BAB IIIlabpm2.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2013/05/bab-2a.doc · Web viewGAMBARAN UMUM KONDISI...

137
BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH 2.1. KONDISI DAN ANALISA KONDISI DEMOGRAFI 1. Kondisi Demografi Penduduk tidak saja berperan sebagai obyek pembangunan, tetapi juga menjadi subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, penduduk akan berfungsi sebagai sasaran yang akan dijadikan target pembangunan, sedangkan sebagai subyek pembangunan, sumber daya penduduk akan berfungsi sebagai pemikir, perencana, dan pelaksana berbagai program pembangunan yang hasilnya diharapkan mampu meningkatkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. A. Jumlah Penduduk, LPP, dan Rasio Ketergantungan Anak Menyadari akan keberadaan penduduk, disalah satu sisi penduduk bisa menjadi potensi manakala SDM dari penduduk tersebut memiliki kualitas tetapi sebaliknya penduduk bisa menjadi masalah tersendiri manakala kurang memiliki kualitas. Adapun karakteristik SDM yang berkualitas adalah diantaranya sehat, memiliki kecerdasan Intelegensi (IQ), memiliki etika, moralitas dan emosi yang baik (EQ), berakhlak mulia (SQ) serta kemampuan aktivitas sosial (Sc Q). Subang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang tidak terlalu padat, dimana hasil Sensus 1971, jumlah penduduk Kabupaten Subang adalah 0,90 juta, meningkat menjadi 1,07 juta pada sensus tahun 1980. Pada sensus berikutnya (tahun 1990) telah mencapai 1,21 juta sedangkan jumlah penduduk dalam kurun waktu 1993 – 2007 adalah berkisar antara Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-1

Transcript of BAB IIIlabpm2.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2013/05/bab-2a.doc · Web viewGAMBARAN UMUM KONDISI...

BAB IIGAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

2.1.KONDISI DAN ANALISA KONDISI DEMOGRAFI

1. Kondisi Demografi

Penduduk tidak saja berperan sebagai obyek pembangunan, tetapi juga menjadi subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, penduduk akan berfungsi sebagai sasaran yang akan dijadikan target pembangunan, sedangkan sebagai subyek pembangunan, sumber daya penduduk akan berfungsi sebagai pemikir, perencana, dan pelaksana berbagai program pembangunan yang hasilnya diharapkan mampu meningkatkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan.A. Jumlah Penduduk, LPP, dan Rasio Ketergantungan Anak

Menyadari akan keberadaan penduduk, disalah satu sisi penduduk bisa menjadi potensi manakala SDM dari penduduk tersebut memiliki kualitas tetapi sebaliknya penduduk bisa menjadi masalah tersendiri manakala kurang memiliki kualitas. Adapun karakteristik SDM yang berkualitas adalah diantaranya sehat, memiliki kecerdasan Intelegensi (IQ), memiliki etika, moralitas dan emosi yang baik (EQ), berakhlak mulia (SQ) serta kemampuan aktivitas sosial (Sc Q).

Subang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang tidak terlalu padat, dimana hasil Sensus 1971, jumlah penduduk Kabupaten Subang adalah 0,90 juta, meningkat menjadi 1,07 juta pada sensus tahun 1980. Pada sensus berikutnya (tahun 1990) telah mencapai 1,21 juta sedangkan jumlah penduduk dalam kurun waktu 1993 – 2007 adalah berkisar antara 1,23 Juta – 1,42 Juta jiwa. Walaupun demikian, LPP-nya pertahun mengalami penurunan masing-masing periode1971-1980 sebesar 1,72 persen, periode 1980-1990 sebesar 1,25 persen, dan 1990-2000 sebesar 1,01 persen, sedangkan periode 2000 – 2007 adalah sebesar 1.12 persen. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang demikian dapat diindikasikan bahwa Kabupaten Subang terbukti mampu melaksanakan program-program kependudukan terutama

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-1

pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang secara faktual selama 3

(tiga) dasawarsa terakhir menunjukan trend pertumbuhan yang semakin menurun.

Salah satu fokus perhatian para ahli kependudukan yang dilakukan terhadap suatu populasi penduduk, adalah struktur umur penduduk. Hal ini berkaitan dengan pola populasi penduduk, apakah termasuk dalam pola penduduk muda ataukah pola penduduk tua.

Aspek lain yang diamati dari struktur umur adalah rasio beban ketergantungan, yaitu suatu ukuran untuk mengamati seberapa banyak penduduk yang termasuk usia non-produktif menjadi beban usia produktif. Dalam kaitan ini, yang dimaksudkan dengan usia produktif adalah penduduk yang berusia pada kelompok [15-64] tahun; sedangkan yang dimaksudkan dengan usia non produktif adalah penduduk dalam kelompok usia [0-14] tahun dan [65+] tahun.

Tabel 1. Penduduk Kabupaten Subang Menurut Kelompok Umur,Tahun 1994 - 2007

TahunKelompok Umur

JumlahRasio

Ketergantungan Anak

(%)[0-14] [15-64] 65+

(1) (2) (3) (4) (5) (6)1994 382 046 801 585 48 256 1 231 887 47,661995 356 168 815 844 65 679 1 237 691 43,661996 357 642 821 789 61 218 1 240 649 43,521997 344 301 850 658 51 200 1 246 159 40,471998 337 563 842 744 74 306 1 254 613 40,061999 322 870 884 606 67 444 1 274 920 36,502000 344 802 889 907 80 690 1 315 399 38,752001 341 613 903 335 83 573 1 328 521 37,822002 344.920 926 462 80 972 1 352 354 37,232003 351.383 948.882 70.740 1.371.005 37,032004 346.835 945.245 92.230 1.384.310 36,692005 374.025 930.852 87.120 1.391.997 40.182006 329.547 974.875 97.712 1.402.134 33.802007 348.690 960.004 113.334 1.422.028 36.32

Sumber : BPS Kab.Subang

Besaran rasio beban ketergantungan anak merupakan hasil bagi antara penduduk usia [0-14] dengan penduduk usia produktif, hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar peningkatan jumlah anak

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-2

yang berusia [0-14) yang pada akhirnya menjadi beban bagi penduduk usia produktif. Angka rasio beban ketergantungan anak secara konsepsual digunakan pula sebagai alat ukur monitoring keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di suatu wilayah, semakin kecil angka ini maka dapat ditafsirkan program KB semakin berhasil dan sebaliknya.

Pada tabel di atas, rasio beban ketergantungan anak memiliki kecenderungan menurun, dimana pada tahun 1994 memiliki rasio tertinggi hingga mencapai 47,66 % artinya setiap seratus orang penduduk usia produktif akan menanggung beban untuk menghidupi 47,66 orang yang dikategorikan anak usia [0-14] dan pada tahun 2006 besaran angka mencapai angka terendah sebesar 33,80 % dan pada tahun 2007 mulai menaik kembali menjadi 36,32 %.

B. Penduduk MiskinKemiskinan disamping menunjukkan tingkat

pendapatan/kesejahteraan, juga menggambarkan kesenjangan yang terjadi antar kelas kesejahteraan penduduk. Berdasarkan batasan yang digunakan, kemiskinan berarti ketidakmampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan non makanan yang sangat mendasar. Dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan ketertinggalan penduduk untuk menikmati hasil pembangunan yang selama ini telah dicapai.

Dalam hal lebih lanjut permasalahan kemiskinan dikaitkan dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, seperti kesehatan, pendidikan, serta peranan sosial lainnya. Atau dengan kata lain kemiskinan akan menyebabkan permasalahan lainnya seperti :

Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan);

Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);

Tidak adanya jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk pendidikan keluarga;

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia;

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-3

Dari paparan serial data BKKBN Tahun 1995-2007 terlihat persentase penduduk miskin cenderung meningkat dari tahun sebelum krisis moneter yang mencapai puncak tahun 2007 mencapai 29,7 %, sedangkan sebelum krisis moneter periode (1995-1997) memperlihatkan kondisi kemiskinan terendah mencapai 14,6 %. Hal itu apabila di kaji lebih mendalam bahwa peningkatan kemiskinan tersebut salah satunya dikarenakan krisis moneter yang menyebabkan rendahnya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian secara berkesinambungan.

Grafik 1. Penduduk Miskin berdasarkan Data BKKBN Tahun 1995 - 2007.

52675

334720

52814

353316

52675

360218

75208

365495

99130

378648

101,041

384948

105,994

391853

112,011

403030

117,553

411832

116,718

419630

122,496

424335

128,145

432765

131,271

441676

0

50000

100000

150000

200000

250000

300000

350000

400000

450000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

JUMLAH PRA KSJUMLAH KK

Sumber : BPS dan Disduk KB Kab. Subang

Untuk mengatasi kemiskinan ini banyak peneliti yang menunjuk pendidikan sebagai investasi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Baik Adelman dan Morris (1973) maupun Galbraith (1979) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan langkah paling strategis di dalam usaha-usaha mengatasi kemiskinan.

Namun demikian, Schiller (1973) mengingatkan bahwa peningka-tan keterampilan melalui jenjang pendidikan tidak selalu mampu mengatasi masalah kemiskinan. Dalam hal ini perlu diperhatikan kemampuan perekonomian negara untuk menyerap tenaga kerja tersebut. Di satu pihak, peningkatan keterampilan baru merupakan salah satu faktor penawaran, sementara di lain pihak, tidak pula dapat diabaikan faktor permintaan terhadap tenaga kerja itu sendiri. Dengan perkataan lain, pada gilirannya, pendidikan itu berkaitan dengan pendapatan yang memiliki arti penting di dalam kesejahteraan. Schiller (1973) mengemukakan tiga alasan utama mengenai jenjang pendidikan

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-4

15.7%14.9%

14.6%

20.5%

26.1% 26.2% 27.0% 27.7%

28.5%27.8% 28.8%

29.6%29.7%

sangat mempengaruhi tingkat pendapatan. Pertama, tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat produktivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai akibat dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan. Kedua, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan terbuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan, dalam hal-hal tertentu, dapat berfungsi selaku badan penyalur tenaga kerja. Tersirat dari hal ini bahwa mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapat perlakuan istimewa dalam pasar kerja. Namun tidak dapat dilupakan bahwa untuk memperoleh pendidikan tersebut diperlukan investasi yang tidak kecil. Namun demikian, Esmara (1986: 378) mengatakan bahwa kenaikan jenjang pendidikan ini tidak hanya berpengaruh kepada tingkat pendapatan melainkan mencakup cakrawala yang jauh lebih luas daripada yang diduga semula. Kenaikan jenjang pendidikan akan mengubah pula tata cara kehidupan, kebiasaan, lapangan kerja, atau dalam hal kebudayaan, sehingga secara keseluruhannya mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kehidupan suatu bangsa.

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. KLASIFIKASI KELUARGA MISKIN BERDASARKAN PEKERJAAN

YANG DILAKUKAN2. KLASIFIKASI KELUARGA MISKIN BERDASARKAN PENDIDIKAN

TERAKHIR 3. KLASIFIKASI KELUARGA MISKIN BERDASARKAN WILAYAH KEC.

C. Perkawinan (Nuptialitas)Perkawinan merupakan media untuk mencapai kesejahteraan hidup

manusia dengan membentuk suatu keluarga (suami, istri dan anak). Keluarga adalah merupakan esensi suatu Bangsa, maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung kepada tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga. Secara sosiologis media perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam mencapai kesejahteraan diri. Di lain pihak secara biologis merupakan media untuk mencapai kesejahteraan batin.

Suatu faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk usia [0-4] adalah proses perkawinan, di mana faktor umur perkawinan pertama sangat mempengaruhi produktivitas bayi yang lahir di wilayah ini. Prosesi perkawinan [Nuptialitas] merupakan salah satu fenomena sosial

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-5

dalam kehidupan manusia. Secara sosiologis, media perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam mencari kesejahteraan diri. Di pihak lain secara biologis, media ini merupakan alat kesejahteraan manusia dalam membentuk suatu keluarga besar yang merupakan perbesaran dari keluarga batih [nucleus family].

Pada tabel di bawah ini, disajikan penduduk perempuan usia sepuluh tahun ke atas di Kabupaten Subang yang pernah kawin menurut kelompok umur perkawinan pertama. Jumlah persentase Wanita yang menikah di bawah usia 16 tahun pada tahun 2000 mencapai angka tertinggi hingga mencapai 47,03 % dan selanjutnya menurun hingga mencapai 26,32 % di tahun 2004, namun di tahun 2005 kembali meningkat hingga mencapai 33,50 %.

Kondisi lingkungan budaya yang semakin membaik tersebut harus tetap di tingkatkan mengingat ada kecenderungan menaik kembali di tahun mendatang, sehingga perlu upaya serius dalam menangani permasalahan ini, mengingat kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap Rasio Ketergantungan anak, pertumbuhan penduduk dan permasalahan sosial lainnya.Tabel 2. Persentase Penduduk Perempuan Kabupaten Subang Yang

Pernah Kawin Menurut kelompok Umur, Tahun 1994 -2005.

Tahun Kelompok Umur Perkawinan Pertama JumlahPersentase Jumlah< 16 [17 - 18] [19 - 24] 25+

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)1994 43,15 29,85 25,95 1,05 100,00 393 0821995 44,84 30,71 23,40 0,95 100,00 401 768

1996 46,62 28,90 23,49 0,99 100,00 397 022

1997 41,55 30,42 26,97 1,06 100,00 405 447

1998 41,37 29,53 27,74 1,36 100,00 412 269

1999 40,44 33,86 24,67 1,04 100,00 419 726

2000 47,03 31,11 19,84 2,03 100,00 426 026

2001 39,04 34,26 25,81 0,89 100,00 433 807

2002 46,49 31,40 20,44 1,67 100,00 446.556

2003 40,81 36,48 21,63 1,08 100,00 452.338

2004 26,32 37,33 35,16 1,19 100,00 458.925

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-6

2005 33,50 30,51 31,41 4,58 100,00 446.790

Sumber : BPS Kab.Subang

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : TAHUN TERBARU YAKNI 2006 DAN 2007

D. Ketenagakerjaan

Sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor penting bagi pembangunan khususnya dalam upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Ketenagakerjaan merupakan aspek yang amat mendasar dalam kehidupan manusia, karena berkait erat dengan sosial ekonomi.

Disisi lain, pertumbuhan penduduk selalu terkait dengan masalah ketenagakerjaan dan lapangan kerja. Dengan pertambahan penduduk usia kerja akan meningkatkan angkatan kerja, tetapi apabila yang terjadi pertambahan penduduk bukan usia kerja akan meningkatkan beban tanggungan angkatan kerja.

Meningkatnya angkatan kerja sebaiknya di imbangi dengan kesempatan kerja. Hanya saja kesempatan kerja formal yang tersedia sangat terbatas, sehingga peranan sektor informal memberikan peluang yang baik dalam menciptakan lapangan kerja yang mandiri.

Sektor informal yang bercirikan pekerja dengan pendidikan rendah, jam kerja tak teratur dan pendapatan yang rendah memerlukan pemecahan diantaranya melalui program-program yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktifitas sehingga mempu meningkatkan kemampuan dalam berusaha. 1). Penduduk Usia Kerja

Pada dasarnya aktivitas penduduk berumur 10 tahun ke atas, dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu penduduk yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja dan penduduk bukan angkatan kerja.

Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja adalah pertama, penduduk yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, termasuk pekerja yang tidak mendapat bayaran dan Kedua, penduduk yang sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini juga disebut sebagai kelompok penduduk yang aktif secara ekonomi (the economically active population).

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-7

Tabel 3. Penduduk Usia 10 Tahun keatas menurut Kegiatan Utama Seminggu yang lalu di Kabupaten Subang Tahun 1994-2007

Uraian 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Angkatan Kerja 551.439(54,82)

561.439(56,82)

620.549(61,03)

604.292(58,51)

603.119(58,00)

623.522(58,34)

593.284(53,87)

Bekerja 532.894(52,97)

532.894(53,97)

594.810(58,5)

557.008(53.93)

567.176(54,55)

584.292(54,67)

561.131(50,95)

Mencari Pekerjaan 18.545(1,85)

18.945(1,95)

25.739(2,53)

47.284(4,58)

35.943(3,45)

39.230(3,67)

32.153(2,92)

Bukan Angkatan Kerja

454.536(45,18)

454.536(43,18)

396.238(38,97)

428.466(41,49)

436.661(42,00)

445.188(41,66)

508.012(46,13)

Sekolah 125.379(12,46)

127.379(13,46)

163.116(16,04)

151.065(14,63)

142.321(13,69)

148.492(13,90)

161.262(14,64)

Mengurus Rmt. 216.779(21.55)

206.879(19.55)

156.144(15.36)

190.868(18.48)

202.930(19.52)

219.450(20.53)

255.887(23,24)

Lainnya 112.378(11,17)

92.378(9,17)

76.978(7,57)

89.533(8,38)

91.410(8,79)

77.246(7,23)

90.863(8,25)

1.005.975(100,00)

1.009.875(100,00)

1.016.787

(100,00)1.032.75

8(100,00)

1.039.780

(100,00)

1.068.710

(100,00)1.101.29

6(100,00)

Tabel 3. L a n j u t a n

Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007(1) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)

Angkatan Kerja

602.264(54,44)

650.410(57,4)

665.904(57,99)

619.785(53,49)

664.017(57,68)

526.130(43,70)

494.484(40,78)

Bekerja 569.527(51,48)

581.097(51,28)

607.747(52,93)

553.925(52,93)

577.959(50,20)

458.118(38,05)

457.326 (37,71)

Mencari Pekerjaan

32.737(2,96)

69.313(6,12)

58.130(5,06)

65.860(5,68)

86.058(7,48)

68.012(5,64)

37.158(3,06)

Bukan Angkatan

Kerja503.967(45,56)

482.804(42,60)

482.365(42,01)

538.925(46,51)

487.203(42,32)

677.721(56,30)

718.220 (59,22)

Sekolah 152.903(13,82)

159.789(14,10)

156.633(13,64)

166.205(14,34)

171.099(14,86)

142.208(11,81)

157.138(12,96)

Mengurus Rmt.

244.681(22,12)

210.762(18.60)

237.939(20.72)

211.285(18.24)

243.846(21.18)

366.703(30.46)

376.957(31.08)

Lainnya 106.383(9,62)

112.253(9,9)

87.793(7,65)

161.435(13,93)

72.258(6,28)

168.810(14,02)

184.125(15,18)

1.106.231(100,00)

1.133.214(100,00)

1.148.269(100,00)

1.158.710(100,00)

1.151.220(100,00)

1.203.851(100,00)

1.212.704(100,00)

Sumber : BPS. Kab.Subang

Dari Tabel 3 terlihat bahwa sebelum krisis moneter yakni Tahun 1996 jumlah penduduk bekerja menunjukan angka yang paling tinggi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir yakni sebanyak 594.810 orang (58.5%),

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-8

dan setelah itu kemudian mengalami penurunan sejak krisis melanda tahun 1998-2007. Selanjutnya yang patut mendapat kajian lebih mendalam adalah penurunan jumlah anak sekolah dimana tahun 1996 sebesar 16 % penduduk berada di bangku sekolah dan tahun 1997 – 2007 menurun dalam kisaran 11-14% an. Demikian juga untuk jumlah pencari kerja yang mengalami peningkatan sebelum krisis moneter 1,85 % - 2,5 % dan setelah krisis berada dikisaran 3-7%. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah bahwa adanya fenomena penurunan penduduk usia kerja yng tidak sedang bersekolah, sementara penyerapan tenaga kerja relatif rendah, sehingga ada kecenderungan mereka menjadi tidak produktif dan dari aspek pendidikan akan kontradiktif terhadap upaya peningkatan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Subang.

Ada tiga unsur yang sering terkait dengan masalah kesempatan kerja, yaitu pertama, golongan umur penduduk yang akan menuntut kesempatan kerja pada saat sekarang dan waktu yang akan datang; kedua, laju peningkatan golongan umur tertentu dalam pertambahan angkatan kerja di masa yang akan datang; ketiga, pengaruh perkembangan ekonomi yang mampu menyerap angkatan kerja lebih banyak.

Oleh karena itu, untuk memberikan kontribusi yang besar pada angkatan kerja, maka upaya yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan akan lebih menguntungkan dibanding upaya lainnya.

2). Penduduk Yang BekerjaSalah satu yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan

adalah seberapa banyak angkatan kerja yang bisa diserap. Yang sering menjadi sorotan masalah angkatan kerja adalah produktivitas. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, karena seyogyanya peningkatan ekonomi di berbagai sektor selalu diikuti oleh penciptaan lapangan kerja.Dilihat dari penyerapan tenaga kerja ternyata sektor pertanian dalam kurun waktu (1994-2007) paling banyak menyerap angkatan kerja yaitu berkisar antara 43,20 - 58,8 persen, tetapi mengalami kecenderungan fluktuatif menurun hingga pada tahun 2007 hanya mencapai 43,23 %. Tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restauran mengalami

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-9

kecenderungan meningkat sampai krisis ekonomi melanda hingga mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 sebesar 22,77 %, dan selanjutnya cenderung menurun hingga pada tahun 2005 sebesar 19,77 %, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 - 2007 mencapai 28,06 % dan 26,09 % serta sisanya tersebar di berbagai sektor seperti jasa, kontruksi dan lain-lain.

Namun demikian walaupun Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun tetapi masih tidak sebanding dengan hasilnya dilihat dari tingkat kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 32.48 % dengan tingkat kepemilikan lahan yang hanya 0.3 ha. Sehingga dari kondisi tersebut, tenaga kerja di sektor pertanian cenderung tidak produktif.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Bekerja berdasarkan Mata Pencaharian Utama Tahun 1994-2007

Mata Pencaharian SEBELUM KRISIS  KRISIS1994 1995 1996 1997 1998

1. Sektor Pertanian 58.31 58.31 58.80 58.06 49.892. Sektor Pertambangan dan Penggalian 0.13 0.13 0.09 0.42 0.283.Industri Pengolahan 8.04 8.04 5.28 5.69 7.804.Listrik, Gas dan air bersih 0.10 0.10 - 0.09 0.145. Bangunan dan Konstruksi 5.84 5.84 6.13 6.31 3.616. Perdagangan, Hotel dan Restauran 13.39 13.39 17.06 15.59 22.777. Pengangkutan dan Komunikasi 6.25 6.25 4.84 6.01 7.888. Keuangan, Persewaan dan Jasa 0.12 0.12 0.49 0.50 0.249. Jasa-jasa 7.92 7.92 7.31 7.33 7.39 

Lanjutan

Mata Pencaharian PASCA KRISIS1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1.Pertanian 55.90 56.42 57.42 51.30 57.82 52.36 54.37 43.20 43.232.Pertambangan dan Penggalian 0.57 0.15 0.15 0.38 0.17 0.17 0.07 0.72 0.713.Industri Pengolahan 4.43 6.73 6.73 7.84 5.23 5.11 4.22 8.13 8.174.Listrik, Gas dan air bersih 0.11 0.08 0.08 - 0.18 0.18 0.09 0.13 0.145.Bangunan dan Konstruksi 3.68 4.16 4.16 4.87 3.89 3.65 4.58 3.38 3.356.Perdagangan, Hotel dan Restauran 21.28 18.83 18.83 19.26 19.16 22.71 19.77 28.06 26.097.Pengangkutan dan Komunikasi 5.45 4.76 4.76 8.04 6.92 9.12 10.96 4.15 4.078.Keuangan, Persewaan dan Jasa

0.44 0.76 0.76 0.61 0.51 0.65 0.35 0.19 0.18

9.Jasa-jasa 8.14 7.11 7.11 7.70 6.10 6.05 5.59 14.05 14.06 Sumber Data : BPS Kab.Subang

Tabel 5. Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas yang bekerja menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 1997 - 2007

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-10

Status Pekerjaan

UtamaBerusaha Sendiri

Berusaha dengan dibantu

buruh tidak tetap

Berusaha dengan dibantu

buruh tetapBuruh /

KaryawanPekerja

Keluarga

1997 14.08 30.82 0.37 39.65 15.081998 20.07 33.57 0.7 31.23 14.431999 19.41 27.91 0.94 38.46 13.282000 20.12 24.87 0.65 42.25 12.112001 16.49 26.18 0.83 44.70 11.802002 24.54 30.42 2.82 30.11 12,112003 24.45 26.69 2.37 35.50 10.992004 31.40 23.60 4.06 32.41 8,532005 22.96 22.44 1.68 43.96 8,962006 28.75 3,91 12,99 27.05 27.312007 29.50 3.90 12.95 26.29 27,36 Sumber : BPS Kab.Subang

Dan bila dikaji lebih jauh tenaga kerja penduduk Subang dilihat dari status pekerjaan tahun 1997-2007 umumnya masih didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan sebagai buruh dan karyawan yakni berkisar antara 26,29 – 44,70 persen, buruh dengan dibantu buruh tidak tetap berkisar sebesar 3,9-33,57 persen dan berusaha sendiri berkisar antara 14-31 persen. Sedangkan berusaha dengan dibantu pekerja tetap berkisar antara 0,7 – 12,99 persen dan sebagai pekerja keluarga berkisar antara 8-27 persen. Dari gambaran tabel di atas, ternyata masih banyak pekerja yang berstatus pekerja keluarga, namun hal yang menggembirakan adalah meningkatnya status pekerja yang berusaha sendiri dan pekerja yang berusaha dengan dibantu buruh tetap.

Artinya bahwa sektor informal menjadi kekuatan dalam perekonomian disamping mulai tumbuhnya investasi di Kabupaten Subang.

3). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Secara teoritis, sebetulnya paparan data serial pada grafik di bawah ini juga sekaligus memperlihatkan secara faktual fenomena ketidakmampuan aktivitas perekonomian Kabupaten Subang dalam menyerap pasar kerja. Angka Partisipasi Kerja dalam kurun waktu 1995-2007 memperlihatkan bahwa TPAK mencapai angka tertinggi pada saat sebelum krisis moneter Tahun 1996 sebesar 61,03 % dan selanjutnya memiliki kecenderungan fluktuatif menurun dengan angka terendah

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-11

pada tahun 2006 yang mencapai 40.70 %, dan naik kembali di tahun 2007 menjadi 49,12%. penurunan tersebut selain disebabkan berkurangnya kesempatan kerja juga disebabkan tingginya perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga yang mencapai 365.843 orang atau sekitar 60.16 % dari jumlah perempuan di atas 10 tahun. Adapun dari Angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) memperlihatkan pola yang sedikit berbeda, di mana puncak pengangguran dalam kurun waktu 1995 – 2007 terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 12,96 % termasuk mereka yang sedang mencari pekerjaan secara aktif. Hal ini disebabkan selain kesempatan kerja yang relatif rendah juga disebabkan bahwa komposisi penduduk di usia 15 - 64 pada tahun 2005 mencapai 66.87%. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pada saat kesempatan kerja rendah sementara permintaan terhadap pasar kerja meningkat, maka cenderung pengangguran akan meningkat.

Grafik 2. Perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan

Pengangguran Tahun 1995-2007

54.82

3.36

61.03

4.15

58.51

7.82

58

5.96

58.34

6.29

53.87

5.42

56.08

5.44

57.4

4.33

57.99

8.73

53.49

10.63

57.68

12.96

43.70

12.93

49.12

7.51

0

10

20

30

40

50

60

70

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

% ANGKATAN KERJA (TPAK)

% PENGANGGURAN (TPT)

Sumber : BPS Kab.Subang Dari data serial yang dipaparkan maka interpretasi yang muncul adalah masalah pengangguran merupakan suatu masalah serius bagi Kabupaten Subang, dimana kalau diperbandingkan antara kondisi sebelum krisis dan pasca krisis, nampak bahwa kisaran pengangguran sebelum krisis moneter mencapai 3.3.- 4.1 % sedangkan pengangguran pada pasca krisis berada pada kisaran antara 5.36 % - 12.96 % dan pada tahun 2007 ini kembali menurun menjadi 7.51 %. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian semua stakeholder, mengingat dampak paling buruk yang akan terjadi adalah dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Di mana effek berantai dari kondisi tersebut adalah munculnya ketidak-mampuan rumahtangga (masyarakat) untuk

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-12

menyekolahkan anak-anaknya. Yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kemiskinan.

Selanjutnya pengamatan dari aspek gender untuk derajat partisipasi penduduk usia kerja dan angka pengangguran terbuka di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Grafik 3. di mana bahwa sebelum krisis moneter TPAK baik laki – laki maupun perempuan memperlihatkan angka yang paling tinggi di tahun 1996 yakni 79.21 % dan 42.31%, dan kondisi yang terendah di tahun 2007 yakni 67.75 % dan 13,96 %. Sedangkan untuk tingkat pengangguran memperlihatkan pola yang berbeda bagi perempuan sedangkan untuk laki-laki cenderung sama dimana pengangguran terendah terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 3.21 % dan pengangguran tertinggi terjadi pada tahun 2007 mencapai 7.78 %. Rendahnya TPAK Wanita di banding Laki-laki disebabkan oleh tingkat pendidikan wanita lebih rendah di banding laki-laki serta masih adanya perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap wanita dimana wanita bukanlah “pencari nafkah keluarga “, padahal diskriminsasi tersebut tidak sepenuhnya benar selama wanita yang bekerja tidak melanggar norma-norma agama.

Grafik 3. Perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Menurut Jenis Kelamin, 1995-2007

76.54

39.23

79.21

42.31

78.52

41.13

77.14

40.23

77.42

39.70

73.49

34.77

72.87

26.38

74.94

36.52

73.77

32.56

74.50

33.44

74.85

32.56

71.34

21.13

67.75

13.96

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

TPAK (L)

TPAK (P)

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-13

Grafik 4. Perbandingan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin, 1995-2007

4.03

6.92

3.21

6.115.45

7.34

5.15

6.54

5.36

8.06

5.435.405.98

8.17

3.54

6.87

4.98

6.81

4.46

7.28

5.76

7.156.45

7.237.78

6.21

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

TPT (L)

TPT (P)

Sumber : BPS Kab.Subang

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : DATA PENGANGGURAN BERDASARKAN WILAYAH KECAMATAN

2. Analisa Kondisi DemografiDari kondisi di atas, maka analisa yang dapat disajikan adalah sebagai berikut :Analisa Kekuatan :1) Peran KB sangat efektif dalam mengatur kelahiran yang

berdampak pada pengaturan komposisi umur penduduk dan lebih jauh lagi berperan dalam mewujudkan keluarga yang berkualitas

2) Rendahnya LPP Kabupaten Subang dibandingkan dengan Kabupaten lain di Jawa Barat

Analisa kelemahan :1) Tingkat perkawinan di bawah umur selama kurun waktu 12 tahun

terakhir relatif tinggi berkisar antara 26-46 %, hal ini bila di biarkan akan menimbulkan LPP cenderung tinggi, munculnya KK Miskin baru atau meningkatnya kasus kematian bayi

2) Kemiskinan yang tinggi harus mendapat perhatian serius terutama kemiskinan struktural yang disebabkan oleh potensi yang sangat rendah baik SDM, modal maupun sulitnya akses terhadap lapangan kerja secara permanen.

3) Tidak produktifnya tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian sebagai akibat dari sektor pertanian masih tradisional belum mengarah pada peningkatan nilai tambah produksi

4) Rendahnya keterampilan tenaga kerja Penduduk Kabupaten Subang

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-14

5) Perilaku diskriminatif orang tua/dunia usaha terhadap gender.Analisa Peluang :1) Komitmen yang tinggi baik di tingkat Pemerintah Pusat, Propinsi

maupun stakehoder lainnya terhadap pengentasan permasalahan pengangguran dan kemiskinan.

2) Komitmen yang tinggi baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Propinsi dalam menekan ledakan jumlah penduduk

Analisa Ancaman :1) Jumlah tenaga yang besar dan tidak produktif tidak sebanding

dengan kesempatan kerja yang dibutuhkan.2) Tingkat kompetitif tenaga kerja Subang relatif belum mampu

mengisi kebutuhan tenaga kerja sesuai keinginan investor.

2.2.KONDISI DAN ANALISA KONDISI SOSIAL BUDAYA

1. Kondisi Sosial BudayaA. Pendidikan

Salah satu komponen krusial dalam kompilasi IPM. ialah indeks pendidikan, di mana indeks ini terdiri atas dua komponen krusial, yaitu rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf untuk penduduk yang berusia 15 tahun ke atas.1). Tingkat Melek Huruf dan Rata-rata Lama sekolah

Kemampuan membaca dan menulis merupakan kemampuan minimum yang harus dimiliki penduduk, karena banyak informasi yang membutuhkan kemampuan tersebut, bahkan untuk supaya berkembang dalam berbagai aspek kehidupan kemampuan membaca dan menulis ini menjadi dasar bagi setiap penduduk.

Pengertian melek huruf adalah banyaknya/persentase penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis huruf latin. Kenyataannya masih banyak penduduk usia 15 tahun ke atas atau lebih yang tidak mampu membaca dan menulis. Hal ini dapat disebabkan karena memang sejak lahir sampai sekarang penduduk tersebut belum atau tidak pernah sekolah, atau pernah sekolah tetapi putus sekolah sebelum mampu membaca dan menulis. Kedua kondisi diatas besar kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua secara ekonomi untuk menyekolahkan anaknya, ataupun karena kurangnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya pendidikan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-15

Sedangkan Rata-rata lama sekolah adalah lama pendidikan penduduk Subang yang berusia 15 tahun ke atas. Angka tersebut memberikan gambaran tentang seberapa lama penduduk Kabupaten Subang dalam mengenyam pendidikan. Sehingga semakin lama penduduk memperoleh pendidikan, maka semakin tinggi pula kualitas SDM penduduk tersebut dan lebih jauh lagi penduduk tersebut akan lebih memiliki peluang untuk memperoleh hidup yang lebih layak.

Tabel .6 Angka Melek Huruf dan Rata-rata lama sekolah Kabupaten Subang Tahun 1999-2007

Tahun AMH(%)

RRLS(Tahun)

1999 86,20 5,402000 85,00 5,842001 86,80 5,992002 87,53 6,142003 87,78 6,512004 87,85 6,722005 88,34 6,752006 90,03 6,772007 91.17 6,93

Sumber : BPS Kab.Subang

Tingkat melek huruf di Kabupaten Subang seperti terlihat pada tabel 6 adalah pada tahun 1999 tercatat 86,2 %, tahun 2000 tercatat 85 %, tahun 2001 tercatat 86,80%, tahun 2002 tercatat 87,53 %, Tahun 2003 tercatat 87,78 %, Tahun 2004 tercatat 87.85 %, Tahun 2005 tercatat 88.34%, Tahun 2006 tercatat 90,03% dan Tahun 2007 tercatat 91,17 %. Dari kenaikan tersebut nampaknya bahwa peningkatannya belum signifikan dari kurun waktu 7 tahun terakhir kenaikannya tidak lebih dari 0.7 % kecuali di tahun 2006 dan 2007 yang meningkat tajam hingga mencapai 90,03% dan 91.17%.

Adapun untuk Rata-rata lama sekolah pada tahun 1999 tercatat 5,4 tahun, tahun 2000 tercatat 5,84 tahun, tahun 2001 tercatat 5,99 tahun, tahun 2002 tercatat 6,14 tahun tahun 2003 tercatat 6,51 tahun, tahun 2004 tercatat 6,72 tahun, tahun 2005 tercatat 6,75 tahun, di tahun 2006 tercatat 6,77 tahun dan di tahun 2007 tercatat 6,93 tahun. Ini berarti bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Subang mengalami kecenderungan naik tetapi belum signifikan dan masih jauh

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-16

dari harapan untuk mencapai tahap Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (dalam pengertian RRLS masih di bawah 9 tahun).

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. ANGKA BUTA HURUF BERDASARKAN UMUR DAN LOKASI

KECAMATAN 2. RRLS BERDASARAKAN LOKASI KECAMATAN

2). Tingkat Partisipasi SekolahSegmentasi penduduk yang harus mendapatkan kesempatan

sekolah secara demografis ditentukan pada selang usia (7-18) tahun, di mana secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia (7-12) tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD.), usia (13-15) tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP.) dan umur (16-18) tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Pada dua kelompok umur yang pertama, yaitu usia (7-12) tahun dan (13-15) tahun merupakan umur yang krusial dikaitkan dengan adanya program yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) – 9 tahun. Dengan demikian, sudah selayaknya-lah apabila pengamatan yang lebih serius diarahkan pada kelompok usia ini. Angka Partisipasi Murni (APM) memberikan informasi yang lebih baik, di mana indikasi jumlah penduduk umur tertentu yang bersekolah pada tingkatan yang sesuai dengan kelompok umurnya. Terlihat besaran APM pada tingkat sekolah dasar cenderung naik, dimana kenaikan yang sangat tajam terjadi pada periode tahun 2002-2007 yang berada dikisaran 94,09 % - 98,19 %, demikian juga untuk APM di tingkat SLTP dan SLTA cenderung menaik walaupun lebih landai dari kenaikan APM di tingkat SD sebagaimana Grafik 5.

Grafik. 5 Angka Partisipasi Murni (APM)SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS

Tahun 1993-2007

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-17

80.09

53.15

15.26

81.24

53.48

15.39

82.56

54.23

16.08

82.75

54.29

16.46

83.18

55.23

16.65

83.56

55.36

17.08

84.92

55.80

17.30

83.50

58.90

19.50

87.84

59.70

20.00

94.09

61.00

21.80

94.56

63.30

27.50

95.05

63.54

28.10

95

64.2

31

98.15

77.40

29.50

98.19

78.64

37.17

-10.0020.0030.0040.0050.00

60.0070.0080.0090.00

100.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

APM SD/MI/PLS

APM SLTP/MTS/PLS

APM SLTA/MA/PLS

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

Grafik 6. Angka Partisipasi Kasar (APK)SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS

Tahun 1993-2007

95.26

56.35

18.12

96.12

58.06

18.26

97.65

60.16

18.78

99.12

63.04

19.03

100.05

65.24

19.17

100.78

67.15

19.56

102.26

69.92

20.16

103.25

68.80

19.94

104.70

73.15

22.90

105.10

77.03

29.50

107.60

77.11

29.86

108.94

78.05

30.35

109

79.4

33

111.53

95.00

37.07

98.11

78.64

37.17

-

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

APK SD/MI/PLS

APK SLTP/MTS/PLS

APK SLTA/MA/PLS

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

Suatu indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat kondisi partisipasi penduduk bersekolah pada Tingkat SD/MI /PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS dengan tidak mempertimbangkan usia siswa pada tingkatan tersebut ialah Angka Partisipasi Sekolah (APK). Pada grafik 6 dipaparkan besaran APK Kabupaten Subang pada kurun waktu 1993-2007.Suatu interpretasi atas paparan data serial tersebut, bahwa ada peningkatan atas partisipasi segmen usia (7 - 15) tahun dan hal yang sama bila diamati untuk besaran APK usia (16 - 18) tahun. Suatu catatan krusial yang dapat dikemukakan, meskipun deteksi dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf yang digunakan dalam kompilasi angka IPM adalah untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, akan tetapi tingginya besaran APK pada usia (7 - 18) tahun akan merupakan data investasi dalam meningkatkan angka rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-18

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. APK DAN APM BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN

3). Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk usia 10 tahun ke

atas dapat memberikan gambaran akan kondisi dan kualitas sumberdaya manusia secara spesifik. Dari Tabel 7 dapat tergambar bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Subang secara umum pada tahun 2000-2007 yang menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) cenderung fluktuatif berkisar 26,59-38,51 % dan pada tahun 2007 ini meningkat tajam menjadi 35,86 %. Fenomena tersebut harus mendapat perhatian serius, karena dalam waktu yang sama jumlah yang tamat SLTP dan SLTA menurun menjadi 15,02 % dan 9,53 % sedangkan yang tamat di atas SLTA kondisinya stagnan dan di tahun 2007 hanya mencapai 2,24 %. Hal ini juga dapat menjadi indikasi bahwa akibat kurangnya lapangan kerja di Kabupaten Subang, maka siswa yang telah menamatkan pendidikan dan siap memasuki dunia kerja lebih memilih untuk mencari pekerjaan di luar Kabupten Subang., sedangkan rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 7. Penduduk 10 Tahun keatas menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Subang

Tahun 2000-2007Tingkat Pendidik

an

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)Jumlah

(%)[1] [2] [3] [4] (5) (6) (7) (7) (8)

Tdk/Blm Pernah

Sekolah & Tidak/Belum Tamat

SD

444.782(40,38)

453.655(41,01)

488.365(43,09)

442.553(38,54)

409.680(35,36)

420.798(36,55)

542.614(45,07)

453.030(37,36)

SD 420.115(38,15)

426.056(38,51)

412.629.(36,41)

448.792.(39,08)

420.430.(36,82)

364.824.(31,69)

320.125.(26,59)

434.848.(35,86)

SLTP 133.364(12,11)

126.630(11,45)

132.075(11,65)

145.745(12,69)

220.675(19,04)

206.481(17,94)

193,692(16,09)

182,114(15,02)

SLTA 90.735(8,24)

86.117(7,79)

88.313(7,79)

90.406(7,87)

91.510(7,90)

131.511(11,42)

120.229(9,99)

115.577(9,53)

DIATAS SLTA

13.300(1,12)

13.773(1,24)

11.832(1,04)

20.753(2,81)

16.415(1,41)

27.606(2,39)

27.191(2,26)

27.135(2,24)

Jumlah 1.101.296(100,00)

1.106.231(100,00)

1.133.214(100,00)

1.148.269(100,00)

1.158.710(100,00)

1.151.220(100,00)

1.203.851(100,00)

1.212.704

(100,00) Sumber : BPS Kab.Subang

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN :

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-19

DATA LULUSAN D1 – D3 TIDAK TERSEDIA DI TAHUN 2006 DAN 2007

4). Jumlah DO SD, SLTP dan SLTASalah satu indikator yang berpengaruh terhadap rata-rata lama

sekolah adalah tingginya DO. Apabila kita perhatikan dari data di bawah ini penurunan DO SD terjadi secara signifikan terlebih pada tahun 2005 yang hanya sebanyak 154 orang dan di tahun 2007 kembali menurun menjadi 110 orang. Pada tingkat SLTP jumlah DO di tahun 2002-2004 mencapai angka tertinggi di atas 450 siswa dan menurun drastis pada tahun 2005 – 2007 di kisaran 77-81 siswa. Demikian pula pada tingkat SLTA, jumlah DO menurun drastis di tahun 2006 dan 2007 menjadi 69 dan 86 siswa.

Variabel yang mempengaruhi DO disamping alasan ekonomi, sebagian lainnya karena alasan non ekonomi, seperti : kawin muda, pekerja di bawah umur dan budaya kontraproduktif lainnya.

Grafik 7. Jumlah DO SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS Tahun 1993-2007

635

315

248

615

306

216

598

295

194

536

312

206

546

282

187

573

245

167

506

226

157

491

243

127

434

132171

434462

207

358

459

206

362

458

238

154

81125

223

8169

110

77 86

-

100

200

300

400

500

600

700

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah Anak DO DI SD

Jumlah Anak DO DI SLTP

Jumlah Anak DO DI SLTA

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. JUMLAH DO BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN2. KLASIFIKASI DO BERDASARKAN ALASAN DO

5). Jumlah Angka Melanjutkan Sekolah ke SLTP dan SLTASalah satu indikator lainya yang berpengaruh terhadap rata-rata lama

sekolah adalah angka melanjutkan sekolah. Dari data yang ada terlihat bahwa untuk AMS SD ke SLTP mengalami kenaikan signifikan pada periode Tahun 2001-2007 berada di kisaran 81.5 % - 98.5 % . Namun untuk AMS SLTP ke SLTA pada tahun 1993 – 2005 mengalami kenaikan

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-20

yang tidak signifikan berada dikisaran antara 52-57 % dan di tahun 2006 -2007 meningkat signifikan menjadi 68% dan 69%.

Grafik 8. AMS SD ke SMP dan SMP ke SMA Tahun 1993-2007

65.23

52.12

66.45

52.34

67.15

52.75

67.53

53.25

68.68

53.35

69.26

53.78

70.56

54.35

69.76

54.94

81.50

55.07

83.40

54.98

87.98

55.50

89

57.3

91.00

59.00

98.00

68.00

98.50

69.00

-10.0020.0030.0040.0050.00

60.0070.0080.0090.00

100.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

SD - SLTP

SLTP - SLTA

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. JUMLAH AMS BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN2. KLASIFIKASI AMS BERDASARKAN ALASANNYA

DATA /INFORMASI LAINNYA YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. CAKUPAN RASIO GURU : MURID (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING ) DISEMUA TINGKATAN2. CAKUPAN RASIO MURID : R KELAS (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING ) DISEMUA TINGKATAN3. CAKUPAN LAB : SEKOLAH (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING ) DISEMUA TINGKATAN

DLL.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-21

Permasalahan pendidikan di Kabupaten Subang secara umum sangat dipengaruhi oleh :

- Faktor ekonomi

Permasalahan ekonomi sangat berdampak terhadap dunia pendidikan, dimana layanan pendidikan akan relatif sulit dirasakan bagi keluarga miskin.

Kemampuan yang terbatas terhadap akses layanan pendidikan dasar, menjadikan tingkat pendidikan keluarga miskin cenderung rendah. Penyebab utama masalah ini adalah terbatasnya jangkauan fasilitas pendidikan, tingginya biaya pendidikan, serta tingkat pendapatan yang cukup rendah.

Terbatasnya akses pendidikan bagi keluarga miskin ditunjukkan oleh banyaknya kepala keluarga yang tidak mempunyai ijazah. Angka Putus Sekolah juga merupakan salah satu indikator mutu pendidikan yang terkait dengan kondisi kemiskinan masyarakat. Berdasarkan Hasil Penelitian BPS Tahun 2005 di daerah pantura, terlihat bahwa sebanyak 64,5 persen kepala keluarga tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar. Hal yang mungkin melatarbelakangi tingginya angka tersebut adalah budaya kawin muda yang masih sering terjadi di daerah tersebut.

TABEL 8.PERSENTASE KEPALA KELUARGA MISKIN

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-22

BERDASARKAN IJAZAH/STTB TERTINGGI YANG DIMILIKI

KEPEMILIKAN IJAZAH PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

TIDAK PUNYA 47.5 45.9 64.5SD/MI/SEDERAJAT 44.5 34.5 19.4SLTP/MTs/SEDERAJAT 7.1 19.2 16.1SLTA/MA/SEDERAJAT 0.8 0.3 0DIATAS SLTA - - -

JUMLAH 100.0 100.0 100.0Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Kondisi di atas berdampak kepada tingginya angka buta huruf di Kabupaten Subang. Disinyalir bahwa besarnya angka buta huruf merupakan produk masa lalu (karena banyak terjadi pada penduduk berusia tua) dan sebagian besar terjadi pada keluarga miskin. Pada tabel berikut terlihat bahwa persentase buta huruf pada keluarga miskin rata-rata sebesar 31 persen. Kondisi ini jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas SDM.

Dalam hal kemampuan untuk bersaing di dalam pasar lapangan kerja, keluarga miskin yang juga buta huruf akan lebih terpinggirkan dan hanya mampu bekerja pada jenis pekerjaan dengan upah yang sangat rendah.

TABEL 9.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS

STATUS PENDIDIKAN DAPAT MEMBACA & MENULIS

BUTA HURUF JUMLAH

[1] [2] [3] [4]PEGUNUNGAN 63.0 37.0 100PEDATARAN 73.9 26.1 100PANTAI 71.0 29.0 100

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Kondisi miskin juga seolah ditularkan kepada generasi berikutnya, sebab mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menyekolahkan anaknya. Meskipun persentase keluarga miskin yang mempunyai anak yang tidak sekolah cukup rendah (sekitar 5 persen), namun hal ini tidak boleh diabaikan karena akan berdampak terhadap angka partisipasi sekolah.

TABEL 10.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-23

BERDASARKAN KEBERADAAN ANAK USIA SEKOLAH (7-15 TAHUN) YANG TIDAK BERSEKOLAH

DAERAH ADA TIDAK ADA JUMLAH[1] [2] [3] [4]

PEGUNUNGAN 5.9 94.1 100PEDATARAN 2.7 97.3 100PANTAI 4.9 95.1 100

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

TABEL 11.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN ALASAN TIDAK MENYEKOLAHKAN ANAK

ALASAN PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

a. Tidak Ada Biaya 71.4 80.0 100.0b. Merasa Tidak Perlu 7.2 10.0 0.0c. Lainnya 21.4 10.0 0.0

JUMLAH 100.0 100.0 100.0Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

- Faktor BudayaFenomena yang perlu di cermati adalah masalah budaya yang kontradiktif dimana ada anggapan bahwa anak yang paling penting adalah membantu orang tua bekerja sebagai petani atau pekerjaan lainnya. Padahal dengan perilaku tersebut anak akan tertinggal dalam mempersiapkan masa depannya, apalagi bahwa pekerjaan pertanian tersebut hanya sekedar buruh tani yang jelas-jelas sudah kelebihan tenaga kerja tidak produktif (over employment).

B. Kesehatan Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, telah

dilakukan berbagai upaya kesehatan, yakni promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Upaya tersebut tercermin antara lain melalui kegiatan penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan, pembinaan kesehatan, pemberantasan penyakit menular dan lain-lain. Untuk melihat hasil upaya tersebut, dapat dilihat dari perkembangan derajat kesehatan berupa Angka Harapan Hidup dan indikator lainnya seperti Angka Kematian Bayi, status gizi masyarakat, dan kondisi kesehatan lingkungan.

Angka Harapan Hidup (AHH) adalah salah satu indikator kesehatan yang digunakan untuk menjelaskan tinggi rendahnya Umur Harapan Hidup waktu lahir dan lebih jauhnya indikator ini menggambarkan taraf hidup suatu negara, karena kaitannya yang sangat erat dengan Indeks

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-24

Mutu Hidup (IMH) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Umur Harapan Hidup waktu lahir menunjukan adanya peningkatan dimana tahun 2000 mencapai 66,20 tahun, tahun 2001 mencapai 66,43 tahun, tahun 2002 mencapai 67,21 tahun, tahun 2003 mencapai 67,54 tahun, tahun 2004 mencapai 67,81 tahun, tahun 2005 mencapai 67,87 tahun, tahun 2006 mencapai 68,39 tahun dan tahun 2007 mencapai 68,52 tahun. Adapun indikator kesehatan lainnya antara lain : 1). Angka Kematian Bayi (AKB)

Suatu hal lain yang menarik, kondisi suatu wilayah dapat dilihat dari aspek derajat kesehatan, di mana derajat kesehatan itu sendiri diukur dengan menggunakan angka kematian bayi (AKB.). Berdasarkan kriteria daerah yang direkomendasikan Stan D'Souza1 dari aspek AKB. atau derajat kesehatan, maka diinterpretasikan, pada tahun 1980 wilayah kabupaten Subang termasuk daerah soft-rock dan pada kurun waktu 1990-2007 berdasarkan kriteria Stan D'Souza, Kabupaten Subang masih berada dalam posisi daerah intermediate-rock.

Tabel 12. Angka Kematian Bayi (AKB), Rata-rata Umur Wanita Perkawinan Pertama Di Kabupaten Subang, 1980-2007

1 Menurut "B-Pichart classification"-Stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990), Angka kematian Bayi membagi daerah menjadi 3 (tiga) wilayah; yaitu:1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar

kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular.2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang

memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu

hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-25

Sumber: BPS. Kab.Subang.Catata n: *) = angka harapan hidup waktu lahir.

Derajat kesehatan masyarakat Subang pada posisi tahap ke dua (intermediate-rock) relatip cukup baik, akan tetapi perlu suatu aktualisasi kesadaran berbagai pihak dalam meningkatkan derajat kesehatan di wilayah ini.

Sebagai contoh, dikatakan oleh Singarimbun (1988: vii-viii) bahwa beberapa faktor memiliki kekuatan untuk menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, yaitu: a. kemajuan dalam bidang ekonomi dan meningkatnya taraf hidup; b. kemajuan dalam bidang pengetahuan kedokteran dan teknologi; c. perbaikan sanitasi dan higiena; dan d. peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi.

Satu sama lain faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan tidak mudah untuk melihat mana yang lebih penting.

Resiko kematian bayi yang tinggi dialami oleh bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kawin muda. Resiko kematian bayi ini pada ibu yang kawin pada umur di bawah 16 tahun 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang kawin pada umur 20 tahun ke atas (Adioetomo, 1984). Pada umumnya kawin muda mempunyai korelasi positif dengan umur muda mempunyai anak pertama dan ini berkaitan pula dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014

Tahun AKB Kriteria WilayahAngka

Harapan Hidup*)

1980 129,02 Soft-rock 48,501990 74,67 Intermediate-rock 59,001994 60,60 Intermediate-rock 62,871995 57,33 Intermediate-rock 62,461996 56,00 Intermediate-rock 62,831997 51,50 Intermediate-rock 64,301998 48,81 Intermediate-rock 64,321999 55,38 Intermediate-rock 65,002000 50,23 Intermediate-rock 66,202001 49,36 Intermediate-rock 66,432002 47,67 Intermediate-rock 67,212003 42,39 Intermediate-rock 67,542004 41,00 Intermediate-rock 67,812005 40,67 Intermediate-rock 67,872006 45,00 Intermediate-rock 68,392007 43.36 Intermediate-rock 68,52

II-26

Dari penelitian yang dilakukan oleh Caldwell dan McDonald (1981) ditemukan pula di Indonesia bahwa pendidikan, terutama pendidikan ibu, berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan hidup anak dan bayinya. Hal ini didukung pula oleh Utomo dan Hatmadji (1982) yang menyimpulkan dari survei fertilitas-mortalitas tahun 1973 bahwa di antara berbagai faktor yang diteliti: pendidikan ibu, umur perkawinan pertama, pekerjaan, indeks fasilitas rumah tangga dan lama kebiasaan menyusui, maka pendidikan berpengaruh paling signifikan dan terkuat. Kemudian dengan menggunakan data SUPAS 1976, diperoleh informasi yang berharga tentang perbedaan AKB dan AKA (Angka Kematian Anak) antara berbagai kelompok pendidikan ibu. AKB dan AKA dua kali lipat lebih tinggi pada ibu yang tidak pernah sekolah dibanding dengan ibu yang berpendidikan SLTP ke atas. Tampak pula bahwa dengan hanya berpendidikan SD sudah bisa menurunkan AKB dan AKA sekitar 10 persen. Selanjutnya ditunjukkan pula bahwa kematian menjadi semakin tinggi apabila ibu yang tidak pernah sekolah tadi tinggal di pedesaan.

Dikaitkan dengan pemberian ASI dihubungkan dengan penyakit diare, Feachem dan Koblinsky (1984) melakukan peninjauan terhadap 35 penelitian di 14 negara, ternyata 83 persen dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif lebih memberikan perlindungan dibanding dengan pemberian ASI hanya sebagian. Ditemukan pula bahwa 88 persen yang diberi ASI secara eksklusif lebih terlindung dibanding yang tidak diberi ASI; dan 76 persen yang diberi ASI sebagian menunjukkan lebih terlindung dibanding dengan yang tidak diberi ASI.

Dikatakannya pula bahwa pemberian ASI pada anak berumur di atas satu tahun ternyata tidak memberikan efek perlindungan terhadap morbiditas diare. Dengan demikian pemberian ASI sebaiknya dilakukan terhadap bayi, bukan terhadap anak. Tidak demikian halnya dengan kehamilan yang dikaitkan dengan pemberian ASI.

Bila seorang bayi meninggal, maka masa menyusui pun terputus. Memperpanjang masa menyusui dengan menunda datangnya ovulasi, maka pemberian ASI ini akan melindungi si ibu dari kehamilan. Bila bayinya meninggal dan masa menyusui berhenti, ia akan kehilangan perlindungan itu (Singarimbun dan Hull, 1977).Meskipun demikian, kemajuan teknologi, perkembangan industri susu formula, urbanisasi dan pengaruh kebudayaan Barat telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai sosio-budaya masyarakat. Seperti disampaikan oleh Tumbelaka (1981) bahwa memberi susu botol dianggap modern

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-27

dan menempatkan si ibu pada kedudukan sama dengan ibu-ibu golongan atas.

Fenomena yang ditampilkan tabel 12 menunjukkan hal yang menggembirakan, namun tetap harus menjadi perhatian mengingat kondisi Kematian Bayi di Kabupaten Subang masih dalam taraf intermediat rock yang memerlukan perubahan sosial dan perilaku di masyarakat.

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. JUMLAH AKB BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN

2). Status Gizi MasyarakatStatus gizi masyarakat akan digambarkan melalui status gizi balita

pada tujuh tahun terakhir yang disajikan dari data perkembangan status gizi dari tahun 2000-2007.

Pada tujuh tahun tersebut, status gizi masyarakat Kabupaten Subang dinilai baik, yakni lebih dari 85 % balita sebagai parameter untuk mengukur keadaan gizi masyarakat berstatus gizi baik. Namun demikian, yang patut menjadi perhatian adalah kondisi balita yang memiliki status gizi kurang dan gizi buruk, karena angka status gizi kurang dan buruk ini merupakan pra-kondisi yang berpengaruh kepada kelangsungan hidup balita baik ditinjau dari intelegensi maupun harapan hidupnya.

Tabel 13. Perkembangan Status Gizi Balitadari Tahun 2000- Tahun 2007

TAHUN STATUS GIZIGIZI BAIK GIZI

KURANG

GIZI BURUK

GIZI LEBIH

2000 85,80 9,7 0,72 1,982001 87,62 10,07 0,68 1,632002 87,91 9,92 0,71 1,252003 86,42 11,26 0.71 1.812004 88,4 9,57 0,67 1,362005 89,5 9,0 0,6 0,92006 87,28 8,43 0,64 1,152007 88,16 9,16 0,62 1,61

Sumber : Dinas Kesehatan Pada tabel di atas terlihat bahwa gizi kurang dan gizi buruk relatif

fluktuatif dan belum menunjukkan penurunan yang cukup stabil.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-28

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : ANGKA GIZI BURUK DAN KURANG BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN

3). Kondisi Kesehatan Lingkungan Kondisi Kesehatan Lingkungan dapat dilihat dari cakupan air bersih

dan jamban keluarga. dan Sarana Pembauang Air Limbah (SPAL). Kondisi Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan penyakit berbasis lingkungan.Dari tabel di bawah ini terlihat bahwa cakupan air bersih dan jamban keluarga dan SPAL semakin membaik.

Tabel 14. Perkembangan Cakupan Jamban Keluarga dan Sarana Air Bersih dari Tahun 2000 - Tahun 2007

No Jenis Sarana

Cakupan (%)

AIR BERSIH JAMBAN KELUARGA

SPAL

2000 70,4 34,1 15,982001 71,43 36,88 29,152002 72,09 41,56 37,092003 73,02 47,49 37,492004 74,06 50,36 43,152005 75,03 52,44 45,202006 76,33 56,97 48,482007 77,0 60,13 51,57

Sumber : Dinas Kesehatan

DATA /INFORMASI YANG PERLU DITAMBAHKAN : ANGKA INDIKATOR KESEHATAN LINGK. BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN

4). Kondisi Perilaku Budaya

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-29

Salah satu indikator kesehatan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku budaya yang dilihat dari indkator PHBS, dimana dari hasil Survey PHBS Tahun 2007 menunjukkan bahwa hanya 21,17 % keluarga yang dikategorikan dalam keluarga berperilaku sehat. Angka ini cukup memperihatinkan mengingat dari perilaku yang tidak sehat inilah cenderung menyebabkan munculnya masalah kesehatan masyarakat.

5) Kondisi Sarana Prasarana

Dalam rangka menunjang pelayanan, maka peran sarana dan tenaga kesehatan menjadi faktor yang menentukan. Dalam tabel di bawah ini tergambar kondisi sarana puskesmas yang relatif lebih dari kondisi sarana lainnya.

Tabel 15.Kondisi Sarana Puskesmas dan Jaringannya Tahun 2006-2007

No. Uraian 2006 2007Baik Sedang Rusak Jml Baik Sedang Rusak Jml

1. Puskesmas 30 4 5 39 34 3 2 392. Pustu 32 18 24 74 34 13 27 743. Polindes 9 42 63 114 23 30 63 1164. Poskesdes - - - - 5 - - 5

JUMLAH 71 64 92 227 96 46 92 234Sumber : Dinas Kesehatan

Selanjutnya di bawah ini disajikan cakupan dokter per Puskesmas yang fluktuatif terutama pada permulaan era otonomi Tahun 2001 dimana cakupan dokter per puskesmas berkurang karena beralih ke daerah lain, hal ini tentu saja merugikan bagi daerah mengingat kebutuhan tenaga kesehatan relatif tinggi.

Grafik 9. Cakupan Layanan Dokter, Bidan dan Paramedis per Puskemas dari Tahun 1993- 2006

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-30

2.323.90

2.49 2.41

5.59

3.21 2.69

7.31

3.64 2.97

7.05

4.873.51

7.10

5.133.72

7.11

5.15

2.87

7.035.19

3.08

8.03

5.224.23

7.15

5.25

1.95

11.40

5.27

2.28

12.50

5.28

1.69

15.67

6.21

1.54

17.72

6.72

2.05

18.10

7.56

-2.004.006.008.00

10.0012.0014.0016.0018.00

20.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

DOKTER/PKM

PARAMEDIS/PKM

BIDAN /PKM

Sumber : BPS dan Dinas Kesehatan Kab. Subang

ANGKA GIZI BURUK DAN KURANG BERDASARKAN LOKASI KECAMATAN

DATA /INFORMASI LAINNYA YANG PERLU DITAMBAHKAN : 1. CAKUPAN DOKTER : PKM (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING) 2. CAKUPAN DOKTER : (PENDUDUK KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING 3. CAKUPAN BIDAN: PASANGAN USIA SUBUR 4. CAKUPAN DOKTER : PASIEN (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING) 5. CAKUPAN RUANG PASIEN: PASIEN (KONDISI IDEAL DAN KONDISI EXISTING )

DLL.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-31

Permasalahan akses terhadap layanan kesehatan di Kabupaten Subang sangat dipengaruhi oleh :

- Faktor ekonomiBerdasarkan Hasil Penelitian BPS Tahun 2005 Dari pengakuan keluarga miskin yang pernah mengalami sakit dan tidak berobat, ternyata hampir seluruhnya beralasan tidak mempunyai biaya untuk melakukan pengobatan. Meskipun biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar karcis di puskesmas cukup murah, namun biaya transportasi untuk menjangkau puskesmas bagi mereka saat ini sudah cukup mahal (meskipun jarak puskesmas relatif dekat). Sehingga biasanya keluarga miskin lebih memilih bidan/mantri yang lokasinya lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

TABEL 16.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN ALASAN TIDAK BEROBAT PADA SAAT SAKIT

ALASAN PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-32

[1] [2] [3] [4]

a. Tidak Ada Biaya 100.0 91.7 98.3

b. Tempat Berobat Jauh 0.0 8.3 1.7

JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Rendahnya sanitasi salah satunya tercermin dari penggunaan fasilitas buang air besar. Meskipun di beberapa daerah hal berkaitan dengan budaya, namun bagi keluarga miskin hal ini justru akibat ketidakberdayaannya untuk mewujudkan fasilitas tersebut.

Keluarga miskin di daerah pantai menunjukkan kondisi yang paling parah, dimana 86,9 persen keluarga miskin tidak memiliki fasilitas buang air besar. Kemudian di daerah pegunungan mencapai 42,9 persen. Sedangkan di daerah pedataran kondisinya relatif lebih baik.

TABEL 17PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN PENGGUNAAN FASILITAS BUANG AIR BESAR

FASILITAS PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

a. Sendiri 30.3 49.4 8.2b. Bersama 24.4 29.2 3.3c. Umum 2.5 9.6 1.6d. Tidak Ada 42.9 11.7 86.9

JUMLAH 100.0 100.0 100.0Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Pada keluarga miskin yang menggunakan fasilitas buang air besar, juga terlihat bahwa mereka masih menggunakan jenis kloset yang berkualitas rendah seperti cubluk (di daerah pantai mencapai 80,3 persen), bahkan di pegunungan dan pedataran mereka tidak menggunakan kloset, persentase masing-masing mencapai 40,8 persen dan 28,6 persen.

Penggunaan kloset pada fasilitas keluarga miskin di masing-masing daerah disajikan pada tabel berikut:

TABEL 18.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN JENIS KLOSET FASILITAS BUANG AIR BESAR

JENIS KLOSET PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-33

[1] [2] [3] [4]a. Leher Angsa 16.4 51.8 1.6b. Plengsengan 37.4 15.7 8.2c. Cemplung/Cubluk 5.5 3.9 80.3d. Tidak Pakai 40.8 28.6 9.8JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Akses terhadap air bersih sangat terkait dengan derajat kesehatan. Perilaku keluarga miskin terhadap penggunaan sumber air bersih memperlihatkan perbedaan di setiap daerah.

TABEL 19PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN SUMBER AIR MINUM UNTUK MEMASAK

SUMBER AIR PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

a. Air Dalam Kemasan 0.0 0.6 0.0b. Ledeng 8.4 6.0 0.0c. Pompa 0.4 10.8 96.7d. Sumur Terlindung 17.2 60.8 0.0e. Sumur Tak Terlindung 3.4 16.6 1.6f. Mata Air Terlindung 31.9 2.1 1.6g. Mata Air Tak Terlindung 38.7 3.0 0.0h. Air Sungai - - -i. Lainnya - - -

JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005 Di daerah pedataran dan pantai terlihat bahwa sebagian besar

keluarga miskin sudah dapat mengakses sumber air minum yang berkualitas baik. Namun yang harus diperhatikan adalah penggunaan mata air tak terlindung oleh sebanyak 38,7 persen keluarga miskin di daerah pegunungan.

Dari cara memperoleh air minum untuk memasak, sebagian besar diperoleh dengan cara tidak membeli (di pegunungan dan pedataran). Namun di daerah pantai, terkait dengan kualitas air tanah yang kurang baik, maka 65,6 persen keluarga miskin terpaksa membeli dari pengecer.

TABEL 20.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN CARA MEMPEROLEH AIR MINUM UNTUK MEMASAK

CARA MEMPEROLEH PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

a. Berlangganan 10.5 7.2 14.8b. Membeli Eceran 6.3 0.9 65.6c. Lainnya 83.2 91.9 19.7

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-34

JUMLAH 100.0 100.0 100.0Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

TABEL 21.PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN PENGGUNAAN FASILITAS AIR MINUM

FASILITAS AIR MINUM PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI[1] [2] [3] [4]

a. Sendiri 22.3 61.4 6.6b. Bersama 31.1 31.3 9.8c. Umum 26.9 6.0 4.9d. Tidak Ada 19.7 1.2 78.7

JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Di daerah pantai juga terlihat bahwa sarana air untuk minum sangat terbatas, hal ini ditunjukkan oleh 78,7 persen keluarga tidak mempunyai sumber air untuk minum, baik berupa sumur maupun pompa.

C. Sosial Budaya Lainnya

Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah masih tingginya permasalahan sosial sebagaimana tabel di bawah ini. Permasalahan tersebut walaupun cenderung menurun, tetapi perlu langkah – langkah strategis untuk mempercepat pengurangan tersebut.

Tabel 22.Permasalahan Sosial Lainnya Tahun 2006-2007

No PERMASALAHAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

SATUAN

TAHUN2006 2007

1 Fakir Miskin KK 147,554 147,2262 Pemulung Orang 200 1003 Wanita Rawan Sosial Ekonomi

(WRSE)Orang 7,661 7,474

4 Komunitas Adat Terpencil KK 200 1105 Keluarga Berumah Tidak Layak

HuniKK 9,050 8,936

6 Anak Nakal Orang 300 2107 Anak Terlantar Orang 4,947 4,9078 Anak Terlantar dalam Panti Orang 1002 9759 Wanita Tuna Susila Orang 573 517

10 Penderita HIV Orang 86 182Sumber : Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Tahun 2008

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-35

DATA /INFORMASI LAINNYA YANG PERLU DITAMBAHKAN : SEBARAN PERMASALAHAN PMKS BERDASRKAN WILAYAH KECAMATAN

Secara umum perkembangan keagamaan dI Kabupaten Subang dapat dilihat pada tabel – tabel berikut ini :

Tabel 23Perkembangan Sarana Peribadatan di Kabupaten Subang

Tahun 2005 – 2006

No Jenis sarana Peribadatan

TH. 2005

(Buah)

TH. 2006

(Buah)Ket

1 Mesjid/Mushola/langgar/Surau

3.694 3.763 Meningkat 1,87 %

2 Gereja 21 213 Vihara - -

Jumlah 3.715 3.784 Meningkat 1,86 %

Sumber : Bagian Sosial Setda Kab. Subang 2007

Dari tabel tersebut diatas memperlihatkan bahwa sarana peribadatan seperti Mesjid, Mushola, langgar/Surau mengalami peningkatan sebesar 1,87% dari tahun 2005 sebanyak 3.763 buah menjadi 3.694 buah di tahun 2006. Demikian pula jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 ini jumlahnya meningkat 1 %. Namun demikian dari peningkatan tersebut tidak diiringi oleh peningkatan lainnya, bahkan mengalami penurunan seperti : jumlah santri menurun sebesar 0,22 % dan jumlah kyai / ustadz menurun sebesar 19,52 %, sebagaimana tabel berikut ini :

Tabel 24Perkembangan Jumlah Pontren, Kiyai/Ustadz dan Santri di Kabupaten

Subang tahun 2005 – 2006

No. Uraian Tahun 2005

Tahun 2006 Growth

(%)1 Jml Pondok

pesantren199 buah 201 buah 1,00

2 Jml Kyai/ustadz 2.003 orang

1.612 buah

- 19,52

3 Jml Santri 23.026 orang

22.975 buah

- 0,22

Sumber : Bagian Sosial Setda Kab. Subang 2007

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-36

Kemudian mengenai perkembangan kuantitas pendidikan keagamaan Islam pada tahun 2006 ini, juga secara umum mengalami peningkatan dibanding kondisi tahun 2005, yakni jumlah sekolah meningkat sebesar 12,31 %, jumlah guru meningkat sebesar 2,13 % sedangkan untuk jumlah murid menurun sebesar 6,78 %, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 25Perkembangan Jumlah Madrasah Murid dan Guru

di Kabupaten Subang Tahun 2005– 2006

NoJenis

Pendididkan

Tahun 2005 Tahun 2006KetJml

SekJml

MuriJml Gur

Jml Sek

Jml Muri

Jml Guru

1. RA 65 1.827 195 88 2.122 252 - Jml Sekolah meningkat 12,31 %

- Jml murid menurun 6,78 %

- Jml Guru

2. M.D. 331 21.45 1.26 381 18.11 1.1343. MI Negeri 3 478 44 3 533 374. MI Swata 101 9.315 231 99 9.673 6855. MTs 4 2.060 121 4 2.635 1616. Mts 54 8.379 959 55 9.849 9647. M A 2 750 51 2 677 708. M A 17 4.520 648 16 1.869 285

Jumlah 577 48.782

3.513

648 45.474

3.588 Sumber : Bagian Sosial Setda Kab. Subang 2007

Perkembangan kuantitas sarana peribadatan dan pendidikan keagamaan Islam yang terjadi pada tahun 2006 sebagaimana diuraikan diatas merupakan salah satu indikasi bahwa secara umum kehidupan keagamaan di Kabupaten Subang kondisinya relatif baik.

Seiring dengan itu pula jumlah tindak kriminal dan gangguan ketentraman lainnya pada tahun 2007 mengalami penurunan di banding dengan tahun 2006 sebagaimana tabel berkut ini :

Tabel 26Frekuesi gangguan ketentraman dan Ketertiban Masyarakat

di Kabupaten Subang Tahun 2006 – 2007

No Jenis GangguanTH.

2006(Buah)

TH. 2007

(Buah)1 Pencurian Biasa 38 362 Pencurian dengan

senjata tajam2 2

3 Perampokan 4 2

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-37

4 Pencurian Kendaraan Roda 2

38 8

5 Pencurian Kendaraan Roda 4

1 0

6 Narkoba 8 57 Pembunuhan 4 58 Penculikan 0 49 Pemerkosaan 4 1

10 Pemalsuan uang 4 011 Perkelahian/

Pengrusakan13 4

12 Judi 16 413 Bunuh diri 14 314 Penganiayaan 10 315 Penipuan 8 216 Pemerasan 0 117 Unjuk rasa 8 7

Jumlah 172 87 Sumber : Kantor Kesbang 2008

2. Analisa Kondisi Sosial BudayaAnalisa Kekuatan

1) Komitmen yang tinggi stakehoder di Kabupaten Subang terutama pengentasan Wajar Dikdas yang tertuang dalam Keputusan Bupati Nomor 421.2/207-BAP/2002 tentang Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Subang dan Instruksi Bupati Nomor IA/2004 tentang Pembentukan Pokja Wajar Dikdas di tingkat kecamatan dan desa.

2) Komitmen Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan Anggaran Belanja untuk bidang Pendidikan dalam APBD sekitar 20 %

3) Komitmen Pemerintah Daerah untuk memprioritaskan Urusan Kesehatan

4) Kehidupan beragama di Kabupaten Subang relatif baik

Analisa Kelemahan1) Permasalahan Sosial relatif tinggi seperti WTS, Wanita Rawan

Sosial Ekonomi, Pengemis, dan lain sebagainya2) Masih adanya tindak kejahatan serta gangguan ketentraman dan

ketertiban lainnya3) Masih fluktuatifnya Jumlah DO baik di tingkat SD, SMP dan SMA 4) Tingkat capaian Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf

yang cenderung meningkat tetapi tidak signifikan 5) Cakupan layanan sekolah terhadap murid masih belum merata.6) Masih kurangnya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan7) Masih tingginya kasus penyakit-penyakit berbasis lingkungan.8) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada keluarga masih rendah

hanya 21,17% keluarga yang dikategorikan sehat

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-38

9) Masih ditemukannya gizi buruk pada Balita sebanyak 676 orang (0,62 %) , Bumil KEK sebanyak 1.589 orang.

10) Tingginya kasus kematian bayi yang disebabkan dari Ibu Hamil dan Ibu Bersalin resiko tinggi, sering terjadi pada tingkat pengetahuan dan ekonomi keluarga yang rendah.

Analisa Peluang1) Komitmen yang tinggi Pemerintah Pusat dan Propinsi terhadap

Pendidikan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 31, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Wajar Dikdas 9 Tahun di Jawa Barat.

2) Komitmen yang tinggi Pemerintah Pusat dan Propinsi terhadap Kesehatan yang termuat dalam Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2001 tentang Pokjanal Posyandu serta Adanya Sistim Kesehatan Nasional (SKN) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

3) Urusan Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Budaya menjadi urusan Wajib dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

4) Pangsa Pasar Tenaga Kerja di Dalam dan Luar Negeri menuntut Persyaratan pendidikan lebih tinggi dan terampil.

5) Kemudahan bagi pihak swasta untuk menyelenggarakan layanan pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal.

6) Terselenggaranya pelayanan kesehatan oleh sektor swasta.7) Komitmen yang tinggi untuk menjaga ketentraman dan ketertiban

Analisa Ancaman 1) Tingkat Kompetisi semakin tinggi akibat era globalisasi.2) Perilaku diskriminatif orang tua/dunia usaha terhadap gender.3) Kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak rendah terutama

di daerah pantura.4) Pengaruh budaya negatif sebagai dampak dari era globalisasi dan

informasi.5) Cenderung meningkatnya penderita penyakit HIV / AIDS

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-39

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-40

2.1.2. Kondisi -Ekonomi Kabupaten SubangKondisi sosial-ekonomi suatu wilayah (provinsi, kabupaten/kota

kecamatan dan Kelurahan/Desa ) merupakan salah satu faktor penting dalam mencermati derajat kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut.

Dalam teori statistik pendapatan regional, besaran angka PDRB. akan menggambarkan kemampuan (potensi) suatu wilayah dalam mengakumulasi aktivitas perekonomian di wilayahnya, tanpa melihat siapa pemilik dari unit usaha ekonomi yang beroperasi apakah milik penduduk (residence) wilayah tersebut atau bukan milik penduduk wilayah tersebut. Di sisi lain, hasil kompilasi ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk melihat transformasi perekonomian regional.

