BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI · lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari...
Transcript of BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI · lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari...
BAB VI
LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI
Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera
dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui
dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu.
Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari
Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor (KKLD Solar).
Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena
menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi
tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan
pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang
sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka.
6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera
Konservasi dalam konteks lokal ini tidak diterjemahkan sebagai tindakan
perlindungan atau preservasi, tetapi bagaimana masyarakat tradisional
memanfaatan sumberdaya dengan batasan-batasan yang memperhatikan tingkat
keadaan lingkungan, kebutuhan hidup, batasan alam dan batasan-batasan spritual
yang dianut. Pemaknaan konservasi seperti ini sangat erat hubungannya dengan
kearifan lokal masyarakat tradisional dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan
mereka.
Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam
menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada bentuk
konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian.
Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal. Pertama teknologi
tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya. Sebagaimana
yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan
Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan paus hanya boleh dilakukan pada
masyarakat yang menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal, tidak
menggunakan senjata api. Tena laja milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam
kategori perahu tradisional. Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan
113
tersebut tidak merubah dasar konstruksinya. Perubahan yang paling berarti adalah
penggunaan mesin di tena laja. Tetapi pada dasarnya mesin di tena laja membawa
nilai hanya sebagai alat bantu untuk mempercepat laju perahu saja. Sementara alat
tikam masih mamakai tempuling yang terdiri dari mata tombak dan bambu.
Kearifan kedua berkaitan dengan teritorial lautnya yang membatasi area
penangkapan (fishing ground). Nelayan mengenal beberapa batasan jarak dalam
melaut yang disebut kajo. Area penangkapan nelayan Lamalera ditandai dengan
1. koli buka, tanda di bagian barat dengan melihat tanjung sebelah Folofutu
2. penutu buka, tanda di bagian timur dengan melihat tanjung setelah Atadei.
3. kebili bela buka, tanda di bagian timur
4. bobu buka, tanda dibagian timur
5. lambote buka dan,
6. suba duk, batas terluar melaut ke sebelah barat.
Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui selama
melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi batas-batas
yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu mereka dalam
mengenali arah dimana kampung mereka berada. Hingga saat penelitian
dilakukan, meskipun sudah menggunakan mesin tetapi jarak melaut dengan tetap
mempertimbangkan jarak dengan lefo Lamalera.
Bentuk kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan
mamalia dan ikan besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan
masa selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama
keluar untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa
khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema dibiarkan dan tidak
diburu karena ketika itu ikan pari sedang naik/banyak. Memilih pari lebih
diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko yang lebih besar ketika
berburu koteklema.
Pada koteklema, nelayan Lamalera tidak akan memburunya dimanapun
mereka menemukannya. Mereka memiliki batasan sendiri dimana dan kapan saja
koteklema boleh ditikam. Prinsip utama bagi mereka untuk berburu koteklema
adalah keselamatan. Semakin jauh mereka berburu dari lefo, maka akan semakin
tidak terjamin keamanan bagi meing yang berburu. Salah satu contoh adalah
114
larangan bagi melayan untuk memburu koteklema dan paus lain di daerah-daerah
tertentu seperti di Selat Lewotobi dan Pantar.
Nelayan Lamalera mengenal karakter koteklema berbeda dengan banyak
mamalia lainnya. Koteklema lebih liar, kuat dan seringkali bergerombol serta
setiap individu memiliki solidaritas untuk melindungi kelompok mereka. Karakter
koteklema ini juga membatasi nelayan karena tidak diperkenankan satu tena laja
memburu koteklema sendiri dan tidak mengabari ke meing yang lain.
Lebih penting dari semua aturan-aturan diatas, nilai kearifan nelayan
Lamarela terletak pada tata cara mereka menghargai pemberian laut serta ekonomi
subsistennya. Masyarakat Lamalera terikat dengan norma yang mengatur tingkah
laku mereka dalam memanfaatkan ikan. Salah satu nilai yang ditanamkan pada
setiap orang di Lamalera yaitu penghargaan terhadap penghasilan ola nua. Setiap
hasil melaut harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak boleh ada yang disia-
siakan. Etika masyarakat Lamalera mengharamkan mereka untuk dengan sengaja
membuang segala rezeki yang diberikan oleh laut. Bahkan tindakan tidak
disengaja pun mendapatkan teguran.
