bab6 bab 6

19
94 BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan mekanisme koping pada klien DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta. Hasil yang di bahas dalam penelitian ini terdiri dari 8 variabel meliputi karakteristik responden (usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan), riwayat keturunan, pengetahuan responden, sikap, motivasi responden. Analisa data dalam penelitian ini meliputi analisa univariat dan analisa bivariat, keterbatasan penelitian sbb: A. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan berbagai keterbatasan penelitian. Beberapa keterbatasan penelitian yang ada sebagai berikut: 1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional sehingga hubungan yang ditentukan dari variabel independen dan variabel dependen bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian dilakukan dalam waktu bersamaan dan tanpa adanya follow up. 2. Kualitas Data Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Pengumpulan data dengan kuesioner mempunyai dampak yang sangat subjektif sehingga

description

sdfghjjjnbbg

Transcript of bab6 bab 6

Page 1: bab6 bab 6

94

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan mekanisme koping pada klien DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus

RS. Sukanto Jakarta. Hasil yang di bahas dalam penelitian ini terdiri dari 8 variabel

meliputi karakteristik responden (usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan), riwayat

keturunan, pengetahuan responden, sikap, motivasi responden. Analisa data dalam

penelitian ini meliputi analisa univariat dan analisa bivariat, keterbatasan penelitian

sbb:

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan berbagai keterbatasan

penelitian. Beberapa keterbatasan penelitian yang ada sebagai berikut:

1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional

sehingga hubungan yang ditentukan dari variabel independen dan variabel

dependen bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian

dilakukan dalam waktu bersamaan dan tanpa adanya follow up.

2. Kualitas Data

Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Pengumpulan data

dengan kuesioner mempunyai dampak yang sangat subjektif sehingga

Page 2: bab6 bab 6

95

kebenaran data tergantung dari kejujuran responden. Ketidaktepatan jawaban

dapat terjadi karena faktor pemahaman responden yang kurang terhadap

pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh peneliti saat wawancara. Oleh

sebab itu peneliti memberikan pengarahan dan mendampingi responden saat

responden mengisi kuesioner. Data yang terkumpul saat wawancara

ditentukan oleh kemampuan pengumpul data terutama kemampuan untuk

menggali informasi.

B. Pembahasan Hasil Penelitian Univariat

Analisis deskriptif adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya

analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase variabel.

1. Karakteristik Responden

a. Usia

Berdasarkan penelitian yang di lakukan pada klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

menunjukkan bahwa responden berusia ≥ 40 tahun yaitu 87 responden

(90,6%), sedangkan responden yang berusia < 40 tahun yaitu 9 responden

(9,4%).

Usia responden terbanyak ≥ 40 tahun, hal ini dapat disebabkan

karena semakin meningkatnya usia, maka terjadi penurunan fungsi organ

Page 3: bab6 bab 6

96

tubuh. Dimana pada penderita DM terjadi penurunan fungsi pankreas,

yang berfungsi untuk menyekresikan insulin.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati

(2008) tentang faktor - faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan

penderita DM dalam program senam DM di club senam kesehatan Meilea

Bogor, yang menyatakan sebagian besar yang mengikuti program senam

adalah responden yang berusia ≥ 40 tahun.

b. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu 71

responden (74%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan rendah

yaitu 25 responden (26%).

Responden dengan pendidikan yang tinggi, perhatian terhadap

kesehatannya lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan

rendah. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan, semakin tinggi pendidikan maka intensitas

pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan akan semakin tinggi (Kusnanto,

2006). Dalam dunia kesehatan, pendidikan seseorang akan sangat

menentukan derajat kesehatannya dikemudian hari baik untuk dirinya

sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya. Begitu pula pada

responden DM, persentase terbanyak adalah responden dengan tingkat

pendidikan tinggi, menurut peneliti hal ini dapat disebabkan responden

Page 4: bab6 bab 6

97

dengan pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan tentang kesehatan

yang lebih dibandingkan dengan responden berpendidikan rendah.