A. Laju Pertumbuhan EkonomiKrisis ekonomi yang melanda hampir sebagian Negara ASIA berdampak

langsung terhadap Perekonomian Indonesia, bahkan Indonesia termasuk negara yang mengalami keterpurukan yang paling lama. Kondisi tersebut dirasakan pula di daerah termasuk Kabupaten Subang yang ditandai dengan menurunya LPE hingga mencapai poin terendah (-7.17%) pada tahun 1998. Namun keterpurukan tersebut tidaklah terlalu parah bila dibandingkan dengan Propinsi Jawa Barat yang mencapai –17.7%, hal ini dikarenakan Kabupaten Subang masih berorientasi kepada sektor primer yang mana sektor ini memiliki daya tahan yang cukup baik karena cukup mengakar di masyarakat. Sebagai kontributor terbesar terhadap Pertumbuhan Ekonomi, bertahannya sektor ini menyebabkan perkembangan ekonomi mengalami peningkatan kembali hal ini terbukti LPE pada tahun 1999 sebesar 2.28 %, tahun 2000 sebesar 4,11%, Tahun 2001 sebesar 4.47 % dan Tahun 2002 sebesar 4.54 %.

B. Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita Kabupaten Subang yang digambarkan dari Nilai

PDRB (ADHB) dibagi dengan jumlah penduduk dapat disimpulkan bahwa dari Tahun 1994-2002 selalu mengalami peningkatan namun bila dihitung dari Nilai PDRB (ADHK) sesungguhnya mengalami fluktuasi dimana pada saat titik kulminasi Krisis Ekonomi Tahun 1997 PDRB perkapita sebesar Rp. 1.38 Juta

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-41

sedangkan PDRB perkapita dari Tahun 1998 sebesar Rp. 1.28 Juta atau mengalami penurunan sebesar Rp. 100 ribuan. Hal itu disebabkan karena nilai rupiah sebelum krisis ekonomi jauh lebih tinggi dari nilai rupiah pada saat krisis ekonomi melanda.

Tabel 16. Data Perekonomian Kabupaten Subang Tahun 1993-2002

Uraian 1993 1994 1995 1996 1997(1) (2) (3) (4) (5) (6)

PDRB. Adh berlaku[milyar rupiah] 1.378,38 1.564,21 1.771,34 2.045,07 2.412,41

PDRB. Adh konstan ’93 [milyar rupiah] 1.378,38 1.453,59 1.553,00 1.667,73 1.722,42

PDRB. Per Kapita adh. Berlaku [ribu rupiah] 1.123,87 1.269,04 1.430,75 1.645,40 1.934,34

PDRB. Per Kapita adh.Konstan [ribu rupiah] 1.123,87 1.179,28 1.254,39 1.341,80 1.381,08

LPE (%) - 5,46 6,84 7,39 3,28

% sektor industri 8,01 7,82 8,23 8,00 7,63

% sektor pertanian 42,37 41,20 40,76 40,67 42,39

Tabel 16. L a n j u t a n

Uraian 1998 1999 2000 2001* 2002**(1) (7) (8) (9) (10) (11)

PDRB. adh berlaku[milyar rupiah] 3.550,12 3.672,98 4.002,86 4.562,85 5.180,10

PDRB. adh konstan ’93 [milyar rupiah] 1.610,92 1.645,96 1.713,12 1.788,54 1.869,66

PDRB. Per Kapita adh. Berlaku [ribu rupiah] 2.792,48 2.876,91 3.116,07 3.386,63 3.881,21

PDRB. Per Kapita adh.Konstan [ribu rupiah] 1.278,61 1.299,92 1.346,37 1.347,58 1.400,85

LPE (%) -7,17 2,28 4,11 4,47 4,54

% sektor industri 5,61 5,43 8,84 5,45 5,19

% sektor pertanian 47,41 42,20 40,58 44,40 42,80Sumber : BPS. Subang 2003 Catatan : adh. = atas dasar harga *) = angka perbaikan **) = angka sementara

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-42

Uraian 2003 2004 2005 2006*(1) (7) (8) (9) (10)

PDRB. adh berlaku[milyar rupiah]PDRB. adh konstan ’93 [milyar rupiah]PDRB. Per Kapita adh. Berlaku [ribu rupiah]PDRB. Per Kapita adh.Konstan [ribu rupiah]

LPE (%)

% sektor industri

% sektor pertanian

C. Kontribusi Sektor Riil Perekonomian Suatu kriteria yang direkomendasikan UNIDO (suatu badan PBB untuk

pengembangan industri) memilah-milah daerah berdasarkan kontribusi sektor industri pada aktivitas perekonomian :1. Daerah yang masih tradisional (% kontribusi sektor industri terhadap

perekonomian di bawah 10 persen). 2. Daerah transisi (% kontribusi sektor industri terhadap perekonomian 10-20

persen). 3. Daerah semi industri (% kontribusi sektor industri terhadap perekonomian

20-30 persen)4. Daerah industri (% kontribusi sektor industri terhadap perekonomian 30

persen) (Thee Kian Wee, 1990; H. Suseno T.W., 1997).

Kriteria tersebut digunakan dalam kasus ini, sehingga dapat diperoleh informasi bagaimana kondisi perekonomian Kabupaten Subang apakah masih dianggap tradisional ataukah sudah memiliki kategori daerah lainnya. Berdasarkan kriteria tersebut dengan mengamati kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Kabupaten Subang, maka diinterpretasikan Kabupaten Subang masih diklassifikasikan sebagai daerah tradisional; dengan besaran kontribusi sektor industri terhadap perekonomian Kabupaten Subang di bawah 10 persen.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-43

Dengan demikian kemajuan (progress) pembangunan sebetulnya dapat diamati secara statistik, dengan menggunakan suatu alat ukur (yardstick) yang dilansir oleh UNIDO (United Nation Industrial Development Organization).

Hasil pengamatan melalui kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Subang, dapat pula disimpulkan bahwa wilayah ini memang merupakan daerah agraris yang ditunjukkan oleh besaran kontribusi sektor pertanian terletak antara 40,58 persen (tahun 2000) – 47,41 persen (tahun 1998). Tingginya angka kontribusi sektor pertanian pada tahun 1998 merupakan suatu dampak dari penurunan kontribusi sektor industri yang terkena dampak krisis moneter pada tahun 1997.

Seperti diketahui, pada umumnya produk industri yang dihasilkan perusahaan industri yang berdomisili di wilayah Jawa Barat (termasuk Kabupaten Subang) merupakan produk komoditi yang dirancang untuk konsumsi ekspor, sehingga diperlukan bahan baku (input) yang berasal dari negara pemberi lisensi produk tersebut. Dengan demikian, nilai input dari bahan baku tersebut akan tergantung dari nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing.

Pengamatan atas data persentase kontribusi sektoral PDRB spatial Kecamatan pada tahun 2001, memperlihatkan adanya beberapa kecamatan yang sudah mengalami proses transformasi perekonomian, bila digunakan kriteria UNIDO, yaitu berpindah dari daerah perekonomian tradisional ke perekonomian transisi ataupun ke perekonomian semi-industri. Paparan data selengkapnya disajikan di bawah ini dan memperlihatkan pula secara simultan potret adanya ketimpangan antara wilayah kecamatan di Kabupaten Subang.

Persepsi adanya fenomena ketimpangan antar kecamatan tersebut mengemuka manakala dilakukan perbandingan tahapan perekonomian antar kecamatan dengan menggunakan kriteria UNIDO. Dan sebagai hasilnya, hanya dua kecamatan yang menapak pada proses transisi, Kecamatan Jalancagak dan Kalijati, dan dua kecamatan lainnya tergolong relatip maju karena memasuki tahapan perekonomoian semi industri, yaitu Kecamatan Cipeundeuy dan Purwadadi.

Dari fenomena yang ditampilkan, ditafsirkan relatip agak sukar untuk menata suatu program pemerataan dalam perolehan IPM. Hal ini disebabkan adanya disparitas perekonomian kecamatan akan memunculkan ketimpangan dari aspek multi dimensi, misalnya akan muncul ketimpangan kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity), yang berlanjut dengan adanya ketimpangan harapan hidup serta ketimpangan perolehan derajat pendidikan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-44

Tabel 17. Kontribusi Sektor Perekonomian, LPE (%) Dan Kriteria Wilayah

Di Kab. Subang Menurut Kecamatan, Tahun 2001

Nama KecamatanAktivitas Perekonomian

Total LPE KriteriaWilayah

Perta-nian

Indus-tri

Perda-

gangan

Lain-nya

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]010. Sagalaherang 60,49 1,58 23,48 14,45 100,00 3,59 Tradisional020. Jalan Cagak 40,12 16,34 30,15 13,39 100.00 5,89 Transisi030. Cisalak 53,58 2,09 28,77 15,56 100.00 5,,52 Tradisional040. Tanjungsiang 45,89 0,70 30,80 22,61 100.00 5,92 Tradisional050. Cijambe 40,55 2,86 28,08 28,51 100.00 2,30 Tradisional060. Cibogo 50,23 0,99 29,04 19,74 100.00 1,93 Tradisional070. Subang 14,69 4,49 21,13 59,69 100.00 8,30 Tradisional080. Kalijati 29,34 13,42 27,30 29,94 100.00 6,43 Transisi090. Cipeundeuy 24,68 23,57 32,45 19,30 100.00 3,79 Semi-

industri110. Patokbeusi 54,92 0,53 30,03 14,52 100.00 1,29 Tradisional120. Purwadadi 37,90 20,31 30,54 11,25 100.00 5,74 Semi-

industri[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

130. Cikaum 52,03 1,31 16,86 29,80 100.00 3,21 Tradisional140. Pagaden 46,37 1,96 29,62 22,05 100.00 6,52 Tradisional150. Cipunagara 51,15 1,52 32,96 14,37 100.00 3,31 Tradisional160. Compreng 60,55 0,38 25,45 13,62 100.00 0,46 Tradisional170. Binong 57,73 0,81 28,05 13,41 100.00 5,55 Tradisional180. Ciasem 42,34 2,19 29,29 26,18 100.00 3,14 Tradisional190. Pamanukan 35,60 5,17 31,97 27,26 100.00 7,22 Tradisional200. Pusakanagara 54,07 0,29 29,88 15,76 100.00 1,55 Tradisional210. Legonkulon 50,79 0,47 29,12 19,62 100.00 0,42 Tradisional220. Blanakan 56,34 1,37 28,76 13,53 100.00 2,91 Tradisional

Total 44,40 5,45 28,18 21,97 100.00 4,47 TradisionalSumber : BPS. Kabupaten Subang 2003

D. Indeks Gini Rasio dan % Konsumsi Non Makanan Memang diakui, tujuan utama (goal target) dari suatu perencanaan

program pembangun-an ekonomi; ialah meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja program tersebut. Pada dasarnya perencanaan ekonomi adalah keharusan mutlak, karena kita dipaksa oleh keadaan untuk membandingkan tujuan-tujuan sosial kita dengan sumber-sumber yang tersedia dan memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber tersebut ( Glassburner B & Chandra A., 1997, LPES - Jakarta).

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-45

Akan tetapi tidak dapat dibantah, bahwa dalam proses pembangunan yang berlangsung memiliki suatu peluang untuk memunculkan suatu masalah ketimpangan pendapatan; meskipun fenomena tersebut merupakan suatu produk ikutan (bye poduct). Suatu pengukuran lainnya untuk mengamati disparitas (ketimpangan) pendapatan penduduk yang berdomisili di wilayah ini dilakukan dengan menerapkan indeks GINI (Gini ratio), suatu metode teknik pengukuran angka indeks yang ditemukan oleh Corrado Gini, di mana hasilnya dipaparkan sebagai berikut :

Tabel 18. Perbandingan Angka Indeks GINI, % Pendapatan 40 % penduduk Yang Berpendapatan Rendah Dan % Konsumsi Non

Makanan

Tahun Indeks Gini% Konsumsi Non

Makanan% Pendapatan 40 %

Penduduk Yg Berpendapatan Rendah

(1) (2) (3) (4)199319941995199619971998 - 35,48 26,601999 0,153 28,06 27,042000 0,171 29,76 24,852001 0,183 31,59 21,672002 0,153 33,46 17,752003200420052006

Sumber : BPS. Subang 2003

Untuk membaca paparan data indeks Gini pada tabel 18., digunakan kriteria Todaro P. Michael (1994), yang menyatakan bahwa besaran angka Gini Rasio (GR.) akan memperlihatkan:1. Jika nilai GR antara 0,20 - 0,35, maka tingkat pemerataan pendapatan

dinyatakan tidak timpang dengan kata lain pemerataan pendapatannya relatip sama.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-46

2. Jika nilai GR antara 0,36 - 0,49, maka tingkat pemerataan pendapatan dinyatakan cukup timpang

3. Jika nilai GR antara 0,50 - 0,70, maka tingkat pemerataan pendapatan dinyatakan sangat timpang.

Dari hasil applikasi kriteria tersebut, disimpulkan pendapatan penduduk Kabupaten Subang relatip memiliki ketimpangan yang rendah; sehingga kondisi lingkungan sangat kondusif untuk pelaksanaan berbagai program pembangunan sosio-ekonomi yang digelar. Hal ini diperoleh dari fakta yang menunjukkan besaran angka indeks GINI Kabupaten Subang antara 0,153 – 0,183. Hasil yang sama diperoleh, bila menggunakan kriteria Bank Dunia (KBD.) di mana bila 40 % penduduk yang berpendapatan rendah mendapatkan porsi di atas 17 persen ( > 17 persen), maka disimpulkan wilayah tersebut memiliki derajat ketimpangan pendapatan yang rendah, atau dengan perkataan lain derajat kesejahteraan dari aspek sebaran pendapatan relatip cukup baik. Angka pada tabel memperlihatkan besaran porsi tersebut antara 17,75 (tahun 2002) - 27, 04 (tahun 1999).

Dengan mengamati hasil terapan kriteria Bank Dunia terhadap data hasil kompilasi secara serial (1998-2002), ada kecenderungan derajat kesejahteraan masya-rakat Subang dari aspek pendapatan menurun. Hal ini merupakan suatu fakta krusial yang perlu diantisipasi secara dini.

Lebih jauh, bila daya beli diapplikasikan pada pola konsumsi non makanan; maka dapat dilihat bagaimana sebenarnya situasi kesejahteraan masyarakat dari aspek konsumsi. Dalam teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), tingkat konsumsi pangan dijadikan indikator kesejahteraan rakyat, di mana pengamatan atas pola konsumsi dalam hal ini persentase pengeluaran non makanan akan dapat melihat adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesimpulan ini diperoleh apabila digunakan tolok ukur sebagai berikut : Pengeluaran Konsumsi non makanan 50 persen, menunjukkan kondisi

rumah-tangga baik Pengeluaran Konsumsi non makanan 20-49 persen, menunjukkan kondisi

rumah-tangga sedang Pengeluaran Konsumsi non makanan < 20 persen, menunjukkan kondisi

rumah-tangga buruk (Kantor Menko Kesra, Buku Panduan Penyusunan IKKA, 1992 ).

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-47

Dari penggunaan ukuran di atas, dapat diinterpretasikan bahwa secara umum kondisi rumahtangga di Kabupaten Subang relatip sedang pada kurun waktu 1998-2002 karena persentase pengeluaran konsumsi non makanan berada pada selang 20-49 persen (lihat tabel 3.3). Pada umumnya pola konsumsi di negara-negara maju memperlihatkan persentase pengeluaran untuk makanan di bawah 50 persen. Sedangkan di negara-negara yang sedang berkembang persentase makanan selalu di atas 50 persen (BPS, Laporan perekonomian Indonesia, 1984).Secara faktual data yang disajikan pada tabel 17. memperlihatkan adanya pola pergeseran konsumsi non makanan, yang menunjukkan adanya pola naik turunnya kesejahteraan penduduk Kabupaten Subang. Bila pada tahun 1998, persentase pengeluaran konsumsi non makanan sekitar 35,48 persen; maka pada tahun 1999 menurun menjadi sekitar 28,06 persen. Hal ini dapat ditafsirkan ada penurunan kesejahteraan masyarakat, dan secara faktual memiliki peluang diakibatkan krisis moneter 1997. Pada tahun 2001 dan 2002 besaran persentase konsumsi non makanan kembali meningkat, sehingga terlihat pola umum yang membentuk huruf U.

E. Inflasi

Salah satu indikator pembangunan ekonomi adalah inflasi, yakni sebagai agregasi dari Produk Domestik Regional Bruto. Pada Tabel 18 terlihat mulai tahun 1997 angka inflasi sebesar 12,05 persen naik dari tahun 1996 sebesar 8,02 persen. Pada tahun 1998 terjadi inflasi sangat tinggi sebesar 56,98 persen, kenaikan ini disebabkan krisis ekonomi yang diawali dengan kenaikan harga dolar terhadap rupiah yang mengakibatkan kenaikan harga secara rata-rata untuk seluruh barang-barang konsumsi.

Tetapi pada tahun 1999, terjadi inflasi negatif dengan kata lain terjadi deflasi sebesar minus 1,18 persen pada bulan Juli, yang mengindikasikan harga barang konsumsi mulai turun, sehingga daya beli masyarakat menguat kembali. Namun pada Tahun 2000 hingga 2003 inflasi kembali menguat sehingga ada kecenderungan menaiknya harga-harga kebutuhan pokok namun kenaikan tersebut masih relatif wajar.

Tabel 19. Inflasi Kabupaten Subang Tahun 1996 -2003

Tahun Inflasi19941995199619971998

8,0212,0556,98- 1,18

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-48

19992000200120022003200420052006

5,4710.869,065,78

Sumber : BPS Subang 2003

2.1.3 Kondisi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Subang masih mengandalkan sektor primer, hal ini ditandai dengan kontribusi terbesar terletak pada sektor pertanian, industri dan perdagangan, hotel dan restauran. Untuk itu pemanfaatan Sumber Daya Alam(SDA) tersebut hendaknya disesuaikan dengan daya dukung lingkungan mengingat SDA sifatnya terbatas, sehingga rasionalisasi pemanfaatan SDA akan menjamin kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan.

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup merupakan potensi pembangunan yang perlu didayagunakan seoptimal mungkin dalam mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam pembahasan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup lebih ditekankan pada faktor-faktor yang menjadi potensi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

A. Sumber Daya Air Permukaan

Sumber daya air ini dapat diambil dari 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Cipunagara, DAS Cilamaya, DAS Ciasem dan DAS Cigadung yang beranak sungai sebanyak 158 buah dengan jumlah panjang 847,88 km. Air sungai yang berfungsi sebanyak 25 buah dengan Saluran Induk Tarum Timur yang disuplai dari Bendung Pompa Curug sampai dengan bendung Salam Darma sepanjang 67,829 km .

Adapun debit rata-rata 102,02 m3/dt terdiri dari debit sungai 47,50 m3/dt dan dari Saluran Tarum Timur 54,52 m3/dt.

Sistem Irigasi di Kabupaten Subang merupakan bagian Sistem Irigasi Jatiluhur, secara garis besar mempunyai 2 (dua) Sumber air yaitu : bersumber air dari waduk Jatiluhur atau Ir. H. Juanda dan bersumber air setempat.

Beberapa fasilitas Jaringan Irigasi di Kabupaten Subang diantaranya adalah:

1. Bangunan Utama sebanyak 30 buah

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-49

2. Bangunan pada Saluran Pembawa sebanyak 1076 buah3. Bangunan pada Saluran Pembuang sebanyak 238 buah4. Bangunan pada Saluran Suplesi sebanyak 6 buah5. Jumlah Saluran

a. Pembawa : 507,32 Kmb. Primer : 40,41 Kmc. Sekunder : 466,91 Kmd. Pembuang : 290,89 Kme. Suplesi : 7,660 Kmf. Gendong : 8,29 Km

6. Jalan Inspeksi sepanjang 42,24 Km7. Tanggul Penutup sepanjang 78,70 Km8. Bangunan Pengukur Debit sebanyak 773 buah9. Tersier belum dikembangkan

a. Jumlah bangunan : 45 Buahb. Saluran : 692,050 Km

10.Tersier sudah dikembangkan sebanyak 28.230 buah sepanjang 6.480,12 Km

Data perusahaan yang pengambilan air tanah/air permukaan untuk kegiatan usaha di wilayah kabupaten subang yang meliputi 17 kecamatan adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

Tabel 20. Data Pengambilan Sumber Daya Air

No

KecamatanJumlah

Perusahaan

Jumlah Titik

SIPA Ada tidak

1 Subang 28 36 18 18

2 Cibogo 6 11 8 33 Pagaden 15 25 23

24 Cipunagara 9 12 12 05 Pamanukan 16 17 8 96 Patokbeusi 22 28 9 197 Ciasem 8 10 3 78 Blanakan 6 6 2 49 Pabuaran 5 6 6 010 Pusakanagara 6 8 0 811 Cipeundeuy 13 21 20 112 Kalijati 13 20 16 413 Purwadadi 4 7 7 014 Cijambe 7 7 3 4

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-50

15 Jalan Cagak 13 20 17 316 Sagalaherang 1 1 0 117 Cisalak 1 2 1 1

Total 163 237 153 84Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi 2003

Dari tabel tersebut diatas, terlihat bahwa dari 237 titik pengambilan air yang sudah memiliki ijin sebanyak 153 titik (65%) dan yang belum berijin sebanyak 84 titik (35%).

Pengambilan air yang belum memiliki ijin pada umumnya adalah usaha-usaha kecil seperti warung, rumah makan dan lain-lain, yang volumenya pengambilan airnya dibawah 10 M3 per hari dan airnya bersumber dari air tanah dalam hampir 100% sudah memiliki ijin.

Penerimaan bagi hasil pajak dari pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan untuk Kabupaten Subang tahun 2003 adalah sebesar Rp. 907.829.046.

B. Sumber Daya Air Bawah Tanah

Potensi sumber air juga dapat menunjang keberhasilan pembangunan, meskipun keadaanya sangat tergantung kepada faktor iklim, geologi, morfologi, vegetasi dan tata guna lahan.

Pemanfaatan sumber air tanah ini pada umumnya banyak dimanfaatkan pada daerah tertentu yaitu daerah yang ada industri dengan mengandalkan sumber air tanah sebagai satu-satunya sumber air alternatif, adapun daerah tersebut antara lain wilayah Pabuaran Cipeundeuy dan Patokbeusi.

Adapun Potensi air bawah tanah di kabupaten subang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 21 Lokasi Potensi Air Bawah Tanah

No

Lokasi Jenis Potensi M3

1

2

Cekungan Ciater

Cekungan Ranggawulung

Air Tanah dangkalAir Tanah Dalam

Air Tanah dangkalAir Tanah dalam

+ 1,7 Milyar+ 4 Milyar

+ 1,5 Milyar+ 3 Milyar

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-51

Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi 2003

C. Sumber Daya Udara

Udara merupakan sumber alam yang memiliki peran vital didalam kelangsungan kehidupan termasuk jalannya proses pembangunan di segala bidang, mengingat komponen yang terkandung didalam udara seperti oksigen dan karbondioksida secara alamiah berperan dalam proses metabolisme dan sintesa energi. Maka dengan peran yang mendasar itulah dimana kualitas udara perlu dijaga kelangsungan ketersediaannya, karena sumber daya udara mempunyai fungsi ekologi dan sosial.

Kegiatan pembangunan yang telah dilaksanakan banyak berdampak terhadap kualitas udara, terutama dari aktivitas industri dan transportasi yang memproduksi emisi berupa senyawa gas oksida dari karbon, nitrogen dan sulfur.

Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya polusi terhadap kualitas yaitu penggunaan timbal untuk menaikan bilangan senyawa oktan pada BBM telah memberikan kontribusi polutan udara berupa timbal oksida yang berbentuk dari hasil proses pembakaran pada ruang bakar kendaraan bermotor.

Untuk Kabupaten Subang pencemaran udara disebabkan oleh : 1. Beban pencemaran udara dari sumber transportasi2. Beban pencemaran udara dari sawah3. Pengemisian gas CH4 dan gas NH3 dari peternakan4. Beban pencemaran udara dari sumber domestik.

Kondisi pencemaran tersebut harus menjadi perhatian agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan mahluk hidup.Pengukuran kualitas udara di Kabupaten Subang dilakukan secara sampel di tempat-tempat yang mengandung resiko pencemaran seperti Pasar Inpres Pamanukan, Pasar Inpres Subang, Ciater, Terminal Jalancagak, Pasar Kalijati, Pasar Cipeundeuy,

PAM Sukarahayu, Pabrik Gula Rajawali. Dari hasil pengujian tersebut menunjukan bahwa kondisi tempat-tempat tersebut masih berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan dimana ambang batasnya untuk kandungan Sulfur Oksida (SO2) sebesar 260 g/m3, kandungan Karbon Monoksida (CO) sebesar 2260 g/m3 dan kandungan Oksida Nitrogen (NOx) sebesar 92,5 g/m3.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-52

Keberhasilan tersebut dikukuhkan dengan diraihnya predikat juara ke dua terbaik NKLD tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2002. Raihan prestasi tersebut tidak lepas dari tingkat kesadaran perusahaan-perusahaan dalam memiliki dokumen AMDAL, UKL/UPL serta menjadikannya sebagai acuan prilaku perusahaan atas pemeliharaan lingkungan sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 22. Data Perusahaan Wajib AMDAL, UKL/UPLDi Kabupaten Subang

No.

Tahun Jumlah Perusahaan yang Wajib AMDAL, UKL/UPL

Jumlah Perusahaan yang Memiliki AMDAL, UKL/UPL

Ket. (%)

1993199419951996199719981999

1. 2000 44 33 752. 2001 53 43 84,133. 2002 58 52 89,66

2003200420052006

Sumber : Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2002

Secara umum, jumlah perusahaan yang berpotensi menim-bulkan pencemaran lingkungan akibat limbah cair yang dihasilkan, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Akan tetapi belum seluruh perusahaan mampu menyediakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL ), mengingat biaya konstruksi untuk pembangunannya relatif mahal. Untuk lebih jelasnya seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 23. Data Perusahaan PotensialMenghasilkan Limbah Cair di Kabupaten Subang

No.

Tahun Jumlah Perusahaan

Menghasilkan Limbah Cair

Jumlah Perusahaan

Memiliki IPAL

Keterangan

(%)

1. 2000 15 9 602. 2001 16 13 81,25

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-53

3. 2002 20 18 90Sumber : Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2002

D. Sumber Daya lahan

Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.117 mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Iklim yang demikian ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang dipergunakan untuk pertanian. Hal ini ditunjukan dengan Luas Wilayah Kabupaten Subang yang mencapai 205.176 ha terdiri dari sawah seluas 84.701 ha (41,28 %) dan lahan kering seluas 120.475 ha (58,72%). Memperhatikan data luas lahan lebih jauh ternyata kualitas sawah di kabupaten Subang sebagian besar (72,02.%) sudah merupakan sawah berpengairan irigasi teknis.

E. Sumber Daya MineralKabupaten Subang memilik berbagai jenis sumber daya mineral

dan yang paling besar adalah Bahan Galian C. Dari jenis bahan mineral tersebut yang paling banyak ditambang dan dimanfaatkan adalah jenis bahan galian untuk bahan bangunan seperti batu belah, pasir dan sirtu. Sedangkan jenis bahan galian untuk industri manufaktur dan pertanian belum dimanfaatkan secara maksimal, luas areal lahan galian C yang ada di Kabupaten Subang berdasarkan Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) adalah 47,10 ha dengan jumlah SIPD 17 buah terdiri dari 5 buah SIPD dari Gubernur dan 12 buah SIPD dari Bupati Subang. Secara alami di Kabupaten Subang terdapat beberapa jenis bahan galian yang potensial untuk ditambang yang tersebar di beberapa kecamatan seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 24. Wilayah Potensi Sumber Daya Mineral

No Jenis Kecamatan Potensi1 Pasir

Pantai / Sungai1. Legon kulon2. Pamanukan3. Blanakan

210 juta M3

2 Lempung 1. Blanakan2. Patokbeusi3. Ciasem4. Pamanukan5. Compreng6. Pusakanagara

3 Lempung dan Trass 1. Pabuaran2. Cikaum

± 150 Km2

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-54

3. Kalijati4. Pagaden

4 Sirtu 1. Cipeundeuy2. Blanakan3. Ciasem4. Compreng5. Cipunagara6. Cibogo7. Subang

Tersebar di Daerah Aliran Sungai (DAS)

5 Gypsun Subang ± 5 Juta M3

6 Batu Belah 1. Cijambe2. Cisalak3. Tanjungsiang4. Jalancagak5. Sagalaherang

± 2 Juta M3

7 Batu Gunung Jalancagak Belum dievaluasi8 Pasir Gunung Jalancagak Belum dievaluasi9 Pasir 1. Cipeundeuy

2. Kalijati3. Subang4. Cijambe

± 1,2 Milyar M3

10 Puzolan 1. Cijambe2. Sagalaherang

± 200 Juta M3

11 Belerang Jalancagak ± 20 Juta M312 Yarosite Jalancagak ± 50 ha13 Batu Gamping 1. Kalijati

2. CijambeBelum dievaluasi

Sumber : Dinas Pertambangan dan Eneregi 2003

Tabel 25. Wilayah Potensi Logam/Mineral

No Lokasi Jenis Potensi123.

SadawarnaGunung TuaSungai Cilame

- Pirit- Belerang- Galena- Kuarsa

15 %5 %

15 %0,30 %

Sumber : Dinas Pertambangan dan Eneregi 2003

Realisasi penerimaan pajak dari penggalian sumber daya mineral (bahan galian golongan C) Tahun 2003 adalah sebesar Rp. 225.271.465

F. Sumber Daya HutanBerdasarkan fungsinya hutan terbagi dua yaitu fungsi ekologi dan

fungsi ekonomi. Sebagai fungsi ekologi hutan menghisap udara karbon dari udara dan mengembalikan oksigen bersih kepada manusia. Sedangkan sebagai fungsi ekonomi, manusia telah memanfaatkan hutan dari generasi kegenerasi, pemanfaatan yang dikenal manusia dari hutan adalah pengambilan hasil hutan, terutama kayu. Pengambilan kayu, dimanfaatkan manusia untuk keperluan sehari-hari dan atau sebagai penghasil pendapatan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-55

Luas lahan kritis di Kabupaten Subang berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2001 seluas 14.989 Ha dan pada tahun 2002 menjadi 14.511 Ha atau berkurang seluas 478 Ha.

Terjadinya lahan kritis pada umumnya disebabkan oleh adanya pemanfaatan lereng bukit melalui kegiatan pertanian yang tidak terpola dengan baik dan dampak dari adanya lahan kritis ini sering terjadi banjir di daerah pedataran dan tanah longsor di daerah pegunungan.

Pengembangan hutan rakyat, pada tahun 2001 seluas 205, ha dan pada tahun 2002 seluas 438 Ha, sehingga hutan rakyat pada tahun 2002 mencapai 6.748 Ha.

Khusus mengenai penanganan hutan rakyat dan lahan kritis dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 26. Perkembangan Lahan Kritis Dan Hutan Rakyat Di Kabupaten Subang

No

Lokasi / Kecamatan

Luas Lahan Kritis ( Ha )

Luas Hutan Rakyat (Ha)

Th 2000

Th 2001

Th 2002

Th 2000

Th 2001

Th 2002

1 Tanjungsiang 1.471 1.446 1.419 490 520 5472 Kalijati 438 413 388 540 565 5903 Cipeundeuy 1.024 999 974 450 475 5254 Cipunagara 462 457 432 - - -5 Purwadadi 452 413 413 275 325 3256 Pabuaran 338 338 338 100 100 1007 Jalancagak 996 971 971 445 470 4768 Cisalak 1.835 1.385 1.805 820 820 8509 Cijambe 5.774 5.749 5.671 832 860 885

10 Sagalaherang 1.409 1.409 1.389 600 600 60011 Subang 402 402 402 400 400 40012 Cibogo 171 171 146 475 475 65013 Cikaum 386 386 361 100 100 12514 Blanakan - - - - - 100

JUMLAH 15.159

14.989

14.511

6.105

6.310

6.748

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan tahun 2003

Selain hutan rakyat sebagaimana tabel di atas di Kabupaten Subang terdapat pula hutan Negara yang dikuasai oleh PT. Perhutani seluas 29.932,44 Ha, termasuk dalam wilayah KPH Bandung Utara dan KPH Purwakarta, terdiri dari

Hutan Produksi seluas 17.628,36 Ha Hutan Lindung seluas 12.254,08 Ha Hutan cadangan seluas 100,00 Ha

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-56

Dengan demikian luas hutan di Kabupaten Subang 36.680,44 Ha atau 17,88% dari luas wilayah Kabupaten Subang. Dikaitkan dengan Pemerintah Propinsi Jawa Barat bahwa luas kawasan lindung yang harus dicapai pada setiap Kabupaten adalah 27 % sehingga Kabupaten Subang masih memerlukan penambahan luas kawasan lindung sebesar 9,12% atau 18.712,14 ha

Hutan dan fungsinya di Kabupaten Subang akan terus diupayakan meningkat, dalam peran sebagai sumber daya yang memiliki kontribusi terhadap aspek perekonomian Kabupaten Subang, walaupun saat ini belum berati untuk PDRB Kabupaten Subang. Namun hal yang tak kalah pentingnya adalah bahwa hutan di Kabupaten Subang harus berperan pada bidang jasa non ekonomi, seperti untuk mengatur tata air, perlindungan hutan, pencegah erosi banjir, pemelihara kesuburan tanah, sumber plasma nutfah, pengatur iklim mikro, pariwisata alam dan produsen oksigen.

Gambaran potensi sumber daya hutan baik luas maupun produktivitas kayu tebangan yang ada di Kabupaten Subang, pada saat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar. Namun beberapa kelemahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah lahan-lahan yang ada disekitar hutan tidak sepenuhnya memiliki kondisi yang baik, karena banyaknya konvensi lahan disekitar hutan yang mengakibatkan menurunnya fungsi ekologis hutan. Kondisi ini mencerminkan dengan luasnya lahan hutan kritis baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.

G. Sumber Daya Energi

Energi merupakan salah satu sumber daya yang dibutuhkan manusia untuk menopang berbagai kegiatan atau aktivitasnya. Meningkatnya konsumsi energi akan meningkatkan beban pencemaran lingkungan, terutama yang dilepaskan keudara sehingga memberikan kontribusi terhadap efek rumah kaca dan perubahan iklim.

Pola konsumsi energi primer yang lebih terpusat pada sumber sumber energi tak terbaharui menumbuhkan kekhawatiran terhadap munculnya kelangkaan bila pemanfaatannya tidak terkendali. oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah guna mengatasi ancaman kelangkaan sumber-sumber energi dimasa depan. Energi yang perlu mendapat perhatian adalah energi listrik , minyak bumi, gas dan panas bumi.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-57

a). Energi Listrik

Tekad pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sekaligus kesejahteraan rakyat hingga menyentuh masyarakat di pelosok pedesaan dilakukan melalui program listrik masuk desa. Pada tahun 2003 jumlah konsumen listrik sudah mencapai 256.542 pelanggan. Angka ini bila dibandingkan dengan keadaan 1999 yang baru mencapai 203.426 pelanggan, jadi telah meningkat rata-rata sebesar 6,49% pertahun.

b). Energi Minyak bumi, gas dan panas bumi

1). Minyak bumi dan gasKabupaten Subang adalah salah satu daerah penghasil minyak

bumi dan gas alam, bahkan potensi migasnya terbilang cukup besar. Hingga Tahun 2003 tercatat ada 65 sumur telah di ekplorasi yang tersebar di 17 lokasi produksi dengan produksi gas alam mencapai 250 MMSCF dan produksi minyak bumi sebesar 2.100 BOPD per hari.

Data potensi minyak bumi dan gas alam selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Berikut :

Tabel 27. Wilayah Potensi minyak Bumi dan Gas Alam

No Jenis Lokasi Potensi1234

Minyak MentahGas AsosiasiGas Non AsosiasiGas CO2

Pedataran SubangPedataran SubangPedataran Subang

Cikaret

169,5 Juta Barel718,7 BCF

3218,1 BCF+ 497 BCF

Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi 2003

Penerimaan Bagi Hasil dari minyak Alam dan Gas Bumi Tahun 2003 mencapai Rp. 30.354 Milyar, dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun 2002 yaitu sebesar Rp. 23.925,31 Milyar menunjukan kenaikan sebesar 27 %

2). Panas bumi Berdasarkan informasi terakhir dari Geo Soft Asia, wilayah

Kabupaten Subang memiliki kandungan panas bumi (geothermal) yang sangat potensial. Pemboran geothermal pada kedalaman 400 m dapat menghasilkan sumber panas yang cukup untuk kebutuhan energi listrik. Potensi geothermal di Kabupaten Subang dapat dikembangkan sampai 120 Mega Watt. Potensi panas bumi ini hingga sekarang belum di kembangkan secara optimal sebagai sumber energi.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-58

3). Sumber Energi Lainnya - Sumber Daya Biomassa

Biomassa adalah sumber energi yang berasal dari bahan-bahan nabati, termasuk limbah yang berasal dari manusia dan hewan. Biomasa ini dapat berbentuk padat, cair dan gas. Biomasa masih banyak dipakai terutama daerah pedesaan, diperkirakan sebesar 40 % dari total pemakai nasional. Di Kabupaten Subang hingga sekarang belum ada data pasti tentang penggunaan biomasa sebagai sumber energi.- Sumber Daya Tenaga Surya

Energi surya mulai dikembangkan sejak tahun 1960-an, yaitu untuk pemanasan. Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup tinggi, yaitu 4.825 Kwh/m2/hari. Secara akumulatif, bila seluruh potensi dimanfaatkan, akan mencapai 9,63 x 106 MW jika diperhitungkan luas daratan Indonesia 2 juta kilometer persegi atau 0,1 % dari luas Indonesia, maka Kabupaten Subang secara potensial memiliki potensi energi surya sebesar 9,63 x 103 MW.- Sumber Daya Tenaga Angin

Energi Angin mulai dikembangkan di Indonesia sejak awal tahun 1970-an oleh LAPAN. Pengembangan tenaga angin sampai sekarang ini terutama adalah untuk pembangkit tenaga listrik skala kecil untuk memompa air laut ke tambak garam, dan untuk aerasi tambak udang. Kecepatan angin di wilayah Pantai Laut Jawa termasuk wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sekitar 4 m/d – 5 m/d, kecepatan ini diperkirakan mampu untuk memutar turbin angin skala kecil. Dilihat dari besarnya potensi sumber daya alam, Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Subang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap pengelolaan, pengendalian, pengembangan dan pemanfaatannya.

H. Sumber Daya Keanekaragaman Hayati.

Keanekaragaman hayati (biodiversitas) diartikan sebagai berbagai ekosistem dan bentangan jenis serta variasi semua hewan, tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup. Setiap individu organisme terdiri atas ribuan gen dalam kombinasi yang unik, spesies terdiri atas banyak individu, dan ekosistem tersusun oleh banyak spesies yang berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan lingkungan fisik. Istilah ini dapat diajukan, baik pada tingkat genetik, spesies maupun ekosistem atau habitat.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-59

Berdasarkan pada batasan tersebut, maka keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu pemberi kontribusi terhadap pembangunan, namun disisi lain untuk beberapa jenis keanekaragaman hayati juga perlu dilestarikan, dengan pertimbangan kelangsungan suatu ekosistem.

Tidak mudah menjelaskan tentang peranan dan pentingnya sumberdaya hayati bagi kelangsungan hidup manusia, lebih khusus lagi sumberdaya genetika. Namun hal ini sangat penting dalam suatu ekosistem, terutama bagi penunjang kehidupan manusia.

Potensi keanekaragaman hayati di Kabupaten Subang umumnya berlokasi di kawasan yang berfungsi sebagai konservasi. Letak kawasan konservasi tersebar menurut ketinggian tempatnya, yakni pada dataran rendah dan dataran tinggi. Seperti tipe ekosistem laut, pantai payau, rawa, rawa pegunungan, hutan tropis dataran rendah/tinggi.

Untuk mencegah kepunahan dari spesies-spesies yang telah dijaga kelestarian dan penurunan potensi sumber daya hutan sudah berlangsung cukup lama, dimulai sejak Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang pokok kehutanan (UUPK), Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang nomr 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya dan peraturan pelaksanaanya. Dengan demikian, secara yuridis kelestarian sumberdaya hutan makin kokoh. Namun kondisi saat ini sangat sulit untuk dipertahankan, karena terjadinya konflik antara kepentingan ekologis dan kepentingan ekonomi.

Suatu pemikiran yang perlu diingat adalah bahwa hilangnya suatu habitat dapat menyebabkan turunnya populasi Flora dan Fauna. Turunnya populasi flora dan fauna akan menggangu tatanan lingkungan hidup, yang akhirnya akan menimbulkan ketidakstabilan lingkungan hidup. Keadaan sebaliknya adalah makin beranekaragam sumberdaya alam hayati, makin stabil tatanan lingkungan.

Adapun jumlah species yang terdata dari hasil identifikasi

sebagaimana dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut :

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-60

Tabel 28. Jenis Flora Dan Fauna Hasil Identifikasi Tahun 2002Pada Kawasan Lindung Kecamatan Tanjungsiang

No.

Jenis kawasan Lindung Jumlah Flora (Jenis/Spesies

)

Jumlah Fauna (Jenis/Spesies

)1. Hutan Lindung 63 172. Kawasan Resapan Air 0 323. Talun/agroforestri 83 -4. Lahan Pekarangan 99 -5. Bantaran Sungai 41 -6. Sekitar Mata ir 61 -7. Kawasan Perlindungan

Setempat67 -

8. Kawasan rawan Gerakan Tanah

43 -

Sumber : Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup

2.1.4 Kondisi Tata Ruang dan Prasarana Wilayah

Berdasarkan UU no. 24 Tahun 1992 Penata Ruang dapat diartikan adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada dan tersedia, agar tercapai pembangunan yang optimal, serasi dan berkelanjutan.

Didalam konteks penata ruang mencakup 3 (tiga) aspek kegiatan, yaitu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan suatu sistem penyelenggaraan pembangunan daerah. Sedangkan prisip dasar ruang adalah pemanfaatan bagi semua kepentingan secara terpadu, efectif, efisien, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, kebersamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Adapun tujuan dari penataan ruang adalah terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselengaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Upaya yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Subang didalam rangka penataan ruang melalui upaya penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Subang yang berupa :

- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-61

- Rencana UmumTata Ruang Kota (RUTRK)/Kecamatan

- Rencana Detail Tata Ruang Kita (RDTRK)

- Dan Rencana Teknik Tata Ruang Kota (RTTRK)

Dari semua rencana tersebut diatas sebagian telah selesai sampai dengan ditetapkannya melalui Peraturan Daerah dan sebagian belum sampai dengan penetapan Perda.

Tabel 29. Produk Rencana Tata Ruang yang sudah di Perdakan

No Produk Rencana Tata RuangTahun

pembuatan

PerdaNo.

tanggal

1 Rencana Tata Ruang Wil. Kab. Subang (RTRW)

1995/1996 28 31-10-96

2 RDTR Zona Industri Kab. Subang 1994/1995 32 31-10-963 Rencana Detail Kawasan Pariwisata Kab.

Subang1996/1997 18 14-03-98

4 RUTR Kota Subang 1995/1996 29 30-10-965 RUTR Kota Kalijati 1993/1994 30 31-10-966 RUTR Kota Pagaden 1993/1994 31 31-10-967 RUTR Kota Jalan Cagak 1996/1997 19 14-03-988 RUTR Kota Pabuaran 1996/1997 21 14-03-989 RUTR Kota Cipeundeuy 1996/1997 20 14-03-98

Tabel 30. Produk Rencana Tata Ruang dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang belum di Perdakan

No Produk Rencana Tata Ruang Tahun Pembuatan1 RUTR Kota Purwadadi 1997/19982 RUTR Kota Ciasem 1997/19983 RUTR Kota Pamanukan 1997/19984 RUTR Kota Cibogo 1997/19985 RUTR Kota Cipunagara 1997/19986 RUTR Kota Patok beusi 20007 RUTR Kota Pusakanagara 20018 RDTR Kota Pamanukan 1998/19999 RDTR Kota Pabuaran 1999/200010 RDTR Kawasan Pantai Utara 1997/1998

Tabel 31 Produk Rencana Tata Ruang Tahun 2002 dan 2003

No. Produk Rencana Tata Ruang Tahun Pembuatan

1 Revisi RTRW Kabupaten 20022 RDTR Kota Cipeundeuy 20023 Penataa teknis Kota-kota 20024 Pengembangan TR kawasan strategis

sagalaherang2002

5 RDTR Kalijati 20036 RDTR Pagaden 20037 Pengembangan Tata Ruang Kawasan

Strategis Ekonomi Tertetntu (Blanakan)2003

8 Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Kelapa, Sarewang dan Pondok Putri (Pantura)

2003

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-62

9 Kajian Rencana Pengembangan Kota Pamanukan

2003

Didalam rangka untuk meningkatkan Koordinasi terhadap kegiatan penataan ruang, maka telah dibentuk Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Kabupaten Subang dengan tugas utama mengkoordirnir kegiatan penataan ruang didaerah dimana dalam pelaksanaannya mengacu kepada UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

A. Pariwisata

Perkembangan kepariwisataan di Kabupaten Subang dapat digambarkan

sebagai berikut :

Tabel 32. Perkembangan Kepariwisataan Kabupaten SubangTahun 2001-2002

No Uraian Satuan

2001 2002 KET

1 Obyek Wisata Buah 15 162 Hotel

/Penginapan/PondokanBuah 60 68

3 Restoran / RM Buah 158 1904 Kunjungan Wisman Orang 34.078 34.6445 Kunjungan Wisnu Orang 2.663.213 3.020.9696 Lamanya Tinggal Hari 1,23 1 Rata

2 Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab Subang 2002

Berdasarkan data pada tabel di atas, diketahui bahwa kegiatan kepariwisataan menunjukan peningkatan yang cukup baik. Peningkatan kegiatan kepariwisataan tersebut, berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat baik langsung maupun tidak langsung, terutama dalam menciptakan lapangan usaha bagi penduduk di sekitar obyek wisata. Tumbuhnya lapangan usaha akibat perkembangan kegiatan kepariwisataan, dapat dilihat dari aktivitas usaha penduduk sekitar obyek wisata, baik berupa jasa, industri kerajinan maupun perdagangan. Kemudian pertumbuhan usaha tersebut, pada gilirannya berpengaruh terhadap pertumbuhan tingkat pendapatan masyarakat.

B. Penyediaan Air Bersih

Pengembangan pelayanan PDAM Kabupaten Subang diarahkan pada upaya peningkatan cakupan pelayanan, melalui peningkatan sambungan langganan (SL). Pada tahun 2002 PDAM telah menambah

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-63

sambungan langganan baru sebanyak 1.815 SL, sehingga jumlah SL sampai dengan tahun 2002 mencapai 18.532 , meningkat 10,86 % dibanding tahun 2001 sebanyak 16.717 SL

Melalui kegiatan pengembangan pelayanan dimaksud, PDAM Kabupaten Subang telah berhasil meningkatkan cakupan pelayanan terhadap penduduk didaerah pelayanan sebesar 0,53 %, yakni dari 35,72% pada tahun 2001 menjadi 36,25 % pada tahun 2002. Cakupan pelayanan tersebut masih jauh untuk memenuhi target Nasional yaitu 80% untuk daerah perkotaan dan 60 % untuk pedesaan. Selanjutnya perkembangan produk PDAM Kabupaten Subang, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 33. Perkembangan Produk PDAM Kabupaten Subang Tahun 2002

No Uraian 2001 2002 Selisih %123

45

6

Sambungan Langganan

Kapasitas Produksi (Lt/Dt)

Produksi ( M3 )Distribusi ( M3 )Terjual ( M3 )

Tingkat Kehilangan Air (%)

16.717194,00

5.416.379

4.857.976

3.492.41228,11

18.532249,00

5.984.607

5.283.067

3.978.43224,69

1.81555,00

568.228

425.091

486.020

5,97

10,8628,3510,49

8,75

13,9221,24

Sumber : PDAM Kabupaten Subang Tahun 2002

C. Transportasi Jalan

Sarana transportasi terutama jalan merupakan pendukung utama dalam menunjang perkonomian daerah sebagai sarana distribusi barang dan jasa di Kabupaten Subang. Untuk itu pemeliharaan dan peningkatan kondisi jalan menjadi prioritas utama dalam pembangunan di Kabupaten Subang.

Apabila dilihat dari jenis permukaan jalan, maka jalan yang ada dapat digolongkan menjadi jalan beraspal, kerikil atau berbatu dan jalan tanah. Walaupun panjang keseluruhan jalan Kabupaten tidak bertambah, tetapi berdasarkan kualitas permukaannya menunjukkan adanya peningkatan. Selanjutnya peningkatan kualitas permukaan jalan tersebut dapat dilihat dari prosentase masing – masing katagori, sebagaimana tabel berikut ini :

Tabel 34. Keadaan Muka Jalan Di Kabupaten SubangTahun 2001-2003

No Jenis PANJANG (KM)

2001 2002 2003 KET1 Aspal 846,64 878,00 910,75

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-64

2

3

Kerikil Batu

Tanah

(82.47%)115,30

(11.23%)64,67

(6.3%)

(85.52%)

83,94(8.18%)

64,67(6.3%)

(85.51%)93,75

(8.89%)59

(5.6%)

JUMLAH 1.026,61 1.026,61 1054.5Sumber : Dinas PU. Kab. Subang Tahun 2003.

Selain melalui pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan, upaya

pemenuhan kebutuhan jalan dilakukan melalui penggerakkan partisipasi

masyarakat, yaitu dengan memberikan stimulan berupa bantuan aspal.

Selanjutnya berdasarkan kewenangan dan fungsinya, kebutuhan jalan diupayakan oleh pemerintah, pemerintah propinsi, kabupaten dan desa, sehingga status jalan pun dapat dibedakan kedalam jalan negara, jalan propinsi, jalan desa dan jalan Kabupaten. Adapun keadaan jalan berdasarkan statusnya sebagaimana table berikut ini.

Tabel 35. Keadaan Jalan Berdasarkan StatusnyaDi Kabupaten Subang Tahun 2002

No Kelas Jalan

Keadaan

2001 2002

Baik Sedang Rusak Jml Baik Seda

ngRusa

k Jml Trend1 Jl.

Negara

- - 45,325 45,325 45,325

- - 45,325

2 Jl. Prop.

115,05 22,92 45,325 137,97 75,94

- 74,65 150,59

3 Jl. Kab.

142,88 177,96

705,77 1.026,61

187,88

219,52

619,21

1.026,61

JUMLAH 257,93

200,88

796,420

1.209,91

309,15

219,52

693,86

1.222,55

Sumber : Dinas PU kab. Subang 2002.

Tabel 36 Keadaan Jalan Berdasarkan Statusnya Di Kabupaten Subang Tahun 2003

No Kelas Jalan

Keadaan

2003

Baik Sedang

Rusak Jml

1 Jl. Negara

57,42 - - 57,42

2 Jl. Prop.

84,64 21,308

28,201

134,123

3 Jl. Kab.

210,9 316,35

527,25

1054,5

JUMLAH 352,93

337,66

555,45

1246,04

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-65

Sumber : Dinas PU kab. Subang

D. Perhubungan Perubahan pola kehidupan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan

konsekwensi logis dari pelaksanaan pembangunan secara umum merupakan faktor dominan dalam pertumbuhan permintaan dan kepengelolaan transportasi. Karena itu, upaya yang dilakukan dalam rangka penataan transportasi harus dilakukan berdasarkan pendekatan kesisteman sehingga mampu menghasilkan konsep penataan yang handal dan menyeluruh.

Pendekatan kesisteman atas penanganan pembangunan transportasi diwujudkan dalam pola gabungan dari komponen-komponen transportasi yang berinteraksi satu dengan lainnya membentuk fungsi transportasi. Komponen-komponen dimaksud adalah sub sistem jaringan, sub sistem lalu lintas dan sub sistem angkutan.

Dalam pendekatan umum undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan ditegaskan bahwa transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Transportasi berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu dilakukan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan lebih luas daya jangkau dan pelayanannya kepada masyarakat dengan memperhatikan sebesar-besarnya kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan serta koordinasi guna penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam kerangka perwujudan sistem transportasi yang handal dan terpadu.

Segala upaya untuk menciptakan suatu sistem transportasi yang efisien dan efektif akan berdampak langsung terhadap peningkatan produktifitas ekonomi.Peningkatan produktifitas ekonomi dapat diwujudkan melalui upaya-upaya :

1. Peningkatan keandalan dan kemampuan jaringan jalan;2. Pengendalian dan pengelolaan angkutan penumpang umum;3. Pengendalian dan pengelolaan angkutan barang;4. Peningkatan kapasitas jaringan jalan5. Pengendalian lalu lintas kendaraan;6. Peningkatan keterpaduan antara kawasan terbangun dengan

transportasi;

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-66

Sebagai bagian dari pembangunan transportasi darat secara keseluruhan bersama dengan transportasi jalan rel, transportasi sungai, danau dan penyebrangan.

Transportasi jalan di kabupaten Subang merupakan transportasi yang paling dominan penyelenggaraan dan pelayanannya

E. Energi Listrik Pengembangan jaringan listrik pedesaan bertujuan untuk

memperluas jaringan pelayanan yang pada gilirannya akan meningkatkan

cakupan pelayanan melalui peningkatan satuan sambungan. Pada akhir

tahun 2001, cakupan pelayanan baru mencapai 60,95 % dari jumlah rumah

tangga di Kabupaten Subang yaitu sebanyak 240.509 pelanggan. Dan pada

akhir tahun 2002 jumlah pelanggan bertambah sebanyak 11.458 pelanggan

atau meningkat sebesar 4,76%, yaitu menjadi 251.957 pelanggan, atau

61,94% dari jumlah rumah tangga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Tabel 37. Perkembangan Pelayanan Listrik Di Kabupaten Subang

NO TAHUN

Luas Wilayah

KAB. (Km2)

JML KEC

JML DESA/

Kel

JML Rumah Tangga

JML PELANGG

AN%

1 S/d 2001 2.051,77

22 251 394.608

240.509 60,95

2 S/d 2002 2.051,77

22 252 406.795

251.957 61,94

Sumber : PLN Subang tahun 2003

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun pelayanan

listrik ini telah menjangkau seluruh desa di Kabupaten Subang, tetapi

belum merata dapat menyentuh penduduk dikampung-kampung terpencil.

Kemudian berkenaan dengan kegiatan pemasangan PJU, sebagai bentuk

upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat pengguna jalan,

khususnya pada malam hari, maka pada tahun 2002 telah dipasang Lampu

Penerang Jalan Umum sebanyak 202 titik yang tersebar di 22 Kecamatan.

Walaupun cakupan pelayanan penerangan jalan umum masih relatif kecil,

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-67

namun dari upaya yang dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah

daerah, telah menunjukkan peningkatan yang cukup baik, yaitu sampai

dengan tahun 2001 sebanyak 402 titik, dan hingga tahun 2002 meningkat

menjadi 604 titik PJU.

F. Kebersihan Perkembangan pengelolaan sampah tersebut, dapat digambarkan

sebagaimana tabel berikut ini.Tabel 38. Perkembangan Pengelolaan Sampah

Di Kabupaten Subang Tahun 2002

No Jenis SatuanJumlah

Ket2001 2002

1 Sampah terangkut M3 43.054 44.0882 Sampah di daur ulang M3 - 3573 Konsumen RT RT 4.987 5.4184 Konsumen Usaha Perusahaa

n423 485

Sumber : Sub Dinas Kebersihan Dinas PU Kab. Subang 2002

2.1.5. Kondisi Kepranataan

A. Peraturan

Good Governance menjunjung tinggi supremasi hukum, bahkan hidup dalam negara hukum, maka penyelenggaraan pemerintahan senantiasa berlandaskan kepada peraturan yang berlaku. Namun demikian, kenyataannya masih banyak kalangan yang meragukan supremasi hukum telah ditegakkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Kondisi masyarakat yang nampak menghendaki kebenaran dan keadilan harus memiliki peluang untuk mendapatkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya keinginan tersebut. Untuk itu masyarakat harus merasakan terjaminnya kepastian hukum.

Bertitik tolak pada pemikiran diatas, maka Pemerintah Daerah dituntut untuk menciptakan peraturan-peraturan yang menjamin kepastian hukum serta mendukung terselengaranya pemerintahan yang menekankan pada kepentingan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dan pelayanan prima.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-68

Pada saat ini, telah diterbitkan beberapa peraturan daerah yang diharapkan mampu untuk mengembangkan pola pikir dan pola tindak yang demokratis. Selain itu telah pula diterbitkan berbagai peraturan daerah lainnya guna mendukung terlaksananya pemerintahan yang desentralistis, antara lain peraturan daerah tentang kelembagaan, peraturan daerah tentang tarif dan lain-lain.

Namun demikian kehidupan masyarakat yang semakin berpikir maju dalam berdemokrasi menuntut kepada Pemerintah Daerah untuk responsif dan antisipatif terhadap perkembangan kebutuhan pengaturan dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan pelayanan prima.

Pengaturan dalam pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menumbuh kembangkan peran serta masyarakat baik dalam bidang sosial budaya maupun sosial ekonomi. Peran serta masyarakat dalam bidang sosial budaya telah nampak jelas terutama dalam pendidikan, kesehatan dan keagamaan, sedangkan peran serta dalam bidang sosial ekonomi terutama nampak pada kegiatan industri. Namun demikian, peran serta masyarakat yang dimaksud diatas harus difasilitasi dengan peraturan perundangan yang jelas dan tegas, agar tercipta jaminan keamanan serta kenyamanan bagi usaha-usaha yang telah ditetapkan.

Pada kenyataan peraturan yang ada masih belum sepenuhnya mewadahi aspirasi masyarakat, sehingga Pemerintah daerah diharapkan mampu menciptakan peraturan yang mengedepankan kepentingan masyarakat dalam berperan serta aktif dalam pembangunan serta menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi investasi serta terciptanya jaminan pelayanan yang prima.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah ditetapkan produk hukum Kabupaten Subang sebanyak 786 buah yang meliputi :

Tabel 39 Perkembangan Produk Hukum Di Kabupaten Subang Tahun 2002

No Produk Hukum Banyaknya1 Peraturan Daerah 572 Keputusan Bupati(Pengaturan) 243 Keputusan Bupati(Penetapan) 6104 Instruksi Bupati 55 Surat Edaran Bupati 96 MOU 81

Jumlah 786Sumber : Bagian Hukum Setda Kab. Subang

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-69

B. Kelembagaan

Paradigma pembangunan yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dan pelayanan prima menggugah pemikiran bahwa dukungan kelembagaan pemerintah sangat menentukan tersedianya peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan prima.

Dilandasi oleh pemikiran diatas, pembangunan kepranataan pada Era Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab adalah mendorong Pemerintah Daerah untuk memantapkan kelembagaan.

Pada awal pelaksanaan Otonomi Daerah, kondisi kelembagaan dihadapkan pada perumusan kebutuhan awal bagi mewadahi seluruh kewenangan yang dimiliki daerah. Namun pada langkah awal tersebut, hanya ditetapkan atas dasar kewenangan dan hasil telaahan pada prinsip ramping struktur kaya fungsi, sehingga belum seluruh kebutuhan daerah terpenuhi dalam pembentukan kelembagaan.

Kelembagaan Pemerintah Daerah harus berorientasi pada kebutuhan Pelayanan Prima bagi masyarakat. Pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal sehingga perlu dipikirkan agar dimasa yang akan datang pelayanan pemerintah tersebut diarahkan untuk kepuasan masyarakat melalui upaya yang dilandasi oleh pembentukan kelembagaan yang memadai.

Pada saat ini di lingkungan Pemerintah Daerah telah terbentuk organisasi perangkat daerah yang terdiri atas 18 Dinas Daerah, 7 Badan Teknis Daerah, 7 buah Kantor, 22 Kecamatan serta 8 buah Kelurahan. Namun demikian sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Subang sedang menyusun Kelembagaan/Perangkat Daerah sehingga akan terjadi penambahan/pengurangan kelembagaan sesuai dengan kebutuhan daerah.

Adapun perbandingan jumlah jabatan sebelum dan sesudah PP Nomor 8 Tahun 2003 sebagai berikut :

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-70

Tabel 40 Perbandingan Jabatan sebelum dan sesudah PP Nomor 8 tahun 2003

di lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang

No Unit KerjaLama

JumlahEselonLama

II.a II.b III.a III.b IV.a IV.b1 Sekretariat

Daerah 1 3 10 - 33 - 472 Sekretariat DPRD - 1 2 - 4 - 73 Dinas Daerah - 18 83 - 261 - 3624 Lembaga Teknis

Daeraha. Badan - 7 30 - 92 - 129b. Kantor - - 7 - 27 - 34

5 Kecamatan - - - 22 132 - 1546 Kelurahan - - - - 8 40 487 Cabang Dinas - - - - 126 - 1268 UPTD - - - - 46 - 46

Jumlah 1 29 132 22 729 40 953

Lanjutan

No Unit KerjaLama

JumlahEselonBaru

II.a II.b III.a III.b IV.a IV.b1 Sekretariat

Daerah 1 3 10 - 30 - 442 Sekretariat DPRD - 1 3 - 6 - 103 Dinas Daerah - 14 70 - 140 - 2244 Lembaga Teknis

Daeraha. Badan - 3 12 - 24 - 39b. Kantor - - 7 - 28 - 35

5 Kecamatan - - 30 - 180 - 2106 Kelurahan - - - - 13 65 787 Cabang Dinas - - - - - - -8 UPTD - - - - 153 - 53

Jumlah 1 21 132 - 574 65 793Sumber : Bagian Organisasi 2004

Sebagai akibat adanya Peraturan tersebut maka terdapat pemangkasan Jabatan Struktural pada Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang sebanyak 160 Jabatan yang terdiri dari Pengurangan Eselon II sebanyak 8 jabatan, Eselon III

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-71

sebanyak 22 jabatan, Eselon IV.a sebanyak 155 dan penambahan Eselon IV.b sebanyak 25 Jabatan.

C. Pendapatan Daerah

Modal utama bagi terselengaranya pemerintahan daerah yang baik adalah tersedianya pembiayaan bagi penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Oleh karena itu pendapatan daerah merupakan focus bagi pemerintah daerah agar mampu mendukung pelaksanaan proses pembangunan daerah secara optimal.

Pada masa pemberlakuan Otonomi Daerah sebagai sumber hukum bagi penggalian sumber pendapatan adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Pada Undang-Undang tersebut diatas mengingatkan bahwa sumber pendapatan daerah antara lain : pajak daerah, Retribusi Daerah dan perimbangan pusat dan daerah dan lain sebagainya.

Selain itu, pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah tersebut, mengingatkan bahwa dalam kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), harus memperhatikan pendekatan-pendekatan strategis, antara lain : peningkatan efisiensi, produktifitas, kualitas sumber daya manusia, pemeliharaan sarana dan prasarana daerah serta peningkatan pelayanan prima.

Terlepas dari sumber pendapatan yang diperoleh dari perimbangan keuangan, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, yang cenderung diatur oleh Pemerintah Pusat, maka yang perlu dibangkitkan adalah penggalian sumber pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, Pemerintah daerah dituntut memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya lainnya untuk kegiatan yang memberi kontribusi bagi pendapatan asli daerah.

Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka Pemerintah Daerah selain harus memberikan peluang berusaha agar pendapatan masyarakat meningkat, juga harus menciptakan situasi yang kondusif bagi iklim berusaha dan rasa aman bagi investor, agar menanamkan modalnya di Kabupaten Subang, sehingga pada akhirnya akan menumbuhkan laju perekonomian kearah yang semakin baik.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-72

Dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, maka dapat diharapkan setiap usaha yang ada, dapat memberikan kontribusinya pada pendapatan asli daerah. Dengan meningkatnya PAD, maka dapat diharapkan kontribusi PAD terhadap APBD akan semakin bermakna.

Berikut ini gambaran pendapatan APBD tahun 2002 dan 2003 sebagai berikut :

Tabel 41. Perbandingan Pencapaian Pendapatan APBD Kab. Subang Tahun 2002 - 2003

NOPOS

PENERIMAAN

REALISASITAHUN 2002

( Rp )

TAHUN 2003TARGET REALISASI %

1. Pajak Daerah 6.709.522.355,00

8.440.000.000,00 9.330.673.272,00 110,55

2. Retribusi Daerah

18.613.263.537,10

20.502.531.000,00

20.631.940.974,00 100,63

3. Bagian Laba Usaha Daerah

961.292.465,75

1.085.933.171.00 1.108.829,068,14 102,11

4. Llain-lain Pendapatan

4.272.081.156,42

4.770.886.783,00 5.695.148.441,42 119,37

5. Bagi Hasil Pajak

21.672.812.361,00

20.650.000.000,00

29.928.345.482,00 144,93

6. Bagi Hasil Bukan Pajak

24.494.607.929,15

33.502.200.000,00

31.122.690.840,00 92,89

7. D A U 258.938.908.250,00 .

330.620.000.000,00

331.157.101.000,00 100,16

8 D A K - 12.000.000.000,00

12.000.000.000,00 100,00

9.

Penerimaan dari Propinsi

17.545.006.051,98

16.850.000.000,00

25.275.199.309,00 150,00

J U M L A H 376.472.933.772,89

448.421.550.954,00

466.249.927.387,00

103,97

Sumber : Dipenda Kabupaten Subang Tahun 2003

Kenaikan pajak daerah itu sendiri mencapai 39,06 %, , yakni dari Rp. 6.709.522.355,00 pada tahun 2002 menjadi Rp. 9.330.673.272,00 pada tahun 2003. Selanjutnya mengenai perkembangan pajak daerah dapat dilihat sebagaimana tabel dibawah ini:

Tabel 42. Perkembangan Penerimaan Pajak DaerahKabupaten Subang Tahun 2002 - 2003

No Jenis PajakRealisasi

Tahun 2002 ((Rp.)

Tahun 2003TARGET REALISASI %

1. Pajak Hotel dan Restoran

1.091.297.013,00

1.200.000.000,00

1.393.875.739,00 116,16

2. Pajak Hiburan 1.509.386.887,00

1.600.000.000,00

1.844.056.949,00 115,25

3. Pajak Reklame 121.562.150, 190.000.000, 193.341.696, 101,76

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-73

00 00 25 4. Pajak Pengambilan

dan Pengo-lahan Bahan Galian Golongan C

263.590.180,00

250.000.000,00

225.271.465,00 90.11

5. Pajak Penerangan Jalan

3.524.446.950,00

4.900.000.000.00

5.442.349.972.75 111.07

6. Pajak Sarang Burung Walet

201.326.500,00

300.000.000.00

231.777.500,00 77,26

J U M L A H 6.711.609.680,00

8.440.000.000,00

9.330.675.272,00

110,55

Sumber : Dipenda Kabupaten Subang Tahun 2003

Dari tabel diatas, diketahui bahwa penerimaan setiap jenis pajak daerah dapat melampaui target yang ditetapkan, kecuali untuk pajak bahan galian golongan C, yang hanya mencapai 90.11% dan Pajak Sarang Burung Walet mencapai 77,26%

Rendahnya pencapaian target penerimaan pajak galian golongan C. dipengruhi oleh kebijakan pemerintah Kabupaten Subang, yang membatasi pemeberian izin atas kegiatan penambangan galian golongan C. Pembatasan tersebut dilakukan karena eksploitasi bahan galian golongan C secara besar-besaran, ternyata berdampak negatif terhadap infra struktur yang ada, terutama jalan. Kemudian tidak tercapainya penerimaan dari Pajak Pengambilan Sarang Burung Walet dikarenakan masih rendahnya kesadaran wajib pajak dan domisili wajib pajak banyak diluar Kabupaten Subang.

Selanjutnya berkenaan dengan perkembangan penerimaan retribusi daerah, dapat dilihat sebagaimana tabel dibawah ini :

Tabel 43. Perkembangan Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten Subang Tahun 2003

No Jenis RetribusiRealisasi

Tahun 2002Tahun 2003

Target Realisasi %1 2 3 4 5 6

1. Pelayanan Kesehatan (RSU)

14.617.358.089,00

14.055.000.000,00

14.368.657.289,00 102,23

2. Retribusi Pelayanan Kesehatan

1.578.389.000,00

1.521.271.871,00 96,38

3. Pelayanan Persampahan

316.838.140,00

350.000.000,00

350.120.490,00 100,03

4 Biaya Cetak KTP & Akte Casip

803.352.000,00

1.140.000.000,00

1.181.192.500,00 103.61

5. Parkir 120.115.080,00

155.000.000,00

155.263.020,00 100,17

6. Terminal 140.110.000,0 145.404.000, 146.004.100,0 100,41

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-74

0 00 07 Ijin Trayek 32.093.750,00 33.000.000,0

0 33.376.250,00 101,14

8 Retribusi Pasar 436.846.000,00

465.072.000,00

427.407.525,00 91,90

9 Pemakaian Kekayaan Daerah

118.489.076,00

144.000.000,00

152.851.000,00 106,15

10 Pasar Hewan 26.814.850,00 30.000.000,00 31.775.500,00 105,92

11 Rumah Potong Hewan 97.197.000,00 110.000.000,

00107.023.500,0

0 97,2

9 12 Pemeriksaan

Kes.Hewan/Ternak293.639.850,0

0325.000.000,

00354.474.900,0

0 109,

07 13 Penj.Produksi Usaha

Daerah 79.200.000,00 89.000.000,00 89.718.500,00 100,8

1 14 Pelelangan Ikan 417.065.136,0

0530.000.000,

00457.724.076,3

5 86,36 15 Ijin Peruntukkan

Penggunaan Tanah152.939.785,0

0200.066.000,

00201.213.500,0

0 100,

57 16 Ijin Mendirikan

Bangunan659.083.061,1

0550.000.000,

00550.446.306,6

5 100,0

8 17 Ijin Gangguan 109.338.810,0

0115.000.000,

00 81.043.936,00 70,47 18 TDP 22.655.000,00 22.000.000,0

0 5.080.000,00 23,09 19 Uji Kendaraan 112.909.140,0

0175.000.000,

00192.849.100,0

0 110,

20 20 Usaha Pariwisata 42.771.200,00 50.000.000,0

0 50.035.000,00 100,07

1 2 3 4 5 6

21 Ijin Usaha Pertambangan 21.331.250,00 65.000.000,0

0 65.804.500,00 101,24

22 MCK - 10.000.000,00

10.525.000,000

105,25

23 Ijin Telematika - 30.000.000,00 12.500.000,00 41,67

24 Ijin Pengangkutan Pohon Kayu dan penggunaan gergaji

5.866.320,00 24.000.000,00 21.749.620,00 90,6

2 25 Retribusi Ketenaga

Kerjaan - 91.600.000,00 28.113.331,00 30,6

9 J U M L A H 18.626.013.53

7,1020.502.531,0

0,1320.631.850.21

3,00 100,63

Sumber : Dipenda Kabupaten Subang Tahun 2003

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penerimaan retribusi daerah tahun 2002, memperlihatkan peningkatan sebesar 10,77 % bila dibandingkan dengan penerimaan tahun 2002 yakni dari RP. 18.626.013.537,87 menjadi Rp. 20.631.850.213,00. Peningkatan tersebut selain disebabkan oleh naiknya penerimaan masing-masing jenis retribusi.

Selanjutnya apabila diperhatikan pencapaian target pada masing-masing jenis retribusi, ternyata masih terdapat 9 (sembilan) jenis retribusi yang tidak dapat mencapai target penerimaan tahun 2003, yakni Pelayanan Kesehatan, Pelayanan Pasar, Rumah Potong Hewan, Ijin Gangguan,

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-75

Pelelangan Ikan, TDP, Ijin Telematika, Ijin Pengangkutan pohon kayu dan gergaji dan Retribusi Ketenaga kerjaan.

Tidak tercapainya target penerimaan ketiga jenis retribusi tersebut, disebabkan oleh :1. Terjadinya perubahan aturan kewenangan,2. Adanya perpindahan lokasi Pasar dan pertokoan3. Adanya perubahan cuaca, khususnya bagi para nelayan,4. Adanya retribusi baru5. Belum optimalnya pelaksanaan di lapangan6. Terjadinya perubahan minat konsumsi

D. Aparatur Daerah

Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan adalah tersedianya aparatur yang berkualitas dalam jumlah yang memadai. Aparatur Pemerintah Daerah yang tersedia pada Tahun 2003 berjumlah 11.862 orang dengan kualifikasi yang beragam, baik dilihat dari golongan kepangkatan maupun dari latar belakang pendidikan.

Berikut ini gambaran PNS dilihat dari jenis kepegawaian, golongan dan Pendidikan sebagai berikut :

Tabel 44 Jumlah PNS Kabupaten Subang dilihat dari Jenis Kepegawaian, Golongan dan Pendidikan

Tahun 2001-2003

Uraian 2001 2002 2003A. Jenis Kepegawaian

1.PNSD DO 12.101 12.094 11.862 2.PNSD DPB - - - 3.PNSD DPK - - - JUMLAH 12.10

112.094 11.862

B. Golongan Ruang 2001 2002 2003 1.I (Juru) 621 406 356 2.II (Pengatur) 3.384 2.799 2.723 3.III (Penata) 7.590 7.484 7.431 4.IV (Pembina) 606 1.405 1.352 JUMLAH 12.10

112.094 11.862

C. Pendidikan Formal 1.SD 940 912 902 2.SMP 455 460 438 3.SMA 8.085 8.095 7.943

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-76

4.Sarmud 732 652 636 5.S-1 1.859 1.909 1.878 6.S-2 30 66 65 JUMLAH 12.10

112.094 11.862

Sumber : BKD Kab Subang 2003

Dilihat dari pendidikan kondisi aparatur Pemerintah Daerah yang ada pada Tahun 2003 adalah pendidikan SD sebanyak 7,60 %, SMP sebanyak 3,69 %, SMA sebanyak 66,96%, D3 sebanyak 5,36%, S1 sebanyak 15,83 % dan S2 sebanyak 0,55%. Sedangkan dilihat dari golongan adalah sebagai berikut : Gol I sebanyak 3 ,00%, Gol II sebanyak 22,96%, Gol III sebanyak 62,65% dan Gol IV sebanyak 11,40 %.

Dari gambaran kondisi di atas bahwa umumnya Aparatur Pemda lebih mengandalkan pada pengalaman dibandingkan dengan peningkatan kualitas pendidikan.

2.2 ISU STRATEGIS KABUPATEN SUBANGDari kondisi umum yang telah disampaikan sebelumnya dapat kita rangkum permasalahan daerah yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang sebagai berikut:

2.2.1 Aspek Sumber Daya ManusiaPermasalahan daerah yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang dari Aspek Sumber Daya Manusia adalah :

1) Indeks Pendidikan masyarakat masih relatif rendah

Pembangunan SDM ditinjau dari segi pendidikan mengalami peningkatan walaupun peningkatan tersebut dirasakan masih belum optimal. Sebagai contoh rata-rata lama sekolah di Kabupaten Subang pada tahun 2003 relatif rendah hanya mencapai 6.51 tahun dari 9 tahun yang ditargetkan melalui Program Wajar Dikdas. Demikian pula Angka Melek Huruf yang hanya mencapai 87,78 %. Kedua indikator pembentuk Indeks pendidikan tersebut bila dibandingkan dengan Kabupaten lain di Jawa Barat relatif rendah hanya menduduki urutan bawah.

2) Tingkat kemiskinan dan pengangguran relatif tinggi

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-77

Pertumbuhan ekonomi yang membaik ternyata belum mampu diimbangi oleh penurunan angka kemiskinan sebagaimana data BKKBN (dari Jumlah KK Pra KS) yang pada tahun 2002 sekitar 112 ribuan KK, atau berdasarkan data statistik sekitar 16,59% sehingga perlu diupayakan konsep pertumbuhan yang diimbangi pemerataan kesejahteraan.

Begitu pula tingginya angka pengangguran tahun 2002 sebesar 60 ribuan jiwa menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi belum diimbangi oleh membaiknya dunia usaha.

3) Kualitas dan keterampilan tenaga kerja masih rendah dan kurang berdaya saing tinggi

Dengan indikasi rata-rata lama sekolah pada tahun 2003 yang mencapai 6,51 tahun menandakan bahwa masyarakat Subang yang sebagian besar bermata pencaharian petani belum sepenuhnya menggunakan konsep pertanian agribisnis modern sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memenuhi sektor tersebut tidak memerlukan kualifikasi yang lebih tinggi.

4) Masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya lokal

Kondisi fisik Kabupaten Subang yang berdekatan dengan ibukota negara dan ibukota propinsi selain mempunyai nilai positif bagi Kabupaten juga mempunyai nilai yang kurang menguntungkan bagi perilaku kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Budaya-budaya yang masuk dari berbagai daerah terutama yang datangnya dari luar negeri perlu diadakan filterisasi sesuai dengan keadaan dan kondisi sosial budaya masyarakat, jika tidak hal ini merupakan ancaman bagi masyarakat Subang dalam membangun kebudayaan asli daerah.

5) Keterpaduan dan kemitraan antar pelaku pembangunan masih belum optimal

Sebagaimana paradigma baru pembangunan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus bersifat demokratis dan aspiratif artinya bahwa keterlibatan pelaku-pelaku pembangunan sangat diharapkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian. Namun demikian keterpaduan dan kemitraan tersebut belum optimal di jalankan oleh semua pelaku pembangunan. Untuk

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-78

itu pemerintah Kabupaten Subang akan terus mengembangkan budaya gotong royong yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Subang dalam rangka menggalang kebersamaan memecahkan berbagai permasalahan demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat

6)Kesetaraan gender belum optimal

Berdasarkan data statistik tahun 2002 persentase pendidikan yang ditamatkan dari berbagai jenjang pendidikan menunjukkan perempuan berada di bawah persentase laki-laki. Persentase Tidak tamat SD/belum sekolah untuk perempuan 48,32%, Laki-laki 37,70 %, SD sederajat untuk perempuan 36,33 % laki-laki 36,50 %, SLTP sederajat untuk perempuan 9,84 % laki-laki 13,54 %, SLTA sederajat untuk perempuan 4,69 % laki-laki 11,00 %,akademi/universitas untuk perempuan 0,82 % laki-laki 1,26 %. Keadaan tersebut harus menjadi perhatian yang serius mengingat perempuan sebagai calon ibu rumah tangga memegang peranan yang sangat penting dalan menunjang pendidikan anak di keluarga.

2.2.2 Aspek EkonomiPermasalahan strategis yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang dari Aspek Ekonomi adalah :

1) Perkembangan ekonomi masih belum signifikan melebihi kondisi sebelum krisis ekonomi

Kondisi perekonomian daerah yang cukup membaik ditandai dengan meningkatnya PDRB ADHK tahun 2003 sebesar Rp. 1.95 Triliun masih belum signifikan melebihi kondisi sebelum krisis ekonomi Tahun 1997 sebesar Rp. 1.72 Triliun.

2) Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi tidak sebanding dengan tenaga kerja di sektor tersebut.

Berdasarkan data statistik jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 57,82 %. Jumlah tenaga kerja tersebut hanya mampu menghasilkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi sekitar 38,01 %. Dengan demikian bahwa terjadi inefisiensi dan inefektifitas terhadap sumber daya manusia di sektor pertanian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan para petani yang relatif masih rendah, sehingga pola usaha tani pun masih bersifat tradisional. Untuk itu perlu upaya serius dalam rangka

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-79

peningkatan produktivitas, SDM, manajemen, teknologi, permodalan dan pemasaran, sehingga produknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas dapat bersaing di pasaran.

3) Komoditi hasil pertanian masih belum memiliki daya saing

Pembangunan di sektor pertanian yang menghasilkan kuantitas komoditi pertanian belum disertai dengan harga jual yang memadai, serta sesuai dengan hukum elastisitas bahwa pada saat panen raya harga jual rendah, sedang pada saat paceklik harga jual tinggi dikhawatirkan membuat petani gerah untuk meneruskan usahanya di sektor ini. Kondisi tersebut sangatlah membutuhkan perhatian yang serius mengingat pada tahun 2003 sebagian besar penduduk Kabupaten Subang (57,82%) menghidupi kebutuhannya pada sektor ini. Dengan demikian orientasi kegiatan harus diubah dari product oriented menjadi market oriented.

4) Komoditi industri kecil menengah di Kabupaten Subang pada umumnya masih belum menggembirakan, baik dilihat dari aspek produktivitas, SDM, manajemen, teknologi, permodalan dan pemasaran, sehingga produknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas kurang mampu bersaing di pasaran.

5) Minat investasi belum menggembirakan

Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar dunia dengan 200 juta jiwa penduduknya sebenarnya merupakan daya tarik tersendiri bagi investor untuk menanamkan sahamnya di Indonesia serta di Kabupaten Subang. Karena selain bahan bakunya mudah tersedia juga disebabkan pola hidup masyarakatnya yang konsumtif. Berdasarkan data dari Forum Kerjasama dan Koordinasi Perencanaan Penanaman Modal Daerah (FKKPPMD) perkembangan minat penanaman modal selama lima tahun terakhir (1997-2001) menunjukan sebanyak 1883 proyek (PMDN) dengan nilai investasi Rp. 385,2 trilliun sebanyak 453 (24%) berlokasi di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa Barat masih merupakan lokasi yang diminati oleh investor baik dalam maupun luar negeri. Namun berdasarkan data BPPMD Kabupaten Subang pada Tahun 2000 nilai investasi di kabupaten Subang mencapai Rp, 2,4 Trilliun, Tahun 2001 sebesar Rp. 10 Milyar, tahun 2002 mencapai 2,6 Triliun dan Tahun 2003 mencapai Rp. 47,9 Milyar. Nilai Investasi yang fluktuatif

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-80

tersebut dirasakan masih belum sesuai dengan harapan sehingga perlu dilakukan terobosan-terobosan seperti kemudahan prosedur perijinan, studi kelayakan investasi, jaminan kepastian hukum serta peningkatan sarana prasarana lainnya.

6) Potensi kepariwisataan belum berkembang.

Dilihat dari letaknya yang strategis dan dilalui oleh jalan yang menghubungkan kota Jakarta-Cirebon, Jakarta-Bandung dan sebagainya, maka sektor pariwisata sebenarnya mempunyai peluang yang sangat potensial, namun penanganannya belum mampu meningkatkan kunjungan wisatawan secara signifikan guna meningkatkan pendapatan daerah. Untuk itu pemerintah Kabupaten Subang perlu mengupayakan peningkatan sarana prasarana penunjang kepariwisataan.

7) Informasi Pasar terutama untuk komoditi pertanian dan industri kecil belum optimal.

Para Petani dan pengusaha Industri kecil masih merasa kesulitan dalam menjual produk yang dihasilkan dengan harga yang menguntungkan.

Untuk itu Pemerintah Kabupaten Subang harus mengupayakan terbentuknya Sistem Informasi Pasar yang menjembatani kebutuhan konsumen dan produsen secara terpadu.

8) Belum meratanya teknologi pasca panen yang dimiliki petani

Teknologi pasca panen pada tanaman padi belum merata diterapkan oleh petani termasuk penggunaan alat dan mesin pasca panen sehingga kehilangan hasil masih tinggi.

9) Keterkaitan industri besar dan menengah dengan industri kecil belum optimal

Industri kecil yang tumbuh pada saat kondisi seperti ini dirasa sangat memerlukan dukungan baik pengetahuan/binaan, modal maupun dukungan dalam memasarkan produk yang dihasilkan. Hal yang ideal tersebut dirasakan masih belum optimal sehingga industri kecil kesulitan dalam meningkatkan usahanya.

10)Eksplorasi hasil laut oleh para nelayan luar yang memiliki peralatan lebih maju

Kondisi para nelayan di Kabupaten Subang pada umumnya masih menggunakan peralatan tradisional dengan skala usaha yang relatif

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-81

kecil, sedangkan para nelayan di luar kabupaten Subang sudah mempunyai peralatan yang lebih maju dengan skala usaha relatif besar,sehingga dikhawatirkan adanya eksplorasi dari lain daerah. Untuk itu diperlukan adanya penyempurnaan berbagai fasilitas baik piranti hukum, pengamanan, peralatan penangkapan maupun tempat pendaratan hasil tangkapan ikan yang memadai.

2.2.3 Aspek Sumber Daya Alam dan Lingkungan HidupPermasalahan strategis yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang dari Aspek Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah :

1) Kesadaran terhadap kelestarian lingkungan masih kurang.

Meskipun isu lingkungan hidup sudah merupakan isu global namun sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memiliki kesadaran dan kepedulian dalam pelestarian lingkungan. Perusakan dan perambahan hutan, meluasnya lahan kritis, meningkatnya polusi air, tanah dan udara merupakan beberapa indikator lemahnya kesadaran terhadap lingkungan.

2) Terjadinya pendangkalan pada saluran–saluran tambak dan muara sungai, sehingga menghambat proses usaha bidang perikanan

3) Ancaman Bencana alam

Kabupaten Subang merupakan daerah yang cukup lengkap karena memiliki gunung, Daerah Aliran Sungai, Laut dan sebagainya. Dikatakan lengkap karena tidak semua daerah memiliki kekayaan tersebut. Disamping kekayaan kawasan tersebut sebagai potensi, kita tetap harus waspada terhadap ancaman bencana baik gunung, bencana banjir, gempa bumi dan lain-lain. Untuk itulah Kabupaten Subang harus terus berupaya mengeliminir kejadian bencana alam tersebut melaui program-program preventif seperti pengendalian lingkungan, sedangkan untuk tindakan penanganan bencana alam melalui pembentukan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satlak PBP).

2.2.4 Aspek Tata Ruang dan Prasarana WilayahPermasalahan strategis yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang dari Aspek Tata Ruang dan Prasarana Wilayah adalah :

1) Pemanfaatan Penataan Ruang belum optimal.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-82

Penataan ruang merupakan instrumen pembangunan yang mengarahkan pemanfaatan ruang, namun sejauh ini masih ada masyarakat atau pelaku pembangunan lainnya yang tidak mengindahkan aspek ijin peruntukan dan penggunaan tanah (Perda Nomor 11 tahun 2000), sehingga perlu upaya optimalisasi komitmen antar pelaku pembangunan.

2) Kondisi Sarana dan Prasarana Dasar yang belum memadai.

Sarana dan prasarana dasar yang terdiri dari pendidikan, kesehatan , jalan, air dan listrik merupakan hal yang prioritas mengingat penyediaan tersebut sangat mempengaruhi terhadap peningkatan sektor lainnya. Namun penyediaan sarana tersebut membutuhkan biaya yang relatif besar, sementara tingkat kerusakan pun tergantung pada berbagai aspek seperti cuaca, tingkat cakupan pelayanan dan unsur teknis lainnya. Sebagai contoh tingkat kerusakan jalan pada tahun 2003 sepanjang 527,25 km (50%) dari panjang jalan Kabupaten 1.054,5 Km.

Demikian pula tingkat pencapaian cakupan pelayanan air bersih baru mencapai 36.25 % atau dibawah target nasional yang menetapkan untuk perkotaan 80%, sedangkan untuk pedesaan 60%.

2.2.5 Aspek Kepranataan Permasalahan strategis yang menjadi isu strategis Kabupaten Subang dari Aspek Kepranataan adalah :

1) Kapasitas kinerja Pemerintah belum optimal

Perlu diakui bersama bahwa kinerja pemerintah belum optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya keluhan masyarakat terhadap hasil pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah.

2) Pendidikan formal Aparatur relatif rendah

Berdasarkan data kepegawaian bahwa jumlah pegawai di tinjau dari pendidikan formal masih relatif rendah dimana rinciannya sebagai berikut : SMA sebanyak 7.943 orang (66,96%), S-1 sebanyak 1.878 orang (15,83%) SD sebanyak 902 orang (7,6 %), D-3 sebanyak 636 orang (5,36%,), SMP sebanyak 438 orang (3,69 %) dan S-2 sebanyak 65 orang (0,55%). Sedangkan dilihat dari golongan adalah sebagai berikut : Gol I sebanyak 3,0 %, Gol II sebanyak 22,96%, Gol III sebanyak 62,65% dan Gol IV sebanyak 11,40 %

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-83

BAB III

VISI DAN MISI

3.1. VISI

Perubahan paradigma yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dilaksanakan diantaranya melalui pembaharuan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang komprehensif dengan melibatkan semua komponen masyarakat, demokratis, dan memberdayakan masyarakat, serta mengharuskan daerah memiliki Visi. Visi tersebut merupakan cara pandang jauh kedepan/cita-cita yang ingin dicapai masyarakat sesuai dengan potensi dan permasalahan yang dimiliki dalam rangka meningkatkan kesejahteraan daerah.

Penetapan Visi tersebut didasari suatu pengkajian terhadap potensi Kabupaten Subang. Dengan demikian Visi Kabupaten Subang Tahun 2005-2024 diformulasikan sebagai berikut :

“Terwujudnya Kabupaten Subang sebagai Daerah Agribisnis, Pariwisata, dan Industri yang Berwawasan Lingkungan dan Religius serta Berbudaya melalui Pembangunan berbasis Gotong Royong Pada Tahun 2024”

Pengertian – Pengertian dalam Visi Kabupaten Subang :

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-84

- Daerah Agribisnis : Suatu daerah yang sistem manajemen pertaniannya berorientasi kepada bagaimana agar produk-produk pertanian memiliki daya saing/daya tarik di pasar melalui serangkaian kegiatan usaha tani, produksi, pengolahan pasca panen dan pemasaran (On Farm - Off Farm) sehingga petani memperoleh nilai tambah (add value) dari produk-produk pertanian.

- Daerah Pariwisata : suatu daerah/kawasan yang Sumber Daya Alam, Seni dan Budayanya memiliki pesona daya tarik pengunjung untuk menikmati keindahan alam, seni dan budayanya.

Agar pesona alam, seni dan budaya tersebut lebih menarik untuk dikunjungi/dinikmati diperlukan suatu sistem manajemen kawasan-kawasan wisata serta pesona seni dan budaya yang berorientasi kepada bagaimana agar produk-produk pariwisata, seni dan budaya memiliki daya saing/daya tarik di pasar melalui serangkaian proses (Promosi, pembenahan SDM, perbaikan

infrastruktur, dsb) sehingga memperoleh nilai tambah (add value) dari produk-produk tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.

- Daerah Industri : suatu daerah/kawasan yang memiliki beberapa hasil proses produksi (menghasilkan suatu barang dan jasa) baik skala rendah (Industri rumah tangga), skala menengah dan skala besar.

Agar daerah tersebut dapat menarik investor menanamkan sahamnya baik usaha berskala menengah maupun besar perlu berbagai prasyarat diantaranya : iklim usaha yang kondusif, jaminan hukum untuk berusaha, infrastruktur yang memadai dsb.

- Berwawasan Lingkungan : Pembangunan tersebut haruslah memperhatikan daya dukung lingkungan mengingat SDA sifatnya terbatas, sehingga rasionalisasi pemanfaatan SDA akan menjamin kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan

- Religius : Pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Subang harus dilandasi dan mampu meningkatkan kualitas kehidupan beragama dalam rangka menumbuhkan kecerdasan intelegen (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan Sosial (ScQ).

- Berbudaya : Pembangunan Daerah harus diwujudkan melalui upaya-upaya yang dalam pelaksanaannya harus berpegang teguh nilai-nilai budaya yang mengakar di masyarakat

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-85

- Gotong Royong : Sebagaimana paradigma baru pembangunan bahwa penyelenggaraan pembangunan daerah harus melibatkan semua komponen pembangunan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan. Keterlibatan tersebut dilakukan untuk menggalang kebersamaan memecahkan berbagai permasalahan demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsep Pembangunan yang dilaksanakan harus menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya, sehingga pihak pemerintah mampu mendorong dan meningkatkan kemampuan kreativitas serta prakarsa masyarakat dan dunia usaha dalam seluruh proses pembangunan. Dengan demikian substansi gotong royong adalah keadilan dalam hal kesempatan, globalisasi, akses, transparan, akuntabilitas, responsible, aspiratif, dan pemberdayaan masyarakat.

Oleh karena itu budaya gotong royong yang telah mengakar di masyarakat Subang akan senantiasa dikembangkan dalam upaya memecahkan permasalahan tersebut demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Subang.

3.2 . MISI

Misi merupakan penjabaran dari Visi yang memuat tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu melalui penerapan strategi yang terpilih. Perumusan Misi pun telah memperhatikan masukan-masukan pelaku pembangunan, sehingga Misi Kabupaten Subang tersebut adalah :

1 Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang sehat, berpendidikan, berakhlak, berbudaya, produktif, mandiri, maju, dan berdaya saing.

2 Memanfaatkan dan mengembangkan Potensi Agribisnis, Pariwisata, Industri dan Sumber Daya Alam spesifik lokalita berdasarkan tata ruang yang berwawasan lingkungan, berdaya saing dan berkelanjutan.

3 Meningkatkan aparatur yang profesional, berdaya guna dan bebas KKN serta komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

4 Membuka peluang sebesar-besarnya sebagai daerah yang menarik untuk investasi.

5 Meningkatan Pola Kemitraan, Gotong Royong dan Keterpaduan antar pelaku pembangunan guna mewujudkan Subang sebagai Daerah Agribisnis, Pariwisata dan Industri.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-86

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-87

B AB IV

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KABUPATEN SUBANG

Pembangunan Kabupaten Subang tidak lepas dari tuntutan dan tantangan yang diterjemahkan dalam Visi dan Misi Kabupaten. Keberhasilan pencapaian Visi dan Misi tersebut sangat ditentukan oleh komitmen dan kesepakatan bersama seluruh pelaku pembangunan yang ada, baik itu partisipasi masyarakat, dunia usaha, DPRD serta kebersamaan Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten. Keterpaduan pilar pembangunan tersebut di jalin oleh ikatan yang kuat melalui Budaya Gotong Royong.

Pola gotong royong dan keterpaduan tersebut dirasakan akan sangat efektif untuk menggalang kebersamaan memecahkan berbagai permasalahan demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat, seiring dengan perubahan paradigma pembangunan dimana masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, sementara peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan motivator. Konsep pembangunan yang dilaksanakan harus menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya, sehingga pihak pemerintah mampu mendorong dan meningkatkan kemampuan kreativitas serta prakarsa masyarakat dan dunia usaha dalam seluruh proses pembangunan.

Untuk itulah segenap komponen pembangunan baik itu pemerintah, legislatif, swasta, maupun masyarakat haruslah memiliki tekad yang sama dan mengembangkan budaya gotong royong yang telah mengakar di masyarakat Subang untuk berupaya mewujudkan Visi Kabupaten Subang serta memerdekakan masyarakat Subang secara hakiki melalui pengembangan kecamatan dan desa di berbagai bidang prioritas kabupaten seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan peningkatan sarana prasarana dasar.

Sejalan dengan itu bahwa Arah dan Kebijakan Pembangunan Kabupaten Subang sangat berkaitan dengan pembangunan manusia dan menurut definisi UNDP (1990), Pembangunan manusia adalah proses memperluas pilihan-pilihan penduduk (Enlarging the choices of people). Terdapat tiga pilihan dari sekian banyak pilihan yang dianggap relevan, yaitu sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berkemampuan untuk akses ke sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup layak. Dalam istilah bahasa Sunda “Cageur, bageur, bener, pinter tur singer”.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-89

Arah dan Kebijakan Pembangunan Kabupaten Subang ditujukan pula untuk menaikan tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Konsep pertumbuhan ekonomi tersebut secara luas harus dapat mengangkat tingkat pendapatan masyarakat miskin, sebab pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan intervensi terhadap masalah kemiskinan akan meningkatkan disparitas pendapatan penduduk dan lebih jauh gejolak sosial pun tidak bisa dihindari.Sebagaimana yang telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa sumbangan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Subang baik sebelum krisis ekonomi maupun pasca krisis ekonomi dicapai melaui Bidang Pertanian, Perdagangan Hotel dan Restauran serta industri khususnya industri kecil dan menengah. Dengan demikian upaya peningkatan pertumbuhan tersebut dicapai melalui peningkatan produktivitas, produk yang berdaya saing, akses pasar, pemberdayaan UKM, penggunaan teknologi dan lain sebagainya sehingga meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan penduduk.

Arah dan Kebijakan Pembangunan Kabupaten Subang diformulasikan melalui pendekatan wilayah dan sektoral yang secara sinergis diharapkan dapat menjadi pedoman bagi seluruh pelaku kunci pembangunan .Arah dan Kebijakan Pembangunan tersebut adalah sebagai berikut :1. Meningkatkan kualitas SDM yang berkualitas dan berakhlak serta menjunjung tinggi

nilai-nilai budaya daerah.2. Mengembangkan perekonomian yang berbasis kerakyatan dan berdaya saing. 3. Mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih, inovatif, dinamis serta penuh

tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

4. Menegakan supremasi hukum dalam upaya membangun sistem politik yang demokratis.

5. Menjamin stabilitas keamanan yang kondusif guna mendukung percepatan pulihnya kehidupan sosial ekonomi.

6. Memanfaatkan SDA secara bijaksana serta menjaga kualitas lingkungan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

7. Mengoptimalkan pemanfaatan ruang dan meningkatkan infrastruktur wilayah yang dapat mendorong tertatanya pusat-pusat kegiatan wilayah dan investasi.

8. Mendorong partisipasi masyarakat dan mengembangkan budaya gotong royong dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Subang

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-90

B AB V

KAIDAH PELAKSANAAN

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan arah bahwa pembangunan daerah harus berlandaskan pada kondisi dan potensi masing-masing daerah. Paradigma baru pembangunan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, sementara Pemerintah sebagai motivator dan fasilitator. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam pengelolaan pembangunan yang selama ini didominasi oleh birokrat

Good governance (kepemerintahan yang baik) merupakan issue utama didalam pengelolaan urusan publik maupun privat dewasa ini. Pemerintahan yang bersih (clean government) akan ditentukan oleh adanya masyarakat yang bersih (clean society). Dengan demikian selalu terkait antara kepengurusan suatu urusan oleh masyarakat maupun kepengurusan suatu urusan publik oleh pemerintahan.

Konsep Good Governance dicirikan oleh karakteristik Participation, Rule of law, tranparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness, and efficiancy, accountabillity dan strategi planning. Konsep good governance ini adalah konsep yang mencakup kepengurusan disektor publik maupun privat. Dengan demikian, seberapa besar pemerintah dapat menerapkan konsep ini, akan sangat tergantung kepada seberapa besar sektor privat mampu menerapkannya pula, sehingga antara keduanya akan saling bersinergi.

Pada sektor publik good governace harus dijalankan oleh aparatur pemerintah (pejabat publik) sedangkan pada sektor privat dilakukan oleh para pelaku bisnis (usaha swasta/good cooperate governance). Disamping itu sektor privat, masyarakat dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun harus mampu menjalankan konsep ini.

Dalam penerapan konsep good governance diperlukan kesejajaran antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis. Bagi sektor pemerintahan yang harus dilakukan ialah mengubah cara pandang mengenai fungsi-fungsi pemerintahan dengan melakukan reinventing goverment sebagai acuan dalam pembaharuan manajemen pemerintahan.

Perubahan fungsi pemerintah diarahkan pada pemerintah yang menekankan fungsi katalisasi, antisipasi, dan desentralisasi. Mewujudkan kesejajaran masyarakat dilakukan melalui pemberdayaan dengan memberikan ruang untuk meningkatkan partisipasi dalam masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sedangkan pelaku bisnis diarahkan untuk memiliki tanggungjawab terhadap publik.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-91

Landasan utama pengelolaan pembangunan adalah kepemerintahan yang baik yang dibangun melalui pemerintahan yang bersih, masyarakat dan dunia usaha yang bersih. Dengan demikian dalam pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan kepemerintahan yang baik masing-masing pelaku kunci memiliki peranan penting agar tujuan pembangunan dapat diwujudkan.

Dalam proses pembangunan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah bersama eksekutif berperan membuat peraturan daerah dan memantau pelaksanaannya secara teratur. Kewajiban tersebut diarahkan untuk mempercepat peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan pembangunan sesuai fungsi dan kewenangannya dalam rangka pencapaian tujuan. Peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pembangunan adalah melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh DPRD, melaksanakan pengaturan, menyelenggarakan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat melalui fasilitasi kegiatan-kegiatan masyarakat dan menciptakan suasana yang kondusif, sehat, dan kompetitif bagi seluruh masyarakat Subang. Organisasi dan lembaga non pemerintah dan kelompok lainnya berperan sebagai motivator, mediator, dan memberikan advokasi kepada masyarakat serta memantau kinerja eksekutif dan legislatif. Sementara itu pihak swasta memiliki peran untuk menjadi motor penggerak pelaksanaan pembangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aspek pengendalian yang didalamnya tercakup pengawasan dan evaluasi merupakan instrumen penting dalam pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk internal dan teknis operasional, DPRD dan masyarakat untuk pelaksanaan kebijakan. Upaya tersebut merupakan alat yang efektif bagi keberhasilan pembangunan. Sinergi antar institusi dan kelompok organisasi dan lembaga non pemerintah serta swasta dalam tahap pengendalian, pengawasan dan evaluasi sebagai upaya mengembangkan kepernerintahan yang baik dapat menjamin pencapaian tujuan pembangunan .

Aspek penting yang berpengaruh dalam keberhasilan pembangunan adalah aspek pembiayaan. Kebijakan pembiayaan diarahkan pada peningkatan prakarsa dan partisipasi masyarakat melalui pendayagunaan potensi dana yang berasal dari swasta, dan masyarakat dengan pola gotong royong. Mengingat proporsi pembiayaan dari masyarakat masih tetap lebih besar dibandingkan sumber pembiayaan pemerintah maka pembiayaan pemerintah diarahkan pada penyediaan prasarana dasar, penyelenggaraan pelayanan publik dan stimulan untuk menggerakkan jalannya roda pembangunan di masyarakat dan dunia usaha.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-92

B AB VI

PENUTUP

Pola Dasar Pembangunan adalah dokumen perencanaan induk pembangunan daerah yang memuat Visi, Misi, Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah dan di tetapkan dengan Peraturan Daerah. Penyusunan dokumen tersebut didasarkan pada kondisi, potensi, permasalahan dan kebutuhan nyata daerah serta aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang di daerah.

Selanjutnya diharapkan Pola Dasar tersebut dapat berperan sebagai jembatan penghubung antara kebijakan yang bersifat komitmen nasional, komitmen masyarakat Jawa Barat, Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten subang serta merupakan pedoman seluruh masyarakat di Kecamatan, Desa dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah guna mewujudkan keserasian pembangunan, pertumbuhan dan kemajuan di berbagai bidang.

Keberhasilan pelaksanaan Pola Dasar ini sangat ditentukan oleh komitmen bersama antara penyelenggara pemerintahan daerah, masyarakat dan swasta. Sehubungan dengan hal itu, maka seluruh pelaksana pembangunan di Kabupaten Subang diharapkan mempedomani Pola Dasar Kabupaten Subang.

Demikian, semoga dokumen ini dapat menjadi acuan pelaksanaan Program dan Kegiatan dalam rangka percepatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Subang.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014

BUPATI SUBANG

E E P H I D A Y A T

II-93

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-94

BAB VII

ARAH KEBIJAKAN PEMBIAYAAN

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Subang menunjukkan pertumbuhan positif yang mana pada tahun 1999 sebesar 2.28 %, tahun 2000 sebesar 4,11% dan Tahun 2001 sebesar 4.47 % dengan penyumbang terbesar adalah sektor riil Pertanian , Industri dan Perdagangan Hotel dan Restaurant.

Dengan menitikberatkan pada pencapaian pertumbuhan sektor riil tersebut diharapkan dapat memberikan dampak/pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pendapatan daerah yang berakibat terhadap peningkatan kemampuan pembiayaan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa pembangunan merupakan hasil bersama antara masyarakat, swasta dengan pemerintah, yang mana pemerintah dengan investasi pemerintahnya berusaha mendrive pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan tidak melupakan aspek pemerataan melalui program/kegiatan yang efektif, rasional, terarah dan terukur.

Berkenaan dengan pembiayaan, pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan penggalian dan pengolahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah seoptimal mungkin, antara lain melalui :

1. Penggalian sumber pendapatan baru dan potensi daerah yang dimungkinkan oleh Undang-undang

2. Penagihan tunggakan pajak dan penyesuaian tarif pajak

3. Menciptakan sistem adminsitrasi keuangan perpajakan daerah

4. Peningkatan pola kerjasama dan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat yang saling menguntungkan

5. Memberdayakan dan meningkatkan peran BUMD dgn lebih profesional

Penerimaan tersebut diperuntukan untuk membiayai belanja daerah melalui Arah kebijaksanaan pembiayaan sebagai berikut :

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-95

1. Anggaran disusun berdasarkan Tupoksi Dinas/badan/lembaga yang telah ditetapkan, ruang lingkup, prioritas kegiatan, jumlah personil, berdasarkan banyaknya sarana/prasarana serta aset yg dimiliki untuk dipelihara pengunaannya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

2. Angggaran diarahkan dan diprioritaskan untuk membiayai program/proyek prioritas terutama kegiatan-kegiatan yang menjadi kewenangan kabupaten sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam rangka memfasilitasi dan memotivasi pencapaian Visi Kabupaten, IPM dan indikator makro lainnya.

3. Sinergisme antar Dinas/Badan/Lembaga dalam penajaman alokasi APBD perlu lebih ditingkatkan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pelaksanaan kegiatan.

4. Perlu dilaksanakan peningkatan kerjasama kelembagaan secara proporsional antara Eksekutif dan Legislatif khususnya dalam perencanaan dan pengawasaan APBD untuk menghindari/mencegah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-96

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-97

BAB VI

KERANGKA ACUAN/PEDOMAN PENGUKURAN DAN

EVALUASI KINERJA

1. KERANGKA PENGUKURAN KINERJA.

Konsep dasar pengukuran kinerja adalah suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkan untuk berperan sebagai mekanisme untuk memberikan penghargaan (reward) atau hukuman (punishment), akan tetapi pengukuran kenerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk memperbaiki kinerja organisasi.

Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Sebenarnya pengukuran kinerja mempunyai makna ganda, yaitu pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja. Untuk melaksanakan kedua hal tersebut, terlebih dahulu ditentukan tujuan dari suatu program secara jelas. Setelah program didesain, haruslah sudah memuat indikator kinerja atau ukuran dari keberhasilan pelaksanaan program tersebut

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-98

sehingga dengan demikian dapat diukur dan dievaluasi tingkat keberhasilannya.

Pengukuran kinerja merupakan jembatan utama perencaan strategis dengan akuntabilitas. Suatu organisasi dikatakan berhasil kalau terdapat indikator-indikator atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Jelasnya pengukuran kinerja merupakan formulasi dari suatu perencanaan strategis yang jelas, operasional dan terukur, sehingga diharapkan adanya suatu pembenaran logis dan argumentasi yang memadai untuk mengatakan bahwa pelaksanaan program yang direncanakan berhasil atau gagal.

Untuk mengukur kinerja bisa dilakukan melalui pendekatan penetapan indikator yaitu, Penetapan indikator kinerja merupakan proses identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk menentukan capaian kinerja kegiatan/program. Penetapan indikator kinerja berdasarkan atas :

A. Indikator Masukan (inputs).

Indikator masukan (inputs) adalah mengukur jumlah sumber daya meliputi dana, sumber daya manusia, peralatan, material serta masukan lainnya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan. Dengan menunjau distribusi sumber daya dapat diketahui apakah sumber daya tersebut sudah memadai untuk melaksanakan suatu program yang direncanakan. Penerapan tolok ukur ini perlu dilakukan dengan cermat, karena kesalahan dalam penerapannya dapat mengakibatkan tidak dapat dipergunakan untuk menilai kinerja suatu program.

Meski terdapat korelasi antara besarnya input faktor dengan tingkat kinerja dan keberhasilan suatu program, perlu disadari pula bahwa relevansi indikator kinerja ini terhadap pengukuran keberhasilan kegiatan sangat terbatas.

B. Indikator Keluaran (outputs).

Indikator keluaran (outputs) digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan/program. Dengan membandingkan keluaran dapat dianalisa sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-99

dengan sasaran-sasaran kegiatan yang teridentifikasi dengan baik dan terukur.

Dalam menggunakan indikator keluaran, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memungkinkan terjadinya permasalahan, yaitu :

1. Perhitungan keluaran sering cenderung belum menentukan kualitas,

2. indikator keluaran sering tidak menggambarkan semua keluaran kegiatan, terutama yang bersifat intangible,

3. Perhitungan tingkat pengembalian investasi sering kurang dapat mengambarkan keberhasilan kegiatan yang bersifat penelitian, hal ini disebabkan kurang pastinya dimensi waktu yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan penelitian tersebut.

C. Indikator Hasil (outcomes).

Tolok ukur ini untuk menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pengukuran indikator hasil sering kali rancu dengan pengukuran indikator keluaran. Indikator hasil merupakan nilai yang dihasilkan setelah indikator keluaran diaplikasikan atau diketahui dan baru kemudian tahapan indikator hasil diketahui. Ukuran indikator hasil pada umumnya bersifat kualitatif.

D. Indikator Manfaat (benefiits).

Indikator manfaat merupakan gambaran manfaat yang diperoleh dari indikator hasil. Manfaat tersebut baru tampak setelah beberapa waktu kemudian khususnya dalam jangka waktu menengah dan jangka waktu panjang. Indikator manfaat menunjukan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai apabila keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal (tepat lokasi dan tepat waktu).

E. Indikator Dampak (impacts).

Indikator kinerja ini memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari manfaat yang diperoleh dari hasil suatu kegiatan. Seperti halnya indikator manfaat, indikator dampak juga baru diketahui dalam jangka waktu menengah dan jangka waktu panjang. Indikator dampak

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-100

menunjukan dasar pemikiran dilaksanakannya suatu kegiatan yang menggambarkan aspek makro pelaksanaan kegiatan, tujuan kegiatan, secara sektoral, regional dan nasional.

2. KERANGAKA EVALUASI KINERJA.

Evaluasi kinerja merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang berguna untuk meningkatkan produktifitas dimasa yang akan datang. Karena merupakan suatu proses yang berkelanjutan, maka evaluasi kinerja harus menyediakan informasi mengenai kinerja dalam hubungannya dengan tujuan dan sasaran kegiatan.

Evaluasi ditujukan untuk memberikan penilaian dari suatu kebijakan, program maupun kegiatan. Evaluasi terutama ditujukan untuk menentukan manfaat atau kegunaan dari suatu kebijakan, program, kegiatan. Disamping itu untuk menunjukan keberhasilan suatu kebijakan, program, kegiatan bagi sekelompok penerima kegiatan atau masyarakat perlu didukung dengan fakta atau bukti nyata.

Evaluasi tidaklah berhubungan dengan hasil mendatang, akan tetapi diarahkan pada hasil yang sekarang dibandingkan dengan hasil masa lalu. Evaluasi berkaitan dengan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dan rekomendasi yang dihasilkan dari suatu evaluasi bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi tindakan dilaksanakan.

A. Manfaat dan Fungsi Evaluasi.

Evaluasi merupakan langkah yang berfungsi untuk :

a. Memberikan informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan, program, kegiatan. Yaitu mengenai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dicapai. Dengan evaluasi dapat diungkapkan mengenai pencapaian suatu tujuan, sasaran dan target tertentu.

b. Memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.

c. Memberikan sumbangan pada aplikasi metode analisis kebijakan termasuk perumusan masalah dan rekomendasinya. Evaluasi dapat memberikan rekomendasi bagi alternatif kebijakan yang bermanfaat

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-101

untuk mengganti kebijakan yang berlaku dengan alternatif kebijakan yang lain.

d. Metode dan Teknik Evaluasi Kinerja.

Evaluasi kinerja merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja masa lalu yang berguna untuk meningkatkan produktifitas dimasa mendatang. Sebagai suatu proses yang berkelanjutan, evaluasi kinerja menyediakan informasi mengenai kinerja hubungannya terhadap tujuan dan sasaran program/kegiatan. Metode evaluasi yang bisa digunakan untuk evaluasi kinerja bisa dilakukan melalui pendekatan :

1). Analisis Biaya Manfaat (cost-benefit analysis).

Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi item-item yang menjadi manfaat dan item-item yng merupakan biaya. Item-item yang diidentifkasi ini dalam sektor publik bisa bersifat nyata maupun tidak nyata. Yang perlu diperhatikan dalam analisis ini adalah kecermatan dalam menentukan harga masing-masing item, baik biaya maupun manfaat.

2). Metode Evaluasi Program dan Kebijakan.

Metode evaluasi Program dan Kebijakan menggunakan pendekatan-pendekatan :

a). Evaluasi semu, evaluasi ini menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai suatu kebijakan. Teknik yang bisa digunakan seperti sajian grafik, tampilan table, angka indeks dan sebagainya.

b). Evaluasi Formal, menggunakan metode deskriptif dengan melakukan evaluasi atas dasar tujuan kebijakan program lewat pendekatan target yang digunakan sebagai asumsi pengukuran mengenai manfaat atas kebijakan program tersebut. Teknik yang bisa digunakan seperti pemetaan sasaran, pemetaan hambatan, analisis dampak dan sebagainya.

c). Evaluasi Keputusan Teoritis, menggunakan metode deskriptif mengenai hasil-hasil kebijakan program oleh berbagai pelaku

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-102

kebijakan program. Teknik yang bisa digunakan dalam evaluasi ini adalah curah pendapat, analisis argumentasi dan analisis survai pemakai

B. Evaluasi Akuntabilitas Kinerja..

Evaluasi kinerja dilakukan setelah tahapan penetapan indikator kinerja dan penetapan capaian kinerja, evaluasi kinerja diartikan sebagai suatu proses umpan balik kinerja yang lalu dan mendorong adanya produktifitas dimasa mendatang. Dalam evaluasi akuntabilitas kinerja, maka sesuai dengan substansinya akuntabilitas kinerja akan mencerminkan akuntabilitas kebijakan, program, kegiatan dengan penjelasan masing-masing sebagai berikut :

a. Evaluasi Kinerja Kegiatan.

Evaluasi kinerja kegiatan menunjukan capaian kinerja suatu daerah dalam suatu kurun waktu tertentu, kegiatannya setidaknya menunjukan penilaian atas keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dan rencana strategis.

Teknik dan Metode yang digunakan dalam melakukan analisis kinerja kegiatan dengan melakukan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dan kegiatannya. Oleh karena itu evaluasi kinerja kegiatan adalah untuk memberikan nilai atas capaian kegiatan. Perlu diingat bahwa suatu program kemungkinan bisa terdiri dari beberapa kegiatan. Oleh karena itu setiap capaian kelompok indikator kinerja diberikan pembobotan yang wajar.

Rumusan capaian kelompok indikator kinerja adalah :

Capaian Kelompok Nilai Capaian Kelompok Bobot Kelompok

Indikator Kinerja Indikator Kinerja Indikator Kinerja

b. Evaluasi Kinerja Program

Evaluasi kinerja Program merupakan evaluasi terhadap kinerja program yang merupakan kumpulan evaluasi kinerja kegiatan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014

= x

II-103

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam evaluasi kinerja program, merupakan konsekuensi logis dari pengertian program yaitu yaitu merupakan kumpulan kegiatan.

Rumusan capaian akhir kegiatan (program) sebagai berikut :

Nilai Capaian = Nilai Capaian Kegiatan x Bobot Kegiatan

Akhir Kegiatan 100 %

c. Evaluasi Kinerja Kebijakan.

Evaluasi kinerja kebijakan merupakan evaluasi terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak terkait dan ditentukan oleh yang berwenang untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi setiap aparat pelaksana dan masyarakat agar tercapai kelancaran, keterpaduan dalam upaya pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran.

Secara umum proses tahapan perumusan kebijakan meliputi :

1. Penyusunan agenda kebijakan,

2. formulasi kebijakan,

3. Adopsi kebijakan,

4. Implementasi kebijakan,

5. Penilaian kebijakan.

Evaluasi kebijakan merupakan suatu kegiatan awal dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan berikut hasilnya.

Rumusan capaian akhir program, sebagai berikut :

Nilai Capaian = Nilai Capaian Program x Bobot Kegiatan

Akhir Program 100 %

3. KERANGKA KESIMPULAN HASIL EVALUASI KINERJA

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-104

Dalam kegiatan evaluasi kinerja perlu diakhiri dengan pembuatan kesimpulan hasil evaluasi. Kesimpulan hasil evaluasi akan memberikan gambaran kepada para penerima informasi mengenai nilai kinerja. Ukuran hasil kinerja bisa digunakan dengan pengukuran ordinal yang dibuat sesuai dengan pertimbangan standar.

4. KERANGKA ANALISIS PENCAPAIAN AKUNTABILITAS KINERJA.

Analisis pencapaian akuntabilitas kinerja pada dasarnya memberikan gambaran tentang akuntabilitas kinerja terutama sekali ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang memadai mengenai hakekat dari akuntabilitas itu sendiri, yakni mengenai kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau memberikan jawaban dan memberikan penjelasan mengenai kinerja atau kebijakan yang telah diambil kepada pihak-pihak yang menginginkan meminta keterangan atau pertanggung jawaban.

Akuntabilitas kinerja pada dasarnya merupakan media pertanggung jawaban dari suatu institusi pemerintah yang merupakan perwujudan kewajiban untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi yang dijabarkan lewat kebijakan, program, kegiatan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Analisis pencapaian akuntabilitas kinerja secara keseluruhan merupakan hasil evaluasi secara komperehensif terhadap kinerja, oleh karena itu termasuk hasil analisis dan evaluasi terhadap perencanaan strategis, akuntabilitas kinerja, aspek keuangan dan lainnya. Analisis pencapaian akuntabilitas kinerja ini paling tidak mencoba merangkum dan mencari kesesuaian antara perencanaan strategik dengan kinerja maupun manfaat dari kebijakan, maupun kinerja bagi pihak-pihak yang menerima manfaat.

Analisis terhadap substansi akuntabilitas kinerja diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai akuntabilitas yang menyiratkan beberapa prinsip dasar yaitu :

a. Harus ada komitmen dari internal yang bersangkutan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-105

b. Harus merupakan suatu sistem yang menjamin penggunaan sumberdaya secara efisien dan konsisten terhadap peraturan yang berlaku.

c. Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

d. Harus berorientasi terhadap pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat.

e. Harus jujur, obyektif, transparan, inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen dalam pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas kinerja.

Metode yang dapat digunakan untuk melihat keserasian dan keselarasan serta keseimbangan akuntabilitas kinerja, dapat menggunakan suatu bentuk analisis yang digunakan sebagai kerangka dalam melihat keterkaitan unsur-unsur perencanaan strategis yaitu analisis strategis, langkah strategis, implementasi dan evaluasi terhadap strategis.

Evaluasi menyeluruh atas akuntabilitas kinerja, terutama yang berkaitan dengan perencanaan strategis lebih banyak bertumpu pada pemberian atribut kualitatif, yang bisa dilakukan melalui pendekatan ini memberikan suatu kerangka berfikir mengenai konsep keserasian, kesesuaian, keharmonisan aktivitas suatu institusi.

Dari kesimpulan hasil evaluasi perlu dibuat suatu analis pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan, sasaran, visi dan misi sebagaimana yang digariskan dalam rencana strategis. Analisis tersebut dilakukan terhadap komponen-komponen penting dalam evaluasi kinerja, yaitu mencakup analisis masukan dan keluaran (inputs-outputs), analisis hasil, analisis manfaat dan analisis dampak.

Analisis tersebut antara lain dilakukan dengan cara membandingkan antara indikator kinerja dengan realisasinya, seperti :

1. Perbandingan antara kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-106

2. Perbandingan antara kinerja nyata dengan kinerja tahun sebelumnya.

3. Perbandingan antara kinerja suatu daerah dengan daerah lain yang lebih unggul.

4. Perbandingan kinerja nyata dengan kinerja standart nasional maupun internasional.

Klnmkl.mk.mklfmk.emf.ewmfmewfmwemf.,dm

m.,m.,dfmd.,fmwe.d,efmc

lws,d.,/as,md.,/s,amfc

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-107

Klnmkl.mk.mklfmk.emf.ewmfmewfmwemf.,dm

m.,m.,dfmd.,fmwe.d,efmc

lws,d.,/as,md.,/s,amfc

1

Tabel 4.1. Data Indikator Ekonomi Makro Dan Sosial Kabupaten Subang

Tahun 1998-2003

Uraian 1998 1999 2000 2001 2002* 2003**(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Indeks Pembangunan Manusia Komponen IPM := AHH= AMH= Rata-rata lama sekolah = PPP (ribu rupiah)

63,10

65,0086,205,40

530,06

64,10

66,2085,005,84

538,75

65,64

66,4386,805,99

545,32

66,65

67,2187,536,14

549,32

67,41

67,4988,746,23

552,78

2. Jumlah Penduduk 1.37.351 1.240.650

1.329.838

1.334.588

1.352.354

1.377.200

3. Laju Pertumbuhan Penduduk [LPP] 0,52 0,27 1,01 0,86 0,84 1,17

1. Jumlah Penduduk Miskin - - - - 224.300

2. PDRB. adh. Berlaku (Juta rp.)

3.518.248

3.642.737

3.964.882

4.526.419

5.180.103

5.981.956

6. Inflasi 56,98 -1,18 5,47 10,86 10,11 8,64

7. LPE (%) -7,17 2,28 4,11 4,47 4,54 4,71

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-108

Tabel 4.1. L a n j u t a n

Uraian 1998 1999 2000 2001 2002* 2003**(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

8. PDRB. Per Kapita adh. Berlaku [rupiah] 2.792.48

22.876.90

53.116.06

63.386.63

33.881.20

74.213.16

49. Investasi (I) berlaku (juta rp) - - - 429.52

3499.27

7 -10.laju Investasi - - - 22,30 16,24 -11.Konsumsi Pemerintah (G) ber- laku (juta rupiah)

- - - 521.277,8

617.115,1 -

12.Jumlah Penduduk bekerja 559.372 568.586 561.131 573.499 581.097 583.37513. Proporsi Jumlah Pend. Bekerja per jumlah Penduduk

45,21 45,83 50,95 52,40 51,28 52,22

14.Jumlah Pengangguran Terbuka

35.448 38.175 32.505 40.272 69.313 66.627

15.Tingkat Pengangguran Terbuka (% TPT.)

5,25 5,36 5,42 6,56 10,66 10,25

16. Tingjkat Partispasi Angkatan Kerja (% TPAK.)

58,00 58,34 53,87 56,08 57,39 58,45

Sumber : BPS. Jawa Barat, dari berbagai penerbitanCatatan : adh. = atas dasar harga *) = angka perbaikan **) = angka sementara

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-109

BAB V

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN

Faktor penentu keberhasilan merupakan hal yang harus dijalani agar pembangunan dapat dikatakan berhasil. Faktor-faktor tersebut dapat terwujud melalui dukungan dari berbagai komponen pembangunan yakni, pemerintah, legislatif, swasta dan masyarakat.

Berdasarkan Visi, Misi dan analisis lingkungan internal dan eksternal dapat diidentifikasikan faktor-faktor penentu keberhasilan yaitu :

1. Stabilitas politik dan keamanan

Stabilitas politik dan keamanan di daerah sangat dipengaruhi oleh stabilitas nasional yang saat ini belum pulih benar. Namun apabila dibandingkan dengan masa awal bergulirnya Reformasi, kondisi sekarang relatif berangsur-angsur membaik. Hal tersebut merupakan prasyarat bagi daerah dalam rangka percepatan proses demokrasi di segala bidang kehidupan. Untuk itu stabilitas politik dan keamanan merupakan agenda penting pembangunan di daerah.

2. Tegaknya supremasi hukum

Tegaknya supremasi hukum menjadi faktor penentu keberhasilan pencapaian Visi dan Misi, yang mana dengan kondisi tersebut akan menjamin ketentraman dan ketertiban dalam rangka menciptakan stabiltas politik dan kemanan. Selain itu tegaknya supremasi hukum merupakan faktor kunci datangnya investor ke Kabupaten Subang, karena para investor merasa terjamin dalam usahanya untuk ikut andil membangun daerah tanpa ada kekhawatiran kepentingannya terganggu.

3. Peningkatan SDM yang memiliki pendidikan tinggi, keimanan yang tebal, sehat jasmaniah (IQ, EQ dan SQ), serta memiliki keterampilan /pengetahuan lainnya.

Keberhasilan pencapaian Visi dan Misi Subang sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM-nya, karena manusia sebagai subyek sekaligus obyek

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-110

pembangunan harus berperan sebagai pemikir, perencana, pelaksana, evaluator serta pengguna. Untuk itu dengan multi peran tersebut manusia dituntut untuk memiliki Intelegensi tinggi (Intelegent Quation), etika, moralitas dan Emosi yang baik (Emosion Quation) sert berakhlak mulia (Spiritual Quation).

4. Pemanfaatan Potensi SDA baik Pertanian, Pariwisata maupun Industri yang spesifik dan lokalita serta memiliki daya saing tinggi.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Subang masih mengandalkan sektor primer, hal ini ditandai dengan kontribusi terbesar terletak pada sektor pertanian, industri dan perdagangan, hotel dan restauran. Untuk itu pemanfaatan sektor tersebut haruslah dioptimalkan, sehingga memiliki daya saing tinggi dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.

5. Pengembangan pola kemitraan antara Stakeholder pembangunan

Sebagaimana paradigma baru pembangunan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus bersifat demokratis dan aspiratif artinya bahwa keterlibatan pelaku-pelaku pembangunan sangat diaharapkan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan. Keterlibatan tersebut dilakukan untuk menggalang kebersamaan memecahkan berbagai permasalahan demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

6. Pelestarian lingkungan hidup

Pencapaian visi, misi dengan mengoptimalkan SDA hendaknya disesuaikan dengan daya dukung lingkungan mengingat SDA sifatnya terbatas, sehingga rasionalisasi pemanfaatan SDA akan menjamin kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan.

7. Optimalisasi pemanfaatan ruang

Seiring dengan pelaksanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan dewasa ini, aspek penataan ruang memegang peranan yang sangat strategis. Ketidaktepatan pemanfaatan ruang dapat berakibat menurunnya efisiensi kegiatan sosial – ekonomi dan dapat menyebabkan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Oleh sebab itu penataan ruang diperlukan sebagai instrumen pembangunan untuk dapat mengarahkan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemerintah, swasta dan masyarakat.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-111

8. Peningkatan sarana dan prasarana dasar pendidikan, kesehatan , jalan, air dan listrik.

Penyediaan kebutuhan akan sarana dan prasarana dasar baik pendidikan, kesehatan, jalan, air, listrik merupakan komitmen daerah untuk selalu menjadi hal yang prioritas karena dari penyediaan tersebut akan berpengaruh pula terhadap sektor-sektor lain seperti pertanian, industri, perdagangan, kesehatan, pendidikan, sumber daya air irigasi dll.. namun disamping hal tersebut perlu diperhatikan pula aspek-aspek lainnya mengingat kontribusi terhadap penyediaan sarana dan prasarana tersebut lebih dari separuh Belanja Pembangunan, dengan kata lain paradigma yang mengedepankan pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan pembangunan SDM yang berkualitas mengingat persaingan global yang menuntut SDM berdaya saing tinggi tidak dapat terelakan.

Rancangan Awal RPJM Daerah Kabupaten Subang Tahun 2009-2014 II-112