Bab

56
BAB I PENDAHULUAN Kanker adalah salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kesengsaraan dan kematian pada manusia. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding kanker kepala leher yang lain.KNF merupakan satu dari lima kanker tersering di Cina dan Hong Kong. 2 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki peringkat pertama. 1,2 Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1,2,3 Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat. Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan syaraf saat 1

description

med

Transcript of Bab

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker adalah salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kesengsaraan

dan kematian pada manusia. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker

kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar)

dibanding kanker kepala leher yang lain.KNF merupakan satu dari lima kanker

tersering di Cina dan Hong Kong.2

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai

diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk

dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi, sedangkan di daerah kepala

dan leher menduduki peringkat pertama.1,2 Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller

pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah

menjadi epitel skuamosa.1,2,3

Menegakkan diagnosis kanker nasofaring tidaklah mudah karena letak

predileksinya yang tersembunyi. Pasien sering datang terlambat untuk berobat.

Diagnosis dini karsinoma nasofaring sulit dilakukan karena gejala dan tanda sangat

bervariasi, dan letak nasofaring yang tersembunyi sehingga tidak mudah diperiksa

orang yang bukan ahli sehingga menyebabkan pasien telah berada di stadium lanjut

dan telah terjadi penyebaran ke kelenjar limfe leher atau sudah terjadi gangguan

syaraf saat diagnosis ditegakkan. Gejalanya adalah telinga gemrebeg, hidung buntu,

kadang-kadang ingus disertai darah, serta timbul benjolan di leher. Keadaan ini

sebenarnya sudah masuk stadium lanjut. Biasanya pasien mulai berobat bila sudah

ada benjolan di leher. Pada gejala klinik yang lebih berat muncul rasa tebal di pipi,

bicara pelo, tersedak bila minum, kesulitan menelan, pandangan mata dobel, sakit

kepala berat, sesak nafas.4,5

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan

suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak

khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat.2

Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang

dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup

1

tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang

dikombinasikan radioterapi 2,3

Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan

radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien kanker

nasofaring yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada evaluasi awal,

sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan metastase.

Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama

pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.6

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.2 Karsinoma

Nasofaring mempunyai ciri bertempat di tempat khusus yaitu nasofaring, dan

memliki keterkaitan secara anatomi dengan jaringan limfoid. Tumor ini juga

dihubungkan dengan infeksi virus eibsten barr. Tumor ini merupakan keganasan dari

lapisan epitel mukosa nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa

rosenmulleri. Anggapan ini berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel

merupakan predileksi terjadinya keganasan. Walaupun daerah Rosenmulleri atau

dinding lateral nasofaring merupakan lokasi keganasan yang paling sering,tetapi

kenyataannya keganasan dapat juga di tempat-tempat lain di nasofaring. Fosa

rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris atau epitel kuboid ke arah

gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi di dinding atas nasofaring

(basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi koanae), dan di sekitar tuba.

Ada tiga pola tumor ini yaitu: (1) karsinoma sel skuama dengan keratin, (2)

karsinoma sela skuama tanpa keratin, dan (3) karsinoma yang tidak berdiferensiasi,

sering disebut lymphoepithelioma.7

A. Epidemiologi

KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita

di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih

banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak

umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di

Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute,

2009).

Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30

per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan

Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden

tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara

3

lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila

dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,

2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009).

Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat

di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan

Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF

(Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi

4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari

data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran

Universitas

Universitas Sumatera Utara

Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari

keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun

2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab pasti dari karsinoma nasofaring belum ditemukan. Dari beberapa

penelitian dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya

disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.

Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab

utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap

tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.

Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. kebiasaan untuk

mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak

merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga

menimbulkan Karsinoma Nasofaring.2

Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring:

- Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin

- Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan, dan kebiasaan hidup

- Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogenik

(benzopyrenen,benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu )

4

- Ras dan keturunan

- Radang kronik daerah nasofaring

- Profil HLA

Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan

pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat

dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena

pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr

yang cukup tinggi.1 Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya

interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1

C. Gejala dan Tanda

1. Gejala hidung

Gejala hidung merupakan gejala dini dan sangat membingungkan karena

gejala ini juga terdapat pada penyakit hidung biasa, misalnya hanya pilek,

keluar ingus encer, kental atau berbau sehingga seringkali didiagnosis

sebagai rhinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena

itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila

penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore

dengan ingus kental, bau busuk, lebih – lebih bila bercampur titik – titik

darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal 8

Epistaksis

Sumbatan hidung

Sumbatan hidung menetap terjadi karena pertumbuhan tumor ke dalam

rongga nasofaring dan menutupi koana.

2. Gejala telinga

Kataralis/Oklusi Tuba Eustachius

Pertumbuhan tumor yang bermula di fossa rosenmulleri menyebabkan

penyumbatan muara tuba Eustachius, sehingga pasien mengeluh rasa penuh

di telinga, rasa berdengung yang kadang-kadang disertai dengan gangguan

pendengaran. Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari KNF.

Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab

yang jelas.

5

Otitis media sampai perforasi dengan gangguan pendengaran

Hal ini dapat terjadi karena adanya tekanan cairan dalam kavum timpani

yang tidak berkurang, sehingga terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-

kapiler tersebut. Timbul juga tromboplebitis pada vena-vena kecil dan

nekrosis mukosa dan sub mukosa yang kemudian terjadi perforasi.

Gejala hidung dan telinga ini bukan merupakan gejala yang khas karena

dapat dijumpai pada infeksi biasa seperti rhinitis dan sirusitis yang kronik.

