BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL...

26
BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMA Sebuah keputusan hukum lahir melalui proses. Proses tersebut bisa berjalan cepat atau panjang dan alot, penuh dengan perdebatan. Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama adalah tradisi yang sudah berlangsung di pesantren sebagai wahana untuk mengambil keputusan hukum berdasarkan kitab kuning sebagai referensi utama. Perdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na, dan adu argumentasi untuk mempertahankan pendapat. Perdebatan ini menunjukkan demokrasi yang dijunjung tinggi di pesantren dan Nahdlatul Ulama. Partisipasi aktif para anggota Bahtsul Masa’il sangat dihargai tanpa melihat status sosial, apakah itu anggota PBNU, PWNU, dan PCNU. Semua bisa mengemukakan pendapat dan mempertahankan argumentasi berdasarkan rujukan kitab yang bisa dipertanggungjawabkan (Faisal, 2013). Keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkan membuat para peserta Bahtsul Masa’il tidak melihat status para peserta, termasuk status muaḥḥih (pembimbing yang berfungsi sebagai korektor) yang kebanyakan mereka adalah pengurus struktural PBNU atau sosok kiai yang sudah teruji kepakarannya dalam bidang fikih. Mereka akan mendebat saran dan rumusan yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.

Transcript of BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL...

Page 1: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

BAB V

DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER

NAHDLATUL ULAMA

Sebuah keputusan hukum lahir melalui proses. Proses tersebut bisa berjalan cepat atau

panjang dan alot, penuh dengan perdebatan. Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama adalah tradisi

yang sudah berlangsung di pesantren sebagai wahana untuk mengambil keputusan hukum

berdasarkan kitab kuning sebagai referensi utama. Perdebatan sengit terjadi dalam proses

penyampaian jawaban, pembacaan naṡ, dan adu argumentasi untuk mempertahankan pendapat.

Perdebatan ini menunjukkan demokrasi yang dijunjung tinggi di pesantren dan Nahdlatul Ulama.

Partisipasi aktif para anggota Bahtsul Masa’il sangat dihargai tanpa melihat status sosial, apakah

itu anggota PBNU, PWNU, dan PCNU. Semua bisa mengemukakan pendapat dan

mempertahankan argumentasi berdasarkan rujukan kitab yang bisa dipertanggungjawabkan

(Faisal, 2013).

Keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkan membuat para peserta Bahtsul Masa’il tidak

melihat status para peserta, termasuk status muṣaḥḥih (pembimbing yang berfungsi sebagai

korektor) yang kebanyakan mereka adalah pengurus struktural PBNU atau sosok kiai yang sudah

teruji kepakarannya dalam bidang fikih. Mereka akan mendebat saran dan rumusan yang tidak

sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.

Page 2: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Penulis melihat sendiri ketika ada Bahtsul Masail Maudhu’iyah dalam Muktamar ke-31 di

Solo Jawa Tengah tahun 2004. Moderator yang ditunjuk PBNU untuk memimpin komisi Bahtsul

Masa’il didebat para peserta dan mohon untuk diganti karena tidak menguasai masalah dan tidak

diakui kepakarannya dalam bidang ilmu fikih. Seorang moderator dalam Bahtsul Masail adalah

mereka yang menguasai masalah, pakar di bidang fikih dan mempunyai pengalaman panjang

dalam forum Bahtsul Masail .

Kasus penggantian moderator ini juga terjadi ketika ada acara Pra-Muktamar Makasar yang

berlangsung di Cirebon Jawa Barat. Seorang moderator karena tidak menguasai masalah dan

paradigma berpikir kaum santri dalam Bahtsul Masa’il terpaksa diganti dengan orang yang

terbiasa dengan tradisi Bahtsul Masail dan mempunyai pengalaman panjang dalam membimbing

Bahtsul Masail (Muhammadun, 2013).

Peserta Bahtsul Masail dalam forum Muktamar adalah PBNU, PWNU, PCNU, Pengasuh,

Santri Pondok Pesantren, dan undangan khusus. Semua peserta tersebut terlibat dalam

pergumulan aktif dalam menggali akar masalah, merumuskan jawaban, mempertahankan

pendapat berdasarkan rujukan kitab yang mu’tabar, dan mengambil keputusan setelah terjadi adu

argumentasi dari masing-masing peserta secara demokratis (Faisal, 2013).

Peserta Bahtsul Masail mempunyai latar belakang yang berbeda, ada yang dari pesantren

murni, alumni pesantren kemudian meneruskan ke perguruan tinggi, alumni perguruan tinggi

murni, dan lain-lain. Mereka mempunyai mind set dan paradigma berpikir yang berbeda-beda

dalam memahami fakta dan rujukan kitab, sesuai dengan latar belakang pendidikan yang sangat

mempengaruhi proses berpikir, idealisme yang dibangun, dan bangunan masyarakat yang ingin

diwujudkan. Mayoritas mereka adalah alumni pondok pesantren salaf, seperti Sarang (Al-Anwar,

Page 3: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

MUS, MIS), Lirboyo Kediri, Ploso Kediri, Sidogiri Pasuruan, dan Salafiyah Syafi’iyah

Situbondo. Setelah menyelesaikan studi di pesantren, sebagian mereka ada yang kemudian

meneruskan ke perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri, aktif di lembaga kajian

keislaman, atau langsung aktif mengajar di pondok pesantren dan berdakwah di tengah

masyarakat.

Keragaman latar belakang inilah yang menjadikan para peserta Bahtsul Masail kaya

perspektif. Meskipun kitab yang dijadikan rujukan sama, tapi pemahaman terhadap kitab tersebut

berbeda-beda. Hal ini tidak lepas dari perspektif yang dibangun berbeda-beda. Ada yang

berkeyakinan bahwa teks yang ada dalam kitab kuning kebenarannya absolut, final, dan tidak

bisa diubah. Tugas generasi sekarang adalah memahami dan mencocokkan dengan masalah yang

ada.

Namun ada yang memahami teks fikih secara kontekstual dengan melihat tantangan global

sekarang yang berbeda dengan zaman kitab tersebut ditulis. Mereka menggunakan kaidah

fiqhiyyah dan uṣūliyyah untuk menjembatani kesenjangan teks klasik dengan tantangan dunia

modern. Kaidah fiqhiyyah dan uṣūliyyah memberikan porsi yang besar kepada akal untuk

menetapkan hukum yang relevan dengan tantangan dunia modern.

