BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

18
97 KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN BAB VI

Transcript of BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

Page 1: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

97

KEBIJAKAN KONVERSIKAWASAN HUTAN KE

PERKEBUNAN

BAB VI

Page 2: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

98

Page 3: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

99

KEBIJAKAN KONVERSIKAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

Bab VI

6.1 DARI HUTAN KE PERKEBUNAN

Salah satu tujuan dari pembangunan perkebunan adalah untuk me-ningkatkan produksi dan memperbaiki mutu hasil, meningkatkan pen-dapatan, memperbesar nilai ekspor, mendukung industri, menciptakandan memperluas kesempatan kerja serta pemerataan pembangunan. Adatiga asas yang menjadi acuan dalam pembangunan perkebunan yang men-dasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi dan pem-bangunan nasional, yaitu:

1. Mempertahankan dan menngkatkan sumbangan bidang perkebunanbagi pendapatan nasional

2. Meperluas lapangan kerja, serta3. Memelihara kekayaan dan kelestarian alam dan meningkatkan ke-

suburan sumberdaya.

1. Perkembangan perkebunanPerkebunan yang sudah memperoleh izin pelepasan untuk area

perkebunan di Kabupaten Siak seperti berikut:

Page 4: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

100

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak,2014

Tabel 6.1 Perusahaan yang Bergerak di Sektor PerkebunanKabupaten Siak

Page 5: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

101

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak,2014

Sering menjadi permasalahan dalam perkebunan adalah kejelasanstatus lahan yang digunakan sebagai perkebunan dan dikelola perorangan/kelompok. Begitu juga yang terjadi pada lahan yang dipergunakan sebagaiperkebunan masyarakat berikut ini, yang disajikan pada masing-masingkecamatan.

Tabel 6.2 Produktifitas Perkebunan Kabupaten Siak

2.Prinsip-prinsip Indonesia Suistinable Palm Oil (ISPO)

ISPO merupakan suatu syarat yang diberikan kepada perusahaanperkebunan kelapa sawit guna mendapatkan persetujuan usaha denganmembuktikan sertifikat ISPO. Perkebunan kelapa sawit berkelanjutanIndonesia (Indonesia Suistinable Palm Oil/ISPO) merupakan suatu sistemusaha dibidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosialdan ramah lingkungan berdasarkan pada aturan perundang-undangan yangberlaku di Indonesia.

Adapun ketujuh prinsip ISPO mencakup sistem perizinan dan ma-najemen perkebunan, penerapan pedoman teknis budidaya dan pengo-lahan kelapa sawit, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggungjawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan komunitas, pem-

Page 6: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

102

berdayaan kegiatan ekonomi masyarakat serta peningkatan usaha secaraberkelanjutan.

1. Sistem Perizinan dan Manajemen PerkebunanBerkaitan dengan perizinan dan sertifikat, perusahaan harus terlebihdahulu mendapatkan izin serta sertifikat tanah dari pejabat yangmemiliki wewenang terkecuali kebun konversi hak barat. Adapunbentuk perizinannya mencakup: IUP, IUP-B, IUP-P, SPUP, ITUP,Izin/persetujuan prinsip.

2. Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa SawitDalam membuka lahan harus memenuhi kaidahkonservasi tanahdan air, konservasi terhadap sumber dan kualitas air. Perusahaandalam menghasilkan benih ungggul bermutu harus berpedoman padaaturan perundang-undangan yang berlaku dan baku teknis pembe-nihan.

3. Pengelolaan dan Pemantauan LingkunganPerusahaan kelapa saiwt harus menjalankan kewajibannya sertamelakukan pemantauan lingkungan berdasarkan ketentuan yangberlaku.perusahaan harus menjalankan kewajibannya terkaitAMDAL, UKL dan UPL berdasarkan aturan perundang-undanganyang berlaku. Perusahaan harus mencegah terjadinya kebakaranserta membuat penanggulangan juga melestarikan keaneka ragmanhayati pada area yang digunakan berdasarkan pada izin usahanya.

4. Tanggung Jawab terhadap PekerjaPerusahaan harus memiliki sistem manajemen keselamatan dankesehatan kerja (SMK3). Perusahaan harus memperhatikan kese-jahteraan pekerja serta meningkatkan kemampuannya. Perusahaantidak boleh memperkejakan anak dibawah usia dan melakukandiskriminasi. Perusahaan wajib memfasilitasi pembentukan serikatpekerja dalam rangka memperjuangkan hak karyawan/buruh sertamendorong terbentuknya koperasi kerja.

5. Tanggung jawab sosial dan komunitasPerusahaan wajib mempunyai komitmen sosial, kemasyarakatanserta pengembangan potensi kearifan lokal. Adapun yang dimaksudkomitmen disini, yaitu komitmen tanggung jawab sosial dan lingku-ngan kemasyarakatan berdasarkan norma yang berlaku serta ko-mitmen tanggung jawab sosial dan lingkungan masyarakat.

Page 7: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

103

6. Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi MasyarakatPerusahaan harus memberikan peluang kepada masyarakat lokaluntuk pembelian serta pengadaan kebutuhan untuk keperluan peru-sahaan.

7. Peningkatan Usaha Secara BerkelanjutanPerusahaan harus terus meningkatkan kinerja sosial, ekonomi danlingkungan dengan mengembangkan serta mengimpelementasikanrencana aksi yang mendukung peningkatan produksi berkelanjutan.

6.2 KEBIJAKAN IZIN USAHA PERKEBUNAN

Kebijakan perizinan perkebunan sawit di Kabupaten Siak ber-dasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 28 Tahun 2014 perubahanketiga atas Peraturan Menteri Kehutanan No. 33 tahun 2010 tentang TataCara Pelepeasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi sertaPermentan No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Per-kebunan, dan mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteriyaitu Menteri Kehutanan, Menteri Kehutanan serta Kepala BPN No. 364Tahun 1990 dimana menyatakan bahwa dalam hal pembukaan sawit harusmelalui beberapa prosedur perizinan untuk dapat memiliki lahan danbisa beroperasi untuk melakukan usaha budidaya perkebunan sawit diKabupaten Siak.

Adapun prosedur perizinan membuka lahan kelapa sawit yaitumengurus izin pelepasan kawasan hutan. Apabila disetujui pemohonmelanjutkan untuk mengurus izin lokasi melalui rekomendasi Bupati,selanjutnya mengurus AMDAL sebagai persyaratan memperoleh IzinUsaha Perkebunan (IUP), kemudian Izin Usaha Perkebunan (IUP) akandikeluarkan. Selanjutnya pemohon harus mengajukan izin pembukaanlahan atau land clearing sehingga bisa segera untuk dioperasikan dansejalan dengan pemohonan HGU kepada BPN.

Sacara garis besar peneliti membagi prosedur perizinan menjadi4 tahap, yaitu izin pelepasan kawasan hutan, izin lokasi, izin usahaperkebunan serta izin HGU. Adapun alasannya yaitu diantara semuaprosedur perizinan, keempat perizinan ini dapat diimplementasikandilapangan banyak ditemukan permasalahan yang tidak sesuai denganmekanisme serta aturan yang berlaku serta telah diatur masing-masing

Page 8: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

104

perizinan. Banyak ditemukan pelaksanaan perizinan dilapangan yangpengurusannya non prosedural.

1. Izin Pelepasan Kawasan Hutan

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6 menyebutkanbahwa hutan berdasarkan fungsi pokoknya meliputi hutan konservasi,huta lindung dan hutan produksi. Pasal 19 menyebutkan bahwa perubahanperuntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengandidasarkan pada penelitian terpadu. PP No. 10 Tahun 2010 tentang TataCara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkanbahwa pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukkan kawasanhutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan.Pelepasan kawasan hutan ini tidak akan diproses pada provinsi yangluas hutannya kurang dari 30% kecuali dengan cara tukar menukar ka-wasan hutan.