Namun jika keluhan ini timbul berulang kali tanpa penyebab yang jelas atau

menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan

segera melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap rongga nasofaring sampai

terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring yang menjadi penyebabnya.

Gangguan pendengaran kanker nasofaring hanya sekitar 15 – 20 %.

3. Gejala tumor leher

Melalui aliran pembuluh limfe, sel – sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe

regional dan bertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan

pertama agar sel – sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang

lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut mengalami replikasi sehingga

kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher samping, dapat

unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak

tumor di ujung prosesus mastoideus, di belakang angulus mandibula, didalam m.

sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah

digerakkan. Para peneliti mengemukakan bahwa tumor leher yang terletak

setengah bagian atas leher, harus dicurigai mempunyai induk tumor di

nasofaring. Kecurigaan ini akan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga

mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.

Gejala tumor leher inilah yang mendorong penderita dating berobat ke dokter,

yang meliputi 70 – 90 % dari semua kasus kanker nasofaring.9

4.Gejala mata

6

Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan

kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata. Penderita sering mengeluh

kurang penglihatan, tetapi bila ditanya secara teliti, penderita akan menerangkan

bahwa melihat dobel (diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N.VI yang

letaknya diatas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor.

Keadaan lain yang dapat memberikan gejala pada mata terjadi karena

kelumpuhan N. III dan N. IV sehingga menyebabkan kelumpuhan mata atau

oftalmoplegi. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikum, maka terjadi lesi

pada N. II dan penderita menjadi buta. Selain itu kelumpuhan pada N. III dapat

menyebabkan proptosis bulbi.

5. Gejala kranial atau syaraf

Gejala kranii terjadi karena perluasan karsinoma dengan menembus jaringan

sekitar dan juga secara hematogen.

Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi

kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Berdasarkan perluasannya

gejala – gejala syaraf ini meliputi :

* Perluasan ke atas

- Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius.

- Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa media, disebut

penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai

grup anterior saraf otak yaitu N. II sampai dengan N. VI sehingga gejala

yang muncul antara lain strabismus, penurunan kelopak mata atas,

kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.

- Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai

N. VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian N. V cabang I dengan

keluhan berupa parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah.

- Sindroma petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena.

Tanda khasnya adalah :

Neuralgia trigeminal unilateral

Oflamoplegia unilateral

Amaurosis (kebutaan tanpa lesi yang nyata pada mata)

7

Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramuter.

* Perluasan ke belakang

- Tumor meluas ke belakang secara ekstrakarnial sepanjang fossa posterior,

disebut penjalaran retro paratidian. Yang terkena adalah grup posterior

saraf otak, yaitu N. VII sampai dengan N. XII beserta nervus simpatikus

servikalis.

- Tumor dapat mengenai otot menyebabkan kekakuan otot-otot rahang

sehingga terjadi trismus.

- Sindroma retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.

- Manifestasi kelumpuhan ialah :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior

serta gangguan pengecapan pada seperti belakang lidah.

N. X : hiper / hipo anestesi mukosa palatum mole, faring dan lasing

disertai gangguan respirasi palatum mole.

N. XII : hemiparesis dan atrofi adalah sebelah lidah.

- Kelumpuhan N. XI menyebabkan kelumpuhan m. sternokleidomastoideus

dan m. Trpezius sehingga terjadi kesukaran memutar kepala atau dagu.

Kelainan kranii akibat perluasan kanker nasofaring dapat diketahui,

karena adanya gejala subjektif dari penderita. Bila proses sudah lanjut adanya

kelumpuhan saraf kranial. Dengan CT Scan akan terlihat lesi yang terjadi di

otak maupun di tengkorak.

D. Diagnosis

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma

nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:

1. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior yaitu dengan

menggunakan kaca tenggorok dibantu 2 buah kateter karet yang dimasukkan

melalui masing-masing lubang hidung dan dikeluarkan dari mulut untuk

menarik palatum molle ke atas sehingga rongga nasofaring dapat tampak

lebih jelas.

8

Moch Zaman dan Theman membagi daerah timbulnya keganasan

nasofaring menjadi tiga daerah yaitu :

a. Di dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana

adenoid di dapat atau dinding atas belakang.

b. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di tepi

koana.

c. Dinding lateral nasofaring terutama di fossa Rosenmulleri, yaitu

mulai di belakang tuba (torus tubarius) sampai dinding faring dan

palatum mole.

2. Biopsi nasofaring

Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui

hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas

tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung

menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral

dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut

ditarik keluar dan diklem bersama – sama ujung kateter yang berada di

hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga

palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah

nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut

atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.

3. Histopatologi

Dengan pemeriksaan ini diagnosis dapat dipastikan serta dapat

diketahui jenis karsinoma nasofaring.

Patologi Beberapa Ahli mengusulkan tentang gambaran dari

karsinoma nasofaring. Dari usulan-usulan yang berbeda tersebut maka WHO

pada tahun 1978 membagi jenis karsinoma nasofaring menjadi 3 tipe, yaitu 5

A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (5 YSR 16,3%)

B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (5 YSR 31,5%)

C. Karsinoma ‘undifferentiated’

9

Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tampak adanya

diferensiasi skuamosa dengan jembatan intersel dan keratinisasi

(diskeratosis). Bentuk ini dibedakan menjadi diferensiasi baik sampai

sedang. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi, tampak sel tumor

tersusun berjajar teratur seperti susunan ubin batu, kadang bentuk fleksiform

dengan batas sel yang jelas, tanpa diferensiasi skuamosa. Karsinoma tanpa

diferensiasi, ditandai dengan bentuk sel tumor oval, bulat dan spindel dengan

inti hiperkromatik serta batas sel tumor jelas dan tersusun dalam kelompok

yang tidak teratur.