Pemaknaaan konservasi bagi masyarakat tradisional juga tidak bisa
dipisahkan dengan kebutuhan subsisten mereka. Dalam hal ini, perlu dibahas juga
bahwa mamalia dan ikan yang diburu oleh masyarakat adalah mamalia dan ikan
yang bisa diawetkan. Dalam perekonomian lokal, koteklema bisa menyokong
penghidupan sebuah rumah tangga sampai satu bulan, berbeda dengan jenis ikan
lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari barter ke pedalaman bisa habis.
Hal ini karena pembagian yang di dapat dari koteklema jauh lebih banyak
dibanding pembagian dari pari dan ikan lainnya. Masyarakat juga dapat
memanfaatkan kulit dan minyak koteklema yang mengandung banyak lemak
untuk digunakan sebagai minyak lentera dan obat.
6.2. KKLD Solar dan KKPN Sawu
Kawasan konservasi laut (KKL) atau marine protected area (MPA)
memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan
ekosistem laut, sama pentingnya dengan kawasan konservasi darat (terrestrial
protected area). Kehadiran ekosistem pesisir dan laut dengan terumbu karangnya
115
dan pulau-pulau kecil dalam KKL merupakan nilai penting tersendiri karena
selain kaya akan keanekaragaman hayati laut, juga ekosistemnya sangat rentan
(fragile) terhadap gangguan dan perubahan. Di sisi lain, akses laut yang relatif
terbuka dapat menjadi ancaman yang mengkhawatirkan dalam konteks
perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati laut beserta ekosistemnya.
Oleh karena itu, KKL dirancang untuk sejumlah alasan, termasuk pengelolaan
perikanan, promosi wisata, dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
KKL didefinisikan dengan banyak istilah di seluruh dunia seperti
pencadangan laut, pelindungan laut secara utuh, zona larang ambil, perlindungan
laut, taman laut, wilayah laut yang dikelola secara lokal dan sebagainya. Banyak
penamaan ini memiliki tingkat perlindungan yang berbeda dalam meletakkan
batasan-batasan terhadap aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan dan dilarang.
WWF menggunakan istilah KKL sebagai gambaran menyeluruh dari area yang
dirancang untuk melindungi ekosistem laut, proses-proses, habitat-habitat, dan
spesies, yang dapat berkontribusi pada pemulihan dan penambahan sumberdaya
untuk pengayaan sosial, ekonomi, dan budaya36
.
Definisi lain dari KKL menurut IUCN (2003) adalah perairan pasang
surut, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, dan penampakan sejarah serta
budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk
melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Wiryawan (2005: 4)
mengatakan bahwa kawasan atau wilayah yang akan dikonservasi bisa berupa
perairan, atau termasuk juga daratan di kawasan pesisir, yang nantinya akan
disahkan dengan aturan formal maupun aturan lain seperti peraturan adat.
Di Indonesia komitmen untuk mewujudkan kawasan konservasi
disampaikan oleh Presiden RI dalam Forum the Conference on Convention on
Biological Diversity (CBD) di Brazil pada tahun 2006. Kawasan konservasi yang
ditargetkan adalah 10 juta hektar pada tahun 2010 dan 20 juta hektar pada tahun
2020. Untuk menindaklanjuti komitmen pemerintah tersebut, Departemen
Kelautan dan Perikanan mengidentifikasi dan menginventarisasi kawasan perairan
di Indonesia, salah satunya di perairan Laut Sawu.