Pelepasan kawasan hutan dibuat demi kepentingan pembanguanterlepas dari kegiatan hutan, seperti untuk transmigrasi dan untuk per-kebunan. Permohonan perlepasan kawasan hutan dibuat pemohon yangditujukan kepada Menteri Kehutanan. Kemudian Menteri bisa menolakataupun menerbitkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan. Ben-tuk persetujuan prinsip kawasan hutan adalah pernyataan tertulis dariMenteri yang berisi persetujuan atas permohoman pelepasan kawasanhutan yang akan digunakan untuk pembangunan terlepas dari kegiatankehutanan. Persetujuan prinsip ini dikeluarkan untuk jangka waktu palinglama satu tahun sejak diterbitkan dan bisa diperpanjang dua kali masing-masing paling lama 6 bulan.

Ketika telah berlaku masa persetujuan prinsip pemohon tidak bolehmelakukan aktivitas di kawasan hutan terkecuali bila mendapatkan dis-pensasi dari Menteri. Jika tata batas kawasan hutan telah selesai danmengamankan kawasan hutan serta dituangkan dalam berita acara danpeta hasil tata batas yang ditandatangani panitia tata batas kawasan,Menteri bisa mengeluarkan Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan yangdiminta dan kemudian bisa diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah.

Semua pihak yang menggunakan kawasan hutan harus seizin MenteriKehutanan dan dalam melaksanakannya berdasarkan pada UU No.5 Tahun

Page 9: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

105

1990 khususnya untuk kawasan konservasi, cagar alam dan taman nasionalyang diawasi oleh Dirjen PHKA dengan balai-balainya, seperti BKSDAdan Balai Taman Nasional. Sedangkan untuk hutan lindung dan hutanproduksi diawasi oleh gubernur dan bupati. Adapun pelaksanannya diaturdalam tata guna hutan kesepakatan (TGHK) yang dibuat oleh daerah.

Pelepasan kawasan hutan diatur dalam Permenhut No. 28 Tahun2014 dimana prosedurnya pemohon dapat melakukan permohonan yangditujukan ke Menteri Kehutanan untuk mendapatkan izin pelepasankawasan hutan. Lalu Menteri Kehutanan menyetujuinya dan Menteri akanmengeluarkan persetujuan prinsip. Dinas Kehutanan bertugas untuk mem-berikan pertimbangan teknis. Jika sudah lepas bukan milik KementrrianKehutanan lagi, tapi milik pemerintah daerah untuk dikelola menjadiperkebunan. Hutan yang bisa lepas atau dialihfungsikan adalah hutanproduksi konversi (HPK), tetapi kalau untuk hutan produksi terbatas(HPT), punya mekanisme tersendiri. Luas hutan yang dilepas harus digantiditempat lain, misalnya jika terpakai 1 Ha disini, maka harus diganti ditempat lain sebanyak 2 Ha dengan perbandingan 1:2. Adapun perubahanhutan ini dengan pertimbangan karena perkembangan penduduk yangmembutuhkan sandang, pangan dan papan dimana hutan jumlahnya segitusaja, tetapi permintaan akan lahan untuk pembangunan ekonomi terusbertambah. Untuk kawasan hutan di Provinsi Riau belum ada yang dilepasstatusnya masih HPK kecuali untuk transmigrasi dan perkebunan. Itusudah dilepas atau keluar dari kawasan hutan.

Prosedur pelepasan kehutanan itu sudah jelas dan mempunyai tujuanyang jelas, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah suatu kawasan hutanmelalui kegiatan pemanfaatan lahan dengan pembangunan perkebunansawit di kawasan tersebut. Untuk prosedur perizinan pelepasan kawasanhutan pemohon harus memenuhi persyaratan administrasi maupun re-komendasi teknis dari Bupati Siak. Selanjutnya rekomendasi dari Gu-bernur Provinsi Riau kemudian melalui pertimbangan teknis dari DinasKehutanan Kabupaten Siak dan Dinas Kehutanan Provinsi Riau.

Permohonan konversi hutan yang diperuntukkan kepentingan pem-bangunan perkebunan meningkat cukup pesat dan berakibat pada penu-runan luas hutan konversi sehingga mengakibatkan melajunya pembukaanhutan untuk perkebunan besar yang tentunya juga akan mengancam ke-

Page 10: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

106

lestarian hutan. Hal ini berdampak pada kerusakan lingkungan karenakerusakan lingkungan karena luas tutupan hutan yang berkurang. Pohonyang berkurang serta keanekaragaman hayati serta ekosistem dihutan punikut hilang. Selain itu, tanaman sawit apabila telah ditanam memerlukanair dengan jumlah banyak yaitu 7-8 liter per hari, selain itu tanaman ke-lapa sawit belum termasuk sebagai tanaman yang ramah lingkungan danmembuat tanah kering karena menyerap unsur hara yang ada di tanah.

