BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Hubungan antara Umur Ibu dengan...
Transcript of BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Hubungan antara Umur Ibu dengan...
70
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Hubungan antara Umur Ibu dengan Perilaku Ibu
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Menurut WHO pembagian umur pada suatu
penelitian dapat dibagi berdasarkan tingkat kedewasaan yaitu usia di bawah
32 tahun berada pada tahap dewasa muda dan usia 32 tahun atau lebih
berada pada tahap dewasa tua (Notoatmodjo, 2003). Hasil analisis
mendapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelompok umur
dan perilaku ibu memberikan stimulasi tumbuh kembang anak (p=0,029).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa umur ibu yang lebih banyak
memiliki perilaku baik adalah ibu yang tergolong dewasa muda (<32 tahun).
Hal ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
ibu dalam memberikan stimulasi perkembangan kepada anaknya. Menurut
penelitian Turley (2003) menyebutkan bahwa usia ibu dipengaruhi oleh latar
belakang keluarganya terutama adanya saudara yang saling memberikan
informasi. Hal itu juga didasari oleh faktor ras, etnis, kemampuan,
pengalaman seperti perceraian, teknik pengasuhan, kemiskinan dan
pengaturan konstekstual seperti lingkungan, sekolah, atau masyarakat di
sekitarnya. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa usia ibu yang
lebih muda dan memiliki saudara memiliki nilai tes dan masalah perilaku
yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu usia tua.
Semakin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan
mentalnya (tingkat kedewasaan) bertambah baik, akan tetapi pada umur
71
tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun. Menurut penelitian Craik (1997), daya
ingat menurun pada masa dewasa, hal ini berarti daya ingat seseorang salah
satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur
tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat
suatu pengetahuan akan berkurang.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Indarwati (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
sangat bermakna antara usia ibu dengan perilaku kepatuhan ibu dalam
mengimunisasikan anaknya (p=0,001).
6.2. Hubungan antara Jumlah Anak dengan Perilaku Ibu
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki perilaku baik lebih
banyak di dapatkan pada ibu yang hanya memiliki anak 1 atau 2. Hasil
analisis menunjukkan bahwa jumlah anak berhubungan dengan perilaku ibu
dalam memberikan stimulasi tumbuh kembang anak (p=0,042). Hal ini bisa
terjadi keluarga kecil lebih mampu menyediakan sandang, pangan dan
papan, yang terpenting adalah limpahan kasih sayang yang lebih besar
untuk anak-anaknya, sehingga akhirnya anak tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan keluarga yang sehat (BKKBN, 2006). Hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian Fitriyani, dkk (2009) yang menyebutkan
tidak ada hubungan antara jumlah anak dan pemberian stimulasi (p=0,226).
72
6.3. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Ibu
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan
menengah lebih banyak memiliki perilaku baik (47,7%). Hasil analisis
mendapatkan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan secara signifikan
dengan perilaku ibu dalam memberikan stimulasi tumbuh kembang
(p=0,033). Ibu yang tergolong berperilaku kurang baik, sebagian besar
adalah ibu dengan tingkat pendidikan dasar (68,4%), sedangkan ibu yang
berpendidikan tinggi juga sebagian besar memiliki perilaku yang baik (25%).
Namun, pada penelitian ini jumlah respondennya hanya sedikit. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Lareau (2003) yang menyatakan bahwa orang
tua kelas menengah mengambil peran aktif dalam pendidikan dan
pengembangan anak-anak mereka dengan menggunakan kendali
mengorganisir kegiatan dan mendorong rasa hak melalui diskusi. Selain itu,
menurut Liliweri (2007), bahwa cakupan pengetahuan atas keluasan
wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian
mengenai suatu informasi.
Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Koentjoroningrat (2003), mengatakan pendidikan adalah kemahiran
menyerap pengetahuan pendidikan seseorang berhubungan dengan sikap
seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan. Pendidikan
merupakan unsur karakteristik personal yang sering dihubungkan dengan
73
derajat kesehatan seseorang/masyarakat. Semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka akan semakin mudah untuk menyerap informasi dalam
bidang kesehatan. Mudahnya seseorang untuk menyerap informasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan perilaku baru yang lebih sehat. Tingkat
pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik,
sehingga memungkinkan menyerap informasi-informasi juga dapat berpikir
secara rasional dalam menanggapi informasi atas setiap masalah yang
dihadapi. (Azwar, 2007).