Di samping itu, kelompok ini juga mengusung kitab-kitab baru yang ditulis oleh ulama

modern sekarang ini, seperti Wahbah Zuḥaili, Yusuf al-Qaraḍāwi, Sayyid Sābiq, Muhammad

Syaltūt, dan lain-lain yang membawa spirit dinamisasi dan kontekstualisasi. Dengan karya-karya

baru dan fungsionalisasi qawaid fikihiyah dan ushuliyah, mereka ingin merumuskan jawaban

yang sesuai dengan dunia modern dan tidak bertentangan dengan teks-teks klasik. Hikmah dan

illat dijadikan alat untuk mewujudkan idealisme ini. Kelompok kedua ini semakin lama semakin

Page 4: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

banyak, mengingat semakin banyaknya kader-kader pesantren yang belajar di perguruan tinggi,

baik yang ada di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Di sisi lain, muncul kelompok yang lebih berani dengan menyatakan bahwa banyak teks

kitab kuning yang sudah tidak relevan dengan tantangan zaman, sehingga harus diubah agar

sesuai dengan dinamika zaman. Kelompok ini pernah menyuarakan pentingnya metode

hermeneutika untuk memahami sebuah dalil. Namun, kelompok ketiga ini ditentang oleh

kelompok pertama yang menjadi mayoritas dan kelompok kedua yang berpaham moderat. Di

Muktamar Solo, ide memasukkan hermeneutika sebagai salah satu metode memahami naṣ

ditolak habis oleh peserta Bahtsul Masail Maudhuiyah. Sekelompok kiai dari Jawa Timur

menolak keras masuknya kelompok liberal ke dalam struktur NU dari atas sampai bawah.

Mereka tidak menerima kelompok liberal ini mempengaruhi NU dengan pikiran-pikiran

liberalnya yang menabrak ketentuan-ketentuan yang pasti (qaṭ’i) dalam al-Qur’an, hadis, dan

kitab kuning yang menjadi pegangan utama NU.

Dalam konteks kajian gender, para peserta Bahtsul Masail tidak lepas dari polarisasi

kelompok yang terbagi dalam tiga varian tadi, tradisional konservatif, moderat, dan liberal.

Ketiganya saling berdialektika, baik lembut maupun kasar dalam forum-forum formal dan

informal, sehingga terjadi gesekan pemikiran yang menyulut perdebatan panjang, sebelum

diambil sebuah keputusan. Pergumulan tiga kelompok ini terus berjalan sampai masa yang akan

datang.

Pergumulan yang terjadi akan melahirkan keputusan yang bisa mudah dan bisa alot.

Kepentingan menjadi sumber perdebatan tersebut. Jika kepentingan berbagai kelompok searah,

maka perdebatan yang terjadi hanya pada hal-hal yang sifatnya teknis, seperti memilih dalil yang

Page 5: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

digunakan sebagai referensi. Namun jika kepentingan tidak searah dan menyentuh hal-hal yang

sifatnya prinsip, maka perdebatan yang terjadi sangat sengit dan masing-masing

mempertahankan argumentasinya.

Ketiga kelompok di atas ada yang menolak gagasan keadilan dan kesetaraan gender karena

tidak sesuai dengan nilai yang diyakini kebenarannya dari generasi terdahulu, ada yang memilih

dengan seleksi ketat, dan ada yang mendukung karena merupakan realitas dunia yang tidak bisa

dielakkan, sebagai bagian dari era transformasi kultural yang lahir dari dunia modern.

A. Pergumulan Dua Kelompok

Pergumulan adalah pergulatan beberapa kelompok di mana satu dengan yang lain terlibat

aktif dalam memperjuangkan tujuan yang menjadi kepentingan masing-masing. Tujuan

kelompok tersebut ada yang mempertahankan status quo demi stabilitas sosial, dan ada yang

membawa spirit perubahan sesuai dengan ideologi yang diyakini. Dalam pergumulan ini,

ada interaksi, mobilisasi, negosiasi, kompetisi, dan konflik, terbuka atau sembunyi-

sembunyi.

1. Kelompok Konservatif

Mayoritas ulama NU adalah mereka yang berpegang teguh terhadap pendapat para ulama

yang termaktub dalam kitab kuning yang dipahami secara tekstual (qauli). Mereka

mewarisi dari guru-guru mereka yang setia mendalami kitab kuning dan menjadikannya

sebagai sumber pengetahuan, nilai, dan standar moral dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Abdurrahman Wahid, para ulama Jawi menjadikan tradisi Timur Tengah sebagai

standar baku bagi tanah leluhur mereka yang ada di Kepulauan Nusantara. Tokoh-tokoh

seperti Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Abd al-Shamad

Palembang, Syekh Saleh Darat Semarang, Syekh Abd al-Muhyi Pamijahan Tasikmalaya,

Page 6: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Syekh Mahfudz Termas Pacitan, Syekh Khalil Bangkalan Madura, dan Syekh M. Hasyim

Asy’ari Jombang adalah agen utama tradisi Timur Tengah di Kepulauan Nusantara

(Wahid, 2012:xiii-xiv).

Kitab fikih menjadi kajian utama pesantren dan NU. Dalam kajian hukum dalam

forum Bahtsul Masa’il NU, referensi yang digunakan adalah kitab-kitab fikih yang

terbiasa dikaji di pesantren, seperti Bājuri, I’ ānah at-Ṭālibīn, Syarqāwi, Tuḥfah al-Muḥtāj,

Iḥyā’ Ulūmiddin, dan lain-lain. Di hadapan kitab kuning ini, para ulama memosisikan diri

sebagai nāqil (pengutip) pendapat mereka (Muhammad, t.t.:6), sehingga mereka tidak

berani keluar dari teks tersebut.

Konteks tetap diperhatikan, namun konteks tidak boleh liar. Konteks harus ada dalam

lingkup teks. Lebih jauh lagi, teks tersebut harus ada dalam lingkup mażhab Syafi’i

sebagai mażhab yang dipilih ulama NU, kecuali dalam kondisi darurat, maka

diperbolehkan pindah mażhab (intiqāl al-mażhab) (Mahfudh dalam Ahkamul Fuqaha’,

2011:xiii).

Paradigma tekstual yang berorientasi pada mażhab Imam Syafi’i menciptakan

fanatisme mażhab yang sulit untuk diubah. Bangunan mażhab Syafi’i yang sangat kokoh

di Indonesia dibuktikan dengan kitab referensi para ulama yang hampir semuanya

bermażhab Imam Syafi’i, kecuali sebagian kecil ulama NU yang aktif mengembangkan

diri dengan membaca kitab-kitab mażhab lain (Mahfudh dalam Ahkamul Fuqaha’,

2011:xiii).

