Contoh kasus strategi dan implementasi dari pengembangan kompetensi inti daerah untuk

kota palu (industri rotan ).

TABEL 3.1

Strategi Dan Implementasi Dari Pengembangan Kompetensi Inti Daerah Untuk Kota Palu

(Industri Rotan ).

Item strategi item Keterangan

1. Kondisi Umum

a. fokus Industri rotan

b. kompetensi inti Industri mebel rotan (finishing)

c. sasaran Memberdayakan masyarakat lokal

d. tujuan Meningkatkan nilai tambah di tingkat msyarakat lokal

2. strategi Rekayasa kelembagaan dan meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai melalui 6 pendekatan

1. rekayasa kelembagaan petani : meningkatkan pendapatan petani desa dengan menggeser aktivitas penggorengan rotan ke kelompok tani(petani, ketua kelompok, pengumpul dan pedagang)

2. membangun unit pelayanan teknis (UPT) yang memberikan fasilitas peralatan mesin rotan, pemasaran dan pendidikan /pelatihan

3. pembangunan kawasan industri dan badanotoritas kawasan industri

4. penciptaan badan promosi Palu

5. dukungan sumberdaya manusia melalui sekolah khusus rotan

6. dukungan infrastruktur fisik

3. skenario implementasi strategi

a. skenario inkremental

Implementasi secara gradual melalui 3 tahap (petani menjadi pengelola rotan asalan, pengelola rotan asalan menjadi pengelola rotan setengah jadi, pengelola rotan setengah jadi menjadi industri mebel

b. skenario percepatan

Investor industri pengolahan rotan setengah jadi membuka usaha di kawasan industri

c. skenario progresif

Investor industri pengolahan rotan setengah jadi dan investor industri pembuatan mebel rotan sekaligus membuka usahanya di kawasan industri

4. 3 tahapan pengembangan kompetensi inti

a. Tahap 1 (2007-2009)

1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah di tingkat petani

2. Strategi : menggeser aktivitas penggorengan yang sebelumnya berada di tingkat pengusaha ke tingkat petani (rekayasa kelembagaan di tingkat petani)

3. Output : menghasilkan rotan asalah

47

4. Langkah –langkah : a. Petani pemunggut dan pengumpul (non

penggorengan) membentuk kelompok kerja b. Kelompok tersebut melakukan aktivitas

penggorengan rotan

b. Tahap 2 (2008-2011)

1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah ditingkat petani

2. Strategi : menggeser aktivitas pengolahan rotan setengah jadi ke tingkat petani

3. Output : menghasilkan rotan setengah jadi 4. Langkah-langkah :

a. Rotan asalah hasil pengolahan kelompok petani, diolah menjadi rotan setengah jadi

b. Memanfaatkan fasilitas pengolahan rotan setengah jadi yang menjadi milik UPT yang berada di kawasan industri dengan cara menyewa

c. Tahap 3 (2010-2022)

1. Sasaran umum : bagaimana meningkatkan nilai tambah dan ketrampilan masyarakat

2. Strategi : mendorong masyarakat untuk bergerak di bidang pembuatan mebel rotan

3. Output : menghasilkan mebel 4. Langkah-langkah :

a. Rotan setengah jadi hasil olahan di UPT digunakan sebagai bahan baku pembuatan mebel rotan

b. Memanfaatkan fasilitas UPT terkait dengan pembuatan mebel

c. Menjalin kerjasama antar pengrajin dengan pengusaha mebel rotan yang ada di kawasan industri

d. Menjalin kerjasama dengan pelaku usaha perdagangan mebel rotan di sentra industri di Pulau Jawa seperti Cirebon.

3.8. Hubungan Kompetensi Inti dan Daya Saing Daerah

Kompetensi inti memiliki hubungan yang erat dengan daya saing daerah. menurut

Mulyadi dan Monstiska, (2011:8), seharusnya, kebijakan pengembangan industry diarahkan

untuk mengembangkan industry daerah dengan cara optimalisasi potensi sumber daya

local, sehingga kebijakan pengembangan kawasan industry di daerah harus diarakan untuk

memfasilitasi industry yang berbasis kompetensi inti industry daerah. Selanjutnya dikatakan

bahwa manfaat dari pengembangan kompetensi inti adalah :

1. terwujudnya pertumbuhan ekonomi oleh karena meningkatnya pendapatan riil

masyarakat, meningkatnya penanaman modal dan meningkatnya tabungan masyarakat.