Kebijakan publik harus menghasilkan minimal 90% kinerja kebija-kan dan maksimal 10% limbah kebijakan. Semakin besar limbah kebija-kan, semakin buruk kualitas kebijakan itu sendiri. Limbah kebijakanlingkunagn hidup berupa kebijakan pembangunan ekonomi, industri danotonomi yang tidak sejalan atau seimbang dengan pembangunan ling-kungan lingkungan dimana menjadikan Indonesia sebagai negara peng-hancur hutan tercepat di dunia, dengan kecepatan 1,871 juta Ha/tahun.

Masing-masing instansi seperti Kementerian Kehutanan, Kemen-terian Pertanian, serta BPN mereka punya target masing-masing dan tidakada kebijakannya yang salah. Jika dijalankan dengan betul-betul tidakada yang tumpang tindih. Misalnya dari Kehutanan “boleh membukaperkebunan di dalam hutan produksi konversi, asalkan harus ada izindari Menteri Kehutanan". Dari Perkebunan melihat, “sebelum ada SKpelepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan, belum boleh menanamkeun”. Sendangkan menurut BPN sebelum ada SK pelepasan kawasanhutan dari Menteri Kehutanan, belum bisa di HGU-kan”.

Kebijakannya sebenarnya sudah bagus, cuma implementasi dilapangan yang tidak jelas sekarang. Orang perkebunan dengan programatau target mereka menanam kebun tanpa melihat status fungsi kawasanhutan. Mereka sesuai dengan rencananya sendiri, tanggal sekian merekaharus menanam, tapi SK pelepasan kawasan belum keluar. Mau tidakmau dia harus nanam karena bibit sudah tinggi. Akhirnya tidak sesuaidengan target. Karena perizinan itu membutuhkan waktu yang lama. Untukpengukuran tata batas bisa diatur, tetapi kalau masalah tanda tangan atauizin dari Menteri Kehutanan, Dinas yang tidak bisa ngaturnya. Tidak bisaditentukan, bisa 3 tahun baru ditandatangani. Kalau kasus non proseduralsangat banyak, ancamannya pidana sudah ada yang dilaporkan dan ditindak-lanjuti oleh penegak hukum, diantaranya Bareskrim, KPK, serta Kejaksaan.

Page 11: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

107

Implementasi di lapangan tidak sesuai dengan prosedur yang ber-laku. Sebagian perusahaan perkebunan tetap melakukan penanamanmeskipunSK pelepasan kawasan dari menteri kehutanan belum terbit.Hal ini bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU Perkebunan. DimanaUU No.41 Tahun 199 tentang Kehutanan menyebutkan perkebunan kelapasawit yang belum memiliki izin dari kehutanan sudah menguasi kawasanhutan produksi dan melanggar pasal 50 ayat 3 huruf (a) dan (b), diancamhukuman pidana paling lama 10 tahun dan didenda paling banyak 5Milyar. Adanya perkebunan kelapa sawit yang non prosedural disebabkankarena mereka tidak sabar menunggu izin pelepasan kawasan yang terbitatau keluarnya cukup lama, memakan waktu 1 tahun. Sehingga tanpa izinpelepasan mereka tetap menanam sehingga melanggar peraturan yangtelah ditetapkan.

Banyak temuan di Kabupaten Siak, perusahaan skala besar dimanapermohonan pembukaan hutan untuk dijadikan kawasan perkebunan tidakdisertai dengan izin Menteri Kehutanan dan hanya berdasarkan izin darikepala daerah. Padahal seharusnya Kementerian Kehutananlah yang me-miliki wewenang untuk menerbitkan izi pembukaan hutan. Adapun alasanyang dipakai adalah mengubah hutan menjadi perkebunan sawit skalabesar tanpa ada izin pinjam pakai/ pelepasan kawasan hutan dari Kemen-terian Kehutanan.

Kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan areal per-kebunan besar dalam penerapannya menimbulkan dampak pada peng-gundulan hutan karena perilaku para pengusaha dan perusahaan per-kebunan sehingga mengancam kelestarian hutan Indonesia. Kondisi inimemperlihatkan ada ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yangada dalam rumusan kebijakan dengan faktor-faktor dalam penerapankebijakan tersebut. Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasankawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak danmengganggu lingkungan hidup dan kelestarian hutan, memperhatikan usahakonservasi tanah dan air, memperhatikan asas konservasi lahan dan ling-kungan hidup dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaanpelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar, khususnya klapa sawit.Namun disisi lain dalam penerapan kebijakan tersebut terjadi praktek-praktek pelanggaran.

Page 12: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

108

Kebijakan konversi hutan serta pengembangan perkebunan dapatdikatakan bahwa konversi hutan untuk perkebunan besar tidak diper-bolehkan merusak lingkungan serta kelestarian hutan dan wajib ber-landaskan pada asas-asas konservasi lahan. Tetapi kebijakan tersebutbelum bisa diimplementasikan sepenuhnya di lapangan dikarenakan ke-pentingan para penguasa lebih dominan. Faktor yang menghambat tidakbisa direalisasikannya kebijakan tersebut dikarenakan tidak adanyainformasi yang cukup, terutama dalam pelaksanaannya di lapangan sertaadanya kepentigan-kepentingan beberapa pihak sehingga saling mempe-ngaruhi pilihan tindakan pemerintah dan akhirnya kebijakan tersebut tidakbisa teralisasi.

Sumberdaya hutan sebenarnya tidak tabu untuk dieksploitasi. Justrukekayaan alam itu harus dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraanmasyarakat. Membiarkan saja lumbung itu tidak termanfaatkan sementarakita mati diatasnya, adalah sebuah tindakan yang bodoh. Hutan harus bisamemberikan sumber kehidupan terutama bagi masyarakat setempat. Tetapimemanfaatkan sumberdaya alam itu secara arif dan bijaksana adalahadalah sebuah keiscayaan.

Pengusaha hutan yang semula dimaksud untuk menopang per-ekonomian nasional dan daerah, pada kenyataannya telah kebablasan.Pengusahaan hutan telah menciptakan kelompok yang kaya raya padasatu sisi, dan kelompok masyarakat yang menderita pada sisi lainnya.Kerusakan lingkungan yang parah, hutan yang gundul, limbah, kebakaranhutan, bencana asap, masyarakat yang termarjinalkan adalah bagianinheren dari pengusahaan hutan yang tidak terkendali.

Pengawasan yang dilakukan terhadap proyek bersama hanya sedikitkarena pengaturannya tampak bertumpu pada asumsi yang salah bahwabagaimanapun juga, keterlibatan dengan masyarakat lokal pada hakekat-nya akan menjamin lingkungan yang berkelanjutan dan keadilan sosial.Akan tetapi, banyak proyek ini yang begitu saja mengulang kesalahandesentralisasi dengan cara memberi kesempatan kepada para elit me-mastikan adanya perlindungan, partisipasi atau keadilan.

Paradigma pembangunan economic growth development ada duadimensi penting yang harus diperhitungkan dan harus seimbang dilakukan,yaitu dimensi target dan dimensi proses. Hasil pembangunan nasional

Page 13: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

109

lebih berorientasi pada pembangunan fisik, namun ongkos pembangunanharus dibayar mahal dan tidak pernah dihitung sebagai hasil pemba-ngunan nasional. Menyangkut konteks ini, terdapat tiga klasifikasi. Per-tama, ongkos pembangunan yang mahal dan tidak pernah dihitung sebagaihasil pembangunan adalah ecological degradation (kerusakan lingkungandan degradasi sumber daya alam). Kedua, adalah economical lost sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat di daerah semakin menyusut danmenghilang akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan. Ketiga, ber-kaitan dengan faktor manusia, dimana social and cultural distractiontidak pernah dihitung. Artinya ada kecenderungan yang disebut sebagaipolitical of indigenous ignorance (politik pengabaian) oleh pemerintahpusat dan daerah untuk secapatnya memperbaiki kerusakan ekologis.

