BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI · lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari...

15
BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu. Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor (KKLD Solar). Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka. 6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera Konservasi dalam konteks lokal ini tidak diterjemahkan sebagai tindakan perlindungan atau preservasi, tetapi bagaimana masyarakat tradisional memanfaatan sumberdaya dengan batasan-batasan yang memperhatikan tingkat keadaan lingkungan, kebutuhan hidup, batasan alam dan batasan-batasan spritual yang dianut. Pemaknaan konservasi seperti ini sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal masyarakat tradisional dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan mereka. Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada bentuk konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian. Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal. Pertama teknologi tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan paus hanya boleh dilakukan pada masyarakat yang menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal, tidak menggunakan senjata api. Tena laja milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam kategori perahu tradisional. Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan

Transcript of BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI · lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari...

BAB VI

LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI

Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera

dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui

dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu.

Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari

Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor (KKLD Solar).

Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena

menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi

tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan

pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang

sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka.

6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera

Konservasi dalam konteks lokal ini tidak diterjemahkan sebagai tindakan

perlindungan atau preservasi, tetapi bagaimana masyarakat tradisional

memanfaatan sumberdaya dengan batasan-batasan yang memperhatikan tingkat

keadaan lingkungan, kebutuhan hidup, batasan alam dan batasan-batasan spritual

yang dianut. Pemaknaan konservasi seperti ini sangat erat hubungannya dengan

kearifan lokal masyarakat tradisional dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan

mereka.

Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam

menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada bentuk

konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian.

Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal. Pertama teknologi

tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya. Sebagaimana

yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan

Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan paus hanya boleh dilakukan pada

masyarakat yang menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal, tidak

menggunakan senjata api. Tena laja milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam

kategori perahu tradisional. Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan

113

tersebut tidak merubah dasar konstruksinya. Perubahan yang paling berarti adalah

penggunaan mesin di tena laja. Tetapi pada dasarnya mesin di tena laja membawa

nilai hanya sebagai alat bantu untuk mempercepat laju perahu saja. Sementara alat

tikam masih mamakai tempuling yang terdiri dari mata tombak dan bambu.

Kearifan kedua berkaitan dengan teritorial lautnya yang membatasi area

penangkapan (fishing ground). Nelayan mengenal beberapa batasan jarak dalam

melaut yang disebut kajo. Area penangkapan nelayan Lamalera ditandai dengan

1. koli buka, tanda di bagian barat dengan melihat tanjung sebelah Folofutu

2. penutu buka, tanda di bagian timur dengan melihat tanjung setelah Atadei.

3. kebili bela buka, tanda di bagian timur

4. bobu buka, tanda dibagian timur

5. lambote buka dan,

6. suba duk, batas terluar melaut ke sebelah barat.

Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui selama

melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi batas-batas

yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu mereka dalam

mengenali arah dimana kampung mereka berada. Hingga saat penelitian

dilakukan, meskipun sudah menggunakan mesin tetapi jarak melaut dengan tetap

mempertimbangkan jarak dengan lefo Lamalera.

Bentuk kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan

mamalia dan ikan besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan

masa selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama

keluar untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa

khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema dibiarkan dan tidak

diburu karena ketika itu ikan pari sedang naik/banyak. Memilih pari lebih

diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko yang lebih besar ketika

berburu koteklema.

Pada koteklema, nelayan Lamalera tidak akan memburunya dimanapun

mereka menemukannya. Mereka memiliki batasan sendiri dimana dan kapan saja

koteklema boleh ditikam. Prinsip utama bagi mereka untuk berburu koteklema

adalah keselamatan. Semakin jauh mereka berburu dari lefo, maka akan semakin

tidak terjamin keamanan bagi meing yang berburu. Salah satu contoh adalah

114

larangan bagi melayan untuk memburu koteklema dan paus lain di daerah-daerah

tertentu seperti di Selat Lewotobi dan Pantar.