2. Terciptanya full employment atau tingkat penangguran yang rendah

48

3. Memperbaiki ketidakserasian akibat disparitas antar wilayah

4. Memungkinkan terjadinya kerjasama antar daerah berlandaskan kedekatan dan potensi

yang sama serta masuk dalam rantai nilai komoditi yang akan dikembangkan.

Hal ini identik dengan pendapat dari Departemen perindustrian ( 2007: xxvi), bahwa

manfaat yang diharapkan dari pengembangan kompetensi inti yang dimaksud antara lain :

1. Terwujudnya pertumbuhan ekonomi oleh karena meningkatnya pendapatan riil

masyarakat, meningkatnya penanaman modal dan meningkatnya tabungan masyarakat

2. Terciptanya full employment atau setidak-tidaknya pencapaian tingkat pengangguran

yang rendah

3. Memperbaiki ketidakserasian sebagai akibat dari disparitas antar wilayah dalam upaya

untuk memperkecil perbedaan pendapatan per kapita antar golongan masyarakat dan

antar wilayah

4. Memungkinkan terjadinya kerjasama antar daerah berlandaskan kedekatan dan potensi

yang sama serta masuk dalam rantai nilai komoditi yang akan dikembangkan.

Kedua pendapat diatas dalam menjelaskan hubungan atau manfaat dari

pengembangan kompetensi inti daerah dengan daya saing daerah. Suatu daerah yang

memiliki satu atau beberapa kompetensi inti, akan menyebabkan jumlah produk (barang

atau jasa) yang dihasilkan suatu daerah akan meningkat. Mengapa demikian ? karena

produk yang menjadi kompetensi inti adalah produk yang laku dijual (daya saing tinggi)dan

sulit ditiru. Hal ini menyebabkan permintaan akan produk tersebut juga menjadi tinggi,

sehingga secara agregrat dapat meningkatkan nilai PDRB suatu daerah.

Semakin banyak produk yang menjadi kompetensi inti suatu daerah akan memicu

perkembangan industri atau perusahan yang berbasis produk tersebut. Hal ini akan

menyebabkan industri itu menarik bagi investor, konsekuensinya modal dari luar daerah

(nasional maupun luar negeri) akan masuk ke daerah. Perkembangan industri berbasis

kompetensi ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga akan mengurangi

pengangguran dan kemiskinan di daerah tersebut. Peningkatan daya serap tenaga kerja

akan diimbangi dengan penambahan pendapatan masyarakat dan otomatis meningkatkan

daya menabung masyarakat. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah meningkatnya

kesejahtraan daerah yang dapat meminimalkan disparitas kesejahtraan dengan wilayah

yang lebih makmur lainnya.

Berkembangnya industri yang berbasis pada kompetensi inti disuatu daerah akan juga

menyebabkan permintaan bahan baku yang lebih besar. Apabila bahan baku tidak dapat

dipenuhi dari dalam daerah tersebut maka kemudian akan disupply dari daerah lain. Pada

49

kondisi ini akan tercipta konektivitas dengan daerah lain khususnya menyangkut supply

bahan baku dan aspek produksi lainnya. Konektivitas antar wilayah juga akan semakin kuat

jika wilayah lain masuk dalam rantai nilai (value chain) dari produk yang dikembangkan

disuatu daerah.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Maulana, dalam artikelnya : Pembangunan

daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam Departemen perindustrian (

2007:145-158): bahwa kompetensi inti berperan dalam membangunan daya saing daerah

dalam hal :

1. Menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai industri

yang akan dikembangkan. Pemilihan industri yang tepat akan memberikan dampak

yang lebih baik bagi pengembangan daya saing daerah.

2. Sumber keunggulan daerah dalam menghadapi kompetisi global, serta mendorong

kemandirian pembangunan.

Pendapat dari Maulana ini mengaitkan antara pengembangan kompetensi inti dengan

kebijakan daerah. Hal ini logis karena pengembangan industri yang berbasis kompetensi

inti, tentunya perlu didukung oleh infrastruktur dan kondisi atau iklim berusaha yang

kondusif didaerah. Dengan bantuan pemerintah daerah, salah satunya lewat kebijakan

daerah yang pro investasi maka akan mempercepat pengembangan daya saing daerah

tersebut.