2. Izin lokasi

Izin lokasi merupakan izin yang diterima perusahaan untuk men-dapatkan tanah yang dibutuhkan dalam bentuk melakukan investasi yangjuga berlaku sebagai izin pemindahan hak, dan untuk penggunaan tanahtersebut dalam memenuhi kebutuhan usahanya. Adapun alur pengajuannya,yaitu pemohon harus permohonan arahan kepada kepala daerah dalamhal ini Bupati/Wali Kota dengan tembusan kepada Kepala Kantor Per-tanahan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Dinas Kehutanan Dati IIdengan melampirkan rekapan akte pendirian perusahaan yang sudahdisahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM.

Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan mengadakan koordinasibersama instansi terkait dan mencadangkan arel non hutan (APL). Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan arahan lokasi yang berlaku 6-12bulan. Berdasarkan SK arahan lokasi tersebut perusahaan bisa melakukanaktivitas survei dan apabila lahan yang diarahkan sesuai perusahaan bisamengajukan permohonan izin prinsip dan kemudian izin prinsip akanditerbitkan Bupati Siak untuk jangka waktu setahun. Selama jangan waktusetahun itu, perusahaan harus menjalankan kegiatan dan pengajuan izinprinsip.

Apabila izin lokasi telah habis batas waktunya bisa dilakukan per-panjangan dengan mengajukan kembali permohonan perpanjangan paling

Page 14: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

110

lama 10 hari kerja sebelum habis jangka waktu izin lokasi disertakanalasan melakukan perpanjangan. Permohonan izin lokasi hanya bisadiajukan jika syarat perolehan tanah telah melebihi 50 % areal yangdicadangkan. Perpanjangan izin lokasi hanya dibolehkan satu kali untukperiode 12 bulan. Bupati Siak lalu menerbitkan keputusan perpanjanganizin lokasi paling lama 10 hari kerja setelah berkas disaerahkan.

Permohonan izin lokasi diajukan kepada Bupati/Walikota denganlampiran status penguasaan tanah yang telah dilakukan. Izin lokasibiasanya berlaku 2 tahun. Setelah mendapat izin lokasi perusahaan harusmelakukan AMDAL sebagai syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Per-kebunan (IUP). Setelah IUP diterbitkan perusahaan harus mengajukanizin pembukaan lahan (LC) dan dapat segera beroperasi sejalan denganpermohonan HGU kepada BPN. Perusahaan perkebunan yang hanyabermodalkan izin lokasi, telah berani membuka lahan untuk perkebunantanpa mengurus keseluruhan izin dan prosedur yang berlaku. Lagi-lagikarena jangka waktu pengurusan dan lamanya izin tersebut dikeluarkan.

Prosedur perizinan izin lokasi telah jelas berdasarkan PeraturanMenteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999tentang Izin Lokasi dimana Izin Lokasi yang terletak di kawasan HPKharus terlebih dahulu mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari MenteriKehutanan. Tetapi banyak perusahaan yang tanpa izin pelepasan kawasanhutan tetapi sudah beroperasi dan menanam sawit. Dengan alasan merekamenanam sawit terlebih dahulu kalau masalah izin bisa diurus belaka-ngan, dan ini menyalahi aturan yang berlaku. Pemerintah harus lebihmempertegas dan transparan dalam mengelola hutan serta menerbitkanizin lokasi, karena izin lokasi merupakan langkah awal terjadinya illegalkonversi (alih fungsi lahan).

AMDAL merupakan sebuah pengkajian terkait dampak yang di-akibatkan oleh sebuah perusahaan terhadap ligkungan yang dibutuhkandalam proses pengambilan keputusan terkait dengan penyelenggaraanperusahaan tersebut. Umumnya kepengurusan AMDAL cenderung asal-asalan saja, tanpa benar-benar memperhatikan kelestarian lingkungansekitar. Mempercepat pembuatan AMDAL tanpa perlu melakukan veri-fikasi mendalam terhadap kondisi kelayakan lingkungan atau memani-pulasi data dampak terhadap lingkungan. Asalkan AMDAL-nya telah

Page 15: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

111

ada dan perusahaan seringkali mengabaikan aspek lingkungan dan ke-selamatan masyarakat disekitar.