Jenis ‘undifferentiated’ dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang

serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap

virus Epstein – Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif

dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut.

4. Serologis

Epstein Barr Virus (EBV) merupakan salah satu faktor dalam etiologi

Karsinma Nasofaring, dan antibodi yang dihasilkan oleh virus ini dapat

berguna sebagai penanda serologi untuk diagnosis awal karsinoma

nasofaring.

Berbagai antibodi dihasilkan sebagai respon terhadap virus EBV

diantaranya heterophile antibody, anti Viral Capsid Antigen (VCA), Early

Antigen (EA), dan Epstein BarrNuclear Antigen (EBNA). Namun antibodi

yang sevara signifikan berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah Ig A

Anti-EBV VCA dan Ig A Anti-EBV EA.

Anti-EBV (IgA) mempunyai spesifitas klinis yang tinggi (100%), dan

sebsitivitas yang agak rendah (80,2%). Sebaliknya Anti-EBV VCA IgA

mempunyai sensitivitas klinis yang tinggi (97,3%) dan spesifisitas yang lebih

rendah (46,8%). Dengan demikian pemakaian kedua pemeriksaan tersebut

secara bersamaan akan dapat meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas untuk

diagnosis NPC.

Interpretasi hasil:

Anti EBV EA Anti EBV Kemungkinan

10

Ig A VCA Ig A NPC

+ + 100%

+ _ 100%

_ _ 5,5%

_ + 37,8%

Diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

didapatkan suspek karsinoma nasofaring. Untuk diagnosis pastinya perlu

dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi dengan melakukan biopsi untuk

dapat menegakkan diagnosis.

5. Radiologi

Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi

ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan

yang diperlukan antara lain :

o Foto thorax PA

o Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters),

Tumor nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan

foto polos adalah jika tumor cukup besar, eksofitik, dan

penyebaran jaringan sekitarnya telah meluas.

o CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak

diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan

kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan

untuk radiasi intrakaviter.

o Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti

foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.

o Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.

o MRI, kelebihannya dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai resolusi

yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,

memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa

merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk

11

membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah

bening.

6. Pemeriksaan neurooptalmologi

Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan

sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak.

Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.

E. Stadium klinik

Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC

T = Tumor primer

T0 : tidak terdapat tumor primer.

T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.

T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga

hidung.

T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring

T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus

paranasalis.

T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf

kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional

N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.

N1 : metastasis unilateral pada KGB di atas daerah supraklavicula dengan

diameter terpanjang kurang dari 6 cm.

N2 : metastasis literal pada KGB di atas daerah supraklavicula.

N3 : metastasis pada KGB

a. Diameter terpanjang lebih dari 6 cm

b. Pada daerah supraklavicula

M = Metastasis jauh

M0 : tidak ada metastasis jauh.

M1 : terdapat metastasis jauh.

12

5 year surv rate

Stadium I : T1 N0 M0 76,9%

Stadium II : T2 N0 M0 56 %

Stadium III : T3 N0 M0 38,4%

T1, T2 ,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0 16,4%

Tiap T N2,N3 M0

Tiap T Tiap N M1

F. Pengelolaan

1. Pengobatan Bedah

Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi KNF.

Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang dilakukan

jika masih ada kelenjar pasca radiasi atau kekambuhan kelenjar dengan

syarat tumor primer sudah dinyatakan bersih. Menurut Wei (2003)

nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang

persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis

lengkap.

Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor

persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor

primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival

penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita

yang tidak dilakukan RND (19-28%).7

Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum pasien yang baik

dengan system scoring tertentu, kadar HB minimal 10 , keadaan fisik alat

vital dan kadar elektrolit juga harus baik.

2. Pengobatan dengan Sitostatika

Pengobatan dengan sitostatika pada karsinoma nasofaring merupakan

pengobatan adjuvan atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang

berhasil. Adapun kapan sebaiknya sitostatika diberikan adalah sebagai

berikut:

Stadium I / II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.

13

Pada residif tumor primer

Pada stadium IV dengan residif / residu atau dengan metastasis jauh.

Sitostatika yang diberikan pada penderita karsinoma nasofaring

adalah:

Cisplatinum 60 mg/m2 diberikan secara tetesan dalam 250 cc NaCl

0,9% hari I dan II

Bleomycin 8 mg diberikan secara intramuskular hari III dan IV

5 FU 750 mg diberikan secara tetesan dalam 250 cc dextrose 5% hari

I dan II.

Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi

ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan

agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk

mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,

antiemetik dan lain-lain.

c. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting

dalam penggobatan Karsinoma Nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama

KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat

disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan

faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3

yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring

yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan

tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor

sangat sulit dikerjakan.7

Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat seperti

berikut diantaranya :

1. Keadaan umum baik

Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum

tulang. Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan

14

karena setelah radiasi hanya akan memeperlemah keadaan umum

pasien. Adanya infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu

2. Laboratorium

Meliputi kadar Hb, leukosit maupun thrombosit.

3. Tumor masih terlokalisasi

Dosis yang diberikan 200 rad/ hari sampai mencapai 6000-6600 rad

untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi

6000 rad. Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi

elektif sebesar 4000 rad. Radiasi juga diberikan pada keadaan

kambuh atau pada metastase tulang. Untuk metastase tulang yang

belum menimbulkan keadaan fraktur patologik.

G. Pencegahan

Adapun cara-cara pencegahan terhadap kemungkian timbulnya karsinoma

nasofaring.

- Pemberian vaksin pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah tertentu

(masih dalam percobaan)

- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi.

- Penyuluhan mengenai kebiasaan hidup yang tidak sehat.

- Mengubah cara dalam memasak makanan.

- Mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya

- Penerangan mengenai lingkungan hidup yang aman dari bahan-bahan

berbahaya

- Meningkatkan keadaan sosial ekonomi

- Melakukan tes serologik IgA-VCA secara masal.

H. Prognosis

Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara

signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate

pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang

lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki

15

survival rate lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada

pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik

daripada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).

Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan

dengan menurunnnya survival rate.

Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival

rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel

squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan

Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.

I. Radioterapi

Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan

radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :

Radiasi Externa / teleterapi

Brachiterapi

Kombinasi radiasi dengan kemoterapi

KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke

kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang

pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya

merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.

I. Radiasi kuratif

Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita

dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer

bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi

kuratif meliputi:

Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta

kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar

supra-klavicula dengan dosis 50 Gy.

Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada

tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.

Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh

karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan

16

brakhiterapi. Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis

tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.

II. Radiasi paliatif

Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk

radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif.

Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung

lokasi metastase.

III. Teknik Radiasi

Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik

dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi

seminimal mungkin, hal ini meliputi:

a) Persiapan Pra Radioterapi

(1) Perbaikan Keadaan Umum

Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan

mempertimbangkan waktu perluasan tumor.

(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut

Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga

mulut.

b) Pesawat / Jenis Radiasi

Digunakan pesawat :

Tele Cobalt

Linier Akselerator Foton 4 mV/ 6 mV, ini dipilih karena tidak

terlalu besar.

Digunakan pesawat terapi tele bertenaga tinggi ( Cobalt 60; linier

akselerator 4 Mev) untuk mengurangi efek samping pada kulit serta

jaringan lain.

c) Alat bantu

Alat bantu terdiri dari :

Sebuah penopang tengkuk, agar kepala dapat ekstensi

Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau

Thermoplast

17

Blok Timah hitam.

d) Simulasi

Simulasi Dilakukan dengan :

Alat Simulator

Alat Rontgen Konvensional untuk membuat foto lokalisasi dengan

jarak fokus kulit sama dengan FSD (Focus Source Distance) alat

radiasi, dimana pada Cobalt: 80 cm dan linec: 100 cm.

e) Jumlah lapangan radiasi minimal 2 (dua) lapangan

Untuk stadium I ,II lapangan radiasi Plan Paralel Lateral dan

Supraklavikula

Untuk Stadium III lapangan radiasi isosenter : Anterior dan Plan

Paralel Lateral Supraklavikula

Untuk Stadium IV Lapangan Radiasi tergantung

o Bila KGB leher sangat besar, lapangan radiasi depan –

belakang (D-B)

o Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong tumor di

leher radiasi bisa Anterior dan Plan Paralel Lateral

Supraklavikula.

f) Batas-batas lapangan Penyinaran

batas atas meliputi seluruh dasar tengkorak termasuk sella tursika

batas anterior di depan choanae, mencapai setengah bagian posterior

dari palatum durum, atau menyesuaikan perluasan tumor ke depan

batas posterior di sebelah belakang meatus akustikus eksternus,

seluruh rantai sepanjang m. Sternocleidomastoideus atau sesuai

dengan lesi metastase ( diberi marker logam )

batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi

tepi atas kartilago tiroidea

Radiasi juga diberikan pada kelenjar getah bening supraklavikuler

dan leher bawah. Arah sinar diberikan dari arah anterior dengan batas

lapangan ini 0,5 cm di bawah lapangan laterolateral

18

Blokade diberikan untuk mengamankan medula spinalis setelah dosis

40 Gy.

Apabila terdapat pembesaran kelenjar limfe dari mastoid sampai ke

supraklavicula maka diberikan radiasi dari depan ke belakang, batas

atas lapangan radiasi harus mencakup seluruh dasar tengkorak, batas

bawah pada tepi bawah klavicula (kiri dan kanan adalah 2/3 distal

klavicula). Bagian medial leher (trakea, esofagus dan medula

spinalis) harus dihindarkan dari radiasi dengan memasang blok timah

pada daerah tersebut selebar 1 cm dan tinggi minimal 6 cm.

Pengecilan lapangan radiasi dilakukan apabila tumor jauh mengecil,

dosis radiasi mencapai 40 Gy. Batas posterior menjadi di sebelah

depan meatus akustikus eksterna sehingga medula spinalis terletak di

luar lapangan radiasi. Batas bawah menjadi setinggi angulus

mandibula. Batas anterior tidak mengalami perubahan

Apabila terdapat infiltrat tumor ke dalam sinus-sinus paranasal dan

atau kavum nasi, maka lapangan radiasi sesuai dengan lapangan

radiasi untuk tumor primer ditambah dengan lapangan anterior, yang

pada pelaksanaannya menggunakan dua buah penyaringan pada

lapangan lateral kiri-kanan guna mendapatkan dosis yang homogen

pada seluruh tumor. Dosisnya adalah 2 Gy. Bola mata harus ikut serta

mendapat radiasi apabila terbukti didapatkan infiltrasi pada ruang

intraorbita, saraf optikus atau tulang-tulang sekitar mata.8

Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring serta tidak

ditemukan pembesaran kelenjar leher T2/T2 No batas batas lapangan

diubah maka batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak ( sela

tursika di luar lapangan radiasi)

19

Gambar: Lapangan Radiasi 10

IV. Dosis Radiasi

Sasaran radiasi : tumor primer bersama kelenjar getah bening leher.

