Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik...

37
81 Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabire “Suku Papua pantai. Seruai, Biak, Merauke, Nabire Jayapura dan Papua Gunung, Dani, Moni, dan Mee (Ekari)” Suku non Papua Ambon, NNT, Bugis, Makassar, Ternate, Batak, Jawa, Manado Toraja dan Kalimantan”. Pengantar Dalam kehidupan bermasyarakat relasi menjadi penting untuk mengantarkan setiap individu, atau kelompok dalam suatu suasana sosial yang cair dan hidup. Dalam suasana sosial yang cair dan hidup diawali dari berbagai aktivitas yang terjadi dalam kehidupan ber- masyarakat. Berbagai aktivitas yang dilakukan baik individu maupun secara bersama selalu berkaitan dengan tuntutan kebutuhan dari setiap individu dan keluarga. Dengan dorongan kebutuhan tersebut membuat setiap individu harus membuka diri untuk saling berhubungan satu sama lain dengan mengedepankan kerja sama yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan kerja sama tersebut. Namun dalam setiap kehidupan sosial tentu relasi yang terjadi tidak selalu berjalan dalam suasana seperti yang diharapkan banyak individu. Harapan oleh banyak orang dalam kehidupan sosial adalah terjadinya sebuah relasi yang menuntun dan menempatkan setiap individu dalam aktivitas relasi yang lebih baik dan tetap terjaga. Tetapi impian relasi yang normal itu pun terhalang dengan latarbelakang setiap individu maupun kelompok yang berbeda, baik hubungannya dengan aktivitas, tujuan, dan tradisi. Dari berbagai perbedaan ini melahirkan perilaku

Transcript of Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik...

Page 1: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

81

Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabire

“Suku Papua pantai. Seruai, Biak, Merauke, Nabire Jayapura dan Papua Gunung, Dani, Moni, dan Mee (Ekari)” Suku non Papua Ambon, NNT, Bugis, Makassar, Ternate, Batak, Jawa, Manado Toraja dan Kalimantan”.

Pengantar

Dalam kehidupan bermasyarakat relasi menjadi penting untuk mengantarkan setiap individu, atau kelompok dalam suatu suasana sosial yang cair dan hidup. Dalam suasana sosial yang cair dan hidup diawali dari berbagai aktivitas yang terjadi dalam kehidupan ber-masyarakat. Berbagai aktivitas yang dilakukan baik individu maupun secara bersama selalu berkaitan dengan tuntutan kebutuhan dari setiap individu dan keluarga. Dengan dorongan kebutuhan tersebut membuat setiap individu harus membuka diri untuk saling berhubungan satu sama lain dengan mengedepankan kerja sama yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan kerja sama tersebut. Namun dalam setiap kehidupan sosial tentu relasi yang terjadi tidak selalu berjalan dalam suasana seperti yang diharapkan banyak individu. Harapan oleh banyak orang dalam kehidupan sosial adalah terjadinya sebuah relasi yang menuntun dan menempatkan setiap individu dalam aktivitas relasi yang lebih baik dan tetap terjaga. Tetapi impian relasi yang normal itu pun terhalang dengan latarbelakang setiap individu maupun kelompok yang berbeda, baik hubungannya dengan aktivitas, tujuan, dan tradisi. Dari berbagai perbedaan ini melahirkan perilaku

Page 2: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

82

setiap individu dan kelompok yang berbeda dalam membangun sebuah relasi, sehingga pada bagian ini penulis mengetengahkan hasil relasi antara orang Papua sebagai masyarakat lokal dan beberapa etnis migran yang sama-sama hidup dan beraktivitas dalam kehidupan bermasya-rakat, Relasi yang terjadi antara orang Papua dan migran dengan berbagai aktivitasnya ditegaskan dan dijelaskan sebagai berikut:

Interaksi antar Orang Papua dan Luar Papua Interaksi yang dibangun antara orang Papua dan luar Papua di

Distrik Nabire Barat melalui kegiatan yang berbeda. Migran Jawa lebih membangun relasi di kegiatan pertanian padi, peternakan, olah kayu, jualan di pasar dan pertukangan serta beberapa kegiatan musiman lainnya yang biasa dilakukan masyarakat secara serentak seperti kerja bakti di lingkungan masing-masing RT, namun relasi yang intensif pada pertanian, dan peternakan. Migran NTT membangun relasi pada kegiatan olah kayu dan dalam lingkungan tetangga. Dari dua jaringan relasi ini yang lebih intensif dan berdampak, yaitu relasi pendidikan. Sedangkan migran Bugis Makassar membangun relasi pada kegiatan olah kayu dan sebagian lingkungan, namun lebih pada bisnis. Ini merupakan jaringan relasi yang sudah berjalan lama dan berdampak luas bukan hanya pada orang Papua saja tapi pada migran luar Papua juga. Dari masing-masing migran dengan jaringan relasinya mampu membawa perubahan bagi orang Papua. Berikut ini akan dibahas relasi masing-masing migran.

Relasi orang Papua dengan Migran Jawa

Relasi orang Papua dengan migran Jawa pada umumnya diawali dengan pola pembauran. Pola pembauran atau pola pemukiman antar Papua dan luar Papua dilakukan secara acak oleh sebagian orang Papua dan migran luar Papua yang tinggal bersama dalam satu lingkungan yang disebut jalur. Dalam lingkungan tersebut terjadi interkasi secara umum dan sudah berjalan dengan baik. Mereka saling menghargai, menghormati satu sama lain dalam kehidupan berma-syarakat mulai

Page 3: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

83

dari lingkungan rukun tetangga (RT) sampai pada lingkungan sosial secara umum, karena didukung dengan pola hidup yang saling membaur di antara warga. Pola pemukiman ini sengaja dibuat pemerintah agar terjadi sosialisasi di antara migran dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam proses pembauran antara orang Papua dan luar Papua (Jawa) ternyata sebagian bisa bertahan tetapi sebagian lain tidak bisa bertahan. Mereka terpaksa harus pindah ke jalur lain atau ke kampung lain yang banyak migran Papuanya. Perpindahan ini biasa terjadi dalam wilayah Distrik Nabire Barat, sedangkan sebagian ada yang keluar dari lingkungan transmi-grasi, tinggal di kota ikut keluarga atau kembali ke kampungnya.

Migran yang tidak bertahan terpaksa harus pindah atau kembali ke kampung, maka lahan yang diperuntukkan bagi migran, yaitu lahan tempat tinggal maupun lahan untuk pertanian dijual dengan murah yang berkisar antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.500.000,- per lahan. Apabila dibandingkan dengan nilai jual lahan sekarang sangat tinggi yang berkisar antara belasan sampai ratusan juta. Sikap ini dilakukan karena mereka diperhadapkan pada hal-hal baru yang mereka (Papua) tidak mampu untuk beradaptasi, sehingga muncul perasaan minder, tidak terbuka dan menutup diri dengan dunia luar, yang pada akhirnya merasa tersisih dari lingkungan. Kondisi ini meninggalkan perasaan menyalahkan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Sebagaimana penuturan Pak Hj. Sutrisno berikut ini:

Hubungan dalam masyarakat khususnya masyarakat local ada yang membaur dengan transmigran dari Jawa ada juga yang tidak, yang membaur mereka bisa tanam padi bahkan anak-anaknya ngomong bahasa Jawa dengan kami (Jawa) yang ada dilingkungan tempat tinggal, ada yang tidak membaur dengan masyarakat transmigran merasa tersisi akhirnya menjual tempatnya dan pindah ke tempat lain atau pulang kampung.

Dari informasi yang terkandung dalam penuturan ini peneliti menyimpulkan bahwa terjadi dua kelompok pembauran dalam komunitas Masyarakat lokal (orang Papua). Pertama bisa bertahan karena mampu mensiasati lingkungan baru dengan baik, dan mau bertahan menghadapi tantangan. Ini merupakan sebuah pilihan yang

Page 4: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

84

harus dijalani dengan modal kerja keras untuk mencapai perubahan kehi-dupan. Sementara sebagian masyarakat lokal (Papua) tidak bisa bertahan karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Ini merupakan gambaran dari ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan dan mensosialisasikan manfaat tinggal dan hidup bersama transmigran di lingkungan transmigrasi atau ikut program transmigran lokal.

Ada cerita lain yang berkaitan dengan pola pembauran yang peneliti jumpai di saat penelitian, dimana awalnya terjadi pembauran, namun belakangan masyarakat lokal membentuk kelompok tersendiri atau biasa disebut lokalan tersendiri dan membentuk Rukun Tetangga (RT) yang khusus masyarakat lokal saja. Perlu dilihat faktor-faktor apa yang melatar belakangi langkah ini. Dari fenomena ini peneliti dapat memberikan beberapa alasan:

Alasan pertama, dari segi jumlah Masyarakat lokal sudah mulai banyak. Oleh sebab itu perlu untuk membentuk kelompok sendiri agar dalam kehidupan sehari-harinya mereka (orang Papua ) dengan mudah mensosialisasikan dan menghidupkan budaya dan tradisinya. Seka-lipun pola ini tidak mendukung sebuah perubahan yang positif.

Alasan kedua, pemberlakukan yang berkaitan dengan kebijakan dirasa tidak menguntungkan mereka (orang Papua) maka dibuatlah RT sendiri agar sesuatu yang menyangkut dengan hak-hak dan kewajiban mereka (orang Papua) diatur dan dikelola oleh mereka (orang Papua) sendiri. Sekaligus ketua RT-nya dari mereka (orang Papua) sendiri. Agar mereka bisa belajar memimpin dan menyelesaikan persoalan di dalam komunitas trans lokal sendiri.

Alasan ketiga, adalah dari sisi budaya dan stradisi yang berbeda, serta sebagian orang Papua merasa tidak nyaman dan kurang percaya diri dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Alasan keempat, merupakan salah satu cara mempertahankan jumlah masyarakat lokal (Papua) di daerah transmigrasi. Dengan pola pem-bauran maka bagi masyarakat lokal yang tidak mampu

Page 5: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

85

beradaptasi, dan menutup diri dari dunia luar pada akhirnya langkah yang diambil adalah keluar, pindah atau kembali ke kampungnya. Pada bagian ini menandakan lemahnya peranan pemerintah dalam memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat lokal, serta kurangnya kerja sama antara pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh agama dan adat dalam mencari penyebab dan solusi terhadap kondisi masyarakat lokal di daerah transmigrasi. Seperti penuturan informan berikut ini:

Dulu pemerintah memberikan tempat-tempat semuanya satu Rukun Tetangga (RT). Dalam satu RT dulu di isi 2 sampai 10 KK artinya campuran. Sekarang ada yang membuat lokalan sendiri. Maksudnya warga lokal (Papua) bikin Rukun Tetangga (RT) sendiri dan tidak sesuai lagi dengan peta.

