BAB Pendahuluan 1 - · PDF fileMenurut Bennis (1992) ... ( good governance), memperbaiki...
Transcript of BAB Pendahuluan 1 - · PDF fileMenurut Bennis (1992) ... ( good governance), memperbaiki...
1
Pendahuluan Pendahuluan Pendahuluan Pendahuluan
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
1.11.11.11.1 Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik dan Peran Pemimpin Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik dan Peran Pemimpin Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik dan Peran Pemimpin Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik dan Peran Pemimpin
Perubahan situasi yang terjadi hampir setiap saat, baik pada tataran
kondisi internal maupun tataran kondisi eksternal membuat semua jajaran
pimpinan harus selalu jeli mencermatinya. Semua asumsi dalam penyusunan
perencanaan keuangan yang pernah sukses pada masa yang lalu harus dikaji
ulang. Perubahan-perubahan yang terjadi dipicu oleh berbagai faktor antara
lain, pengaruh globalisasi, krisis keuangan internasional, peraturan pemerintah
dan kebijakan pemerintah lainnya, termasuk juga kondisi ekonomi. Dalam
perkembangannya perubahan terjadi pada pengelolaan keuangan publik yaitu
dengan ditetapkannya 5 (lima) paket undang-undang:
1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional,
5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK).
Menghadapi perubahan ini pemimpin dituntut untuk cepat tanggap
terhadap kondisi yang terjadi dan memiliki kemampuan untuk dapat
menyesuaikan diri.
Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang Inovatif, adaptif dan
merespon dengan cepat perubahan yang terjadi, sehingga pemimpin mampu
bertahan dan menang dalam mengelola perubahan. Disamping itu juga
pemimpin dapat memegang kendali dalam mengelola keuangan publik,
sehingga diperlukan pemimpin yang dapat meramu visi dan misinya, sumber
1
2
daya manusianya dan strategi bersaing untuk dapat mengelola keuangan publik
yang efisien, efektif dan akuntabel.
Pemimpin yang memiliki visi dan misi dapat beradaptasi dan lebih
fleksibel, mementingkan “stakeholder”-nya dan menganggap sumber daya
aparaturnya merupakan aset yang paling penting dalam merumuskan,
merencanakan dan mengimplementasikan serta mengawasi pengelolaan
keuangan publik.
1.21.21.21.2 Peran Pemimpin Dalam Perumusan Visi dan MisiPeran Pemimpin Dalam Perumusan Visi dan MisiPeran Pemimpin Dalam Perumusan Visi dan MisiPeran Pemimpin Dalam Perumusan Visi dan Misi
Setiap pemimpin telah mempunyai rumusan visi dan misi, namun
apakah rumusan itu masih relevan dengan tuntutan keadaan yang sekarang?
Banyak pemimpin memiliki visi dan misi namun karena ketidaktahuannya
rumusan visi dan misi itu sangat sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu
saat seperti ini sangat diperlukan pemimpin yang dapat menciptakan visi baru
ini agar dapat diimplementasikan secara “full committed” dan konsisten. Tentu
saja sumber perumusan kembali visi dan misi tidak hanya berasal dari
pemimpin saja tapi bisa juga dari situasi, kondisi dan potensi yang dimiliki oleh
pemimpin.
Menurut Bennis (1992) pakar kepemimpinan bagaimana menggerakkan
seluruh sumberdaya perusahaan secara efektif dan efisien, ini terletak pada
pemimpin yang menyadari akan visi dan misi perusahaan. Sejalan dengan
pemikiran tersebut, dikemukakan bahwa para pemimpin sebagai pelopor dan
pelaku visi dan misi harus dapat memotivasi para aparatur pemerintah untuk
terus meyakini bahwa visi yang mereka miliki itu sesuatu yang penting dan
berguna untuk menyusun suatu perencanaan strategis. Visi yang mereka yakini
ini juga membuat mereka termotivasi dan menimbulkan semangat yang tinggi
dalam melaksanakan visi dan misi tersebut. Setelah tercipa visi dan misi baru
ini, peran dan langkah pemimpin adalah membangun kerjasama dengan para
aparatur pemerintah atau dengan kata lain perlu kerjasama persepsi dan
langkah dalam melaksanakan visi dan misi tersebut.
1.31.31.31.3 VisiVisiVisiVisi
1.3.11.3.11.3.11.3.1 Pengertian UmPengertian UmPengertian UmPengertian Umumumumum
Perubahan paradigma dalam kegiatan pemerintah diperlukan agar
pemerintah senantiasa dapat mengakomodasi kebutuhan perubahan
3
dalam masyarakat dan memungkinkan administrasi publik menata
kembali masyarakat. Hal tersebut memerlukan suatu kerangka
pemikiran upaya yang terstruktur untuk memberdayakan fungsi publik
agar lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Perubahan paradigma dapat mendorong tercapainya
kepemerintahan yang baik (good governance), memperbaiki kinerja
sektor publik, dan mengobati praktek administrasi yang tidak sehat (mal-
administration).
Semakin besarnya tantangan sebagai konsekuensi logis dari era
globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia memberi makna
peningkatan persaingan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan yang
prima. Instansi pemerintah harus secara terus menerus melakukan
perubahan ke arah perbaikan agar dapat tetap berarti keberadaan dan
agar dapat unggul dalam persaingan yang semakin ketat dalam
lingkungan yang berubah secara cepat.
Penetapan visi, sebagai bagian dari perencanaan strategik, merupakan
suatu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi. Visi tidak
hanya penting pada waktu mulai berkarya, tetapi juga pada kehidupan
organisasi itu selanjutnya. Kehidupan organisasi sangat dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan internal dan eksternal. Oleh karenanya, visi
organisasi juga harus menyesuaikan dengan perubahan tersebut dan jika
memang perlu, visi dapat diubah dan disempurnakan.
Pemimpin yang sukses mengatakan bahwa visi adalah suatu pedoman
dan pendorong organisasi untuk mencapai tujuannya. Pemimpin yang
efektif mempunyai visi, agenda, dan berorientasi hasil (Burt Nanus,
1992). Mereka selalu memperbaharui atau menyesuaikan visinya agar
dapat diwujudkan dan diinginkan, mengkomunikasikannya kepada
semua anggota dan berusaha memperoleh dukungan partisipasi semua
pihak untuk terwujudnya visi. (LAN dan BPKP, 2010).
1.3.21.3.21.3.21.3.2 Tujuan Penetapan Visi OrganisasiTujuan Penetapan Visi OrganisasiTujuan Penetapan Visi OrganisasiTujuan Penetapan Visi Organisasi
Pada hakekatnya membentuk visi organisasi adalah menggali gambaran
bersama mengenai masa depan, berupa komitmen murni tanpa adanya
rasa terpaksa. Visi adalah mental model masa depan, dengan demikian
visi harus menjadi milik bersama dan diyakini oleh seluruh anggota
organisasi.
4
Di dalam konteks kehidupan bernegara, visi memainkan peran yang
menentukan dalam dinamika perubahan lingkungan sehingga
pemerintah pada umumnya dan instansi pemerintah pada khususnya
dapat bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik.
Visi yang tepat bagi masa depan suatu instansi pemerintah akan mampu
menjadi akselator kegiatan instansi tersebut, termasuk perancangan
rencana strategik secara keseluruhan, pengelolaan sumber daya,
pengembangan indikator kinerja, cara pengukuran kinerja, evaluasi
pengukuran kinerja, yang akan diintegrasikan menjadi sinergi yang
diperlukan oleh instansi tersebut.
Bagi suatu organisasi, tujuan penetapan visi adalah:
a. Mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah organisasi
b. Memberikan arch dan fokus strategi yang jelas
c. Menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan strategik
d. Memiliki orientasi terhadap masa depan
e. Menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam lingkungan
organisasi
f. Menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi
Untuk menghasilkan visi yang baik, dimulai dengan perumusan visi
yang jelas dan mampu:
a. Menarik komitmen dan menggerakkan anggota organisasi
b. Memberikan makna bagi kehidupan anggota organisasi
c. Membentuk suatu standar keunggulan
d. Menjembatani keadaan sekarang dan keadaan masa depan
1.3.31.3.31.3.31.3.3 Proses Penetapan Visi OrganisasiProses Penetapan Visi OrganisasiProses Penetapan Visi OrganisasiProses Penetapan Visi Organisasi
Organisasi yang bermaksud untuk membentuk visi bersama, perlu secara
terus menerus mengajak anggotanya untuk mengembangkan visi
individu mereka. Ketiadaan visi individu cenderung menghasilkan hanya
sekedar “persetujuan” terhadap visi orang lain. Hasilnya adalah
kepatuhan, dan bukan komitmen. Bagian terbesar dari kita berada dalam
keadaan “kepatuhan”. Anggota yang taat berjalan bersama suatu visi.
Mereka mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Mereka
mendukung visi sesuai dengan konteksnya. Namun, mereka tidak
menjadi anggota sebenarnya.
5
Sama seperti visi individu yang merupakan gambaran atau image yang
dibawa oleh seseorang dalam dirinya, begitu juga visi bersama (shared
vision) merupakan gambaran yang dibawa oleh orang-orang dalam
suatu organisasi. Visi bersama muncul dari visi individu, sehingga
muncul enerji dan komitmen dari anggota organisasi. Visi bersama
berakar dari visi individu, yang kemudian terbentuk berdasarkan adanya
aspirasi bersama.
Visi bersama akan kekurangan penopang kritis apabila diterapkan tanpa
pemikiran sistemik. Pada kenyataannya, banyak terdapat visi yang tidak
pernah berakar dan menyebar luas keseluruh organisasi. Pengembangan
dan penyebarluasan visi yang tepat merupakan tugas utama dan tujuan
yang sebenarnya dari kepemimpinan.
Visi bersama pada umumnya bersifat ekstrinsik. Visi tersebut memberi
fokus kepada pencapaian sesuatu dan membandingkan dengan pihak
luar, seperti misalnya pesaing organisasi tersebut (dalam arti positif).
Proses pembentukan visi merupakan refleksi keadaan dari organisasi
tersebut.
Visi bukan merupakan jawaban dari suatu masalah, tetapi lebih kepada
sarana pemecahan masalah sehari-hari yang dihadapi organisasi. Suatu
visi yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang mendasari kehidupan
sehari-hari, tidak hanya akan gagal untuk membangkitkan antusiasme,
tetapi dilain pihak dapat menimbulkan sinisme. Harus ada keinginan
untuk melihat keajekan dari visi kita.
Visi adalah cara pandang jauh kedepan kemana instansi pemerintah Visi adalah cara pandang jauh kedepan kemana instansi pemerintah Visi adalah cara pandang jauh kedepan kemana instansi pemerintah Visi adalah cara pandang jauh kedepan kemana instansi pemerintah harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diidiidiidiinginkan oleh instansi pemerintah.nginkan oleh instansi pemerintah.nginkan oleh instansi pemerintah.nginkan oleh instansi pemerintah.
Rumusan visi yang demikian seharusnya mencakup:
a. Tujuan terluas dan terumum, termasuk semuanya yang berarti
memperjelas arah yang akan dicapai organisasi
b. Gambaran aspirasi di masa depan
c. Inspirasi untuk mendapatkan yang terbaik
d. Pencapaian pada hasil
e. Komunikasi pernyataan mini dan persuasif pimpinan
6
Walaupun sebenarnya visi merupakan suatu impian, visi harus
memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
a. Dapat dibayangkan oleh seluruh jajaran organisasi (imaginable)
b. Memiliki nilai yang memang diinginkan oleh anggota organisasi
(desirable)
c. Memungkinkan untuk dicapai
d. Terfokus pada permasalahan utama instansi agar dapat
beroperasi secara 3E
e. Berwawasan jangka panjang dan tidak mengabaikan
perkembangan zaman
f. Dapat dikomunikasikan dan dimengerti oleh seluruh jajaran
organisasi. (LAN dan BPKP, 2010)
1.41.41.41.4 MisiMisiMisiMisi
Sedangkan, misi merupakan cara pandang yang ajeg sepanjang masa
atas komitmen terbaik organisasi bagi seluruh stakeholder utama. Pernyataan
misi membawa organisasi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa
organisasi itu ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana melakukannya.
Dalam konteks organisasi publik, proses perumusan misi instansi publik harus
juga memerhatikan masukan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)
dan memberikan peluang untuk penyesuaian sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
Pengertian misi menurut Pearce dan Robinson (1997) sebagai berikut :
“… the unique purpose that sets it apart from other companies of its type and identifies the scope of its operations. In short, the mission describes the company’s product, market, and technological areas of emphasis in a way that reflects the values and priorities of the strategic decision makers.” (adalah sebuah tujuan yang unik yang berbeda dengan perusahaan lain dari jenis dan ciri-ciri dari jangkauan wilayah operasinya. Pendeknya misi menggambarkan produk dari perusahaan, pasar, dan daerah teknis yang menekankan pada penggambaran nilai-nilai dan prioritas dari pembuat keputusan).
Misi yang baik diungkapkan secara jelas dan pasti (clearly and exactly)
apa yang diharapkan organisasi untuk dicapai. Menurut James A. Bailey, CMA
(1999) beberapa syarat atau karakteristik misi yang baik adalah measurable
(dapat diukur), understandable (dapat dipahami), relevant, dan reliable. Suatu
misi harus dapat diukur tingkat pencapaiannya agar posisi organisasi dapat
diukur dengan baik pula. Pengukuran tersebut dilakukan sehubungan dengan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan misi yang telah ditentukan dalam
7
suatu waktu, baik misi yang telah tercapai maupun yang masih harus dicapai.
Dengan demikian, pernyataan misi harus achievable (dapat dicapai) dan
acceptable (dapat diterima) bagi keseluruhan organisasi. Hal ini berkaitan
dengan komitmen mereka untuk merealisasikannya dalam suatu rentang waktu.
Suatu misi harus dapat dipahami, dan pernyataannya harus sederhana, jelas,
dan tepat. Harus dihindari penggunaan jargon-jargon dan kata-kata lain yang
tidak dipahami oleh seluruh pegawai dalam organisasi. Seluruh pegawai harus
dapat memahami tujuan dasar dari tiap misi. Misi harus relevan dalam
kaitannya dengan feedback yang diberikan kepada manajemen. Tolok ukur misi
juga harus terpercaya. Meskipun terdapat perbedaan tingkat keandalan, tolok
ukur lebih andal jika ia memiliki tingkat bias yang rendah terhadap hasil yang
telah ditetapkan dan ketika kelompok-kelompok yang berbeda dapat
memperoleh hasil pengukuran yang sama dengan data yang sama. Dari misi
inilah, tujuan-tujuan yang ingin dicapai suatu organisasi dapat diidentifikasi
dengan lebih jelas.
Perumusan misi dapat dilakukan dengan memerhatikan hal-hal berikut :
1. Melibatkan seluruh stakeholders utama yang mencakup para pegawai,
masyarakat yang akan dilayani, mitra kerja, akademisi, dan birokrasi.
2. Menilai lingkungan eksternal organisasi dan menyelaraskannya dengan
kebijakan internal organisasi.
3. Menyelaraskan kegiatan, proses utama, dan sumber daya untuk
memungkinkan instansi melaksanakan kegiatannya secara lebih baik
dan dengan biaya yang lebih efisien.
Misi merupakan pernyataan tentang tujuan organisasi yang diwujudkan
dalam produk dan layanan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi kelompok
masyarakat, nilai yang diperoleh, serta aspirasi dan cita-cita di masa mendatang
(Kotler, 19.87). Dart batasan tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam merumuskan trust suatu organisasi sebagai berikut :
1. Layanan apa yang dihasilkan dan akan ditawarkan.
2. Apakah layanan tersebut memang dibutuhkan masyarakat.
3. Sasaran publik mana yang akan dilayani.
4. Kualitas layanan yang ditawarkan harus memiliki daya saing.
5. Aspirasi apa yang diinginkan di masa mendatang yang berhubungan
dengan manfaat dan keuntungan masyarakat dengan layanan tersebut.
(Yuwono dkk, 2005)
8
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Bennis Warren (1992) Leader on Leadership : Intervies With Top executives.
A Hervard Business Review Book
James A Bailey (1999) dikutip oleh Yuwono dkk (2005) Penganggaran Sektor
Publik, Bayu media Malang
Kotler (1987) dikutip Yuwono dkk (2005) Penganggaran Sektor Publik, Bayu
media Malang
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (2010)
_________ (2010)
_________ (2010)
Robinson, Pearce (1997) dikutip oleh Yuwono dkk (2005) Penganggaran Sektor
Publik, Bayu media Malang.
Yuwono. S. Indrajaya T.A. Hariyaudi (2005) Penganggaran Sektor Publik,
Bayumedia Malang
9
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
2.12.12.12.1 Peran Pemimpin Dalam Perencanaan Strategis Peran Pemimpin Dalam Perencanaan Strategis Peran Pemimpin Dalam Perencanaan Strategis Peran Pemimpin Dalam Perencanaan Strategis
Setelah adanya kesamaan persepsi tentang visi dan misi para pemimpin
tertantang untuk menyiapkan berbagai perangkat kebijakan untuk dapat
mengimplementasikan visi dan misi tersebut kedalam suatu perencanaan
strategis.
Perencanaan strategis merupakan proses secara sistematis yang
berkelanjutan dari pembuatan keputusan yang berisiko, dengan memanfaatkan
sebanyak-banyaknya pengetahuan antisipatif, mengorganisasi secara sistematis
usaha-usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui
umpan balik yang terorganisasi dan sistematis. (LAN dan BPKP, 2010).
Perencanaan strategis dalam beberapa dekade terakhir ini telah menjadi
bidang kajian yang menarik sebagai salah satu alternatif model dalam membuat
perencanaan organisasi (Yuwono dkk, 2005). Istilah strategi, sebuah fokus dari
perencanaan, sejatinya mulai dikenal melalui tulisan Sun Tsu dan Napoleon
(Fakih, 1999) dalam Yuwono dkk (2005) dan banyak digunakan dalam dunia
“militer”. Hal ini dapat dilihat dari asal arit kata “strategi” yang berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “a general set of maneuver carrica out over come
and enemy during combat” yang menggambarkan betapa strategi adalah
memang ilmunya para jenderal dalam medan pertempuran. Namun
sebagaimana dijelaskan oleh Quin (1980) dan Bracker (1980) dan Yuwono dkk
(2005) bahwa dalam abad ini, sebagian besar pekerjaan dalam perencanaan
strategis banyak difokuskan bagi organisasi yang bertujuan meraih laba. Ini
menunjukkan bahwa peranan strategis telah banyak dielaborasi oleh dunia
bisnis dalam memenangkan persaingan.
Disini, pendekatan perencanaan strategis yang dikembangkan di sektor
swasta pada akhirnya dapat diadopsi oleh organisasi publik dan nirlaba maupun
komunitas lainnya dalam mengatasi lingkungan yang sedang berubah secara
dramatis. Dengan demikian perencanaan strategis dimulai sebagai seni dari
2
10
jenderal (the art of the general) yang kini menjadi seni dari manajer umum (the
art of general manager).
Suatu perencanaan strategis menggambarkan bagaimana setiap isu
strategis akan dipecahkan. Suatu strategi mencakup sejumlah langkah atau
teknik yang dirancang untuk mencapai setiap strategi yang dicanangkan,
termasuk pemberian tanggung jawab, jadwal, dan sumber-sumber daya.
Strategi merupakan komitmen organisasi secara keseluruhan terhadap
sekelompok nilai-nilai, filosofi-filosofi operasional, dan prioritas-prioritas.
Perwujudan suatu strategi dari suatu organisasi membentuk suatu
“Rencana Induk” (master plant) yang komprehensif, yang menyatakan
bagaimana organisasi akan mencapai misi dan tujuannya. Strategi tersebut
memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan kelemahan
kompetitif.
Perencanaan strategik merupakan kebutuhan nyata untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi dalam milenium ketiga ini. Perencanaan stratewgik
merupakan serangkain rencana tindakan dan kegiatan memdasar yang dibuat
oleh pimpinan puncak untuk diimpelentasikan oleh seluruh jajaran suatu
organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. (LAN dan BPKP, 2010)
Dalam konteks organisasi sektor publik, Olsen dan Edil (1982) dalam
Yowono dkk (2005) mendefinisikan perencanaan strategis sebagai upaya untuk
membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu
bagaimana menjadi dan apa yang dikerjakan organisasi dan mengapa organisasi
mengerjakan hal tersebut. Perencanaan strategis masyarakat pengumpulan
informasi secara luas, eksploitasi alternatif, dan menekankan pada pemahaman
atas implikasi masa depan atas keputusan sebarang. Perencanaan strategis dapat
memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasi kepentingan dan nilai
yang berbeda, dan membantu pembuatan keputusan secara tertib maupun
keberhasilan implementasi.
Pengembangan strategi dan implementasi yang efektif adalah penting
untuk kelangsungan hidup organisasi. Pimpinan organisasi harus memastikan
bahwa strategi yang dilakukannya sesuai untuk organisasinya dan sesuai
dengan waktunya. Banyak terdapat contoh organisasi yang semula besar dan
kuat, tetapi kemudian tidak mampu mengembangkan strategi pada saat yang
tepat atau tidak mampu menjalankan strategi secara efektif.
11
Apa yang ingin dicapai oleh organisasi untuk keberhasilan dapat tetap
tidak berubah selama bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana organisasi tersebut
mencapai apa yang diinginkan dapat berubah setiap saat. Straegi bisa beruah
sebagai hasil usaha para pimpinan yang terus-menerus mencoba memperbaiki
proses dan hasil. Organisasi harus mengenali dan menghadapi secara efektif
perubahan lingkungan yang terjadi terus-menerus.
Model perencanaan strategik secara umum dapat dilihat dari model yang
dikembangkan oleh Whittaker (1993) dalam LAN (2010) sebagai berikut :
Gambar 1Gambar 1Gambar 1Gambar 1. Model Perencanaan Stretegik
SumberSumberSumberSumber : LAN dan BPKP, 2010
Sejalan dengan gambar 1 dari Model Perencanaan Strategik Domai
(2010) menggambarkan Model Perencanaan Strategik sebagai berikut :
Gambar 2.Gambar 2.Gambar 2.Gambar 2. Perencanaan Strategik
SumberSumberSumberSumber : Domai (2010)
NOW HOW FUTURE
Analisis
TOWS MISI VISI
Kebijakan GOAL
Achievement
Hasil
Isu-isu
Strategik
Program OBJECTIVE
tujuan
Kegiatan Target
Sasaran
Ukuran
12
2.22.22.22.2 Manfaat Perencanaan StrategikManfaat Perencanaan StrategikManfaat Perencanaan StrategikManfaat Perencanaan Strategik
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan strategi bagi pemimpin
sangat bermanfaat dan diperlukan untuk beberapa alasan :
� PertamaPertamaPertamaPertama : Diperlukan untuk merencanakan perubahan dalam lingkungan
yang semakin kompleks. Berbagai perkembangan yang sangat
cepat dalam era informasi mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan pelayanan masyarakat yang lebih prima, semakin
menipisnya sumber daya, serta semakin beragamnya tuntutan
pelayanan yang baru disediakan. Hal inilah yang mendorong
organisasi untuk melakukan perubahan mendasar. Dengan
dicanangkannya perencanaan strategik, organisasi dapat
Menyiapkan perubahan secara proaktif yang bukan hanya
sekedar bereaksi terhadap perubahan yang terjadi.
� KeduaKeduaKeduaKedua : Diperlukan untuk pengelolaan keberhasilan. Perencanaan
strategik akan menuntut diagnosa organisasi terhadap
pencapaian hasil yang diinginkan secara obyektif. Dengan
perencanaan strategik, organisasi dapat membangun strateginya
sebagai bagian penting organisasi yang berorientasi hasil.
Kapabilitas dan sumber daya difokuskan secara optimal untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
� KetigaKetigaKetigaKetiga : Berorientasi pada masa depan. Perencanaan strategik
memungkinkan organisasi untuk memberikan komitmen pada
aktivitas dan kegiatan dimasa mendatang. Perencanaan strategik
memerlukan pengumpulan informasi secara menyeluruh untuk
kemudian Menyiapkan analisis atas berbagai alternatif dan
implikasi yang dapat diarahkan pada masa mendatang.
� KeempatKeempatKeempatKeempat : Adaptif. Fleksibitas merupakan suatu kriteria yang sangat
penting dalam perencanaan strategik walaupun pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan jangka panjang.
Penyesuaian terhadap perkembangan yang muncul dapat
dilakukan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Capaian
terhadap indikator kinerja dan mengukur kemajuan capaian
hasil tetap menjadi fokus utama dalam perencanaan strategik.
� KelimaKelimaKelimaKelima : Pelayanan prima (service excellence). Dalam era globalisasi ini,
pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang utama
13
untuk diperhatikan. Disamping itu, dalam era keterbukaan
masyarakat menuntut instansi pemerintah dan aparat untuk
memberikan pelayanan yang prima. Kepuasan pelanggan
merupakan faktor penentu keberhasilan bagi setiap organisasi
untuk dapat tetap diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu
pemahaman terhadap siapa pelanggan dan pihak-pihak yang
berkepentingan sangat diperlukan. Untuk itu pola-pola
pelayanan yang perlu diselenggarakan harus disesuaikan
dengan kebutuhan pelanggan.
� KeenamKeenamKeenamKeenam : Meningkatkan komunikasi. Implementasi perencanaan strategik
akan dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi,
mengakomodasi perbedaan kepentingan dan nilai, dan
mendorong proses pengambilan keputusan yang teratur serta
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Dengan
implementasi perencanaan strategik, organisasi dapat
meningkatkan komunikasi baik vertikal maupun horizontal
antara unit kerja.
(LAN dan BPKP, 2010)
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Domai T. (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press Malang
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (2010)
_________ (2010)
_________ (2010)
Olseu dan Edil (1982) dikutip Yuwono dkk (2005) Penganggaran Sektor Publik,
Bayumedia Malang
Quin (1980), Bracker (1980) dikutip Yuwono dkk (2005) Penganggaran Sektor
Publik, Bayumedia Malang
Sun Tsu, Napoleon, Fakih (1999) dikutip Yuwono dkk (2005) Penganggaran
Sektor Publik, Bayumedia Malang
Whittaker (1993) dalam LAN dan BPKP (2010)
Yuwono, S. Indrajaya, T.A. Hariyaudi (2005) Penganggaran Sektor Publik,
Bayumedia Malang.
14
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
3.13.13.13.1 Dasar Hukum Pimpinan Dalam Pengelolaan Keuangan PublikDasar Hukum Pimpinan Dalam Pengelolaan Keuangan PublikDasar Hukum Pimpinan Dalam Pengelolaan Keuangan PublikDasar Hukum Pimpinan Dalam Pengelolaan Keuangan Publik
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII hal keuangan, antara lain
disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga
mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini mengenai keuangan
negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Tuntutan pembahasan sistem keuangan publik merupakan suatu
keharusan, agar pengelolaan uang rakyat secara transparan, sehingga tercipta
akuntabilitas publik. Mengantisipasi tuntutan tersebut pemerintah dalam
pengelolaan keuangan publik mengeluarkan beberapa undang-undang yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan publik yaitu :
1. Undang-Undang RI, Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. Undang-Undang RI, Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
3. Undang-Undang RI, Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
4. Undang-Undang RI, Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
5. Undang-Undang RI, Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan.
3.23.23.23.2 UndangUndangUndangUndang----Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Hal-hal baru dan/ atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan
negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang
lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara,
kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
3
15
Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai
penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/
lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan
perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar
akuntansi di liingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada
perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara
internasional.
3.2.1 Pengertian dan Ruing Lingkup Keuangan Negara3.2.1 Pengertian dan Ruing Lingkup Keuangan Negara3.2.1 Pengertian dan Ruing Lingkup Keuangan Negara3.2.1 Pengertian dan Ruing Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara
adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang
dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi
subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan
Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan Sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
16
3.2.2 Asas3.2.2 Asas3.2.2 Asas3.2.2 Asas----asas Umum Pengelolaanasas Umum Pengelolaanasas Umum Pengelolaanasas Umum Pengelolaan Keuangan NegaraKeuangan NegaraKeuangan NegaraKeuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan, dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat
Pasal, 23 C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan
Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas
yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-
asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang
baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
- Akuntabilitas berorientasi pada hasil;
- Profesionalitas;
- Proporsionalitas;
- Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
- Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin
terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya
asas-asas umum tersebut di dalam, Undang-undang tentang Keuangan Negara,
pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi
manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3.2.3 Kekua3.2.3 Kekua3.2.3 Kekua3.2.3 Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara saan atas Pengelolaan Keuangan Negara saan atas Pengelolaan Keuangan Negara saan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri
Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/ lembaga
17
yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang
keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah
Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada
hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang
tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar
terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab,
terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya
peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi
perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan
keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/
Bupati/Walikota selaku Pengelola keuangan daerah. Demikian Pula untuk
mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
dilakukan oleh bank sentral.
3.2.4 3.2.4 3.2.4 3.2.4 Penyusunan danPenyusunan danPenyusunan danPenyusunan dan PenePenePenePenetapantapantapantapan APBN dan APAPBN dan APAPBN dan APAPBN dan APBBBBDDDD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam
undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran
pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses
penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas
kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran,
penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka jangka menengah dalam
penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.
Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan
pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam
rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali
tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas
peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan
anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang
18
ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti
bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan
antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki
proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis
prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil
memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk
menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan
sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan
memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi
sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang
bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran
berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi
anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.
Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan
untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan
gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah,
menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan
penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran
belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam
anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula
bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan
dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi,
penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana
pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang
ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak
sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era
globalisasi.
19
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan
membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan
anggaran tahunan yanc, dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana
dilaksanakan dikebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses
penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas
mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian
tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
3.2.5 Hubungan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Bank Sentral, 3.2.5 Hubungan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Bank Sentral, 3.2.5 Hubungan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Bank Sentral, 3.2.5 Hubungan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Bank Sentral,
Pemerintah Daerah, Pemerintah/ LemPemerintah Daerah, Pemerintah/ LemPemerintah Daerah, Pemerintah/ LemPemerintah Daerah, Pemerintah/ Lembaga Asbaga Asbaga Asbaga Asing, Perusahaan Negara, ing, Perusahaan Negara, ing, Perusahaan Negara, ing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana MasyarakatMasyarakatMasyarakatMasyarakat Sejalan dengan semakin lugs dan kompleksnya kegiatan pengelolaan
keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara
pemerintah dan lembaga-lembaga. infra/supranasional. Ketentuan tersebut
meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral,
pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan
keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah,
perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa
pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan
pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban
pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah
daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan
pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan
pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari
perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
20
3.2.6 Pelaksanaan APBN dan APBD3.2.6 Pelaksanaan APBN dan APBD3.2.6 Pelaksanaan APBN dan APBD3.2.6 Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-Undang,
pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai
pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran.
Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal
yang belum dirinci di dalam Undang-Undang APBN, seperti alokasi anggaran
untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga,
pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan
yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penguangan
dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/
kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang
menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan
APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan
laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun
anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan
tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama
dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang
mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut
hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan
pemerintah.
3.2.7 Pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara3.2.7 Pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara3.2.7 Pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara3.2.7 Pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip
tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang
telah diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang
setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR
21
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/
pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/
pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang
APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi
kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/
atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam Undang-
Undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/
gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/
lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-
undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi
tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi
sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-Undang tentang APBN/Peraturan
Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang
siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau
menyerahkan uang, Surat berharga atau barang milik negara
bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam
pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh
para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian
intern yang andal.
3.33.33.33.3 UndangUndangUndangUndang----Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan NegaraPerbendaharaan NegaraPerbendaharaan NegaraPerbendaharaan Negara
Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam
22
suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang
diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara tersebut, pada
tanggal 5 April 2003 telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 ini
menjabarkah lebih lanjut aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam asas-
asas umum pengelolaan keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
29 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam
rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD, perlu ditetapkan kaidah-kaidah hukum
administrasi keuangan negara.
Sampai dengan saat ini, kaidah-kaidah tersebut masih didasarkan pada
ketentuan dalam Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/ Indische
Comptabiliteitswet (ICW) Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2860) Undang-undang Perbendaharaan Indonesia
tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara
yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi.
Oleh karena itu, Undang-undang tersebut periu diganti dengan undang-undang
baru yang mengatur kembali ketentuan di bidang perbendaharaan negara,
Sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi
modern.
3.3.1 3.3.1 3.3.1 3.3.1 PengertiPengertiPengertiPengertian, Ruang Lingkup, dan Asas Umuman, Ruang Lingkup, dan Asas Umuman, Ruang Lingkup, dan Asas Umuman, Ruang Lingkup, dan Asas Umum Perbendaharaan NegaraPerbendaharaan NegaraPerbendaharaan NegaraPerbendaharaan Negara
Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara ini dimaksudkan
untuk memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara.
Dalam, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditetapkan bahwa
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
23
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Sesuai dengan pengertian tersebut, dalam Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini diatur ruang lingkup dan asas umum
perbendaharaan negara, kewenangan pejabat perbendaharaan negara,
pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang negara/
daerah, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi
dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban
APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/
daerah, serta pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan
negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan,
asas universalitas, asas tahunan, dan asas spesialitas. Asas kesatuan
menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah disajikan
dalam satu dokumen, anggaran. Asas universalitas mengharuskan agar setiap
transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas
tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu.
Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya. Demikian pula Undang-undang Perbendaharaan Negara,
ini memuat ketentuan yang mendorong profesionalitas serta menjamin
keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara
ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula
dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar
kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk
penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah
sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu
Undang-undang Perbendaharaan Negara ini selain menjadi landasan hukum
dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat
pemerintahan pusat, berfungsi pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
24
3.3.2 Pejabat Perbendaharaan Negara3.3.2 Pejabat Perbendaharaan Negara3.3.2 Pejabat Perbendaharaan Negara3.3.2 Pejabat Perbendaharaan Negara
Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial
Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/
pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO)
untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
Sesuai dengan prinsip tersebut Kementerian Keuangan berwenang dan
bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional,
sementara kementerian negara/ lembaga berwenang dan bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing.
Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para
menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk meningkatkan
akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji (check and balance)
dalam proses pelaksanaan anggaran perlu dilakukan pemisahan secara tegas
antara pemegang kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan
kebendaharaan. Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada
kementerian negara/lembaga, sementara penyelenggaraan kewenangan
kebendaharaan diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Kewenangan
administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan
lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara,
melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada
kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut,
serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul
sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan
pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara
bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan
pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan
pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus
sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan.
Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid
dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau
25
pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh
kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian
intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya
pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif
(ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (computable). Penerapan pola
pemisahan kewenangan tersebut, yang merupakan salah satu kaidah yang baik
dalam pengelolaan keuangan negara, telah mengalami “deformasi” sehingga
menjadi kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya
penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Oleh
karena itu, penerapan pola pemisahan tersebut harus dilakukan secara
konsisten.
3.3.3 3.3.3 3.3.3 3.3.3 Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat Di Lingkungan Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat Di Lingkungan Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat Di Lingkungan Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat Di Lingkungan
PemerintahanPemerintahanPemerintahanPemerintahan Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara,
dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka
pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien.
Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik,
pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan,
pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang
menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya
keuangan.
Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang
selama ini lebih banyak dilaksanakan di dunia usaha dalam pengelolaan
keuangan pemerintah, tidaklah dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan
keuangan sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada
hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang
demikian, negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan
berbagai lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan
kesejahteraan kepada rakyat (welfare state).
Namun, pengelolaan keuangan sektor publik yang, dilakukan selama ini
dengan menggunakan pendekatan superioritas negara telah membuat aparatur
pemerintah yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan keuangan sektor publik
tidak lagi dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para
profesional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelurusan kembali pengelolaan
26
keuangan pemerintah dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik (good governance) yang sesuai dengan lingkungan pemerintahan.
Dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini juga diatur prinsip-
prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas,
perencanaan penerimaan dan pengetahuan, pengelolaan utang piutang dan
investasi serta barang milik negara/daerah yang selama ini belum mendapat
perhatian yang memadai.
Dalam rangka pengelolaan uang negara/daerah, dalam Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini ditegaskan kewenangan Menteri Keuangan untuk
mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah, menyimpan uang
negara dalam rekening kas- umum negara pada bank sentral, serta ketentuan
yang mengharuskan dilakukannya optimalisasi pemanfaatan dana pemerintah.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan piutang
negara/daerah, diatur kewenangan penyelesaian piutang negara dan daerah.
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pembiayaan ditetapkan pejabat yang
diberi kuasa untuk mengadakan utang negara/daerah. Demikian pula, dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang
milik negara/daerah dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara. ini diatur
pula ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan investasi serta kewenangan
mengelola dan menggunakan barang milik negara/daerah.
3.3.4 3.3.4 3.3.4 3.3.4 Penatausahaan dan Pertanggungjawaban pelaksanaan AnggaranPenatausahaan dan Pertanggungjawaban pelaksanaan AnggaranPenatausahaan dan Pertanggungjawaban pelaksanaan AnggaranPenatausahaan dan Pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran
Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu
disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi
pemerintahan. Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan yang
mengatur mengenai hal-hal tersebut agar:
� Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses akuntansi;
� Laporan keuangan pemerintah disajikan sesuai dengan standar
akuntansi keuangan pemerintahan, yang terdiri dari Laporan Realisasi
Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas disertai dengan catatan
atas laporan keuangan;
� Laporan keuangan disajikan sebagai wujud pertanggungjawaban setiap
entitas pelaporan yang meliputi laporan keuangan pemerintah pusat,
27
laporan keuangan kementerian negara/ lembaga, dan laporan keuangan
pemerintah daerah;
� Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun Anggaran yang bersangkutan
berakhir;
� Laporan keuangan pemerintah diaudit oleh lembaga pemeriksa ekstern
yang independen dan profesional sebelum disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat;
� Laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan
yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan pemerintah
(Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi
kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis
perbandingan antarnegara (cross country studies), kegiatan
pemerintahan, dan penyajian diselenggarakan Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP)
yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.
Selain itu, perlu pula diatur agar laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah dapat disampaikan tepat waktu kepada DPR/ DPRD. Mengingat
bahwa laporan keuangan pemerintah terlebih dahulu harus diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD, BPK
memegang peran yang sangat penting dalam upaya percepatan penyampaian
laporan keuangan pemerintah tersebut kepada DPR/ DPRD. Hal tersebut sejalan
dengan penjelasan Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan bahwa audit atas Laporan
Keuangan Pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah Laporan Keuangan tersebut diterima oleh BPK dari Pemerintah. Selama
ini, menurut Pasal 70 ICW, BPK diberikan batas waktu 4 (empat) bulan untuk
menyelesaikan tugas tersebut.
3.3.5 3.3.5 3.3.5 3.3.5 Penyelesaian Kerugian NegaraPenyelesaian Kerugian NegaraPenyelesaian Kerugian NegaraPenyelesaian Kerugian Negara
Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat
tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam Undang-undang
Perbendaharaan Negara ini diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian
28
negara/daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Perbendaharaan
Negara ini ditegaskan bahwa setup kerugian negara/daerah yang disebabkan
oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang hares diganti oleh
pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara/daerah
dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.
Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/
kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera melakukan tuntutan ganti -
rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian. Pengenaan ganti
kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/
gubernur/bupati/walikota.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang
telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana apabila terbukti melakukan pelanggaran
administratif dan/atau pidana.
3.3.6 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum3.3.6 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum3.3.6 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum3.3.6 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dapat
dibentuk Badan Layanan Umum yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak
dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk
menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan
kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum dilakukan oleh Menteri
Keuangan, sedangkan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang
bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
29
3.43.43.43.4 UndangUndangUndangUndang----Undang Republik IndonesiaUndang Republik IndonesiaUndang Republik IndonesiaUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004Nomor 15 Tahun 2004Nomor 15 Tahun 2004Nomor 15 Tahun 2004 TentangTentangTentangTentang Pemeriksaan Pengelolaan Pemeriksaan Pengelolaan Pemeriksaan Pengelolaan Pemeriksaan Pengelolaan ddddanananan Tanggung Jawab Keuangan NegaraTanggung Jawab Keuangan NegaraTanggung Jawab Keuangan NegaraTanggung Jawab Keuangan Negara
Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan
pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan
dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, sampai saat ini, BPK masih berpedoman kepada Instructie en
Verdeŕe Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898
Nomor 9 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 1933 Nomor
320).
Sampai saat ini BPK, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih belum memiliki landasan
operasional yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selain
berpedoman pada IAR, dalam pelaksanaan pemeriksaan BPK juga berpedoman
pada Indische Cornptabiliteitswet atau ICW (Staatsblad 1925 Nomor 448 Jo.
Lembaran Negara 1968 Nomor 53).
Agar BPK dapat mewujudkan fungsinya secara efektif, dalam Undang-
undang ini diatur hal-hal pokok yang berkaitan dengan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai berikut:
1. Pengertian pemeriksaan dan pemeriksa;
2. Lingkup pemeriksaan;
3. Standar pemeriksaan;
4. Kebebasan dan kemandirian dalam pelaksanaan pemeriksaan;
5. Akses pemeriksa terhadap informasi;
6. Kewenangan untuk mengevaluasi pengendalian intern;
7. Hasil pemeriksaan dan tindak lanjut;
8. Pengenaan ganti kerugian negara;
9. Sanksi pidana.
30
3.4.1 Lingkup Pemeriksaan BPK3.4.1 Lingkup Pemeriksaan BPK3.4.1 Lingkup Pemeriksaan BPK3.4.1 Lingkup Pemeriksaan BPK
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara.
Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Sehubungah dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk
melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini
dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang
tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan
efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan
bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern
pemerintah.
Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja
pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga
perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja
dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/
daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi
sasarannya secara efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini
adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan,
dan pemeriksaan investigatif.
Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan
pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan
mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional.
Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu mengkonsultasikannya
31
dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di bidang
pemeriksaan.
3.4.23.4.23.4.23.4.2 Pelaksanaan PemeriksaanPelaksanaan PemeriksaanPelaksanaan PemeriksaanPelaksanaan Pemeriksaan
BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap
pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil
pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam
menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya
telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan
permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
Untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat
memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah,
memperhatikan masukan dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari
berbagai pihak. Sementara itu kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan
pemeriksaan antara lain meliputi kebebasan dalam penentuan waktu
pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk metode pemeriksaan yang
bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan
negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana
pendukung lainnya yang memadai.
BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan
dilakukan dapat disesuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang yang secara
potensial berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi
dan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, aparat pengawasan
intern pemerintah wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK.
BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan
keterangan dari pihak yang diperiksa, kesempatan untuk memeriksa secara fisik
setiap aset yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa,
termasuk melakukan penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau
dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat pemeriksaan berlangsung.
3.4.33.4.33.4.33.4.3 Hasil Pemeriksaan dan Tindak LanjutHasil Pemeriksaan dan Tindak LanjutHasil Pemeriksaan dan Tindak LanjutHasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut
Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan
dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan
selesai. Pemeriksaan keuangan keuangan akan menghasilkan opini.
Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi,
32
sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan.
Setiap laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD
sesuai dengan kewenangannya ditindaklanjuti, antara lain dengan
membahasnya bersama pihak terkait.
Selain disampaikan kepada lembaga perwakilan, laporan hasil
pemeriksaan juga disampaikan oleh BPK kepada pemerintah. Dalam hal laporan
hasil pemeriksaan keuangan, hasil pemeriksaan BPK digunakan oleh pemerintah
untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan, sehingga laporan
keuangan yang telah diperiksa (audited financial statements) memuat koreksi
dimaksud sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD. Pemerintah diberi
kesempatan untuk menanggapi temuan dan kesimpulan yang dikemukakan
dalam laporan hasil pemeriksaan. Tanggapan dimaksud disertakan dalam
laporan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR/DPRD. Apabila
pemeriksa menemukan unsur pidana, Undang-undang ini mewajibkan BPK
melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
BPK diharuskan menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan
selama 1 (satu) semester. Ikhtisar dimaksud disampaikan kepada
DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya, dan kepada Presiden serta
gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan agar memperoleh informasi
secara menyeluruh tentang hasil pemeriksaan.
Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik, Undang-
undang ini menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah
disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum.
Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk
mengetahui hasil pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan sites web BPK.
Undang-undang ini mengamanatkan pemerintah untuk menindaklanjuti
rekomendasi BPK. Sehubungan dengan itu, BPK perlu memantau dan
menginformasikan hasil pemantauan atas tindak lanjut tersebut kepada
DPR/DPD/DPRD.
3.4.43.4.43.4.43.4.4 Pengenaan Ganti Kerugian NegaraPengenaan Ganti Kerugian NegaraPengenaan Ganti Kerugian NegaraPengenaan Ganti Kerugian Negara
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang ini
mengatur lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara/daerah
terhadap bendahara. BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu
33
pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi,
setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang
merugikan keuangan negara/ daerah. Bendahara tersebut dapat mengajukan
keberatan terhadap putusan BPK. Pengaturan tata cara penyelesaian ganti
kerugian negara/ daerah ini ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan
pemerintah.
3.53.53.53.5 Penjelasan Penjelasan Penjelasan Penjelasan AtasAtasAtasAtas UndangUndangUndangUndang----Undang Republik Undang Republik Undang Republik Undang Republik IndonesiaIndonesiaIndonesiaIndonesia Nomor 25 Tahun Nomor 25 Tahun Nomor 25 Tahun Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UmumUmumUmumUmum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu
relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan.
Dengan berlakunya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan
pembangunan, yaitu:
(1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
(2) ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman
penyusunan rencana pembangunan Nasional; dan
(3) diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) berfungsi sebagai landasan perencanaan pembangunan
Nasional sebagaimana telah dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan selama
ini. Ketetapan MPR RI ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk
dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan
memperhatikan secara sungguh-sungguh saran Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), yang selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI
menyusun APBN.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengatur bahwa Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan
tidak adanya GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana
pembangunan maka dibutuhkan pengaturan lebih lanjut bagi proses
perencanaan pembangunan Nasional.
34
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
Daerah. Pemberian kewenangan yang luas kepada Daerah memerlukan
koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan
pembangunan, baik pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah maupun
pembangunan antar daerah.
Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu dibentuk Undang-Undang yang
mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
3.5.13.5.13.5.13.5.1 Ruang LingkupRuang LingkupRuang LingkupRuang Lingkup
Undang-Undang ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan
pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dalam Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan
masyarakat.
3.5.23.5.23.5.23.5.2 Proses PerencanaanProses PerencanaanProses PerencanaanProses Perencanaan
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam Undang-Undang ini
mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu:
(1) politik;
(2) teknokratik;
(3) partisipatif;
(4) atas-bawah (top-down); dan
(5) bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala
Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan
pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan
masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana
pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang
ditawarkan Presiden/ Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana
pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik
dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh
35
lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan.
Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan
rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam
perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses
atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
dan Desa.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat (4) tahapan yakni:
(1) penyusunan rencana;
(2) penetapan rencana;
(3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan
(4) evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara, berkelanjutan sehingga secara
keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh.
Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan
rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari
4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana
pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah
kedua, masing-masing instansi, pemerintah menyiapkan rancangan rencana
kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah
disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders)
dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing
jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan.
Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana
pembangunan.
Tahap berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum
sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Menurut Undang-
Undang ini, rencana pembangunan jangka panjang Nasional/Daerah
ditetapkan sebagai Undang-Undang/Peraturan Daerah, rencana pembangunan
jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan
Presiden/Kepala Daerah, dan rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah
ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah.
36
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk
menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam
rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan
rencana tersebut oleh pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah. Selanjutnya, Menteri/ Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis
hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan
togas dan kewenangannya.
Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan
pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data
dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja
pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran
kiner a yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan
sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result),
manfaat (benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan
pembangunan, setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah,
berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang
merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam
melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, Kementrian/Lembaga,
baik Pusat maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan
evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran
yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah rencana.
3.5.3 3.5.3 3.5.3 3.5.3 SistematikaSistematikaSistematikaSistematika
Undang-Undang ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Ruang Lingkup Perencanaan Pembangunan
Nasional, Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, Penyusunan dan
Penetapan Rencana, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana, Data dan
Informasi, Kelembagaan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
3.63.63.63.6 UndangUndangUndangUndang----Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa KeuanganPemeriksa KeuanganPemeriksa KeuanganPemeriksa Keuangan Undang-Undang Dasar, Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengalami perubahan yang mendasar diantaranya Pasal 23 ayat (5) mengenai
kedudukan dan tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Para Pembentuk Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyadari bahwa pemeriksaan
37
pengelolaan dan tanggung jawab. Pemerintah tentang keuangan negara
merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu Badan
Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah.
Tuntutan reformasi telah menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menuju tata
pemerintahan yang baik, mengharuskan perubahan peraturan perundang-
undangan dan kelembagaan negara.
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan Pasal 23 ayat (5)
tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah memperkokoh keberadaan dan
kedudukan BPK yaitu sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri.
Kedudukan BPK sebagai lembaga negara pemeriksa keuangan negara, perlu
dimantapkan disertai dengan memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian
dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan,
pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat
melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintahan negara di
pusat dan di daerah telah mengalami perubahan antara lain penyelenggaraan
otonomi daerah yang disertai penyerahan sebagian besar urusan Pemerintah
Pusat kepada Daerah. Selain itu sebagai pelaksanaan Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal
23F, dan Pasal 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan' Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang
menggantikan sebagian besar ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet/ICW Stbl. 1925 No.
448) dan Instructie en Verdere bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR
Stbl. 1933 No. 320).
Berdasarkan perubahan-perubahan konstitusi, penyelenggaraan
pemerintahan di pusat dan daerah, peraturan perundang-undangan dan
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tidak memadai lagi,
sehingga perlu dicabut:
38
1. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 diharapkan mampu
mengakomodasikan dan mendukung perubahan-perubahan meliputi
kedudukan, tugas, kewajiban, dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan
dan menggantikan ketentuan-ketentuan dalam Indische Comptabiliteitswet
(ICW), Instructie en verdere bepalingen voor de Algemene Rekenkamer
(IAR) Stbl. 1933 No., 320, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Untuk menjamin mutu pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan
keuangan. negara, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh badan
pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi badan
pemeriksa keuangan sedunia yang ditunjuk oleh BPK atas pertimbangan
DPR.
3. Guna menjamin peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan
sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme,
selain pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, juga didukung oleh
kemandirian pemeriksaan dan pelaporan.
4. Sejalan dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan negara di pusat
dan daerah, maka terjadi peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu lembaga
negara pemeriksa keuangan Negara memiliki perwakilan di setiap provinsi.
Dengan meningkatnya ruang lingkup pekerjaan, maka jumlah Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan ditetapkan menjadi 9 (sembilan) orang.
BPK adalah sebuah lembaga negara yang bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Peran dan tugasnya
bisa diuraikan dalam dua hal. Pertama BPK adalah pemeriksa semua asal-usul
dan besarnya penerimaan negara, dari manapun sumbernya. Kedua, BPK harus
mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk apa uang negara itu
digunakan. Sedangkan keuangan negara adalah hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut. Disamping itu pula pengelolaan keuangan negara
adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan
kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pertanggung jawaban.
39
BPK pada saat ini benar-benar berdiri sejajar dengan Presiden, BPK harus
memeriksa pengelolaan keuangan negara yang dijalankan pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya. Bila BPK berada di bawah kendali Presiden,
ruang gerak BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara akan terbatas. Suatu lembaga yang dikendalikan Presiden tidak akan
mungkin berposisi independen saat memeriksa bagaimana pemerintahan yang
dipimpin Presiden menjalankan tanggung jawabnya. Disisi lain, lembaga ini
juga bukanlah badan yang berdiri di atas pemerintah. Dalam hal ini BPK adalah
lembaga yang berdiri terpisah dari pemerintah. Tidak ada hubungan ataupun
bawahan diantara keduanya. BPK dipilih dan bertanggung jawab kepada DPR.
Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara harus diperiksa, ini
perlu dilakukan agar setiap pihak yang mengelola uang negara akan
menjalankan amanat tersebut dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga
membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Pihak-pihak yang mengelola
uang negara harus menyadari bahwa mereka tidak dapat memanfaatkan uang
yang dipercayakan rakyat tersebut secara tidak bertanggung jawab. Bila para
pengelola keuangan negara merasa bahwa tidak ada pihak yang mengontrol
bagaimana uang tersebut digunakan, mungkin sekali terjadi penyimpangan
penggunaan uang negara, baik dengan untuk tujuan memperkaya diri sendiri
atau karena sekedar salah arus.
Konsep yang merajalela di jaman orde lama dan orde baru
dimungkinkan terjadi antara lain karena ketiadaan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara secara sungguh-sungguh. Dimasa itu
sangat lazim pengelolaan uang negara dijalankan dengan menyimpang dari
rencana anggaran semula. Tak mengherankan bahwa kekayaan negara yang
diperoleh pada masa kejayaan pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat
berlimpahnya kekayaan alam Indonesia, dalam jumlah besar tidak
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat luas, melainkan hanya untuk
memperkaya segelintir pejabat dan mereka berada di lingkungan kekuasaannya.
Pada masa itu, banyak proyek pembangunan yang dilakukan secara
efektif. Dari anggaran pembangunan yang sudah disepakati seharusnya
digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang membawa manfaat bagi masyarakat
luas, sekian puluh persen diantaranya dikategorikan sebagai “bocor” dan di
korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Dana pembangunan juga lazim
mengalir ke pihak-pihak yang bukan semestinya. Proses pemilihan rekanan juga
40
diketahui sering dijalankan dengan cara yang tidak bertanggung jawab,
sehingga yang terpilih justru bukan pihak yang akan mampu menjalankan
program dengan cara paling efektif, efisien dan berkualitas, namun pihak-pihak
yang paling banyak memberikan komisi (BPK, 2010).
Ini semua terjadi karena, antara lain, ketiadaan pemeriksaan yang efektif
oleh lembaga audit independen. Kehadiran “Badan Pemeriksa” semacam ini
akan menjadikan setiap pihak yang mengelola keuangan negara sadar bahwa
bila mereka menyalahgunakan anggaran yang dikelolanya, tindakan
pengelolaan itu mungkin sekali diketahui dan dibongkar oleh lembaga
pemeriksaan independen sehingga ia harus menghadapi resiko serius, dan
dimasukkan kedalam penjara.
Dalam hal ini BPK berkewajiban menjaga agar keuangan negara dikelola
secara bertanggung jawab. Dalam hal ini, BPK akan mempelajari apakah
lembaga pemerintah atau lembaga negara menggunakan anggaran yang
dipercayakan kepada mereka dengan cara yang benar dan baik sesuai dengan
anggaran yang sudah ditetapkan sebelumnya.
BPR akan mempelajari apakah setiap rupiah yang dikeluarkan oleh
lembaga tersebut memang digunakan untuk program atau kegiatan yang sudah
dianggarkan atau tidak. Apakah kegiatan tersebut memang dilaksanakan?
Apakah realisasi penggunaan anggaran sesuai dengan kontrak? Apakah ada
penggelembagaan biaya? Apakah biaya produksi dan distribusi berada dalam
batas kewajaran? Apakah ada penyimpangan, apakah kegiatannya benar-benar
dijalankan secara efektif atau tidak. Selain itu BPK juga mempelajari apakah
pelaporannya dilakukan dengan benar atau tidak, transparan atau tidak. Para
proyek pembangunan jalan atau gudang, misalnya, dilakukan pemeriksaan
terhadap kualitas beban bangunan.
Peran BPK jauh lebih luas dari pada mencegah kebocaran korupsi. Yang
penting kehadiran BPK diharapkan dapat menjaga transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara mengingat pengelolaan keuangan negara yang
bertanggung jawab merupakan prasarat bagi kesehatan perekonomian dan
pembangunan nasional. Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara
memudahkan pemerintah untuk mengetahui setiap saat kondisi keuangannya
sendiri agar dapat melakukan pengaturan perencanaan pendanaan
pembangunan dan memonitor pelaksanaanya dengan baik. Transparansi dan
41
akuntabilitas ini juga akan mendorong peningkatan kinerja BUMN dan BUMD
sehingga mampu bersaing di pasar global.
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka Undang-Undang RI, Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang RI, Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang RI, Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang RI, Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Undang-Undang RI, Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan
42
REFORMASI BUDGET ABAD 21:REFORMASI BUDGET ABAD 21:REFORMASI BUDGET ABAD 21:REFORMASI BUDGET ABAD 21:
KINERJA, ENTREPRENEURIAL, DANKINERJA, ENTREPRENEURIAL, DANKINERJA, ENTREPRENEURIAL, DANKINERJA, ENTREPRENEURIAL, DAN
BUDGETING KOMPETITIFBUDGETING KOMPETITIFBUDGETING KOMPETITIFBUDGETING KOMPETITIF
BAB BAB BAB BAB
Thomas D. Lynch Thomas D. Lynch Thomas D. Lynch Thomas D. Lynch Chyntia LynchChyntia LynchChyntia LynchChyntia Lynch
AbstrakAbstrakAbstrakAbstrak
Artikel ini mengamati evolusi budget publik yang terjadi akibat perubahan yang
ditimbulkan oleh revolusi informasi. Penulis berpendapat bahwa sebuah
perubahan historis mendasar bisa terjadi dan bahwa budgeting sebagai praktek
perlu diadaptasikan dengan perubahan tersebut. Penulis pertama kali
mempelajari gerakan reformasi progresif dan bentuk public budgeting yang
umum digunakan dalam pemerintah sekarang ini. Penulis selanjutnya
mencermati literatur futurist untuk mendeskripsikan perubahan yang dirasakan
dalam masyarakat seiring adanya jaman informasi. Dari literatur tersebut,
penulis beranggapan bahwa bentuk budgeting baru mulai muncul. Jika ini
benar, maka kita memasuki era baru dengan implikasi kuat bagi public
budgeting. Meski banyak hasil buruk setelah reformasi budget baru, ada
beberapa realita negatif yang juga menimbulkan sakit kepala bagi leadership di
waktu mendatang. Para penulis perlu menyimpulkan ini dengan mempelajari
implikasi yang ada.
4.1 4.1 4.1 4.1 Pendahuluan Pendahuluan Pendahuluan Pendahuluan
Artikel ini berspekulasi tentang reformasi budget yang sukses di abad
mendatang dan masalah yang bisa muncul terkait dengan reformasi tersebut.
Bagian pertama dari artikel ini mengemukakan set reformasi budget terakhir
yang dihasilkan oleh Era Progresif dan Liberal, dan menjelaskan pengaruhnya
terhadap cara pelaksanaan budgeting sekarang ini. Bagian kedua
mendiskusikan beberapa implikasi negatif dari tipe reformasi budget baru ini.
Artikel ini disimpulkan dengan beberapa observasi.
4
43
4.2 4.2 4.2 4.2 Era Liberal Progresif Era Liberal Progresif Era Liberal Progresif Era Liberal Progresif
Beberapa ide menjadi panduan perilaku bila ini dipahami oleh sejumlah
orang. Ini dapat memberikan nilai bagi orang, sesuatu, dan aktivitas yang berisi
proses public budgeting (Lynch, 1996). Contoh dari ini bisa ditemukan dalam
peralihan abad 20 seiring adanya pengaruh dari Progressive Movement. Set
keyakinan ini mulai mendefinisikan prinsip masyarakat modern Amerika
dengan peran sentral kuat pemerintah di dalam masyarakat dan penekanannya
pada seorang eksekutif dengan perintah dan arahan kontrol yang kuat. Dalam
Progresivisme dan kemudian Liberalisme Amerika, pemerintah meregulasi
sektor privat dan terlibat langsung dalam realita sosial, ekonomi dan lingkungan
dari bangsa. Realita ini berisi buruh anak, keselamatan pabrik, keamanan
makanan, regulasi obat, korupsi politik, dan monopoli ekonomi (Brier, 1992).
Di awal abad 20, Progresivisme menghendaki supaya pemerintah, khususnya
pemerintah federal, mengambil peran aktif dalam masyarakat. Ini melibatkan
peran sebagai penjamin stabilisasi ekonomi nasional, keselamatan, pertahanan
dan kesehatan masyarakat.
Perubahan abad ini menghasilkan perubahan dalam masyarakat
Amerika sebagai wujud reaksi terhadap Gilded Age. Beberapa kota tumbuh
dengan kecepatan pesat ketika orang mulai datang ke kota dari desa dan bekerja
di pabrik. Gelombang imigrasi menghasilkan buruh murah bagi pabrik yang
dimungkinkan lewat adanya lini assembly dan produksi barang secara massal.
Negara telah berubah dari negara agraris menjadi negara yang didominasi oleh
penduduk kota. “Gilded Age dan kapitalisme industri telah merambah ke setiap
sudut kehidupan bangsa” (Brier, 1992).
Darwinisme Sosial menghendaki adanya penjelasan ilmiah yang mana
bahwa kondisi manusia ditentukan oleh karakteristik massa yang tidak saling
bersesuaian. Mayoritas politik di abad 19 merasakan bahwa interferensi
pemerintah untuk mendukung yang lemah dan yang miskin hanya akan
mempertahankan ketidaksesuaian tersebut dan membuat masyarakat Amerika
menjadi negara yang kurang ber-evolusi. Kalangan Progresif tidak setuju
dengan Darwinisme Sosial dan berpendapat bahwa tatanan industri baru
memperburuk kondisi manusia dan menjadikannya sebagai korban dari
kebijakan yang diselewengkan. Humoris Mark Twin di dalam novelnya 1874
berjudul Gilded Age menemukan materialisme keinginan terhadap uang dalam
44
kalimat berikut: Jikalau bisa, jadilah orang kaya meski tidak jujur, tapi kejujuran
tetap harus ada” (Dikutip dalam Brier, 1992).
Gaya pemerintah Amerika di abad 19 sangat diinspirasikan oleh Thomas
Jefferson yang berkeyakinan bahwa “pemerintah yang paling sedikit adalah
pemerintah yang terbaik”. Menurut pemikiran abad 19, pemerintah belum
punya sarana untuk menindaklanjuti kondisi sosial yang muncul akibat
perubahan cepat dalam Gilded Age. Dalam kondisi riilnya, “gerakan progresif
mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti munculnya ekonomi
industribaru yang menciptakan masalah baru dan peluang baru dalam
kehidupan Amerika” (Osborne dan Gaebler, 1993). Progresivisme mencakup
banyak area dan juga elemen yang saling berlawanan. Para wanita berjuang
mendapatkan kesetaraan dan hak untuk memilih; ini adalah sebuah dorongan
untuk membuat pemerintah kota menjadi mirip bisnis; para politisi termasuk
presiden mulai menambah kekuasaan pemerintah untuk meregulasi aktivitas
korporat. Setiap elemen merespon dalam beberapa cara terhadap perubahan
sosial dan ekonomi dari Gilded Age (Brier, 1992).
Dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya di dunia, pemerintah
Amerika adalah yang efisien dan efektif dalam menciptakan keamanan nasional.
Negara tersebut memberikan kesan ekuitas dan keadilan dalam layanan yang
dibutuhkan untuk memperkuat era industri, termasuk sejumlah jalan, jembatan,
terowongan, alat komunikasi, pengerjaan air dan saluran pembuangan, proyek
listrik dan sekolah. Model command-and-control eksekutif bisa berjalan baik
dalam saat krisis bila tujuannya sudah ditetapkan dengan jelas dan disebarkan
secara luas. Tugas bisa terukur dan terkesan langsung. Kemungkinan karena
sifat demokrasi, maka nilai kebersamaan akan muncul. Kemauan yang luas
akan muncul untuk bekerjasama demi tujuan yang sama pada saat krisis seperti
depresi dan perang. Seperti masyarakat industri lain di dunia, Amerika
merespon baik terhadap mentalitas command-and-control (Osborne dan
Gaebler, 1993).
Dalam arahan Progresif, budgeting modern mulai digunakan (Lynch,
1996). Reformis terkenal seperti Woodrow Wilson menekankan perlunya
penguatan otoritas eksekutif dalam pemerintah lewat reformasi proses budget.
Contoh, dia sukses menerapkan pajak penghasilan progresif yang menghasilkan
aliran pendapatan yang dibutuhkan untuk melanjutkan pemerintah aktivist.
45
Pada saat itu, kepentingan bisnis menghendaki adanya ekonomi dan
efisiensi pemerintah yang lebih besar yang sebagian karena bereaksi terhadap
sistem pajak progresif baru. Reformasi budget menfokuskan pada penciptaan
kebijakan pendapatan dan pengeluaran bagi pemerintah tetap sebelum awal
tahun fiskal, meningkatkan kontrol eksekutif, manajemen yang lebih baik, dan
perencanaan yang lebih banyak. Dengan fokus pada kontrol, format budget
seperti budgeting item-lini menekankan pada penjaminan akuntabilitas
lembaga dengan memastikan bahwa lembaga yang ada hanya menggunakan
uang yang disediakan untuk menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh
hukum. Ilustrasi 1 menunjukkan format budget item-lini yang menfokuskan
pada kontrol manajerial dan akuntabilitas unit kerja. Pelaksanaan audit
diperlukan dan kemudian diperkuat untuk meningkatkan kontorl sentral,
melawan korupsi, dan mengurangi kecerobohan pegawai publik dalam
pembuatan keputusan.
Era Progresif dan Liberal menekankan pentingnya perencanaan rasional
dan manajemen yang di dalam pemerintah. Dengan fokus pada perencanaan,
reformasi proses budget menitikberatkan pada pembuatan keputusan rasional,
termasuk penambahan dan penggunaan perencanaan dan analisis lebih dini di
dalam proses pengembangan budget. Sebuah pola pikir command-and-control
tersentral cenderung menilai adanya rasionalitas lebih besar dalam proses
pembuatan kebijakan (Lynch, 1996).
Ilustrasi 2 menunjukkan format budget program yang menfokuskan
pembuat keputusan kepada perencanaan dan analisis rasional. Dengan fokus
tersebut, manajemen eksekutif akan bekerja lewat arahan top-down yang kuat
dan menekankan efisiensi dan ekonomi dalam administrasi. Budget menjadi
sebuah alat untuk menghasilkan arahan operasional yang efektif dan efisiensi
yang optimal.
Ilustrasi 3 menunjukkan format budget kinerja yang menfokuskan
pembuat keputusan kepada pencapaian efisiensi. Budgeting kinerja
dimaksudkan untuk menfokuskan pembuat keputusan pada penggunaan
sumberdaya termasuk produk dan layanan pemerintah, bukan pada
sumberdayanya. Secara ringkas, reformasi budget Era Progresif berisi
perubahan yang mencakup: budget tahunan; budget komprehensif; budget
item-lini detail setidaknya dalam budget operasional tahun sekarang, dan
46
format budget kinerja dan program bagi manajemen dan pembuat kebijakan
(Lynch, 1996).
Selama Era Progresif, kekuatan eksekutif yang kuat di atas legislasi akan
tumbuh pesat dan ini dicerminkan dalam reformasi budget. Proses budget
federal terkesan disentralkan lewat peran kuat dari US Office of Management
and Budget (OMB). Meski begitu, White (1991) berpendapat bahwa struktur
hukum dan tatacara Amerika seputar kekuasaan dana sepertinya masih
mempertahankan dominansi kongresional. Tanggungjawab dan kekuatan
kendali dalam penentuan kebijakan budget masih di tangan eksekutif.
Beberapa budget dan reformasi progresi yang mempengaruhi eksekutif
yang kuat adalah sebagai berikut: (1) Di tahun 1950, Hoover Commission telah
sukses menghasilkan Budgeting and Accounting Procedures Act, dan
memperjuangkan Performance Budgeting (PB); (2) Di tahun 1961, Department
of Defense membuat Planning Programming Budget System (PPBS); (3) Di tahun
1965, administrasi Johnson menunjukkan bahwa semua lembaga federal telah
menggunakan PPBS; (4) Di tahunu 1971, administrasi Nixon mengharuskan
semua lembaga federal untuk menggunakan Zero Based Budgeting (ZBB); dan
(5) Di tahun 1981, administrasi Reagan mencabut ZBB.
4.3 4.3 4.3 4.3 Budgeting Era Entrepreneurial Budgeting Era Entrepreneurial Budgeting Era Entrepreneurial Budgeting Era Entrepreneurial
Jaman Informasi Jaman Informasi Jaman Informasi Jaman Informasi
Model command-and-control eksekutif yang berkembang saat itu punya
banyak perbedaan dengan yang sekarang. Era Progresif adalah ketika:
masyarakat berkembang jauh lebih lambat; manufaktur menciptakan pekerjaan
baru; korporasi besar dan pemerintah menggunakan hirarki untuk mengontrol
organisasinya; pasar massa adalah kunci kesuksesan ekonomi; dan populasi
sering berhubungan erat dengan unit keluarga yang kuat.