Dosis radiasi:

Untuk lapangan latero-lateral, setelah 40 Gy, dilakukan pengecilan lapangan,

dimana batas posterior digeser kedepan untuk menghindari medula spinalis, batas

atas diturunkan untuk menghindari hipofise, dan radiasi dilanjutkan sampai 60 Gy,

kemudian ditambah booster dengan lapangan terbatas pada tumor primer saja

antara 7 sampai 10 Gy. Booster dapat juga dilakukan dengan brakiterapi dengan

menggunakan aplikatro Rotterdam. Untuk lapangan supraklavikuler, dosis hanya

sampai 45 Gy.

Brakhiterapi pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis

tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Diberikan pada kasus-kasus

T1-T2 yang setelah dosis eksterna 54-60 Gy, istirahat 2 minggu, kemudian baru

dilakukan brakhiterapi. Dilakukan dengan cara ”after loading”. Pada penderita

cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan berbaring dan melalui kavum

nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari rongga mulut apakah ujung aplikator

benar-benar sudah melekat pada dinding faring. Aplikator kemudian difiksasi

diantara sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar

rongga hidung juga difiksasi. Diberikan dosis untuk kasus primer yang telah

memperoleh radiasi eksterna sebanyak 60 Gy maka dosis brakiterapi tambahan

adalah 3 Gy per fraksi, 2 fraksi perhari dengan interval 6 jam selama 2 hari. Untuk

20

meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat

sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.

IV. Pemantauan Radiasi

1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi

- pemeriksaan klinis sekurang-kurangnya setelah 5 kali radiasi atau setiap

kali pasien mengalami keluhan baru yang timbul setelah radiasi.

- catat keluhan pasien, bila perlu diberi terapi medikamentosa

- periksa Hb, Leukosit, Trombosit setiap setelah 5 kali radiasi. Syarat

dilakukan radiasi : Hb > dari 10 gr %, Leukosit > dari 3000, Trombosit >

dari 80.000

2. Pemantauan setelah selesai radiasi

- Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan minimal 3 bulan, kemudian

setiap 3 bulan selama 2 tahun dan setiap 6 bulan selama 5 tahun.

- Nilai keadaan umum, tanda-tanda metastasis ke hati, tulang atau paru-

paru

- Nilai tumor primer dan kelenjar-kelenjar, ada tidaknya residu tumor /

kelenjar dilakukan paling sedikit 8 minggu setelah radiasi selesai. Harus

dibedakan antara jaringan tumor dan fibrosis pasca radiasi.

21

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Penderita :

Nama : Tn. NF

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 46 tahun

Alamat : Terlangu

Pekerjaan :

NO CM : C439969

Anamnesis (Autoanamnesis & Aloanamnesis tanggal 12 Juni 2014, jam 10.30)

Keluhan Utama : Melanjutkan pengobatan

Riwayat Penyakit Sekarang :

+ 12 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sering nyeri kepala, nyeri

dirasakan makin lama makin berat hingga mengganggu aktivitas, penderita

mengeluh pendengaran telinga kiri makin lama makin menurun dan dirasakan

gembrebeg, pendengaran telinga kanan dalam batas normal, hidung buntu (+), suara

sengau (+), Pasien berobat ke dokter umum, diberikan obat namun belum ada

perbaikan.

22

+ 11 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh nyeri kepala semakin

berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan gembrebeg, hidung kirinya

buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin memberat, penglihatan

kabur (-/+), melihat dobel (+), mimisan (-) Pasien memutuskan berhenti bekerja

sementara dan berobat di RSUD Kartini Jepara. Dari RSUD Kartini kemudian

dirujuk ke RS Mardi Rahayu Kudus.

+ 10 bulan sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh hidung makin buntu,

mimisan Darah keluar dari hidung sebelah kiri. Penglihatan kabur (-/+). Terdapat

benjolan di leher sebelah kiri sebesar biji rambutan. Warna bejolan pada leher tidak

kemerahan dan tidak nyeri. Telinga dirasakan Gemrebeg (+), suara sengau (+),

nyeri kepala (+) makin berat, pandangan kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas

pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan

teropong hidung dan dikatakan ada benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat

ini penderita telah menjalani penyinaran sebanyak 10 x dan kemoterapi sebanyak 8x

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat alergi obat (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat darah tinggi (-)

Riwayat kencing manis (-)

Riwayat amandel (-)

Riwayat bersin pagi hari (-)

Riwayat merokok (-)

Riwayat memasak menggunakan kayu bakar (-)

Riwayat menyemprotkan pestisida (-)

Riwayat menggunakan obat nyamuk bakar (+)

Sering makan mie instan (+)

Sering makan ikan asin (-)

Sering makan makanan yang dibakar (+)

Riwayat Penyakit Keluarga :

23

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, atau menderita tumor ganas lainnya.

Riwayat Sosial Ekonomi :

Penderita bekerja sebagai petani. Pasien menikah dan mempunyai dua orang anak

yang sudah mandiri. Saat ini pasien sudah tidak bekerja lagi karena penyakitnya.

Biaya pengobatan ditanggung BPJS.

Kesan sosial ekonomi kurang.

Pemeriksaan Fisik (tanggal 12 Juni 2014)

Status Generalis

Keadaan umum : baik

Kesadaran : komposmentis

Tanda Vital :

Tensi : 120 / 70 mmHg

N : 70x/menit, isi & tegangan cukup

RR : 24x/menit

t : 36,2oC

Kepala : mesosefal

Mata : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Dada :

Paru :

I : simetris, statis, dinamis

Pa : stem fremitus kanan dan kiri simetris

Pe : sonor seluruh lapangan paru

Au : suara dasar : vesikuler

suara tambahan : ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung :

I : iktus kordis tidak tampak

Pa : iktus kordis teraba di sela iga V 2 cm medial linea

24

medioclavicula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar

Pe : Batas kiri : SIC V 2 cm medial LMCS

Batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra

Batas kanan : SIC IV linea parasternalis dextra

Kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal

Aus : BJI-II normal, bising (-), thrill (-), gallop (-)