Nelayan Lamalera mengenal karakter koteklema berbeda dengan banyak

mamalia lainnya. Koteklema lebih liar, kuat dan seringkali bergerombol serta

setiap individu memiliki solidaritas untuk melindungi kelompok mereka. Karakter

koteklema ini juga membatasi nelayan karena tidak diperkenankan satu tena laja

memburu koteklema sendiri dan tidak mengabari ke meing yang lain.

Lebih penting dari semua aturan-aturan diatas, nilai kearifan nelayan

Lamarela terletak pada tata cara mereka menghargai pemberian laut serta ekonomi

subsistennya. Masyarakat Lamalera terikat dengan norma yang mengatur tingkah

laku mereka dalam memanfaatkan ikan. Salah satu nilai yang ditanamkan pada

setiap orang di Lamalera yaitu penghargaan terhadap penghasilan ola nua. Setiap

hasil melaut harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak boleh ada yang disia-

siakan. Etika masyarakat Lamalera mengharamkan mereka untuk dengan sengaja

membuang segala rezeki yang diberikan oleh laut. Bahkan tindakan tidak

disengaja pun mendapatkan teguran.

Pemaknaaan konservasi bagi masyarakat tradisional juga tidak bisa

dipisahkan dengan kebutuhan subsisten mereka. Dalam hal ini, perlu dibahas juga

bahwa mamalia dan ikan yang diburu oleh masyarakat adalah mamalia dan ikan

yang bisa diawetkan. Dalam perekonomian lokal, koteklema bisa menyokong

penghidupan sebuah rumah tangga sampai satu bulan, berbeda dengan jenis ikan

lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari barter ke pedalaman bisa habis.

Hal ini karena pembagian yang di dapat dari koteklema jauh lebih banyak

dibanding pembagian dari pari dan ikan lainnya. Masyarakat juga dapat

memanfaatkan kulit dan minyak koteklema yang mengandung banyak lemak

untuk digunakan sebagai minyak lentera dan obat.

6.2. KKLD Solar dan KKPN Sawu

Kawasan konservasi laut (KKL) atau marine protected area (MPA)

memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan

ekosistem laut, sama pentingnya dengan kawasan konservasi darat (terrestrial

protected area). Kehadiran ekosistem pesisir dan laut dengan terumbu karangnya

115

dan pulau-pulau kecil dalam KKL merupakan nilai penting tersendiri karena

selain kaya akan keanekaragaman hayati laut, juga ekosistemnya sangat rentan

(fragile) terhadap gangguan dan perubahan. Di sisi lain, akses laut yang relatif

terbuka dapat menjadi ancaman yang mengkhawatirkan dalam konteks

perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati laut beserta ekosistemnya.

Oleh karena itu, KKL dirancang untuk sejumlah alasan, termasuk pengelolaan

perikanan, promosi wisata, dan mempertahankan keanekaragaman hayati.

KKL didefinisikan dengan banyak istilah di seluruh dunia seperti

pencadangan laut, pelindungan laut secara utuh, zona larang ambil, perlindungan

laut, taman laut, wilayah laut yang dikelola secara lokal dan sebagainya. Banyak

penamaan ini memiliki tingkat perlindungan yang berbeda dalam meletakkan

batasan-batasan terhadap aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan dan dilarang.

WWF menggunakan istilah KKL sebagai gambaran menyeluruh dari area yang

dirancang untuk melindungi ekosistem laut, proses-proses, habitat-habitat, dan

spesies, yang dapat berkontribusi pada pemulihan dan penambahan sumberdaya

untuk pengayaan sosial, ekonomi, dan budaya36

.

Definisi lain dari KKL menurut IUCN (2003) adalah perairan pasang

surut, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, dan penampakan sejarah serta

budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk

melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Wiryawan (2005: 4)

mengatakan bahwa kawasan atau wilayah yang akan dikonservasi bisa berupa

perairan, atau termasuk juga daratan di kawasan pesisir, yang nantinya akan

disahkan dengan aturan formal maupun aturan lain seperti peraturan adat.