Peranan pemerintah dalam pengembangan kompetensi inti di daerah juga diutarakan

oleh Huseini dan Fauzi, dalam artikelnya : pengembangan kompetensi inti dibidang kelautan

dan perikanan, dalam Departemen perindustrian ( 2007:161-197): mereka menyatakan

bahwa ada tiga agent dalam pengembangan kompetensi inti yaitu (masukkan gambar di

hal 185) :

1. Pemerintah daerah (aspek kawasan /teritorial, kelembagaan, politik, sosial budaya)

2. Pemerintah pusat (aspek SDM, kewenangan dan IPTEK)

3. Swasta (aspek Sense of business, market, net work, modal , lahan)

Tjahajana, dalam artikelnya tentang : kebijakan pengembangan industri nasional

dalam rangka perkuatan kompetensi inti daerah (dalam departermen perindustrian,

2007:39-41), menyatakan bahwa peran dari kompetensi inti dalam mengembangkan daya

saing daerah :

1 Kompetensi inti sebagai pemacu kegairahan perekonomian daerah (misalnya : adanya

pembaharuan peraturan-peraturan daerah yang dinilai kontra produktif dengan investasi

/ iklim bisnis di daerah)

50

2 Kompetensi inti sebagai indikator penentu keberhasilan pembangunan di daerah.

3 Kompetensi inti sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan daerah

4 Kompetensi inti sebagai syarat berkompetisi

5 Kompetensi inti sebagai jati diri daerah

Untuk menyakinkan bahwa pengembangan kompetensi inti didaerah berhasil, maka

ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukurnya. Menurut Maulana,

dalam artikelnya : Pembangunan daerah dalam membangun kompetensi inti daerah, dalam

Departemen perindustrian ( 2007:145-158): indikator yang dapat digunakan untuk mengukur

keberhasilan kompetensi inti adalah :

1. Kinerja ekonomi, untuk menangkap outcome pengembangan kompetensi inti. Indikator

ekonomi antara lain : pendapatan asli daerah, tingkat pengangguran, tingkat inflasi

maupun besaran-besaran setiap sektor usaha.

2. Jaringan dan kemitraan antara pemerintah daerah dan dunia usaha. Kemitraan juga

dijalin antar daerah dan apabila memungkinkan dapat menjalin kerjasama dengan

investor luar negeri.

3. Perluasan modal sosial masyarakat. Modal ini diperlukan untuk mendukung proses

pengembangan kompetensi inti melalui semangat kerja dari masyarakat di daerah.

4. Inovasi melalui peningkatan penelitian dan pengembangan. Termasuk didalamnya;

penambahan kapasitas penelitian dan pengembangan. Indikator yang bisa digunakan

adalah kreativitas dan inovasi-inovasi dan pengembangan kompetensi inti daerah.

5. Indikator sumber daya manusia, berupa : keahlian, ketersediaan dan kualitas tenaga

kerja daerah.

6. Pengembangan perekonomiandan dunia usaha yang dapat menunjukkan keterlibatan

tenaga kerja serta ketersediaan lapangan kerja. Indikator yang bisa digunakan adalah :

tingkat pekerja, jumlah perusahaan beserta kinerja dan hasilnya.

Lebih lanjut Maulana, menyatakan bahwa ada tiga macam sumber daya daerah yang

dioptimalkan dalam mendukung kompetensi inti daerah yaitu:

1. Sumber daya yang bersifat tangible, misalkan ; pegawai, masyarakat, sumber daya

alam, sumber daya keuangan, produk,infrastruktur. Sumber daya jenis ini lebih dapat

dilihat paa ketersediaanya secara fisik saja.

2. Sumber daya yang bersifat intangible, antara lain : kemampuan pegawai, kualitas

masyarakat, efisiensi biaya, kualitas produk.

51

3. Sumber daya yang sifatnya very intangible,antara lain : moral pegawai, reputasi dimata

masyarakat, reputasi dimata investor. Sumber daya ini terkait dengan keperacayaan

pihak luar kepada potensi daerah.