Abdomen :

I : datar, venektasi (-)

Aus : bising usus (+) N

Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)

Liver span 8 cm, area Traube timpani

Pa : supel

hepar dan lien : tidak teraba

Ekstremitas : Superior Inferior

Capillary refill <2” <2”

Akral dingin -/- -/-

Oedema -/- -/-

Status Lokalis

Telinga Kanan Kiri

Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan(-)

Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Pre-auricula Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)

Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Fistel (-) Fistel (-)

Abses (-) Abses (-)

Pembesaran nnll (-) Pembesaran nnll (-)

Retro-auricula Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Fistel (-) Fistel (-)

Abses (-) Abses (-)

25

Pembesaran nnll (-) Pembesaran nnll (-)

Auricula bentuk&ukuran normal bentuk&ukuran normal

Nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)

Kanalis eksternus hiperemis (-) hiperemis (-)

Discharge (-) (-)

Membran tympani utuh utuh

Tes bisik terganggu baik

Garputala

Rienne AC < BC AC < BC

Weber tidak terdapat lateralisasi

Swabach memendek memendek

Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan luar :

Hidung : simetris, deformitas (-)

Sinus : nyeri tekan (-) pada pipi, pangkal hidung dan dahi,

nyeri ketok(-) pada pipi, pangkal hidung dan dahi

Pemeriksaan dalam :

Rongga hidung kanan: hiperemis (-), lendir(-), bercak darah (-)

Concha media hiperemis (-), deviasi septum (+) ke kanan

Rongga hidung kiri : Tidak terlihat massa tumor, concha hiperemis (-), deviasi

septum (+) ke kanan

Tenggorok

Orofaring

Palatum : tidak tampak massa, hiperemis (+)

Arkus faring : hiperemis (-)

26

Mukosa : stomatitis aphthousa (-)

Tonsil

- Ukuran : T1 / T1

- Warna : hiperemis (-) / (-)

- Permukaan : rata

- Kripte : melebar (-)

- Detritus : (-)

- Membran : pseudomembran (-)

Peritonsil : ulcus (-), abcess (-)

Kepala dan Leher

Kepala : mesosefal

Wajah : simetris

Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-

Leher : Pembesaran nnll. (+) region 3 sinistra, ukuran + 4 cm x 4 cm x 4

cm, nyeri tekan (-), perabaan hangat (-), warna sama dengan sekitar

Gigi dan mulut

Gigi-geligi : tidak terlihat karies

Lidah : deviasi (-), hiperemis (+), atrofi papil (-), ulcus (+)

Palatum mole : tak tampak massa, hiperemis (-), ulkus (-)

Pipi : nyeri tekan / ketok (-)/(-)

Nervi kraniales Kanan Kiri

N.I (Olfaktorius)

Subyektif + +

Dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.II (Optikus)

Tajam penglihatan >2/60 >2/60

Lapang penglihatan: Dalam batas normal Dalam batas normal

Melihat warna Dalam batas normal Dalam batas normal

Fundus okuli Dalam batas normal Dalam batas normal

27

N.III (Okulomotorius)

Sela mata 1,5 cm 1,5 cm

Pergerakan bulbus Bebas Bebas

Strabismus (-) (-)

Nistagmus (-) (-)

Eksoptalmus (-) (-)

Pupil : Besarnya 3mm 3mm

Bentuknya Bulat, isokor Bulat, isokor

Refleks cahaya (+) (+)

Refleks konsensual (+) (+)

Refleks konvergensi (+) (+)

Melihat kembar (-) (-)

N. IV (Throklearis)

Pergerakan mata Dalam batas normal Dalam batas normal

(ke bawah- ke dalam)

Sikap bulbus Sentral Sentral

Melihat kembar (-) (-)

N. V (Trigeminus)

Membuka mulut (+) (+)

Mengunyah (+) (+)

Menggigit (+) (+)

Refleks kornea (+) (+)

Sensibilitas muka Dalam batas normal Dalam batas normal

N. VI( Abduscen)

Pergerakan mata (ke

lateral)

(+) (+)

Sikap bulbus Sentral Sentral

Melihat kembar (-) (-)

N.VII ( Fasialis)

Memperlihatkan gigi (+) (+)

Bersiul (+) (+)

Menutup mata (+) (+)

28

Mengerutkan dahi (+) (+)

Perasaan lidah 2/3 bagian

depan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.VIII (Oktavus)

Suara berbisik Dalam batas normal Dalam batas normal

Gesek jari Dalam batas normal Dalam batas normal

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX (Glosofaringeus)

Perasaan lidah

(1/3 bgn belakang

Sensibilitas faring)

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. X (Vagus)

Arkus faring Simetris

Berbicara (+)

Menelan (+)

Nadi Isi/tegangan cukup

N. XI (Aksesorius)

Mengangkat bahu (+)

Memalingkan kepala (+) (+)

N. XII (Hipoglosus)

Gerakan lidah Dalam batas normal Dalam batas normal

Deviasi (-) (-)

Tremor lidah (-)

Artikulasi Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (8 April 2014)

Hematologi Nilai Satuan Nilai Normal High/Low

29

Hb 10,10 gr% 13,00-16,00 L

Ht 29,4 % 40,0-54,0 L

Eritrosit 4,7 juta/mmk 4,50-6,50

MCH 34,2 pg 27,00-32,00

MCV 91,5 fl 76,00-96,00

MCHC 34,3 g/dl 29,00-36,00

Lekosit 10,1 ribu/mmk 4,00-11,00

Trombosit 229 ribu/mmk 150,00-400,00

RDW 12,3 % 11,60-14,80

MPV 6,02 fl 4,00-11,00

2. Pemeriksaan Radiologi

a) X-foto thorax PA (18 September 2013)

Deskripsi:

30

- Cor: CTR < 50%

Bentuk dan letak normal

Elongatio aorta

- Pulmo : corakan vaskuler tampak normal,

tak tampak bercak pada kedua lapangan paru,

tak tampak nodul pada kedua lapangan paru.