Penuturan informan ini tentang terjadinya pembauran pada awal transmigran antara orang Papua dan luar Papua. Namun pembauran itu tidak bertahan lama karena antara kelompok orang Papua yang minoritas dan migran luar khususnya Jawa yang mayoritas pada posisi masing-masing memperkuat dan kembali hidup dalam kelompoknya. Migran luar merasa memiliki sesuatu yang berbeda yang belum dimiliki oleh orang Papua. Yang dimaksud di sini adalah Sumber Daya Manusia dan tradisi yang berbeda dengan orang Papua. Selain itu dalam kehidupan sosial banyak hal yang dirasa tidak memberi keleluasaan dan tidak berpihak pada mereka (orang Papua), dengan tuntutan kondisi dan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin terbuka dan peluang keberpihakan otonomi pada kelompok minoritas di daerah transmigrasi. Lewat peluang itulah orang Papua mencoba membentuk komunitas sendiri di tengah kelompok mayoritas.

Orang Papua merasa nyaman bila membangun relasi di luar kelompoknya. Kenyamanan dan kemudahan relasi dirasakan sebagian orang Papua dalam hidup bersama dengan migran luar Papua. Berdasarkan informasi di lapangan, bahwa tinggal dan berrelasi antar warga di lingkungan transmigrasi dirasakan lancar, aman, damai, dan ada kerja sama antar tetangga. Aman dan damai yang peneliti pahami adalah tidak ingin terganggu dan disibukkan dengan perilaku atau

Page 6: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

86

kebiasaan yang tidak bersifat membangun atau malah menjadi hambatan dalam mencapai perubahan dalam kehidupan individu maupun keluarga. Bagian dari tradisi atau kebiasaan yang dianggap menghambat dalam kehidupan kelompok atau suku adalah adanya perasaan iri di antara sesama. Adanya banyak waktu santai dan juga tidak terlalu dibebani dengan tanggungan adat. Perasaan iri merupakan bagian dari suasana yang juga dirasakan sebagian masyarakat dalam kehidupan berkelompok. Namun banyak waktu santai dan beban adat merupakan bagian dari perilaku yang terlihat secara umum dalam kehidupan kelompok orang Papua. Bagi sebagian orang Papua yang terbuka dalam berrelasi di lingkungan antar sesama migran merasa bahwa cara atau tradisi ini berbeda dan tidak mendukung suatu usaha yang lebih mengarah pada kehidupan yang lebih baik terutama kegiatan ekonomi. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Rasakan beda, beda itu di daerah trans kerjanya serentak, aman. Kalau di luar dari daerah trans itu tidak ada pembinaan serentak. Jadi biar sedikit usaha ada gangguan habis yan habis. Diluar ada gangguan banyak. Turus torong kerja orang bisa iri dan segala macam halangan. Lebih bagus didaerah trans aman, damai, kerja sama dengan tetangga dan komunikasi lancar.

Pernyataan informan tentang perbedaan tinggal di dalam kelompok dan tinggal di luar kelompok atau berbaur dengan sesama warga di lingkungan transmigrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa dari kegiatan pertanian cukup dirasakan apabila berada di lingkungan transmigasi, karena suasana kerja dilakukan secara serentak. Serentak artinya sebagian besar masyarakat petani melakukan kegiatan perta-nian secara bersama pada waktu pagi maupun sore hari, sehingga suasana ini secara tidak langsung menggerakkan dan memotivasi orang Papua untuk ikut tetap melakukan kegiatan pertanian.

Secara program, kelompok pertanian mendapatkan perhatian dan kemudahan dalam pelatihan untuk menambah informasi tentang pengetahuan dalam pertanian yang berkaitan dengan cara-cara perta-nian yang baik. Selain itu dari sisi pengeluaran agak sedikit hemat apabila berada di lingkungan transmigran. Hal-hal yang sering meng-

Page 7: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

87

ganggu pemanfaatan pendapatan yaitu tradisi tanggungan yang berhubungan dengan adat yang disebut denda, dan itu merupakan sebuah keharusan bagi anak-anak adat orang Papua. Adanya keter-gantungan pada sesama cukup kuat terutama keluarga, demikian pula kebiasaan pinjam meminjam yang juga merupakan bagian dari kehidupan sosial orang Papua. Suasana lingkungan masyarakat dira-sakan aman dan damai dalam kehidupan bersama yang mendukung jalannya kegiatan masing-masing migran. Ada keterbukaan dalam berkomunikasi antara warga di lingkungan transmigrasi yang lancar dan santun.

Orang Papua yang bertahan dan berbaur dengan migran Jawa umumnya transmigran awal. Transmigran awal ini berasal dari beberapa daerah di Papua. Mereka berasal dari pantai, yaitu Serui, Biak, Nabire, dan dari pedalaman yang disebut Papua gunung, yaitu Paniai, Wamena. Mereka yang sebagian migran lokal awal ini ber-status pensiunan pegawai negeri (guru), polisi, ada juga pendeta, dan masyarakat biasa, tetapi ada pula pegawai kesehatan (mantri) yang di-tugaskan di daerah transmigrasi sekaligus menetap sebagai transmigran lokal. Orang Papua awal ini cukup dikenal dalam kehidupan masya-rakat migran di daerah transmigrasi. Mereka (Papua awal) ini juga mampu menunjukkan pada migran luar bahwa orang Papua juga bisa bersaing dalam kehidupan di lingkungan transmigrasi terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi.

Relasi antar orang Papua dengan migran Jawa dimulai sejak bertransmigrasi di Distrik Nabire Barat. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan, bahwa relasi tersebut dimulai dengan melakukan kerja sama pembersihan lingkungan (RT) tempat tinggal dari sisa kayu, duri rotan dan penimbunan jalan dari dan ke jalur. Dari relasi awal inilah terbentuk sebuah kebersamaan yang terjalin dengan baik dan merupakan sebuah tradisi yang terwujud dalam beberapa kegiatan masyarakat sampai saat ini. Kegiatan masyarakat yang dimaksud adalah mendirikan rumah, membuat pondasi rumah dan juga di sektor pertanian khususnya padi. Kegiatan keagamaan serta sosial lainnya masih dipertahankan dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat.

Page 8: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

88

Sebagaimana penuturan informan berikut ini: Pekarangan rumah masih pecek (berlumpur) rawa. Tidak bisa lewat kayu-kayu masih timbun (numpuk) di sini. Warga yang masuk ke muka (pertama, duluan) itu tahun 1982. Lain tinggal di SP 2 dan SP 3, karena rumah belum jadi. Pertama kami masuk besoknya Rukun Tetangga (RT) perintahkan kerja sama tutup (timbun) kolom di jalur ini dan juga duri rotan banyak sekali dan sama warga buat jalan jalur ini.

Keterangan informan mengisahkan tentang kondisi awal dan

tempat tinggal bagi transmigran, yang mana saat itu untuk SP 1 sebagai salah satu tempat penempatan pemukiman migran belum siap di- tempati, karena rumah sebagian belum jadi dan jalannya masih rawa, berair dan berlumpur. Terpaksa sebagian migran yang sudah terlanjur datang, baik migran Papua maupun luar Papua harus numpang atau tinggal sementara di keluarga yang tempatnya (rumahnya) sudah jadi, terutama di 2 kampung, yaitu Satuan Pemukiman dua (SP 2) yang sekarang disebut kampung Kalisemen, dan Satuan Pemukiman tiga (SP 3) yang sekarang disebut kampung Wadio. Sambil menunggu rumah yang dikerjakan rampung dan siap untuk ditempati baru mereka pindah. Dua satuan pemukiman inilah pertama dikerjakan oleh pemerintah lewat kerja sama dengan pihak perusahaan yakni Perse-roan Terbatas (PT) Bumikarsa yang berpusat di luar Papua (Jawa).

Relasi orang Papua dengan migran Jawa pada kegiatan pertanian padi dimulai di Distrik Nabire Barat. Pertanian padi di awal transmigrasi merupakan sebuah keharusan bagi semua warga, baik lokal (Papua dan NTT) maupun luar Papua. Beberapa informan mengatakan, migran dibagi dalam dua kelompok. Apabila yang men-dapatkan pembagian tanah kering atau keras maka jenis tanamannya disesuaikan seperti, keladi, petatas, singkong dan sayur-sayuran. Sedangkan yang mendapatkan pembagian tanah berupa rawa atau basah, maka harus menanam padi.

Pak Adii, anak dari generasi pertama migran lokal Papua, mengatakan:

Bahwa kebetulan saat itu orang tua saya dapat tanah basah maka kami menanam padi. Saat itu pemerintah lebih berperan dalam

Page 9: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

89

proses pembinaan bagi petani dan penyediaan bibit padi terutama pada migran Jawa. Kemudian orang tua saya juga ikut menanam padi. Orang tua saya tau tanam padi dengan cara melihat, dan bertanya kepada tetangga dari Jawa yang bertani padi. Dan juga penanaman padi secara serentak oleh petani padi yang diawasi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) pertanian, dan pegawai transmigrasi. Dengan cara-cara itulah orang migran awal ini bisa menanam

padi. Sedangkan saat ini anaknya termasuk orang Papua yang sudah bisa bertani padi. Semua itu dari orang tua dan anak (pak Adii) selalu bertanya pada migran Jawa tentang hal-hal yang tidak diketahui seperti jenis-jenis pupuk yang digunakan untuk penyuburan tanah, cara-cara penggunaannya, maupun untuk hama-hama yang merusak padi. Sebagaimana penuturan infroman berikut ini:

Awal di daerah trans ini dibagi masyarakatnya dalam dua kelompok tergantung kondisi yang dapat tanah kering atau keras dia tanam keladi,petatas,singkung, dan sayur-sayuran. Sedang-kan dapat tanah yang rawa atau basah dia tanam padi. Kebetulan bapak saya dapat tanah basah maka kami tanam padi.Sediakan bibit oleh pemerintah. Penanaman serentak oleh kelompok tani padi, diawasi oleh PPL pertanian dan pegawai transmigrasi. Bapak saya tau tanam padi dengan cara melihat dan bertanya pada tetangga yang tanam padi.

Keterangan informan tersebut menjelaskan tentang relasi warga di daerah transmigrasi lewat kegiatan pertanian sudah dimulai sejak migran lokal pertama. Namun relasi yang dibangun oleh migran pada kelompok tani padi masih bersifat umum yang menggabungkan semua petani dalam satu kegiatan. Dimulai dari saat penanaman maupun kegiatan pembinaan lain yang dilakukan oleh lembaga pertanian, sehingga yang terlihat memperkuat relasi antara petani padi yaitu pihak lembaga formal pertanian khususnya PPL dan pegawai trans-migrasi. Untuk orang Papua pada saat itu mempunyai semangat dan kemauan menekuni pertaniaan padi cukup tinggi. Sekalipun jumlah orang Papua masih sedikit dibanding dengan migran dari laur Papua.

Orang Papua saat itu dalam relasinya dengan migran Jawa untuk

Page 10: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

90

mengenal pertanian padi masih memerlukan kerja keras, yaitu dimulai dari relasi dengan tetangga migran Jawa yang bertani padi di ling-kungan tempat tinggal. Di sanalah orang Papua berkreasi untuk bertanya pada migran Jawa tentang ha-hal yang berhubungan dengan pertanian padi, dan itulah yang dialami orang Papua awal yang berada didaerah transmigrasi distrik Nabire Barat. Dengan cara-cara atau sikap tersebut secara tidak sadar turut memperkuat hubungan antara warga di lingkungan masing-masing. Cara atau sikap ini pada umumnya dilakukan orang Papua yang sudah lama tinggal bersama migran Jawa dan masih tetap menekuni pertanian padi.