Ketika mendekati abad baru, kita merasakan kondisi yang sangat
berbeda. Kita berada dalam suatu waktu ketika: ada perubahan yang
mendebarkan; ada industri jasa dan pengetahuan yang menciptakan pekerjaan
baru; organisasi dengan network dan web; pasar global dengan niche pasar
yang kritis; dan orang yang hidup dalam komunitas terisolasi dengan unit
keluarga yang terfragmentasi (Osborne dan Gaebler, 1993).
Kalangan futurist seperti Toffler, Naisbitt, Drucker dan Reich selama
beberapa dekade mengatakan bahwa teknologi akan merubah cara masyarakat
47
dalam bekerja, dan bahwa organisasi kita perlu dan akan berubah untuk
mengakomodasi kekuatan teknologi ini. Di tahun 1970, Future Shock dari Alvin
Toffler berbicara tentang perubahan dalam teknologi, khususnya komputer dan
pengaruhnya terhadap masyarakat. John Naisbitt menulis Megatrends di tahun
1982 dan memberikan perhatian kepada perubahan yang terjadi di masyarakat.
Evolusi cepat dalam komputer dan software terkaitnya membuat penggunaan
informasi dalam aktivitas kerja keseharian menjadi sangat berbeda. Sifat
bagaimana kita dapat menyelesaikan tugas kerja kita akan berubah secara
dramatis. Organisasi dapat bekerja secara lebih baik sebagai unit desentral yang
berhubungan bersama bukan dengan hirarki tapi dengan web (Naisbitt, 1982).
Reich menindaklanjuti tema Naisbitt. Di tahun 1983, Robert B. Reich
menuliskan The Next American Frontier yang mana dia menekankan bahwa
metode tua dari manajemen telah lama usang dan sebuah perubahan mendasar
telah terjadi. Dia berpendapat bahwa Amerika perlu beradaptasi dengan realita
baru dengan merubah organisasinya. Di tahun 1991, Reich melanjutkan
argumennya dalam Work of Nations dengan mengemukakan tipe keahlian
pekerjaan yang perlu dijalankan dalam organisasi baru sekarang ini. Dia
menambahkan bahwa keahlian ini adalah tentang pemecahan masalah,
identifikasi masalah, dan broker strategis. Keahlian ini menciptakan ide dan
pekerjaan yang bukan hanya memperluas ekonomi, tapi juga meningkatkan
produktivitas dan standar hidup bangsa (Reich, 1983, 1991).
Sejak tahun 1989, Peter F. Drucker berpendapat bahwa organisasi,
khususnya yang besar, punya pilihan sedikit dan hanya menggunakan informasi
yang tersedia. Bila dijelaskan secara langsung, pekerja pengetahuan bisa
dianggap lebih berharga (yaitu, nilai tambah) dalam masa informasi baru
daripada pekerja manual dan klerikal. Teknologi informasi yang berkembang
dengan cepat yang diikuti dengan kompetisi dalam sebuah skala dunia bukan
hanya menciptakan perubahan, tapi juga memaksakan perubahan. Drucker
berpendapat bahwa kita harus menggunakan organisasi berbasis informasi atau
jika tidak, kita tidak akan survive secara ekonomi. Akibat dari perubahan ini
bukan hanya munculnya organisasi yang lebih datar, tapi juga perubahan dasar
dalam cara pekerjaan dilakukan di dalam organisasi.
Di tahun 1993, Michael Hammer dan James Champy dalam
Reengineering the Corporation mengatakan bahwa kita harus mengabaikan
prinsip dan prosedur organisasi dan operasional, dan menciptakan yang baru
48
(Hammer dan Champy, 1993). Mereka menambahkan bahwa perubahan ini
seharusnya tidak berada dalam kadar yang kecil; ini adalah “sebuah pemikiran
yang kembali ke dasar”, dan “redesain radikal dari semua proses”.
Juga di tahun 1993, Osborne dan Gaebler menggunakan prinsip
reengineering dari lingkungan korporat dan menerapkannya pada sektor
publik. Dalam bukunya, Reinventing Government, mereka berbicara tentang
“kebangkrutan birokrasi” (Osborne dan Gaebler, 1993). Ini menekankan
pikiran futurist lainnya dan menggunakan gaya perancangan birokrasi
pemerintah dari Hammer dan Champy dalam cara yang radikal dan yang
merubah fokus dari proses ke hasil dalam penyediaan public service.
4.4 4.4 4.4 4.4 ParadigmaParadigmaParadigmaParadigma Baru Untuk Perubahan Baru Untuk Perubahan Baru Untuk Perubahan Baru Untuk Perubahan
Ketika kompleksitas masyarakat mulai bertambah pada beberapa dekade
terakhir, kebutuhan akan sebuah pemerintah yang fleksibel, adaptif dan
bertanggungjawab akan meningkat. Ironisnya, kebutuhan publik akan layanan
pemerintah seringkali bertambah pada saat yang sama ketika masyarakat
berusaha membatasi pengeluaran pemerintah (Osborne dan Gaebler, 1993).
Dalam birokrasi pemerintah yang besar, ketidakseimbangan fiskal dan
bertambahnya ketidakpercayaan politisi karir juga menambah masalah alokasi
sumberdaya publik. Seperti yang dikatakan oleh Derry Ormond (1993), “Dalam
satu dekade terakhir, efisiensi sektor publik mulai mendapat pertimbangan lebih
kuat”.
Aturan dan regulasi pemerintah juga dirasakan sebagai gangguan dan
rintangan terhadap fleksibilitas dan kompetisi. Konsumen barang dan jasa
publik menjadi lebih pintar dalam mengekspresikan kebutuhannya. Sistem,
kontrol dan mentalitas umum adalah produk reformasi seratus tahun yang lalu.
Sebuah kutipan kalimat Thomas Jefferson dalam monumennya di Washington
DC berbunyi: “Ketika ada penemuan baru, maka kepercayaan baru akan
muncul, dan cara dan opini akan berubah, sehingga institusi harus
menindaklanjuti ini seiring waktu” (Managing Results Conference Proceedings,
1995). Mungkin, waktu bisa berubah dan administrasi publik perlu
menyamainya.
Reformasi seperti PPBS dan ZBB ataupun beragam legislasi reformasi
budget selama empat dekade terakhir tidak berhasil dalam mencegah hutang
nasional dari pertambahannya menjadi tiga kali lipat, atau gagal dalam
mencegah kota seperti New York, Philadelphia, dan Washington DC dari
49
masalah finansial serius. Reformasi mana pun tidak bisa membatasi gelombang
pasang pengeluaran defisit dan rusaknya public service. Sistem budget yang ada
mendorong orang di semua level untuk mengeluarkan uangnya tanpa
mempertimbangkan sumber pendapatannya. Sedikit orang dalam pemerintah di
luar departemen keuangan dan pendapatan masih mempertimbangkan
pendapatan, dan tidak ada orang yang berpikir tentang profit.
Dalam sektor privat, ada dua aturan untuk survival. Yang pertama
adalah punya tambahan satu dolar daripada mengeluarkan satu dolar. Yang
kedua adalah menjaga kualitas produk dan jasa setinggi mungkin sehingga
konsumen akan kembali. Prinsip yang sama dapat dan harus diterapkan dalam
pemerintahan. Visi ini tidak dapat digunakan secara serius dalam pemerintah
tanpa mempertanyakan apa posisi kita dan bagaimana cara kita berbeda secara
dasar dan radikal dari sektor bisnis. Banyak kata-kata yang digunakan pada
waktu sekarang, seperti “reengineering, rethinking, redesigning, resetting, dan
remodeling” sudah menggambarkan kondisi yang dimaksud; ada sebuah
kebutuhan akan perubahan paradigma yang menantinya mempermudah
adanya perubahan. Mainstream dari budgeting tidak mampu menghindari
reformasi. Kita perlu merekognisi bahwa ini adalah waktu untuk perubahan.
4.5 4.5 4.5 4.5 Iklim Entrepreneurial Iklim Entrepreneurial Iklim Entrepreneurial Iklim Entrepreneurial
Istilah entrepreneur dikemukakan oleh pakar ekonom Perancis J.B. Say di
sekitar tahun 1800. Dia mengatakan bahwa “Entrepreneur mengalihkan
sumberdaya ekonomi dari area yang lebih rendah produktivitasnya kepada area
dengan produktivitas dan hasil yang lebih tinggi” (dikutip dalam Drucker,
1989; Osborne dan Gaebler, 1993). Dengan kata lain, entrepreneur
menciptakan profit paling besar secara sukarela dan kreatif dalam dunia bisnis.
Dia tahu bagaimana cara menggunakan sumberdaya ekonomi maksimum ke
dalam produktivitas yang lebih tinggi dan hasil yang lebih besar antar pesaing
lainnya. Meski begitu, cepat atau lambat, meski tidak tergesa-gesa, sektor publik
akan mengharuskan civil servanat untuk menjalankan program pemerintahnya
sebagai layaknya entrepreneur dalam cara yang meningkatkan-pendapatan
untuk menjaga akuntabilitas finansial.
Stress fiskal di pemerintah terasa memuncak di beberapa dekade.
Penentangan pajak di tahun 1970-an diwujudkan dalam bentuk Proposition 13
di Kalifornia dan 2 ½ di Massachusetts. Di tahun 1980-an, ada kemorosotan
50
ekonomi, peningkatan kebutuhan akan public service, dan pertanyaan seputar
kemampuan pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Administrator publik
tidak lagi menitikberatkan pada pengeluaran. Mereka mulai berpikir tentang
sisi pendapatan dari budget. Bagian penting dari Entrepreneurial budgeting
menfokuskan manajer publik pada penciptaan sumberdaya pendapatan
alternatif untuk aktivitasnya. Dalam cara ini, mereka mulai berpikir tentang
satu dolar tambahan daripada satu dolar pengeluaran dalam programnya.
Kemungkinan untuk penambahan uang tidak pernah berhenti dalam
pemerintah seperti halnya di sektor privat. Ini bisa dilakukan tanpa
mengabaikan tujuan publik dari pemerintah. Palang tertinggi untuk dilompati
saat merubah pola pikir budaya birokratik adalah membiasakan diri dengan
prinsip bahwa pemerintah dapat, dan di beberapa kasus, harus menghasilkan
uang.
Titik penting yang perlu diingat saat menindaklanjuti iklim
entrepreneurial adalah sama seperti sepuluh point dari Osborne dan Gaebler
(1993):
• persaingan antar penyedia jasa,
• penggunaan mekanisme pasar,
• penguatan potensi earning,
• pemberdayaan warga negara,
• kepuasan konsumen,
• organisasi menurut misi,
• otoritas yang didesentralisasi,
• tindakan proaktif dan preventif,
• mengukur kinerja, dan
• bertindak selayaknya katalis bagi sektor lain.
Dari situ, sepuluh karakteristik yang ada menciptakan aliran pemikiran yang
mendorong pemerintah untuk menjalankan public service berkualitas tinggi.
Untuk tujuan kesederhanaan dan kejelasan, peneliti mengelompokkan
sepuluh prinsip tersebut menjadi dua kelompok yang mencerminkan tujuannya.
Mereka mengelompokkan lima prinsip pertama dalam Entrepreneurial Attitudes
dan lima prinsip kedua dalam Self-Direction.
51
4.6 4.6 4.6 4.6 Entrepreneurial Attitudes (Sikap Entrepreneurial)Entrepreneurial Attitudes (Sikap Entrepreneurial)Entrepreneurial Attitudes (Sikap Entrepreneurial)Entrepreneurial Attitudes (Sikap Entrepreneurial)
Memberdayakan warga negara dengan memberikannya input dalam
penentuan layanan adalah bagian dari sikap menurut konsumen. Ini dilakukan
untuk mempermudah definisi kualitas parameter layanan yang bermuatan
semangat entrepreneurial. Beberapa layanan dianggap penting oleh publik
meski ada biaya, dan tidak dianggap perlu untuk merubah biaya penyediaan
layanan tersebut. Contoh, transit massa bisa menguntungkan setiap orang baik
ini digunakan atau tidak. Jika ini dihargai sampai biaya penuh, semakin sedikit
orang yang menggunakannya, dan masalah perkotaan lain seperti kemacetan
lalu lintas dan polusi akan menambah kerugian dari populasi keseluruhan.
Menguatkan potensi earning, menciptakan kompetisi antara dan antar
penyedia jasa, dan memperbolehkan mekanisme pasar untuk menentukan biaya
unit akan memberikan kebebasan bagi manajer program dan kepala lembaga
untuk menemukan berbagai kemungkinan yang tanpa akhir. Dengan
menggunakan sebuah profit dari satu program untuk mendanai “leader yang
rugi” di program lain adalah sebuah strategi entrepreneurial. Penggunaan
beban user dalam bentuk baru seperti franchising, lisensi, atau peningkatan
return investasi adalah beberapa cara yang menjadikan manajer seperti
layaknya entrepreneur.
Untuk mendukung dan mendorong entrepreneur semacam ini, beberapa
sistem harus berubah. Pertama, “Formula budget diperlukan untuk melindungi
manajer dari perampasan profit yang diperoleh dengan kerja keras” (Osborne
dan Gaebler, 1993). Kedua, untuk menghasilkan uang membutuhkan uang.
Manajer harus punya akses untuk memperbanyak uang guna meluncurkan
perusahaan baru. Ketiga, “Jika kita menginginkan supaya pegawai publik
menjadi paham akan pendapatan, kita membutuhkan insentif yang mendorong
mereka untuk menghasilkan uang”. Dana usaha atau dana putaran perlu
digunakan untuk mendukung unit yang mandiri. Meski tidak tepat bagi semua
public service, seperti kepolisian dan pemadam kebakaran, contohnya, ini
sepenuhnya dikatakan tepat untuk layanan seperti golf course, marina dan
airport. Dana usaha dapat dipecah menjadi kategori berikut: (1) aktivitas yang
dimaksudkan untuk menciptakan profit; aktivitas yang dimaksudkan untuk
break even tapi tidak menghasilkan profit; dan aktivitas yang dapat memberikan
dukungan parsial, atau sepenuhnya.
52
Keempat adalah menciptakan pusat profit. Meski sektor privat dan labor
union sering mengkomplain tentang ketidakadilan perusahaan publik yang
bersaing dengan pusat profit, ada beberapa waktu ketika ini sepenuhnya
dianggap wajar. Pada saat terjadi penyusutan sumberdaya, persaingan dan joint
ventura publik/privat menjadi cara yang umum digunakan.
Pertimbangan dalam inovasi berkaitan dengan anggapan bahwa biaya
sebenarnya dari layanan tersebut bisa ditentukan oleh sehingga bisa diketahui
break even point-nya. Analisis harus menjawab: Bagaimana nilai return tentang
sebuah investasi bisa ditentukan oleh jika biaya sebenarnya dari investasi tidak
diketahui? Bagaimana profit bisa diupayakan jika pengeluarannya tidak
diketahui? Bagaimana subsidi yang tepat ditentukan oleh jika biaya sebenarnya
dari layanan masih menjadi sebuah misteri? Entrepreneurial Budget
menunjukkan subsidi yang ada kepada publik, menggunakan tekanan publik
sebagai acuan tindak lanjutnya, dan menemukan cara baru untuk menghasilkan
uang dari layanan yang menguntungkan guna mendanai usaha non-profit yang
esensial.
4.7 4.7 4.7 4.7 SelfSelfSelfSelf----Directing Directing Directing Directing
Pikiran dasar dari demokrasi adalah bahwa pemerintah yang dipilih oleh
rakyat akan bertanggungjawab kepada rakyat. Hal penting untuk kesuksesan
pemerintah adalah tanggungjawab dan akuntabilitas. Meski pemberdayaan
warga negara dan kepuasan konsumen menentukan parameter dari semangat
entrepreneurial di dalam pemerintah, persoalan etika dari akuntabilitas dalam
pengeluaran uang publik masih tetap ada. Jika seorang manajer lembaga dan
program diberi kepercayaan untuk mengurusi uang publik tanpa manajemen
mikro command-and-control, maka mereka harus bertanggungjawab dalam
cara lain.
Banyak pemerintah telah menjalankan ukuran kinerja yang didasarkan
pada hasil. Ukuran tersebut menciptakan akuntabilitas manajerial dan
seringkali dibentuk lewat memoranda pemahaman: persetujuan kontrak kinerja
dengan insentif seperti bonus personal; percent split dari earning profit bagi
program atau lembaga, dan seed fund; dan rencana bisnis dengan laporan rugi
dan laba. Kontrak kinerja tersebut dapat diperluas ke ventura publik/privat atau
provider jasa yang dikontrak, lisensi, dan franchise dalam hampir semua area
jasa.
53
Dengan menggunakan sepuluh prinsip pemikiran entrepreneurial dari
Osborne dan Gaebler (1993), bisa diciptakan sebuah pemerintah yang
bertanggungjawab dan fleksibel – yaitu yang mampu mengantisipasi
kebutuhan, masalah, dan peluang. Dengan kata lain, yang proaktif dan
preventif, bukan yang reaktif dan menindaklanjuti krisis. Ketika pemerintah
mampu merespon secara lebih baik dan lebih cepat dalam cara yang lebih
efektif dan efisien, pemerintah bisa mampu mendapatkan kepercayaan publik
dan bisa menjadi katalis bagi sektor privat dan non-profit.
4.8 4.8 4.8 4.8 Entrepreneurial budgetingEntrepreneurial budgetingEntrepreneurial budgetingEntrepreneurial budgeting
Semangat entrepreneurial dalam budgeting berarti merubah pendekatan
manajemen dan kebijakan yang digunakan dalam sektor publik untuk membuat
institusi untuk berpikir dalam cara entrepreneurial. Dengan kata lain, ini seperti
mengharuskan institusi publik untuk menggunakan sumberdayanya secara
konstan dalam cara baru untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya
(Osborne dan Gaebler, 1993). Konsep ini tidak berarti bahwa sektor publik
harus dijalankan seperti sebuah bisnis. Perbedaan antara sektor publik dan
privat terkesan mendasar. Karena itu, kita perlu memikirkan pelaksanaan public
service dalam sebuah cara yang mirip bisnis. Fakta bahwa pemerintah tidak
dapat dijalankan mirip sebuah bisnis bukan berarti bahwa pemerintah tidak
dapat menjadi lebih entrepreneurial.
Konsep Entrepreneurial budgeting masih berada dalam proses awal
perkembangan dan penelitian ini adalah salahsatu dari upaya tersebut. Stephen
M. King (1996) mendefinisikan ini sebagai “sebuah metode budgeting dimana
kebijakan dan chief executive menciptakan batasan pengeluaran total dan
prioritas kebijakan, kemudian memberikan fleksibilitas dan insentif mirip
sektor-privat bagi manajer program untuk menentukan bagaimana cara terbaik
untuk mengeluarkan budget dan menentukan cara mencapai prioritas. Sebagai
pertukaran dari peningkatan otoritas pengeluarannya, manajer dimintai
akuntabilitas atas hasilnya. Prosedur yang ada dimaksudkan untuk menciptakan
lingkungan organisasi yang “ramping, desentralis, inovatif, fleksibel, adaptif,
cepat mempelajari cara baru ketika kondisi berubah, dan menyelesaikan sesuatu
secara efektif dan kreatif” (Osborne dan Gaebler, 1993).
Tidak seperti budgeting tradisional dimana pembuat kebijakan
menunggu kepala departemen dan manajer program untuk mengajukan
54
permintaan kepada otoritas yang lebih tinggi, Entrepreneurial budgeting
menciptakan delegasi. Batas pengeluaran dibenchmark dari pengeluaran tahun
sebelumnya untuk menciptakan sebuah titik tolak. Ini diekspresikan dalam
sebuah formula yang menentukan semua pengeluaran dalam kenaikan atau
penurunan satu persen seperti yang ditentukan oleh pembuat kebijakan. Budget
ini sangat ringkas – kadangkala hanya beberapa halaman saja, dan pendeknya
berlawanan dengan budgeting berorientasi item-lini yang umumnya sangat
panjang. Pendekatan ini membebaskan pembuat kebijakan untuk menfokuskan
pada persoalan kebijakan besar daripada lembaga mikro dan programnya
(Cothran, 1993).
Kepala lembaga dan manajer program punya kebebasan untuk
mengalokasikan dan mengeluarkan uangnya dalam cara yang sebaik mungkin
untuk menjalankan mandat misi kebijakan. Sebagai imbal balik kebebasan ini,
setiap program harus punya pernyataan misi yang jelas, tujuan terukur yang
menggunakan ukuran kinerja spesifik untuk membuat kepala agensi dan
manajer program bertanggungjawab kepada pembuat kebijakan. Salah satu
fitur pembeda Entrepreneurial Budget adalah kemampuan lembaga, dan di
beberapa kasus, kemampuan program, untuk mempertahankan porsi uang yang
tidak dikeluarkan dan penghasilan yang diperoleh.
Kesuksesan Entrepreneurial Budget didasarkan pada pendahulunya –
performance budgeting. Cara sebelumnya membutuhkan pernyataan misi,
tujuan dan target terukur, ukuran kinerja untuk efisiensi dan efektivitas, dan
loop feedback untuk menggunakan survey kepuasan warga negara dan
kelompok fokus. Performance budgeting menetapkan tanggungjawab dan
menghasilkan akuntabilitas dari kepala lembaga dan manajer program
(Cothran, 1993). Dengan indikator akuntabilitas dan kinerja yang cukup,
pembuat kebijakan menggunakan sistem birokratik untuk mendesentralisasi
otoritas budget. Sebagai efeknya, ini memberikan “block grant” bagi kepala
lembaga atau mengumpulkan alokasi untuk digunakan ketika dianggap sesuai.
Sebagai imbal balik atas kepercayaan kepada manajer publik, mereka
diharapkan memberi bukti pencapaian dalam hasil yang berdasarkan pada
ukuran kinerjanya.
Entrepreneurial budgeting membutuhkan peralihan radikal dan
mendasar dari pendekatan command-and-control sebelumnya menuju cara
budgeting (Hammer dan Champy, 1993). Meski begitu, Entrepreneurial
55
budgeting yang dideskripsikan di dalam literatur ini mengesampingkan
organisasi hirarkis command-and-control tetap pada tempatnya, dan ini adalah
sebuah kesalahan. Entrepreneurial budgeting harus menfokuskan perhatiannya
pada perubahan perilaku birokratik dari kepala lembaga atau direktur program
menjadi perilaku yang mirip ruang dewan korporat. Mereka ini harus lebih
mempertimbangkan kinerja program dan return investasi daripada sekadar
pengeluaran, yaitu pengeluaran sebelum akhir tahun fiskal. Dengan tidak
meminta lebih banyak uang sepertinya menjadi sebuah langkah menjauh dari
pendekatan command-and-control. Dengan Entrepreneurial budgeting, pikiran
mereka terdorong untuk bertanya: Bagaimana daya saing bisa dimasukkan ke
dalam sebuah aktivitas monopolistik esensial, saat kita membutuhkan layanan
pemerintah?
Pertanyaan lain sebagai imbas dari ini adalah:
• Apakah pemerintah perlu memberikan layanan tersebut?
• Apakah ini menjadi metode terbaik dari pemberian layanan?
• Dapatkan ini diselesaikan dalam cara lain?
• Dapatkah seseorang bisa melakukannya secara lebih baik?
• Di masa lalu ketika harus mengkontrakluarkan dan memprivatisasi
pemerintah, apakah kita hanya memperdagangkan monopoli publik untuk
mendapatkan monopoli privat?
Budaya dan literatur Amerika menggunakan mekanisme pasar dan
persaingan yang ada. Ini dapat dilakukan dalam pemerintah. Reformasi budget
Era Progresif sepertinya terlalu berhati-hati untuk tidak mengabaikan praktek
publik atau privat yang monopolistik. Kita perlu menggunakan pendekatan
yang lebih kompetitif dalam pemerintah dan mengabaikan pendekatan
monopolistik. Dengan beberapa perkecualian kecil, tidak ada jasa atau fungsi
pemerintah yang tidak dapat dipengaruhi oleh proses atau tatanan kompetitif.
Phoenix, Arizona, menjadi contoh dari jenis proses kompetitif ini (Osborne dan
Gaebler, 1993). Kota tersebut memutuskan untuk memprivatisasi pekerjaan
pengumpulan sampah padat. Greater Phoenix terbagi menjadi lima zona dan
setiap zona diberi tawaran kontrak. Dengan memastikan bahwa ada minimum
tiga kontraktor yang menyediakan layanan ini, kota Phoenix bisa merasakan
sebuah proses kompetitif. Hasil terbaru adalah layanan yang lebih baik pada
biaya yang lebih murah bagi publik.
56
Entrepreneurial budgeting didasarkan pada pendekatan sama seperti
yang digunakan oleh kota Phoenix dan dapat diterapkan di hampir semua
layanan dan fungsi pemerintah. Seperti yang ditunjukkan oleh Lawrence Martin
(1993), ada banyak layanan publik yang dengan mudah diprivatisasi atau
dikontrak luarkan, termasuk pengumpulan sampah, pembersihan salju, layanan
makanan, dan penderekan kendaraan. Fungsi lain seperti penjara, sistem
sekolah, dan penampungan tunawisma juga mulai diprivatisasi. Karena
semuanya berada di luar norma tradisional untuk layanan terkontrak, maka ini
terkesan sangat kontroversial .
Di sejumlah kasus, ide privatisasi adalah sekadar memilih dan
berkontrak dengan provider tunggal yang karena itu seperti beralih dari situasi
monopoli publik ke privat. Kompetisi digunakan dalam proses seleksi satu
provider jasa. Meski begitu, ketika provider ini punya kontrak di tangan, maka
provider tidak perlu lagi berkinerja secara kompetitif sampai saat berharap
memperbarui kontraknya. Pemikiran ini bukannya menonjolkan semangat
entrepreneurial seperti yang dideskripsikan Osborne dan Gaebler (1993).
Kunci dari proses kompetitif yang sukses adalah setidaknya ada tiga
provider jasa untuk layanan yang sama. Proses semacam itu dapat diterapkan di
hampir setiap jasa atau fungsi yang dapat dibagi menjadi sejumlah proporsi
tertentu. Contoh, auditing bisa dikontrak luarkan berbasis fungsi kepada
perusahaan akuntansi dan perusahaan pengumpul data. Jumlah pegawai publik
bisa berkurang secara radikal. Penghematan biaya dan avoidans dalam benefit
personal, ruang kantor fiskal, suplai dan perlengkapan kantor, layanan
pendukung sepertinya bertambah banyak. Dengan menjaga minimum tiga
provider jasa untuk setiap layanan atau fungsi atau menurut zona geografis,
maka kekuatan pasar kompetitif sepertinya bisa memberikan layanan terbaik
dengan harga terbaik.
Ilustrasi 4 menunjukkan format Entrepreneurial budgeting yang
menjelaskan bagaimana konsep ini dapat dijalankan.
Bahaya dan Tantangan Era Baru Bahaya dan Tantangan Era Baru Bahaya dan Tantangan Era Baru Bahaya dan Tantangan Era Baru
Amerika dan negara industri lainnya tidak diam begitu saja dalam
perubahan paradigma dalam kadar proporsi tertentu; negara-negara tersebut
malahan berada dalam perubahan. Secara realistik, memang tidak ada
perubahan yang menonjol. Kesadaran akan beberapa faktor kritisnya telah
57
membantu memaksimalkan aspek positif dan meminimalkan aspek negatif dari
perubahan paradigma. Jaman informasi ini menghasilkan desentralisasi
kekuasaan jauh dari pusat dalam sektor privat dan publik menuju individu dan
kelompok kecil yang bekerja lebih efektif lewat keuntungan jaman informasi.
Pendekatan keempat terhadap budgeting sepertinya menekankan pada proses
desentralisasi dalam organisasi publik.
Desentralisasi menguntungkan orang entrepreneurial atau unit dalam
sektor publik dan privat. Format dan prosedur budgeting yang dibuat untuk
membantu mereka akan bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintah.
Tapi, ada hal penting yang harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan dan
manajer bila ingin sukses dalam reformasi. Hal tersebut adalah (1) penguatan
dan pemberdayaan inovasi dalam pemerintah harus menjadi hallmark dari
pendekatan baru kepada budgeting; (2) nilai kolektif harus dihormati dan
digunakan dalam membuat keputusan; (3) parameter dan batasan harus
dibutuhkan dan didefinisikan; (4) pendidikan dan pelatihan dianggap penting
untuk kesuksesan pendekatan; (5) keahlian negosiasi dan kontrak yang tepat
adalah penting; dan (6) kebutuhan keseluruhan harus diperhatikan.
Pertama, pemerintah entrepreneurial harus dipahami secara dalam.
Beberapa orang mengatakan bahwa pengambilan resiko yang “menyesatkan”
bisa menciptakan kekacauan dan fragmentasi. Kalangan lainnya mengatakan
bahwa ini adalah tindakan “jenius” “kreatif” yang diwariskan oleh Yang Di Atas
(Drucker, 1985; Lewis, 1980; Fisher, 1983; Stever, 1988; deLeon, 1996). Seperti
perubahan signifikan lainnya, perubahan ini punya pendukung dan penentang.
Sebuah karakteristik yang masih diperdebatkan adalah elemen inovasi yang
dapat berupa sesuatu yang sepenuhnya baru atau sebuah kombinasi elemen
biasa (deLeon, 1996). Karena itu, jika ada budgeting entrepreneurial, maka ini
harus memfasilitasi inovasi antar unit, bukannya sebagai barrier dan batasan
kepada keberadaannya meski ini dianggap umum dalam teknik budgeting
command-and-control tradisional.
Kedua, konsep nilai kolektif dianggap penting. Apapun teknik yang
digunakan, sebuah konsensus opini dalam warga tentang pentingnya public
service atau fungsinya harus ada. Konsensus tersebut harus menunjukkan dan
menentukan misi program publik dan menciptakan prioritas tujuan. Jelasnya,
keputusan konsensus atau demokratik seringkali tidak terbentuk, dan orang
dapat mengantisipasinya hanya lewat marjin yang dipenuhi orang dengan
58
keputusan kolektif. Meski begitu, keputusan tersebut mencerminkan pemikiran
dasar tentang ideologi demokratik selama pertimbangan yang tepat diberikan
kepada hak minoritas politik dan persoalan ekuitas. Masyarakat sepertinya
terbiasa dengan sulitnya membuat keputusan dan kurangnya efisiensi.
Ketiga, karena ada pertimbangan akan kekacauan dan fragmentasi,
parameter dan batasan yang ada perlu didefinisikan bagi individu dan unit
dengan menggunakan pemerintah entrepreneurial. Ini dapat dilakukan lewat
panduan, kode etik, regulasi atau sarana lain yang dirasakan berguna. Contoh,
pendekatan ini bukanlah yang tepat untuk semua program publik dan jasa jika
melihat potensi dari konflik kepentingan. Beberapa aktivitas dan program harus
dibebaskan dari aktivitas entrepreneurial sepenuhnya. Di kasus lain, beberapa
level batasan perlu diterapkan menurut kondisi tertentu. Beberapa kritik
terhadap entrepreneurship publik meyakini bahwa civil servant bisa menjadi
egoistik, selfish, suka menentang, suka mendominasi, dan oportunistik dalam
usahanya menggunakan nilai profit sektor privat ke aktivitas sektor publik
(Stever, 1988; Lewis, 1980; Bellone dan Goerl, 1992; deLeon, 1996).
Sayangnya, ada sarana profesional, perilaku, dan organisasi tapi tidak
sepenuhnya menekankan aspek negatif dari ekses entrepreneurial. Contoh,
deLeon (1996) mengemukakan perlunya: (1) penciptaan zona buffer antara
eksperimen dan organisasi; (2) pengkayaan profesionalisme dan organisasi
profesional; (3) upaya entrepreneurial dalam sektor publik harus ditemani oleh
citizen board yang tugasnya memberi nasehat; dan (5) pelaksanaan program uji
coba untuk menguji kelayakan inovasi.
Keempat, level pendidikan dan pelatihan yang tinggi adalah penting
untuk kesuksesan pendekatan ini karena ini membutuhkan talenta unik dari
partisipan warga, analis, manajemen atas, manajemen unit, dan pembuat
keputusan politik. Kemajuan dalam hardware dan software berarti bahwa
semua tipe data dapat dikumpulkan, disimpan, dan dianalisis dalam cara yang
sebelumnya tidak memungkinkan. Contoh, internet dan jalur informasi yang
cepat memudahkan komunikasi antar organisasi, sekelompok orang, dan
individu dalam cara yang tanpa batas dan terjangkau. Karena itu, semua tipe
orang perlu mengenal kemajuan ini tapi, di luar kadar teknisnya, mereka perlu
mengetahui cara memasukkan kemajuan ini ke dalam organisasinya dalam
aplikasi yang produktif.
59
Pelatihan menjadi penting karena itu. Contoh, bagaimana informasi
dapat digunakan untuk menciptakan partisipasi rakyat yang lebih baik sehingga
memberikan wawasan dan memperkuat program yang ada? Peningkatan
karakter dan tipe analisis data faktual dan finansial menjadi lebih terasa, tapi
para analis perlu mengetahui bagaimana melakukan analisis ini, dan pembuat
keputusan perlu memahami kegunaan dari analisis ini. Hanya dengan
mengumpulkan data bisa menyebabkan perilaku disfungsional dalam
organisasi, dan pihak yang mengumpulkan informasi perlu dilatih tentang
bahaya yang muncul akibat keputusan pengumpulan data yang tidak sensitif.
Manajer atas dan pembuat keputusan politik harus memahami cara
menginterpretasikan trend, mengantisipasi perubahan, dan memformulasikan
rencana manajemen dan kebijakan berbasis informasi analitik.
Yang penting di sini adalah ukuran kinerjanya. Pemain kunci perlu
memahami bahwa ada beragam jenis ukuran kinerja yang saling terkait dan
yang berhubungan dengan tipe keputusan manajerial dan kebijakan yang
berbeda. Konsep seperti desain penelitian dan ukuran non-reaktif bersifat
mendasar dan harus dipahami dari profesional level rendah sampai pembuat
keputusan politik yang tertinggi. Pendekatan manajerial dan pembuatan-
keputusan seperti manajemen untuk hasil, manajemen strategis, pelaporan
program, evaluasi program, dan banyak di antaranya harus diketahui dan
digunakan secara berhubungan satu sama lain.