Di Indonesia komitmen untuk mewujudkan kawasan konservasi

disampaikan oleh Presiden RI dalam Forum the Conference on Convention on

Biological Diversity (CBD) di Brazil pada tahun 2006. Kawasan konservasi yang

ditargetkan adalah 10 juta hektar pada tahun 2010 dan 20 juta hektar pada tahun

2020. Untuk menindaklanjuti komitmen pemerintah tersebut, Departemen

Kelautan dan Perikanan mengidentifikasi dan menginventarisasi kawasan perairan

di Indonesia, salah satunya di perairan Laut Sawu.

36 http://wwf.panda.org/what_we_do/how_we_work/conservation/marine/protected_areas/

116

a. KKLD Solar

Diskursus konservasi laut khususnya yang terkait dengan perlindungan

cetacean menjadi dasar inisiatif awal pembentukan Kawasan Konservasi Laut

Solor-Lembata-Alor (KKL-Solar). KKLD Solar mulai diinisasi sejak tahun 2001

oleh WWF danTNC melalui ekspedisi yang dilakukan di Kepulauan Solor dan

Alor. Dalam eksedisi tersebut diidentifikasi status lingkungan laut seperti kondisi

terumbu karang, distribusi ikan, manta dan organisme laut besar lainnya serta

keragaman dan distribusi cetaceans dan lumba-lumba. Ekspedisi tersebut juga

mengenali aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kehidupan laut di Desa

Lamalera dan Lamakera. Dari ekspedisi tersebut disimpulkan bahwa koridor laut

tersebut merupakan kawasan yang sensitif dengan intensitas aktivitas perikanan

yang dapat berdampak terhadap populasi kehidupan laut. Oleh karena itu, prioritas

utama adalah mengelaborasi isu ini kepada pemerintah lokal, regional dan

nasional dan meletakkan area ini dibawah perhatian kelompok-kelompok

konservasi dan para donor. Hasil ekspedisi digunakan untuk merancang

komponen Alor dan Solor untuk program konservasi cetacean Indonesia. Dan

kawasan selanjutnya banyak dibicarakan untuk masuk dalam kawasan perioritas

di program strategi pengembangan Flores-Banda Marine Ecoregion WWF

Indonesia dan dalam marine Program TNC Indonesia (Soede, 2002: 5)

Hasil ekspedisi ini menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan

konservasi Laut Sawu dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan kajian

lebih lanjut tentang potensi Laut Sawu pada tahun 2005. Sebagai bentuk

komitmen terhadap program pemerintah pusat maka pada Februari 2006

pemerintah Provinsi NTT membentuk Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan

Konservasi Laut Sawu (PP-KKL) melalui SK Gubernur No. 190/KEP/HK/2006

tentang Pembentukan Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut

Sawu, Solor, Lembata, Alor (Solar).

WWF adalah LSM yang dari awal fokus dengan KKL Solar dan

menjalankan programnya sampai saat ini. Untuk menunjang KKL Solar, maka

WWF menggalang dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk

117

melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati di perairan Solar. WWF berhasil

menggandeng pemerintah daerah untuk membuat komitmen untuk melindungi

dan menjaga keanekaragaman hayati dalam menunjang pembentukan kawasan

konservasi perlindungan laut Solor-Lembata-Alor. Komitmen ini ditandatangani

di Lewoleba pada 30 April 2007 oleh Bupati Kab. Flores Timur, Kab. Lembata,

Kab Alor, Gubernur NTT, Tim PP-KKL, Program Kelautan TNC dan WWF

Indonesia.

b. KKPN Laut Sawu

Sebagian wilayah perairan Laur Sawu dicadangkan sebagai KKPN Laut

Sawu melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No.Kep.38/Men/2009 tentang

Pencadangan Kawasan Konservasi perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pencadangan ini merupakan hasil dari upaya yang

dilakukan baik oleh TNC-Coral Triangel Center (TNC-CTC), WWF ataupun oleh

pemerintah.