3. Izin Usaha Perkebunan

Usaha perkebunan yang luasnya mencapai 25 Ha wajib didaftarkankepada Bupati untuk mendapatkan Surat Tanda Daftar Usaha BudidayaPerkebunan (STD-B). Sedangkan lahan yang mencapai diatas 25 Hawajib mempunyai izin. Izin Usaha Perkebunan merupakan izin tertulisdari kepala daerah yang memiliki wewenang dalam hal ini Bupati/Walikota serta Gubernur yang harus dilengkapi oleh perusahaan yangakan menjalankan usaha Budidaya Perkebunan yang terhubung denganusaha Industri Pengolahan hasil kebun. Terkhusus untuk kelapa sawitwajib melengkapi minimal 20% kebutuhan bahan bakunnya dari kebunyang diusahakan sendiri. Perusahaan harus membangun perkebunan yangdieperuntukkan masyarakat setempat minimal 20% dari total luas lahanperkebunannya. IUP diperuntukkan untuk perusahaan dengan luasmaksimal 100.000 Ha.

Adapun persyaratan pengurusan IUP, yaitu permohonan diatasmaterai 6000 ditujukan untuk Bupati Siak Cq. Kepala Badan PenanamanModal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Siak dengan me-lampirkan:

1. Fotokopi KTP (2 rangkap)2. Surat kuasa dan fotokopi KTP apabila pengurusan diwakilkan3. Fotokopi akta perusahaan dan perubahan apabila ada4. Fotokopi NPWP/NPWPD Perusahaan5. Rekomendasi kesesuaian rencana makro pembangunan perkebunan

Provinsi dan Gubernur Riau6. Izin lokasi dilengkapi peta calon lokasi skala 1:100.000 atau

1:50.0007. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan

(apabila areal berasal dari kawasan hutan)8. Jaminan pasokan bahan baku yang diketahui Bupati Siak/Kepala

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak

Page 16: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

112

9. Rencana kerja pembangunan/perkebunan10.Rencana kerja pembangunan unit pengolahan hasil perkebunan11.Rekomendasi lokasi unit pengoalahan hasil dari Pemda Siak12.Fotokopi AMDAL atau UKL/UPL13.Pernyataan perusahaan belum menguasai lahan melebihi batas usaha

maksimum14.Pernyataan kesanggupan memiliki sarana prasarana dan sistem

untuk melakukan pembukaan pengendalian Organisme PenggangguTumbuhan (OPT)

15.Pernyataan kesanggupan memiliki sarana, prasaran dan sistem untukmelakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendaliankebakaran.

16.Pernyataan kesediaan dan rencana kerja pembangunan kebun untukmasyarakat.

17.Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan18.Pas foto berwarna ukuran 3x4 (3 lembar)Sedangkan mekanisme pengurusan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yaitu:1. Pemohon menuju loket informasi2. Mengisi formulir pendaftaran3. Memproses/pemerinksaan berkas persyaratan oleh petugas loket4. Pemprosesan perizinan oleh Kepala Bidang Perizinan dan Jasa

Usaha5. Peninjauan/ survei lapangan6. Pencetakan/ penerbitan perizinan7. Penendatanganan Sertifikat Perizinan oleh Kepala Badan8. Penyerahan Sertifikat Perizinan oleh Petugas Loket

Adapun syarat permohonan IUP yaitu dengan melampirkan reko-mendasi kesesuaian dengan RTRWK yang berasal dari Bupati/Walikota(untuk IUP yang dikeluarkan oleh Gubernur), rekomendasi kesesuaiandengan rencana makro pembangunan perkebunan Provinsi dari Bupari/Walikota, pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanandan hasil AMDAL serta pernyataan ketersediaan untuk melakukan ke-mitraan. Untuk itu pemberian izin AMDAL harus menjadi perhatian utama,sehingga siapa yang melanggar ketentuan yang sudah diberikan diusutsampai tuntas. Sehingga kondisi tidak ada lagi AMDAL palsu dalam

Page 17: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

113

pembangunan yang terkait dengan lingkungan dan sekitarnya. Dan dalampembangunan yang terkait dengan lingkungan disekitarnya dan dalam halini implementasi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penge-lolaan Lingkungan Hidup harus jelas dan tepat sasaran.