Penelitian ini mendapatkan bahwa tingkat pendidikan ibu mendukung
adanya perilaku yang baik dalam memberikan stimulasi perkembangan
anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani, Sodikin dan Yuliarti
(2009) menemukan bahwa responden yang berpendidikan tinggi mempunyai
peluang 7,6 kali lebih besar akan memberikan stimulasi pada anaknya
dibandingkan dengan responden yang berpendidikan rendah. Keberhasilan
seorang ibu dalam memberikan pendidikan kepada anak tidak terlepas dari
pendidikan yang dilaluinya (Tarbiyah, 2009). Pendidikan seorang ibu
terhadap anak merupakan pendidikan dasar yang tidak dapat diabaikan.
Oleh sebab itu seorang ibu diharapakan bijak dan pandai dalam mendidik
anak-anaknya. Baik ataupun buruk pendidikan ibu yang diberikan akan
berpengaruh terhadap perkembangan dan watak anak di kemudian hari.
Peranan ibu dalam pendidikan anak-anaknya adalah sebagai sumber dari
pemberi rasa kasih sayang, pengasuh dan pemelihara, tempat mencurahkan
isi hati, pengatur kehidupan dalam rumah tangga, pembimbing hubungan
pribadi, dan pendidik dalam segi emosional (Purwanto, 2002). Pendidikan
74
sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan wawasan ibu (orang tua)
tentang pemberian stimulasi terhadap perkembangan anak.
6.4. Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Perilaku Ibu
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara status pekerjaan ibu dan perilaku ibu dalam memberikan stimulasi
tumbuh kembang (p=0,024). Ibu yang tergolong berperilaku baik sebagian
besar merupakan ibu yang tidak bekerja (Tabel 5.2).
Pada dasarnya ibu-ibu yang tidak bekerja akan lebih banyak
meluangkan waktu bersama anaknya dan dapat mengurus keluarganya
secara maksimal. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Azizah (2012) yang menyatakan bahwa 70% responden yang
bekerja memiliki waktu ≤ 8 jam untuk berinteraksi dengan anak sedangkan
ibu rumah tangga (87%) memiliki waktu yang lebih lama untuk berinteraksi
dengan anaknya yaitu > 8 jam sehari.
Menurut Yulia (2007), terdapat beberapa alasan yang membuat
wanita bekerja di luar rumah, diantaranya karena tuntutan hidup yang
semakin tinggi sementara penghasilan suami kurang dapat mencukupi
kebutuhan keluarga, memperoleh pendapatan sendiri untuk keleluasaan
finansial, aktualisasi diri dan praktise, pengembangan bakat dan hobi
menjadi sesuatu yang komersil serta yang terakhir adalah karena kejenuhan
di rumah. Ibu yang memutuskan bekerja di luar rumah harus dapat membagi
waktunya terutama untuk anaknya karena seorang ibu pada hakekatnya
mempunyai tugas utama untuk mengatur kebutuhan keluarganya di rumah
terutama menstimulasi, mengatur dan mengawasi perkembangan anaknya,
75
terutama pada ibu yang memiliki anak usia balita karena periode penting
dalam perkembangan anak adalah masa balita. Ada masa kritis dalam
perkembangan anak, sehingga diperlukan rangsangan atau stimulasi yang
berguna agar potensi anak berkembang secara optimal. Anak yang
mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang
dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi
(Soetjiningsih, 2003).
6.5. Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Perilaku Ibu
Tingkat pendapatan keluarga yaitu jumlah penghasilan riil dari
seluruh anggota keluarga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan
bersama atau perseorangan. Pendapatan keluarga riil dihitung dengan
menjumlah semua pendapatan riil masing-masing anggota keluarga, di
mana pendapatan masing-masing keluarga merupakan pendapatan
perseorangan (personal income), yaitu pendapatan yang berupa upah, gaji,
pendapatan dari usaha, termasuk hadiah dan subsidi (BPS, 2006).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa tingkat penghasilan keluarga
responden yang paling banyak adalah < Rp 1.500.000, namun untuk
perilaku ibu dalam kategori baik paling banyak dilakukan oleh ibu yang
memiliki tingkat pendapatan ≥ Rp 1.500.000. Hasil analisis menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga
dan perilaku ibu dalam memberikan stimulasi tumbuh kembang. Menurut
Kasuma (2001), keadaan ekonomi dapat mempengaruhi pengasuhan orang
tua terhadap anaknya. Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah umumya
kurang memberi perhatian terhadap perilaku anak dan kurang latihan. Di sisi
76
lain, keluarga dengan ekonomi cukup menyebabkan orang tua lebih punya
waktu untuk membimbing anaknya karena tidak lagi memikirkan keadaan
ekonomi yang kurang. Berdasarkan teori WHO menyatakan bahwa yang
menyebabkan seseorang berperilaku ada tiga alasan diantaranya adalah
sumber daya (Resources) meliputi fasilitas, pelayanan kesehatan, dan
pendapatan keluarga. Selain itu, pendapatan keluarga yang memadai akan
menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Kartini,
2013).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Latifah, dkk (2010)
yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga memiliki korelasi
yang kuat dengan pemberian stimulasi psikososial yang diberikan pada
anaknya (p<0,001; r=0,506).
6.6. Hubungan antara Sumber Informasi yang Diperoleh Ibu dengan
Perilaku Ibu
Menurut Sabarguna (2008), Informasi terdiri atas data yang telah
didapatkan, diolah/diproses, atau sebaliknya yang digunakan untuk tujuan
penjelasan/penerangan, uraian, atau sebagai sebuah dasar untuk
pembuatan ramalan atau pembuatan keputusan. Pada penelitian ini, sumber
informasi dikelompokkan berdasarkan penciptaanya yang terdiri dari tiga
jenis sumber informasi, yaitu sumber primer, sumber sekunder, dan sumber
tersier dan dipilih dari masing-masing contoh sumber informasi tersebut
sehingga didapatkan hasil pengelompokkannya adalah televisi, majalah,
petugas kesehatan, orang lain, KMS, internet, lain-lain, lebih dari satu
77
sumber, dan ibu yang tidak mendapatkan informasi sama sekali tentang
pemberian stimulasi perkembangan kepada anaknya.
Berdasarkan gambar 5.6 digambarkan bahwa ibu lebih banyak
mendapatkan informasi dari berbagai sumber (lebih dari 1 sumber) dengan
jumlah responden 21. Namun ada analisis bivariat dikelompokkan menjadi 2
menurut jumlah sumber informasi yang didapatkan ibu. Pada tabel 5.2
menyebutkan bahwa berdasarkan jumlah sumber, ibu yang mendapatkan
informasi hanya dari 1 sumber saja memiliki perilaku yag baik dalam
memberikan perilaku stimulasi perkembangan pada anaknya.
Hal ini bertolak belakang menurut Notoatmodjo (2012) yang
mengatakan bahwa ibu yang mendapatkan lebih banyak informasi akan
lebih menambah pengetahuannya dan akan memberikan pengaruh yang
baik pada perilakunya. Pengetahuan adalah hasil tahu dan terjadi setelah
melakukan penginderaan terhadap suatu objek sehingga pengetahuan
merupakan faktor penting untuk terbentuknya perilaku seseorang.
Notoadmodjo (2012) juga mengungkapkan bahwa apabila penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses (awarenes, interest,
evaluation, trial, and adoption) di mana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran, dan sifat positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. Hasil ini juga
dipengaruhi oleh jumlah responden dari kategori tersebut yang jauh berbeda.
Namun, kualitas informasi lebih penting dibandingakan dengan
jumlah sumber informasi. Menurut Fatta (2007) dengan meningkatkan
kualitas informasi tidak dengan menambah jumlah informasi karena terlalu
78
banyak informasi justru akan menimbulkan masalah baru. Ledakan informasi
yang terjadi membuat pengguna merasa bingung dalam memilih sumber
informasi mana yang harus digunakan dalam proses pemenuhan kebutuhan
informasi mereka. Seperti yang telah diketahui sumber-sumber informasi
dapat diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan
disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, koran, dan lain-
lain). Oleh karena itu hendaknya para pengguna mengidentifikasi sumber
informasi terlebih dahulu (Pratiwi, 2010).
Pada penelitian Pratiwi (2010) berpendapat bahwa nilai informasi
ditentukan oleh banyak hal, diantaranya adalah kualitas informasi karena
secara tidak langsung nilai informasi akan diperoleh. Berbagai macam
karakteristik yang digunakan oleh para ahli dalam mengukur kualitas
informasi, mereka mempunyai pemikiran yang berbeda-beda dalam
menentukan kualitas informasi. Berdasarkan pendapat dan uraian tentang
karakteristik yang digunakan dalan mengukur kualitas informasi dapat
dikatakan bahwa kualitas informasi tergantung dari 4 hal yaitu keakuratan
informasi, tepat waktu, relevan, dan kelengkapan informasi. Oleh karena itu,
pada hasil penelitian ini menyebutkan bahwa karakteristik ibu tidak
berhubungan dengan perilaku ibu dalam memberikan stimulasi
perkembangan anak karena penelitian ini hanya mengukur tentang jumlah
informasi yang didapatkan ibu, bukan kualitas informasi dan tingkat
pemahaman ibu.
79
6.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian dalam pengambilan sampel yang peneliti alami
antara lain :
- Ada beberapa faktor penting lain yang juga dapat mempengaruhi perilaku
ibu dalam memberikan stimulasi perkembangan kepada anaknya selain
karakteristik dari ibu sendiri yang tidak ikut diukur dalam penelitian ini,
misalnya pengetahuan ibu.
- Penelitian ini menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden sendiri
sehingga apa yang dilaporkan oleh ibu bisa saja berbeda dengan
kenyataannya.
6.8. Implikasi terhadap Bidang Kebidanan
Penelitian ini dapat dijadikan penambah wawasan tentang perilaku
ibu dalam memberikan stimulasi kepada anaknya. Namun, masih perlu
ditingkatkan lagi untuk sampel dan variabel yang digunakan walaupun pada
variabel karakteristik sudah mencakup sebagian besar faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perilaku ibu. Pentingnya stimulasi dini pada anak
karena khususnya pada masa prasekolah ini merupakan masa golden
periode yang membutuhkan persiapan dalam menghadapi kegiatan formal
yang akan dijalaninya.
Penelitian ini juga memberikan informasi bahwa ibu yang memiliki
anak yang lebih sedikit akan lebih baik dalam memberikan perilaku stimulasi
pada anaknya karena ibu akan lebih fokus dibandingkan dengan ibu yang
memiliki anak banyak. Selain itu, didukung juga dengan status ibu yang tidak
bekerja memberikan manfaat yaitu ibu dapat lebih banyak meluangkan
80
waktu bersama anaknya sehingga pemberian stimulasi pada anaknya juga
lebih maksimal. Namun, pemberian stimulasi ini juga didukung oleh tingkat
ekonomi yang lebih tinggi untuk dapat memberikan stimulasi yang baik pada
anaknya. Jadi, apabila ibu ingin bekerja untuk menunjang perekonomian
keluarganya, penting untuk ibu dapat sebaik mungkin mengatur waktu
bersama anaknya sehingga walaupun bekerja tapi pemberian stimulasi pada
anak juga harus dilakukan dengan semaksimal mungkin. Pada ibu yang
memiliki banyak anak harus diperhatikan perkembangan setiap anaknya,
terutama pada anak yang berusia balita, setiap anak memiliki tingkat
kemampuan masing-masing, jadi ibu harus mampu memperlakukan setiap
anaknya sesuai dengan usia dan kemampuannya. Apabila ibu selain
memiliki anak balita, juga mempunyai seorang bayi, maka waktu dan
perhatian yang diperlukan ibu harus diatur dengan baik, misalnya saja ibu
dapat membagi tugas dengan suaminya atau keluarga lainnya yang dapat
membantu ibu untuk melaksanakan tugasnya mengasuh dan mendidik anak.
Bagi ibu yang ingin memiliki anak lagi, padahal ibu masih memiliki anak
balita, maka penting bagi ibu dan suami untuk memikirkan kembali. Apabila
ibu memiliki anak lagi, maka perhatian ibu juga akan terbagi dan dan bisa
berpengaruh pada pemberian stimulasi tumbuh kembang anaknya. Pada ibu
yang baru memiliki seorang anak padahal usia ibu sudah memasuki usia
dewasa tua, ibu harus tetap mempunyai peran untuk memberikan stimulasi
tumbuh kembang yang baik untuk anaknya, misalnya dengan mencari
informasi yang berkualitas pada sumber-sumber yang terpecaya seperti
tenaga kesehatan, media cetak, atau elektronik.
81
Peran tenaga kesehatan dalam mendukung perilaku ibu agar dapat
memberikan stimulasi yang baik untuk anaknya sangat penting. Tenaga
kesehatan harus dapat memberikan informasi untuk ibu sedini mungkin dan
harus dapat mengajak ibu untuk mengaplikasikan ke anak-anaknya.
Informasi tersebut dapat diberikan pada saat ibu melakukan pemeriksaan
fasilitas kesehatan, misalnya di BPM, Puskesmas, Posyandu, dan tempat
lainnya.