Gambar 8. Peta Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Provinsi

Nusa Tenggara Timur

Usulan awal KKPN laut sawu terdiri atas 3 kawasan yang terdiri dari

Sawu I seluas 560.606 hektar, Sawu II seluas 1.537.254 hektar dan Sawu II satu

118

seluas 2.763.899 hektar. Penolakan masyarakat nelayan Lamalera berhasil

mengeluarkan Sawu II dalam KKPN Laut Sawu sehingga dalam Keputusan

Menteri diatas hanya dua kawasan yang ditetapkan sebagai wilayah KKPN Laut

Sawu. Usulan KKPN Laut Sawu yang luas salah satunya bertujuan untuk

mengelola tekanan-tekanan terhadap cetacean dan satwa laut lain yang besar yang

sedang meningkat cepat dan juga untuk melindungi habitat-habitat lain yang

saling berhubungan.

6.3. Dinamika Penetapan Konservasi Laut di Lamalera

Ada beberapa daftar ancaman terhadap kawasan Laut Sawu yang diuraikan

oleh aktivis konservasi. Ancaman tersebut adalah penangkapan ikan yang

merusak, pencurian ikan oleh kapal asing, degradasi fisik habitat pesisir dan

lautan, eksploitasi yang berlebihan untuk beberapa jenis komoditi perikanan yang

bernilai tinggi, pencemaran laut oleh jalur pelayaran serta terancamnya berbagai

jenis biota laut seperti paus, lumba-lumba, pari dan penyu. Dengan alasan

ancaman yang diurai di atas, maka kawasan laut sawu perlu dikelola dengan

menggenalkan konsep ekologi skala besar. Konsep yang ditawarkan oleh WWF

untuk mengelola Laut Sawu adalah konsep kawasan bentang laut yaitu

pengelolaan areal laut dan pesisir yang saling berhubungan dari sisi ekologi,

oseanologi/pola arus dan genetik biota laut.

Adanya kesinambungan yang tinggi antara terumbu karang, bakau dan

komponen ekosistem laut di bentang Laut Sawu, maka WWF manyarankan agar

bentang laut tersebut dikelola dengan basis ekosistem. Konsep pengelolaan

berbasis ekosistem (PBE) berkaitan dengan dua kepemilikan sistem kelola alam:

1) sumberdaya alam yang dieksploitasi berhubungan dengan ekosistem

disekitarnya, 2) pemanfaatan sumberdaya alam dapat berpengaruh terhadap

sumberdaya lainnya dan aspek ekosistem lain. Dalam pengelolaan ini, Informasi

ekologi merupakan sumber utama untuk membuat keputusan personal maupun

keputusan sosial. Dengan konsep pengelolaan berbasis ekosistem maka untuk

melindungi pokok-pokok ekologi kawasan pesisir, keanekaragaman biologi serta

menjamin kemanfaatan berkelanjutan maka dipromosikan pemanfaatan

sumberdaya laut yang tepat seperti dengan menggunakan budidaya dan ekowisata.

119

Konservasi dan KKL merupakan wadah dimana kepentingan untuk

menjaga keseimbangan lingkungan laut dapat difasilitasi. WWF pada tahun 2006

datang ke Lamalera untuk mengenalkan masyarakat pada konservasi dan KKL.

Beberapa keuntungan yang akan didapat dari penetapan KKL menurut WWF,

meliputi: 1) memelihara keanekaragaman hayati dan menyediakan tempat

perlindungan bagi spesies, 2) melindungi habitat-habitat penting dari kerusakan

oleh praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan kegiatan

manusia lainnya dan memungkinkan untuk memulihkan kawasan yang rusak,

3) menyediakan tempat bertelur dan berkembang sampai ukuran dewasa bagi

ikan, 4) meningkatkan tangkapan ikan (baik secara ukuran dan kuantitas) di

sekitar daerah pemancingan, 5) membangun resiliensi untuk melindungi

lingkungan dari dampak-dakpak eksternal, seperti perubahan iklim 6) membantu

untuk mempertahankan budaya lokal, ekonomi, dan mata pencaharian yang

berhubungan erat dengan lingkungan laut dan, 7) menjadi patokan untuk

diganggu, bagi ekosistem-ekosistem alami, yang dapat digunakan untuk

mengukur dampak kegiatan manusia di daerah lain, dan dengan demikian bisa

membantu meningkatkan manajemen sumberdaya.