Partisipan harus menyadari bahwa sarana ini bisa dibilang sangat sulit
meski kepentingan dukungan level atas tidak boleh mengesampingkan sarana
ini begitu saja. Fakta yang terbaru adalah bahwa ini jelas menyulitkan orang
yang terpilih secara politis, yaitu yang berorientasi teknis dan menginginkan
hasil cepat supaya bisa mendapatkan dukungan di pemilihan selanjutnya. Bagi
mereka, teori idelogi dan fakta terpilih jauh lebih relevan bagi kemenangan di
pemilihan selanjutnya.
Kelima, keahlian negosiasi dan kontrak yang bagus dianggap penting.
Banyak kegagalan di pemerintah entrepreneurial adalah karena negosiasi dan
administrasi kontrak yang buruk (Bloomfield, 1996). Sayangnya, sebagian besar
program MPA tidak punya atau punya sedikit kesesuaian dalam keahlian
negosiasi, penyelesaian konflik, hukum kontrak, dan prosedur evaluasi untuk
kontrak. Tentunya, bertambahnya crossover antara sektor privat dan pegawai
publik perlu diantisipasi di masa depan. Tapi di luar itu, orang beranggapan
60
bahwa penggunaan organisasi virtual, partnership, dan pendekatan
entrepreneurial lainnya, pada intinya berisi negosiasi dan manajemen kontrak.
Keenam, setiap orang yang terlibat harus menyadari bahwa kebutuhan
pihak keseluruhan harus lebih dipertimbangkan daripada keinginan
entrepreneurial dari satu unit atau seseorang. Organisasi publik perlu
memikirkan kepentingan publik. Di dalam pemerintah, sering ditemukan
kepentingan khusus dari sebuah lembaga atau kelompok kepentingan tertentu,
dan sepertinya kepentingan masyarakat keseluruhan kurang diperhatikan. Ini
tidak boleh diinterpretasikan sebagai aturan mayoritas nilai rejim dari sebuah
tempat, profesi atau kelompok. Ini adalah sebuah level wawasan dan
pemahaman yang jauh lebih dalam. Apa yang bisa menjadi kepentingan terbaik
jangka panjang bagi setiap orang?
Baik pendekatan command-and-control atau pendekatan
entrepreneurial, uang publik adalah yang harus dipertanggungjawabkan oleh
public servant. Dalam pendekatan entrepreneurial, ventura entrepreneur publik
yang masuk ke dalam “perairan tidak terbatas” dipersenjatai dengan tenaga,
keahlian dan penilaiannya sendiri (Cleveland, 1972). Kesalahan omisi dalam
manajemen dan administrasi karena aversi dan avoidans resiko adalah seperti
resiko terjadinya error komisi dalam pendekatan command-and-control. Seperti
yang dikatakan Linda deLeon (1996), “Entrepreneurship etika tetap menjadi
sarana yang berguna dan penting dalam menemukan cara yang lebih baik
dalam mewujudkan tujuan publik”. Pendekatan entrepreneurial bukanlah
layaknya seorang satria berkuda putih untuk menyelesaikan masalah, dan
bukan juga seekor serigala berbaju domba yang mengambil keuntungan dari
publik (Bellone dan Goerl, 1993). Ini adalah sebuah alat yang berguna untuk
mengelola secara kreatif. Apapun pendekatan yang diambil, kesalahan
manajemen dan administratif untuk omisi dan komisi masih bisa terjadi.
4.9 4.9 4.9 4.9 Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan
Pengenalan teknologi baru seperti sebuah komputer dapat menimbulkan
perubahan kekuasaan dalam masyarakat dari kekuasaan sentral menjadi
desentral yang akan merubah masyarakat termasuk pemerintahnya. Pada saat
itu, inovasi dapat merubah masyarakat kepada point yang mana bisa terjadi
hubungan politik dan ekonomi mendasar. Reformasi budget adalah bagian dari
perubahan tersebut. Contoh dalam arahan desentral menuju sentral adalah
pada era Progresif dan Liberal. Di sini, kekuatan cabang eksekutif dan
pemerintah sentral ditingkatkan dengan reformasi budget seperti pajak
penghasilan, budgeting program, PPBAS, dan ZBB.
61
Jika trendnya adalah mengurangi kekuatan relatif dari pemerintah
eksekutif dan sentral, seperti yang terjadi di lima tahun yang lalu, maka sistem
pendapatan dan budget punya arahan yang kurang sentral. Contoh terbaru dari
reformasi budaget tersebut adalah Proposition 13, potongan pengeluaran
pemerintah, dan reformasi format budget yang menfokuskan pada desentralisasi
pembuatan keputusan budget. Artikel ini menunjukkan bahwa reformasi
Performance, Entrepreneurial, dan Competitive Budgeting akan berjalan dan
menguat di jaman informasi. Seperti dalam Era Progresif dan Liberal, reformasi
budget bertujuan untuk menindaklanjuti lingkungan budgetary yang
mendorong terciptanya perubahan.
Apa yang tidak diinginkan adalah bahwa perubahan mendasar dalam
masyarakat dan reformasi terkaitnya bisa menghasilkan set tantangan baru bagi
pembuat kebijakan dan manajer. Dalam artikel ini, penulis menemukan enam
hal dan tantangan yang harus dipertimbangkan. Dari sudut pandang
profesional, kesulitan yang ada bukannya menolak perubahan atau reformasi,
tapi menindaklanjuti masalah dalam sebuah cara yang menghasilkan
keuntungan terbesar bagi masyarakat.
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Bellone dan deLeon (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Bloomfield (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Brier (1992) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
_______ (1992) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
_______ (1992) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Cleveland (1972) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Cothran (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
62
_______ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
De Leon (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Drucker (1985), Lewis (1980), Fisher (1983), Stever (1988), deLeon (1996)
dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan
Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Hammer dan Champy (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21,
Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State
University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
J.B. Say (1800) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
Lawrence Martin (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Linda deLeon (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Lynch (1996) Reformasi Budget Abad 21, Kinerja Entrepreneurial dan
Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
_______ (1996) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting
Kompetitif Louisiana State University.
_______ (1996) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting
Kompetitif Louisiana State University.
_______ (1996) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting
Kompetitif Louisiana State University.
Nixon (1971) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Ormond Derry (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
Osborne dan Gaebler (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21,
Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State
University.
63
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
________ (1993) Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial
dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (1993) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University
Regun (1981) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Stephen M. King (1996) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Stever (1988), Lewin (1980), Bellone dan Goerl (1992), de Leon (1996) dikutip
Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan
Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Thomas Jefferson dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
________ (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting
Kompetitif Louisiana State University.
64
Toffler (1970), Naisbitt (1982), Drucker (1989), Reich (1991) dikutip Lynch
(2006) Reformasi Budget 21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting
Kompetitif Louisiana State University
Twin : Mark (1874) dikutip Brier (1992) dalam Lynch (2006) Reformasi Budget
21, Kinerja Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State
University.
White (1991) dikutip Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
Woodrow, Wilson dalam Lynch (2006) Reformasi Budget 21, Kinerja
Entrepreneurial dan Budgeting Kompetitif Louisiana State University.
65
PENGELOLAAN PENGELOLAAN PENGELOLAAN PENGELOLAAN
KEUANGAN PUBLIKKEUANGAN PUBLIKKEUANGAN PUBLIKKEUANGAN PUBLIK
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
5.15.15.15.1 Ketentuan Pengelolaan Keuangan PublikKetentuan Pengelolaan Keuangan PublikKetentuan Pengelolaan Keuangan PublikKetentuan Pengelolaan Keuangan Publik
Pada prinsipnya pengelolaan keuangan publik oleh pemerintah baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan
keuangan publik sebagaimana dimaksud adalah mencakup keseluruhan kegiatan
perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban.
(Domai, 2010)
Berkaitan dengan ketentuan pengelolaan tersebut berikut ini akan diuraikan
sebagai berikut :
5.1.15.1.15.1.15.1.1 Anggaran Pendapatan dan BelanjaAnggaran Pendapatan dan BelanjaAnggaran Pendapatan dan BelanjaAnggaran Pendapatan dan Belanja
Anggaran Pendapatan dan Belanja dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
anggaran pendapatan dan belanja yang dikelola pemerintah pusat dan anggaran
pendapatan belanja yang dikelola oleh pemerintah daerah.
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Anggaran pendapatan dan belanja pemerintah pusat yang disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pendapatan Negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih. Belanja Negara adalah kewajiban pemerintah
pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
1) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setup
tahun ditetapkan dengan undang-undang.
2) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi
kewajiban negara dalam 'tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBN.
3) Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara tahun anggaran berikutnya.
5
66
4) Dalam hal surplus penerimaan negara sebagaimana dimaksud di atas yang
akan digunakan untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada
Perusahaan Negara, pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPR.
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah yang disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Propinsi/ Kabupaten/ Kota.
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah
daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
1) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
2) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi
kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBD.
3) Surplus penerimaan daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/ daerah tahun anggaran berikutnya.
4) Dalam hal surplus penerimaan daerah sebagaimana dimaksud di atas akan
digunakan untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada
Perusahaan Daerah, pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPRD.
5.1.25.1.25.1.25.1.2 Fungsi APBN Fungsi APBN Fungsi APBN Fungsi APBN dan APBDdan APBDdan APBDdan APBD
APBN/ APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.
• Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
• Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
• Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
• Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
67
• Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
• Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara flan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
5.1.35.1.35.1.35.1.3 Tahun Anggaran, Satuan Hitung, dan Penggunaan Mata Uang lainTahun Anggaran, Satuan Hitung, dan Penggunaan Mata Uang lainTahun Anggaran, Satuan Hitung, dan Penggunaan Mata Uang lainTahun Anggaran, Satuan Hitung, dan Penggunaan Mata Uang lain
a. Tahun Anggaran
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember.
b. Satuan Hitung
Satuan hitung yang dipergunakan dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggung
jawaban APBN / APBD adalah mata uang Rupiah.
c. Penggunaan Mata Uang Lain
Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri
Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
5.25.25.25.2 KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARAKEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARAKEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARAKEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
5.2.15.2.15.2.15.2.1 Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan NegaraPemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan NegaraPemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan NegaraPemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan
keuangan negara ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus.
• Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum,
strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman
pelaksanaan dan pertanggung jawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan
rencana kerja kementerian negara/ lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta
pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.
• Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang
berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di
bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan,
dan penghapusan aset dan piutang negara.
Kekuasaan sebagaimana dimaksud di atas:
a. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. Dikuasakan kepada menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengelola Anggaran/
Pengguna Barang kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya;
(Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga Negara dan
lembaga pemerintah non kementerian negara. Di lingkungan lembaga negara,
68
yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab
atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan)
c. Diserahkan kepada gubernur/ bupati/ walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. Tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain
mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Keuangan Negara, kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud di atas digunakan untuk
mencapai tujuan bernegara. Sejalan, dengan itu, dalam rangka penyelenggaraan fungsi
pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara, maka setiap tahunnya disusun APBN
dan APBD (Atep dkk, 2004).
5.2.25.2.25.2.25.2.2 Tugas Menteri Keuangan SeTugas Menteri Keuangan SeTugas Menteri Keuangan SeTugas Menteri Keuangan Selaku Pemegang Kekuasaan Atas Pengelola Fiskallaku Pemegang Kekuasaan Atas Pengelola Fiskallaku Pemegang Kekuasaan Atas Pengelola Fiskallaku Pemegang Kekuasaan Atas Pengelola Fiskal
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
a) Menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) Menyusun rancangan APBN dan rancangan perubahan APBN;
c) Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) Melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) Melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan
undang-undang;
f) Melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN;
h) Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
ketentuan undang-undang.
5.2.35.2.35.2.35.2.3 Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga Sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga Sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga Sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga Sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna
BaraBaraBaraBarangngngng
Menteri/ pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut:
a) Menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b) Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c) Melaksanakan anggaran kementerian negara / lembaga yang dipimpinnya;
d) Melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya
ke kas negara;
e) Mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara lembaga yang dipimpinnya;
69
(Piutang adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang
pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan. Utang adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka
pengandaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab
kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau
kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undang/ putusan pengadilan)
f) Mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya;
g) Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara/ lembaga
yang dipimpinnya;
(Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka
akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk
prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran)
h) Melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan
ketentuan undang-undang.
5.2.45.2.45.2.45.2.4 Kekuasaan Pengelolaan Keuangan DaerahKekuasaan Pengelolaan Keuangan DaerahKekuasaan Pengelolaan Keuangan DaerahKekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Sehubungan dengan pengelolaan keuangan di daerah, Presiden menyerahkan
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah kepada gubernur/ bupati/ walikota selaku
kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut di atas :
1) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat
pengelola APBD;
2) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
5.2.55.2.55.2.55.2.5 Tugas Pejabat Pengelola Keuangan DaerahTugas Pejabat Pengelola Keuangan DaerahTugas Pejabat Pengelola Keuangan DaerahTugas Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
d. Melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
70
5.2.65.2.65.2.65.2.6 Tugas Kepala Satuan Kerja Perangkat DaerahTugas Kepala Satuan Kerja Perangkat DaerahTugas Kepala Satuan Kerja Perangkat DaerahTugas Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. Melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
f. Mengelola barang milik/ kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan
kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah
yang dipimpinnya dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
(Atep dkk, 2004)
5.35.35.35.3 ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan wujud
pengelolaan keuangan negara setiap tahunnya ditetapkan dengan undang-undang, dan
didalamnya terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
Berikut ini akan diuraikan tentang :
5.3.15.3.15.3.15.3.1 Pendapatan NegaraPendapatan NegaraPendapatan NegaraPendapatan Negara
Pendapatan Negara adalah semua hak pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih. Arti Pendapatan Negara secara lebih luas dapat
didefinisikan sebagai semua penerimaan kas umum negara yang menambah ekuitas
dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan, yang menjadi hak pemerintah
pusat, yang tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah pusat. Pendapatan negara
terdiri atas :
a. Penerimaan pajak (termasuk bea masuk dan cukai)
b. Penerimaan bukan pajak, dan
c. Hibah.
5.3.25.3.25.3.25.3.2 Belanja NegaraBelanja NegaraBelanja NegaraBelanja Negara
Belanja Negara adalah semua kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih. Jadi, Belanja Negara ini dapat diartikan sebagai
semua pengeluaran kas umum negara yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam
periode tahun anggaran bersangkutan, yang tidak akan diperoleh kembali
pembayarannya oleh pemerintah pusat.
71
Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas
pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
a. Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
b. Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan
umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup,
perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendi-
dikan, dan perlindungan sosial.
c. Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah,
bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
5.3.35.3.35.3.35.3.3 PembiayaanPembiayaanPembiayaanPembiayaan
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Arti pembiayaan (financing) secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai
seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang
perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah
terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus
anggaran.
Penerimaan untuk pembiayaan atau disebut dengan istilah penerimaan
pembiayaan dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi pengeluaran untuk
pembiayaan atau disebut dengan istilah pengeluaran pembiayaan antara lain
digunakan untuk melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian
pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAHA. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAHA. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAHA. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
B. BELANJA NEGARAB. BELANJA NEGARAB. BELANJA NEGARAB. BELANJA NEGARA I. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja lain-lain
II. Belanja untuk Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
C. KESEIMBANGAN PRIMERC. KESEIMBANGAN PRIMERC. KESEIMBANGAN PRIMERC. KESEIMBANGAN PRIMER D. SURPLUS / DEFISIT ANGGARAND. SURPLUS / DEFISIT ANGGARAND. SURPLUS / DEFISIT ANGGARAND. SURPLUS / DEFISIT ANGGARAN E. PEMBIAYAANE. PEMBIAYAANE. PEMBIAYAANE. PEMBIAYAAN
Dalam Atep dkk (2004)
72
Berikut ini akan dikemukakan tentang :
1)1)1)1) Penyusunan APBNPenyusunan APBNPenyusunan APBNPenyusunan APBN
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Dalam menyusun
APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan
dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara, penyusunan
Rancangan APBN sebagaimana dimaksud di atas harus berpedoman pada rencana kerja
pemerintah.
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, maka sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto dan
jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. (Atep dkk, 2004)
Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, pemerintah Pusat dapat
mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan surplus anggaran tersebut perlu mempertimbangkan prinsip pertanggung
jawaban antar generasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan
utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Dalam penyusunan rancangan APBN dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Penyampaian Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah
Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran
berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal,
Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum
dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian
negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
b. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga
selaku pengguna anggaran/ pengguna barang menyusun rencana kerja dan
anggaran kementerian negara / lembaga tahun berikutnya.
Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran ini harus disertai
73
dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
sedang disusun.
Selanjutnya, rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada DPR
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Kemudian,
hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri
Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN
tahun berikutnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Persetujuan DPR
Pemerintah pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN
untuk tahun anggaran yang akan datang, disertai nota keuangan dan dokumen-
dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN tersebut dilakukan
sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. DPR
dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN sepanjang
perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN yang diusulkan oleh DPR
tersebut tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Pengambilan keputusan oleh Dewan mengenai Rancangan Undang-undang
tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR tersebut
terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tentang APBN,
maka Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar
angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
2)2)2)2) Pelaksanaan APBNPelaksanaan APBNPelaksanaan APBNPelaksanaan APBN
Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
a. Pemerintah pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas disampaikan kepada DPR
selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk
dibahas bersama antara DPR dan pemerintah pusat.
c. Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas
bersama DPR dengan pemerintah pusat dalam rangka penyusunan prakiraan
perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
74
(1) Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
(2) Perubahan pokok-pokok kebijakan finansial;
(3) Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
(4) Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
d. Dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan
APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Pengajuan
pemerintah pusat mengenai rancangan undang-undang tentang pengeluaran
tersebut termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan
dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan
e. Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c di atas untuk mendapatkan persetujuan
DPR, sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
3)3)3)3) Pertanggung jawaban APBNPertanggung jawaban APBNPertanggung jawaban APBNPertanggung jawaban APBN
Sebelum dipertanggung jawaban kepada DPR, laporan keuangan Pemerintah
Pusat, harus diperiksa dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Pemeriksaan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan itu harus diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah diterimanya dari Pemerintah Pusat.
Catatan:Catatan:Catatan:Catatan:
Tata cara pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan
negara oleh Badan Pemerika Keuangan didasarkan pada ketentuan pemeriksaan yang
diatur dalam undang-undang tersendiri.
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung
jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan tentang keuangan yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
tahun anggaran berakhir.
Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi :
a. Laporan Realisasi APBN,
b. Neraca,
c. Laporan Arus Kas, dan
d. Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan
perusahaan negara dan badan lainnya.
Laporan Realisasi Anggaran, selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara / lembaga.
75
3)3)3)3) Penerimaan Dan Pengeluaran NegaraPenerimaan Dan Pengeluaran NegaraPenerimaan Dan Pengeluaran NegaraPenerimaan Dan Pengeluaran Negara
1.1.1.1. Uraian Penerimaan NegaraUraian Penerimaan NegaraUraian Penerimaan NegaraUraian Penerimaan Negara
Penerimaan atau pendapatan pemerintah (government revenue) terdiri dari
pendapatan dari sektor pajak, bukan pajak, hibah, dan penerimaan pembiayaan.
a. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan. Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
1) Pajak Penghasilan (migas dan non-migas)
2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah
3) Penerimaan Pajak. Bumi dan Bangunan
4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
5) Cukai
6) Pajak lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasional
1) Bea Masuk
2) Pajak Ekspor
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
1) Penerimaan Sumber Daya Alam
2) Bagian Laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
3) PNBP lainnya
3. Hibah
b. Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan pembiayaan pemerintah pusat, antara lain berupa:
i. Pinjaman Sektor Perbankan
ii. Privatisasi BUMN
iii. Penjualan Aset
iv. Penjualan Obligasi Pemerintah
v. Pinjaman Luar Negeri
2.2.2.2. Uraian Pengeluaran Negara Uraian Pengeluaran Negara Uraian Pengeluaran Negara Uraian Pengeluaran Negara
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) di Indonesia, pengeluaran
negara/ pemerintah (government expenditure) dibedakan menjadi dua, yaitu
pengeluaran yang dimasukkan sebagai kelompok belanja, dan pengeluaran yang
dimasukkan sebagai kelompok pengeluaran pembiayaan.
a. Belanja Negara
I. Belanja Pemerintahan Pusat
1. Pengeluaran Rutin
76
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang
c. Belanja Modal
d. Pembiayaan Bunga Utang
e. Subsidi
f. Belanja Hibah
g. Bantuan Sosial
h. Belanja Lain-lain
2. Pengeluaran Pembangunan
a. Pembiayaan Pembangunan Rupiah
b. Pembiayaan Proyek
II. Dana yang Dialokasikan ke Daerah
1. Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang/ Penyesuaian Belanja operasi dan
belanja modal sebagaimana diuraikan di atas disajikan berdasarkan jenis
belanja. Dalam hal belanja disajikan menurut fungsinya seperti contoh
berikut:
Belanja :
• Pelayanan umum;
• Pertahanan;
• Ketertiban dan keamanan;
• Ekonomi;
• Lingkungan hidup;
• Perumahan dan fasilitas umum;
• Kesehatan;
• Pariwisata, budaya, dan agama;
• Pendidikan;
• Perlindungan sosial;
b. Pengeluaran Pembiayaan
1) Pengeluaran Obligasi Pemerintah
2) Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri
3) Pembayaran lain-lain
77
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Atep A.B. dan Bambang T. (2004) Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah,
PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Kompas – Gramedia Jakarta.
_______ (2004) Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, PT. Elex Media
Komputindo, Kelompok Kompas – Gramedia Jakarta.
_______ (2004) Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, PT. Elex Media
Komputindo, Kelompok Kompas – Gramedia Jakarta
Domai T. (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press malang
78
ANGGARAN PUBLIKANGGARAN PUBLIKANGGARAN PUBLIKANGGARAN PUBLIK
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
6.16.16.16.1 ANGGARANANGGARANANGGARANANGGARAN
Dalam dasa warsa terakhir ini persoalan Keuangan Publik merupakan hal yang
sangat potensial bagi setiap Negara, karena Keuangan Publik jika ditinjau secara
perdefinisi sangat luas sekali yaitu semua hak dan kewajiban Negara yang bernilai
uang dan segala sesuatu yang berupa uang atau benda-benda yang menjadi milik
Negara berdasarkan hak-hak itu. Hal ini ditandai didalam Keuangan Publik itu sendiri
selain mengandung unsur-unsur hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan
uang, juga didalamnya dijumpai unsur kekayaan Negara baik uang diurus langsung
Pemerintah maupun kekayaan Negara yang dipisahkan.
Kekayaan Negara yang diurus langsung oleh Pemerintah dituangkan dalam
Anggaran Publik. Jadi Anggaran Publik merupakan alat pelaksana manajemen
Keuangan Publik. Dimana melalui anggaran Publik, kekayaan Negara dapat bertambah
atau berkurang, kekayaan Negara dapat bertambah jika pembangunan proyek-proyek
yang dibiayai selesai dilaksanakan, sedangkan pengeluaran Negara yang membiayai
fungsi regular Pemerintah akan mengurangi uang-uang Negara, dengan demikian
secara otomatis mengurangi kekayaan Negara.
Di lain pihak penerimaan Negara yang bersifat penerimaan dalam Negeri
(pajak dan non pajak dan hibah) dan penerimaan pinjaman (kredit luar negeri dan
hutang/ pinjaman yang berasal dari dalam negeri) bersifat menambah uang-uang
Negara, dan dapat dianggap sebagai menambah kekayaan Negara.
Dapat juga pengurangan uang-uang Negara yang berada dalam Kas Negara
tetapi bersifat menambah kekayaan Negara, misalnya penyertaan modal Pemerintah
pada perusahaan-perusahaan, baik berupa Pemerintah membeli saham-sahamnya
maupun mendirikan sendiri perusahaan-perusahaan Negara. Memperhatikan uraian-
uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwasanya:
(1) Anggaran Publik merupakan alat penggerak untuk melaksanakan manajemen
Keuangan Publik yang dikelola langsung oleh pemerintah, dan
(2) Alat penggerak pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan dilaksanakan
melalui pengurusan Perusahaan-Perusahaan Negara atau badan-badan usaha
6
79
lainnya, dimana cara bekerjanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
dagang/ perdata ataupun peraturan-peraturan lainnya.
(3) Anggaran Publik merupakan sesuatu kebijaksanaan Pemerintah dalam
menggunakan kekayaan Negara dalam rangka mencapai tujuan Negara/
pemerintah untuk kesejahteraan rakyat.
(4) Melalui anggaran Publik rakyat dapat mengetahui prioritas-prioritas pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah.
(5) Melalui anggaran Publik rakyat juga dapat mengetahui hendak dibawa ke mana
Negara ini selama satu tahun anggaran oleh para penguasa, apakah untuk
pembangunan demi kesejahteraan rakyat atau menambah kemiskinan rakyat.
Pemerintah dalam melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan
sebagaimana dilakukan oleh Departemen-Departemen, lembaga Tinggi Negara,
Sekretaris Negara dan lembaga-lembaga non departemen secara langsung atau tidak
langsung melakukan tindakan yang mengakibatkan beban atas anggaran Publik untuk
itu diperlukan dana untuk membiayai tindakan-tindakan itu.
Hal-hal yang berkaitan dengan masalah pendapatan dan belanja Negara atau
penerimaan dan pengeluaran Negara telah diatur didalam. Undang-Undang dasar
1945 Bab VIII pasal 23 ayat 1, 2 dan 3, Pasal 23A, 23B, 23C dan 23D.
Pasal 23Pasal 23Pasal 23Pasal 23
1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden. Pemerintah
menjalankan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu
Pasal 23 APasal 23 APasal 23 APasal 23 A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.
Pasal 23 BPasal 23 BPasal 23 BPasal 23 B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang
Pasal 23 CPasal 23 CPasal 23 CPasal 23 C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
80
Pasal 23 DPasal 23 DPasal 23 DPasal 23 D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Pasal dan ayat inilah yang menjadi sumber hukum penyusunan anggaran
Publik Republik Indonesia.
Berturut-turut akan dijelaskan tentang : pengertian anggaran, perkembangan
anggaran, fungsi anggaran, sistematika anggaran, klasifikasi anggaran, anggaran dasar
nol serta anggaran pendapatan dan belanja Negara Republik Indonesia (APBN RI)
6.26.26.26.2 PPPPENGERTIAN ANGGARAN PUBLIKENGERTIAN ANGGARAN PUBLIKENGERTIAN ANGGARAN PUBLIKENGERTIAN ANGGARAN PUBLIK
Dalam kehidupan modern, dimana setiap kegiatan atau aktivitas baik untuk
individu, keluarga, organisasi Negara maupun organisasi swasta diperlukan
uang. Kegiatan-kegiatan itu supaya mencapai hasil yang baik perlu direncanakan, baik
untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Demikian pula masalah keuangan perlu direncanakan dengan baik, mengingat
uang adalah merupakan motor dari setiap kegiatan baik oleh Pemerintah maupun oleh
pihak swasta dan rumah tangga individu. Rencana-rencana kegiatan tersebut kalau
dinilai dengan uang disebut dengan anggaran atau budget dalam bahasa Inggris.
Sejarah istilah anggaran (budget), mula-mula berarti dompet Negara, dimana
didalamnya ada pendapatan-pendapatan dan pengeluaran-pengeluaran Negara. Di
Inggris mula-mula berarti tas kulit Menteri Keuangan yang dibawa ke Parlemen
dimana didalamnya berisi rencana-rencana akhirnya berarti dokumen yang ada
didalamnya tas kulit tadi (Domai, T. 2010)
Dari uraian di atas dapatlah dikemukakan tentang pengertian anggaran
(budget) dari para pakar yaitu:
1. Due et al., (1984) dalam bukunya “Government Finance of Economic Analysis of
the Public Sector” mengemukakan sebagai berikut:
Anggaran Belanja dapat dirumuskan sebagai rencana keuangan yang dipakai
sebagai dasar untuk pengambilan keputusan mengenai pengeluaran serta
pengawasan lebih lanjut.
2. Menurut Azmy Achir (1975) dalam bukunya masalah Pengurusan Keuangan
Negara : Suatu Pengantar teknis yang mengutip dari beberapa pendapat para pakar
yaitu:
• Welsch : Anggaran adalah suatu bentuk statement dari pada rencana dan
kebijaksanaan management yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai
petunjuk atau “blue print” dalam periode itu.
81
• Bukhari : Anggaran merupakan kompas yang menunjuk arah yang harus
dianut oleh Pemerintah didalam menjalankan administrasi keuangan dan
sekaligus merupakan roda yang dapat mengemudikan arah itu.
• Marsono, anggaran ialah suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada satu
pihak mengandung jumlah pengeluaran yang sebesar-besarnya yang mungkin
diperlukan untuk membiayai kepentingan. Negara pada suatu masa depan, dan
pada pihak lain perkiraan pendapatan (penerimaan) yang mungkin dapat
diterima dalam masa tersebut.
3. Menurut pendapat dari Badri (1983) :
• Anggaran adalah : rencana yang memuat taksiran-taksiran dari pada
pengeluaran Negara, yang diusulkan untuk periode tertentu dan maksud
tertentu serta pendapatan-pendapatan yang diharapkan untuk membiayai -
pengeluaran-pengeluaran tadi. Disini tekanannya pada taksiran-taksiran yang
berwujud angka-angka uang.
4. Ichwan (1989) memberikan pengertian anggaran secara sederhana adalah rencana
kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka uang), yang akan dijalankan
untuk masa mendatang lazimnya satu tahun.
5. Menurut Hadi (1976) dalam bukunya : Ikhtisar Administrasi Keuangan Republik
Indonesia.
Budget adalah anggaran belanja Negara (APBN) dalam arti formil material dan
kebijaksanaan Pemerintah.
6. Menurut Geodhart (1982) dalam bukunya:
Garis-garis besar ilmu keuangan Negara Anggaran Negara biasanya digunakan
untuk menamai perkiraan normatif daripada semua pengeluaran Negara dan alat-
alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran mengenai sesuatu
jangka waktu tertentu di masa yang akan datang yang pada waktu-waktu yang
teratur disusun secara sistematis. Dengan demikian anggaran Negara itu
dirumuskan dalam arti sosial ekonomis, sebagai rencana keuangan.
Dipandang dari sudut hukum tata Negara, anggaran Negara dapat dirumuskan
sebagai keseluruhan Undang-Undang yang ditetapkan secara periodik yang
memberi kuasa kepada kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran
mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat-alat pembiayaan yang
diperlukan untuk menutuk pengeluaran tersebut.
7. Menurut Suparmoko (1986) dalam bukunya
Keuangan Negara : dalam teori dan praktek yang dimaksud dengan anggaran
(budget) ialah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan
dan pengeluaran Negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu yang biasa
adalah satu tahun.
82
Lebih lanjut dikemukakan oleh Suparmoko pada pokoknya budget harus
mencerminkan politik pengeluaran Pemerintah yang rasional baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga akan terlihat bahwa :
a) Ada pertanggung jawab pemungutan pajak dan lain-lain pungutan oleh
Pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan ekonomi.
b) Adanya hubungan yang erat antara fasilitas penggunaan dana dan
penarikannya.
c) Adanya pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai
pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan pemerintah yang pada
akhirnya menentukan pula tingkat distribusi penghasilan dalam
perekonomian.
8. Tjahjanulin (2010) Budget dalam arti sempit mengandung arti anggaran publik,
sebagai rencana kerja keuangan (planning).
Dalam arti luas atau internasional budget mempunyai arti anggaran publik
(sebagai planning atau Voor calculatie) dan perhitungan anggaran sebagai hasil
daripada anggaran yang telah dijalankan (Na calculatie).
9. Menurut Suharyanto (2005) Anggaran adalah suatu rencana yang disusun secara
sistematis; yang meliputi seluruh kegiatan lembaga, yang dinyatakan dalam unit
(kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan
datang. Anggaran (budget) juga dimaksudkan sebagai pernyataan mengenai
estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran financial. Dengan pengertian tersebut, maka unsur-
unsur yang terdapat dalam anggaran adalah sebagai berikut:
1) Rencana, suatu penentuan terlebih dahulu tentang aktivitas atau kegiatan yang
akan dilakukan di waktu yang akan datang. Rencana yang disusun merupakan
kegiatan yang mempunyai spesifikasi khusus dan disusun secara sistematis.
Beberapa alasan yang mendorong penyusunan anggaran:
a) Waktu yang akan datang penuh dengan ketidakpastian
b) Waktu yang akan datang penuh dengan berbagai alternatif pilihan
c) Rencana diperlukan sebagai pedoman kerja di waktu yang akan datang
d) Rencana diperlukan sebagai alat koordinasi seluruh kegiatan yang ada di
masing-masing lembaga tersebut
e) Rencana diperlukan sebagai alat pengawasan terhadap pelaksanaan
kegiatan-kegiatan lembaga
2) Meliputi seluruh kegiatan lembaga, yaitu mencakup semua kegiatan yang
dilakukan oleh semua bagian yang ada di lembaga tersebut.
3) Dinyatakan dalam unit moneter, yaitu unit (kesatuan) yang dapat diterapkan
pada berbagai kegiatan lembaga yang beraneka ragam. Untuk di Indonesia unit
83
yang berlaku adalah rupiah. Dengan adanya persamaan unit satuan tersebut
maka dimungkinkan untuk melakukan perbandingan antara satu anggaran
dengan yang lainnya dan untuk melakukan analisis lebih lanjut.
4) Jangka waktu tertentu yang akan datang, yang menunjukkan bahwa
berlakunya anggaran untuk masa yang akan datang. Sehingga dua hal yang
harus dimuat dalam anggaran adalah taksiran-taksiran (forecast) tentang apa
yang akan dilakukan/ kegiatan apa yang akan dilakukan di masa yang akan
datang. Dalam kaitannya dengan waktu, anggaran dibagi dalam dua macam,
yaitu:
a) Anggaran strategis
Adalah anggaran yang berlaku untuk jangka panjang, yaitu jangka waktu
yang melebihi satu periode akuntansi (melebihi satu tahun)
b) Anggaran taktis
Adalah anggaran yang berlaku untuk jangka waktu pendek, yaitu satu
periode akuntansi atau kurang. Anggaran yang disusun untuk satu periode
akuntansi dinamakan anggaran periodik, sedangkan anggaran yang
disusun untuk kurang dari satu periode akuntansi dinamakan anggaran
bertahap
5) Adapun beberapa pertimbangan yang dapat dipakai untuk menentukan jangka
waktu anggaran adalah sebagai berikut:
Jangkauan pelayanan, posisi lembaga dalam persaingan, jenis dan kualitas
produk pelayanan, tersedianya data/ informasi untuk melakukan forecasting
dan keadaan perekonomian pada umumnya.