36 http://wwf.panda.org/what_we_do/how_we_work/conservation/marine/protected_areas/
116
a. KKLD Solar
Diskursus konservasi laut khususnya yang terkait dengan perlindungan
cetacean menjadi dasar inisiatif awal pembentukan Kawasan Konservasi Laut
Solor-Lembata-Alor (KKL-Solar). KKLD Solar mulai diinisasi sejak tahun 2001
oleh WWF danTNC melalui ekspedisi yang dilakukan di Kepulauan Solor dan
Alor. Dalam eksedisi tersebut diidentifikasi status lingkungan laut seperti kondisi
terumbu karang, distribusi ikan, manta dan organisme laut besar lainnya serta
keragaman dan distribusi cetaceans dan lumba-lumba. Ekspedisi tersebut juga
mengenali aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kehidupan laut di Desa
Lamalera dan Lamakera. Dari ekspedisi tersebut disimpulkan bahwa koridor laut
tersebut merupakan kawasan yang sensitif dengan intensitas aktivitas perikanan
yang dapat berdampak terhadap populasi kehidupan laut. Oleh karena itu, prioritas
utama adalah mengelaborasi isu ini kepada pemerintah lokal, regional dan
nasional dan meletakkan area ini dibawah perhatian kelompok-kelompok
konservasi dan para donor. Hasil ekspedisi digunakan untuk merancang
komponen Alor dan Solor untuk program konservasi cetacean Indonesia. Dan
kawasan selanjutnya banyak dibicarakan untuk masuk dalam kawasan perioritas
di program strategi pengembangan Flores-Banda Marine Ecoregion WWF
Indonesia dan dalam marine Program TNC Indonesia (Soede, 2002: 5)
Hasil ekspedisi ini menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan
konservasi Laut Sawu dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan kajian
lebih lanjut tentang potensi Laut Sawu pada tahun 2005. Sebagai bentuk
komitmen terhadap program pemerintah pusat maka pada Februari 2006
pemerintah Provinsi NTT membentuk Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan
Konservasi Laut Sawu (PP-KKL) melalui SK Gubernur No. 190/KEP/HK/2006
tentang Pembentukan Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut
Sawu, Solor, Lembata, Alor (Solar).
WWF adalah LSM yang dari awal fokus dengan KKL Solar dan
menjalankan programnya sampai saat ini. Untuk menunjang KKL Solar, maka
WWF menggalang dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk
117
melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati di perairan Solar. WWF berhasil
menggandeng pemerintah daerah untuk membuat komitmen untuk melindungi
dan menjaga keanekaragaman hayati dalam menunjang pembentukan kawasan
konservasi perlindungan laut Solor-Lembata-Alor. Komitmen ini ditandatangani
di Lewoleba pada 30 April 2007 oleh Bupati Kab. Flores Timur, Kab. Lembata,
Kab Alor, Gubernur NTT, Tim PP-KKL, Program Kelautan TNC dan WWF
Indonesia.
b. KKPN Laut Sawu
Sebagian wilayah perairan Laur Sawu dicadangkan sebagai KKPN Laut
Sawu melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No.Kep.38/Men/2009 tentang
Pencadangan Kawasan Konservasi perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pencadangan ini merupakan hasil dari upaya yang
dilakukan baik oleh TNC-Coral Triangel Center (TNC-CTC), WWF ataupun oleh
pemerintah.
Gambar 8. Peta Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Provinsi
Nusa Tenggara Timur
Usulan awal KKPN laut sawu terdiri atas 3 kawasan yang terdiri dari
Sawu I seluas 560.606 hektar, Sawu II seluas 1.537.254 hektar dan Sawu II satu
118
seluas 2.763.899 hektar. Penolakan masyarakat nelayan Lamalera berhasil
mengeluarkan Sawu II dalam KKPN Laut Sawu sehingga dalam Keputusan
Menteri diatas hanya dua kawasan yang ditetapkan sebagai wilayah KKPN Laut
Sawu. Usulan KKPN Laut Sawu yang luas salah satunya bertujuan untuk
mengelola tekanan-tekanan terhadap cetacean dan satwa laut lain yang besar yang
sedang meningkat cepat dan juga untuk melindungi habitat-habitat lain yang
saling berhubungan.