Izin usaha perkebunan masih banyak yang tumpang tindih sehinggamenimbulkan banyak masalah apalagi dengan belum keluarnya RTRWProvinsi Riau. Riau belum memiliki RTRW, ada yang tahun 1994 tapiitu tidak diakui lagi oleh Menteri Kehutanan dan harus dilakukan padu-serasi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Untuk pelaksanaankebijakan di bidang Kehutanan Kabupaten Siak berpedoman pada TGHK.Padahal menurut PP No. 15 Tahun 2010, daerah yang tidak mempunyaiRTRW seluruh kegiatan perekonomiannya harus di stop atau dihentikanuntuk sementsra waktu. Seluruh kegiatan yang berhubuga dengan lahanharus dihentikan, baik pemberian izin maupun perpanjangan izin. RTRWRiau telah dilakukan pengkajian dari 2004-2012 akan tetapi tidak tahukenapa belum kunjung disahkan oleh Menteri Kehutanan padahal sudah18 bulan yang lalu diajukan sampai sast sekarang ini belum ada keputusandari Menteri Kehutanan.

Kenyataan di lapangan ditemukan bahwa pada tahap pengurusanizin usaha perkebunan ini, banyak terjadi permasalahan seperti perusa-haan diwajibkan untuk membangun kebun masyarakat 20% dari totalkeseluruhan luas kebun, tetapi pada kenyataannya ada perusahaan yangtidak memenuhi kewajiban tersebut. Dalam draft Menteri Kehutanan No.98 Tahun 2014 tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan (IUP), menyatakanbahwa masyarakat yang berhak menerima pembangunan kebun 20% dariperusahaan adalah masyarakat yang tinggal disekitar IUP-B/IUP, sertamampu melakukan pengolahan kebun. Tentunya sayarat ini akan mem-beratkan masyarakat lokal yang justru selama ini mereka dalam melaku-kan pengelolaan lahan hanya menggunakan cara konvensional sehinggamengakibatkan pro kontra pada masyarakat serta akan dijadikan alasanbagi perusahaan untuk tidak membangun perkebunan untuk masyarakat.

Page 18: BAB VI KEBIJAKAN KONVERSI KAWASAN HUTAN KE PERKEBUNAN

TATA KELOLA PEMBANGUNAN KAWASAN

114

4.Permohonan Hak Guna Usaha

Berdasarkan Keputusan Presiden No.34 Tahun 2003 tentang Ke-bijakan Nasional di bidang pertanahan menyerahkan 9 kewenanganpemerintah bidang pertanahan kepada Pemkab dan Pemkot diantaranya:pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepenti-ngan pembangunan, pemberian izin buka lahan, perencaaan penggunaantanah wilayah Kabupaten/Kota.

Kenyataan yang ditemukan di lapangan, perilaku pengusaha yangtidak mengurus permohonan HGU memperlihatkan tidak adanya komitmenyang serius untuk mengusahakan lahan perkebunan. Dalam SKB MenteriKehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan NasionalNo.364/Kpts-II/90, 519/Kpts/HK.050/7/90, dan 23-VIII-1990disebutkan dalam Pasal 6 bahwa jika permohonan pelepasan kawasan hutan disetujuiMenteri Kehutanan, maka pemohon harus mengajukan permohonan HakGuna Usaha kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.

Berdasarkan SKB Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Perta-nahan Nasional No. 361/Kpts-VII/90, 18-XI-1990 dalam Lampiran SKBpada Bab III disebutkan bahwa (1) Direktur Jenderal Investarisasi danTata Guna Hutan (Dirjen Intag) dalam waktu selambat-lambatnya 6 harikerja setelah diterimanya persetujuan permohonan pelepasan kawasanhutan dari Menteri Kehutanan, memberitahukan kepada pemohon untukmelaksanakan Penataan Batas kawasan hutan yang akan dilepas bersa-maan dengan jumlah biayanya. (2) Berdasarkan pemberitahuan dari DirjenIntag selambat-lambatnya 14 hari kerja pemohon mengajukan permo-honan HGU kepada Kanwil BPN.