- Hemidiafragma kanan setinggi costa 10-11 posterior

- Sinus costofrenicus kanan dan kiri lancip.

- Tak tampak lesi litik, sklerotik maupun destruksi pada os costae, scapula dan

clavicula kanan kiri yang tervisualisasi

Kesan:

- Cor tak membesar

- Elongatio aorta

- Tak tampak gambaran metastasis maupun kelainan lain pada pulmo dan tulang

yang tervisualisasi

b .) Pemeriksaan CT Scan Nasofaring dengan Kontras ( 2 September 2013)

Tampak soft tissue / penebalan irreguler pada mukosa nasofaring kiri dan

meluas ke regio parafaring, retrofaring dan posterior kavum nasi kiri. Lesi

31

tersebut ke superior meluas ke sinus spenoid-ethmoid, sebagian chiasma

opticum, dan ke inferior ke sinus maksilaris kiri

Pada post kontras tampak enhancment

Tak tampak lesi / metastase intrakranial

Tak tampak kelainan pada regio orbita

Tampak destruksi dinding medioposterior sinus maksilaris kiri air cell

mastoid posterior – inferior , dinding sinus spenoid, sebagian sela tursika

Tampak pembesaran KGB regional colli kiri multipel diameter < 3cm

Kesan:

Gambaran masa di nasofaring kiri meluas ke parafaring, retrofaring, posterior

kavum nasi kiri sinus ethmoid-sphenoid & sinus maksilaris kiri disertai

destruksi dinding medioposterior sinus maksilaris kiri, air cell mastoid, dinding

sinus sphenoid sebagian sela tursika dan pembesaran KGB regional colli kiri

multipel <3 cm, mendukung gambaran Ca Nasofaring (T3N1Mx)

c.) Pemeriksaan MSCT scan nasofaring dengan kontras (21 Mei 2014)

32

Klinis : KNF evaluasi pro ER

- Masih tampak lesi isodens (CT Number 30-50 HU) pada nasofaring

kiri yang meluas ke lateral pada pharyngeal mucosal space kiri, ke

posterior pada retropharing space yang tampak berkurang dibanding

sebelumnya

- Tampak pula massa meluas ke superior pada sinus ethmoidalis dan

sphenoid kanan kiri, fossa cerebri media kanan kiri disertai destruksi

sella tusica dan os sphenoid kiri. Pasca injeksi kontras tampak

enhancement inhomogen.

- Tampak torus tubarius kanan baik, kiri tumpul

- Fossa Rosenmulleri kanan baik, kiri obliterasi

- Tampak deviasi septum nasi ke kanan

- Tampak multiple limfadenopati colli kiri level 2 submandibula kanan

kiri ( + 2,6 cm x 1,89 cm x 2,6 cm)

Kesan :

- Masih tampak massa nasofaring kiri yang meluas ke lateral pada

pharyngeal mucosal space kiri, ke posterior pada retropharing space

yang tampak berkurang dibanding sebelumnya

- Infiltrasi massa ke fossa cerebri media kiri disertai destruksi sella

tusica dan os sphenoid kiri

33

- Multiple limfadenopati colli kiri level 2 submandibula kanan kiri

Staging : T4N2Mx

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi (5 September 2013)

Diagnosis klinis : Massa Nasofaring

Makroskopis : Jaringan 1 cc, warna putih, agak rapuh

Mikroskopis : Keping-keping jaringan nasofaring menunjukkan kelompok-

kelompok sel ganas epitelial dengan inti kromatik, nukleoli

prominent, pleiomofik dan mitosis dapa ditemukan, infiltrasi

ke dalam stroma

Kesimpulan : Sesuai dengan non-keratinizing squamous cell carcinoma

(WHO II)

BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berumur 46 tahun datang dengan keluhan utama ingin melanjutkan

pengobatan kemoterapi dan radioterapi. + 12 bulan sebelum masuk rumah sakit

pasien mengeluh sering nyeri kepala, nyeri dirasakan makin lama makin berat

hingga mengganggu aktivitas, penderita mengeluh pendengaran telinga kiri makin

lama makin menurun dan dirasakan gembrebeg, pendengaran telinga kanan dalam

batas normal, hidung buntu (+), suara sengau (+), Pasien berobat ke dokter umum,

diberikan obat namun belum ada perbaikan. + 11 bulan SMRS penderita mengeluh

nyeri kepala semakin berat, telinga kiri pendengarannya makin menurun dan

gembrebeg, hidung kirinya buntu dan sering pilek, terus-menerus makin lama makin

memberat, penglihatan kabur (-/+), melihat dobel (+), mimisan. Pasien memutuskan

berhenti bekerja sementara dan berobat di RSUD Kartini Jepara. Dari RSUD Kartini

34

kemudian dirujuk ke RS Mardi Rahayu Kudus. + 10 bulan SMRS penderita

mengeluh hidung makin buntu, mimisan Darah keluar dari hidung sebelah kiri.