6.3. Dinamika Penetapan Konservasi Laut di Lamalera
Ada beberapa daftar ancaman terhadap kawasan Laut Sawu yang diuraikan
oleh aktivis konservasi. Ancaman tersebut adalah penangkapan ikan yang
merusak, pencurian ikan oleh kapal asing, degradasi fisik habitat pesisir dan
lautan, eksploitasi yang berlebihan untuk beberapa jenis komoditi perikanan yang
bernilai tinggi, pencemaran laut oleh jalur pelayaran serta terancamnya berbagai
jenis biota laut seperti paus, lumba-lumba, pari dan penyu. Dengan alasan
ancaman yang diurai di atas, maka kawasan laut sawu perlu dikelola dengan
menggenalkan konsep ekologi skala besar. Konsep yang ditawarkan oleh WWF
untuk mengelola Laut Sawu adalah konsep kawasan bentang laut yaitu
pengelolaan areal laut dan pesisir yang saling berhubungan dari sisi ekologi,
oseanologi/pola arus dan genetik biota laut.
Adanya kesinambungan yang tinggi antara terumbu karang, bakau dan
komponen ekosistem laut di bentang Laut Sawu, maka WWF manyarankan agar
bentang laut tersebut dikelola dengan basis ekosistem. Konsep pengelolaan
berbasis ekosistem (PBE) berkaitan dengan dua kepemilikan sistem kelola alam:
1) sumberdaya alam yang dieksploitasi berhubungan dengan ekosistem
disekitarnya, 2) pemanfaatan sumberdaya alam dapat berpengaruh terhadap
sumberdaya lainnya dan aspek ekosistem lain. Dalam pengelolaan ini, Informasi
ekologi merupakan sumber utama untuk membuat keputusan personal maupun
keputusan sosial. Dengan konsep pengelolaan berbasis ekosistem maka untuk
melindungi pokok-pokok ekologi kawasan pesisir, keanekaragaman biologi serta
menjamin kemanfaatan berkelanjutan maka dipromosikan pemanfaatan
sumberdaya laut yang tepat seperti dengan menggunakan budidaya dan ekowisata.
119
Konservasi dan KKL merupakan wadah dimana kepentingan untuk
menjaga keseimbangan lingkungan laut dapat difasilitasi. WWF pada tahun 2006
datang ke Lamalera untuk mengenalkan masyarakat pada konservasi dan KKL.
Beberapa keuntungan yang akan didapat dari penetapan KKL menurut WWF,
meliputi: 1) memelihara keanekaragaman hayati dan menyediakan tempat
perlindungan bagi spesies, 2) melindungi habitat-habitat penting dari kerusakan
oleh praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan kegiatan
manusia lainnya dan memungkinkan untuk memulihkan kawasan yang rusak,
3) menyediakan tempat bertelur dan berkembang sampai ukuran dewasa bagi
ikan, 4) meningkatkan tangkapan ikan (baik secara ukuran dan kuantitas) di
sekitar daerah pemancingan, 5) membangun resiliensi untuk melindungi
lingkungan dari dampak-dakpak eksternal, seperti perubahan iklim 6) membantu
untuk mempertahankan budaya lokal, ekonomi, dan mata pencaharian yang
berhubungan erat dengan lingkungan laut dan, 7) menjadi patokan untuk
diganggu, bagi ekosistem-ekosistem alami, yang dapat digunakan untuk
mengukur dampak kegiatan manusia di daerah lain, dan dengan demikian bisa
membantu meningkatkan manajemen sumberdaya.
Pengenalan kepada masyarakat diawali dengan memberikan pengetahuan
tentang konservasi dan KKL kepada lima orang kepala suku yaitu Bataona,
Belikololo, Lewotukan dan 2 kepala suku tuan tanah Lango Fujjo dan Tufaona.
Dalam laporan WWF (2006), disampaikan bahwa pemahaman terhadap
konservasi dan KKL dimengerti dengan baik oleh para kepala suku, dan mereka
mendukung program MPA karena mereka memahami bahwa perburuan paus akan
mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Selain itu mereka juga berpikir
bahhwa perburuan tersebut tidak akan mampu mendukung biaya hidup mereka.