Hambatan-hambatan yang dialami petani padi saat itu adalah sarana penggilingan padi. Sarana penggilingan atau sidipan waktu itu baru satu dan itu pun ada di Bumiwonorejo Distrik Nabire yang jaraknya sekitar 3 sampai 7 km dari Distrik Nabire Barat. Untuk sampai di sana petani terpaksa memikul hasil panennya dengan berjalan kaki dengan melewati hutan dan rawa, karena jalan belum bisa dilewati mobil. Setelah sampai di sana belum langsung digiling karena melalui antrian, sehingga terkadang membutuhkan waktu sekitar 2 hari baru menjadi beras. Kemudian dengan pekembangan pembangunan yang semakin hari semakin diperhatikan, jalan yang dulunya hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki sekarang sudah bisa digunakan untuk kendaraan baik roda dua maupun roda empat, dan untuk penggilingan padi pun sudah ada di Distrik Nabire Barat. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Waktu itu untuk pengilingan (sidipan, eremu) itu cuma di Bumiwonorejo kita itu pikul ke sana jauh tetapi kami tetap berusaha 2 hari baru jadi beras. Kami bawa pulang ke rumah begitu terus sampe pemerintah buat jalan baru di situ bisa kami pakai sepeda dari situ sudah mulai sampe sekarang sudah maju. Dan pemerintah kasih sidipan satu disini distrik Nabire Barat jadi sudah mudah petani.

Saat itu di lokasi penelitian yang dulunya disebut Distrik

Wanggar dan sekarang menjadi Distrik Nabire Barat belum ada alat penggilingan padi (sidipan), hanya ada satu di Bumiwonorejo Distrik Nabire kota. Kondisi jalan saat itu belum bisa dilewati kendaraan baik

Page 11: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

91

roda dua maupun roda empat, karena jalan menuju ke Bumiwonorejo masih dalam proses membangun, sehingga untuk sampai ke tempat penggilingan hanya dengan berjalan kaki. Namun saat ini pertani merasa sudah tidak sulit lagi dengan penggilingan, karena di Distrik Nabire Barat sudah ada alat atau mesin penggilingan yang diperoleh dari bantuan pemerintah masa kepemimpinan Anselmus Petrus Youw dan swadaya anggota koperasi atau masyarakat sendiri. Kedua mesin penggilingan ini ada di Kampung Bumiraya SP 1, karena SP 1 menjadi lumbung padi di Distrik Nabire Barat.

Relasi orang Papua dengan migran Jawa dibangun lewat per-tanian padi sejak migran awal. Suatu hal yang menarik peneliti amati dari beberapa orang Papua awal yang menekuni pertanian padi, ada yang masih tetap melanjutkan pertanian padi baik anaknya atau bersama orang tuanya, ada juga yang tidak melanjutkan pertanian padi ter-utama anaknya dari migran awal. Orang Papua yang masih melanjut-kan pertanian padi pada umumnya mereka yang bertempat tinggal atau bertetangga dekat dengan migran Jawa dan selalu menjaga relasi yang baik dalam kehidupan lingkungan bertetangga, serta disiplin dalam memperhatikan waktu kegiatan pertanian padi. Selain itu ada semangat untuk bekerja keras dalam menekuni pertanian padi. Sedangkan sebagian orang Papua yang tidak bertahan dan melanjutkan pertanian padi umumnya dalam kehidupan bertetangga jauh dari lingkungan migran Jawa dan kurang membangun relasi dengan migran Jawa dalam hal pertanian padi, serta kurang semangat untuk bekerja keras. Mereka lebih memilih menekuni kegiatan ekonomi yang lain dengan ber-argumen, bahwa kerja pertanian padi membutuhkan tenaga yang kuat. Kalau tenaga perempuan tidak mampu untuk melakukan pertanian padi, mereka memilih berjualan di pasar. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Dulu orang tua saya tanam padi dan berkebun, tapi turun ke kami (anak-anak) tidak lagi tanam padi. Sekarang anak tidak mampu di padi lagi jadi jualan di pasar saja.

Pengakuan informan tentang pertanian padi yang dilakukan

Page 12: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

92

orang tuanya, sedangkan anak-anak sudah memilih melakukan kegiat-an lain selain pertanian padi. Dari keterangan ini peneliti menyim-pulkan bahwa pada saat itu pertanian padi menjadi pilihan kegiatan utama bagi semua warga yang ada di daerah transmigrasi. Baru kemudian ada perhatian dari pemerintah yang cukup ketat dalam proses kegiatan khususnya pertanian padi. Dalam hal ini lembaga pertanian dan transmigrasi terlibat langsung di lapangan dengan mengutus pegawainya.

Relasi itu telah berubah menjadi lebih kuat lagi saat migran Papua diberikan kepercayaan untuk membentuk kelompok pertanian. Tahun 2005 pemerintah lewat Dinas Pertanian memberikan dana sebesar Rp. 100 juta pada salah satu sesepuh warga Papua yaitu Pak Alex Tinal yang ditunjuk sebagai ketua. Dengan dana tersebut Pak Alex Tinal langsung membentuk kelompok tani yang diberi nama kelompok tani Persatuan Cenderawasih. Yang merupakan gabungan dari migran Papua dan migran Jawa atau yang disebut oleh kepala suku (pak Alex Tinal) gabungan antara Papua pantai, Papua gunung, dan Papua Pendatang yang lahannya berdekatan dalam satu lokasi dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 24 orang. Awalnya kelompok tani ini disebut Cenderawasih satu yang dikhususkan untuk migran Papua. Namun dalam prosesnya sedikit mengalami kendala dengan keseriusan dari anggota kelompok sehingga pada akhirnya bubar. Kemudian dari dana tersebut dibelikan sarana penunjang kegiatan pertanian seperti traktor, gerobak padi, dan alat kerja yang lain seperti parang, cangkul dan sekop.

Kelompok pertanian persatuan Cenderawasih ini masih tetap berjalan sampai sekarang, dan tidak semua orang Papua yang bertani padi menjadi anggota kelompok. Namun yang tidak masuk menjadi anggota kelompok pun tetap eksis karena sudah terbiasa dengan bertani padi. Sebagian yang tidak masuk manjadi anggota kelompok karena lahan tidak berdekatan dan terpencar-pencar. Kebanyakan yang menjadi anggota kelompok tani yaitu petani generasi migran kedua, yaitu kebanyakan dari anak-anak migran awal. Seperti penuturan informan berikut ini:

Page 13: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

93

Tahun 2005 pemerintah kasih uang Rp.100 juta saya (pak Alex Tinal) langsung bentuk kelompok tani lokal dan uang itu saya (pak Alek Tinal) beli traktor, gerobak padi, dan barang kerja lain yaitu parang, cangkul, dan sekop disiapkan untuk anggota sebanyak 24 orang. Dengan dana itulah pak Alex Tinal sebagai orang Papua yang

dipercaya oleh pemerintah mengelola pertanian khususnya memben-tuk kelompok tani orang Papua yang ada di daerah transmigrasi. Kepercayaan itu diberikan pada pak Alex Tinal karena beliau selain sebagai kepala suku dan sesepuh, ia juga mempunyai sifat kebapakan, berwibawa, dan pengayom bagi semua masyarakat migran yang ada di Distrik Nabire Barat. Beliau juga cukup bijak dalam mengatasi per-soalan yang terdakang dialami oleh warga didaerah trnsmigrasi, artinya tidak memihak pada suku mana pun dalam menyelesaikan suatu kasus yang dilakukan atau dialami oleh masyarakat migran, baik luar ataupun Papua, khususnya di Kampung Bumiraya.

Relasi yang dibangun kepala suku dengan migran Jawa yang bertatus perantau pada kegiatan pertanian, khususnya kebun sayur. Migran perantau ini merupakan bagian dari migran Jawa yang tidak memiliki lahan dan tidak diberikan lahan, karena bukan sebagai migran yang berstatus transmigrasi yang mendapatkan pembagian lahan. Sebagian dari mereka merupakan keluarga dari transmigran yang ada di daerah transmigrasi, ada juga yang tidak mempunyai keluarga sama sekali. Mereka ini datang dengan tujuan mencari pekerjaan namun tidak sesuai dengan harapan dan yang diinginkan. Dengan kenyataan itulah kepala suku (pak Alex Tinal) mengumpulkan mereka dalam satu kelompok tani yang khusus menanam sayur dan istri Pak Alex Tinal juga turut menanam sekaligus mengawasi kegiatan kelompok tersebut. Kelompok tani merupakan satu-satunya yang ada di Distrik Nabire Barat yang dibentuk oleh bapak kepala suku (pak Alex Tinal) dengan memberikan lahan kepada migran Jawa yang berstatus sebagai perantau yang berjumlah sekitar 70 KK. Di atas lahan tersebut mereka diberi kesempatan untuk membangun rumah yang sederhana atau pondokan-pondokan sebagai tempat tinggal. Namun lahan yang digarap tersebut sewaktu–waktu akan digunakan oleh

Page 14: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

94

pemiliknya atau diambil kembali. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Berbaur, jadi kalau kelompok tani Cenderawasih itu asli (benar orang transmigrasi), tapi kelompok sayur itu orang-orang Jawa yang merantau sebanyak 70 KK yang saya (pak Alex Tinal) taru (tempatkan) di situ. Itu memang tanah orang bos bos punya, saya disuruh (diberi kepercayaan) untuk jaga. Dari pada jadi hutan saya kasih masuk mereka untuk garap. Dan tidak tanam tanaman jangka panjang. Jadi kalau punya tanah mau ambil ya silahkan itu yang saya lakukan. Lahan yang dipergunakan adalah lahan yang dipercayakan oleh

pemiliknya pada pak Alex Tinal untuk dijaga agar jangan sampai diganggu dan diambil orang lain. Hal ini dilakukan karena persoalan ini sering dialami di masyarakat terutama bagi pemilik lahan atau tanah. Tanah atau lahan yang digarap para petani, pemiliknya adalah bos-bos, sebutan bagi pejabat-pejabat pemerintah yang membeli lahan atau tanah di daerah transmigasi. Pemilik lahan itu pun tidak berasal dari satu daerah kabupaten tetapi juga dari daerah (kabupaten) lain di Papua. Bahkan bukan hanya orang Papua saja tetapi juga luar Papua. Rasa peduli ini dilatarbelakangi oleh relasi yang begitu dekat dan kuat antara Pak Alex Tinal dengan migran Jawa yang dibangun sejak sebagai migran lokal pertama sampai saat ini. Selain itu istri kedua Pak Alex Tinal adalah migran Jawa yang juga diberi tanggungjawab mengelola kelompok tani sayur.

Relasi orang Papua dan migran Jawa dalam tataran kegiatan pertanian padi cukup memberikan dampak positif bagi orang Papua. Berdasarkan keterangan beberapa informan mengatakan:

Dulu pertanian padi diajarkan atau diberitahu oleh migran Jawa tentang cara menanam padi dan perawatannya sampai panen pada kami (migran Papua). Namun sekarang proses itu sudah bisa kami (migran Papua) lakukan sendiri. Mulai dari pena-naman, pesemayaman bibit, dan perhitungan waktu menanam yang tepat, yaitu dilakukan pada tanam musim pertama antara pertengahan Oktober sampai awal Nopember. Sedangkan tanam musim kedua antara pertengahan Maret sampai awal April. Biasanya penanaman dilakukan 2 kali dalam setahun, dan juga

Page 15: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

95

sudah bisa mengoperasikan mesin perontok padi. Untuk saat ini, orang Papua yang mau menanam padi tidak perlu

lagi melibatkan migran dari luar Papua, karena anak-anak Papua sendiri sudah bisa melakukannya. Di samping itu ada juga keterlibatan pemerintah dalam hal pembinaan pertanian bagi orang Papua, melalui pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan tata cara pertanian padi yang baik, mulai cara mengoperasikan traktor, tanam padi sampai masalah hama. Pembinaan atau pelatihan ini pada umumnya diarah-kan atau sasarannya pada migran generasi kedua, baik yang baru masuk menjadi KK ataupun pecahan KK dari keluarga migran awal (pertama). Migran awal pada umumnya sudah paham langkah-langkah yang diperhatikan dalam proses pertanian padi, sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Jawa dulu ajarkan kita (orang Papua) cara tanam padi dan cara merawatnya. Sekarang anak Papua juga ikut pelatihan pertani-an. Jadi untuk tanam tinggal pangil anak Papua sendiri. Dan kita (migran Papua) sendiri juga bisa buat pesemayam bibit padi. Hitungan waktu tanam, dan tau bawah (operasikan) mesin perontak Padi. Kita (orang Papua) juga bersyukur dengan kedatangan transmigrasi di sini. Karena kita (orang Papua) sudah tau tanam padi. Pada hal dulu kitorang (orang Papua) berkebun, tokok sagu dan berburu. Dan sebagian dari mereka Jawa bekerja keras itu yang behasil dan sukses. Begitu dengan kita orang Papua. Pengakuan informan ini tentang kegiatan pertanian atau mata

pencaharian yang ditekuni orang Papua sebelum dan setelah adanya transmigrasi. Kedatangan migran Jawa dengan pola pertanian padi telah memberikan perubahan pada tradisi pertanian dan mata penca-harian orang Papua. Pola pertanian orang Papua pada umumnya, berkebun, tokok sagu dan berburu, kini sudah mengalami pergeseran dari berkebun ke pertanian padi yang menetap, sedangkan pola mata pencaharian meramu dan berburu sudah mulai ditinggalkan. Sebagian orang Papua masih tetap menekuni pertanian cara lokal yang disebut dengan berkebun. Bagi mereka pertanian padi merupakan suatu model pertanian yang baru dan mempunyai tata cara yang berbeda dengan pola pertanian yang selama ini ditekuni. Selain itu pertanian padi juga

Page 16: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

96

memerlukan keseriusan dan kerja keras, sehingga bagi migran Papua yang bekerja keras mereka merasakan manfaat dari pertanian padi.

Padi diolah menjadi beras bisa digunakan dalam beberapa bulan, sedangkan ubi, petatas dan keladi yang diambil dari kebun harus digunakan hari itu dan tidak bisa disimpan atau bertahan dalam waktu lama, karena akan rusak dan membusuk. Selain itu hasil kebun seperti petatas, ubi dan keladi kurang laris dan harga murah karena konsu-mennya sedikit. Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan secara total pertanian lokal. Hal itu terlihat di sekitar pekarangan tempat tinggal (rumah) orang Papua ditanami petatas, keladi atau ubi kayu, dan juga di sekitar lahan padi atau di atas tumpukan bedeng di tancap batang-batang ubi kayu. Dapat dipahami bahwa itu merupakan bagian dari tradisi dan indentitas orang Papua yang indentik dengan petatas dan ubi-ubian.

Relasi orang Papua dan migran Jawa bukan pada kegiatan pertanian padi saja tetapi juga pada kegiatan perkebunan jeruk manis. Berdasarkan keterangan beberapa informan, bahwa di samping bertani padi mereka juga menanam jeruk manis. Awal menanam jeruk terlebih dulu mereka menanyakan cara menanam jeruk yang baik pada migran Jawa, yaitu tentang jarak antara pohon jeruk yang satu ke pohon jeruk yang lain yang berkisar antara 1 sampai 3 meter, dan juga diperhatikan pupuk serta perawatannya. Untuk perkebunan jeruk yang ditekuni orang Papua hanya ada beberapa petani lokal saja. Dari beberapa orang Papua yang dimaksud adalah orang Papua awal, seperti penuturan informan (orang Papua) berikut ini:

Selain bertani padi saya juga punya kebun jeruk manis. Tapi tidak terlalu banyak sekitar 40 pohon yang ada di samping rumah ini. Saya beli bibit di orang Jawa 1 pohon bibit Rp. 20.000,-. Sebelum tanam saya tanya pada orang Jawa bagaimana cara tanam jeruk yang baik. Orang Jawa bilang harus memper-hatikan jaraknya sekitar 1 sampai 3 meter dan berikan pupuk.

Dengan berbekal informasi yang diperoleh dari migran Jawa, migran Papua ini sekarang sudah bisa menanam jeruk sekalipun hanya

Page 17: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

97

beberapa pohon yang ada di sekitar pekarangan rumah. Selain mena-nam jeruk ia juga berhasil dalam menanam padi. Keberhasilan dalam menanam padi pun melalui proses yang sama dengan cara bertanya pada migran Jawa.

Relasi yang dibangun lewat kegiatan peternakan antara orang Papua dengan migran Jawa dulu berbeda dengan sekarang. Perternak-an dulu yang berperan adalah pemerintah, namun tidak terlibat langsung dalam kegiatan di lapangan misalnya pengawasan langsung pada kegiatan perternakan. Dulu semua urusan peternakan masih di provinsi. Untuk melaksanakan proses peternakan di lapangan yang berhubungan dengan cara perkawinan sapi jantan dan betina, diutus-lah perwakilan dari masing-masing kampung untuk mengikuti pelatih-an peternakan di provinsi (Jayapura), yaitu (SP1) kampung Bumiraya sekarang, diwakili oleh bapak Tawaru. Beliau adalah orang Papua awal yang bermigrasi ke Distrik Nabire Barat, sedangkan dari (SP2) Kampung Kalisemen sekarang, diwakili oleh bapak Aronggear. Beliau juga orang Papua awal yang berstatus sebagai transmigran lokal, setelah selesai mengikuti kegiatan pelatihan di Jayapura selama tiga minggu.

Pemerintah memberikan sepasang sapi betina dan jantan lewat pemerintah daerah khususnya lembaga teknis (pertanian dan peter-nakan) Kabupaten Nabire, kemudian diserahkan kepada bapak Tawaru dan bapak Aronggear. Dengan sepasang sapi itu Pak Tawaru dan bapak Aronggear harus menerima dan bersedia melakukan perkawinan antara sapi jantan dan betina, terutama transmigran yang mempunyai sapi betina. Pak Tawaru dan Aronggear juga sudah menyediakan tempat khusus untuk dilakukan perkawinan sapi tersebut. Caranya dengan memasukkan sapi betina lebih dulu ke dalam tempat yang sudah disiapkan semacam bilik. Baru dimasukkan jantan maka terjadilah perkawinan. Untuk satu kali kawin, Pak Tawaru menarik Rp.5000. Penarikan biaya ini atas inisiatif Pak Tawaru yang digunakan untuk perawatan sapi betina pada waktu itu, dimana kandang berde-katan dengan tempat tinggal. Proses pertenakan awal ini terlihat adanya relasi yang kuat antara orang Papua dan luar Papua, dan sekaligus saling melengkapi kekurangan dalam kegiatan perternakan.

Page 18: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

98

Sebagaimana penuturan infroman berikut ini: Dulu tahun 1986 bapak diutus ikut kursus (pelatihan) peter-nakan. Saya (bapak Tawaru) mewakili SP 1 dan bapak Aronggear SP 2 di Jayapura selama 3 minggu. Dulu kantor pertanian dan transmigrasi. Kami kembali ke sini, dikasih sapi satu pasang. Yang didrop ke tempat peternakan. Mereka (pemerintah) bilang ini pak Tawaru punya. Lain hanya dapat satu ekor yang dilotre dapat jantan atau betina. Kami dilatih di Jayapura tentang bagaimana cara kasih kawin. Sapi betina masuk baru jantan bisa kawin. Jadi satu kali kawin mereka bayar Rp.5000,-

Dari infromasi ini dapat disimpulkan bahwa peternakan yang

dulu dilakukan pemerintah adalah dengan cara pelatihan terlebih dulu baru kemudian diberikan ternak (sapi). Perwakilan warga dari masing-masing Satuan Pemukiman (SP) diberi tanggungjawab untuk melatih dan melakukan proses perkawinan antara sapi jantan dan betina. Kalau dilihat dari sistem birokrasi, dulu lebih berorintasi pada perampingan atau sering diistilahkan miskin lembaga tapi kaya fungsi. Sekarang terbalik kaya lembaga, miskin fungsi. Artinya lembaga yang mempunyai fungsi yang saling terkait dijadikan satu lembaga. Seka-rang banyak lembaga namun tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya untuk saat ini pertanian sendiri disebut Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, sedangkan Transmigrasi dinamakan Dinas Trans-migrasi dan Tenaga Kerja.

Relasi kegiatan peternakan sekarang lebih mengarah pada pem-bentukan kelompok yang sesuai dengan kelompok migran di Distrik Nabire Barat. Pemerintah pusat (Jakarta) mengucurkan dana pada masing-masing daerah transmigrasi lewat pemerintah provinsi untuk pengembangan peternakan bagi warga migran, baik orang Papua maupun luar yang berstatus sebagai migran tetap. Tahun 2011 masing-masing kelompok migran di Distrik Nabire Barat menerima dana sebesar Rp. 100 juta, khususnya masyarakat lokal Papua dan migran Jawa. Kelompok peternakan orang Papua dipercayakan pada Pak Alex Tinal sebagai ketua kelompoknya. Dengan tanggungjawab tersebut Pak Alex Tinal menggunakan dana Rp.100 juta untuk membeli sapi 36 ekor, dan membuat kandang sapi. Dari 36 ekor tersebut, terdapat 3 ekor jantan dan 32 ekor betina. Jumlah betina lebih banyak dari pada

Page 19: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

99

jantan dengan pertimbangan untuk pengembangan anakan sapi, yaitu 1 ekor sapi jantan dapat dilakukan perkawinan dengan beberapa sapi betina secara bergilir.

Untuk pengembangan dan perawatan dibuat sebuah kandang yang panjangnya sekitar 15 meter. Lebarnya sekitar 3 meter dengan berpetak-petak terisi sekitar 2 sampai 3 ekor sapi betina. Kandang beratap seng, berbahan kayu besi, dan berlantai semen. Posisinya agak jauh dari pemukiman warga, sehingga dalam prosesnya sebagian berkembang, ada juga yang hilang dan mati. Masing-masing anggota kelompok diberikan satu pasang. Selain itu pemiliknya mempunyai tanggungjawab untuk menyediakan rumput, air serta membersihkan tempat atau kandangnya dari sisa-sisa kotoran. Pembersihan dilakukan biasa 1 kali dalam 2 sampai 3 hari. Hasil pembersihan atau kotoran digunakan sebagai pupuk pada tanaman sayur dan penyuburan tanah, sedangkan menyediakan rumput biasa dilakukan pada sore hari untuk penyediaan malam. Penuturan infroman berikut ini:

Baru-baru tahun 2011 diberikan dana dari pusat besar Rp.100 juta. Saya gunakan bikin (buat) kandang sapi. Dan beli sapi 35 ekor, jantan 3 ekor. Betina 32 ekor. Sampai sekarang berkem-bang dan masing-masing anggota yang punya mengurusnya sendiri. Mulai ambil rumput sampai pembersihan kandangnya. Tai sapi yang ada dikasih pupuk untuk sayur, dan dihambur di tanah. Pengakuan informan tentang gambaran proses kegiatan pada

pertenakan orang Papua yang dilakukan secara kelompok. Gambaran peternakan kelompok ini dimulai dengan proses awal sampai pada kegiatan masing-masing peternak di lapangan, yang dimulai dengan pemberian dana kepada ketua kelompok, pembentukan kelompok, penentuan lokasi dan sampai pembuatan kandang dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok untuk mengurus ternaknya. Anggota kelompok pada umumnya mereka yang baru atau belum terbiasa mela-kukan kegiatan perternakan sapi, sehingga dalam proses kegiatannya sedikit mengalami kesulitan. Pada akhirnya timbul rasa bosan, capai, dan berujung pada ketidakseriusan dalam menekuni kegiatan peternak-an. Di samping itu sudah terbiasa dengan tradisi peternakan yang bebas

Page 20: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

100

atau melepas ternaknya pada lingkungan untuk mencari makan. Bentuk kelompoknya kurang memperhatiakan pembauran antara orang Papua dan luar Papua.

Ternak sapi orang Papua yang dilakukan secara pribadi lewat relasi dengan tetangga lebih berhasil dan sukses. Berdasarkan penga-matan peneliti pada satu keluarga migran Papua dan khususnya keluarga bapak Kogoyo, dengan jumlah ternak sapi sekitar 7 ekor, membuat kandang di sekitar lingkungan rumah. Kandang atau pagar yang dibuat dari bambu dan kayu di lahan yang berukuran sekitar 0,5 hektar terlihat cukup untuk peternakan sapi dalam jangka waktu sementara. Apabila terlalu lama dan bertahan dengan persedian rumput yang terbatas tentu akan berpengaruh pada proses perkem-bangan dan pertumbuhan sapi selanjutnya. Sapi-sapi kadang dilepas atau diikat di sekitar rumah di bawah pohon, kadang dibawa ke tempat yang banyak rumput lalu diikat, sambil melakukan pekerjaan lain seperti mengumpulkan kayu bakar untuk memasak atau mengambil rumput untuk persipan malam. Setelah mendekati sore sapi mulai dilepas dan dibawa pulang ke rumah.

Proses itu yang selalu dilakukan oleh Pak Kogoyo sehari-hari dalam menekuni ternak sapi. Selain itu beliau juga memiliki beberapa ekor babi yang terlihat berkeliaran di halaman rumah dan lingkungan. Namun belum sampai pada tingkat mengganggu lingkungan yang cukup dirasakan oleh tetangga. Karena di sekitar rumah sedikit berair dan ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang memberikan keteduh-an pada babi untuk tidak terlalu berkeliaran. Beliau bertetangga dengan migran Jawa dan juga membangun relasi dengan tetangga yang lain, sehingga dalam kehidupan bertetangga terlihat aman dan terjadi komunikasi yang lancar.

Sebagian bibit sapi dan babi diberikan pada anaknya yang sudah bekeluarga untuk dipelihara. Dari hasil pemberian tersebut, dan melalui proses ternak yang sama seperti orang tuanya, anaknya dapat membiayai pembangunan rumah yang cukup berkelas di sekitar jalur itu. Dengan konstruksi semi permanen berlantai keramik biru muda bermotif kuning, dan setengah dinding berkeramik putih, serta papan

Page 21: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

101

bercat hijau daun yang memberikan warna yang indah. Rumah yang terlihat elit itu hanya dimiliki oleh beberapa orang Papua yang ada di daerah transmigrasi, khususnya kampung Bumiraya. Itu pun hampir semuanya keluarga Kogoya. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Saya bertenak sapi dan babi. Bibit sapi dan babi dikasih dari bapak mantu. Tapi setelah saya bagun rumah ini saya jual sebagian untuk tambah-tambah modal. Saya piara sapi ini kemaun sendiri. Karena sapi itu kan cuman makan rumput saja. Jadi mudah atau gampang, babi juga begitu. Yang penting kita rajin kasih makan. Jika kita rajin kasih makan berarti dia sehat.

Keterangan informan tentang beternak sapi dan babi sebernar-

nya bukan sesuatu yang sulit, karena sapi makanannya hanya rumput yang mudah diperoleh di lingkungan baik di sekitar halaman rumah maupun di tempat lain. Untuk berternak sapi atau babi yang utama adalah serius, rajin dan mau bekerja keras agar memperoleh suatu hasil yang maksimal. Babi bagi orang Papua merupakan hewan yang cukup dikenal dalam kehidupan orang Papua. Babi bukan sekedar ternak biasa tetapi juga mempunyai nilai budaya, sehingga dalam acara adat atau acara tertentu lainnya tentu memerlukan babi. Mereka berang-gapan bahwa acara tanpa babi dianggap belum bernilai budaya. Saat ini babi sudah menjadi salah satu ternak yang diprogramkan oleh peme-rintah, namun bagi sebagian orang Papua belum dikelola secara serius, karena prosesnya masih menggunakan cara lama yaitu tidak dikandangkan.

Relasi antara orang Papua dan migran Jawa juga terlihat pada kegiatan olah kayu yang dilakukan di Distrik Nabire Barat. Beberapa informan mengatakan, bahwa keterlibatan orang Papua dalam pekerjaan oleh kayu ini dimulai sejak tahun 2004. Pekerjaan yang diberikan pada orang Papua adalah sebagai pembantu sensor yang dalam dunia olah kayu disebut helper. Keterlibatan orang Papua dalam kegiatan olah kayu, yaitu atas kesadaran migran Jawa, karena adanya hidup bersama dengan orang Papua di lingkungan transmi-grasi. Dengan kesadaran itulah ada beberapa orang Papua yang mau bekerja keras, tabah dan tekun sehingga mampu mengoperasikan mensin

Page 22: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

102

sensor, bahkan sampai pada tingkat bongkar pasang mensin. Sekalipun melalui proses yang agak sedikit lama, serta membutuhkan kesabaran dalam melakukan pembinaan bagi tenaga kerja orang Papua yang terlibat pada kegiatan tersebut, terkadang mereka harus diberi dorongan dan diingatkan tentang manfaat pekerjaan yang sementara dilakukan. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Tenaga kerja orang Papua kita libatkan juga waktu kerja di hutan. Karena kita hidup sama-sama orang Papua. Paling tidak jadi Helper (pembantu sensor). Yang ikut kita sudah bisa pengang sensor sendiri. Seperti yuli Kadepa. Enos. Dan Daud Douw suku Ekari. Dan juga 4 orang lain lagi. Mereka itu sudah bisa gesek kayu sendiri, ukuran kayu.dan bisa bongkar pasang mesin. Dari relasi itu beberapa tenaga kerja orang Papua yang sebelum-

nya hanya sebagai pembantu, kini mereka sudah bisa memegang sensor dan juga melakukan kegiatan olah kayu sendiri. Semuanya adalah orang Papua gunung, yaitu suku Ekari atau disebut Mee. Sebagian besar dari suku ini mendiami wilayah Kabupaten Enarotali dan beberapa daerah di sekitarnya yang sudah dimekarkan menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Deyai dan Dogiyai.

Modal usaha untuk kegiatan olah kayu dimulai dari modal kerja sama dan modal lainnya. Modal lain yang dimaksud adalah tempat usaha atau lokasi yang digunakan sebagai tempat kegiatan olah kayu ataupun simpanan dari hasil kerja keras sebelumnya, sedangkan kerja sama yang dilakukan tentu dengan pihak-pihak yang mempunyai modal, baik dalam bentuk uang atau benda. Berdasarkan penuturan informan, pada tahun 2004 mereka memulai kegiatan olah kayu dalam bentuk industri somwell bermodal kerja sama dengan pihak lain (rekan atau keluarga). Kerja sama tentu ada pembicaraan antara kedua pihak tentang hasil dan proses kegiatannya, antara lain tentang hasil yang akan diperoleh setelah proses bekerjaan selesai. Untuk informasi ini peneliti tidak memperoleh informasi secara detail, karena informan masih ragu dan tidak berani menyampaikan kepada peneliti. Peneliti pahami bahwa itu menyangkut rahasia perusahaan. Namun dalam proses kegiatannya satu pihak yang menangani kegiatan secara

Page 23: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

103

langsung di lapangan.

Karena kegiatan olah kayu dan industri somwell mempunyai dua tempat kerja terpisah, maka terjadi pembagian tugas antara anak dan bapak. Bapak mempunyai tugas mengawasi kegiatan atau pekerjaan penebangan kayu di hutan. Hasil penebangan menjadi penyuplai kayu utama ke somwell, juga membeli dari pekerja sensor lain di masya-rakat. Sedangkan anak mengawasi pekerjaan di somwell yang berlokasi di depan rumah. Dengan pembagian tugas tersebut situasi kerja tetap berjalan lancar. Berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi kerja (somwell) terdapat 1 mesin somwell, dan 2 mobil truk. Satu truk atau pick up yang digunakan untuk mengantar kayu kepada pemesan atau pembeli, sedangkan 1 truk yang besar digunakan untuk mengangkut kayu dari lokasi kerja (hutan) ke somwell. Di samping itu terdapat 2 tenaga kerja lain yang semuanya migran Jawa. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Kalau kayu, bapak sudah sendiri tahun 1986 kami sudah mulai ola kayu. dulu kan kita belum punya somwell begini. Kita punya somwell 2004 awal-awal gempa waktu itu. Modalnya join sama rekan atau kerja sama begitu.

Kegiatan olah kayu sudah dimulai sejak tahun 1986. Kegiatan olah kayu saat itu masih dilakukan secara pribadi dengan mengguna-kan satu mensin sensor, dengan 2 tenaga kerja, 1 operator dibantu oleh 1 orang helper. Hasil sensor dijual sesuai dengan ukuran kebutuhan lokal. Lokal artinya untuk ukuran pembuatan rumah seperti 5.5 5.10 dan 10.10. Jaringan penjualannya melalui pesan orang atau ditampung di rumah dan dijual. Namun umumnya melayani pesanan orang. Konsumennya saat itu lebih banyak masih di sekitar daerah transmi-grasi. Lokasi kerja masih dekat dengan jalan dan kampung, sehingga mudah untuk memindahkan hasil kerja dari hutan ke rumah. Namun saat ini, dengan perkembangan dan peluang usaha pada kegiatan olah kayu, memberi peluang untuk mengembangkan usaha dari bersifat pribadi dan kecil menjadi usaha kayu yang lebih besar, yaitu industri somwell dengan modal kerja sama. Namun hasilnya tetap melayani kebutuhan lokal, baik di daerah transmigrasi maupun di luar, khusus-

Page 24: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

104

nya di Kabupaten Nabire.

Hambatan-hambatan yang dialami dalam proses kegiatan olah kayu pada umumnya yang dialami semua pengusaha kayu di Distrik Nabire Barat. Peneliti mendapatkan informasi dari salah satu pengu-saha kayu yang mengungkapkan, bahwa hambatan yang sering dialami dalam pekerjaan yaitu ada 2 bentuk. Pertama alam (medan) dan yang kedua adalah dari pemilik hak ulayat. Hambatan alam (medan), dimana dari hasil pengolahan kayu sudah dalam jumlah banyak. Namun dalam proses untuk mengeluarkannya dari hutan ke jalan atau pantai untuk siap diangkut ke tempat pemasaran (somwell) di kota terkendala jalan yang terjal dan berliku-liku serta berlumpur. Selain itu kondisi sungai yang cukup dalam dan berarus deras cukup susah untuk dilewati, padahal jembatan juga belum ada. Kalau pun ada, masih darurat dan hanya bisa dilalui dengan pejalan kaki, sehingga hasil olahan kayu ditinggal di hutan. Itu berarti modal yang digunakan ikut tertanam di sana dan tidak bisa diolah. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan usaha. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Kita produksi di sana di daerah Yaro tidak bisa keluar sekian kubik mogok disana. Modal juga tertanam di situ. Sudah sekian ratus kubik, tidak bisa keluar. Seperti sekarang ini ada kalau tidak salah 50 an kubik kayu besi didaerah Kali Kabbu Yaro I, kendalanya satu Kali, jalan dan jembatan sampai sekarang belum bisa keluar.

Hambatan dari medan alam merupakan bagian dari suatu faktor

yang dialami setiap pengusaha kayu. Hambatan alam inilah yang terkadang membuat pengusaha kayu mengalami kerugian dan bangkrut, karena hasil yang diperoleh dengan modal yang digunakan tidak bisa diolah kembali alias mati. Bagi pengusaha kayu informasi ini merupakan sebuah peluang dan prospek usaha kayu tetapi sekaligus menjadi tantangan. Bagi siapa yang ingin melakukan usaha ini harus sudah siap menghadapi tantangan-tantangan dari alam, dan siap untuk rugi.

Hambatan kedua adalah dari pemilik hak ulayat, dimana pengusaha kayu terlibat pembicaraan dengan pemilik hak ulayat yang

Page 25: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

105

akan dijadikan tempat atau lokasi penebangan kayu. Dalam pembica-raannya menghasilkan suatu persetujuan tentang harga yang akan dibayar kepada pemilik ulayat. Maka pengusaha akan menyerahkan sejumlah uang, yang sesuai dengan permintaan pemilik hak ulayat. Dalam kasus ini pembayaran tahap pertama oleh pengusaha bernilai Rp. 20.000.000,- untuk satu blok dalam proses pekerjaannya. Kayu yang ditebang dan sudah dikerjakan, namun belum selesai, belum semuanya dipindahkan ke tempat pengolahan terakhir, pemilik hak ulayat sudah melarang (mengusir) pengusaha keluar dari lokasi terse-but. Sedangkan untuk yang kedua kali dengan kasus yang sama dimana pengusaha telah menyetor senilai uang yang sesuai dengan permintaan, pemilik hak ulayat. Dalam proses pekerjaannya tahap pertama dan kedua berjalan dengan baik dan tidak ada permasalahan. Tetapi setelah pengusaha ingin melanjutkan untuk tahap ketiga, pengusaha belum mulai kerja pemilik hak ulayat sudah melarang (mengusir) dari lokasi. Berikut ini penuturan informan:

Tetap ada dari pihak pemilik lokasi ibaratnnya adat, kita sudah bayar lokasinya, satu blok dengan harga sekitar 20 Juta, kayu belum selesai kita olah kita sudah diusir dari tempat situ, disini saja mungkin masih ada sekitar 50 an kubik kita punya yang tertanam didalam sini. Sudah dua kali bayar, yang ketiga kalinya kita belum kerja sudah diusir dari situ. Dari cerita ini peneliti menyimpulkan bahwa kemungkinan

adanya persaingan antara pengusaha kayu tentang harga lokasi, yaitu pihak kedua menawarkan kepada pihak pemilik ulayat dengan harga atau nilai yang lebih besar dari pada pengusaha sebelumnya, sehingga pemilik lokasi dengan terpaksa melarang atau mengusir. Kemungkinan lain pemilik ulayat merasa harga kayu sudah sangat mahal sementara bayaran per blok tidak sebanding dengan harga jual kayu yang diterima atau didapat oleh pengusaha. Kemungkinan berikutnya adalah pembi-caraan kesepakatan antara pengusaha dan pemilik ulayat tidak dibuat secara tertulis, sehingga tidak punya nilai hukum yang kuat, dan tidak menjamin sebuah kerja sama yang baik, dan berjalan mulus.

Relasi antara orang Papua dan migran Jawa sangat sedikit di kegiatan jual beli di pasar. Di awal memulai jualan di pasar ia merasa

Page 26: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

106

belum bisa melakukannya atau merasa bodoh tentang cara-cara berjualan dan memilih jenis jualan yang cepat laris. Kemudian saat berjualan pun tidak begitu rutin setiap hari. Satu hari berjualan, hari berikutnya tidak berjualan, terkadang sampai 1 minggu baru ia berju-alan lagi. Melihat kondisi itu datang 2 orang rekannya migran Jawa yang juga berjualan di pasar, untuk mengajaknya tetap berjualan dan itu dilakukan dalam beberapa waktu. Mereka juga mengajarkan tentang cara berjualan yang baik, yaitu menata barang jualan, menge-mas barang jualan dan sampai pada jumlah atau porsi barang yang didagangkan. Artinya jenis barang yang sama dijual oleh beberapa pedagang, selain itu dengan cara melihat pada penjual di pasar yang sama atau pada penjual di pasar lain di Nabire. Dengan kemauan dan kerja keras kini ia sudah bisa berjualan dan merasakan manfaatnya, bahkan merupakan orang Papua satu-satunya yang menjual jenis barang yang sama dengan migran dari luar Papua dengan berposisi jualannya di dalam pasar. Jenis barang yang dijual seperti sayur, tempe, tahu, pinang, sagu dan bumbu dapur. Barang dagangannya ia peroleh dari membeli pada orang lain baik sesama Papua maupun pada migran Jawa. Barang yang ia beli di sesama Papua yaitu pinang, sagu dan sayur, sedangkan di migran Jawa yaitu tempe dan bumbu-bumbu dapur. Ia berjualan mulai dari pagi sampai sore. Jam 4 dan 5 pagi ia sudah mulai bergegas ke pasar karena aktivitas pasar sudah mulai ramai, dan ia menutup barang dagangannya sekitar jam 4 atau 5 sore.

Selain itu ia juga terlibat dalam arisan yang dilakukan oleh ibu-ibu di pasar, bahkan ia merupakan satu-satunya migran Papua yang dilibatkan. Arisan dilakukan 3 kali dalam satu bulan, dan penyetoran uang setiap hari oleh anggota. Besaran uang yang disetor mulai dari Rp.5.000. 20.000,- sampai 100.000,-. Tiga kategori penyetoran ini disesuaikan dengan kesanggupan dari masing-masing anggota arisan, yang disetor kepada salah satu anggota yang dipercayakan untuk mengumpul dan memegang. Sedangkan orang Papua lebih banyak memilih menyetor Rp. 20.000,- karena pertimbangan kebutuhan keluarga dan belanja barang dagangan untuk esok harinya. Setelah terkumpul selama 10 hari baru akan dilakukan arisan dengan cara menulis nama masing-masing anggora pada sepotong kertas, kemudian

Page 27: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

107

diisi ke dalam sebuah gelas yang ditutup dengan kain atau kantong recek berwarna hitam lalu digoyang. Jika nama siapa yang jatuh maka ia berhak untuk mendapatkan arisan tersebut. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Awal saya berjualan sepertinya saya (Mama Moor) masih bodok. Setelah saya berjualan itu juga tidak rutin setiap hari. Satu hari berjualan satu minggu lagi baru saya jualan. Tapi ada teman orang Jawa 2 yang datang ajak-ajak saya, dan mengajarkan saya harus cara berjualannya begini. Setelah saya lihat baru dan ikuti terus akhirnya ada kemauan untuk tetap berjualan sampai sekarang. Dan dipasar juga saya yang diperbolehkan untuk ikut arisan. Dalam 1 bulan arisan 3 kali. Setiap hari kami stor dari Rp 5.000,- 20.000,- sampai 100.000,- ini disesuaikan dengan kemampuan anggota. Nanti 10 hari baru digoyang. Dan di pasar saya jual sayur, tempe, tahu, pinang, sagu dan bumbu dapur.

Pengakuan informan tentang awal melakukan kegiatan jualan di

pasar yang dimulai dengan perasaan rasa minder dan belum siap untuk melakukannya. Namun dengan bantuan teman migran Jawa serta terdorong oleh kemauan tetap mencoba melakukan kegiatan jual beli di pasar, akhirnya ia berhasil dan tetap menekuninya sampai sekarang. Dengan jenis jualan yang ia miliki tentu secara tidak langsung mengetahui kondisi kebutuhan pasar tentang jenis barang yang cepat laris dan dibutuhkan konsumen, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan keluarga. Selain itu pinang juga merupakan jenis jualan yang cukup diminati orang Papua, sehing-ga mempunyai posisi nilai tukar yang baik, yaitu satu tumpuk pinang yang berjumlah sekitar 5 sampai 10 biji tambah kapur dan 3 atau 4 batang siri seharga Rp. 10.000.-. Selain itu ia mendapat perlakuan khusus dalam kegiatan arisan ibu-ibu pasar. Karena ia saja yang dilibatkan dalam kegiatan arisan itu. Sementara ada sebagian migran Papua yang juga jualan di pasar tetapi tidak dilibatkan meskipun itu keluarganya.

Kegiatan jual beli di pasar dilakukan beberapa kelompok migran terutama orang Papua dengan jenis jualan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan peneliti, Papua pantai dengan jenis jualannya yaitu: sayur, mangga, dan nangka, tetapi lebih banyak pada penjualan pinang, karena sebagian besar pohon pinang ditanam dan berada di pesisir

Page 28: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

108

pantai. Namun terlihat secara tingkat konsumen pinang, Papua gunung kelihatan lebih banyak dibandingkan Papua pantai. Hal itu bisa terlihat di beberapa titik tempat penjualan pinang di Kabupaten Nabire seperti pasar dan terminal yang kebanyakan adalah orang-orang dari Papua gunung. Selain itu mulai dari tua muda, dari anak sekolah sampai pejabat makan pinang. Umumnya orang Papua pantai memiliki tempat penjualan yang cukup baik, karena di atas meja yang berbahan kayu dilapisi dengan potongan karpet yang terlihat rapi dan bersih, dan juga dilindungi oleh payung besar atau tenda yang merupakan bantuan dari Dinas Sosial.

Pemandangan yang sama juga terlihat pada sebagian migran Jawa yang berjualan di luar Pasar. Sementara orang Papua ada yang jual pinang, namun lebih banyak menjual hasil kebun seperti petatas, keladi, ubi kayu, sayur, jagung dan buah-buahan durian, rambutan, langsat, karena sebagian besar orang Papua gunung berkebun lokal serta tipe pekerja keras. Pada umumnya orang Papua gunung berjualan di luar pasar atau halaman pasar, duduk di bawah tanah yang berdebu. Hasil jualannya ditaruh di atas daun pisang atau karung, dan dibiarkan terbuka kena terik matahari maupun debu yang ditimbulkan oleh kendaraan baik roda 2 maupun roda 4. Secara kualiatas hasil jualan mama Papua lebih baik dan asli dibandingkan dengan hasil jualan migran luar yang sudah terkontaminasi dengan pupuk.

Perwakilan masing-masing agama dalam bentuk kelompok kerukunan menjadi salah satu bentuk relasi antar umat beragama di daerah transmigrasi. Informan mengatakan bahwa, hubungan antar pemeluk agama di sini sangat baik, karena dibentuk suatu kelompok kerukunan beragama. Dalam kelompok kerukunan tersebut ada perwakilan dari masing-masing agama, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Prostestan, Hindu dan Budha. Dari masing-masing perwakilan mempunyai tugas utama apabila terjadi kesalahpahaman antar pemeluk agama. Mereka akan menyelesaikannya di tingkat kelompok agamanya atau di tingkat kelompok kerukunan beragama, serta menjaga dan menjalin kehidupan beragama yang aman dan harmonis di antara pemeluk dalam kehidupan bermasyarakat.

Page 29: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

109

Tugas dari kelompok kerukunan ini bukan hanya mengurus persoalan kehidupan beragama saja, tetapi kelompok ini juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat yang lain misalnya kegiatan sosial untuk pembersihan lingkungan RT dan Kampung atau pember-sihan di lingkungan kuburan. Umumnya untuk menggerakkan masyarakat dari kalangan rohianiawan atau tokoh-tokoh agama sangat mudah dan cepat, karena masyarakat lebih mendengar, hormat dan taat pada perintah tokoh-tokoh agama daripada pemimpin lain dalam masyarakat. Tempat ibadah khususnya Masjid dan Gereja menjadi media relasi antar etnis beragama. Gereja menjadi media relasi antara Kristen Papua dan Kristen luar Papua. Suasana relasi pada bagian ini tentu sangat kuat dan terjalin dengan baik tanpa membedakan etnis. Kehidupan ini pun terbawa dan terjaga dalam hidup bersama di masyarakat. Dari relasi ini juga tanpa disadari telah memberikan pengaruh yang positif antar sesama. Sisi positif yang dimaksud adalah terjadinya komunikasi dan interaksi secara terbuka penuh persauda-raan, kasih mengasihi di antara sesama. Lewat interaksi ini pula secara tidak langsung memberikan hal-hal baru bagi orang Papua terutama tradisi dan tata cara hidup. Sisi positif lain yang perlu dilihat adalah Kristen luar Papua merasa terlindungi oleh Kristen Papua dalam tataran kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan Masjid menjadi media relasi antar migran Bugis Makassar dan Jawa yang beragama Islam, relasi dari 2 kelompok migran ini pun berjalan dalam suasana saling menghargai, tolong me-nolong, dan bekerja sama, dan tentu terjadinya proses saling pengaruh-mempengaruhi yang berhubungan dengan budaya dan karakter antar masing-masing kelompok migran. Peneliti amati adanya arisan antar ibu-ibu dari dua kelompok migran ini yang dilakukan setiap seminggu sekali, yaitu setiap hari jumat, karena hari jumat sebagian besar tidak melakukan aktivitas secara penuh dan ada juga yang memilih tidak beraktivitas. Oleh sebab itu arisan menjadi bagian dari media sosialisasi di antara kelompok ibu-ibu di 2 kelompok migran tersebut. Namun yang jelas Gereja dan Masjid menjadi media relasi yang sangat efektif antara etnis beragama sekaligus memperkuat proses kelompok keru-kunan beragama para warga di daerah transmigrasi, sebagaimana

Page 30: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

110

penuturan informan berikut ini: Sangat baik, malahan di kampung sini dibentuk kelompok kerukunan beragama jadi setiap masing-masing agama baik Kristen Katolik, Kristen Protestas, Islam, Hindu, dan Budha, mempunyai perwakilan masing-masing. Jadi keharmonisan kehidupan beragama selalu tetap terjaga dengan baik, dan aman.

Relasi antara Orang Papua dan Migran Nusa Tenggara Timur

Relasi antara orang Papua dan migran NTT lebih dekat dan penuh kekeluargaan terutama terlihat pada pendidikan. Berdasarkan pengamatan peneliti kehidupan bersama antara dua kelompok ini cukup berbeda bila dibandingkan dengan migran lain. Perbedaan itu bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari dimana orang Papua merasa terbuka pada migran NTT tentang sesuatu yang dialami. Mereka tidak merasa sungkan menyampaikan sesuatu keperluan pada migran NTT. Keperluan yang dimaksud adalah menyangkut dengan kekurangan atau terdesak oleh suatu kebutuhan, mereka lebih memilih ke migran NTT untuk mencari solusi, apalagi menyangkut dengan kepentingan anak sekolah. Begitu pun sebaliknya migran NTT tidak merasa ragu-ragu untuk menegur dan menyampaikan sesuatu yang dianggap tidak tepat atau salah. Lebih tegas lagi pada hal-hal tertentu yaitu menyangkut dengan kebiasaan yang dapat merugikan banyak orang terutama perilaku mabuk. Perhatian migran NTT pada pendidikan anak-anak-nya telah turut memberikan dampak pada pendidikan anak-anak orang Papua. Migran NTT dengan segala keterbatasan ekonomi namun pendidikan anak-anaknya menjadi prioritas utama. Perhatian bukan hanya pada kebutuhan biaya pendidikan saja, tetapi juga pada penga-wasan terhadap pergaulan dan belajar di sekolah, maupun di rumah. Suasana inilah mulai terlihat pada sebagian besar orang Papua. Migran NTT merasa juga turut mengawasi anak-anak sekolah yang ada di lingkungan itu apabila mereka bolos atau malas dengan menegur atau menasehati atau langsung orang tuanya yang ditegur, apabila waktu sekolah anak membantu orang tuanya bekerja di rumah atau di kebun. Dalam pergaulan antara anak-anak pun mereka saling meng-ingatkan dan memberi motivasi, serta dalam belajar kelompok pun anak migran

Page 31: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

111

Papua lebih memilih bersama anak anak NTT dari pada migran luar.

Saudara dan ipar merupakan panggilan orang Papua pada migran NTT dan pangilan ini berlaku umum di Papua. Dua panggilan inilah migran NTT merasa mempunyai tanggungjawab moril bagi orang Papua dalam kehidupan bermasyarakat, terutama yang terlihat dalam dunia pendidikan di Papua. Tanggungjawab moril itu bisa terlihat dalam kehidupan masyarakat antara migran Papua dan Migran NTT yang sudah peneliti singgungkan. Selain itu pada pendidikan di lingkungan sekolah banyak tenaga pendidik (guru) migran NTT baik di SD sampai SMA dari kota sampai pedalaman. Mereka menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab dan itu terlihat pada generasi dulu sampai sekarang. Ipar menurut pemahaman umum yaitu migran NTT baik laki atau perempuan yang kawin dengan orang Papua. Selain itu dalam perkawinan campur tersebut terdapat pembagian marga di antara anak-anak mereka. Ada yang ikut marga mama, ada juga yang ikut marga bapak, sehingga dalam kehidupan sosial terlihat ia orang NTT tapi marga Papua. Saudara adalah dari sisi kedekatan dan keterbukaan di antara migran NTT dan Papua.

Migran NTT dalam kehidupan bersama orang Papua sudah cukup lama yaitu dimulai sejak 1908 dalam sejarah transmigrasi di Papua yang dimulai di Merauke, sedangkan di Nabire dalam catatan Dinas Pemukiman Penduduk Nabire dimulai tahun 1995. Secara keyakinan sama dengan orang Papua, dan juga termasuk orang kawasan timur. Dilihat secara fisik maupun karakter hampir sama yaitu kulit dan berkarakter keras.

Relasi antara orang Papua dan migran NTT cukup dekat yang sudah dimulai sejak dulu sehingga migran NTT dikatakan migran lokal. Berdasarkan laporan informan dikatakan bahwa di awal penempatan warga lokal Papua yang pertama dimulai pada tahun 1983 bersama dengan migran NTT yang berjumlah 2 KK (Kepala Keluarga). Mereka ditempatkan bersama-sama di satu lokasi yaitu Satuan Pemukiman 1 (SP I) sekarang Kampung Bumiraya dan berbeda jalur dan RT. Hal ini disebabkan proses penempatan pemukiman di lokasi transmigrasi untuk menempati jalur-jalur dilakukan secara lotre, sehingga bagi

Page 32: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

112

migran lokal yang mendapatkan nomor lotre di satu jalur mereka tinggal bersama-sama, begitu pun sebaliknya yang dapat beda harus pisah dan tinggal di jalur lain sesuai dengan nomor lotre. Cara ini hanya dilakukan untuk warga lokal (Papua dan NTT) yang mau bertransmigrasi dengan tujuan agar antara warga lokal (Papua dan NTT) dan migran luar hidup berbaur di lingkungan transmigrasi, sekaligus menghindari kehidupan berkelompok pada satu lajur di daerah transmigrasi. Migran NTT yang bertransmigrasi dan berstatus sebagai migran lokal, mereka awalnya tinggal di Kabupaten Nabire, dengan keluarga atau kawin dengan orang Papua yang masih tinggal di kota atau pun tempat lain di Nabire. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Trans lokal pertama itu bapak satu sebelah (samping, tetangga) Paitu Alex Tinal dari Ilaga, saya dari Pulau moor dan saudara dari NTT 2 KK kami yang lokal pertama pada tanggal 25 Juni 1983. Jadi waktu itu Papua kami 4 KK. Kami pegang lotre untuk dapat tempat atau jalur. Saya dengan Paitu Alex sama di jalur 6 sini. Dan saudara NTT dong dapat di jalur 5 timur situ. Setelah itu baru lokal-lokal lain menyusul belakang.

Pengakuan informan tentang proses awal orang Papua menjadi

warga transmigrasi yaitu dimulai tahun 1983 dengan jumlah migran lokal saat itu baru sedikit yaitu dari Papua 4 Kepala Keluarga dan 2 Kepala Keluarga dari NTT. Dari 6 Kepala Keluarga inilah yang pertama menjadi warga transmigrasi. Cara penentuan tempat tinggal atau jalur dilakukan dengan cara lotre. Cara lotre adalah cara dimana nama-nama para migran lokal di tulis pada sepotong kertas digulung kemudian dikocok setelah itu ambil oleh masing-masing migran. Dengan proses itulah di banyak jalur tempat tinggal warga transmigran terdapat orang Papua dengan jumlah yang sedikit dan itu nampak sekali dari bentuk rumah dan pekarangannya. Rumah umumnya berbahan kayu dan berlantai semen, yang sebagian berpenerangan pelita. Kondisi rumah kurang terawat dengan baik. Selain itu pekarangan rumah ditanami ubi-ubian dan juga ditumbuhi rumput-rumput, terkadang bagi orang yang baru melihat suasana itu mengira rumah tersebut tidak ada penghuni. Namun sebagian orang Papua juga memiliki rumah yang

Page 33: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

113

bagus, bermodel, dan ditata dengan baik, pekarangan sudah selalu diperhatikan kebersihannya dan ditanami bunga. Bahkan lebih bagus dari migran luar sehingga terkadang bagi orang baru mengira bahwa rumah tersebut adalah rumah pejabat atau pendatang.

Suasana lain juga terlihat pada relasi antara orang Papua dan migran NTT pada kegiatan yang bersifat umum baik di lingkungan RT maupun Kampung. Berdasarkan pengamatan peneliti apabila kegiatan yang bersifat umum baik di lingkungan RT maupun Kampung dilaku-kan secara gotong royong, baik pembersihan lingkungan ataupun lainnya yang menyangkut kepentingan bersama. Pada umumnya migran NTT lebih mudah menggerakkan orang Papua dari pada migran lain. Migran NTT dengan nada yang tegas keras sesuai dengan karakter bagian timur, dan menyampaikan informasi atau perintah tidak memilih-milih, pada hari kerja jika tidak ada yang sibuk dengan pekerjaan pribadi, semua diharuskan untuk ikut kerja. Selama itu migran NTT tidak merasa malu hati atau segan-segan memberikan penjelasan pada migran yang terlambat atau tidak ikut, dan biasanya migran NTT lebih awal datang dan bekerja dengan membawa serta peralatan kerja, sampai-sampai migran NTT ke rumah warga khusus-nya orang Papua untuk mengingatkan bahwa sekarang ada pekerjaan, baik kerja bakti di lingkungan RT maupun kampung, atau yang menyangkut kepentingan umum. Hal itu bisa dipahami bahwa migran NTT selain tegas, dalam kehidupan bersama orang Papua, migran NTT adalah Ipar dan sebagai saudara, sehingga bagi orang Papua sebutan Ipar dan saudara sangat istimewa dalam tatanan keluarga orang Papua.

Bagi migran luar masih ada pertimbangan malu hati dalam penyampain informasi. Mereka menyampaikan dengan nada yang santun, dan itupun hanya 1 kali, tidak ulang-ulang, kecuali sesepuh migran luar yang sudah dikenal baik di kalangan orang Papua. Ia lebih gampang untuk diikuti dan didengar. Meskipun demikian, terkadang ada yang tidak ikut terlibat dalam kerja atau kegiatan tersebut. Yang biasa tidak ikut atau agak terlambat dalam memahami kegiatan yang bersifat umum adalah migran-migran lokal yang kurang terbuka dalam berinteraksi di lingkungan transmigran, dan umumnya migran lokal

Page 34: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

114

generasi ketiga. Karena migran lokal generasi ini bebas masuk dan tinggal di lingkungan transmigrasi, tidak seperti warga lokal awal yang melalui aturan-aturan dan cukup terbuka dalam kehidupan sesama migran.

Relasi antara orang Papua dan NTT juga terlihat pada kehidup-an keagamaan dan gereja sebagai media relasinya. Berdasarkan pengamatan peneliti kehidupan keagaman antara orang Papua dan migran NTT tetap berjalan dengan baik dan saling menghargai, penuh persaudaran, sekalipun dari 2 kelompok migran ini dalam kegiatan beribadah kelihatan berbeda, karena ada yang beragama Kristen Katolik dan Kristen Prostestan. Untuk orang Papua gunung lebih banyak beragama Kristen Katolik, dan Papua Pantai lebih banyak beragama Kristen Protestan. Adapun migran NTT ada yang beragama Kristen Katolik, ada juga yang beragama Kristen Prostestan. Perbedaan Gereja dan Agama di antara dua kelompok migran ini tidak menjadi penghalang dalam hal membangun relasi, dan tentu relasi yang dibangun di Gereja sangat kuat dan penuh kemanusian.

Dari suasana relasi yang penuh kemanusiaan inilah sampai terbawa dalam kehidupan bermasyarakat secara umum dan khusus antara migran Papua dan migran NTT. Hubungan mereka tetap terjalin dengan baik dan saling membutuhkan serta saling melindungi. Terle-pas dari gereja sebagai media keagamaan yang membedakan 2 kelom-pok migran tersebut, namun sesungguhnya dalam kehidupan sosial masing-masing kelompok migran ini diikat oleh satu ikatan yang kokoh dan penuh kasih yaitu suku dan asal daerah, dan suasana ini akan bertambah kuat apabila berada di daerah rantauan karena sesama dari 1 daerah akan dinggap sebagai saudara, keluarga, dan orangtua. Sebagaimana penuturan informan berikut ini;

Kita di kalangan transmigran ini kita hidup majemuk to, ada orang Papua, Jawa,Toraja,Bugis Makassar, Kalimantan, dan NTT, kalo ada persoalan kami selalu baku menjaga satu sama lain dan kami juga turun tangan. Kecuali mabuk-mabukan yang biasa buat keonaran, pihak keamanan yang amankan, dan setiap kegiatan dilingkungan sini kami semua terlibat.

Page 35: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

115

Keterangan informan ini menceritakan tentang kehidupan suku- suku yang ada di daerah transmigrasi yang saling membantu dan saling melindungi di antara sesama migran apabila ada persoalan yang terjadi pada migran luar Papua. Persoalan yang dimaksud adalah jangan sampai terjadi persoalan atau konflik antara suku, terutama migran luar Papua dan orang Papua. Selain itu ada tangungjawab bersama terhadap kegiatan di lingkungan sosial yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Relasi Orang Papua dan Migran Bugis Makassar

Relasi orang Papua dengan migran Bugis Makassar pada kegiat-an olah kayu lebih mengarah pada pemahaman bisnis. Berdasarkan keterangan informan, awalnya melakukan kegiatan olah kayu ia lebih dekat dan membantu pada migran Bugis Makassar. Bukan hanya membantu pada kegiatan kayu saja, tetapi banyak waktu ia habiskan bersama keluarga migran Bugis Makassar, sampai makan tidur di rumah keluarga tersebut. Dengan kedekatan ini secara tidak langsung tradisi kegiatan ekonomi yang dilakukan migran Bugis Makassar dapat ditiru oleh orang Papua. Hal itu terbukti pada tahun 1999 ia memulai usaha kayu, bertepatan dengan peluang yang diberikan pemerintah bagi masyarakat pemilik Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Papua, untuk melakukan kegiatan penebangan atau mendatangkan investor dari luar, namun tetap bernaung di bawah lembaga atau koperasi masyarakat yang disebut dengan Kopermas. Pada saat itu masyarakat Papua, terutama pemilik HPH berlomba-lomba melakukan kegiatan usaha kayu, baik secara pribadi maupun kerja sama. Dengan kesem-patan itu ia diberi lokasi (hutan) dari suku Wate, kemudian diperkuat dengan surat dari pemilik hak ulayat.

Pada saat itulah ia mulai melakukan usaha kayu. Usaha kayu yang dijalankan bermodal pribadi dan lokasi hutan kayu. Dengan modal utama ia mencari tenaga operator migran Jawa dan NTT dengan cara bagi hasil. Bagi hasil artinya pemilik hak ulayat hanya menye-diakan lokasi, sedangkan operator menyediakan sensor dan menang-gung segala keperluannya. Setelah itu dilakukan pembagian antara

Page 36: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

116

operator dan pemilik hak ulayat. Pembagian dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dari cara pertama ini ia memperoleh hasil dan dijadikan modal, kemudian dengan modal itu ia membiayai operator sensor, yaitu mulai dari biaya makan, sampai alat-alat yang dibutuhkan. Dengan demikian akan terjadi pembagian hasil antara operator dan pemilik hak ulayat dalam 3 bagian, yaitu pemotongan ongkos kerja dan hak ulayat untuk pemilik hak ulayat. Namun untuk menjaga hubungan kerja sama tetap terjaga dan berjalan dengan lancar, pada umumnya pelaku usaha kayu lebih memilih pembagian hasil hanya pada tahap pemotongan ongkos kerja, sedangkan untuk operator setelah dibagi atau dikurangi ongkos kerja dan hak ulayat, selebihnya untuk gaji operator. Sebagaimana penuturan informan berikut ini:

Kami tau usaha kayu itu setelah adanya kopermas. Kopermas itu di Papua tahun 1999. Dari situ baru kami tau ola kayu. dari suku Wate berikan lokasi dengan surat hak ulayat pada kami. Saat itu baru kami kelola. Dan kegiatan ini secara pribdi kami rasa ada peningkatan sedikit ya untuk kebutuhan keluarga itu ada. Operator sensor ada masa Jawa, saudara dorang dari NTT. Dan kita kasih (berikan) ongkos kerja. Saling mengisi satu sama lain. Supaya usaha tetap lancar.

Penuturan informan ini mengisahkan tentang kegiatan olah kayu di saat adanya Kopermas. Ia melakukan kegiatan olah kayu dalam bentuk usaha dengan mempekerjakan migran luar. Dari cerita ini pula peneliti dapat menyimpulkan bahwa orang Papua ini telah bisa menggunakan strategi bisnis dengan memutarkan modal untuk meng-hidupkan usahanya. Dari kegiatan usaha kayu yang ditekuni ia telah merasakan ada peningkatan dan perubahan sedikit demi sedikit dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu ia bisa melakukan usaha pada kegiatan olah kayu karena ia menjalin hubungan dengan pemilik hak ulayat, sehingga ia diberi lahan atau hutan kayu sebagai modal utamanya. Sebagai orang Papua ia telah mengerjakan tenaga kerja luar Papua. Kegiatan usaha kayu yang dilakukan bukan semata mencari keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan sisi sosial antara sesama manusia.

Page 37: Bab Lima Relasi Masyarakat Lokal dan Migran di Distrik Nabirerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB V.pdf · membangun relasi di kegiatan pertanian padi,

117

Kesimpulan Beberapa relasi yang dibangun bersama orang Papua dan migran

luar Papua memberikan penilaian tersendiri dalam kehidupan bersama. Relasi yang dibangun bersama migran di daerah transmigrasi telah dirasakan sebagai sesuatu yang berbeda dalam kehidupan individu migran Papua. Perbedaan yang dimaksud adalah sesuatu yang dulunya belum bisa dilakukan sekarang sudah bisa dilakukan. Artinya mulai dari usaha kebun ke padi. Hal itu melalui relasi kegiatan-kegiatan migran dari luar Papua yang juga melibatkan migran Papua dalam relasi tersebut. Sebagaimana migran Jawa lebih fokus pada relasi pertanian, peternakan, sebagian olah kayu, pertukangan, dan lainnya. Migran NTT lebih nampak pada pendidikan, sedangkan migran Bugis Makassar lebih pada pemahaman bisnis. Relasi antar umat beragama juga dibangun lewat sebuah ide bersama yang dibentuk kelompok kerukunan beragama di daerah transmigrasi. Gereja dan Masjid menjadi media relasi dalam kelompok dan etnis beragama. Dengan relasi-relasi tersebut menjamin suatu suasana kehidupan yang saling menghargai dan bermanfaat. Sekalipun muncul hambatan-hambatan yang sedikit mengganggu proses relasi, namun itu merupakan bagian dari problem dari sebuah kegiatan yang dilakukan. Hambatan-hambatan yang muncul terkadang di antara sesama manusia maupun secara alami.