Jika ada pendapat yang diambil dari akal, atau naṣ yang berbeda dengan mayoritas

mażhab Syafii akan ditolak kecuali dalam keadaan terpaksa. Kelompok ini adalah

mayoritas ulama NU. Mereka sangat setia dengan kitab kuning dan meyakini bahwa kitab

Page 7: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

kuning mampu menjawab seluruh masalah yang terjadi di era kekinian. Hirarki ulama

yang diikuti pendapatnya seperti keterangan dalam kitab I’ ānah at-Ṭālibīn dihormati para

ulama NU, yaitu mengikuti pendapat Imam Nawawi-Rafi’i, Imam Nawawi saja, Imam

Rafi’i saja, mayoritas ulama, ulama yang terpandai, dan ulama yang paling wara’

(menghindar dari perbuatan makruh dan haram) (Arifi, 2010:202-203).

Mereka tidak berani berijtihad langsung dari al-Qur’an dan hadis, karena itu adalah

wilayah mujtahid. Jika ada rumusan jawaban yang mencantumkan al-Qur’an dan hadis,

karena hal itu tercantum dalam kitab fikih yang menjadi rujukan para ulama NU. Mereka

lebih yakin mengambil pendapat para ulama yang mendalam ilmu dan teruji moralitasnya

dari pada beresiko berijtihad langsung dari al-Qur’an dan hadis (Faishal, 2013).

Inilah kelompok konservatif dalam tubuh NU yang berusaha mempertahankan status

quo, termasuk dalam kajian gender. Kelompok konservatif merujuk langsung kepada al-

Qur’an, hadis dan pendapat para ulama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Menurut mereka, ketiga sumber di atas telah menempatkan perempuan dalam posisi yang

terhormat. Mereka mengkritik gerakan model Barat yang menyamakan laki-laki dan

perempuan. Dalam al-Qur’an, laki-laki dan perempuan banyak perbedaannya, selain ada

kesamaannya. (Hasyim, 2010:103).

Menurut Abdul Rasul Abdul Hasan, sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim, suatu

kebodohan besar jika laki-laki disamakan dengan perempuan, karena keduanya berbeda

dari sisi kekuatan berpikir dan kapasitas tubuhnya. Menyamakan keduanya adalah

menyalahi hukum alam dan kehidupan. Kelompok ini menjelaskan bahwa Q.S. an-Nisā’

ayat 34 meneguhkan superioritas laki-laki atas perempuan dari aspek berpikir,

berpendapat, dan ketepatan akurasinya. Tafsir kata qawwāmun adalah kepemimpinan.

Page 8: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Perempuan mempunyai fungsi kepemimpinan, namun terbatas dalam rumah tangga. Peran

domestik perempuan dalam keluarga adalah dedikasi terbaik perempuan untuk membantu

suami dalam rangka membela dan menjaga moralitas keluarga. Krisis moral yang terjadi

sekarang ini disebabkan oleh minimnya peran perempuan sebagai penjaga rumah tangga,

karena mereka lebih memilih peran publik. Gerakan perempuan Barat selalu menjurus

kepada kemungkaran, seperti kebebasan seksual, prostitusi, dansa-dansa, lesbianisme, dan

lain-lain. Tidak ada yang baik dalam aktivitas feminisme Barat (Hasyim, 2010:104-105).

Kelompok konservatif mendukung ajaran jilbab, poligami yang adil, menentang

perempuan karir dalam ranah publik, menentang perempuan menjadi kepala pemerintahan

dan hakim sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis yang dipahami secara tekstual dan

apa adanya. Mereka menganggap fikih yang ada tidak membawa persoalan bagi

perempuan, sehingga kebijakan yang ada dalam kitab fikih sudah relevan dengan karakter

perempuan dan diterima secara taken for granteed (Hasyim, 2010:105-106).

Dalam konteks kajian gender, kelompok konservatif NU banyak menuduh kelompok

perubahan yang dimotori oleh Masdar F. Mas’udi, Said Aqiel Siradj, Husein Muhammad,

Musda Mulia, Maria Ulfah anshar, dan gerbong Fatayat-IPPNU, sebagai kelompok yang

terpengaruh oleh Barat. Hal ini bisa dilacak dari sumber dana mereka (Jauhari, 2013,

Mahrus, 2013). Cara menyerang kelompok konservatif kepada kelompok perubahan ini

sangat efektif untuk memperoleh dukungan, apalagi ketika sumber dana tersebut dari

Nasrani atau Yahudi yang menurut mereka akan menghancurkan Islam dari dalam.

Kelompok konservatif inilah yang banyak memegang otoritas dengan agenda

mempertahankan status quo. Mereka mencoba mempertahankan metode penetapan

hukum yang sudah diwariskan oleh para ulama pendahulu dengan model qauli, yaitu

Page 9: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

mencocokkan pendapat para ulama yang ada dalam kitab kuning dengan persoalan-

persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Faktor mayoritas menjadi salah satu kekuatan kelompok ini. Musyawarah adalah

forum yang digunakan untuk mencapai kesepakatan bersama berdasarkan suara

mayoritas. Perdebatan sengit dalam isu khitan perempuan tidak lepas dari suara

mayoritas. Para peserta dalam forum Bahtsul Masail secara mayoritas mendukung khitan

perempuan dengan dasar yang sangat kuat dari hadis dan pendapat imam mujtahid.

Konsistensi kelompok konservatif ini tidak mampu dilawan karena mereka mempunyai

keyakinan yang kuat.

2. Kelompok Perubahan (Moderat dan Liberal)

Dalam konteks gender, kelompok perubahan diwakili oleh kader-kader senior dan muda

NU yang masuk dalam kelompok moderat dan liberal. Kelompok moderat adalah mereka

yang masih mengapresiasi khazanah kitab kuning, namun dengan kontekstualisasi dan

aktualisasi supaya relevan dengan tantangan zaman. Sedangkan kelompok liberal adalah

mereka yang merujuk langsung kepada al-Qur’an, hadis, kaidah uṣūliyyah dan kaidah

fiqhiyyah dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis, filosofis, dan hermeneutis.

Dua kelompok perubahan ini kebanyakan mengenyam pendidikan pesantren, namun

aktif membaca dan mengikuti perkembangan pemikiran dalam forum kajian keislaman,

perguruan tinggi, dan lain-lain. Kaum Muslimat dan Fatayat sebagai salah satu lokomotif

gerakan gender di NU ikut berpartisipasi aktif dalam kelompok perubahan ini, baik dalam

forum Pra-Muktamar, Muktamar, dan Pasca Muktamar dalam proses perumusan jawaban.