Penglihatan kabur (-/+). Terdapat benjolan di leher sebelah kiri sebesar biji

rambutan. Warna bejolan pada leher tidak kemerahan dan tidak nyeri. Telinga

dirasakan Gemrebeg (+), suara sengau (+), nyeri kepala (+) makin berat, pandangan

kabur (+). Karena keterbatasan fasilitas pengobatan, penderita dirujuk ke RSDK

Semarang. Pasien menjalani pemeriksaan teropong hidung dan dikatakan ada

benjolan, dilakukan biopsi dikatakan ganas. Saat ini penderita telah menjalani

penyinaran sebanyak 10 x dan kemoterapi sebanyak 8 x

Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan massa di dalam rongga hidung,

namun dari nasofaringoskopi ditemukan massa berbenjol- benjol, rapuh dan mudah

berdarah pada nasofaring kanan dan kiri. Torus tubarius tidak tampak pada

nasofaringoskopi karena tertutup massa. Pada pemeriksaan rongga mulut terlihat

mukosa orofaring dan lidah hiperemis. Ditemukan pula pembesaran limfonodi leher

regio 3 kiri. Pemeriksaan fungsi pendengaran dengan garputala 512 Hz menunjukan

Weber tidak terdapat lateralisasi, Rinne kanan dan kiri AC<BC, Schawabach kanan

dan kiri memendek. Hal ini menunjukan bahwa terjadi CHL (Conductive Hearing

Loss) pada telinga kanan dan kiri pasien.

Pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia normositik normokromik.

Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan gambaran metastase.

Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan undifferentiated Ca Nasofaring (WHO 3)

Pemeriksaan CT-Scan nasofaring dengan kontras tanggal 21 Mei 2014

didapatkan Masih tampak lesi isodens (CT Number 30-50 HU) pada nasofaring kiri

yang meluas ke lateral pada pharyngeal mucosal space kiri, ke posterior pada

retropharing space yang tampak berkurang dibanding sebelumnya.

Pasca injeksi kontras tampak enhanchment inhomogen. Tampak limfonodi

pada level 5 regio colli kanan, level 2 regio colli kanan, dan level 3 regio colli kiri

(ukuran terbesar + 0,7 cm pada level 5 regio colli kanan). Tampak lesi isodens pada

fossa posterior. Pasca injeksi kontras tampak enhanchment homogeny. Tampak pula

massa meluas ke superior pada sinus ethmoidalis dan sphenoid kanan kiri, fossa

cerebri media kanan kiri disertai destruksi sella tusica dan os sphenoid kiri. Pasca

35

injeksi kontras tampak enhancement inhomogen. Tampak torus tubarius kanan baik,

kiri tumpul. Fossa Rosenmulleri kanan baik, kiri obliterasi. Tampak deviasi septum

nasi ke kanan. Tampak multiple limfadenopati colli kiri level 2 submandibula kanan

kiri ( + 2,6 cm x 1,89 cm x 2,6 cm).

Berdasarkan data tersebut diagnosa pasien saat ini adalah Karsinoma

Nasofaring T4N2Mx.

Penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis

total 6600 cGy, fraksinasi 5x200 cGy /minggu, sebanyak 33 kali. Lapangan radiasi

latero-lateral, supraklavikula AP, blok trakea, tanpa blok sella. Jika telah mencapai

dosis 4000 cGy, lapangan radiasi dipersempit (blok medula spinalis). Jika dosis telah

mencapai 5000 cGy stop supraklavikula.

Saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 9x, sitostatika sebanyak 4x.

CT scan ulang dilakukan setelah dosis radiasi mencapai 5400 cGy. Jika hasil CT

scan membaik, akan dilanjutkan dengan brachiterapi 4x400 cGy. Namun hasil CT

scan ulang pada pasien ini menunjukkan respon yang kurang baik, sehingga akan

dilakukan booster hingga dosis radiasi mencapai 7000 cGy dan brachyterapi ditunda.

BAB V

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker kepala leher yang

bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding kanker

kepala leher yang lain. Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel

mukosa nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di

Indonesia. Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak

faktor yang mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari

gejala klinik, pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang.

36

Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma

nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan

kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya

mendapatkan terapi radioterapi saja.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramsi lutan, dkk. Tinjauan Tumor Ganas di poliklinik THT RS Dr. Pirngadi

Medan Tahun 1970-1979. Kumpulan naskah ilmiah kongres nsional VII Perhati,

surabaya 21-23 agustus 1983 hal 771-81

2. Damayanti Sutjipto, karsinoma nasofaring dalam : Nurbaiti Iskandar (ed) Tumor

Telinga Hidung tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan . Jakarta : FK UI,

1989. H 71-84

3. Farid Wajdi, Ramsi Lutan. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.

Referat.Medan : FK USU, 1998.h 1-20

4. Shanmugaratman K. Nasofaring Carcinoma: Epidemiology and Aetiology.

Dalam: Kumpulan Naskah Seminar Kanker Nasofaring. Semarang: YKI Wilayah

Jawa Tengah; 1993

5. Syafril A. Epidemiologi Tumor Ganas Telinga Hidung Tenggorok. Dalam:

Tumor Telinga Hidung Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Editor:

Iskandar N, Munir M, Soetjipto D. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1989: 3-4

6. Nell III BH, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In : Byron J, Bayle JB.Head and

Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Company 1993; 96 :

1257-1273

7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas

Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga Universitas Sumatera

Utara Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi

Radioterapi Kanker Nasofaring. Medan; 2002

8. A. Roezin. Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring. Dalam : R.Susworo,

Ahmad, AN Kurniawan, Siti BK, dkk. Pencegahan dan Diagnosa dini penyakit

Kanker. Yayasan Kanker Indonesia.1996 : 274-88

9. Bambang SS. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga Hidung dan

Tenggorok dan Kepala – leher . Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

diponegoro. 1992

10. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.

Dalam: Makalah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher. Jakarta: FKUI. 2003

11. Susworo R. Radioterapi, Dasar Dasar Radioterapi Tata Laksana Radioterapi

Penyakit Kanker. Jakarta: UI Press; 2007.

38