Anggaran publik menurut Suharyanto (2005) adalah rencana kegiatan yang
direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam
satuan moneter
• Suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi
publik yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas
• Suatu rencana finansial yang menyatakan
(1) Berapa biaya atas rencana pengeluaran/ belanja yang dibuat
(2) Berapa banyak dan bagaimana cara memperoleh uang untuk mendanai
rencana aktivitas
• Blue print keberadaan (keuangan) sebuah negara dan merupakan arahan di
masa yang akan datang
Dari pendapat para pakar diatas dapat disimpulkan tentang anggaran Publik
adalah :
a) Anggaran merupakan gambaran kebijaksanaan Pemerintah yang tercermin dalam
angka-angka, selama satu tahun anggaran.
84
b) Perkiraan jumlah tertinggi Belanja/ Pengeluaran Negara yang dibutuhkan oleh
Pemerintah dalam satu periode tertentu (lazimnya satu tahun)
c) Perkiraan jumlah pendapatan Negara yang diperlukan oleh pemerintah membiayai
beban/ pengeluaran Pemerintah dalam satu periode tertentu (lazimnya satu
tahun).
d) Dengan adanya anggaran publik dapat diketahui sektor-sektor mana yang paling
diprioritaskan oleh pemerintah dalam tahun anggaran tersebut.
e) Melalui anggaran Negara rakyat dapat mengetahui akan dibawa ke mana kekayaan
Negara ini olah para penguasa negara selama satu tahun anggaran.
Pentingnya Anggaran :Pentingnya Anggaran :Pentingnya Anggaran :Pentingnya Anggaran :
• Alat ekonomi pemerintah untuk mengarahkan perkembangan sosial-ekonomi,
keseimbangan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
• Adanya keterbatasan sumberdaya (scarcity of resources) dan pilihan (choice)
• Menjadi instrumen akuntabilitas publik
Beberapa alasan pentingnya anggaran :
• Anggaran merupakan alat terpenting bagi pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
• Anggaran diperlukan karena adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa berkembang sedangkan ketersediaan sumber daya sangat terbatas.
Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya, pilihan
dan trade off.
• Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung
jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen
pelaksana akuntabilitas.
6.36.36.36.3 MAKSUD DAN TUJUAN ANGGARAN NEGARAMAKSUD DAN TUJUAN ANGGARAN NEGARAMAKSUD DAN TUJUAN ANGGARAN NEGARAMAKSUD DAN TUJUAN ANGGARAN NEGARA
Untuk memberikan gambaran tentang maksud dan tujuan anggaran Negara
dapat dikemukakan sebagai berikut :
Menurut pendapat Mosher dalam Badri (1983) :
(1) Kategori Policy dari sudut badan legislatif yang mengambil keputusan anggaran
tujuannya:
• Kesempatan legislatif menilai tujuan Pemerintah.
• Memudahkan legislatif membanding-bandingkan tujuan Pemerintah yang
beraneka dan biaya-biayanya.
• Dasar menguji peranan Pemerintah dalam masyarakat.
85
• Sebagai dasar bagi ketentuan pengawasan legislatif yang bersifat demokratis.
(2) Kategori Administratur: dari sudut alat menjalankan kebijaksanaan Pemerintah/
eksekutif secara legal dan efisien. Tujuannya:
• Memberi dasar hukum bagi pengeluaran-pengeluaran dan
penerimaan-penerimaan.
• Memberi kerangka perhitungan.
• Mengujian kembali operasi-operasi Pemerintah dari sudut efisiensi dan segi
ekonomisnya.
Disamping itu pula tujuan umum dari anggaran Publik adalah untuk
kemakmuran masyarakat.
Berdasarkan pendapat Domai (2010) Tujuan dan maksud anggaran Publik
adalah:
(1) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber pendapatan dari suatu
Negara.
(2) Setiap anggaran Publik yang dibuat/disusun diusahakan perbaikan-perbaikan dari
anggaran Publik sebelumnya.
(3) Sebagai landasan formal dari suatu kegiatan yang lebih terarah dan teratur dan
memudahkan untuk melakukan pengawasan.
(4) Memudahkan koordinasi dari masing-masing departemen dan dapat diarahkan
sesuai dengan apa yang diprioritaskan dan dituju oleh Negara.
(5) Untuk menampung dan menganalisis serta memudahkan dalam pengambilan
keputusan tentang alokasi pembiayaan terhadap proyek-proyek atau kebutuhan
lainnya yang diajukan oleh masing-masing Departemen, lebih terarah dan
terkendali.
6.46.46.46.4 AZASAZASAZASAZAS----AZAS ANGGARANAZAS ANGGARANAZAS ANGGARANAZAS ANGGARAN
Dalam menyusun atau membuat anggaran perlu diperhatikan beberapa asas
atau prinsip. Menurut Burkhead dalam Badri (1983) tentang asas-asas anggaran yang
ideal menyatakan yaitu:
a. Anggaran harus bersifat Comprehensiveness, maksud anggaran harus mencakup
seluruh kegiatan Keuangan Pemerintah dengan kata lain meliputi semua
pendapatan/ penerimaan dan pengeluaran harus dimasukkan dalam anggaran.
b. Exclusiveness (tidak termasuk yang lain dari pada keuangan) hanya yang
berhubungan dengan soal keuangan saja.
c. Unity/Bruto/Universalitas : maksud memuat pendapat kotor dan pengeluaran
kotor (bukan Nettonya).
d. Annuality, pada prinsipnya anggaran harus dibuat tiap-tiap tahun, meliputi satu
tahun dinas.
86
e. Accuracy maksudnya anggaran harus dibuat, disusun ditaksir dengan teliti dan
cermat serta hati-hati.
f. Clarity dan publicity : maksudnya dalam membuat dan menyusun anggaran harus
jelas sasarannya, mudah dipahami serta dimengerti dan dapat diumumkan secara
luas.
Menurut pendapat Domai (2010) yang mengatakan bahwa asas-asas anggaran
adalah asas hasil sintesa dari bermacam-macam segi, sebagai tongkat ukuran yang
dipakai pada kategori administrasi, bukan sebagai keharusan. Untuk itu haruslah :
a. Asas-asas pertanggung jawaban, maksud harus ada tanggung jawab terhadap
pelaksanaan tugas dan penggunaan sumber-sumber uang.
b. Wewenang tanggung jawab harus didelegasikan sampai tingkat operasi.
c. Hak suara utama diberikan pada yang bertanggung jawab melaksanakan tugas
dan juga menaksir sumber-sumber biaya.
d. Kesatuan komando (Unity of Command) Pegawai yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan menerima wewenang atau tanggung jawab dari 1 (satu) orang
sebagai sumber program dan biaya-biayanya.
e. Diparsatukan : tanggung jawab keuangan dan sumber-sumber keuangan
disatukan dengan tanggung jawab program pelaksanaannya.
f. Metode/kreteria : Hal ini harus ditetapkan agar tiap-tiap pegawai bertanggung
jawab pada tugas dan biaya yang dikeluarkan, demikian juga kreteria bagi
pegawai yang lain.
g. Dibuat sungguh-sungguh tanggung jawab dengan cara : dihargai bila pekerjaan
hasilnya baik dan diberi hukuman bila pekerjaannya buruk.
Lebih lanjut dikatakan asas-asas anggaran menurut meliputi yaitu :
a) Program dan penganggaran : antara program kerja dan lapangan keuangan harus
ada hubungan.
b) Fiscal Policy dan The Budget : anggaran harus sebagian dari pada politik ekonomi
negara.
c) Flexibility : maksudnya badan eksekutif diberi hak/ alat mengurus anggaran sesuai
dengan keinginan legeslatif.
d) Principle of Economy dalam budget proses: Pengeluaran-pengeluaran/ biaya tidak
boleh melebihi biaya wajar.
6.56.56.56.5 SIFAT ANGGARANSIFAT ANGGARANSIFAT ANGGARANSIFAT ANGGARAN
Pada dasarnya anggaran menurut sifatnya dapat dibedakan atas:
a. Anggaran biasa yang dimaksud dengan anggaran biasa adalah rencana kegiatan
yang dinilai dengan uang baik penerimaan ataupun pengeluaran untuk mencapai
tujuan dalam waktu yang telah ditentukan dan mempunyai sifat yang selalu atau
87
sering dilakukan. Anggaran biasa dapat dibedakan menjadi penerimaan biasa dan
pengeluaran biasa.
b. Anggaran luar biasa
Yang dimaksud dengan anggaran luar biasa adalah rencana kegiatan yang
dinilai dengan uang baik penerimaan luar biasa maupun pengeluaran luar biasa
untuk mencapai tujuan dalam waktu yang telah ditentukan dan mempunyai sifat
yang luar biasa artinya dana luar biasa tersebut diterima dan dipergunakan khusus
untuk pengeluaran pembangunan/ bencana.
Anggaran luar biasa dapat dibedakan menjadi penerimaan luar biasa dan
pengeluaran luar biasa.
6.66.66.66.6 FUNGSI ANGGARANFUNGSI ANGGARANFUNGSI ANGGARANFUNGSI ANGGARAN
Anggaran mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Alat perencanaan
Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan untuk mencapai tujuan
organisasi, yang berisikan rencana-rencana kegiatan/ program yang akan
dilaksanakan, rencana biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang akan dicapai.
Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk :
(a) Merumuskan tujuan dan sasaran agar sesuai dengan visi dan misi yang
diterapkan
(b) Merencanakan berbagai program/ kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi
serta merencanakan alternatif sumber pembiayaan
(c) Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun
(d) Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi
b. Alat pengendalian
Anggaran berfungsi sebagai media yang penting untuk menghubungkan
antara proses perencanaan dan pelaksanaan. Anggaran memberikan kerangka dan
(sekaligus) rambu-rambu yang mengendalikan penerimaan dan pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan kepada publik,
sehingga pemborosan-pemborosan dapat dihindari. Anggaran sebagai alat
pengendalian digunakan untuk :
a) Menghindari adanya over-spending, under-spending dan salah sasaran
pembiayaan pada kegiatan/ program yang bukan prioritas
b) Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional kegiatan/ program
pemerintah
c) Meyakinkan kepada pihak masyarakat dan lembaga legislatif bahwa
pemerintah mempunyai dana yang cukup untuk melaksanakan kewajibannya
88
d) Memberikan informasi bahwa pelaksanaan kegiatan/program dapat berjalan
dengan efisien dan efektif serta tanpa ada pemborosan maupun korupsi
c. Alat kebijakan fiskal
Anggaran digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk menstabilkan
perekonomian dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran pemerintah yang
memuat arah kebijakan fiskal pemerintah, dapat dilakukan prediksi-prediksi dan
estimasi ekonomi yang digunakan untuk mendorong, memfasilitasi dan
mengkoordinasikan ke ekonomi masyarakat.
d. Alat politik
Anggaran merupakan salah satu bentuk komitmen lembaga eksekutif dan
kesepakatan lembaga legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan
tertentu. Oleh karena itu penyusunan anggaran membutuhkan kemampuan politik,
maupun koalisi, keahlian bernegosiasi dan pemahaman tertentu mengelola
keuangan publik. Hal ini didasarkan pada logika dan kenyataan bahwa kegagalan
pelaksanaan anggaran dapat menjatuhkan kredibilitas pemerintah (dan lembaga
legislatif) serta hilangnya kekuasaan politik yang sebelumnya dipegang.
e. Alat koordinasi dan komunikasi
Anggaran tidak hanya memuat kegiatan/program dari suatu instansi atau
departemen, melainkan melibatkan seluruh departemen bahkan hingga unit kerja
(pelaksana) pada level terbawah dalam struktur pemerintahan. Sehingga anggaran
dapat berfungsi sebagai alat untuk berkoordinasi dan berkomunikasi antar bagian
lembaga eksekutif dalam pelaksanaan kegiatan/ program yang termuat dalam
anggaran.
f. Alat motivasi
Anggaran sebagai alat motivasi bagi pelaksanaanya agar bekerja secara
ekonomis, efisien dan efektif dalam mencapai target atau tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk itu, anggaran hendaknya bersifat menantang tetapi dapat
dicapai (challenging but attainable) atau berisikan tuntutan namun bisa dijalankan
(demanding but achievable).
g. Alat penilai kerja
Anggaran merupakan wujud komitmen antara lembaga eksekutif dan
lembaga legislatif. Sehingga kinerja lembaga eksekutif akan dinilai oleh lembaga
legislatif berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan
anggaran. Sedangkan kinerja manajer publik dinilai berdasarkan target yang dapat
dicapai dengan anggaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu anggaran
merupakan alat untuk mengendalikan dan menilai kinerja pemerintah.
Mengutip pendapat dari Azmy Achir (1975) menurut fungsinya anggaran
dapat dibedakan yaitu:
89
a. Anggaran berfungsi sebagai tata usaha anggaran yang demikian biasanya berlaku
bagi Negara-Negara yang memakai Pemerintahan Monarchi Absolut atau bersifat
otoriter/ diktator.
Dalam hal ini fungsi anggaran hanya untuk mengetahui pencatatan
pengeluaran dan pemasukan keuangan guna dipakai untuk membuat perencanaan
maupun pertanggung jawab keuangan dan hanya untuk kepentingan penguasa
saja. Dengan kata lain semua kekuasaan keuangan berada pada satu tangan
penguasa.
b. Anggaran berfungsi ketata Negaraan, timbulnya pada saat pemerintah demokratis
yaitu pada pemerintahan yang menganut ajaran Trias politica, dalam hal ini
sahnya anggaran dapat dijalankan kalau sudah ada persetujuan dari badan
legeslatif atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran disini tidak sebagai ketentuan Tata Usaha saja, tetapi sebagai suatu
kegiatan yang harus dijalankan oleh lembaga eksekutif yang dinilai dengan uang.
Dalam anggaran yang demikian itu baik penerimaan atau pengeluaran
adalah produk politik dari pemerintah yang berkuasa, tujuannya adalah untuk
kemakmuran rakyat.
c. Anggaran berfungsi sebagai hukum, dapat dipahami dengan adanya persetujuan
rencana anggaran menjadi Undang-undang yang harus mendapatkan persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini ditemui dalam pasal 23 UUD 1945 ayat 1,
2, dan 3 yang berbunyi sebagai berikut:
1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden. Pemerintah
menjalankan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu
Dengan kata lain anggaran yang dijalankan berdasarkan Undang-Undang
yang sedang berlaku.
d. Anggaran berfungsi sebagai materiil
Anggaran yang berfungsi sebagai materiil tidak lain merupakan gambaran
perencanaan yang memuat rencana-rencana keuangan, dimana termuat jumlah
yang setinggi-tingginya untuk membiayai tugas-tugas negara disegala bidang serta
memuat pula jumlah dari sumber-sumber pendapatan Negara yang diperkirakan
90
dapat diterima yang digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran Negara
yang telah dilaksanakan.
Disamping keempat hal tersebut diatas ditambahkan pula oleh Azmy Achir
yaitu anggaran berfungsi sosial ekonomi, maksudnya adalah penunjukkan bahwa
kegiatan-kegiatan Pemerintah didalam anggarannya sedikit banyak didalamnya
tercermin pengeluaran-pengeluaran untuk kegiatan sosial, selain itu tercermin
pula kegiatan-kegiatan pengeluaran yang bersifat ekonomis misalnya
pembangunan proyek bendungan, listrik, jalan tol dan sebagainya.
Disamping itu pula menurut pendapat dari Ichwan (1989) dalam bukunya
administrasi Keuangan Negara : Suatu pengantar pengelolaan anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara mengemukakan fungsi anggaran diantaranya ada
tiga, yakni :
1) Fungsi Hukum (Formil)
Dalam anggaran Negara yang berfungsi hukum diwujudkan dalam
bentuk Undang-Undang Anggaran pendapatan dan Belanja Negara yang
ditetapkan sebagai Undang-Undang berarti mempunyai fungsi hukum, dalam
hal ini berarti Badan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) memberikan kuasa
kepada Badan Eksekutif (Pemerintah) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
dan proyek-proyek pembangunan yang ditetapkan dalam anggaran yang mana
sumber pembiayaannya berasal dari anggaran penerimaan/pendapatan.
Disamping itu pula anggaran berfungsi sebagai fungsi hukum adalah sebagai
alat untuk membatasi ruang gerak Pemerintah, yang mana dalam pengeluaran
yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah, tidak boleh melampaui batas
anggaran.
2) Fungsi Materiil
Dalam anggaran yang berfungsi materiil anggaran Negara merupakan
suatu rencana (Planning) yang diwujudkan dalam nilai mata uang di satu
pihak berisi jumlah-jumlah pengeluaran (belanja) Negara yang setinggi-
tingginya. Untuk membiayai kegiatan-kegiatan proyek-proyek pembangunan
Pemerintah untuk masa satu tahun mendatang, di lain pihak berisi jumlah-
jumlah dari sumber-sumber penerimaan/ pendapatan Negara, yang
diperkirakan akan dapat diterima selama masa satu tahun mendatang untuk
menutup pengeluaran-pengeluaran Negara tersebut.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa perlu pula diketahui walaupun
anggaran Negara sudah ditentukan dengan Undang-Undang, namun anggaran
Negara tersebut tetap berfungsi sebagai “rencana”. Apabila antara rencana dan
realisasinya tidak sesuai karena terjadi perubahan-perubahan keadaan baik
intern maupun ekstern maka rencana tersebut perlu disesuaikan dengan
91
keadaan tersebut. Penyesuaian tersebut tetap memperhatikan fungsi hukum
dari anggaran yakni dengan diadakan pembahasan-pembahasan antara
Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang pada akhirnya
menghasilkan Undang-Undang tentang tambahan dan perubahan anggaran
pendapatan dan belanja Negara.
3) Fungsi Kebijaksanaan.
Anggaran Negara berfungsi kebijaksanaan berarti anggaran Negara
menggambarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan dilaksanakan atau
dijalankan oleh Pemerintah untuk masa satu tahun mendatang.
6.76.76.76.7 KEGIATAN ANGGARANKEGIATAN ANGGARANKEGIATAN ANGGARANKEGIATAN ANGGARAN
Anggaran Publik khususnya di Indonesia menurut kegiatannya dapat
dibedakan menjadi:
a. Anggaran Negara yaitu anggaran yang harus disusun oleh Negara (Pemerintah)
setiap tahun.
Anggaran Negara menurut kegiatannya dibedakan lagi atas:
a) Anggaran Pemerintah pusat yaitu anggaran yang dikuasai dan dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden.
b) Anggaran Daerah Provinsi yaitu anggaran yang dikuasai dan dikelola oleh
Gubernur.
c) Anggaran Daerah Kabupaten/Kota yaitu anggaran yang dikuasai dan dikelola
oleh Bupati atau Walikota sebagai Kepala Daerah.
d) Anggaran Kecamatan yaitu anggaran yang dikuasai dan dikelola oleh Camat
selaku Kepala Kecamatan.
e) Anggaran Desa yaitu anggaran yang dikuasai dan dikelola oleh Kepala Desa,
kecuali Kelurahan.
b. Anggaran Perusahaan Negara yaitu anggaran yang disusun dan dikelola/ dikuasai
oleh Perusahaan-perusahaan milik Negara.
Anggaran Perusahaan Negara dapat dibedakan pula atas; yaitu:
a) Anggaran Perusahaan Negara yang dikelola dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat
(Departemen-Departemen).
b) Anggaran Perusahaan Daerah Provinsi yang dikelola dan dikuasai oleh
Gubernur Kepala Daerah.
c) Anggaran Perusahaan Daerah Kabupaten/Kota yang dikelola dan dikuasai oleh
Bupati atau Walikota.
92
6.86.86.86.8 KEWENANGAN DALAM MEMBUAT KEWENANGAN DALAM MEMBUAT KEWENANGAN DALAM MEMBUAT KEWENANGAN DALAM MEMBUAT ANGGARANANGGARANANGGARANANGGARAN
Pada prinsipnya secara umum kita mengenal ada 3 (tiga) kewenangan didalam
membuat anggaran Negara.
Mengutip pendapat dari Badri (1984) dalam bukunya Administrasi Keuangan
Negara di Indonesia mengatakan ada 3 (tiga) tipe kewenangan dalam membuat
anggaran yaitu:
1. Tipe Legislatif yaitu kewenangan dalam membuat anggaran ada pada badan
Legislatif.
2. Tipe Eksekutif yaitu kewenangan dalam membuat anggaran ada pada badan
Eksekutif.
3. Tipe Panitia/ Komite/ Badan yaitu dimana anggota-anggota komite/ Panitia/
badan tersebut diambil dari golongan legislatif, pegawai administrasi pembantu-
pembantu eksekutif (jadi bersifat, campuran)
Dari ketiga tipe kewenangan dalam pembuatan anggaran tersebut di atas pada
umumnya tipe eksekutiflah yang paling banyak dipergunakan. Hal ini disebabkan
karena :
1. Eksekutif relatif sedikit dipengaruhi orang-orang.
2. Dari segi prestise eksekutif lebih besar.
3. Dari segi tanggung jawab eksekutif lebih besar.
4. Eksekutif selaku pelaksana dari pada kegiatan Pemerintahan lebih memahami
secara operasional kegiatan-kegiatan Pemerintah.
5. Sifat anggaran administratif sehingga lebih dekat pada eksekutif.
6. Eksekutif pada dasarnya adalah petugas manajemen sedangkan anggaran adalah
alat dari pada manajemen.
7. Sekaligus sebagai alat pengawasan eksekutif.
8. Eksekutif mempunyai susunan vertikal yang lebih komplit.
9. Anggota/ personil dari Eksekutif lebih banyak.
10. Eksekutif dalam hal ini presiden adalah selaku Kepala Negara/ Kepala Pemerintah
dan mewakili kewenangan dalam memimpin dan memanfaatkan kekayaan Negara
(Keuangan Negara) demi kepentingan masyarakat banyak.
Di Indonesia pada prinsipnya menganut tipe Eksekutif hal ini nampak termuat
dalam pasal 23 ayat 1, 2, 3 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan :
1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
93
2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden. Pemerintah
menjalankan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu
Dari kalimat apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui/ setuju nyata
disini bahwa yang membuat/ menyusun rencana Undang-Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Pemerintah (Eksekutif).
6.96.96.96.9 TAHUN ANGGARANTAHUN ANGGARANTAHUN ANGGARANTAHUN ANGGARAN
Selain tahun anggaran ada beberapa istilah lain lagi yang dapat digunakan
untuk menunjukkan tahun anggaran antara lain:
a. Tahun Dinas
b. Tahun Fiskal
Adapun pengertian dari tahun anggaran/ tahun dinas/ tahun fiskal adalah
jangka waktu (satu tahun) selama anggaran dijalankan. Secara umum kita mengenal
ada tiga macam tahun dinas/ anggaran yaitu:
1. Tahun Kalender ini biasanya dimulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal
31 Desember dalam tahun yang sama. Tahun Kalender ini dipakai di Indonesia.
2. Bukan tahun Kalender contoh seperti Indonesia pernah dimulai tanggal 1 April dan
berakhir tanggal 31 Maret tahun yang akan datang. Amerika Serikat mulai tanggal
1 Juli sampai dengan tanggal 31 Juni tahun yang akan datang.
3. Anggaran jangka panjang hal ini biasanya lebih dari satu tahun (5 tahun) biasanya
hal ini berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan.
Adapun istilah Inggrisnya adalah Long term Budget lawan dari istilah tersebut
adalah Current Budget.
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap anggaran ada permulaan dan ada
akhirnya. Mengenai tahun anggaran dapat dikelompokkan menjadi tiga sistem atau
teknik yaitu:
1. Sistem mandat.
Dasar dari sistem mandat dalam menentukan tahun anggaran yang akan
dibebankan dengan sesuatu pengeluaran, ialah hak yang diperoleh atas tagihan itu
terhadap Negara terlebih dahulu kita harus menyelidiki/ mengetahui bila hak itu
diperoleh seseorang penagih.
Tahun anggaran dalam sistem ini berlangsung dari tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir bulan Juni tahun berikutnya. Jadi tahun anggaran selama 1
tahun 6 bulan.
94
2. Sistem Kas.
Perubahan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar No.17 Tahun
2003 Tahun anggaran sama dengan tahun takwin yaitu dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember dalam tahun yang sama. Untuk
membebankan sesuatu pengeluaran Negara sesuai dengan tanggal dan tahun uang
tersebut dikeluarkan oleh Negara.
Menurut pendapat dari Badri (1984) mengemukakan tentang tahun anggaran
(teknik/ sistem) adalah sebagai berikut :
1. Fiscal Year System/ Financial Year System (Sistem Kas)
Mulai tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010 (contoh
Inggris)
a) Yang boleh masuk rekening-rekening, yang tersebut dan dibebankan anggaran
tahun 2010 (tergantung realita kaluarnya uang Kas)
b) Sesudah tanggal 31 Desember 2010 tersebut rekening-rekening masuk tahun
dinas yang akan datang dan dibebankan anggaran tahun yang akan datang.
2. Budget Year System (sistem mandat penuh)
Umpama 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010 Kas buka terus
(contoh Prancis).
a) Semua rekening-rekening pembayaran hutang tahun dinas yang bersangkutan
masuk anggaran tahun dinas yang bersangkutan (tentang keluarnya budget/
mandat)
Umpama membayar tanggal 1 Mei 2010 boleh tapi masuk anggaran tahun
2010.
b) Alternatif-alternatifnya ada 2 (dua) yaitu:
1. Rekening tahun dinas yang bersangkutan terus dibuka sampai hutang-
hutang tahun dinas yang bersangkutan lunas.
2. Rekening tahun dinas yang bersangkutan ada 2 (dua) yaitu:
• Tunai
• Hutang-hutang yang belum lunas
Alternatif nomor 2 (dua) ini mengakibatkan administrasi yang complek,
maka yang Bering dipakai alternatif nomor 1.
3. Limited Budget Year System (Sistem mandat terbatas). Contoh Belanda.
Umpama tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010, tetap dibuka
sampai dengan 6 (enam) bulan. Rekening-rekening sampai tahun dinas 31
Desember 2010 tetap dibuka sampai dengan batas waktu.
95
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Azmy. A (1975) Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar Teknis.
Julianti Bandung
_______ (1975) Masalah Pengurusan Keuangan Negara. Suatu Pengantar Teknis,
Julianti Bandung
Badri S. (1983) Administrasi Keuangan Negara, UGM Yogyakarta
_______ (1989) Administrasi Keuangan Negara, UGM Yogyakarta
_______ (1989) Administrasi Keuangan Negara, UGM Yogyakarta
_______ (1984) Administrasi Keuangan Negara, UGM Yogyakarta
Domai T. (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press Malang
_______ (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press Malang
_______ (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press malang
_______ (2010) Manajemen Keuangan Publik, UB Press Malang
Due et al (1984) Keuangan Negara Perekonomian Sektor Publik, Terjemahan Ellen G. &
Rudy S. Penerbit Erlangga Jakarta
Geodhart C. (1982) Garis-garis besar Ilmu Keuangan Negara. Terjemahan Ratmoko,
Jambatan Cetakan Kedua Jakarta
Hadi (1975) Ikhtisar Administrasi Keuangan Negara, Diktat Kuliah Tanpa Penerbit
Ichwan M (1989) Administrasi Keuangan Negara. Suatu Pengantar Pengelolaan APBN.
Liberty Yogyakarta
_______ (1989) Administrasi Keuangan Negara : Suatu Pengantar Pengelolaan APBN,
Liberty Yogyakarta
Mosher dikutip Badri (1983) Administrasi Keuangan Negara, UGM Yogyakarta
Suharyanto H. (2005) Anggaran Berbasis Kinerja Konsep dan Aplikasi. Konsep
Anggaran Kinerja Program MAP, UGM Yogyakarta
Suparmoko (1989) Keuangan Negara dalam Praktek BPFE Yogyakarta
96
BAB BAB BAB BAB
Kementrian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementrian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementrian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementrian Dalam Negeri Direktorat Jenderal
Bina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan Daerah
7.1 Perencanaan Dan Penganggaran7.1 Perencanaan Dan Penganggaran7.1 Perencanaan Dan Penganggaran7.1 Perencanaan Dan Penganggaran
Gambar Landasan PemikiranGambar Landasan PemikiranGambar Landasan PemikiranGambar Landasan Pemikiran
Esensi dari landasan pemikiran pemerintah daerah yaitu :
Bagaimana wewenang hak dan kewajiban daerah ditopang oleh manajemen
keuangan “modern”.
Perlu PP tentang Penyusunan, Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan daerah.
Gambar Desain Pengelolaan Keuangan DaerahGambar Desain Pengelolaan Keuangan DaerahGambar Desain Pengelolaan Keuangan DaerahGambar Desain Pengelolaan Keuangan Daerah
7
97
Gambar Hirarki PerencanaanGambar Hirarki PerencanaanGambar Hirarki PerencanaanGambar Hirarki Perencanaan
Pasal 150 ayat (3)Pasal 150 ayat (3)Pasal 150 ayat (3)Pasal 150 ayat (3)
Perencanaan Pembangunan Daerah disusun untuk menjamin keterkaitan
dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan
pengawasan (Pasal 153)
Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
(Pasal 154)
Gambar Produk PerencanaanGambar Produk PerencanaanGambar Produk PerencanaanGambar Produk Perencanaan
Pendekatan Perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang
terdapat pada PP No. 21 Tahun 2004 dan PP No. 28 Tahun 2005 adalah:
a. Kerangka pengeluaran jangka menengah
b. Penganggaran terpadu
c. Penganggaran berbasis kinerja
Adapun tujuan dari kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEF) yaitu:
(a) memelihara kelanjutan fiskal (fiscal sustainability) dan disiplin fiscal secara
berkelanjutan; (b) meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan
penganggaran; dan (c) menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
98
Metode yang digunakan dalam kerangka pengeluaran jangka menengah
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah :
a. Estimasi pengeluaran di masa datang atas dasar pendekatan baseline,
seperti pengeluaran perawatan aset fisik yang telah selesai dibangun.
b. Estimasi pengeluaran akibat adanya penghematan (saving) dari
program/ kegiatan yang tidak lagi dianggap prioritas, sehingga tersedia
dana untuk program/ kegiatan yang tinggi prioritasnya.
c. Estimasi pengeluaran untuk program/ kegiatan baru yang sudah
mendapatkan sumber pendanaan yang pasti seperti: dari pinjaman atau
hibah.
d. Estimasi pengeluaran dengan memasukkan seluruh program/ kegiatan
baru yang belum mendapatkan kepastian pendanaan.
Penganggaran terpadu. Penyusunan rencana keuangan tahunan yang
dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan
kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi
alokasi dana. Tidak lagi mengenal anggaran belanja rutin dan pembangunan,
belanja aparatur dan belanja publik.
Penganggaran berbasis kinerja meliputi : Pendekatan dengan keluaran/
hasil dari kegiatan yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan
penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Setiap
alokasi dana yang direncanakan harus terkait dengan tingkat pelayanan dan
hasil yang dapat dicapai dan penyusunan anggaran didasarkan capaian kinerja,
analisis standar belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal.
Tabel DokuTabel DokuTabel DokuTabel Dokumen Perencanaan Daerah Sesuai UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 men Perencanaan Daerah Sesuai UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 men Perencanaan Daerah Sesuai UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 men Perencanaan Daerah Sesuai UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 25 Tahun 2004UU No. 25 Tahun 2004UU No. 25 Tahun 2004UU No. 25 Tahun 2004 Jangka WaktuJangka WaktuJangka WaktuJangka Waktu
Jangka Panjang (20 tahun)
• RPJP (Nasional dan Daerah)
• 20 TAHUN Ditetapkan 6 bulan setelah pelantikan presiden. Daerah menyusun RPJP nasional ditetapkan
Jangka Menengah (5 tahun)
• RPJM
• RENSTRA SKPD
• 5 TAHUN RPJM ditetapkan 3 bulan setelah Kdh terpilih dilantik dan dituangkan ke dalam Perda sedangkan Renstra SKPD ditetapkan dalam bentuk SK KDH.
Jangka Pendek (1 tahun)
• RKPD
• RENJA SKPD
• APBD
• DPA
• 1 TAHUN Peraturan Kepala Daerah
99
Tabel Dokumen Perencanaan dan Penganggaran DaerahTabel Dokumen Perencanaan dan Penganggaran DaerahTabel Dokumen Perencanaan dan Penganggaran DaerahTabel Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Daerah
SELAMA INISELAMA INISELAMA INISELAMA INI PERIODEPERIODEPERIODEPERIODE (Tahun)(Tahun)(Tahun)(Tahun)
KEDEPANKEDEPANKEDEPANKEDEPAN
Poldas Propeda / Renstra Renstra Dinas / UK - AKU-SP / Repetada RASK RAPBD / APBD DASK
20 5 5 1 1 1 1 1
RPJP Daerah RPJM Daerah Renstra SKPD Kebijakan Umum APBD RKPD Renja SKPD RKA SKPD RAPBD / APBD DPA-SKPD
Gambar Penyusunan Dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan Dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan Dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan Dan Penetapan Perda APBD
7.2 Pendekatan Prestasi Kerja (Anggaran Kinerja)7.2 Pendekatan Prestasi Kerja (Anggaran Kinerja)7.2 Pendekatan Prestasi Kerja (Anggaran Kinerja)7.2 Pendekatan Prestasi Kerja (Anggaran Kinerja)
Pendekatan prestasi kerja merupakan suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi
biaya (input) yang ditetapkan. Input (masukan) adalah besarnya sumber-
sumber seperti dana, sumber daya manusia, material, waktu dan teknologi yang
digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan (input)
yang digunakan. Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa)
100
yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan (input) yang
digunakan. Kinerja tersebut ditunjukkan oleh adanya hubungan antara input
(masukan dengan output (keluaran). Indikator kinerja meliputi masukan
(input) keluaran (output) dan hasil (income).
Tolok ukur kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai
dari keadaan semula dengan mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas,
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. Target
kinerja adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang
diharapkan dari suatu kegiatan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menilai hasil yang
diharapkan dari suatu kegiatan dengan menetapkan tolak ukur kinerja berupa
indikator sebagai berikut :
• Masukan (Masukan (Masukan (Masukan (inputinputinputinput)))) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan tingkatan atau
besaran sumber dana, SDM, material, waktu, teknologi dan sebagainya
yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan.