Kebanyakan kelompok perubahan dalam konteks Muktamar, Munas dan Konbes ada

dalam struktur, baik di NU maupun di Fatayat dan IPPNU. Masdar Farid Mas’udi, Said

Page 10: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Aqiel Siradj, Maria Ulfah Anshar, Neng Dara, Nur Rofi’ah, Machrusah Taufik, dan

Badriyah Fayumi. Kelompok perubahan ini membawa ideologi gender yang

memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Pemahaman agama yang patriakhis

menjadi tantangan mereka. Kontekstualisasi ayat al-Qur’an, hadis, dan pendapat fuqaha

dalam kitab fiqh menjadi agenda utama. Pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis

menjadi salah satu alternatif untuk menghadirkan pemahaman yang berkeadilan gender.

Asbābun nuzūl (sebab diturunkannya al-Qur’an) dan asbābul wurūd (sebab lahirnya

hadis) harus dikaji untuk menemukan aktualitas dan relevansi hukum Islam terhadap

realitas kekinian.

Dalam bahasa Syafiq Hasyim, kelompok perubahan ini dinamakan dengan kelompok

moderat, sebagai lawan dari kelompok konservatif. Kelompok moderat ini tetap

menggunakan al-Qur’an dan hadis sebagai landasan pergerakannya. Di samping itu,

kelompok ini juga menjadikan gerakan feminisme Barat sebagai model tindak aksi dan

Islam sebagai kerangkanya. Kesetaraan laki-laki dan perempuan yang diperjuangkan

kelompok moderat ini dibatasi pada hal-hal yang sifatnya kodrati. Peran domestik

perempuan jika dilakukan tanpa paksanaan adalah hal yang baik sebagai sebuah pilihan

seorang perempuan dalam bingkai nilai-nilai Islam yang inklusif (Hasyim, 2010:106-

107).

Kelompok ini memahami makna “qawwāmun” secara kontekstual. Artinya, ketika

ayat ini turun, dominasi kepemimpinan laki-laki sangat kuat, sehingga pendekatannya

lebih sosiologis. Mereka mengkaji tafsir al-Qur’an dan hadis Nabi secara kritis. Mereka

juga mengkritik para sahabat Nabi jika ada bukti yang kuat dan akurat yang sesuai

dengan teori dan metodologi ilmu hadis. Isu seperti poligami, segregasi, dan jilbab

Page 11: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

dimaknai secara historis, sosiologis, dan antropologis, tidak hanya secara normatif.

Keunggulan kelompok moderat ini adalah keterbukaan terhadap nilai-nilai baru yang

berkembang dalam dunia Islam atau luar Islam yang tidak bertentangan dengan doktrin

teologis Islam yang sejak awal perkembangannya sangat terbuka terhadap nilai-nilai baru

(Hasyim, 2010:107-108).

Gerakan kelompok moderat ini bukan gerakan politis. Posisi politis adalah

memperjuangkan hak-hak politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan secara

teoritis memperjuangkan sistem bernegara yang menjamin kebebasan. Kelompok ini

lebih menekankan aspek kebudayaan dan diskursus intelektual dengan intensifikasi

kajian dan penelitian ilmiah terhadap khazanah Islam klasik dan kontemporer (Hasyim,

2010:109). Ciri kelompok moderat yang disampaikan Syafiq Hasyim dalam penelitian ini

masuk dalam kelompok liberal, karena mereka kurang mengapresiasi terhadap khazanah

klasik yang menjadi identitas utama ulama NU. Perspektif keadilan dan kesetaraan yang

menjadi parameter mereka dalam menilai validitas sebuah pemikiran.

B. Dinamika Pemikiran Gender

Pergumulan masing-masing kelompok, baik yang konservatif maupun kelompok perubahan

(moderat dan liberal) dalam tubuh NU melahirkan gesekan pemikiran yang melahirkan

perubahan. Sekuat apapun kalangan konservatif mempertahankan keyakinannya yang

bersumber dari kitab kuning yang mu’tabar, agenda yang menjadi tuntutan kelompok

perubahan tetap berjalan secara bertahap. Di sinilah terjadi dinamika pemikiran dalam tubuh

NU dalam merespons problem gender.

Page 12: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Dinamika pemikiran gender sejak Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989 sampai

Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010 dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

TABEL 5.1 DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NU

Hasil Klasifikasi Metode Bahtsul

Masail Kategori

Haram nikah beda agama tahun 1989

Pernikahan Qauli Waqi’iyyah Konservatif

Boleh perempuan bekerja malam hari di luar rumah dengan syarat ijin dan aman fitnah tahun 1994

Ekonomi Manhaji Waqi’iyyah Moderat

Haram nikah mut’ah tahun 1997

Pernikahan Qauli Waqi’iyyah Konservatif

Boleh perempuan menjadi pemimpin tahun 1997 dan 1999

Politik Manhaji Maudlu’iyyah Liberal

Haram trafficking tahun 2006

Pidana Manhaji Waqi’iyyah Liberal

Wajib khitan perempuan menurut Imam Syafi’i tahun 2010

Kesehatan Manhaji Maudlu’iyyah Moderat

Tabel di atas menunjukkan adanya dinamika pemikiran gender NU, baik dilihat dari

intensitas pembahasannya dalam tujuh perempuan di mana tema kepemimpinan perempuan

membutuhkan dua pertemuan di NTB tahun 1997 dan Lirboyo tahun 1999; klasifikasi

masalah yang dibahas yang meliputi bidang pernikahan, ekonomi, politik, pidana, dan medis;

metode yang digunakan, ada kalanya qauli (2 kali) dan ada kalanya manhaji (5 kali); dan

forum Bahtsul Masailnya yang meliputi Waqi’iyyah (4 kali) dan Maudlu’iyyah (3 kali).

Produk yang dihasilkan ternyata bercorak konservatif (2 kali), moderat (2 kali), dan liberal (3

kali). Dari tabel di atas menjadi jelas bahwa mażhab manhaji menjadi metode efektif untuk

melakukan pembaharuan hukum yang bercorak moderat atau liberal. Efektivitas mażhab

Page 13: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

manhaji ini tidak lepas dari kegigihan para aktor dalam melakukan pergumulan pemikiran

yang berkeadilan gender secara intens di komunitas NU dengan media yang beragam, baik itu

halaqah, buletin, buku, website, dan sejenisnya.

Dinamika pemikiran gender NU di atas jika dianalisis dengan beberapa teori, maka akan

ditemukan hal-hal penting sebagai berikut:

1. Bahtsul Masail Maudhu’iyah-Qanuniyah sebagai Katup Penyelamat

Menurut Lewis Coser, dalam merespons tuntutan kelompok perubahan, pemegang

otoritas membuat katup penyelamat, yaitu mekanisme yang diciptakan untuk

mempertahankan kelompok dari konflik sosial dengan memberikan wahana akomodasi

bagi kelompok yang sedang berkonflik dengan tetap menjaga struktur sehingga stabilitas

tetap terjaga.

Dalam konteks ini, terselenggaranya Bahtsul Masail Maudhu’iyah dan Qanuniyah

adalah langkah cerdas yang diambil oleh para pengambil kebijakan di NU yang bisa

digunakan sebagai katup penyelamat. Bahtsul Masail Maudhu’iyah dan Qanuniyah

menjadi media efektif untuk melakukan perubahan paradigmatik, termasuk dalam

konteks gender. Dalam Bahtsul Masail ini dikaji tema-tema aktual yang membutuhkan

jawaban yang sifatnya paradigmatik dan tidak terlalu membutuhkan perdebatan teks fikih

klasik. Sedangkan dalam forum Bahtsul Masail Waqi’iyyah, dominasi kelompok

konservatif sangat kuat, karena jawaban yang dirumuskan harus berdasarkan teks-teks

kitab kuning (Fuqaha’, 2011:434, 501, 526, 565, dan 703).

Bahtsul Masail Maudhu’iyah pertama kali diadakan dalam Muktamar ke-29 di

Cipasung tahun 1994. Bahtsul Masail Maudhu’iyyah ini diadakan tepat setelah

Page 14: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

momentum pembaharuan NU dalam Munas Lampung tahun 1992. Sedangkan Bahtsul

Masail Qanuniyyah diadakan pertama kali pada Munas Surabaya tahun 2006. Untuk

lebih jelasnya tentang Bahtsul Masail Waqi’iyyah, Maudhu’iyyah dan Qanuniyyah lihat

tabel sebagai berikut:

TABEL 5.2 BAHTSUL MASAIL WAQI’IYYAH, MAUDLU’IYYAH, DAN QANUNI YYAH

NO BAHTSUL

MASAIL WAKTU MASALAH GENDER

1 Waqi’iyyah Muktamar 1 sampai 32

456 65

2 Maudhu’iyyah Muktamar 29 sampai 32

31 3

3 Qanuniyyah Munas & Konbes Surabaya 2006 sampai Muktamar 32

14 -

Jumlah: 501 68 Sumber : Ahkamul Fuqaha, 2011

Dalam Bahtsul Masail Maudhu’iyyah dan Qanuniyyah, kebebasan berekspresi dan

beradu argumentasi lebih terbuka dari pada dalam Bahtsul Masa’il Waqi’iyyah. Teks dari

kitab-kitab kuning tetap digunakan, tapi dalam prosentase yang terbatas, lebih banyak

berkutat pada pendalaman konteks, analisis, solusi, dan dengan pendekatan induktif.

Misalnya, dalam Bahtsul Masail Maudhuiyyah yang pertama membahas masalah

pandangan dan tanggung jawab NU terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam rumusannya tidak tercantum pendapat para ulama yang termaktub dalam kitab

kuning. Yang ada adalah pandangan-pandangan konseptual yang kontekstual dengan

berpijak pada al-Qur’an (Fuqaha, 2011:749-751). Ulama berijtihad langsung dalam al-

Page 15: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Qur’an tentang masalah ini. Kelompok perubahan yang mendambakan taqlid manhaji

memanfaatkan forum Bahtsul Masail Maudhu’iyyah ini untuk aktualisasi diri dengan

wacana-wacana kontemporer yang relevan dengan tantangan zaman.

Jika tidak ada Bahtsul Masail Maudlu’iyah-Qanuniyyah, maka perbedaan paradigma

dalam memandang teks dan gender akan sulit dikompromikan. Di sinilah kecerdasan para

ulama NU dalam membuat forum khusus yang mendiskusikan wacana-wacana aktual

untuk merespons problem kebangsaan dan kemanusiaan. Para aktor pembaharuan dapat

berperan aktif dalam memperebutkan wacana kontemporer yang mampu menjadi solusi

efektif bagi masalah-masalah krusial yang dihadapai bangsa ini, seperti masalah korupsi

dan demokrasi.

2. Perempuan Menjadi Pemimpin Demi Kemaslahatan Umum

Dalam teori kemaslahatan, disebutkan ‘tagayyurul aḥkām bitagayyuril azminah wal

amkinah wal aḥwāl’ perubahan hukum disebabkan oleh perubahan masa, tempat, dan

perilaku. Masa, tempat dan perilaku berhubungan dengan budaya kolektif, sehingga

dalam satu kaidah disebutkan bahwa budaya adalah sumber hukum (al-‘ādah

muhakkamah). Perubahan hukum ini dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat yang

sifatnya kontekstual, sesuai dengan ruang dan waktu. Selama budaya yang ada tidak

bertentangan dengan ajaran agama, maka budaya tersebut diakomodir dalam syariat

agama, bahkan menjadi media internalisasi nilai agama.

Dalam perspektif ini, masalah kepemimpinan perempuan bisa dikaji. Di Munas

Lombok 1997 dan Muktamar Lirboyo 1999 terlihat perdebatan tajam antara kelompok

konservatif dengan kelompok perubahan untuk memutuskan kepemimpinan perempuan.

Page 16: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Kelompok konservatif diwakili oleh para kiai pesantren dengan KH. Yusuf Muhammad

sebagai juru bicaranya. Menurut kelompok konservatif ini, perempuan tidak layak

menjadi seorang pemimpin, karena khittah perempuan adalah di rumah sesuai dengan

penjelasan dalam al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama dalam kitab kuning.

Masdar Farid Mas’udi berdebat panjang dengan kelompok konservatif ini dengan

menggunakan perspektif yang berbeda. Teks yang digunakan sama tapi dengan perspektif

yang berbeda. Setting historis, sosiologis, dan politis zaman dulu ketika teks diproduksi

dan konteks zaman sekarang yang sudah mengalami perubahan dan pengembangan

dijadikan cara untuk memahami sebuah teks sehingga aktualitas teks menjadi tampak.

Kapabilitas menjadi unsur utama kepemimpinan, sehingga perempuan bisa menjadi

pemimpin jika mempunyai kapabilitas.

Perdebatan semakin seru ketika wakil perempuan yang diwakili oleh Hj. Machrusah

Taufik dan Hj. Najihah Muhtaram (al-marhumah) menyampaikan pandangan-pandangan

progresif dalam kepemimpinan perempuan. Mereka lebih banyak menyampaikan

pandangan keindonesiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan laki-laki dan

perempuan sebagai potensi besar dalam memajukan bangsa. Argumen paling efektif

disampaikan oleh Hj. Machrusah Taufik yang mengatakan bahwa sebuah langkah

mundur jika NU melarang perempuan menjadi pemimpin, karena dalam sejarahnya, NU

telah terbukti sebagai kekuatan civil society yang aktif memperjuangkan kemajuan

bangsa. Bangsa ini akan memberikan stigma negatif kepada NU jika melarang

perempuan menjadi pemimpin bangsa. Pendekatan persuasif dilakukan untuk

mengimbangan pendekatan akademik dalam memperjuangkan agenda gender ini.

Page 17: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Dalam teori konflik, jika kelompok perubahan tidak menyentuh nilai inti yang

menjadi pegangan kelompok status quo, maka ada peluang negosiasi dengan komunikasi

intens untuk menemukan titik temu antar kedua belah pihak. Dalam komunitas

konservatif, nilai inti adalah hukum yang didasarkan dalil qaṭ’i (pasti). Sedangkan jika

hukum hanya berdasarkan dalil yang ẓanni (asumtif), maka ruang perbedaan dengan

argumentasi masing-masing sangat terbuka dilakukan.

Larangan kepemimpinan perempuan tidak didasarkan pada dalil al-Qur’an dan hadis

yang qaṭ’i, tapi ẓanni, sehingga pertimbangan kemaslahatan publik harus dikedepankan.

Dalam kajian agama, kepemimpinan perempuan menjadi arena perdebatan ulama yang

tidak ada habisnya, antara yang melarang dan membolehkan. Imam Bin Jarīr aṭ-Ṭabari

adalah pemikir yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dalam semua bidang.

Hasil Munas Lombok 1997 yang akhirnya membolehkan perempuan menjadi

pemimpin ini adalah kesuksesan kelompok perubahan dalam memperjuangkan

kepentingannya, yaitu agenda kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan pijakan teks

yang dipahami secara progresif dan konteks dunia modern yang menuntut partisipasi

seluruh elemen bangsa, baik laki-laki maupun perempuan. Keterlibatan kaum perempuan,

di samping dukungan dari ulama laki-laki, sangat menentukan kesuksesan perjuangan di

Munas Lombok.

Sedangkan di Muktamar Lirboyo 1999 yang mengkaji islam dan kesetaraan gender

menghasilkan keputusan yang lebih operasional dengan menunjuk agenda konfrehensif

menuju keadilan gender. Dalam Muktamar ini ada tokoh perempuan yang diundang

sebagai nara sumber, yaitu Dr. Zaitunah Subhan yang pada waktu itu masih menjadi

dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dr. Zaitunah Subhan inilah yang menjadi satu-

Page 18: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

satunya perempuan yang masuk dalam tim perumus yang mempunyai otoritas penuh

untuk merumuskan keputusan yang telah disepakati. Dalam proses perumusan inilah

dengan komunitas terbatas, Dr. Zaitunah Subhan menyampaikan banyak pemikiran

tentang kesetaraan gender sesuai keahlian yang dikuasainya.

Meskipun ada pertentangan, namun para perumus sepakat untuk mengakomodir

masukan-masukan yang diberikan Dr. Zaitunah Subhan sebagai seorang ilmuwan kampus

yang mempunyai kompetensi tentang gender. Sampai sekarang, keputusan Lirboyo ini

masih menjadi polemik yang tidak selesai diperbincangkan. Masih banyak ulama

konservatif yang mempertanyakan keputusan Lirboyo karena dinilai lepas dari rumusan

yang ada dalam kitab kuning yang menjadi pegangan para ulama NU (Faisal, 2013).

Lepas dari persoalan ini, keberhasilan Munas Lombok dan Muktamar Lirboyo

memutuskan kepemimpinan perempuan tidak lepas dari pertimbangan kemaslahatan

umum yang menjadi ruh syariat Islam. Para ulama, baik yang progresif maupun yang

konservatif, setelah berdebat persoalan teks, kemudian menjadi sepakat ketika

dihadapkan dengan konteks sejarah, sosial, budaya, dan politik kontemporer yang

meniscayakan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan di segala sektor

kehidupan. Parameter utama kepemimpinan tidak jenis kelamin, tapi kapabilitas,

integritas, dan akseptabilitas seseorang, sehingga laki-laki dan perempuan jika memenuhi

syarat bisa menjadi seorang pemimpin. Keputusan Munas NTB 1997 dan Muktamar

Lirboyo 1999 ini memantapkan agenda keadilan gender dalam komunitas NU.

3. Kepentingan Sama Menjadi Alat Pemersatu

Menurut teori konflik Dahrendorf, kepentingan adalah salah satu kunci memahami teori

konflik. Kepentingan inilah yang mempersatukan pemegang otoritas dengan

Page 19: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

bawahannya. Jika kepentingan kelompok dominan dan perubahan sama, maka mereka

bisa bersatu, namun jika kepentingannya bertentangan, maka akan terjadi konflik

kepentingan.

Dalam perspektif kepentingan yang sama antara kelompok pemegang otoritas dan

kelompok perubahan, kasus perdagangan perempuan (trafficking) bisa dikaji. Dalam

kasus trafficking ini, kepentingan para ulama NU dan aktivis gender dari Fatayat NU

sama, yaitu melarang praktek trafficking sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang

bertentangan dengan syari’at Islam yang fundamental, yaitu berkaitan dengan menjaga

keselamatan agama dan jiwa.

Dalam pembahasan trafficking ini, pembahasan berjalan dengan lancar dan cepat,

karena kepentingan kelompok konservatif dan perubahan sejalan dan tidak bertentangan

satu dengan yang lain. Paradigma yang digunakan keduanya sama, khususnya yang

berangkat dari perspektif agama. Menurut ulama NU dan Fatayat, trafficking adalah

kezaliman besar yang dikutuk dalam kitab kuning dan diperjuangkan oleh para pejuang

gender. Perjuangan kaum Fatayat dalam mengusung ini adalah meyakinkan para ulama

NU untuk memasukkan trafficking dalam agenda Munas sebagai problem serius bangsa

yang harus segera dijawab oleh NU sebagai organisasi sosial kegamaan terbesar di

Indonesia. Meskipun Munas di Surabaya 2006 tidak sempat membahas masalah

trafficking karena kehabisan waktu, namun masalah ini langsung diteruskan di PBNU

Jakarta. Pembahasan berjalan dengan lancar dengan hasil yang sangat memuaskan bagi

kedua belah pihak.

Kesamaan kepentingan ini juga terjadi dalam pembahasan nikah mut’ah, sehingga

pembahasan berjalan dengan lancar. Pembahasan nikah mut’ah berlangsung di Munas

Page 20: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Lombok 1997 dengan keputusan mengharamkan praktek nikah mut’ah karena

bertentangan dengan pendapat para ulama. Dalam perjuangan gender, nikah mut’ah

sangat merugikan perempuan, karena menjadikan perempuan sebagai obyek seksual yang

tidak berharga, seperti barang yang diperjualbelikan. Dalam konteks gender, larangan

trafficking, nikah mut’ah, dan nikah beda agama menguntungkan bagi perempuan, karena

menjadikan perempuan sebagai aktor yang bisa melindungi eksistensinya dan mencegah

sedini mungkin hal-hal yang menyebabkan eksploitasi dan marginalisasi.

4. Bekerja Dalam Kontrol Agama

Dalam teori feminisme liberal, laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan

yang sama. Perempuan harus siap bersaing dengan laki-laki, sehingga pendidikan,

ketrampilan, dan kebijakan yang ada harus mendukung perempuan supaya perempuan

bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam teori ini, perubahan yang ada harus bisa

dikontrol, sehingga tidak mengancam stabilitas.

Dalam perspektif ini persoalan bolehnya perempuan bekerja di luar rumah yang

dibahas di Muktamar Cipasung tahun 1994 bisa dikaji. Dalam merespons masalah ini,

ada ulama yang membolehkan dan yang melarang dengan dalil dan argumentasi masing-

masing. Akhirnya, jalan tengah yang diambil adalah membolehkan perempuan bekerja di

luar rumah pada malam hari ketika ada syarat-syarat yang dipenuhi. Perempuan tetap

diperbolehkan bekerja di malam hari karena merupakan hak untuk aktualisasi, namun

tetap dikontrol dengan syarat yang ketat, yaitu tidak menimbulkan fitnah dan

mendapatkan ijin dari suami atau wali.

Syarat yang ketat ini memang termaktub dalam kitab-kitab kuning yang dipelajari

para ulama NU di pesantren, sehingga mereka tetap konsisten menjadikannya sebagai

Page 21: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

sumber keputusan. Keputusan ini, meskipun masih ketat bisa dimaklumi, karena gerakan

gender dalam komunitas NU baru dimulai pada awal tahun 90-an yang dipelopori oleh

Fatayat NU, sehingga pada Muktamar Cipasung 1994, suara kritis dari kalangan aktivis

gender NU belum banyak terdengar secara intens, namun sudah ada gerakan kecil

menuju pemberdayaan eksistensi perempuan dengan terbitnya buletin dan makalah yang

memperkuat pemahaman tentang keadilan gender di arena Muktamar.

5. Khitan dan Perebutan Eksistensi Diri

Dalam teori feminisme radikal, jenis kelamin dan ideologi patriarkhi menjadi akar

masalah ketidakadilan perempuan. Oleh karena itu, perempuan harus melakukan aksi

untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan relasinya dengan laki-laki. Kekuasaan dan

kepentingan yang didukung oleh gagasan dan nilai digunakan untuk melanggengkan

kebijakan yang dibuat. Pemegang kekuasaan yang mempunyai otoritas akan berusaha

menciptakan stabilitas sosial dengan mempertahankan nilai-nilai yang sudah diyakini

kebenarannya oleh mayoritas anggotanya.

Dalam perspektif ini, persoalan khitan perempuan yang dibahas dalam Muktamar

Makasar tahun 2010 bisa dikaji. Aktivis gender NU yang diwakili Fatayat berusaha keras

untuk menghapus praktek khitan perempuan di Indonesia karena hanya dalam prakteknya

sering mencederai perempuan dan tidak mempunyai status hukum yang mengikat,

mengingat banyaknya perbedaan ulama di dalamnya, sehingga tidak termasuk hukum

qaṭ’i (pasti), tapi ẓanni (asumtif). Namun, para ulama ini dalam konteks ini tetap

konsisten memegang ciri khasnya yang menempatkan hadis sebagai pijakan yang tidak

bisa ditawar-tawar. Praktek yang merugikan perempuan dari sisi medis harus diperbaiki

Page 22: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

dengan pelatihan dan ketrampilan yang profesional, bukan dengan cara menghilangkan

praktek khitan karena ada dasar hadis dan terbukti hikmahnya bagi perempuan.

Dalam pembahasan khitan perempuan ini, tidak hanya para ulama yang menolak, tapi

juga kaum perempuan yang diwakili oleh Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo dan Dr.

Faizah Ali Syibramalisi. Ini menunjukkan bahwa dalam perjuangan, masih ada konflik

kepentingan antar sesama perempuan. Pemahaman tekstual para ulama mendominasi

jalannya pembahasan, sehingga pemikiran-pemikiran yang disampaikan Fatayat yang

berangkat dari problem riil perempuan tidak menggoyahkan para ulama dalam

menetapkan hukum khitan sesuai hadis Nabi dan pendapat mażhab yang ada dalam kitab

kuning.

C. Aktor Perubahan

Perubahan paradigma gender yang terjadi dalam komunitas NU ini tidak lepas dari peran

para aktor. Mereka yang hanya menyerap ilmu dari pesantren dan membatasi aktivitas dan

sumber bacaannya tanpa analisis kritis akan menjadi kelompok tekstualis. Aktor konservatif

ini masih menjadi mayoritas ulama NU, di mana pesantren menjadi lembaga terbesar yang

menyumbang kelompok ini. Kelompok ini berjuang untuk mempertahankan status quo demi

stabilitas sosial. KH. Yusuf Muhammad, KH. M. Aniq Muhammadun, KH. Sadid Jauhari,

KH. Mahrus Ali Kafabihi, KH. Yasin Asmuni, dan KH. Azis Mashuri termasuk kelompok

konservatif ini.

Di sisi lain, ada aktor perubahan yang melahirkan banyak lompatan paradigma.

Kelompok ini lahir dari pesantren kemudian meneruskan ke jenjang perguruan tinggi atau

aktif dalam dunia kajian keilmuan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tidak membatasi

referensi, aktif menulis, dan mengikuti perkembangan informasi kontemporer.

Page 23: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

Mereka yang lulus dari pesantren dan tidak meneruskan ke jenjang perguruan tinggi

dengan membatasi aktivitas dan bacaannya pada kitab kuning, maka wawasan mereka

cenderung tertutup, konservatif dan mempertahankan status quo. Sedangkan mereka yang

membuka pemikiran dengan khazanah keilmuan luar dan aktif memperkaya keilmuan

cenderung moderat dan progresif. Pesantren menjadi lumbung keilmuan dari kedua

kelompok ini. Namun, proses setelah belajar di pesantren yang sangat menentukan mereka,

apakah akan menjadi kelompok konservatif atau moderat.

Kelompok perubahan ini ada yang mencoba mempertemukan teks dan konteks dalam

satu rumusan yang sinergis. Kelompok ini disebut dengan kelompok moderat. KH. Said Aqil

al-Munawwar, KH. Masyhuri Na’im, KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag., KH. Romadhan

Chotib, KH. Arwani Faisal, KH. Hasyim Abbas, dan KH. Afifuddin Muhajir adalah

kelompok moderat ini. Kelompok ini berusaha untuk melakukan emansipasi dengan tetap

koridor agama sehingga tetap terkontrol dan tidak masuk dalam kebebasan Barat.

Sedangkan kelompok perubahan yang lebih suka berbicara tentang maqāsidus syarī’ah,

kaidah fikih, dan kritik historis, sosiologis, hermeneutis dan antropologis, tanpa terbebani

dengan produk pemikiran ulama klasik adalah kelompok liberal. KH. Masdar Farid Mas’udi,

KH. Husein Muhammad, Maria Ulfah Anshar, Neng Dara, Nur Rofi’ah, dan Badriyah

Fayumi adalah kelompok liberal dalam kajian gender ini. Mereka aktif dalam forum kajian

dan advokasi demi tegaknya gender. Lebih jelas tentang aktor perubahan lihat dalam tabel

sebagai berikut:

Page 24: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

TABEL 5.3 AKTOR PERUBAHAN

KONSERVATIF PERUBAHAN

Moderat Liberal � Hanya menyerap

ilmu dari pesantren dan membatasi aktivitas dan sumber bacaannya tanpa analisis kritis

� Loyal terhadap produk pemikiran ulama klasik

� Mempertemukan teks dan konteks dalam satu rumusan yang sinergis

� Mencari jalan tengah antara liberalitas pemikiran dan rigiditas teks dengan optimalisasi uṣūl fiqh

� Menggunakan perspektif baru, yaitu keadilan dan kesetaraan gender

� Menggunakan maqāsidus syarī’ah, kaidah fikih, analisis historis, sosiologis, hermeneutis dan antropologis

� Tidak terbebani produk pemikiran ulama klasik

D. Model Perubahan

Yang menarik dalam perubahan di NU adalah kelompok yang mengusung perubahan tapi

secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan perubahan dengan cara yang biasa dilakukan

kelompok konservatif di NU, yaitu menggunakan teks-teks kitab kuning. Mereka

menghindari terminologi tajdīd (pembaharuan) yang dibenci oleh mayoritas ulama NU.

Mereka menyadari bahwa melakukan perubahan tidak bisa dengan cara yang ditentang para

ulama, tapi dengan cara yang biasa dilakukan para ulama NU, yaitu dengan menggunakan

‘ibarat fiqhiyyah’ (teks-teks yang ada dalam kitab fikih).

Dalam konteks istinbāṭ hukum, mereka tidak mengatakan manhaji, tapi tetap mengikuti

pola qauli dengan memilih pendapat yang progresif sebagai respons terhadap dinamika

zaman yang terus berjalan secara progresif. Kasus DNA dan peternak lebah diputuskan

Page 25: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

secara manhaji, tapi tidak disebutkan secara eksplisit, karena akan ditentang mayoritas ulama

(Abbas, 2012).

Perubahan secara sembunyi-sembunyi menjadi salah satu model perubahan yang

dilakukan oleh kelompok perubahan dalam komunitas NU. Cara yang digunakan adalah

menggunakan teks-teks fikih atau yang dikenal dengan taklid qauli. Perubahan bisa

dilakukan secara terbuka jika kepentingan kelompok perubahan dan para ulama NU searah,

seperti dalam kasus trafficking yang merupakan kejahatan kemanusiaan. Topik-topik

semacam ini pasti mendapat dukungan mayoritas karena memang sejalan dengan ajaran

Islam yang menuntut tegaknya keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian terhadap sesama dan

mencegah segala bentuk kemungkaran yang menyengsarakan banyak orang. Lebih jelasnya

tentang model perubahan lihat dalam tabel sebagai berikut:

TABEL 5.4 MODEL PERUBAHAN

PERUBAHAN SEMBUNYI PERUBAHAN TERBUKA

� Menggunakan teks-teks fikih, sehingga terkesan qauli (adaptasi)

� Menghindari kata-kata manhaji karena akan ditolak oleh mayoritas peserta (menghindari resistensi)

� Menggunakan pendekatan persuasif psykologis (kedekatan emosional)

� Kesamaan kepentingan (interest) dengan mayoritas ulama NU

� Menggunakan otoritas kekuasaan

� Menggunakan wawasan kemasyarakatan dan kebangsaan

Fakta yang menarik di sini adalah sejak Munas Lampung 1992 yang melahirkan

keputusan progresif dalam istinbāṭ hukum, yaitu mengikuti taklid manhaji, NU membuat

Bahtsul Masail Diniyah Maudlu‘iyyah, yaitu sejak Muktamar di Cipasung pada tahun 1994

sampai sekarang. Dalam Bahtsul Masail Diniyah Maudlu‘iyyah, sangat kelihatan aplikasi

mażhab manhaji, karena berisi konsep-konsep yang disesuaikan dengan tantangan dunia

modern, seperti pandangan dan tanggung jawab NU terhadap kehidupan kebangsaan dan

Page 26: BAB V DINAMIKA PEMIKIRAN GENDER NAHDLATUL ULAMAeprints.walisongo.ac.id/2543/7/105113009_Disertasi_Bab5.pdfPerdebatan sengit terjadi dalam proses penyampaian jawaban, pembacaan na ṡ,

kenegaraan, pandangan NU mengenai kepentingan umum (maslahah ‘ammah) dalam

konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pandangan dan tanggung jawab NU terhadap

lingkungan hidup, nasbul imam dan demokrasi, HAM, reksadana, NU dan pemberdayaan

masyarakat sipil, pemulihan perekonomian nasional berorientasi pada kepentingan rakyat,

syariat Islam tentang status uang negara, acuan moral untuk menegakkan keadilan dan

mencegah penyalahgunaan wewenang (KKN), hukuman bagi koruptor, money politik dan

hibah kepada pejabat, pendidikan di lingkungan NU, fikrah nahdliyyah, globalisasi,

universalisme, dan HAM dalam perspektif NU, relevansi hukum positif dan hukum syar‘i,

dan lain-lain (Fuqaha’, 2011:x1i-x1ii).

Konsep-konsep pemikiran tematis ini berjalan secara dinamis, rasional, kontekstual, dan

argumentatif. Sebuah pandangan tidak harus didasarkan pada teks-teks kitab fikih yang selalu

menjadi karakteristik bahtsul masa’il. Metodologi pemikiran yang filosofis, sistematis, dan

konfrehensif mewarnai perdebatan dan rumusan dalam Masail Diniyah Maudlu‘iyyah.