Dukungan terhadap konservasi ketika itu dikatakan 100 persen. Meskipun
dengan beberapa catatan yang ingin dipertahankan apabila konservasi berjalan,
seperti 1) mereka ingin tetap memegang tradisi dan budayanya, 2) mereka tidak
mau dilarang untuk berburu paus, 3) mereka memerlukan beberapa training
perikanan terutama penangkapan tuna, dan 4) menghentikan nelayan-nelayan luar
datang menangkap ikan di Lamalera. Ketika pemahaman mengenai konservasi
diberikan kepada kaum muda, kebanyakan memahami secara berbeda, dan mereka
120
meyakini bahwa konservasi adalah pelarangan bagi penangkapan ikan atau
aktivitas lainnya. Dari sejak awal ini dapat diketahui bahwa penerimaan antar
masyarakat terhadap konservasi berbeda.
Walaupun memiliki pemahaman yang berbeda, tetapi kehadiran WWF
masih diterima dengan baik oleh masyarakat Lamalera. Beberapa program WWF
berjalan baik dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Salah satu kegiatan
besar adalah program photovoice yang terselenggara atas kerjasama antara WWF
dengan National Geographic Indonesia. Photovoice disebut sebagai wadah untuk
memberdayakan masyarakat melalui photografi, dengan tujuan memberikan
informasi visual kepada orang luar mengenai komunitas Lamalera langsung dari
masyarakat Lamalera. Dalam sebuah catatan seorang anggota photovoice
dikatakan bahwa photo-photo yang dihasilkan akan membantu WWF, LSM lain
serta pemerintah untuk mengembangkan serta mengimplementasikan sebuah
rencana pengelolaan area dilindungi.
Konflik antara masyarakat Lamalera dengan WWF muncul ketika Agus
Darmawan, Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan
Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
mengatakan "Laut seluas 4,5 juta hektar tersebut akan menjadi satu-satunya
kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus,". Pernyataan itu
disampaikan oleh Agus Darmawan di sela acara seminar nasional "Moluska II:
Peluang Bisnis dan Konservasi" di Bogor. Pernyataan Agus Darmawan menjadi
berita di Antara pada besok harinya.
Informasi ini berkembang kemana-mana. Mendengar informasi ini,
masyarakat Lamalera yang merantau di Jakarta, Kupang, Labuan Bajo dan
Loweleba segera menghubungi sanak keluarga mereka untuk mendapatkan
informasi mengenai apa yang sedang terjadi di lefo, kegiatan apa yang dilakukan
dan kesepakatan apa saja yang dibuat oleh masyarakat dengan WWF selama ini.
Bagi masyarakat di Lamalera, pertanyaan-pertanyaan yang datang dari
rantau berbalik menjadi informasi. Walau pernah terlintas pemikiran bahwa
konservasi akan berdampak pelarangan untuk berburu paus, tetapi hubungan yang
tercipta dengan WWF serta pemahaman mengenai konservasi dan KKL yang
121
diterima tidak pernah sampai pada pelarangan berburu paus, maka masyarakat
tidak menolak kedatangan WWF dan bekerjasama secara baik dengan WWF.
Kehebohan mulai terjadi lefo Lamalera. Beberapa pihak yang dekat
dengan WWF dan dipilih untuk membantu program WWF bertahan untuk
membina hubungan baik dengan WWF sementara banyak masyarakat berbalik
menentang WWF dan program-programnya. Narasi berkembang bahwa
konservasi yang dibawa WWF akan melarang mereka untuk berburu paus.
Beberapa sosialisasi yang diberikan kembali untuk meluruskan pemahaman
pernah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, tetapi masyarakat
Lamalera lebih percaya dengan apa yang dikatakan saudara-saudara mereka
diperantauan. Bahwa konservasi kelak akan mengamcam budaya leluhur mereka.
Selain WWF, sebenarnya di Lamalera juga pernah kedatangan LSM lain
yaitu Whale Dolphin Wacthing Program (WDWP). LSM ini adalah LSM kecil
yang digerakkan oleh dua orang pecinta satwa dari Eropa. WDWP dengan jelas
memberikan alternatif kegiatan pengganti perburauan paus dengan kegiatan
menonton paus (whale wacthing). Sebagai contoh, mereka mengenalkan kepada
masyarakat tentang kegiatan Pengintaian Paus dan Lumba-lumba (PPLL) di
Kaikora-Selandia Baru. WDWP datang ke Lamalera hanya sebentar saja.
Selanjutnya dua aktivis mereka kembali ke Eropa. Mereka mengatakan akan
menggalang dana di Eropa untuk menjalankan program di Lamalera. Selanjutnya
mereka menggandeng satu LSM lokal untuk tetap membangun interaksi dengan
masyarakat sampai nanti mereka kembali lagi ke Lamalera dan melanjutkan
programnya.
Bagi masyarakat di Lamalera WDWP dianggap sama dengan WWF atau
WDWP sebenarnya juga dari WWF. Karena tujuan mereka sama yaitu
menghentikan perburuan paus. Aktivis WWF ketika peneliti tanya mengenai
WDWP jelas menolak bahwa WDWP adalah WWF. Mereka menyayangkan
dugaan yang berkembang di masyarakat. Mereka juga mengatakan bahwa WDWP
merusak semua hubungan baik antara WWF dengan masyarakat selama ini.
Karena WDWP lah yang berniat untuk menghentikan perburuan paus di Lamalera
sedangkan WWF tidak pernah sekalipun mengatakan hal itu kepada masyarakat
Lamalera. Whale whacthing adalah ide yang dibawa oleh WDWP. Sedangkan
122
WWF memilih untuk mengenalkan usaha perikanan yang berkesinambungan
(sustainable fisheries) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
: Menunjukkan konflik
: Menunjukkan aviliasi
Gambar 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera
Kegiatan perikanan berkelanjutan dari WWF dalam bentuk pengenalan
rumpon dan penangkapan tuna dengan pancing pada mulanya diikuti dengan baik
oleh nelayan Lamalera. Setalah konflik konservasi muncul ke permukaan,
program itu dipahami terbalik oleh masyarakat. WWF berusaha merubah pola
hidup mereka dengan mengalihkan pencarian masyarakat dari berburu menjadi
memancing tuna dan memasang rumpon. Itulah caranya, dimana masyarakat
perlahan-lahan dijauhkan dari tradisi berburu sehingga dalam beberapa tahun
kemudian generasi yang ada akan lupa bagaimana cara leluhur mereka menikam
koteklema. Cara ini adalah sebuah strategi agar WWF tidak perlu secara terbuka
menyampaikan kepada masyarakat bahwa berburu paus itu dilarang dan harus
dihentikan. Karena masyarakat yakin WWF pasti tahu bahwa masyarakat akan
menolak mereka apabila mereka mengatakan secara terang-terangan kepada
mereka bahwa konservasi ini jangka panjang bertujuan menghentikan perburuan
pada mamalia laut, koteklema.
WWF menyangkal semua asumsi itu. Tidak ada keinginan untuk
menghentikan perburuan paus. Kepada peneliti, WWF mengatakan bahwa mereka
sadar benar bahwa perburuan paus itu tidak mungkin bisa dilakukan. Walaupun
demikian mereka juga paham bahwa perburuan paus tidak memberi andil yang
Masy. Lamalera
PEMDA
WWF
WDWP
Photovoices
123
signifikan bagi perekonomian masyarakat. Sehingga apabila mereka bertahan
berburu paus maka tidak akan membantu penghidupan apalagi dengan tingkat
kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi lagi dengan barter. Seperti biaya sekolah
untuk anak-anak, biaya transportasi yang besar, pengobatan bagi yang sakit dan
keperluan lain yang membutuhkan uang. Maka WWF berniat untuk membantu
masyarakat Lamalera memiliki akses perekonomian di perikanan tangkap yang
lebih menjanjikan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa LSM lingkungan
sebesar WWF bertindak seperti LSM yang bergerak di perekonomian masyarakat?