Sehingga responden dengan pendidikan tinggi menempati urutan

terbanyak yang memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan

diharapkan dengan semakin tingginya pendidikan formal responden maka

semakin adaptif mekanisme koping yang digunakan.

c. Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

responden yang tidak bekerja yaitu 59 responden (61,5%), sedangkan

responden yang bekerja 37 responden (38,5%).

Pekerjaan adalah jenis pekerjaan responden sebagai tumpuannya

untuk mendapatkan uang. Menurut Notoatmodjo (2001) pekerjaan erat

kaitannya dengan kejadian kesakitan dimana timbulnya penyakit dapat

melalui beberapa jalan yakni karena adanya faktor-faktor lingkungan yang

langsung dapat menimbulkan kesakitan, situasi pekerjaan yang penuh

dengan stres dan ada tidaknya gerak badan di dalam pekerjaan. Kondisi ini

memungkinkan orang yang sudah bekerja memiliki kecenderungan lebih

banyak untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Dapat disimpulkan bahwa persentase terbanyak adalah responden

yang tidak bekerja. Menurut peneliti hal ini dapat disebabkan karena

sebagian besar penderita DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS.

Sukanto Jakarta adalah pensiunan dan ibu rumah tangga.

Page 5: bab6 bab 6

98

d. Penghasilan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang

memiliki penghasilan < UMR sebanyak 14 responden (14,6%), sedangkan

yang memiliki penghasilan ≥ UMR sebanyak 82 responden (85,4%).

Penghasilan adalah pendapatan yang diterima setelah seseorang

melakukan pekerjaan. Penghasilan keluarga didasarkan pada UMR kota

DKI Jakarta dimana Upah Minimum DKI Jakarta (UMP / UMR DKI

Jakarta) 2009 telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp1.069.865,.

Dapat disimpulkan bahwa penghasilan keluarga dalam sebulan

sebagian besar ≥ UMR. Hal ini sesuai dengan standar penghasilan yaitu ≥

UMR dimana seseorang akan lebih dapat mencukupi kebutuhannya

dibandingkan dengan yang berpenghasilan < UMR.

2. Riwayat keturunan

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

responden dengan riwayat keturunan DM sebanyak 43 responden (44,8%),

sedangkan responden yang tidak memiliki keturunan DM sebanyak 53

responden (55,2%).

Penyakit keturunan adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan

genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Tidak berarti bahwa

setiap kelainan genetik tersebut harus bermanifestasi secara nyata dalam

silsilah keluarga, tetapi dapat pula tersembunyi hingga tercetus oleh faktor

Page 6: bab6 bab 6

99

dari lingkungan seperti polutan, pola makan yang salah, dll.

(http://smallcrab.com/diabetes/49-diabetes/90-benarkah-diabetespenyakit-

keturunan).

Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden yang tidak

memiliki keturunan DM, hal ini dapat dikarenakan pasien Diabetes Melitus di

Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta tidak hanya

disebabkan oleh faktor keturunan, melainkan dapat disebabkan oleh pola

hidup orang tersebut.

3. Pengetahuan Responden

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

responden dengan tingkat pengetahuan rendah 32 responden (33,3%),

sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan tinggi 64 responden

(66,7%).

Sebagian besar responden DM memiliki pengetahuan tinggi tentang

DM, hal ini karena responden DM mendapatkan informasi dari berbagai

sumber informasi, misalnya media cetak, televisi, phamplet, internet,

talkshow, bahkan ada yang dari mulut ke mulut. Dengan berkembangnya

informasi melalui media masyarakat, semakin banyak menggali informasi dari

media cetak dan elektronik, dengan demikian masyarakat dapat lebih

mengetahui tentang penyakit yang dideritanya dan bagaimana cara

mengatasinya.

Page 7: bab6 bab 6

100

Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan

tingkat pengetahuan tinggi, hal ini berarti menunjukkan bahwa sebagian

responden sudah memahami dan mengerti tentang penyakit Diabetes Melitus

yang diderita, meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, komplikasi,

dan perencanaan diet.

4. Sikap

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki sikap positif yaitu 66 responden (68,8%),

sedangkan yang memiliki sikap negatif 30 responden (31,3%).

Merujuk pada teori Green (1980), bahwa sikap merupakan faktor

predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka sikap klien yang merasa

terancam oleh penyakitnya dan percaya bahwa pengobatan akan

menguntungkan (sikap positif) cenderung untuk patuh pada instruksi dokter.

Manusia sebagai makhluk sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari

pengaruh interaksi manusia satu dengan yang lain (eksternal). Di samping itu,

manusia juga sebagai makhluk individual sehingga apa yang datang dari

dalam dirinya (internal). Teori lain menurut Mar’at (1884) menjelaskan

bahwa sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang

bereaksi dan merupakan predisposisi tingkah laku.

Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan sikap

positif, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap klien Diabetes

Page 8: bab6 bab 6

101

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta sebagian

besar bersikap menerima, mengerti, dan mempunyai keinginan untuk

menjalani apa yang harus dilakukan oleh penderita DM.

5. Motivasi

Berdasarkan penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit

Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki motivasi tinggi yaitu 57 responden (59,4%),

sedangkan yang memiliki motivasi rendah 39 responden (40,6%).

Menurut James L Gibson, motivasi adalah konsep yang kita gunakan

jika kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam

diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku. Motivasi

didefinisikan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang

tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu, yang dikondisikan oleh kemampuan,

upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Bila individu

termotivasi, dia akan mencoba sekuat tenaga, tetapi kemungkinan kecil

tingkat upaya yang akan menghambat hasil kinerja pekerjaan kecuali bila

upaya disalurkan dalam suatu arah yang bermanfaat. Jadi motivasi diperlukan

sebagai proses pemenuhan kebutuhan (Soekidjo, 2005). Adapun teori lain

yang menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu tenaga faktor yang terdapat

dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan, dan

mengorganisasikan tingkah lakunya (Winardi, 2001).

Page 9: bab6 bab 6

102

Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden dengan

motivasi tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati

(2008) tentang faktor - faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan

penderita DM dalam program senam DM di club senam kesehatan Meilea

Bogor, yang menyatakan sebagian besar responden memiliki motivasi tinggi

dalam mengikuti senam DM.

6. Mekanisme Koping

Berdasarkan hasil penelitian pada klien Diabetes Melitus di Poli

Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta menunjukkan bahwa

sebagian besar responden menggunakan mekanisme koping adaptif yaitu 56

responden (58,3%), sedangkan yang menggunakan mekanisme koping

maladaptif yaitu 40 responden (41,7%)

Menurut Suliswati (2005) mekanisme koping adalah perilaku

pemecahan masalah yang bertujuan untuk meredakan ketegangan dalam

kehidupan. Menurut Steven, dkk (1999) reaksi mekanisme koping yang

muncul terhadap sakit yang diderita meliputi empat fase, yaitu:

1) Penyangkalan, manusia tidak dapat melihat kenyataan dan berusaha

menghindar

2) Agresi, bereaksi terhadap lingkungannya atas frustasi yang terjadi

pada dirinya, dengan cara melukai atau mencemaskan dirinya.

3) Depresi, bentuk putus asa yang dalam,

Page 10: bab6 bab 6

103

4) Penerimaan, penilaian ulang bahwa hidup ini cukup berharga untuk

dinikmati.

Dapat disimpulkan persentase terbesar adalah responden yang

menggunakan mekanisme koping adaptif, hal ini dapat disebabkan karena

setiap individu mempunyai respon yang berbeda terhadap sumber stres

(termasuk sumber stres yang sama) oleh karena itu mekanisme koping yang

digunakan individu berbeda-beda.

C. Pembahasan Bivariat

1. Hubungan Usia dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes Melitus

di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.

Hasil analisis hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada

klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto

Jakarta diperoleh bahwa dari 9 responden dengan usia < 40 tahun dapat dilihat

bahwa 2 responden (22,2%) dengan usia < 40 tahun menerapkan mekanisme

koping mal adaptif dan 7 responden (77,8%) menerapkan mekanisme koping

adaptif, sedangkan 87 responden dengan usia ≥ 40 tahun dapat di lihat bahwa

38 responden (43,7%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 49

responden (56,3%) menerapkan mekanisme koping adaptif.

Usia adalah jumlah hari, bulan, tahun yang telah dilalui sejak lahir

sampai dengan waktu tertentu. Usia juga bisa diartikan sebagai satuan waktu

yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup

Page 11: bab6 bab 6

104

maupun yang mati. Misalnya umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur

sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.

( http: / /www. Wikipedia. Co. Id, diakses pada tanggal 16 Juli 2009).

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara usia responden dengan mekanisme koping pada klien

Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Tidak adanya hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada

penelitian ini dikarenakan penyakit diabetes dapat menyerang siapa saja tanpa

memandang usia namun dalam penelitian ini mayoritas responden adalah

berusia diatas 40 tahun (www.google.com). Hal lain yang menyebabkan tidak

adanya hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada klien DM

adalah setiap orang yang menderita suatu penyakit pasti menginginkan agar

segera sembuh dengan menggunakan mekanisme koping adaptif baik yang

berusia < 40 tahun maupun ≥ 40 tahun.

2. Hubungan Pendidikan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan mekanisme koping

pada klien DM diperoleh bahwa dari 25 responden dengan pendidikan rendah,

dapat dilihat bahwa 12 responden (48%) menerapkan mekanisme koping mal

adaptif dan 13 responden (52%) menerapkan mekanisme koping adaptif.

Sedangkan dari 71 responden dengan tingkat pendidikan tinggi, dapat dilihat

Page 12: bab6 bab 6

105

bahwa 28 responden (39,4%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan

43 responden (60,6%) menerapkan mekanisme koping adaptif.

Menurut Notoatmodjo (2003), semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka semakin banyak bahan, materi, atau pengetahuan yang di

peroleh untuk mencapai perubahan tingkah laku yang baik. Pendidikan

menjadi dasar yang penting bagi seseorang karena kemajuan pengetahuan dan

teknologi, dan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi, meningkatkan

kemampuan masyarakat untuk menerima cara-cara pencegahan dan

penanggulangan penyakit DM.

Uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara pendidikan responden dengan dengan Mekanisme Koping

pada Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS.

Sukanto Jakarta.

Tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan mekanisme koping

pada klien DM dalam penelitian ini menurut peneliti lebih disebabkan karena

pengetahuan penyakit DM umumnya didapatkan di luar pendidikan formal.

3. Hubungan Pekerjaan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan mekanisme koping

pada klien DM diperoleh bahwa dari 37 responden yang bekerja, dapat dilihat

bahwa 16 responden (43,2%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan

21 responden (56,8%) menerapkan mekanisme koping adaptif, sedangkan dari

Page 13: bab6 bab 6

106

59 responden yang tidak bekerja dapat dilihat bahwa 24 responden (40,7%)

menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 35 responden (59,3%)

menerapkan mekanisme koping adaptif.

Pekerjaan adalah jenis pekerjaan responden sebagai tumpuannya untuk

mendapatkan uang. Hasil uji statistik (Chi Square) di dapat P value sebesar

0,972 yang berarti P value lebih besar dari (0,05) maka dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan

Mekanisme Koping pada Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam

Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan mekanisme koping

pada klien DM dalam penelitian ini menurut peneliti lebih disebabkan karena

klien DM di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

umumnya pensiunan atau ibu rumah tangga, sehingga walaupun tidak bekerja

tetapi masih memiliki penghasilan dalam keluarga untuk biaya pengobatan.

4. Hubungan Penghasilan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Hasil analisis hubungan antara penghasilan dengan mekanisme koping

pada klien DM diperoleh bahwa dari 14 responden dengan penghasilan <

UMR, dapat dilihat bahwa 10 responden (71,4%) menerapkan mekanisme

koping mal adaptif dan 4 responden (28,6%) menerapkan mekanisme koping

adaptif, sedangkan dari 82 responden dengan penghasilan ≥ UMR dapat

Page 14: bab6 bab 6

107

dilihat bahwa 30 responden (36,6%) menerapkan mekanisme koping mal

adaptif dan 52 responden (63,4%) menerapakan mekanisme koping adaptif.

Penghasilan adalah pendapatan yang diterima setelah seseorang

melakukan pekerjaan. Penghasilan keluarga didasarkan pada UMR kota DKI

Jakarta dimana Upah Minimum DKI Jakarta (UMP / UMR DKI Jakarta) 2009

telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp1.069.865,.

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara penghasilan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Keadaan finansial ini sangat dibutuhkan untuk biaya pengobatan,

keterbatasan finansial dapat menghambat pengobatan dan menjadi sumber

stres dalam keluarga yang akan mempengaruhi mekanisme koping apa yang

akan digunakan oleh seseorang (http://aricloud.wordpress.com, diakses

tanggal 22 Juni 2009).

5. Hubungan Riwayat Keturunan dengan Mekanisme Koping pada Klien

Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto

Jakarta

Hasil analisis hubungan antara riwayat keturunan dengan mekanisme

koping pada klien DM diperoleh bahwa dari 43 responden yang keturunan

DM, dapat dilihat bahwa 10 responden (23,3%) menerapkan mekanisme

koping mal adaptif dan 33 responden (76,7%) menerapkan mekanisme koping

adaptif, sedangkan dari 53 responden yang tidak memiliki riwayat keturunan

Page 15: bab6 bab 6

108

DM dapat dilihat bahawa 30 responden (56,6%) menerapakan meakanisme

koping mal adaptif dan 23 responden (43,4%) menerapkan mekanisme koping

adaptif.

Penyakit keturunan adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan

genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Tidak berarti bahwa

setiap kelainan genetik tersebut harus bermanifestasi secara nyata dalam

silsilah keluarga, tetapi dapat pula tersembunyi hingga tercetus oleh faktor

dari lingkungan seperti polutan, pola makan yang salah, dll.

(http://smallcrab.com/diabetes/49-diabetes/90-benarkah-diabetespenyakit-

keturunan).

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara riwayat keturunan dengan Mekanisme Koping pada Klien

Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Riwayat keturunan DM juga bisa dihubungkan dengan mekanisme

koping penderita DM, dimana seseorang yang mengetahui dirinya memiliki

riwayat keturunan suatu penyakit, misalnya DM akan lebih waspada terhadap

hal-hal yang akan mencetuskan terjadinya DM, dibandingkan seseorang yang

tidak memiliki riwayat keturunan (http://smallcrab.com/kesehatan/25-

healthy/225-penyakit-keturunan-masih-bisa-ditangkal).

6. Hubungan Pengetahuan dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme

Page 16: bab6 bab 6

109

koping pada klien DM diperoleh bahwa dari 32 responden dengan tingkat

pengetahuan rendah, dapat dilihat bahwa 19 responden (59,4%) menerapkan

mekanisme koping mal adaptif dan 13 responden (40,6%) menerapkan

mekanisme koping adaptif, sedangkan dari 64 responden dengan tingkat

pengetahuan tinggi dapat dilihat bahwa 21 responden (32,8%) menerapkan

mekanisme koping mal adaptif dan 43 responden (67,2%) menerapkan

mekanisme koping adaptif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan

responden maka akan semakin adaptif mekanisme koping yang digunakan

dalam menghadapi masalah.

Menurut Soekidjo (1997), pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku individu. Karena

dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh dengan berbagai cara, baik inisiatif

maupun orang lain, dengan melihat atau mendengar sendiri tentang kenyataan

atau melalui alat komunikasi, seperti radio, televisi, buku, majalah, surat

kabar dan lain-lain.

Seperti yang dikemukakan oleh (Roger, 1974 dalam Soekidjo, 1997 :

128) mengungkapkan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru, di

dalam diri individu terjadi proses berurutan :

a) Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

Page 17: bab6 bab 6

110

b) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini

sikap subjek sudah mulai timbul.

c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan

apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara pengetahuan responden dengan Mekanisme Koping pada

Klien Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto

Jakarta.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2008)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

pengetahuan dengan keikutsertaan responden senam DM.

7. Hubungan Sikap dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 responden dengan sikap

negatif dapat dilihat bahwa 18 responden (60%) menerapkan mekanisme

koping mal adaptif dan 12 responden (40%) menerapkan mekanisme koping

adaptif, sedangkan dari 66 responden dengan sikap positif dapat dilihat bahwa

Page 18: bab6 bab 6

111

22 responden (33,3%) menerapkan mekanisme koping mal adaptif dan 44

responden (66,7%) menerapkan meakanisme koping adaptif.

Sikap adalah kecenderungan untuk berespon secara positif maupun

negatif terhadap orang, objek atas situasi tertentu (Sarwono, 2002). Sikap

merupakan suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

stimulus atau objek, sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap

merupakan predisposisi tindakan atau perilaku, sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang

bermakna antara sikap responden dengan mekanisme koping pada klien DM

di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta. Dari nilai OR

dapat disimpulkan bahwa responden dengan sikap positif 3,000 kali akan

menerapkan mekanisme koping adaptif dibandingkan dengan responden

dengan sikap negatif. Hal ini dapat disebabkan karena perilaku positif

dibentuk dari sikap yang positif.

8. Hubungan Motivasi dengan Mekanisme Koping pada Klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta

Hasil analisis hubungan antara motivasi dengan mekanisme koping

pada klien DM diperoleh bahwa dari 39 respon rendah dengan motivasi

rendah, dapat dilihat bahwa 11 responden (28,2%) menerapkan mekanisme

koping mal adaptif dan 28 responden (71,8%) menerapkan mekanisme koping

adaptif, sedangkan dari 57 responden dengan motivasi tinggi dapat dilihat

Page 19: bab6 bab 6

112

bahwa 29 responden (50,9%) menerapakan mekanisme koping mal adaptif

dan 28 responden (49,1%) menerapkan mekanisme koping adaptif.

Menurut Soekidjo (2005), motivasi merupakan proses yang bersifat

internal atau eksternal bagi seorang individu sebagai interaksi antara perilaku

dan lingkungan sehingga individu dapat meningkatkan, menurunkan, atau

mempertahankan perilaku. Jika individu sudah memiliki motivasi yang kuat

dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan, maka

perilakunya menjadi lebih konsisten. Hal ini juga terjadi pada klien Diabetes

Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.

Responden dengan tingkat motivasi tinggi memiliki perilaku lebih tinggi

dibandingkan dengan responden dengan motivasi rendah.

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara motivasi responden dengan mekanisme koping pada klien

Diabetes Melitus di Poli Penyakit Dalam Rumkit Polpus RS. Sukanto Jakarta.

Hal ini berarti semakin tinggi motivasi responden, maka semakin adaptif

mekanisme koping yang digunakan dalam menghadapi sakit DM yang

dideritanya.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati (2008)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara motivasi

dengan keikutsertaan responden senam DM.