• Keluaran (Keluaran (Keluaran (Keluaran (outputoutputoutputoutput)))) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan produk yang
dihasilkan dari program dan kegiatan sesuai dengan masukan yang
digunakan.
• Hasil (Hasil (Hasil (Hasil (outoutoutoutcomecomecomecome)))) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat
keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau
kegiatan yang sudah dilaksanakan.
• Manfaat (Manfaat (Manfaat (Manfaat (benefitbenefitbenefitbenefit)))) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat
kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat
dan pemerintah daerah dari hasil.
• Dampak (Dampak (Dampak (Dampak (impactimpactimpactimpact)))) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya
terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.
101
Gambar Contoh KegiatanGambar Contoh KegiatanGambar Contoh KegiatanGambar Contoh Kegiatan
Standar analisis belanja pemerintah daerah terdiri dari a) Dalam sistem
anggaran kinerja setiap usulan program, kegiatan dan anggaran dinilai
kewajarannya; b) Standar analisa belanja adalah standar atau pedoman yang
digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau biaya setiap
program atau kegiatan yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran; c)
Penilaian kewajiban dalam standar analisis belanja; dan d) mencakup dua hal
yaitu kewajaran beban kerja dan kewajaran biaya.
Penilaian kewajaran beban kerja :
• Kaitan logis antara program/kegiatan yang diusulkan dengan strategi
dan prioritas APBD
• Kesesuaian antara program/ kegiatan yang diusulkan dengan tugas
pokok dan fungsi satuan kerja yang bersangkutan
• Kapasitas satuan kerja untuk melaksanakan program/ kegiatan pada
tingkat pencapaian yang diinginkan dan dalam jangka waktu satu tahun
anggaran
Sedangkan dalam penilaian kewajaran biaya :
• Kaitan antara biaya yang dianggarkan dengan target pencapaian kinerja
(standar biaya)
• Kaitan antara standar biaya dengan harga yang berlaku
• Kaitan antara biaya yang dianggarkan, target pencapaian kinerja dengan
sumber dana
102
Gambar Penilaian Kewajaran BiayaGambar Penilaian Kewajaran BiayaGambar Penilaian Kewajaran BiayaGambar Penilaian Kewajaran Biaya
Contoh dari penilaian kewajaran biaya : KEGIATAN KINERJAKEGIATAN KINERJAKEGIATAN KINERJAKEGIATAN KINERJA TARGETTARGETTARGETTARGET
Diklat Anggaran Kinerja 100 Peserta Terlatih
ANGGARAN BELANJA BIAYAANGGARAN BELANJA BIAYAANGGARAN BELANJA BIAYAANGGARAN BELANJA BIAYA Belanja Pegawai/ Personalia Belanja Barang/ Jasa Belanja Perjalanan Dinas
STANDARSTANDARSTANDARSTANDAR Belanja Rata-Rata Per Peserta
HARGA SATUANHARGA SATUANHARGA SATUANHARGA SATUAN Honor Fasilitator Biaya Makan & Minum Biaya Penggandaan Biaya Transport
7.3 Prinsip7.3 Prinsip7.3 Prinsip7.3 Prinsip----Prinsip Anggaran Berbasis KinerjaPrinsip Anggaran Berbasis KinerjaPrinsip Anggaran Berbasis KinerjaPrinsip Anggaran Berbasis Kinerja
a. Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan
pelaksanaan dan pelaporan evaluasi anggaran. Dengan demikian setiap
anggota masyarakat mempunyai hak dan akses yang sama untuk
mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan
masyarakat, terutama dalam hal jaminan terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan hidup masyarakat.
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang mengandung
arti bahwa proses penganggaran benar-benar dapat dipertanggung-
jawabkan kepada masyarakat dan lembaga perwakilannya. Masyarakat
103
mempunyai hak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana dan
implementasi anggaran. tersebut. Akuntabilitas berlandaskan asas efisiensi,
tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Value for Money
Proses penganggaran menerapkan prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam
jumlah dan kualitas tertentu dengan harga yang paling murah. Efisien
berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) dapat
menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Sedangkan efektif
adalah penggunaan anggaran tersebut hares mencapai target/tujuan
pelayanan publik. Implementasi prinsip value for money memberikan
manfaat: pertama, efektifitas pelayanan publik dalam arti tepat sasaran;
kedua, meningkatkan mutu pelayanan publik; ketiga, penghematan biaya
pelayanan karena berkurangnya inefisiensi dan penghematan sumber daya;
keempat, alokasi pembiayaan berorientasi pada kepentingan publik; dan
kelima, meningkatkan kesadaran penghargaan terhadap publik (public cost
awareness) sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik.
Prinsip-prinsip pokok di atas bersifat mendasar bagi penyusunan
anggaran. Berikut im prinsip-prinsip pokok yang sebaiknya digunakan dalam
penganggaran dan manajemen keuangan daerah (World Bank 1998 dalam
Mardiasmo, 2002) :
a. Komprehensif dan disiplin
Anggaran daerah merupakan salah satu instrumen yang menjamin
terciptanya disiplin pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah. Oleh
karena itu anggaran daerah hares bersifat komprehensif, yaitu
menggunakan pendekatan yang holistik dalam mendiagnosa masalah yang
dihadapi, analisis antar masalah yang mungkin muncul, evaluasi kapasitas
kelembagaan yang dipunyai dan mencari cara-cara terbaik untuk
memecahkannya.
b. Fleksibilitas
Pemerintah pusat perlu memberikan ruang yang lebih memadai bagi
pemerintah daerah untuk menganalisa informasi, potensi sumber daya,
permasalahan dan rencana kegiatan/program yang akan disusun dalam
anggaran. “Intervensi” pemerintah pusat hanya bersifat masukan dan
104
dilakukan dengan hati-hati tanpa mematikan prakarsa, inisiatif dan
kemampuan inovasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
c. Terprediksi
Prinsip ini menekankan terpenuhinya semua informasi yang berkaitan
dalam pelaksanaan kegiatan/program yang didanai oleh anggaran daerah
agar dapat berjalan dengan efisien dan efektif. Dengan terpenuhinya
informasi, maka segala hal yang mungkin terjadi di masa yang akan datang
dapat diperkirakan dan dipersiapkan langkah-langkah antisipasinya.
Dengan demikian setiap penyusunan anggaran baru dapat ditingkatkan
kualitas implementasinya.
d. Kejujuran
Kejujuran dalam anggaran daerah tidak hanya menyangkut persoalan etika
atau moral pelaksana anggaran, namun juga berhubungan dengan
kemampuan dalam memproyeksikan penerimaan dan pengeluaran yang
mempunyai kemungkinan terjadinya bias. Sumber bias yang memunculkan
ketidakjujuran ini dapat berasal dari aspek teknis dan politis dalam
pelaksanaan anggaran nantinya. Proyeksi yang terlalu optimis akan
mengesampingkan kendala-kendala yang akan muncul, sehingga
kemungkinan implementasi anggaran yang tidak efisien dan efektif akan
terjadi.
e. Informasi
Informasi adalah basis kejujuran dan proses pengambilan keputusan yang
baik. Karenanya, pelaporan yang teratur dan validitasnya terpercaya tentang
input, output, outcome dan pelaporan benefit serta impact suatu kebijakan
(anggaran) adalah sangat penting artinya.
Gambar Value for Gambar Value for Gambar Value for Gambar Value for MoneyMoneyMoneyMoney
A.A.A.A. Manfaat:Manfaat:Manfaat:Manfaat:
1. Meningkatkan efektivitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang
diberikan tepat sasaran
105
2. Meningkatkan mutu pelayanan publik dan menurunkan biaya
pelayanan publik karena terjadinya penghematan dan berkurangnya in-
efisiensi
3. Alokasi belanja lebih berorientasi pada kepentingan publik
4. Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public cost awareness)
B.B.B.B. Ekonomis :Ekonomis :Ekonomis :Ekonomis :
• Perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan
moneter atau
• Sejauhmana organisasi publik mampu meminimalisasi “Input Resources”
dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak Produktif
C.C.C.C. Efisiensi :Efisiensi :Efisiensi :Efisiensi :
Pencapaian output maksimum dengan input tertentu atau dengan input minimum untuk mencapai output tertentu
D.D.D.D. Efektivitas :Efektivitas :Efektivitas :Efektivitas :
Tingkat pencapaian program dengan target yang ditetapkan atau perbandingan outcome dengan output
E.E.E.E. InputInputInputInput
Resources yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan F.F.F.F. Output :Output :Output :Output :
Hasil yang dicapai suatu aktifitas G.G.G.G. Outcome :Outcome :Outcome :Outcome :
Dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan
Daerah
World Bank dalam Mardiasmo (2002) Otonomi dan Manajemen Keuangan
Daerah. Penerbit ANDI Yogyakarta.
106
OMNIBUS OMNIBUS OMNIBUS OMNIBUS
REGULATIONSREGULATIONSREGULATIONSREGULATIONS
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
8.1 Dasar Hukum Omnibus Regulations 8.1 Dasar Hukum Omnibus Regulations 8.1 Dasar Hukum Omnibus Regulations 8.1 Dasar Hukum Omnibus Regulations
Dasar hukum yang digunakan antara lain Undang-Undang No. 17
Tahun 2003, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004, Undang-Undang No. 10
Tahun 2004, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004, Undang-Undang No. 25
Tahun 2004, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Dengan pengaturan yang
komprehensif dalam satu peraturan perundangan saja yang diatur dalam PP
No. 58 Tahun 2005.
Pertimbangan dalam peraturan-peraturan tersebut antara lain :
a. Kemudahan untuk diimplementasikan oleh Pemda
b. Sinkronisasi dan keselarasan antar pengaturan
c. Tidak membingungkan pelaksanaan dan pemeriksa
d. Kapasitas kemampuan daerah
8.2 Pokok 8.2 Pokok 8.2 Pokok 8.2 Pokok –––– Pokok Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005Pokok Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005Pokok Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005Pokok Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
Hal-Hal yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 antara lain :
� Menjelaskan secara rinci ruang lingkup pengelolaan Keuangan Daerah.
� Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah adalah mendesentralisasikan
pelaksanaan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah kepada :
a. Kepala SKPD selaku pejabat pengelola keuangan daerah
b. Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/ pengguna barang
daerah
c. Sekda selaku koordinator pengelola keuangan daerah
� Tata cara penunjukkan pejabat di lingkungan PPKD dan/ atau SKPD antara
lain :
a. Mengatur pendelegasian wewenang lebih lanjut
b. PPKD selaku BUD menunjuk pejabat selaku kuasa BUD dan dapat
melimpahkan wewenang lainnya kepada pejabat lainnya di lingkungan
SKPKD
8
107
c. Kepala SKPD dalam melaksanakan tugasnya :
� Menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan
pada SKPD sebagai pejabat penatausahaan keuangan SKPD (PPK-
SKPD)
� Dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit
kerja di lingkungannya selaku kuasa pengguna anggaran/ pengguna
barang
� Pejabat pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran dalam
melaksanakan program dan kegiatan dapat menunjuk pejabat pada
unit kerja SKPD selaku PPTK
� Tentang pengubahan peristilahan pemegang kas menjadi bendahara
penerima dan bendahara pengeluaran yang pengangkatannya oleh KDH
atas usul PPKD. Status bendahara merupakan pejabat fungsional dan dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada PPKD selaku BUD
� Azas Umum dan Struktur APBD dalam hal ini menjelaskan fungsi-fungsi
APBD dan menegaskan mengenai prinsip-prinsip penganggaran
pendapatan, belanja dan pembiayaan.
8.3 Fungsi 8.3 Fungsi 8.3 Fungsi 8.3 Fungsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBDAPBDAPBDAPBD))))
1. Fungsi otorisasiFungsi otorisasiFungsi otorisasiFungsi otorisasi yaitu merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan
dan belanja pada tahun yang bersangkutan
2. Fungsi perencanaanFungsi perencanaanFungsi perencanaanFungsi perencanaan yaitu merupakan pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan
3. Fungsi pengawasanFungsi pengawasanFungsi pengawasanFungsi pengawasan yaitu merupakan pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan
4. Fungsi alokasiFungsi alokasiFungsi alokasiFungsi alokasi yaitu harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian
5. Fungsi distribusiFungsi distribusiFungsi distribusiFungsi distribusi yaitu merupakan kebijakan yang harus memperhatikan
rasa keadilan dan kepatuhan
6. Fungsi stabilisasiFungsi stabilisasiFungsi stabilisasiFungsi stabilisasi yaitu merupakan alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah
108
8.4 Prinsip8.4 Prinsip8.4 Prinsip8.4 Prinsip----Prinsip Penganggaran APBDPrinsip Penganggaran APBDPrinsip Penganggaran APBDPrinsip Penganggaran APBD
1. Semua penerimaan baik dalam bentuk uang, barang dan/ atau jasa
dianggarkan dalam APBD
2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto
3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai
serta berdasarkan ketentuan perundang-undangan
4. Penganggaran pengeluaran harus diukur dengan adanya kepastian
tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus didukung
dengan dasar hukum yang melandasinya
Struktur APBD yang terdapat dalam PP No. 58 Tahun 2005 adalah :
1. Menjelaskan cakupan pengertian dan rincian dari setiap pendapatan,
belanja dan pembiayaan
2. Pendapatan dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan
3. Klasifikasi belanja menurut organisasi, urusan pemerintahan/ fungsi,
program dan kegiatan serta jenis belanja
4. Pembiayaan dirinci menurut jenis sumber penerimaan dan pengeluaran
pembiayaan
Penyusunan rancangan APBD : (1) Mengatur jadwal penyusunan dan
pembahasan KUA dan PPAS yang dilakukan oleh kepala Daerah; (2)
Memperjelas keterkaitan dan hubungan antara dokumen perencanaan dengan
penyusunan rancangan kebijakan umum APBD, PPAS untuk dibahas dan
disepakati bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD; (3)
Menekankan penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran
jangka menengah dan prestasi kerja yang dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal; (4) Mempertegas
PPKD menyusun rancangan Perda APBD berikut dokumen pendukung
berdasarkan RKA-SKPD yang telah ditelaah oleh Tim Anggaran Pemerintah
Daerah
Tabel Jadwal Penyusunan APBDTabel Jadwal Penyusunan APBDTabel Jadwal Penyusunan APBDTabel Jadwal Penyusunan APBD NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN WAKTUWAKTUWAKTUWAKTU KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN A. APBDA. APBDA. APBDA. APBD 1. Penyusunan RKPD Akhir bulan Mei 2. Penyampaian Rancangan KUA kepada
Kepala Daerah Awal bulan Juni 1 bulan
3. Penyampaian Rancangan KUA dari Kepala Daerah kepada DPRD
Pertengahan bulan Juni
3 minggu 4. KUA disepakati antara Kepala Daerah
dengan DPRD Minggu pertama bulan Juli
5. Penyusunan Rancangan PPAS 1 minggu
109
NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN WAKTUWAKTUWAKTUWAKTU KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN 6. Penyampaian Rancangan PPAS dan DPRD Minggu kedua bulan Juli 3 minggu 7. PPAS disepakati antara Kepala Daerah
dengan DPRD Akhir bulan Juli
8. Penetapan pedoman penyusunan RKA-SKPD oleh Kepala Daerah
Awal bulan Agustus 1 minggu
9. Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD
Minggu pertama bulan Oktober
2 bulan
10. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Kepala Daerah terhadap RAPD
Paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal bulan Desember)
11. Penetapan hasil evaluasi 15 hari kerja (pertengahan bulan Desember)
12. Penetapan Perda tentang APBD & Raper KDH tentang penjabatan APBD bila sesuai hasil evaluasi
Akhir Desember (31 Desember)
13. Menyempurnakan sesuai hasil evaluasi 7 hari kerja Akhir bulan Desember
14. Pembatalan berdasarkan hasil evaluasi 7 hari kerja setelah hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri/ Gubernur
15. Penghentian dan pencanutan pelaksanaan Perda tentang APBD bersama DPRD
7 hari kerja Awal bulan Januari
16. Penetapan keputusan pimpinan DPRD tentang penyempurnaan Perda APBD dan penyampaian hasil penyempurnaan berdasarkan hasil evaluasi
3 hari kerja setelah keputusan
17. Penetapan Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD
31 Desember
18. Penyampaian Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabatan APBD kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur
7 hari kerja
B. B. B. B. DALAM HAL DPRD TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN BERSAMA TERHADAP RAPERDA DALAM HAL DPRD TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN BERSAMA TERHADAP RAPERDA DALAM HAL DPRD TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN BERSAMA TERHADAP RAPERDA DALAM HAL DPRD TIDAK MENGAMBIL KEPUTUSAN BERSAMA TERHADAP RAPERDA TENTANG APBDTENTANG APBDTENTANG APBDTENTANG APBD
1. Penyampaian rancangan Peraturan Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur dalam hal DPRD tidak mengambil keputusan bersama terhadap Raperda tentang APBD sampai dengan batas waktu yang ditetapkan undang-undang
Paling lama 15 hari kerja setelah Raperda tidak disetujui DPRD (pertengahan bulan Desember)
2. Pengesahan Menteri Dalam Negeri/ Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Kepala Daerah
Paling lama 30 hari kerja (pertengahan bulan Januari)
1 bulan
C.C.C.C. APBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRDAPBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRDAPBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRDAPBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRD 1. Penyampaian rancangan KUA dan PPAS
kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur bagi daerah yang belum memiliki DPRD
Pertengahan bulan Juni
2. Persetujuan Menteri Dalam Negeri/ Gubernur
Minggu pertama bulan Juli
15 hari
3. Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD
30 hari kerja sejak KUA dan PPAS disahkan Menteri Dalam Negeri/ Gubernur
Minggu pertama bulan Agustus
110
Tabel Jadwal Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pelaksanaan APBD
NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN WAKTUWAKTUWAKTUWAKTU KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN A. PELAKSANAAN APBDA. PELAKSANAAN APBDA. PELAKSANAAN APBDA. PELAKSANAAN APBD 1. Pemberitahuan menyusun DPA-SKPD 3 hari setelah Perda
APBD ditetapkan
2. Penyerahan Rancangan DPA-SKPD dan rancangan anggaran kas dari SKPD kepada PPKD
6 hari kerja
3. Verifikasi dan pengesahan rancangan DPA-SKPD dan rancangan anggaran kas
15 hari kerja setelah ditetapkan Perda APBD
Minggu kedua bulan Januari
4. Penyampaian DPA-SKPD dan anggaran kas yang telah disahkan ke SKPD
7 hari kerja Minggu ketiga bulan Januari
B. B. B. B. DPALDPALDPALDPAL----SKPDSKPDSKPDSKPD 1. Kepala SKPD menyampaikan laporan
akhir realisasi pelaksanaan kegiatan fisik dan non-fisik maupun keuangan kepada PPKD untuk pengesahan menjadi DPAL-SKPD tahun anggaran berikutnya
Pertengahan bulan Desember
Tabel Jadwal Perubahan APBDTabel Jadwal Perubahan APBDTabel Jadwal Perubahan APBDTabel Jadwal Perubahan APBD
NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN WAKTUWAKTUWAKTUWAKTU KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN 1. Penyampaian Rancangan Perubahan
KUA dan PPAS kepada DPRD Minggu pertama bulan Agustus
2. Kesepakatan Perubahan KUA dan PPAS antara Kepala Daerah dan DPRD
Minggu kedua bulan Agustus
7 hari
3. Pedoman Penyusunan RKA-SKPD Perubahan APBD
Minggu ketiga bulan Agustus
4. Penyampaian Raperda APBD beserta lampiran kepada DPRD
Minggu kedua bulan September
5. Persetujuan DPRD terhadap Raperda Perubahan APBD
3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir
Akhir bulan September
6. Penyampaian kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur untuk di evaluasi
3 hari kerja
7. Keputusan Mengeri Dalam Negeri tentang hasil evaluasi
15 hari kerja Pertengahan bulan Oktober
8. Pengesahan Perda yang telah di evaluasi dan dianggap sesuai dengan ketentuan
Pertengahan bulan Oktober
9. Penyempurnaan Perda sesuai hasil evaluasi apabila dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi
7 hari kerja Minggu ketiga bulan Oktober
10. Pembatalan Perda perubahan APBD bila tidak dilakukan penyempurnaan
7 hari kerja setelah pemberitahan untuk penyempurnaan sesuai hasil evaluasi
Minggu keempat bulan Oktober
11. Pencabutan Raperda perubahan APBD 7 hari kerja Minggu pertama bulan Nopember
12. Pemberitahuan untuk penyampaian rancangan perubahan DPA-SKPD
3 hari kerja setelah PAPBD disahkan
Minggu ketiga bulan Oktober
111
Tabel Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDTabel Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN WAKTUWAKTUWAKTUWAKTU KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN 1. Penyusunan Laporan Realisasi Semester
I Minggu kedua bulan Juni
2. Penyampaian laporan realisasi anggaran semester pertama dari pengguna anggaran ke PPKD
7 hari kerja setelah semester pertama berakhir
3. Penyampaian hasil konsolidasi laporan semester pertama oleh PPKD ke Sekda selaku koordinator pengelolaan keuda
Minggu kedua bulan Juli
4. Penyampaian rancangan laporan semester pertama dari Sekda kepada Kepala Daerah
Minggu ketiga bulan Juli
5. Penyampaian laporan realisasi semester pertama dari Kepala Daerah kepada DPRD
Akhir bulan Juli
6. Penyampaian laporan keuangan SKPD kepada Kepala Daerah melalui PPKD
2 bulan setelah tahun anggaran berakhir
Bulan Februari
7. Konsolidasi laporan keuangan SKPD oleh PPKD
3 bulan setelah tahun anggaran berakhir
Bulan Maret
8. Penyampaian laporan keuangan daerah kepada BPK
3 bulan setelah tahun anggaran berakhir
Akhir bulan Maret
9. Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK
2 bulan setelah disampaikan
Bulan Mei
10. Penyampaian Raperda pertanggung jawaban yang telah diaudit oleh BPK dari Kepala Daerah kepada DPRD
6 bulan setelah tahun anggaran berakhir
Akhir bulan Juni
11. Persetujuan DPRD terhadap Raperda pertanggungjawaban yang telah dicabut BPK
1 bulan setelah disampaikan
Akhir bulan Juli
12. Rancangan Perda tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan Kepala Daerah tentang penjabatan pertanggung jawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri/ Gubernur untuk di evaluasi
Paling lama 3 (tiga) hari kerja
13. Penyampaian hasil evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri/ Gubernur
Paling lama 15 (lima belas) hari kerja
14. Kepala Daerah dan DPRD menyempurnakan hasil evaluasi sebelum ditetapkan
Paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi
8.5 Struktur Pendapatan8.5 Struktur Pendapatan8.5 Struktur Pendapatan8.5 Struktur Pendapatan A.A.A.A. Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :
1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4. Lain-lain PAD yang sah
B.B.B.B. Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
112
3. Dana Alokasi Khusus
C.C.C.C. LainLainLainLain----Lain Pendapatan Daerah yang Sah :Lain Pendapatan Daerah yang Sah :Lain Pendapatan Daerah yang Sah :Lain Pendapatan Daerah yang Sah :
1. Hibah
2. Dana Darurat
3. Lain-lain Pendapatan
Struktur belanja yang tertera pada PP No. 58 Tahun 2005 adalah : 1. Belanja tidak langsung
• Belanja Pegawai
• Belanja Bunga
• Belanja Subsidi
• Belanja Hibah
• Belanja Bantuan Sosial
• Belanja Bagi Hasil & Bantuan Keuangan
• Belanja Tak Terduga
2. Belanja langsung
Program …… Kegiatan ……
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang
• Belanja Modal
Struktur Pembiayaan Struktur Pembiayaan Struktur Pembiayaan Struktur Pembiayaan Penerimaan pembiayaan :
• SiLPA tahun anggaran sebelumnya
• Pencairan dana cadangan
• Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
• Penerimaan pinjaman
• Penerimaan kembali pemberian pinjaman
Pengeluaran pembiayaan :
• Pembentukan dana cadangan
• Penyertaan modal pemerintah daerah
• Pembayaran pokok utang
• Pemberian pinjaman
113
Gambar Kode RekeningGambar Kode RekeningGambar Kode RekeningGambar Kode Rekening
114
Gambar Gambar Gambar Gambar Alur pengerjaan RKA Alur pengerjaan RKA Alur pengerjaan RKA Alur pengerjaan RKA –––– SKPDSKPDSKPDSKPD
Penetapan APBD Penetapan APBD Penetapan APBD Penetapan APBD
• Jadwal penyampaian, pembahasan Raperda APBD kepada DPRD dan
pengambilan keputusan bersama terhadap Raperda APBD dengan DPRD
serta proses evaluasi
• Menitik beratkan pembahasan Raperda APBD pada kesesuaian program
kegiatan dengan KUA dan PPAS
• Mengatur mengenai penetapan APBD apabila DPRD tidak mengambil
keputusan bersama terhadap Raperda APBD
115
• Mekanisme, jadwal, penyempurnaan hasil evaluasi Raperda APBD dan
Raper KDH tentang penjabatan APBD serta penetapan Perda APBD dan
Per KDH tentang Penjabatan APBD oleh KDH (bersifat preventif)
Gambar Gambar Gambar Gambar Sinkronisasi Penyusunan Rancangan APBD (UU No. 17 Tahun 2003, Sinkronisasi Penyusunan Rancangan APBD (UU No. 17 Tahun 2003, Sinkronisasi Penyusunan Rancangan APBD (UU No. 17 Tahun 2003, Sinkronisasi Penyusunan Rancangan APBD (UU No. 17 Tahun 2003,
UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004)UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004)UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004)UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004)
Gambar Penyusunan dan Penetapan PERDA APBDGambar Penyusunan dan Penetapan PERDA APBDGambar Penyusunan dan Penetapan PERDA APBDGambar Penyusunan dan Penetapan PERDA APBD
116
Pelaksanaan APBD Pelaksanaan APBD Pelaksanaan APBD Pelaksanaan APBD
Selain pada aspek pelaksanaan juga menekankan pada aspek penyiapan
dokumen, yang mencakup :
• Jadwal proses penyusunan DPA-SKPD oleh SKPD dan penyerahannya
kepada PPKD
• Isi DPA-SKPD mencakup : rincian sasaran yang hendak dicapai, fungsi,
program, kegiatan anggaran untuk mencapai sasaran dan rencana
penarikan dana serta pendapatan yang direncanakan
• Proses dan jadwal verifikasi DPA-SKPD oleh Tim Anggaran Pemda (15
hari)
• Proses dan jadwal pengesahan DPA-SKPD oleh PPKD setelah
memperoleh persetujuan SEKDA
• Pengaturan secara komprehensif mengenai penatausahaan pendapatan,
belanja dan pembiayaan berikut perubahan tata cara pencairan dan
penggunaan dana
117
Gambar Persiapan Pelaksanaan APBDGambar Persiapan Pelaksanaan APBDGambar Persiapan Pelaksanaan APBDGambar Persiapan Pelaksanaan APBD
117
118
Gambar Pelaksanaan APBDGambar Pelaksanaan APBDGambar Pelaksanaan APBDGambar Pelaksanaan APBD
118
119
Tabel Pelaksanaan dan Penatausahaan APBDTabel Pelaksanaan dan Penatausahaan APBDTabel Pelaksanaan dan Penatausahaan APBDTabel Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD
NONONONO URAIANURAIANURAIANURAIAN KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN
1111 Memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD SEKDA 2222 Mengesahkan DPA-SKPD dan Anggaran Kas PPKD 3333 Menerbitkan SPD PPKD selaku BUD 4444 Penyiapan dokumen SPP-LS PPTK 5555 Pengajuan SPP-UP/GU/TU (sistem UYHD) dan SPP-
LS Bendahara Pengeluaran
6666 Pengajuan SPM-UP/GU/TU & SPM-LS Kepala SKPD 7777 Menerbitkan SP2D Kuasa BUD 8888 Mengakutansikan dan menyiapkan laporan PPK-SKPD 9999 Pertanggung jawaban Dana (SPJ) Kepala SKPD 10101010 Laporan Keuangan & Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD PPKD
Gambar Proses Pencarian dan Pembayaran LSGambar Proses Pencarian dan Pembayaran LSGambar Proses Pencarian dan Pembayaran LSGambar Proses Pencarian dan Pembayaran LS
Gambar Proses Pencairan dan Pembayaran UPGambar Proses Pencairan dan Pembayaran UPGambar Proses Pencairan dan Pembayaran UPGambar Proses Pencairan dan Pembayaran UP
Tabel Perubahan APBDTabel Perubahan APBDTabel Perubahan APBDTabel Perubahan APBD
120
LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG
PERUBAHANPERUBAHANPERUBAHANPERUBAHAN DOKUMENDOKUMENDOKUMENDOKUMEN
KETERANGANKETERANGANKETERANGANKETERANGAN PENGANGGARANPENGANGGARANPENGANGGARANPENGANGGARAN PELAKSANAANPELAKSANAANPELAKSANAANPELAKSANAAN
Perkembangan asumsi KUA yang tidak sesuai
RKA-SKPD DPA-SKPD Dapat mendahului perubahan DPPA-SKPD DPPA-SKPD
Dilakukan pergeseran DPPA-SKPD DPPA-SKPD Dapat mendahului
perubahan
Penggunaan saldo anggaran dalam tahun anggaran berjalan
RKA-SKPD DPA-SKPD Dapat mendahului perubahan dan menunggu perubahan
DPA-SKPD DPA-SKPD DPAL-SKPD DPAL-SKPD
Darurat
RKA-SKPD DPA-SKPD Dapat mendahului perubahan, dan jika terjadi setelah perubahan ditampung dalam laporan realisasi anggaran
DPPA-SKPD DPPA-SKPD
Luar biasa > 50% RKA-SKPD DPA-SKPD
Setelah perubahan kedua
DPPA-SKPD DPPA-SKPD Luar biasa < 50% DPPA-SKPD DPPA-SKPD
Gambar Model 1Gambar Model 1Gambar Model 1Gambar Model 1 Struktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPD
Gambar Modul 2Gambar Modul 2Gambar Modul 2Gambar Modul 2
Struktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPD
Gambar Modul 3Gambar Modul 3Gambar Modul 3Gambar Modul 3
121
Struktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPDStruktur Organisasi SKPD Khusus Sekretariat DaerahKhusus Sekretariat DaerahKhusus Sekretariat DaerahKhusus Sekretariat Daerah
Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban ::::
• Laporan keuangan diperiksa BPK sebelum diajukan dalam bentuk
Raperda kepada DPRD
• Jenis Laporan Keuangan (yang menggambarkan tentang hak, kewajiban,
dan kekayaan daerah pada akhir tahun serta sumber dan penggunaan,
termasuk pergeseran penyusunan laporan keuangan)
• Perubahan muatan hukum dalam dokumen pertanggungjawaban
• Penyusunan kebijakan akuntansi berdasarkan standar akuntansi
pemerintahan
Aspek Pembinaan dan PengawasanAspek Pembinaan dan PengawasanAspek Pembinaan dan PengawasanAspek Pembinaan dan Pengawasan
• MDN Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan dibidang
pengelolaan keuangan daerah
• Menekankan pada aspek pembinaan manajerial dan saran perbaikan
kedepan
• Pemeriksaan oleh BPK
122
Gambar Akuntansi dan Pelaporan Pelaksanaan APGambar Akuntansi dan Pelaporan Pelaksanaan APGambar Akuntansi dan Pelaporan Pelaksanaan APGambar Akuntansi dan Pelaporan Pelaksanaan APBDBDBDBD
122
123
Ketentuan PeralihanKetentuan PeralihanKetentuan PeralihanKetentuan Peralihan. Dilaksanakan secara bertahap mulai tanggal tahun
2006, 2007 dan tahun anggaran 209.
A.A.A.A. Tahun Anggaran 2006Tahun Anggaran 2006Tahun Anggaran 2006Tahun Anggaran 2006
a. Status bendahara sebagai pejabat fungsional, Pasal 15 ayat (3)
b. Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga,
dan standar pelayanan minimal Pasal 39 ayat (2)
c. Laporan keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pasal 100 ayat (3)
B.B.B.B. Tahun Anggaran 2007Tahun Anggaran 2007Tahun Anggaran 2007Tahun Anggaran 2007
a. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah
daerah dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran
sementara yang disampaikan oleh kepala daerah. Pasal 35 ayat (1)
b. Penetapan Raperda tentang APBD dan Raper KDH tentang penjabaran
APBD PerKDH tentang penjabaran APBD yang dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 31 Desember TA sebelumnya. Pasal 53 ayat (1) dan
ayat (2)
c. Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang
mengaku kepada standar akuntansi pemerintahan. Pasal 96 ayat (1)
C.C.C.C. Tahun Anggaran 2009Tahun Anggaran 2009Tahun Anggaran 2009Tahun Anggaran 2009
a. Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran
jangka menengah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju yang
berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang
direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran
yang direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk
pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya.