Mengapa program-program yang dijalankan adalah program untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat? Pertanyaan seperti ini muncul dari PT, seorang tokoh
masyarakat Lamalera di Jakarta yang pulang ke lefo ketika itu. PT berpendapat
bahwa kerancuan itu jelas menjadi bukti bagi masyarakat bahwa mereka WWF
memiliki niat lain diluar apa yang mereka katakan kepada masyarakat. Mereka
menutupi target kegitan mereka yang kepada masyarakat.
BB seorang Lamalera di Jakarta mengatakan bahwa masyarakat telah
dibohongi. Tetapi ini bukan kesalahan mereka. Karena masyarakat di lefo
memang tidak tahu siapa WWF, apa saja kegiatan mereka, dimana mereka
melakukan kegiatan dan apa yang menjadi perhatian besar LSM tersebut. Bagi
masyarakat ketika WWF datang dengan bantuan dan perhatian yang baik kepada
mereka, sudah pasti diterima dengan baik. Tetapi orang Lamalera yang diluar lefo
pastinya akan berpikir berbeda. Karena mereka memiliki akses untuk mencari
tahu apa yang diinginkan WWF ke Lamalera.
Orang Lamalera diperantauan tidak bisa membiarkan konservasi masuk ke
daerah mereka. Oleh karena itu mereka bersepakat untuk menolaknya. Di Lefo
Lamalera, masyarakat yang merasa khawatir, tidak berani membuat tindakan
tanpa persetujuan dari saudara mereka yang ada di Jakarta, Kupang dan Flores.
PKB, orang tua dan tokoh masyarakat Lamalera mengatakan bahwa mereka
meminta orang Lamalera di rantau untuk bersama dengan mereka ketika mereka
harus berhadapan dengan orang WWF, Pemerintah Lembata dan pihak lain. PKB
khawatir apabila masyarakat lefo sendiri menghadapi WWF maka mereka akan
124
dibohongi kembali. Seperti WWF dan WDWP dulu membohongi mereka dengan
tidak jujur mengatakan tujuan mereka melakukan program di Lamalera.
Orang Lamalera di Jakarta dan Kupang memiliki andil besar dalam
penolakan Sawu II menjadi wilayah KKPN Sawu. Hal ini juga tidak terlepas dari
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat di lefo kepada mereka untuk tetap
mengambil sikap dan memantau setiap perkembangan yang terjadi. Kepercayaan
yang diberikan terlihat sangat berlebihan. Masyarakat bahkan tidak mau membuat
keputusan dengan pihak luar tanpa melibatkan saudara-saudara mereka di
perantauan. Mereka khawatir akan dibodohi oleh WWF, Dinas Kelautan dan
Perikanan, WDWP dan LSM lain yang pernah masuk membawa program ke
dalam lefo.
Di Jakarta, penolakan terhadap konservasi Laut Sawu mendorong orang
Lamalera disana membuat Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan
Paus Lamalera. Forum ini terdiri dari masyarakat Lamalera di Jakarta dan
sekitarnya, orang Lembata dan orang Flores yang peduli dengan tradisi ini. Forum
ini secara aktif memantau perkembangan di Lamalera. Forum membuat surat
pernyataan sikap yang disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanaan
bahwa mereka menolak rencana Konservasi Laut Sawu khususnya Sawu II.
Forum juga secara aktif mengumpulkan dukungan dari ilmuan yang pernah
melakukan studi di Lamalera, para wisatawan yang peduli dengan tradisi mereka
serta melakukan advokasi melalui surat kabar.
Di Kupang melalui pers, orang Lamalera mengangkat persoalan ini.
Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan opini yang
mendukung penolakan Konservasi Sawu terutama yang berhubungan dengan
pelarangan berburu paus. Baik di Kupang maupun Jakarta, beberapa orang
Lamalera sendiri aktif bergerak di jurnalisme, sehingga tidak mengherankan pada
masa-masa konflik antara masyarakat Lamalera dan WWF terjadi, cukup banyak
berita pada surat kabar di Kupang dan Flores mengangkat persoalan ini.
Sementara di Jakarta, surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Antara beberapa
kali memberitakan hal ini.
125
Gambar 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu.
Sawu II dalam usulan KKP Laut Sawu terdiri dari kawasan pesisir dan
perairan di Kab. Flores Timur, Solor, Lembata, Pantar dan Alor. Berdasarkan
hasil studi marine biology yang pernah dilakukan dikatakan bahwa wilayah ini
merupakan tempat peruaya paus dan lumba-lumba. Arti pentingnya kawasan ini
bagi konservasi biota laut menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Lamalera.
Peneliti mengetahui bahwa bagi masyarakat Lamalera berburu paus bukan sebatas
kegiatan ekonomi semata, tetapi tradisi yang sarat nilai. Pemaknaan tradisi ini
bagi masyarakat Lamalera tentunya lebih dari apa yang peneliti ketahui.
Penolakan Sawu II ke dalam KKPN Laut Sawu oleh masyarakat Lamalera
dapat dipahami. Usaha mereka untuk menggagalkannya dilakukan di lefo dengan
menyampaikan penolakan kepada Bupati Kab. Lembata dan Dinas Kelautan dan
Perikanan. Opini dan dukungan publik didapatkan dengan mengangkat isu ini di
surat kabar di Kupang dan Jakarta dan dari Jakarta, BB diutus untuk mengawal
World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative Summit yang
dilaksanakan di Manado, Sulawesi Utara pada Mei 2009. Mengutus BB ke WOC
di Menado bertujuan untuk memastikan bahwa Sawu II benar dikeluarkan dari
KKN Laut Sawu pada saat KKPN ini dideklarasikan. Even ini adalah momen
126
yang paling penting dalam perjuangan masyarakat Lamalera dalam menggagalkan
program konservasi di kampung mereka.
Lamalera tidak hanya berhasil menolak Sawu II dalam KKPN Laut Sawu
tetapi Lamalera juga keluar dari KKLD Solar. Meskipun usaha mereka menolak
konservasi telah berhasil, tetapi di dalam lefo sebenarnya telah terjadi
ketidakharmonisan. Prasangka antar orang merusak hubungan bermasyarakat.
Kecurigaan kepada beberapa orang yang dianggap kaki tangan WWF terus
bermunculan. Musyawarah di lefo yang diselesaikan untuk menyelesaikan konflik
memutuskan bahwa WWF tidak lagi diijinkan datang ke Lamalera, dan
masyarakat dilarang untuk membahas lagi masalah konservasi. Semua
pembicaraan mengenai konservasi dihentikan, lefo memutuskan tidak akan pernah
menerima program tersebut dan masyarakat diminta untuk kembali menjalankan
kegiatan sebagaimana biasanya.
Peneliti berada di Lamalera pada saat pembicaraan tentang konservasi
tidak boleh lagi dibahas di dalam lefo. Sehingga beberapa informasi kadang kala
dikumpulkan secara diam-diam. Memang lefo Lamalera belum tenang
sepenuhnya. Ketidakharmonisan dalam masyarakat masih saja ada. Ketika itu
musim lefa, musim dimana koteklema paling sering ditemukan bermain diperairan
mereka. Di sepanjang tahun ketika lefo dilanda kekacauan, koteklema tidak pernah
terlihat. Dalam sistem keyakinannya, masyarakat percaya bahwa ketika lefo dalam
keadaan tidak tenang dan tidak harmonis serta rasa percaya dalam msyarakat
sangat kurang maka tidak akan pernah berhasil nelayan menikam koteklema.
Masyarakat Lamalera harus membayar kekacauan yang terjadi di dalam lefo
dengan paceklik dan selama hampir setahun koteklema tidak datang ke kampung
mereka.