Pengenalan kepada masyarakat diawali dengan memberikan pengetahuan

tentang konservasi dan KKL kepada lima orang kepala suku yaitu Bataona,

Belikololo, Lewotukan dan 2 kepala suku tuan tanah Lango Fujjo dan Tufaona.

Dalam laporan WWF (2006), disampaikan bahwa pemahaman terhadap

konservasi dan KKL dimengerti dengan baik oleh para kepala suku, dan mereka

mendukung program MPA karena mereka memahami bahwa perburuan paus akan

mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Selain itu mereka juga berpikir

bahhwa perburuan tersebut tidak akan mampu mendukung biaya hidup mereka.

Dukungan terhadap konservasi ketika itu dikatakan 100 persen. Meskipun

dengan beberapa catatan yang ingin dipertahankan apabila konservasi berjalan,

seperti 1) mereka ingin tetap memegang tradisi dan budayanya, 2) mereka tidak

mau dilarang untuk berburu paus, 3) mereka memerlukan beberapa training

perikanan terutama penangkapan tuna, dan 4) menghentikan nelayan-nelayan luar

datang menangkap ikan di Lamalera. Ketika pemahaman mengenai konservasi

diberikan kepada kaum muda, kebanyakan memahami secara berbeda, dan mereka

120

meyakini bahwa konservasi adalah pelarangan bagi penangkapan ikan atau

aktivitas lainnya. Dari sejak awal ini dapat diketahui bahwa penerimaan antar

masyarakat terhadap konservasi berbeda.

Walaupun memiliki pemahaman yang berbeda, tetapi kehadiran WWF

masih diterima dengan baik oleh masyarakat Lamalera. Beberapa program WWF

berjalan baik dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Salah satu kegiatan

besar adalah program photovoice yang terselenggara atas kerjasama antara WWF

dengan National Geographic Indonesia. Photovoice disebut sebagai wadah untuk

memberdayakan masyarakat melalui photografi, dengan tujuan memberikan

informasi visual kepada orang luar mengenai komunitas Lamalera langsung dari

masyarakat Lamalera. Dalam sebuah catatan seorang anggota photovoice

dikatakan bahwa photo-photo yang dihasilkan akan membantu WWF, LSM lain

serta pemerintah untuk mengembangkan serta mengimplementasikan sebuah

rencana pengelolaan area dilindungi.

Konflik antara masyarakat Lamalera dengan WWF muncul ketika Agus

Darmawan, Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan

Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)

mengatakan "Laut seluas 4,5 juta hektar tersebut akan menjadi satu-satunya

kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus,". Pernyataan itu

disampaikan oleh Agus Darmawan di sela acara seminar nasional "Moluska II:

Peluang Bisnis dan Konservasi" di Bogor. Pernyataan Agus Darmawan menjadi

berita di Antara pada besok harinya.

Informasi ini berkembang kemana-mana. Mendengar informasi ini,

masyarakat Lamalera yang merantau di Jakarta, Kupang, Labuan Bajo dan

Loweleba segera menghubungi sanak keluarga mereka untuk mendapatkan

informasi mengenai apa yang sedang terjadi di lefo, kegiatan apa yang dilakukan

dan kesepakatan apa saja yang dibuat oleh masyarakat dengan WWF selama ini.

Bagi masyarakat di Lamalera, pertanyaan-pertanyaan yang datang dari

rantau berbalik menjadi informasi. Walau pernah terlintas pemikiran bahwa

konservasi akan berdampak pelarangan untuk berburu paus, tetapi hubungan yang

tercipta dengan WWF serta pemahaman mengenai konservasi dan KKL yang

121

diterima tidak pernah sampai pada pelarangan berburu paus, maka masyarakat

tidak menolak kedatangan WWF dan bekerjasama secara baik dengan WWF.

Kehebohan mulai terjadi lefo Lamalera. Beberapa pihak yang dekat

dengan WWF dan dipilih untuk membantu program WWF bertahan untuk

membina hubungan baik dengan WWF sementara banyak masyarakat berbalik

menentang WWF dan program-programnya. Narasi berkembang bahwa

konservasi yang dibawa WWF akan melarang mereka untuk berburu paus.

Beberapa sosialisasi yang diberikan kembali untuk meluruskan pemahaman

pernah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, tetapi masyarakat

Lamalera lebih percaya dengan apa yang dikatakan saudara-saudara mereka

diperantauan. Bahwa konservasi kelak akan mengamcam budaya leluhur mereka.

Selain WWF, sebenarnya di Lamalera juga pernah kedatangan LSM lain

yaitu Whale Dolphin Wacthing Program (WDWP). LSM ini adalah LSM kecil

yang digerakkan oleh dua orang pecinta satwa dari Eropa. WDWP dengan jelas

memberikan alternatif kegiatan pengganti perburauan paus dengan kegiatan

menonton paus (whale wacthing). Sebagai contoh, mereka mengenalkan kepada

masyarakat tentang kegiatan Pengintaian Paus dan Lumba-lumba (PPLL) di

Kaikora-Selandia Baru. WDWP datang ke Lamalera hanya sebentar saja.

Selanjutnya dua aktivis mereka kembali ke Eropa. Mereka mengatakan akan

menggalang dana di Eropa untuk menjalankan program di Lamalera. Selanjutnya

mereka menggandeng satu LSM lokal untuk tetap membangun interaksi dengan

masyarakat sampai nanti mereka kembali lagi ke Lamalera dan melanjutkan

programnya.

Bagi masyarakat di Lamalera WDWP dianggap sama dengan WWF atau

WDWP sebenarnya juga dari WWF. Karena tujuan mereka sama yaitu

menghentikan perburuan paus. Aktivis WWF ketika peneliti tanya mengenai

WDWP jelas menolak bahwa WDWP adalah WWF. Mereka menyayangkan

dugaan yang berkembang di masyarakat. Mereka juga mengatakan bahwa WDWP

merusak semua hubungan baik antara WWF dengan masyarakat selama ini.

Karena WDWP lah yang berniat untuk menghentikan perburuan paus di Lamalera

sedangkan WWF tidak pernah sekalipun mengatakan hal itu kepada masyarakat

Lamalera. Whale whacthing adalah ide yang dibawa oleh WDWP. Sedangkan

122

WWF memilih untuk mengenalkan usaha perikanan yang berkesinambungan

(sustainable fisheries) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

: Menunjukkan konflik

: Menunjukkan aviliasi

Gambar 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera

Kegiatan perikanan berkelanjutan dari WWF dalam bentuk pengenalan

rumpon dan penangkapan tuna dengan pancing pada mulanya diikuti dengan baik

oleh nelayan Lamalera. Setalah konflik konservasi muncul ke permukaan,

program itu dipahami terbalik oleh masyarakat. WWF berusaha merubah pola

hidup mereka dengan mengalihkan pencarian masyarakat dari berburu menjadi

memancing tuna dan memasang rumpon. Itulah caranya, dimana masyarakat

perlahan-lahan dijauhkan dari tradisi berburu sehingga dalam beberapa tahun

kemudian generasi yang ada akan lupa bagaimana cara leluhur mereka menikam

koteklema. Cara ini adalah sebuah strategi agar WWF tidak perlu secara terbuka

menyampaikan kepada masyarakat bahwa berburu paus itu dilarang dan harus

dihentikan. Karena masyarakat yakin WWF pasti tahu bahwa masyarakat akan

menolak mereka apabila mereka mengatakan secara terang-terangan kepada

mereka bahwa konservasi ini jangka panjang bertujuan menghentikan perburuan

pada mamalia laut, koteklema.

WWF menyangkal semua asumsi itu. Tidak ada keinginan untuk

menghentikan perburuan paus. Kepada peneliti, WWF mengatakan bahwa mereka

sadar benar bahwa perburuan paus itu tidak mungkin bisa dilakukan. Walaupun

demikian mereka juga paham bahwa perburuan paus tidak memberi andil yang

Masy. Lamalera

PEMDA

WWF

WDWP

Photovoices

123

signifikan bagi perekonomian masyarakat. Sehingga apabila mereka bertahan

berburu paus maka tidak akan membantu penghidupan apalagi dengan tingkat

kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi lagi dengan barter. Seperti biaya sekolah

untuk anak-anak, biaya transportasi yang besar, pengobatan bagi yang sakit dan

keperluan lain yang membutuhkan uang. Maka WWF berniat untuk membantu

masyarakat Lamalera memiliki akses perekonomian di perikanan tangkap yang

lebih menjanjikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa LSM lingkungan

sebesar WWF bertindak seperti LSM yang bergerak di perekonomian masyarakat?

Mengapa program-program yang dijalankan adalah program untuk meningkatkan

pendapatan masyarakat? Pertanyaan seperti ini muncul dari PT, seorang tokoh

masyarakat Lamalera di Jakarta yang pulang ke lefo ketika itu. PT berpendapat

bahwa kerancuan itu jelas menjadi bukti bagi masyarakat bahwa mereka WWF

memiliki niat lain diluar apa yang mereka katakan kepada masyarakat. Mereka

menutupi target kegitan mereka yang kepada masyarakat.

BB seorang Lamalera di Jakarta mengatakan bahwa masyarakat telah

dibohongi. Tetapi ini bukan kesalahan mereka. Karena masyarakat di lefo

memang tidak tahu siapa WWF, apa saja kegiatan mereka, dimana mereka

melakukan kegiatan dan apa yang menjadi perhatian besar LSM tersebut. Bagi

masyarakat ketika WWF datang dengan bantuan dan perhatian yang baik kepada

mereka, sudah pasti diterima dengan baik. Tetapi orang Lamalera yang diluar lefo

pastinya akan berpikir berbeda. Karena mereka memiliki akses untuk mencari

tahu apa yang diinginkan WWF ke Lamalera.

Orang Lamalera diperantauan tidak bisa membiarkan konservasi masuk ke

daerah mereka. Oleh karena itu mereka bersepakat untuk menolaknya. Di Lefo

Lamalera, masyarakat yang merasa khawatir, tidak berani membuat tindakan

tanpa persetujuan dari saudara mereka yang ada di Jakarta, Kupang dan Flores.

PKB, orang tua dan tokoh masyarakat Lamalera mengatakan bahwa mereka

meminta orang Lamalera di rantau untuk bersama dengan mereka ketika mereka

harus berhadapan dengan orang WWF, Pemerintah Lembata dan pihak lain. PKB

khawatir apabila masyarakat lefo sendiri menghadapi WWF maka mereka akan

124

dibohongi kembali. Seperti WWF dan WDWP dulu membohongi mereka dengan

tidak jujur mengatakan tujuan mereka melakukan program di Lamalera.

Orang Lamalera di Jakarta dan Kupang memiliki andil besar dalam

penolakan Sawu II menjadi wilayah KKPN Sawu. Hal ini juga tidak terlepas dari

kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat di lefo kepada mereka untuk tetap

mengambil sikap dan memantau setiap perkembangan yang terjadi. Kepercayaan

yang diberikan terlihat sangat berlebihan. Masyarakat bahkan tidak mau membuat

keputusan dengan pihak luar tanpa melibatkan saudara-saudara mereka di

perantauan. Mereka khawatir akan dibodohi oleh WWF, Dinas Kelautan dan

Perikanan, WDWP dan LSM lain yang pernah masuk membawa program ke

dalam lefo.

Di Jakarta, penolakan terhadap konservasi Laut Sawu mendorong orang

Lamalera disana membuat Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan

Paus Lamalera. Forum ini terdiri dari masyarakat Lamalera di Jakarta dan

sekitarnya, orang Lembata dan orang Flores yang peduli dengan tradisi ini. Forum

ini secara aktif memantau perkembangan di Lamalera. Forum membuat surat

pernyataan sikap yang disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanaan

bahwa mereka menolak rencana Konservasi Laut Sawu khususnya Sawu II.

Forum juga secara aktif mengumpulkan dukungan dari ilmuan yang pernah

melakukan studi di Lamalera, para wisatawan yang peduli dengan tradisi mereka

serta melakukan advokasi melalui surat kabar.

Di Kupang melalui pers, orang Lamalera mengangkat persoalan ini.

Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan opini yang

mendukung penolakan Konservasi Sawu terutama yang berhubungan dengan

pelarangan berburu paus. Baik di Kupang maupun Jakarta, beberapa orang

Lamalera sendiri aktif bergerak di jurnalisme, sehingga tidak mengherankan pada

masa-masa konflik antara masyarakat Lamalera dan WWF terjadi, cukup banyak

berita pada surat kabar di Kupang dan Flores mengangkat persoalan ini.

Sementara di Jakarta, surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Antara beberapa

kali memberitakan hal ini.

125

Gambar 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu.

Sawu II dalam usulan KKP Laut Sawu terdiri dari kawasan pesisir dan

perairan di Kab. Flores Timur, Solor, Lembata, Pantar dan Alor. Berdasarkan

hasil studi marine biology yang pernah dilakukan dikatakan bahwa wilayah ini

merupakan tempat peruaya paus dan lumba-lumba. Arti pentingnya kawasan ini

bagi konservasi biota laut menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Lamalera.

Peneliti mengetahui bahwa bagi masyarakat Lamalera berburu paus bukan sebatas

kegiatan ekonomi semata, tetapi tradisi yang sarat nilai. Pemaknaan tradisi ini

bagi masyarakat Lamalera tentunya lebih dari apa yang peneliti ketahui.

Penolakan Sawu II ke dalam KKPN Laut Sawu oleh masyarakat Lamalera

dapat dipahami. Usaha mereka untuk menggagalkannya dilakukan di lefo dengan

menyampaikan penolakan kepada Bupati Kab. Lembata dan Dinas Kelautan dan

Perikanan. Opini dan dukungan publik didapatkan dengan mengangkat isu ini di

surat kabar di Kupang dan Jakarta dan dari Jakarta, BB diutus untuk mengawal

World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative Summit yang

dilaksanakan di Manado, Sulawesi Utara pada Mei 2009. Mengutus BB ke WOC

di Menado bertujuan untuk memastikan bahwa Sawu II benar dikeluarkan dari

KKN Laut Sawu pada saat KKPN ini dideklarasikan. Even ini adalah momen

126

yang paling penting dalam perjuangan masyarakat Lamalera dalam menggagalkan

program konservasi di kampung mereka.

Lamalera tidak hanya berhasil menolak Sawu II dalam KKPN Laut Sawu

tetapi Lamalera juga keluar dari KKLD Solar. Meskipun usaha mereka menolak

konservasi telah berhasil, tetapi di dalam lefo sebenarnya telah terjadi

ketidakharmonisan. Prasangka antar orang merusak hubungan bermasyarakat.

Kecurigaan kepada beberapa orang yang dianggap kaki tangan WWF terus

bermunculan. Musyawarah di lefo yang diselesaikan untuk menyelesaikan konflik

memutuskan bahwa WWF tidak lagi diijinkan datang ke Lamalera, dan

masyarakat dilarang untuk membahas lagi masalah konservasi. Semua

pembicaraan mengenai konservasi dihentikan, lefo memutuskan tidak akan pernah

menerima program tersebut dan masyarakat diminta untuk kembali menjalankan

kegiatan sebagaimana biasanya.

Peneliti berada di Lamalera pada saat pembicaraan tentang konservasi

tidak boleh lagi dibahas di dalam lefo. Sehingga beberapa informasi kadang kala

dikumpulkan secara diam-diam. Memang lefo Lamalera belum tenang

sepenuhnya. Ketidakharmonisan dalam masyarakat masih saja ada. Ketika itu

musim lefa, musim dimana koteklema paling sering ditemukan bermain diperairan

mereka. Di sepanjang tahun ketika lefo dilanda kekacauan, koteklema tidak pernah

terlihat. Dalam sistem keyakinannya, masyarakat percaya bahwa ketika lefo dalam

keadaan tidak tenang dan tidak harmonis serta rasa percaya dalam msyarakat

sangat kurang maka tidak akan pernah berhasil nelayan menikam koteklema.

Masyarakat Lamalera harus membayar kekacauan yang terjadi di dalam lefo

dengan paceklik dan selama hampir setahun koteklema tidak datang ke kampung

mereka.