Pasal 37
Tindakan Lanjut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah : a. Menyusun Peraturan Daerah tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah
b. Menyusun Peraturan Kepala Daerah tentang sistem dan prosedur
pengelolaan keuangan daerah sebagai pelaksanaan dari Peraturan
Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
Issu Krusial :Issu Krusial :Issu Krusial :Issu Krusial :
1. PP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah belum final
2. PP tentang Struktur Organisasi Perangkat Daerah belum final
124
3. Penerapan penganggaran dengan perkiraan maju (MTEF)
4. Revisi PP No. 109 tahun 2000
5. Revisi Kedua PP No. 24 Tahun 2004
6. Belum adanya pengaturan penatausahaan dan pelaporan BLUD
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perundangan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah
125
PROPROPROPROSES PENYUSUNAN ANGGARAN SES PENYUSUNAN ANGGARAN SES PENYUSUNAN ANGGARAN SES PENYUSUNAN ANGGARAN
PENDAPATAN BELANJA (APBD)PENDAPATAN BELANJA (APBD)PENDAPATAN BELANJA (APBD)PENDAPATAN BELANJA (APBD)
BAB BAB BAB BAB
Drs. Agustinus PalebanganDrs. Agustinus PalebanganDrs. Agustinus PalebanganDrs. Agustinus Palebangan
Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan DaerahBina Administrasi Keuangan Daerah
9.1 Asas Umum dan Struktur APBD9.1 Asas Umum dan Struktur APBD9.1 Asas Umum dan Struktur APBD9.1 Asas Umum dan Struktur APBD
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD tersebut berpedoman
kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk
tercapainya tujuan bernegara. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggung jawaban pelaksanaan APBD setiap tahunnya ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
A.A.A.A. Fungsi APBDFungsi APBDFungsi APBDFungsi APBD
1. Fungsi otorisasi yaitu APBD merupakan dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan
2. Fungsi perencanaan yaitu APBD merupakan pedoman bagi manajemen
dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan
3. Fungsi pengawasan yaitu APBD merupakan pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan
4. Fungsi alokasi yaitu APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian
5. Fungsi distribusi yaitu APBD merupakan kebijakan anggaran daerah
yang harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan
6. Fungsi stabilisasi yaitu APBD merupakan anggaran pemerintahan daerah
yang menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah
9
126
B.B.B.B. Prinsip Penyusunan APBDPrinsip Penyusunan APBDPrinsip Penyusunan APBDPrinsip Penyusunan APBD
Prinsip dari penyusunan APBD adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional
yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan
2. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup
3. Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dianggarkan dalam
APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-
undangan
4. Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah
dianggarkan secara bruto dalam APBD
5. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1
(satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember
C.C.C.C. Struktur APBDStruktur APBDStruktur APBDStruktur APBD
� PendapatanPendapatanPendapatanPendapatan � BelanjaBelanjaBelanjaBelanja
- Belanja Tidak Langsung - Belanja Langsung
_____________ (–) Surplus / Defisit
� Pembiayaan Pembiayaan Pembiayaan Pembiayaan - Penerimaan - Pengeluaran
_____________ (–) Pembiayaan Neto Pembiayaan Neto Pembiayaan Neto Pembiayaan Neto
______________ (–) SILPA Tahun Berjalan
9.2 Pendapatan APBD9.2 Pendapatan APBD9.2 Pendapatan APBD9.2 Pendapatan APBD
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening
kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, yang merupakan hak daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Pendapatan daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan.
Pendapatan daerah dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Semua hak daerah
127
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Pendapatan tersebut berasal dari PAD dan dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD
yang sah. Dana perimbangan berasal dari dana bagi hasil, DAU, dan DAK.
Sedangkan lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat bersumber dari :
• Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/
kerusakan akibat bencana alam.
• Hibah, dapat berasal dari pemerintah, pemerintah Kabupaten/ kota di
wilayah provinsi, Kabupaten/kota di luar wilayah provinsi, pemerintah
provinsi dan/ atau provinsi lainnya, dari perusahaan daerah/ BUMD,
dari perusahaan negara/ BUMN atau dari masyarakat.
• Bantuan keuangan dari kabupaten/ kota di wilayah provinsi, bantuan
keuangan dari provinsi/kabupaten/kota lainnya di luar wilayah provinsi
A.A.A.A. Struktur PendaStruktur PendaStruktur PendaStruktur Pendapatanpatanpatanpatan
A)A)A)A) Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :Pendapatan Asli Daerah :
1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4. Lain-lain PAD yang sah
B)B)B)B) Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :Dana Perimbangan :
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
C)C)C)C) LainLainLainLain----lain Pendapatalain Pendapatalain Pendapatalain Pendapatan Daerah yang sah :n Daerah yang sah :n Daerah yang sah :n Daerah yang sah :
1. Hibah
2. Dana Darurat
3. Lain-lain Pendapatan
9.3 Belanja9.3 Belanja9.3 Belanja9.3 Belanja
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum
daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh daerah. Belanja daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah,
128
organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek
belanja.
Belanja daerah dipergunakan untuk mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, terdiri
dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai ketentuan perundang-undangan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi
dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta
mengembangkan sistem jaminan sosial.
Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi
kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib
pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan
wajib dan belanja urusan pilihan.
A)A)A)A) Klasifikasi Belanja Menurut Urusan WajibKlasifikasi Belanja Menurut Urusan WajibKlasifikasi Belanja Menurut Urusan WajibKlasifikasi Belanja Menurut Urusan Wajib
• Pendidikan
• Kesehatan
• Pekerjaan umum
• Perumahan rakyat
• Penataan ruang
• Perencanaan pembangunan
• Perhubungan
• Lingkungan hidup
• Pertanahan
• Kependudukan dan catatan sipil
• Pemberdayaan perempuan dan keluarga sejahtera
• Sosial
• Tenaga kerja dan transmigrasi
• Koperasi dan usaha kecil dan menengah
• Penanaman modal
129
• Kebudayaan dan pariwisata, pemuda dan olahraga
• Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
• Pemerintahan umum kepegawaian
• Pemberdayaan masyarakat dan desa
• Statistik
• Arsip
• Komunikasi dan informatika
B)B)B)B) Klasifikasi Belanja Menurut Urusan PilihanKlasifikasi Belanja Menurut Urusan PilihanKlasifikasi Belanja Menurut Urusan PilihanKlasifikasi Belanja Menurut Urusan Pilihan
• Pertanian
• Kehutanan
• Energi dan sumber daya mineral
• Kelautan dan perikanan
• Perdagangan
• Perindustrian
Klasifikasi belanja menurut urusan yang penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-
undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan yang
diklasifikasikan menurut urusan wajib dan urusan pilihan.
A.A.A.A. Klasifikasi Belanja Menurut FungsiKlasifikasi Belanja Menurut FungsiKlasifikasi Belanja Menurut FungsiKlasifikasi Belanja Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara, terdiri dari :
• Pelayanan umum
• Ketertiban dan ketentraman
• Ekonomi
• Lingkungan hidup
• Perumahan dan fasilitas umum
• Kesehatan
• Pariwisata dan budaya
• Pendidikan
• Perlindungan sosial
130
Dalam hal ini terdapat dua klasifikasi kelompok belanja yaitu Belanja
Tidak langsung yang merupakan belanja yang tidak dipengaruhi secara
langsung oleh ada tidaknya program dan kegiatan satuan kerja perangkat
daerah yang pengaruh kontribusinya terhadap prestasi kerja sukar diukur.
Sedangkan Belanja Langsung merupakan belanja yang dipengaruhi secara
langsung oleh adanya program dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah
yang kontribusinya terhadap pencapaian prestasi kerja dapat diukur.
B.B.B.B. Struktur Belanja :Struktur Belanja :Struktur Belanja :Struktur Belanja :
1) Belanja Tidak Langsung (BAU)
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Bunga
c. Belanja Subsidi
d. Belanja Hibah
e. Belanja Bantuan Sosial, Organisasi Profesi Dan Politik
f. Belanja Bagi Hasil Dan Bantuan Keuangan
g. Belanja Tak Terduga
2) Belanja Langsung (BOP dan BM)
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Modal
9.4 Surplus / (Defisit) APBD9.4 Surplus / (Defisit) APBD9.4 Surplus / (Defisit) APBD9.4 Surplus / (Defisit) APBD
Surplus/Defisit APBD merupakan selisih antara anggaran pendapatan
daerah dan anggaran belanja daerah. Surplus anggaran terjadi bila anggaran
pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah.
Surplus, dapat dimanfaatkan untuk pembayaran cicilan pokok utang yang jauh
tempo, pembelian kembali obligasi daerah, penyertaan modal (investasi) daerah,
pemberian pinjaman daerah, transfer ke rekening dana cadangan dan
dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan.
Defisit anggaran terjadi bila anggaran pendapatan daerah diperkirakan
lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Apabila defisit, meliputi sisi lebih
perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari rekening dana cadangan, hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah dan
131
obligasi daerah, penerimaan piutang daerah dan dianggarkan pada penerimaan
pembiayaan.
A.A.A.A. Pembiayaan Pembiayaan Pembiayaan Pembiayaan
Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup
defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Pembiayaan daerah terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
B.B.B.B. Struktur PembiayaanStruktur PembiayaanStruktur PembiayaanStruktur Pembiayaan
I. Penerimaan pembiayaan :
a. Selisih Lebih Perhitungan (SILPA) Anggaran Tahunan Sebelumnya
b. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
c. Penerimaan pinjaman
d. Penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan
e. Penerimaan piutang
II. Pengeluaran pembiayaan :
a. Pembentukan dana cadangan
b. Penyertaan modal pemerintah daerah
c. Pembayaran pokok utang
d. Pemberian pinjaman
Pembiayaan Netto (A Pembiayaan Netto (A Pembiayaan Netto (A Pembiayaan Netto (A –––– B)B)B)B)
Gambar KodeGambar KodeGambar KodeGambar Kode
132
Gambar Kelompok dan Jenis BelanjaGambar Kelompok dan Jenis BelanjaGambar Kelompok dan Jenis BelanjaGambar Kelompok dan Jenis Belanja
Gambar Penyusunan dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan dan Penetapan Perda APBDGambar Penyusunan dan Penetapan Perda APBD
133
9.5 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)9.5 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)9.5 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)9.5 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, selanjutnya disebut Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk
periode 1 (satu) tahun. Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan
penjabatan dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.
RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah
daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. Penyusunan RKPD
diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan.
A.A.A.A. Kebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBD
Kebijakan umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen
yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta
asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
Rancangan KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari
setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan
daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang
disertai dengan asumsi yang mendasarinya.
Capaian kinerja dalam KUA adalah capaian program, menjadi petunjuk
dan ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman penyusunan RKA –
SKPD – APBD. Kebijakan umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah
dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan
serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu).
Asumsi yang mendasari yakni pertimbangan perkembangan ekonomi
makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh
pemerintah. Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh
TAPD yang dipimpin oleh sekretaris daerah.
Rancangan KUA disampaikan oleh sekretaris daerah selaku koordinator
pengelola keuangan daerah kepada kepala daerah, paling lambat pada awal
bulan Juni. Rancangan KUA disampaikan kepada daerah kepada DPRD paling
lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
134
Rancangan KUA yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi KUA
paling lambat minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan.
B.B.B.B. Prioritas dan Plafon Anggaran SementaraPrioritas dan Plafon Anggaran SementaraPrioritas dan Plafon Anggaran SementaraPrioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat
PPAS merupakan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang
diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan
RKA-SKPD.
Berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah menyusun
rancangan PPAS. Rancangan PPAS disusun dengan tahapan sebagai berikut :
� Menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan
� Menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan
� Menyusun plafon anggaran untuk masing-masing urusan
Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS kepada DPRD untuk
dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan.
Pembahasan dilakukan oleh tim anggaran pemerintah daerah bersama panitia
anggaran DPRD.
Rancangan PPAS yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi
prioritas dan plafon anggaran paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran
berjalan. Dalam hal kepala daerah berhalangan, yang bersangkutan dapat
menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani nota
kesepakatan KUA dan PPA. Sedangkan jika kepala daerah berhalangan tetap,
penandatanganan nota kesepakatan KUA dan PPA dilakukan oleh pejabat yang
ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
C.C.C.C. RKA RKA RKA RKA –––– SKPDSKPDSKPDSKPD
RKA-SKPD merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang
berisi program dan kegiatan SKPD serta anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakannya. Disusun dengan menggunakan pendekatan perkiraan maju
(MTEF), penganggaran terpadu dan penganggaran prestasi kerja.
RKA-SKPD disusun berdasarkan prestasi kerja yang kegiatannya
diuraikan dengan indikator kinerja, capaian atau target kinerja. Berdasarkan
nota kesepakatan KUA dan PPAS, TAPD Menyiapkan rancangan SE KDh tentang
pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun
RKA-SKPD.
135
SE SDh perihal pedoman penyusunan RKA-SKPD diterbitkan paling
lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. RKA-SKPD disusun
dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah
daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja.
Untuk terlaksananya penyusunan RKA-SKPD dan terciptanya
kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil pelaksanaan
program dan kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya sampai dengan
semester pertama tahun anggaran berjalan.
Evaluasi bertujuan menilai program dan kegiatan yang belum dapat
dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan tahun-tahun sebelumnya untuk
dilaksanakan dan/atau diselesaikan pada tahun yang direncanakan atau 1
(satu) tahun berikutnya dari tahun yang direncanakan. Dalam hal suatu
program dan kegiatan merupakan tahun terakhir untuk pencapaian prestasi
kerja yang ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan pada tahun yang
direncanakan.
Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja berdasarkan pada
indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belajar, standar
satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Indikator kinerja adalah ukuran
keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan.
Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang
berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dari setiap
program dan kegiatan.
Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban
kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Standar
satuan harga yakni harga satuan setiap unit barang/ jasa yang berlaku disuatu
daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Standar pelayanan
minimal merupakan tolak ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-
masing program dan kegiatan untuk tahun yang direncanakan, serta rencana
pembiayaan dirinci sampai dengan rincian obyek pendapatan, belanja, dan
pembiayaan, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya. RKA-SKPD juga
memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah, organisasi, indikator
kinerja, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan
kegiatan. Jenis indikator meliputi masukan, keluaran dan hasil.
136
Tolok ukur kinerja adalah prestasi kerja yang akan dicapai dari keadaan
semula dengan mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, dan efisiensi dan
efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. Target kinerja adalah
hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari
suatu kegiatan.
Tabel Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKA SKPD)Tabel Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKA SKPD)Tabel Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKA SKPD)Tabel Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKA SKPD)
KodeKodeKodeKode Nama FormulirNama FormulirNama FormulirNama Formulir
RKA SKPDRKA SKPDRKA SKPDRKA SKPD Ringkasan Anggaran Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan
Satuan Kerja Perangkat Daerah
RKA SKPD 1RKA SKPD 1RKA SKPD 1RKA SKPD 1 Rincian Anggaran Pendapatan Satuan Kerja Perangkat
Daerah
RKA SKPD 2.1RKA SKPD 2.1RKA SKPD 2.1RKA SKPD 2.1 Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja
Perangkat Daerah
RKA SKPD 2.2RKA SKPD 2.2RKA SKPD 2.2RKA SKPD 2.2 Rekapitulasi Anggaran Belanja Langsung Berdasarkan
Program dan Kegiatan
RKA SKPD 2.2.1RKA SKPD 2.2.1RKA SKPD 2.2.1RKA SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Per Kegiatan Satuan
Kerja Perangkat Daerah
RKA SKPD 3.1RKA SKPD 3.1RKA SKPD 3.1RKA SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah
RKA SKPD 3.2RKA SKPD 3.2RKA SKPD 3.2RKA SKPD 3.2 Rincian Pengeluaran Pembiayaan Daerah
Gambar Alur Pengerjaan RKA SKPDGambar Alur Pengerjaan RKA SKPDGambar Alur Pengerjaan RKA SKPDGambar Alur Pengerjaan RKA SKPD
D.D.D.D. Apabila DPR Tidak Memberi Persetujuan Terhadap Perda DPRDApabila DPR Tidak Memberi Persetujuan Terhadap Perda DPRDApabila DPR Tidak Memberi Persetujuan Terhadap Perda DPRDApabila DPR Tidak Memberi Persetujuan Terhadap Perda DPRD (Pasal 45 PP (Pasal 45 PP (Pasal 45 PP (Pasal 45 PP
No. 58 Tahun 2005)No. 58 Tahun 2005)No. 58 Tahun 2005)No. 58 Tahun 2005)
KDH melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD
TA sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam
rancangan peraturan KDH tentang APBD. Pengeluaran tersebut seperti untuk
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, terjaminnya pemenuhan kebutuhan
137
dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan, dan/atau
melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
Raper KDH ditetapkan setelah memperoleh pengesahan Menteri Dalam
Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Jika pengesahan
melampaui 15 hari, KDH menetapkan menjadi peraturan kepada daerah.
E.E.E.E. Evaluasi Raperda Tentang APBD/ Perubahan APBD dan Raper KDH Tentang Evaluasi Raperda Tentang APBD/ Perubahan APBD dan Raper KDH Tentang Evaluasi Raperda Tentang APBD/ Perubahan APBD dan Raper KDH Tentang Evaluasi Raperda Tentang APBD/ Perubahan APBD dan Raper KDH Tentang
Penjabatan APBD/ Perubahan APBDPenjabatan APBD/ Perubahan APBDPenjabatan APBD/ Perubahan APBDPenjabatan APBD/ Perubahan APBD
Dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 185 Undang-Undang No 32
Tahun 1004 tentang Pemerintah Daerah, yang bertujuan :
a. Tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional
b. Keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur
c. Meneliti sejauh mana APBD tidak bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan perundangan yang lebih tinggi dan peraturan daerah
lainnya
Gambar Proses Evaluasi Perda APBD Provinsi dan Gambar Proses Evaluasi Perda APBD Provinsi dan Gambar Proses Evaluasi Perda APBD Provinsi dan Gambar Proses Evaluasi Perda APBD Provinsi dan Peraturan Gubernur Tentang Penjabaran APBDPeraturan Gubernur Tentang Penjabaran APBDPeraturan Gubernur Tentang Penjabaran APBDPeraturan Gubernur Tentang Penjabaran APBD
138
Gambar Proses Evaluasi Perda APBD Kabupaten/Kota danGambar Proses Evaluasi Perda APBD Kabupaten/Kota danGambar Proses Evaluasi Perda APBD Kabupaten/Kota danGambar Proses Evaluasi Perda APBD Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/ Walikota Tentang Penjabaran APBDPeraturan Bupati/ Walikota Tentang Penjabaran APBDPeraturan Bupati/ Walikota Tentang Penjabaran APBDPeraturan Bupati/ Walikota Tentang Penjabaran APBD
F.F.F.F. Penyiapan Raperda tentang APBD dan Raper KDH tentang Penjabaran APBDPenyiapan Raperda tentang APBD dan Raper KDH tentang Penjabaran APBDPenyiapan Raperda tentang APBD dan Raper KDH tentang Penjabaran APBDPenyiapan Raperda tentang APBD dan Raper KDH tentang Penjabaran APBD
Untuk mempercepat proses evaluasi, dianjurkan penyampaian Raperda
tentang APBD dan Raper KDH tentang penjabaran APBD dengan cara sebagai
berikut :
a. Asli disampaikan 1 (satu) eksemplar dalam bentuk hard copy.
b. Dalam bentuk soft copy berupa kepingan CD/Disket atau Flash Disk 1
(paket).
9.6 Penyempurnaan Hasil Evaluasi9.6 Penyempurnaan Hasil Evaluasi9.6 Penyempurnaan Hasil Evaluasi9.6 Penyempurnaan Hasil Evaluasi
Dalam hal ini yang memiliki kewenangan dalam penyempurnaan hasil
evaluasi adalah kepada daerah bersama Panitia Anggaran DPRD. Hasil
penyempurnaan ditetapkan pimpinan DPRD dilaporkan pada sidang paripurna
berikutnya. Disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk APBD provinsi
dan kepada Gubernur untuk APBD kabupaten/kota, paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan.
A.A.A.A. Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD
Apabila Tidak Menindak Lanjuti Hasil EvaluasiApabila Tidak Menindak Lanjuti Hasil EvaluasiApabila Tidak Menindak Lanjuti Hasil EvaluasiApabila Tidak Menindak Lanjuti Hasil Evaluasi
Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dibatalkan oleh
Menteri Dalam Negeri, untuk kabupaten/kota oleh Gubernur. Dalam keputusan
139
pembatalan, sekaligus dinyatakan berlakunya pagu APBD tahun anggaran
sebelumnya.
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan diterima, KDH
harus memberhentikan pelaksanaanya dan DPRD bersama KDH mencabut
Perda dimaksud. Pencabutan Perda, dilakukan dengan Perda. Pelaksanaan
pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya, ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah.
Perda APBDPerda APBDPerda APBDPerda APBD
1. Ringkasan APBD; 2. Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi
SKPD; 3. Rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi SKPD,
pendapatan, belanja dan pembiayaan; 4. Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi
SKPD, program dan kegiatan; 5. Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan
pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
6. Daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan; 7. Daftar piutang daerah; 8. Daftar penyertaan modal (investasi) daerah; 9. Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah; 10. Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain; 11. Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum
diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini; 12. Daftar dana cadangan daerah; dan 13. Daftar pinjaman daerah.
B.B.B.B. Perubahan APBDPerubahan APBDPerubahan APBDPerubahan APBD
Perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah TA
berakhir. Memuat tentang anggaran yang tidak mengalami perubahan dan
yang mengalami perubahan. Setiap perubahan supaya disertai dengan
penjelasan mengenai alasan dilakukannya perubahan. Penganggaran kegiatan-
kegiatan fisik yang tidak dapat diselesaikan sampai dengan TA berakhir supaya
dihindari, lebih baik dianggarkan dalam APBD TA berikutnya.
Hal-hal yang melatarbelakangi perubahan APBD :
� Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum APBD;
� Keadaan yang menyebabkan pergeseran anggaran (antar unit organisasi,
antar kegiatan dan antar jenis);
LampiranLampiranLampiranLampiran
140
� Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk tahun anggaran berjalan;
� Keadaan darurat/ mendesak (bencana alam) dan keadaan luar biasa
(penerimaan melampaui 50% dari target yang direncanakan atau tidak
mencapai 50% dari target yang direncanakan)
Batas waktu penetapan Perda Perubahan APBD paling lambat 3 bulan
sebelum berakhirnya tahun anggaran. Hal-hal yang melatarbelakangi
terjadinya perubahan APBD, dibahas bersama dengan DPRD dan selanjutnya
dituangkan dalam perubahan KUA APBD serta perubahan Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara.
Perubahan KUA APBD dan perubahan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagai Pedoman Perangkat Daerah
dalam menyusun usulan perubahan program, kegiatan dan anggaran.
Perda Perda Perda Perda Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan APBDAPBDAPBDAPBD
1. Ringkasan APBD; 2. Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi
SKPD; 3. Rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi SKPD,
pendapatan, belanja dan pembiayaan; 4. Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi
SKPD, program dan kegiatan; 5. Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan
pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
6. Daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan; 7. Neraca daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah 1 (satu)
tahun terakhir dari perubahan APBD; 8. Laporan arus kas yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah 1
(satu) tahun terakhir dari perubahan APBD; dan 9. Catatan atas laporan keuangan yang telah ditetapkan dengan peraturan
daerah 1 (satu) tahun terakhir dari perubahan APBD
C.C.C.C. Perubahan Anggaran SKPDPerubahan Anggaran SKPDPerubahan Anggaran SKPDPerubahan Anggaran SKPD
Dalam keadaan mendesak pelaksanaan perubahan APBD untuk
mendanai kegiatan tertentu dapat dilakukan mendahului penetapan perda
perubahan APBD, sepanjang memperoleh persetujuan DPRD. Persetujuan DPRD
dikecualikan untuk menanggulangi keadaan darurat, seperti bencana alam/
sosial.
LampiranLampiranLampiranLampiran
141
DPA-SKPD yang mengalami perubahan akibat dari angka 1 dan 2
dituangkan kembali dalam DPA-SKPD sebagai dasar pelaksanaan. Kegiatan-
kegiatan baru untuk ditampung dalam perubahan APBD dituangkan dalam
RKA-SKPD.
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Agustinus Palebangan; Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Kementerian Dalam Negeri Dirjen Bina Administrasi
Keuangan Daerah
142
METODE TEKNIK PENYUSUNAN METODE TEKNIK PENYUSUNAN METODE TEKNIK PENYUSUNAN METODE TEKNIK PENYUSUNAN
PROGRAM KERJA DPRDPROGRAM KERJA DPRDPROGRAM KERJA DPRDPROGRAM KERJA DPRD
(Penyusunan KUA (Penyusunan KUA (Penyusunan KUA (Penyusunan KUA ––––PPAS Menuju APBD yang Pro Rakyat)PPAS Menuju APBD yang Pro Rakyat)PPAS Menuju APBD yang Pro Rakyat)PPAS Menuju APBD yang Pro Rakyat)
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
10.1 10.1 10.1 10.1 Kebijakan Umum APBD (KUA)Kebijakan Umum APBD (KUA)Kebijakan Umum APBD (KUA)Kebijakan Umum APBD (KUA)
Kebijakan Umum APBD adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang
pendapatan, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1
(satu) tahun. Kepala Daerah berdasarkan RKPD menyusun rancangan kebijakan
umum APBD berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Kepala daerah menyampaikan
rancangan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan
penyusunan RAPD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni
tahun anggaran berikutnya.
Rancangan kebijakan umum APBD yang telah dibahas kepala daerah
bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPD selanjutnya disepakati
menjadi Kebijakan Umum APDB
Gambar Penyusunan KUAGambar Penyusunan KUAGambar Penyusunan KUAGambar Penyusunan KUA
A.A.A.A. Isi Rancangan KUAIsi Rancangan KUAIsi Rancangan KUAIsi Rancangan KUA
Memuat target Pencapaian Kinerja yang terukur dari program-program
yang akan dilaksanakan oleh Pemda untuk setiap urusan pemerintahan daerah.
Disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, Alokasi belanja daerah, sumber
dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya.
10
143
Program-program dimaksud diselaraskan dengan prioritas
pembangunan yang ditetapkan pemerintah. Asumsi yang mendasarinya
mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-
pokok kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah.
B.B.B.B. Siapa Penyusun KUASiapa Penyusun KUASiapa Penyusun KUASiapa Penyusun KUA????
Rancangan KUA disusun oleh Kepala Daerah dibantu oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah.
C.C.C.C. Proses Penyusunan KUAProses Penyusunan KUAProses Penyusunan KUAProses Penyusunan KUA
• Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan Sekretaris Daerah
selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah kepada Kepala Daerah
paling lambat awal Bulan Juni.
• Rancangan KUA disampaikan Kepada Daerah kepada DPRD paling
lambat pertengahan Bulan Juni Tahun Anggaran berjalan untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
• Rancangan KUA yang telah dibahas disepakati menjadi KUA paling
lambat minggu pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan.
D.D.D.D. FoFoFoFormat KUArmat KUArmat KUArmat KUA
I. Pendahuluan
II. Gambaran Umum RKPD
III. Kerangka Ekonomi Makro dan Implikasinya Terhadap Sumber
Pendanaan
IV. Penutup
A)A)A)A) PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan
Uraian kondisi/prestasi yang telah dicapai pada tahun sebelumnya,
tahun berjalan dan perkiraan pencapaian pada tahun anggaran yang akan
datang. Uraian ringkasan identifikasi permasalahan/ hambatan dan tantangan
utama yang dihadapi pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan tahun yang
akan datang.
B)B)B)B) Gambaran Umum RKPDGambaran Umum RKPDGambaran Umum RKPDGambaran Umum RKPD
Memuat gambaran umum prioritas pembangunan daerah yang
diamanatkan dalam RKPD untuk menyesuaikan permasalahan/ hambatan dan
tantangan utama. Menjawab tantangan yang mendesak dan berdampak luas
144
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mendukung upaya
mewujudkan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam RPJMD.
C)C)C)C) Kerangka Ekonomi Kerangka Ekonomi Kerangka Ekonomi Kerangka Ekonomi MakroMakroMakroMakro dan Implikasinya Terhadap Sumber Pendanaandan Implikasinya Terhadap Sumber Pendanaandan Implikasinya Terhadap Sumber Pendanaandan Implikasinya Terhadap Sumber Pendanaan
Dijelaskan tentang Asumsi, kondisi yang telah terjadi dan diperkirakan
akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan KUA. Contoh asumsi dan kondisi:
laju inflasi, pertumbuhan ekonomi regional, tingkat pengangguran regional,
lain-lain asumsi yang relevan dengan kondisi daerah setempat.
Dalam rangka implementasinya asumsi dan kondisi yang menjadi dasar
pencapaian sasaran, KUA harus mampu menjelaskan kebijakan penganggaran
sesuai kebijakan pemerintah. Kondisi yang berbeda akan menghasilkan target/
sasaran yang berbeda. Juga diuraikan tentang perkiraan penerimaan untuk
mendanai seluruh pengeluaran pada tahun yang datang, baik dari PAD, DAU,
DBH, dan DAK maupun dari pinjaman dan hibah
D)D)D)D) PenutupPenutupPenutupPenutup
Demikian rancangan KUA ini disusun untuk dibahas dan disepakati
sebagai dasar penyusunan dan pembahasan prioritas dan plafon anggaran
sementara.
10.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)10.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)10.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)10.2 Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Adalah program prioritas dan patokan batasan maksimum anggaran
yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam
penyusunan RKA-SKPD.
Gambar Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAGambar Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAGambar Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAGambar Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)S)S)S)
145
A.A.A.A. Proses Penyusunan PPASProses Penyusunan PPASProses Penyusunan PPASProses Penyusunan PPAS
Rancangan PPAS disusun berdasarkan KUA yang telah disepakati. Kepala
daerah menyampaikan Rancangan PPAS kepada DPRD untuk dibahas paling
lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Pembahasan
dilakukan TAPD bersama Panitia Anggaran. Rancangan PPAS disepakati menjadi
PPA paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
B.B.B.B. Format PPASFormat PPASFormat PPASFormat PPAS
I. Pendahuluan
II. Kebijakan Umum APBD
III. Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah
IV. Prioritas Program Dan Plafon Anggaran
V. Plafon Anggaran Menurut Organisasi
VI. Penutup
A)A)A)A) PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan
Uraikan kondisi/prestasi yang telah dicapai pada tahun sebelumnya,
tahun berjalan dan perkiraan pencapaian pada tahun anggaran yang akan
datang. Uraikan ringkas identitas permasalahan/ hambatan dan tantangan
utama yang dihadapi pada tahun sebelumnya, tahun berjalan dan tahun yang
akan datang.
B)B)B)B) Kebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBDKebijakan Umum APBD
Memuat gambaran ringkas tentang target pencapaian kinerja yang
terukur dari setiap urusan pemerintahan daerah dan proyeksi pendapatan,
belanja, dan pembiayaan daerah sebagai dasar penentuan prioritas program dan
plafon anggaran menurut bidang pemerintahan.
C)C)C)C) Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan DaerahProyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan DaerahProyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan DaerahProyeksi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Daerah
Memuat penjelasan tentang asumsi makro ekonomi yang disepakati
tentang implikasi kemampuan fiskal daerah, kebijakan yang ditempuh dalam
upaya peningkatan pendapatan daerah, faktor-faktor yang mempengaruhi tidak
terjadinya atau terjadinya peningkatan belanja daerah dan kebijakan
pemerintah daerah di bidang pembiayaan daerah. Penjelasan tersebut secara
ringkas digambarkan dalam ringaksan Proyeksi APBD
146
D)D)D)D) Prioritas Program dan Plafon AnggaranPrioritas Program dan Plafon AnggaranPrioritas Program dan Plafon AnggaranPrioritas Program dan Plafon Anggaran
Menguraikan tentang prioritas dan plafon anggaran yang disepakati
mencakup capaian sasaran program, dasar pertimbangan penentuan besaran
pagu indikatif untuk mencapai sasaran program serta hal-hal yang perlu
mendapat perhatian SKPD dalam menjabarkan program lebih lanjut ke dalam
masing-masing kegiatan
E)E)E)E) PenutupPenutupPenutupPenutup
Demikian rancangan PPAS ini disusun untuk dibahas dan disepakati
sebagai dasar penyusunan Rancangan Perda tentang APBD.
10.3 Penyusunan Nota Kesepakatan KUA dan PPAS10.3 Penyusunan Nota Kesepakatan KUA dan PPAS10.3 Penyusunan Nota Kesepakatan KUA dan PPAS10.3 Penyusunan Nota Kesepakatan KUA dan PPAS
A.A.A.A. Format Nota Kesepakatan KUAFormat Nota Kesepakatan KUAFormat Nota Kesepakatan KUAFormat Nota Kesepakatan KUA
Menyebutkan Pihak-pihak yang Terkait :
I. Pendahuluan
II. Gambaran Umum RKPD
III. Kerangka Ekonomi Makro dan Implikasinya Terhadap Sumber
Pendanaan
IV. Penutup
B. Format Nota Kesepakatan PPA
Menyebutkan Pihak-Pihak yang Terkait :
I. Pendahuluan
II. Kebijakan Umum APBD
III. Proyeksi Pendapatan, Belanja Dan Pembiayaan Daerah
IV. Prioritas Program Dan Plafon Anggaran
V. Plafon Anggaran Menurut Organisasi
VI. Penutup
Daftar Pustaka
Domai T. (2010) Metode Teknik Penyusunan Program Kerja DPRD,
Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan FIA-UB Malang
147
RETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSIRETRIBUSI
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
11.111.111.111.1 PENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUAN
Retribusi adalah salah satu sumber dari pada Penerimaan Asli Daerah, berbagai
kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengembangkan dan
meningkatkan penerimaan daerah dari sektor ini.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan
penerimaan retribusi ini dengan menerbitkan Undang-undang Pajak dan Retribusi
Daerah Nomor 28 Tahun 2009. Salah satu upayanya adalah dengan mengembangkan
objek retribusi. Adapun objek Retribusi tersebut meliputi :
a. Jasa Umum;
b. Jasa Usaha; dan
c. Perizinan Tertentu.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa Retribusi yang dikenakan atas jasa umum
digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum. Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha
digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. Retribusi yang dikenakan atas perizinan
tertentu digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.
A.A.A.A. Retribusi Jasa UmumRetribusi Jasa UmumRetribusi Jasa UmumRetribusi Jasa Umum
Pada dasarnya objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan
atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh prang pribadi atau Badan. Adapun Jenis Retribusi Jasa
Umum adalah :
a. Retribusi Pelayaran Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan
Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
11
148
j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
Disamping itu pula jenis Retribusi dapat tidak dipungut apabila potensi
penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan
pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Berikut ini akan dikemukakan tentang :
� Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan di puskesmas,
puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum
daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran.
Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan
persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi :
a. PengambiIan/pengumpuIan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan
sementara;
b. Pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau Iokasi pembuangan
sementara ke Iokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan
c. Penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah.
Yang tidak termasuk objek Retribusi adalah pelayanan kebersihan jalan
umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
� Berkenaan dengan objek Retribusi ada Penggantian Biaya. Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Akta Catatan Sipil adalah pelayanan :
a. Kartu tanda penduduk;
b. Kartu keterangan bertempat tinggal;
c. Kartu identitas kerja;
d. Kartu penduduk sementara;
e. Kartu identitas penduduk musiman;
f. Kartu keluarga, dan
g. Akta catatan sipil yang meliputi akta perkawinan, akta perceraian, akta
pengesahan dan pengakuan anak, akta ganti nama bagi warga negara asing,
dan akta kematian.
� Adapun yang dimaksudkan dengan objek Retribusi Pelayanan Pemakaman dan
Pengabuan Mayat adalah pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat yang
meliputi :
149
a. Pelayanan penguburan/pemakaman termasuk penggalian dan pengurukan,
pembakaran/pengabuan mayat; dan
b. Sewa tempat pemakaman atau pembakaran/pengabuan mayat yang dimiliki
atau dikelola Pemerintah Daerah.
� Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayanan
parlor di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
� Objek Retribusi Pelayanan adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/ sederhana,
berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus
disediakan untuk pedagang. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan
fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi pengujian Kendaraan Bermotor adalah pelayanan pengujian
kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor di air, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
� Objek Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran adalah pelayanan
pemeriksaan dan/atau pengujian alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan
kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa oleh Pemerintah Daerah terhadap alat-alat
pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa
yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh masyarakat.
� Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta adalah penyediaan peta yang dibuat
oleh Pemerintah Daerah.
� Objek Retribusi penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus adalah pelayanan
penyediaan dan/atau penyedotan kakus yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan penyediaan dan/atau
penyedotan kakus yang disediakan dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD
dan pihak swasta.
� Objek Retribusi pengolahan Limbah Cair adalah pelayanan pengolahan limbah cair
rumah tangga, perkantoran, dan industri yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola secara khusus oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk instalasi pengolahan
limbah cair.
� Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan pengolahan limbah cair yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, pihak
swasta, dan pembuangan limbah cair secara langsung ke sungai, drainase,
dan/atau sarana pembuangan lainnya.
� Objek Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang adalah :
a. Pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya; dan
b. Pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
150
� Objek Retribusi Pelayanan Pendidikan adalah pelayanan penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan teknis oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek
Retribusi adalah :
a. Pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah;
b. Pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
c. Pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh BUNIN, BUMD; dan
d. Pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak swasta.
� Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang
untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan,
dan kepentingan umum. Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau
Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum.
B.B.B.B. Retribusi JRetribusi JRetribusi JRetribusi Jasa Usahaasa Usahaasa Usahaasa Usaha
Pada dasarnya objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi :
a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum
dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
b. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai
oleh pihak swasta.
Adapun jenis Retribusi Jasa Usaha adalah :
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi Rumah Potong Hewan;
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Untuk memberikan penjelasan tentang jenis Retribusi ini adalah sebagai
berikut:
151
� Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah adalah pemakaian kekayaan Daerah.
Dikecualikan dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah adalah penggunaan
tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
� Objek Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan adalah penyediaan fasilitas pasar
grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan,
yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek
Retribusi adalah fasilitas pasar yang disediakan, dimiliki, dan/ atau dikelola oleh
BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Tempat Pelelangan adalah penyediaan tempat pelelangan yang
secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan
ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas
lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. Termasuk objek Retribusi adalah
tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan
sebagai tempat pelelangan. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah tempat
pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan
pihak swasta.
� Objek Retribusi Terminal adalah pelayanan penyediaan tempat parkir untuk
kendaraan penumpang dan bis umum, tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya
di lingkungan terminal, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah terminal yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta.
� Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah pelayanan tempat khusus parkir yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari
objek Retribusi adalah pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki, dan/
atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah pelayanan tempat
penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari obyek Retribusi adalah tempat
penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Rumah Potong Hewan adalah pelayanan penyediaan fasilitas
rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan
hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan
penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki,
dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
152
� Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan,
termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki,
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi
adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola
oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga adalah pelayanan tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah. Dikecualikan dan objek Retribusi adalah pelayanan tempat
rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh
Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Penyeberangan di Air adalah pelayanan penyeberangan orang atau
barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah pelayanan
penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
� Objek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah Penjualan hasil produksi
Usaha Pemerintah Daerah. Dikecualikan dari objek Retribusi adalah Penjualan
produksi oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Selanjutnya dikemukakan bahwa subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang
pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha yang ber-
sangkutan. Disamping itu wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa
Usaha.
C.C.C.C. Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Perizinan Tertentu Retribusi Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan Perizinan tertentu oleh
Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Adapun jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi :
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
� Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan adalah pemberian izin untuk
mendirikan suatu bangunan. Pemberian Izin tersebut meliputi kegiatan peninjauan
153
desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan
rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan
koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien
ketinggian bangunan (KKR), dan pengawasan penggunaan bangunan yang
meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat keselamatan bagi yang
menempati bangunan tersebut. Adapun yang tidak termasuk objek Retribusi adalah
pemberian izin untuk bangunan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
� Objek Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah pemberian izin
untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu.
� Objek Retribusi Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan
kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya,
kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan
usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban,
keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan
memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Adapun yang tidak termasuk
objek Retribusi adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
� Objek Retribusi Izin Trayek adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau
Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada suatu
atau beberapa trayek tertentu.
� Objek Retribusi Izin Usaha Perikanan adalah pemberian izin kepada orang pribadi
atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan dan pembudidayaan
ikan.
1. Tata Cara Penghitungan Retribusi1. Tata Cara Penghitungan Retribusi1. Tata Cara Penghitungan Retribusi1. Tata Cara Penghitungan Retribusi
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi maka:
besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat
penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah
penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah
Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan
jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Rumus yang digunakan harus mencerminkan
beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.
Sedangkan yang berkaitan dengan tarif Retribusi adalah nilai rupiah atau persentase
tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
Dimana tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan
sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.
154
2. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi2. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi2. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi2. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
Pada dasarnya prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum
ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas
pelayanan tersebut. Adapun mengenai biaya meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya
memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup seba-
gian biaya. Sedangkan retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta hanya memperhitungkan biaya pencetakan
dan pengadministrasian.
Adapun prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa
Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Dimana
keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa
usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Selanjutnya prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan
pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penetapan hokum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin
tersebut.
Berkenaan dengan masa tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga)
tahun sekali. Peninjauan tarif Retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks
harga dan perkembangan perekonomian.
11.211.211.211.2 PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATPENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATPENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATPENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH URAN DAERAH URAN DAERAH URAN DAERAH
TENTANG RETRIBUSITENTANG RETRIBUSITENTANG RETRIBUSITENTANG RETRIBUSI
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tentang
Retribusi tidak dapat berlaku surut. Dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi paling
sedikit mengatur ketentuan mengenai :
a. Nama, objek, dan Subjek Retribusi;
b. Golongan Retribusi;
c. Cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;
d. Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;
e. Struktur dan besarnya tarif Retribusi;
f. Wilayah pemungutan;
g. Penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan
pembayaran;
h. Sanksi administratif;
155
i. Penagihan;
j. Penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; dan
k. Tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur ketentuan mengenai :
a. Masa Retribusi;
b. Pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu
atas pokok Retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau;
c. Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.
Pengurangan dan keringanan diberikan dengan melihat kemampuan Wajib
Retribusi. Pembebasan Retribusi, diberikan dengan melihat fungsi objek Retribusi. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong
dalam Retribusi Perizinan Tertentu harus terlebih dahulu disosialisasikan dengan
masyarakat sebelum ditetapkan.
11.311.311.311.3 PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAHPENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAHPENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAHPENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSITENTANG PAJAK DAN RETRIBUSITENTANG PAJAK DAN RETRIBUSITENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI
Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah
disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Sedangkan rancangan Peraturan Daerah
kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh
bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada
gubernur dan Menteri Keuangan. paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal persetujuan dimaksud. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap
Rancangan Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah
dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
Gubernur berkewajiban melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan
Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan
Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
lain yang lebih tinggi. Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Berkaitan dengan hasil evaluasi yang telah
dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan.
Selanjutnya hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur
untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada
bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan
Daerah dimaksud. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan maka harus disampaikan
156
dengan disertai alasan penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/
walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan
Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan
Peraturan Daerah kabupaten/kota. Apabila hasil evaluasi berupa persetujuan
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan,.
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan
oleh Menteri Keuangan kepada. Menteri Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah.
Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampailan oleh Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan
Daerah dimaksud kepada Presiden. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak
diterimanya Peraturan Daerah. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan
pembatalan Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan
selanjutnya DPRD bersama, Kepala. Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika
provinsi/ kabupaten/ kota dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah
dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan,
Kepala. Daerah dapat mengajukan keberatan kepada. Mahkamah Agung. Jika
keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mernpunyai kekuatan hukum.
Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Peraturan Daerah Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. Pelanggaran
terhadap ketentuan oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan
Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi. Tata cara pelaksanaan
penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau
restitusi ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
11.411.411.411.4 TATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSITATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSITATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSITATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Pada dasarnya Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen
lain yang dipersamakan. Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis,
kupon, dan kartu langganan. Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat
157
pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga.
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. Penagihan Retribusi terutang
didahului dengan Surat Teguran. Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
11.511.511.511.5 KEBERATANKEBERATANKEBERATANKEBERATAN
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-
alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya. Keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di
luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi. Pengajuan keberatan tidak, menunda
kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan
dengan menerbitkan Surat Keputusan keberatan. Ketentuan adalah untuk memberikan
kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi
keputusan oleh Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang
terutang. Apabila jangka waktu telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Jika pengajuan
keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
paling lama 12 (dua belas) bulan. Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
11.611.611.611.6 PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Apabila terjadi atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak
atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala
Daerah. Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak harus
memberikan keputusan. Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi
harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu telah dilampaui dan Kepala
Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran
158
Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang Pajak atau utang
Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi langsung diperhitungkan
untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak atau utang Retribusi tersebut.
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB. Jika
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2
(dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
11.711.711.711.7 KEDALUWARSA PENAGIHANKEDALUWARSA PENAGIHANKEDALUWARSA PENAGIHANKEDALUWARSA PENAGIHAN
Apabila hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali
apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
Kedaluwarsa penagihan Pajak tertangguh apabila :
a. Diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa kedaluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. Pengakuan utang Pajak
secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih
mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
Pengakuan utang secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan
angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Selanjutnya hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi,
kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. Kedaluwarsa
penagihan Retribusi tertangguh jika :
a. Diterbitkan Surat Teguran; atau
b. Ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun
tidak langsung.
Dalam, hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana kedaluwarsa penagihan
dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. Pengakuan utang Retribusi
secara adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Pengakuan utang
159
Retribusi secara tidak langsung dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
Berhubungan dengan piutang Pajak dan Retribusi yang tidak mungkin ditagih
lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
Berdasarkan kewenangannya Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang
Pajak dan/atau Retribusi provinsi yang sudah kedaluwarsa. Bupati/walikota
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi kabupaten/kota
yang sudah kedaluwarsa.
11.811.811.811.8 PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAANPEMBUKUAN DAN PEMERIKSAANPEMBUKUAN DAN PEMERIKSAANPEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Pajak dan Retribusi daerah
maka wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.
300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan. Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta
tata cara pembukuan atau pencatatan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Sesuai dengan kewenangannya maka Kepala Daerah berwenang melakukan
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan
kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah dan Retribusi. Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa
wajib :
a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak
atau objek Retribusi yang terutang;
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap
perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. Memberikan keterangan yang diperlukan.
11.911.911.911.9 INSENTIF PEMUNGUTANINSENTIF PEMUNGUTANINSENTIF PEMUNGUTANINSENTIF PEMUNGUTAN
Berdasarkan hasil kinerja dan ketentuan khusus yang diperoleh oleh instansi
yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu. Pemberian insentif ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya olah Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah. Larangan berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh
160
Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
Pengecualian ini dari ketentuan adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam
sidang pengadilan;
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan
daerah.
Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis
kepada pejabat agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. Untuk kepentingan pemeriksaan di
pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan
Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara perdata, Kepala Daerah dapat memberi izin
tertulis kepada pejabat dan tenaga untuk memberikan dan memperlihatkan bukti
tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. Permintaan hakim harus
menyebutkan nama tersangka dan nama tergugat, keterangan yang diminta, serta
kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang
diminta.
11.1011.1011.1011.10 PENYIDIKANPENYIDIKANPENYIDIKANPENYIDIKAN
Pejabat Pegawai Negeri Sipii tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wewenang Penyidik meliputi :
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
161
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang,
benda, dan/ atau dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan
Retribusi;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan; dan/atau
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
l. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyi-
dikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
11.1111.1111.1111.11 KETENTUAN PIDANAKETENTUAN PIDANAKETENTUAN PIDANAKETENTUAN PIDANA
Berkaitan dengan ketentuan pidana wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Wajib Pajak yang dengan sengaja menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak
benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar.
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak
atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang
bersangkutan. Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
162
atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah). Selanjutnya pejabat atau tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau
seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Penuntutan terhadap tindak pidana hanya
dilakukan alas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Tuntutan pidana
sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan
selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana
pengaduan. Denda merupakan penerimaan negara.
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
163
PAJAK DAERAHPAJAK DAERAHPAJAK DAERAHPAJAK DAERAH
BAB BAB BAB BAB
Tjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin DomaiTjahjanulin Domai
12.112.112.112.1 PENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUANPENDAHULUAN
Dengan diimplementasikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-
luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, dengan
demikian pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian
daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah, dan retribusi daerah dan
pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Dengan demikian kebijakan pajak daerah
dan retribusi daerah dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan
keadilan, peran serta masyarakat, dan Akuntabilitas dengan memperhatikan potensi
daerah. (Tjahjanulin, 2010)
Adapun pengertian pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutama oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan yang
dimaksud dengan retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. (Tunggal, 2009)
12.212.212.212.2 JENIS PAJAKJENIS PAJAKJENIS PAJAKJENIS PAJAK
Berdasarkan pada ketentuan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah ada bermacam-macam jenis pajak, apabila dilihat dari kewenangannya maka
ada kewenangan provinsi dan ada kewenangan kabupaten dan kota. Adapun jenis
pajak provinsi terdiri atas :
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
12
164
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan, dan
e. Pajak Rokok.
Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri atas :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Berkenaan dengan jenis pajak provinsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.a.a.a. Pajak Kendaraan BermotorPajak Kendaraan BermotorPajak Kendaraan BermotorPajak Kendaraan Bermotor
Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/ atau penguasaan
Kendaraan Bermotor. Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis
jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor
GT 5 (lima Gross Tonnage) dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
Adapun subjek dari Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan
yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. Sedangkan Wajib Pajak
Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan
Bermotor. Apabila Wajib Pajak Badan, maka kewajiban perpajakannya diwakili oleh
pengurus atau kuasa Badan tersebut.
� Dasar Pengenaan PajakDasar Pengenaan PajakDasar Pengenaan PajakDasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak bagi Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari
2 (dua) unsur pokok:
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor, dan
b. Bobot yang mencerminkan secara efektif tingkat kerusakan jalan dan/ atau
pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum,
termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. Sedangkan bobot
dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu),
dengan pengertian sebagai berikut :
165
a. Koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran
lingkungan oleh pengguna Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih
dalam batas toleransi; dan
b. Koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan Kendaraan Bermotor
tersebut dianggap melewati batas toleransi.
Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum
atas suatu Kendaraan Bermotor. Dimana Harga Pasaran Umum adalah harga rata-
rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat. Berkenaan dengan
Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada
minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
Apabila Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui,
Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh
faktor-faktor :
a. Harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/ atau satuan tenaga yang
sama;
b. Penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
c. Harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
d. Harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor
yang sama;
e. Harga Kendaraan Bermotor dengan pembuatan Kendaraan Bermotor;
f. Harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
g. Harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor
Barang (PIB)
Sedangkan bobot dihitung berdasarkan faktor-faktor :
a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/ as, roda dan berat
Kendaraan Bermotor;
b. Jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin,
gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan
c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor
yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 atau 4 tak, dan isi silinder
Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dinyatakan dalam
suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah
mendapatkan pertimbangan dari Menteri Keuangan.
� Tarif Pajak Kendaraan BermotorTarif Pajak Kendaraan BermotorTarif Pajak Kendaraan BermotorTarif Pajak Kendaraan Bermotor
Persoalan yang berkenaan dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor dapat
dikemukakan sebagai berikut :
(1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
166
a) Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar
1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen)
b) Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat
ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Kepemilikan Kendaraan
Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama.
(2) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkatan umum, ambulan, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/
TNI/ POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
(3) Bagi tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling
tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen). Semua Tarif Pajak Kendaraan
Bermotor tersebut di atas ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang
dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pemungutan
Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor. Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas
daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 12 (dua belas) bulan
berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor. Pajak
Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka. Untuk Pajak Kendaraan Bermotor
yang karena keadaan kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua
belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar untuk porsi
Masa Pajak yang belum dilalui.
Adapun yang dimaksud dengan keadaan kahar adalah suatu keadaan yang
terjadi di luar kehendak atau kekuasaan wajib pajak, misal Kendaraan Motor tidak
didapat digunakan lagi karena bencana alam. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur. Sedangkan
berkenaan dengan hasil penerimaan Pajak Kendaraan Motor paling sedikit 10%
(sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota,
dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan
moda dan sarana transportasi umum.
� Bea BaliBea BaliBea BaliBea Balik Nama Kendaraan Bermotork Nama Kendaraan Bermotork Nama Kendaraan Bermotork Nama Kendaraan Bermotor
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Motor adalah penyerahan
kepemilikan Kendaraan Motor. Termasuk dalam pengertian Kendaraan Motor
adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di
167
semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan
ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross
Tonnage). Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah :
a. Kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/ atau dikuasai kedutaan, konsultan,
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga
internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
dan
d. Digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf
internasional
Berkaitan dengan Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Berotor adalah
orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan
yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
Adapun dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai
Jual Kendaraan Bermotor. Dimana dalam hal tarif Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a. Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen); dan
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen.
Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang
tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut :
a. Penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan
b. Penyerahan kedua seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima
persen. Selanjutnya tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Berkaitan dengan penetapan besaran Pokok Pajak Balik Nama Kendaraan
Bermotor yang tertuang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
penggunaan pajak. Sedangkan dalam hal Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
Dimana pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat
pendaftaran.
Bagi wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan
penyerahan Kendaraan Bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. Sedangkan bagi orang pribadi atau Badan
yang menyerahkan Kendaraan Bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan
168
tersebut kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. Dalam hal Laporan tertulis paling sedikit
berisi :
a) Nama dan alamat orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan;
b) Tanggal, bulan, dan tahun penyerahan;
c) Nomor polisi kendaraan bermotor;
d) Lampiran fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan
e) Khusus untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan nomor pas kapal.
� Pajak Bahan Bakar Kendaraan BermotorPajak Bahan Bakar Kendaraan BermotorPajak Bahan Bakar Kendaraan BermotorPajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Berdasarkan undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi yang
dimaksud dengan objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk
kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di
air.
Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah
orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
adalah produsen dan importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual
maupun untuk digunakan sendiri.
Sedangkan dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah
Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai. Berkaitan dengan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling
sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi. Dengan kewenangannya
pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan presiden. Kewenangan
Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
dilakukan dalam hal :
a) Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% (seratus tiga puluh
persen) dari asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan;
atau
b) Diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang ini. Adapun
169
mengenai tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Sedangkan besaran pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
dasar pengenaan pajak.
� Pajak Air PermukaanPajak Air PermukaanPajak Air PermukaanPajak Air Permukaan
Pengertian Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Permukaan. Dalam pajak air permukaan dikecualikan dari objek
Pajak Air Permukaan adalah :
a) Pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
dan
b) Pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Pengertian dari subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan
yang dapat melakukan pengambilan dan pemanfaatan Air Permukaan. Sedangkan
yang dimaksudkan dengan Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau
Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
Dalam hal dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air
Permukaan. Dimana Nilai Perolehan Air Permukaan dinyatakan dalam rupiah yang
dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
a. Jenis sumber air;
b. Lokasi sumber air;
c. Tujuan pengambilan dan pemanfaatan air;
d. Volume air yang diambil dan dimanfaatkan;
e. Kualitas air;
f. Luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air; dan
g. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
Berkaitan dengan besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur. Mengenai tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Berkaitan dengan besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Dalam hal
pemungutan Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat air berada.
170
� Pajak RokokPajak RokokPajak RokokPajak Rokok
Dalam hal objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Pengertian Rokok
meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Disamping itu pula dikecualikan dari
objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang cukai.
Berkaitan dengan pengertian subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
Sedangkan wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/ produsen dan
importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok pengusaha Barang Kena
Cukai. Dalam hal pemungutan Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang
berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Hasil
daripada Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah disetor ke rekening
kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Dalam hal Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh
Pemerintah terhadap rokok.
Mengenai tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari
cukai rokok. Sedangkan besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Berkaitan dengan
penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/ kota,
dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan
kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
� Pajak HotelPajak HotelPajak HotelPajak Hotel
Yang dimaksud objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh
Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel
yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan. Adapun jasa penunjang adalah fasilitas telepon, faksimile,
teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis
lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel. Disamping itu tidak termasuk objek
Pajak Hotel adalah :
a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah;
b. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan,
dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel
yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Adapun pengertian tentang subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau
Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang
171
mengusahakan Hotel. Sedangkan Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau
Badan yang mengusahakan Hotel.
Dalam hal dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau
yang seharusnya dibayar kepada Hotel. Sedangkan tarif Pajak Hotel ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Dimana tarif Pajak Hotel ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Sedangkan besaran pokok Pajak Hotel yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Dalam hal
Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Hotel berlokasi.
� Pajak RestoranPajak RestoranPajak RestoranPajak Restoran
Yang dimaksud dengan Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang
disediakan oleh Restoran. Adapun pelayanan yang disediakan Restoran meliputi
pelayanan penjualan makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik
dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain, yang tidak termasuk objek
Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai
penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Adapun pengertian daripada subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau
Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Sedangkan wajib
Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.
Dalam hal dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang
diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. Sedangkan tarif Pajak Restoran
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Dimana tarif Pajak Restoran
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan besaran pokok Pajak Restoran yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah
daerah tempat Restoran berlokasi.
� Pajak Hiburan Pajak Hiburan Pajak Hiburan Pajak Hiburan
Pengertian daripada objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan
Hiburan dengan dipungut bayaran. Dalam hal pengertian Hiburan adalah :
a. Tontonan film;
b. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. Pameran;
e. Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. Sirkus, akrobat, dan sulap;
g. Permainan bilyar, golf, dan boling;
h. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan
172
j. Pertandingan olahraga.
Pengertian tentang subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan
yang menikmati Hiburan. Sedangkan Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi
atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan. Dalam hal pengeluaran Pajak dasar
pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya
diterima oleh penyelenggara Hiburan. Sedangkan jumlah uang yang seharusnya
diterima termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada
penerima jasa Hiburan.
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima
persen). Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan,
diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi
uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen). Khusus Hiburan kesenian rakyat/ tradisional dikenakan tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Semua tarif
Pajak Hiburan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dimana besaran
pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan
dasar pengenaan pajak. Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat Hiburan diselenggarakan.
� Pajak ReklamePajak ReklamePajak ReklamePajak Reklame
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
Sedangkan objek Pajak meliputi :
a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat, stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame suara;
i. Reklame film/slide; dan
j. Reklame peragaan.
Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah :
a. Penyelenggaraan Reklame melalui Internet, televisi, radio, warta harian,
warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. Label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
173
c. Nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan
tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
dan
e. Penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Adapun pengertian daripada subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau
Badan yang menggunakan Reklame. Sedangkan Wajib Pajak Reklame adalah orang
pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. Apabila dalam hat Reklame
diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib
Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut. Selanjutnya dalam hal
Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib
Pajak Reklame.
Adapun hal yang berkenaan dengan dasar pengenaan Pajak Reklame adalah
Nilai Sewa Reklame. Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai
Sewa Reklame ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. Apabila dalam hal
Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame dihitung dengan
memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu,
jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. Adapun cara
perhitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dimana
hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima
persen), dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan besaran pokok Pajak
Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
pengenaan pajak. Dalam pemungutannya pajak Reklame yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
� Pajak Penerangan JalanPajak Penerangan JalanPajak Penerangan JalanPajak Penerangan Jalan
Pengertian tentang objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
Listrik yang dihasilkan sendiri meliputi seluruh pembangkit listrik. Pengecualian
dari objek Pajak Penerangan Jalan adalah :
a) Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b) Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan,
konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu
yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d) Penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
174
Adapun yang dimaksudkan dengan subjek Pajak Penerangan Jalan adalah
orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik. Sedangkan
Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
tenaga listrik. Dan dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib
Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.
Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
Nilai Jual Tenaga Listrik ditetapkan :
a. Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai
Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan
biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b. Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah
yang bersangkutan.
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi
sebesar 3% (tiga persen). Apabila penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan
sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu
koma lima persen). Sedangkan tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Dimana besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Pajak
Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan
tenaga listrik. Sedangkan Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.
� Pajak Mineral Bukan Logam dan BatuanPajak Mineral Bukan Logam dan BatuanPajak Mineral Bukan Logam dan BatuanPajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Yang dimaksudkan dengan objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi :
a. Asbes;
b. Batu tulis;
c. Batu setengah permata;
d. Batu kapur;
e. Batu apung;
f. Batu permata;
g. Bentonit;
h. Dolomin;
i. Feldspar;
j. Garam batu (halite);
k. Grafit;
l. Granit/ andesit;
m. Gips;
n. Kalsit;
o. Kaolin;
p. Leusit;
q. Magnesit;
r. Mika;
s. Marmer;
t. Nitrat;
u. Opsidien;
v. Oker;
w. Pasri dan kerikil;
x. Pasir kuarsa;
175
y. Perlit;
z. Phospat;
aa. Talk;
bb. Tanah serap (fullers earth); cc. Tanah diatome;
dd. Tanah liat;
ee. Tawas (alum);
ff. Tras;
gg. Yarosif;
hh. Zeolit;
ii. Basal;
jj. Trakkit; dan
kk. Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Adapun pengecualian dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah :
a. Kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata
tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah
untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, pena-
naman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
b. Kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan
ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara
komersial; dan
c. Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Adapun pengertian tentang subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan dan
Batuan. Sedangkan yang dimaksud dengan wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam
dan Batuan.
Adapun dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan. Dinama nilai jual
dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar
atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan nilai pasar adalah harga rata-rata yang
berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan. Dalam hal nilai
pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sulit diperoleh,
digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam
bidang pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Adapun dalam hal tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan
paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). Lebih lanjut dikemukakan tarif
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dalam penentuan besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar
176
pengenaan pajak. Dalam hal pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan.
� Pajak ParkirPajak ParkirPajak ParkirPajak Parkir
Pengertian objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor. Adapun yang tidak termasuk objek pajak adalah :
a. Penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. Penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri;
c. Penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara
asing dengan asas timbal balik; dan
d. Penyelenggaraan tempat Parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Adapun pengertian daripada subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau
Badan yang melakukan parlor kendaraan bermotor. Sedangkan Wajib Pajak Parkir
adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir. Adapun
dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggaraan tempat Parkir. Selanjutnya dasar pengenaan Pajak
Parkir dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Penentuan dari pada tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30%
(tiga puluh persen). Selanjutnya tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Dimana besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Sedangkan Pajak Parkir yang
terutang dipungut di wilayah daerah tempat Parkir berlokasi.
� Pajak Air TanahPajak Air TanahPajak Air TanahPajak Air Tanah
Yang dimaksudkan dengan objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Adapun dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah
adalah :
a. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan
b. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan
Peraturan Daerah.
Pengertian tentang subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Sedangkan wajib
Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang dilakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
177
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. Nilai
Perolehan Air Tanah dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan memper-
timbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
a. Jenis sumber air;
b. Lokasi sumber air;
c. Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. Volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan
e. Kualitas air; dan
f. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/ atau
pemanfaatan air.
Penggunaan faktor-faktor disesuaikan dengan kondisi masing-masing
Daerah. Dalam penetapan besarnya Nilai Perolehan Air Tanah ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
Adapun berkenaan dengan tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi
sebesar 20% (dua puluh persen). Selanjutnya tarif Pajak Air Tanah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Dimana besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Sedangkan
Pajak Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air diambil.
� Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet
Yang dimaksudkan dengan objek Pajak Sarang Burung Walet adalah
pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. Adapun yang tidak
termasuk objek pajak adalah :
a. pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP);
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pengertian dari pada Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi
atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung
Walet sedangkan Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau
Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung
Walet.
Sedangkan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual
Sarang Burung Walet. Nilai Jual Sarang Burung Walet dihitung berdasarkan
perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di
daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet.
Dalam hal Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen) selanjutnya Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Adapun Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang
178
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak
sedangkan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
� Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan PerkotaanPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan PerkotaanPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan PerkotaanPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pengertian dari pada Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Adapun yang termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks
Bangunan tersebut;
b. Jalan tol;
c. Kolam renang;
d. Pagar mewah;
e. Tempat olahraga;
f. Galangan kapal, dermaga;
g. Taman mewah;
h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. Menara.
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
c. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan
itu;
d. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
dibebani suatu hak;
e. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan
Dalam hal besarnya Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
179
Selanjutnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Pengertian tentang subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Selanjutnya yang
dimaksud dengan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah
NJOP. Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak
tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah. Sedangkan tarif Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%
(nol koma tiga persen), dan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Adapun besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan
pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu)
tahun kalender. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Tempat pajak yang terutang adalah di
wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP. Adapun SPOP harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada
Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek
Pajak.
Selanjutnya berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT.
Berdasarkan kewengannya Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-
hal sebagai berikut :
a. SPOP tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh
Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP
yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
180
� Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dimana perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan meliputi :
a. Pemindahan hak karena :
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat;
5) Waris;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) Penunjukan pembeli dalam lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) Penggabungan usaha;
11) Peleburan usaha;
12) Pemekaran usaha; atau
13) Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
1) Kelanjutan pelepasan hak; atau
2) Diluar pelepasan hak.
Sedangkan hak atas tanah adalah :
a. Hak milik;
b. Hak guna usaha;
c. Hak guna bangunan;
d. Hak pakai;
e. Hak milik atas satuan ruman susun; dan
f. Hak pengelolaan.
Disamping itu pula ada objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh yaitu:
a. Perwakilan dipiomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalanken usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
181
d. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pengertian tentang subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan. Sedangkan wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
Berkaitan dengan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak dalam
hal :
a. Jual belil adalah harga transaksi;
b. Tukar menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang.
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana tidak diketahui atau lebih
rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah
NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dalam hal perolehan hak karena waris atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
182
dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah). Selanjutnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena ditetapkan
dengan peraturan Daerah.
Penetapan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan
paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah
dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Selanjutnya bea perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
Tanah dan/atau Bangunan berada.
Dalam hal yang berhubungan dengan saat terutangnya pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk :
a) Jual bell adalah sejak dibuat dan ditandatanganinya akta;
b) Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d) Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e) Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor bidang pertanahan;
f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
h) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
i) Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
k) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l) Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
Selanjutya Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan
hak. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan
183
bukti pembayaran pajak. Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara
hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan setelah wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Kepala kantor
bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau
pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak.
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi
pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepala Kepala Daerah paling lambat pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. Tata cara pelaporan bagi pejabat diatur
dengan Peraturan Kepala Daerah. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala
kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Pejabat Pembuat Akta
Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang
melanggar ketentuan dikenakan sanksi administratif berupa Benda sebesar
Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. Kepala
kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12.312.312.312.3 BAGI HASIL PAJAK PROVINSIBAGI HASIL PAJAK PROVINSIBAGI HASIL PAJAK PROVINSIBAGI HASIL PAJAK PROVINSI
Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/ yang
di provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh persen);
b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
c. Hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kola sebesar 70%
(tujuh puluh persen); dan
d. Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar
50% (lima puluh persen).
Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada
hanya. pada 1 (situ) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan
dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan
puluh persen). Bagian kabupaten/kota ditetapkan dengan memperhatikan aspek
pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
184
12.412.412.412.4 PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH
TENTANTENTANTENTANTENTANG PAJAKG PAJAKG PAJAKG PAJAK
Semua pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan Peraturan Daerah
tentang Pajak tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit
mengatur ketentuan mengenai :
1. Nama, objek, dan Subjek Pajak;
2. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
3. Wilayah pemungutan;
4. Masa Pajak;
5. Penetapan;
6. Tata cara pembayaran dan penagihan;
7. Kedaluwarsa;
8. Sanksi administratif; dan
9. Tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai :
1) Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu
atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
2) Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
3) Asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan
pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara using sesuai dengan
kelaziman internasional.
1.1.1.1. Tata Cara Pemungutan PajakTata Cara Pemungutan PajakTata Cara Pemungutan PajakTata Cara Pemungutan Pajak
Dalam Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. Dimana setiap Wajib Pajak
wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala
Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Wajib Pajak
yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD,
SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala
Daerah dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
185
2) Jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu
tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam surat Teguran;
3) Jika kewajiban mengisi SPTPD tidal( dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data barn dan/atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang
kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam SKPDKRT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan tidak dikenakan jika Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. Jumlah pajak yang
terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrant berupa bunga
sebesar, 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajiik yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
saat terutangnya pajak.
2.2.2.2. Surat Tagihan Surat Tagihan Surat Tagihan Surat Tagihan PajakPajakPajakPajak
Kepala Daerah berdasarkan pada kewenangannya dapat menerbitkan STPD
jika:
a. Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD ditambah dengan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama
15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. SKPD yang tidak atau kurang
dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
3.3.3.3. Tata Cara Pembayaran dan PenagihanTata Cara Pembayaran dan PenagihanTata Cara Pembayaran dan PenagihanTata Cara Pembayaran dan Penagihan
Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya
pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib
Pajak. SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
186
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Kepala
Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan.
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang
tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan
Surat Paksa.
4.4.4.4. Keberatan dan BandingKeberatan dan BandingKeberatan dan BandingKeberatan dan Banding
Bagi setiap wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Bagi wajib pajak keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Keberatan dapat
diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap
sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. Tanda penerimaan surat
keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau
tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti
penerimaan surat keberatan.
Sesuai dengan kewenangannya Kepala Daerah dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan Kepala Daerah atas keberatan
dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah
187
besarnya pajak yang terutang. Apabila jangka waktu telah lewat dan Kepala Daerah
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
Dalam hal banding Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah. Permohonan banding diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan
tersebut. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar
pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Bagi wajib pajak jika pengajuan keberatan atau permohonan banding
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling
Lama 24 (dua puluh empat) bulan. Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKPDLB. Apabila keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan. Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) tidak dikenakan. Selanjutnya dalam
hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
5.5.5.5. Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi AdministratifPengurangan Sanksi AdministratifPengurangan Sanksi AdministratifPengurangan Sanksi Administratif
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah dapat
membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang
dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah. Kepala Daerah dapat :
a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda,
dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. Mengurangkan atau membatalkan STPD;
188
d. Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah