BAB IX - R U D I | Lecturer, Universitas Negeri … · Web viewdalam Handayaningrat (1982)...
Transcript of BAB IX - R U D I | Lecturer, Universitas Negeri … · Web viewdalam Handayaningrat (1982)...
115
B AB IX
FUNGSI - FUNGSI MANAGEMENT
Fungsi-fungsi manajemen yang akan di jelaskan disini ialah
menurut pendapat George R Terry, dimana pembagian menurut
beliau itu cukup sederhana. Oleh karena itu di bawah ini akan
diuraikan sebagai berikut :
A. Planning ( perencanaan )
116
1. Definisi perencanaanGarth N. Jone dalam Handayaningrat (1982)
mendefinisikan perencanaan sebagai “proses pemilihan dan
pengembangan dari tindakan yang paling baik/menguntukan
untuk mencapai tujuan.
Koontz dan O’ Donnel mengatakan bahwa perencanaan
adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan pilihan dari
berbagai alternatif dari tujuan, kebijaksanaan, prosedur, dan
program (Manullang, 1996).
W.H. Newman, dalam Handayaningrat (1982),
memberikan definisi perencanaan sebagai keputusan apa yang
akan dikerjakan untuk waktu yang akan datang, yaitu suatu
rencana yang diproyeksikan dalam suatu tidakan.
Apabila disimak definisi-definisi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahaw “perencenaan merupakan tindakan
penentuan secara matang tentang apa yang akan dikerjakan,
termasuk penentuan kebijaksanaan, penentuan tujuan,
penggunaan fasilitas, dalam rangka pencapaian tujuan yang
diinginkan”.
Dari beberapa pendapat mengenai definisi perencanaan di
atas, jelas terlihat bahwa perencanaan itu merupakan suatu
proses, merupakan suatu fungsi, dan merupakan suatu
keputusan. Dikatakan sebagai suatu proses, karena
perencanaan itu merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
dimulai dengan tahap persiapan, penetapan sasaran-sasaran
yang akan dicapai dalam rangka pencpaian visi, misi, dan tujuan
organisasi, penentuan alternatif, pengaturan sumber-sumber 117
yang diperlukan, penentuan organisasi, metode dan
prosedurnya, serta penetapan rencana itu sendiri ( A.M.
Williams, 1966). Perencanaan sebagai suastu fungsi, adala
merupakan fungsi manajemen yang wajib dilakukan oleh
seorang manajer atau pimpinan. Dengan rencana itu, maka
seorang manajer memiliki pedoman untuk melakukan kegiatan-
kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan organisasinya.
Sedang perencanaan sebagai suatu keputusan merupakan suatu
instrumen kepemimpinan yang memuat kejelan hal-hal yang
akan diperbuat, bilamana, dan siapa yang akan terlibat di
dalamnya.
Perencanaan merupakan pedoman dalam setiap
usaha kerja sama, karena berdasarkan perencanaan yang baik
segala kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dapat terarah
kepada tujuan yang telah ditentukan.
Tanpa perencanaan yang baik maka dapat dipastikan
bahwa kegiatan-kegiatan kerja akan mengalami kesulitan-
kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat berupa
penyimpangan arah kegiatan dari tujuan semula, perencanaan
waktu, biaya, tenaga, kesulitan di dalam mengevaluasi kemajuan
dari pada kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dan kadang-
kadang dapat mengakibatkan gagalnya pencapaian tujuan.
2. Karakteristik Perencanaan yang BaikDalam membuat perencanaan kita harus mengetahui sifat
dari perencanaan itu sendiri, yaitu perencanaan harus bersifat :
118
a. Factual yang artinya bahwa dari fakta-fakta atau data-data
yang ada kemudian kita memikirkan kejadian-kejadian lebih
lanjut baru kita menyusun perencanaan
b. Bersifat rational,yang artinya bahwa perencanaan itu harus
logis dan dapat diterima oleh akal sehat.
c. Fleksibel, artinya perencanaan itu dapat mengikuti situasi dan
kondisi yang dapat berubah-ubah.
d. Bersifat kontinue, artinya bahwa perencanaan itu harus dibuat
secara terus menerus dalam pengertian tidak hanya satu kali.
e. Bersifat dialektif, artinya perencanaan itu dibuat dengan dasar
peningkatan perbaikan.
Untuk membuat suatu rencana yang baik, perlu dipinjam konsep
Rudyard Kipling (dalam Siagaian,1977) yang dipakai di dalam
menata hidupnya. Dalam hal ini, dia memakai enam pelayan,
yaitu:
What, Where, When, How, Who, dan Why. Keenam konsep ini
dapat diterapkan di bidang administrasi dan manajemen,
terutama di bidang perencanaan. Keenan pertanyaan ini dapat
memperjelas hal-hal apa yang diperbuat dalam perencanaan,
yaitu:
a. Apa yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan?
Pertanyaan ini meminta perincian kegiatan yang diperlukan,
sarana dan prasarana yang diperlukan dan sebagainya.
b. Di mana kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan? Ini,.meminta
lokasi fisik setiap kegiatan itu dilaksanakan, berikut
kemudahan yang dapat diperoleh dan dicapai dari lokasi ini.
119
c. Bilakah kegiatan itu dilaksanakan? Pertanyaan ini menuntut
ditetapkannya secara tegas waktu pelaksanaan mulai dari
penetapan waktu dimulainya kegiatan sampai kepada
berakhirnya kegiatan itu nanti. Di sini juga, dipertimbangkan
sistem prioritas didalam perencanaan.
d. Bagaimana cara melakukannya? Hal ini, menyangkut sistem
dan tatacara melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka
pencapaian tujuan.
e. Siapa yang akan mengerjakan kegiatan itu? Pertanyaan ini
menuntut ditetapkannya petugas, yang akan mengerjakan
pekerjaan itu dengan sisertai persyaratan-persyaratan seperti:
umur, skill, kompetensi, dan lain-lainya.
f. Mengapa pekerjaan itu harus dikerjakan? Pertanyaan ini
menuntut perlunya memberi alasan yang mendasar mengapa
pekerjaan itu diperlukan. Bahkan pertanyaan ini ditujukan
kepada kelima pertanyaan sebelumnya.
Menjawab secara memuaskan keenam pertanyaan itu, akan
menciptankan perencanaan yang baik.
3. Jenis-Jenis Perencanaan Ada beberapa jenis perencanaan yang dikenal dalam
literatur, antara lain seperti yang dikemukakan Salusu (1996),
yaitu:
a. Perencanaan Jangka panjang (long range planning), yaitu
perencanaan yang berfokus pada apa dan keadaan
bagaiman yang diinginkan oleh suatu organisasi pada akhir
suatu priode tertentu.120
b. Perencanaan Stratejik, yaitu rencana bertindak tentang
bagaimana suatu organisasi hendak sampai ke tujuan yang
diinginkan. Perencanaan ini harus orientasikan pada
lingkungan eksternal yang mengandung ketidak pastian,
kompleksitas, dan situasi lingkungan yang sulit diprediksi.
Perencanaan stratejik berpijak pada keputusan stratejik yang
dibuat oleh menejer puncak. Oleh karena, perencanaan
stratejik jangka waktunya maksimal lima tahun, maka ia
tergolong perencanaan jangka menengah.
c. Perencanaan jangka pendek. Perencanaan ini, bersifat
operasional yang berfokus pada jangka waktu yang lebih
pendek, sekitar satu tahun. Perencanaan ini memperlilhatkan
apa yang ingin diperoleh tahun depan untuk dapat mencapai
kondisi yang dikehendaki dalam rencana stratejik
Siagian (1977) membedakan perencanaan atas dua aspek
yaitu administrative planning dan managerial planning.
Administrative planning meliputi segala aspek kegiatan dan
meliputi seluruh organisasi. Ia, merupakan hasil pemikirandan
penentuan yang bersifat garis besar. Sedangkan, managerial
[lanning bersifat departemental dan operationan, lebih khusus
dan terperinci (mendetail).
3. Pembuat RencanaPembuat rencana yang utama ialah manajer. Namun
demikian, tidak berarti manajerlah satu-satunya yang
bertanggung jawab atas pembuatan rencana. Seorang manajer
dapat juga menugaskan orang-orang atau badan tertentu untuk
membuat rencana. Misalnya, manajer membentuk panitia 121
perencanaan untuk ditugasi membuat rencana. Manajer atau
pemimpin dapat juga menugaskan kepada bagian perencanaan
atau staf perencanaan untuk membuat suatu rencana.
B. Organizing ( Pengorganisasian ).
1. Pengertian Prorganisasian
S.P. Siagian (1977) memberikan definisi pengorganisasian
sebagai “keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-
alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewengan sedemikian
rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan
sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang
telah ditentukan
Selanjutnya, Henry Fayol (1949), memberikan definisi
pengorganisasian di bidang Bisnis dengan mengatakan “To
organize a business is to provide it with every thing useful to its
functioning raw materials, tools, capital, personel” (Mengorganisir
suatu perusahaan adalah mengambil tindakan terhadap segala
kesatuan fungsi seperti bahan baku, alat-alat, modal dan
karyawan).
Dari definisi di atas, jelas bahwa dari pelaksanaan fungsi
pengorganisasian akan tercipta suatu organisasi yang siap
dioperasikan (ready for action) karena telah dilengkapi segenap
sumber-sumber seperti personil, modal, bahan-bahan, peralatan,
dan sebagainya. Organisasi yang sudah terbentuk dari proses
pengorganisasian itu dapat dijadikan wadah kerjasama untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Proses pengorganisasian
122
merupakan langkah permulaan dari pelaksanaan rencana yang
telah disusun semula.
Dari uraian trersebut di atas dapat kiranya ditawarkan
definisi lain dari pengorganisasian, yaitu “Pengorgaisasian
adalah suatu proses penetapan dan pembagian pekerjaan tugas-
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan penetapan hubungan-
hubungan antara unsur-unsur tersebut serta pemberian fasilitas
sehingga memungkinkan orang-orang dapat bekerja bersama
untuk mencapai tujuan”.
Jadi, pengorganisasian dimaksudkan untuk membentuk
struktur organisasi yang formal sehingga jelas pembagian kerja
dan fungsi-fungsi serta hubungan-hubungan pejabat yang ada
dalam usaha kerja sama itu.
Beberapa tujuan utama dari pengorganisasian ialah
mempermudah pelaksanaan tugas, mambagi-bagi suatu
kegiatan besar menjadi kegiatan yang lebih kecil yang
selanjutnya masing-masing kegiatan itu di bebankan kepada
orang-orang yang tepat sehingga mempermudah pelaksanaan
tugas itu.
Selanjutnya pengorganisasian bertujuan pula untuk
mempermudah pimpinan mengawasi bawahan dan menentukan
orang-orang yang dibutuhkan untuk memangku tugas-tugas yang
sudah diperinci.
Drucker (1982) melihat pengorganisasian ini sebagai tugas
pokok dari manajer yang memerlukan perhatian besar.
Sehubungan dengan ini, maka seorang manajer di dalam
pengorganisasian perlu melakukanhal-hal seperti: (1) 123
menganalisis semua kegiatan, keputusan dan hubungan kerja
yang diperlukan; (2) menggolong-golongkan pekerjaan,
membaginya kegiatan-kegiatan yang dapat dikendalikan, dan
kemudian membagi kegiatan itu menjadi pekerjaan yang dapat
diatur; (3) mengelompokan unit-unit dan pekerjaan-pekerjaan itu
ke dalam suatu struktur organisasi; (4) memilih orang-orang
untuk memanajemeni unit-unit itu dan pekerjaan yang harus
dilaksanakan. Jadi, dalam mengorganisir, manajer memerlukan
kemampuan analisis karena tugas itu menuntut penggunaan
sumber daya yang langkah sehemat mungkin. Di samping itu,
manajer juga harus tunduk pada prinsip keadilan dan
memerlukan integritas, karena pengorganisasian menyangkut
manusia. Selain dari itu, karena berhubungan langsung dengan
manusia, maka manajer juga perlu memiliki daya tanggap dan
pengertian yang manusiawi serta dituntut untuk
mengembangkan orang-orang.
2. Penyusunan OrganisasiPengorganisasian dapat dilakukan bilamana pada sutu
saat terdapat tujuan yang perlu dicapai. Tujuan itu dapat berupa:
(a) Tujuan yang berdiri sendiri, (b) Tujuan yang tidak berdiri
sendiri dan merupakan bagian dari suatu tujuan yang lebih luas
(sub tujuan), dan (c) Tujuan baru sebagai perkembangan dari
tujuan lama (Sidik prawiro,dkk. 1977).
Pengorganisasian yang diarahkan untuk mencapai tujuan
yang berdiri sendiri akan menjelmakan suatu organisasi yang
berdiri sendiri. Sedangkan, pengorganisasian yang dilakukan
124
untuk pencapaian sub tujuan akan menjelmakan sub organisasi
yang merupakan bagian pula dari organisasi yang sudah ada.
Berbeda dengan tujuan di atas, perubahan tujuan
organisasi membawa konsekuensi perubahan dibidang bentuk
susunan, corak, ukuran, ataupun personalia dari organisasi yang
bersangkutan. Proses perubahan oragnisasi yang demikian
dikenal dengan istilah “reorganisasi”(reorganizing). Jadi, kalau
perubahan tujuan organisasi sangat mendasar membawa
konsekuensi reorganisasi. Hal ini, tidak akan dibahas dalam
uraian ini.
Proses penyusunan organisasi atau dalam tulisan ini
dinamakan juga pengorganisasian menurut Sidikprawiro,dkk.
1977) meliputi pelbagai rangkaian kegiatan yang bermula pada
orientasi atas tujuan yang akan dicapai dan berakhir pada saat
kerangka organisasi tercipta, terlengkapi dengan prosedur dan
metode kerja, kewenangan, personalia, serta peralatan yang
diperlukan.
Proses yang dimaksud beliau dapat dijabarkan menurut
konsekuensinya sebagai berikut:
a. Perumusan tujuan
b. Penetapan tugas pokok
c. Perincian kegiatan
d. Pengelompokan kegiatan-kegiatan ke dalam fungsi-fungsi
e. Derpartementasi
f. Pelimpahan wewenang
g. Staffing
h. Fasilitating125
Berikut akan dijelaskan secara singkat masing-masing
tahap tersebut :
a. Tujuan yang ingin dicapai apakah itu tujuan yang berdiri
sendiri, sub tujuan, mau pun tujuan baru harus dirumuskan
secara jelas dan lengkap. Dari tujuan itu dapat diketahui
bentuk, susunan, corak, maupun ukuran besar kecilnya
organisasi yang harus disusun.
b. Penetapan tugas pokok merupakan penetapan sasaran yang
akan dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penetapan tugas pokok
adalah: (1) Tugas pokok harus merupakan bagian dari tujuan,
karena itu pelaksanaan tugas pokok akan mendekatkan pada
tujuan, (2) Tugas pokok harus dalam batas kemampuan untuk
dicapai dalam jangka waktu tertentu,(3) Tugas pokok adalah
landasan dalam penyelenggaraan semua keguiatan dalam
organisasi.
c. Perincian kegiatan dapat dilakukan dengan memjawab
pertanyaan “kegiatan-kegiatan apa saja yang perlu
dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok.”
Perincian kegiatan selain harus disusun secara lengkap dan
terperinci, juga harus diadakan identifikasi antara kegiatan-
kegiatan yang paling penting dan kurang penting.
d. Pengelompokan kegiatan-kegiatan dalam fungsi-fungsi
dilakukan dengan jalan kegiatan-kegiatan yang erat
hubungannya satu samalain masing-masing dikelompokkan
menjadi satu. Hasil pengelompokanitu disebut “fungsi”.
126
Dengan demikian, fungsi adalah sekelompok kegiatan yang
homogen.
e. Departementasi adalah proses konversasi fungsi-fungsi
menjadi satuan-satuan organisasi denganberpedoman pada
asas-asas organisasi. Satuan-satuan organisasi yang
dibebani satu fungsi dapat disebut biro, bagian, direktorat,
seksi dan lain-lain.
Departementasi meliputi dua macam proses, yakni : (1)
Departementasi horizontal, dan (2) Departementasi Vertikal.
Departemen horizontal akan melahirkan satuan-satuan
organisasi yang berbeda-beda fungsi seperti seperrti bagian
produksi, bagian pemasaran, bagian keuangan dasnlain-lain.
Dalam melakukan departementasi horizontal harus
didasarkan pada parinsip “setiap satuan organisasi tidak
dibebani lebih dari satu fungsi”. Setiap fungsi hanya terdirin
dari kegiatan yang erat hubungannya satu sama lain atau
homogen.
Sedang departemen vertikal dilakukan berdasarka
tinjauan vertikal dari deferensiasi fungsi dengan
memperhatikan prinsip seperti ; (1) Setiap organisasi (formal)
memerlukan adanya pengkordinasian berdasarkan
pengaturan dan pemeliharaan tata hubungan antar satuan
organisasi dalam pencapaian tujuan bersama, (2) Setiap
oragnisasi (formal) memerlukan adanya hirarkhi, ialah adanya
atasan dan bawahan untuk merealisir prinsip koordinasi.
Dengan mengadakan departementasi horizontal dan
vertikal, akan tercipta satuan-satuan organisasi 127
utama.Semakin luas tujuan yang ingin dicapai, semakin berat
tugas pokok dan fungsi-fungsi yang dipikul organisasi.
Pengembangan fungsi-fungsi dapat dipertimbangkan kalau
tugas pokok dan fungsi-fungsi semakin berat. Dengan
demikian tercipta satuan-satuan lanjutan dalam organisasi.
Keseluruhan proses departementasi diarahkan kepada
dua pilihan corak atau sifat organisasi, yaitu (1) Organisasi
temporer, dan (2) Organisasi permanen, tergantung tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Organisasi temporer
dibentuk berdasarkan tujuan yang sifatnya temporer pula.
Misalnya, untuk mengadakan pembaharuan di bidan
peralatan, perlu dilakukan pengorganisasian untuk menangani
hal itu. Organisasi yang sifatnya temporer dapat berwujud
Panitia, Tim. Satgas, dan Komisi, Sedang, organisasi yang
sifatnya permanen dibentuk berdasarkan tujuan yang
sifatnya permanen pula. Misalnya, pembinaan proyek
keluarga berencana, pembinaan pembangunan masyarakat
miskin dan lain-lain.
Bentuk dan susunan organisasi permanen dapat
diarahkan pada beberapa pilihan, antara lain :
1) Organisasi bentuk Lini
2) Organisasi bentuk Lini dan staf
3) Organisasi bentuk Fungsional
4) Organisasi bentuk gabungan a, b, dan c.
Kegiatan terakhir dari proses departementasi ini ialah (1)
penetapan prosedur kerja dan (2) penetapan metode kerja.128
Prosedur kerja meliputi: (a) Peraturan pembagian tugas
yang jelas dan tegas diantara masing-masing satuan
organisasi agar tidak terjadi duplikasi tugas serta persentuhan
wewenang, sehingga jelas “siapa melakukan apa”; (b)
Pengaturan hubungan kerja sama antara satuan organisasi
satu sama lain sehingga terjamin adanya koordinasi,
integrasi,dan singkronisasi dalam semua kegiatan dalam
organisasi. Dengan demikian akan jelas “siapa bekerja sama
dengan siapa”; (c) Pengaturan tentang garis kewenangan dan
pertanggungjawaban (line of authority and responsibility). Dari
sini akan jelas “siapa memerintah dan siapa bertanggung
jawab kepada siapa”(Sidikprawiro,dkk. 1979).
f. Penetapan Otoritas Organisasi
Setelah selesai proses departementasi, maka
terwujudlah suatu struktur organisasi yang lengkap dengan
prosedur dan metode kerjanya yang siap beroperasi. Untuk
dapat beroperasi diperlukan otoritas. Otoritas di sini diartikan
sebagai hak atau kekuasaan yang sah untuk memerintah atau
untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan
tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik. Tugas
adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan, sedangkan
tanggung jawab ialah keharusan pada seseorang
melaksanakan secara selayaknya segala sesuatu yang
dibebankan kepadanya.
Dalam setiap organisasi, otoritas merupakan kunci
peksarjaan pimpinan. Pelaksanaan tugas dan kewajiban
setiap pimpinan dalam suatun organisasi selalu dilandasi oleh 129
otoritas yang melekat pada jabatan yang dipangkunya sekecil
apa pun jabatan itu. Adapun asal otoritas dapat bersumber
pada: (a) Ketentuan perundangan, (b) Posisi dalam konstelasi
organisatoris yang telah ditetapkan sebelumnya, (c)
Pelimpahan otoritas, dan (d) Perintah atasan.
Prinsip utama dalam pemberian otoritas ialah bahwa
otoritas yang diberikan harus sebanding dengan tugas dan
kewajiban yang harus dilaksanakan”.Dengan demikian,
terdapat keharusan bahwa semakin kebawah tingkatan eselon
suatu satuan organisasi semakin kecil otoritas yang diberikan
kepadanya. Pemegang otoritas tertinggi dalam suatu
organisasi ialah pucuk pimpinan sekaligus pemikul tanggung
jawab terakhir mengenai penyelesaian seluruh tugas yang
berhubungan dengan tercapainya tujuan organisasi yang
dipimpinnya.
g. Staffing
Dari semula telah dikatakan bahwa organisasi itu ada
karena adanya orang-orang yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertrentu. Penerimaan orang-orang dan
penempatannya pada satuan-satuan organisasi yang telah
ada atau yang dikenal dengan “staffing” adalah mutlak
diperlukan. Pinsip utama dari staffing adalah “penempatan
orang yang tepat pada tempat yang tepat” (the right man on
right place). Karena itu, staffing harus mengandung unsur
seleksi personil baik mutu, kesehatan, maupun jumlah agar
sesuai dengan jabatan atau posisi-posisi yang lowong.
130
h. Fasilitating
Proses terakhir dari pengorganisasian atau penyusunan
organisasi ialah pemberian fasilitas. Pemberian fasilitas
dimaksudkan di sini ialah pemberian kelengkapan berupa
peralatan. Fasilitas peralatan yang perlu diberikan dapat
berupa material dan keuangan. Prinsip utama dalam
pemberian fasilitas ialah bahwa peralatan yang diberikan
harus cukup dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh
organisasi yang bersangkutan.
Dengan selesainya tahap fasilitating ini, maka selesai pula
proses penyusuan organisasi sekaligus tercipta pula organisasi
yang siap bekerja (ready for actioan) sesuai dengan rencana
yang telah dibuat untuk mencapai tujuan organisasi yang
bersangkutan.
C. Actuating ( Penggerakan )1. Pengertian Penggerakan
Actuating adalah aktvitas untuk mendorong dan
menjuruskan semua bawahan agar berkeinginan, bertujuan serta
bergerak untuk mencapai tujuan yang hendak di capai. Atau
dengan kata lain actuating adalah suatu proses kegiatan untuk
mengusahakan agar semua amggota organisasi menjalankan
tugasnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Istilah lain yang sering dipakai untuk fungsinya yang sama
dengan fungsi penggerakan ini ialah :
1. Leading, adalah pembimbingan, penghantaran.
2. Directing, berarti memberi petunjuk, memberi arah.
3. Comanding, berarti memberi perintah.131
4. Motivating, ialah memberi motif, memberi alasan kepada
seseorang sehingga orang itu dapat menentukan sendiri
apakah ia suka atau tidak mengikuti si pemimpin.
Fungsi actuating merupakan fungsi yang sangat penting
karena memegang peranan yang vital dalam proses manajemen.
Berbeda halnya dengan fungsi manajemen lainnya, maka fungsi
actuating ini senantiasa berhubungan dengan manusia. Sukses
tidaknya seseorang pemimpin sangat bergantung pada cara
menggerakkan orang-orang bawahannya.
Sebagai dasar untuk membangkitkan semangat kerja
bawahan, memelihara serta mendorongnya seorang manager
atau pemimpin haruslah menyadari serta menginsafi hasrat
pokok seorang manusia. Hal ini di haruskan pula sebagai “The
human Element” yang harus diperhatikan adalah :
1) Selalu memperhatikan aspek/unsur manusia di dalam
menghadapi tindakan maupun masalah-masalah manajemen.
2) Berusaha menemukan keinginan-keinginan manusia yang
tersimpul dalam tiap-tiap tindakan para anggota dan berusaha
untuk memenuhi keinginan-keinginan pada batas-batas
tertentu.
3) Sedapat mungkin memenuhi keinginan bersama dari pada
kelompok yang bersangkutan (Mutual interest of the group)
2. Pemberian PerintahSalah satu cara menggerakkan bawahan ialah pemberian
perintah. Perintah adalah suatu instruksi resmi dari seorang
atasan kepada bawahan untuk mengerjakan atauuntuk tidak
132
melakukan sesuatu guna guna merealisasi tujuan kepada
realisasi tujuan perusahaan (organisasi) (Manullang, 1996).
Selanjutnya Manullang menyatakan bahwa perintahitu
mengandung empat unsur, yaitu (1) instruksi resmi, (2) dari
atasan kepada bawahan, (3) mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu hal, dan (4) merealisasi tujuan
perusahaan.
Keempat unsur trersebut mutlak ada untuk dapat dikatakan
sebagai suatu perintah. Perintah merupakan istruksi resmi yang
dapat berbentuk lisan dan tulisan. Dikatan resmi, karena yang
mengeluarkan perintah itu ialah orang yang mempunyai
wewenang untuk melakukan itu, dan dapat melakukan tindakan
sangsi kepada bawahan yang tidak melaksanannya. Perintah
atasan kepada bawahan, harus ada kemungkinan
pelaksanaannya. Dalam hal ini, harus ada syarat kemungkinan
dapat dilaksanakan, misalnya sesuai dengan pendidikan
bawahan, pengalaman, waktu, atat-alat, serta keadaan bawahan
dan tempatnya. Selanjutnya, perintah yang diberikan itu harus
dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Tujuan pemberian perintah sesungguhnya ialah untuk
merealisasikan tujuan organisasi. Dalam hal ini, Manullang
(1996) menegaskan bahwa tujuan utama pemberian perintah
oleh atasan kepada bawahan ialah untuk mengkoodinasikan
kegiatan bawahan, agar kegiatan masing-masing bawahan yang
beraneka macam itu terkoodinasi kepada suatu arah, yaitu kepda
tujuan perusahaan. Ada beberpa tujuan lain dari perintah ini yang
tidak kalah pentingnya dari tujuan utama seperti yang 133
dikemukakan oleh Manulang di atas, antara lain ialah: (1)
menjamin hubungan baik antara pimpinan dengan bawahan, (2)
memberikan pendidikan kepada bawahan itu sendiri.
3. Jenis-jenis PerintahPerintah dapat digolongkan atas dua jenis,yaitu perintah
lisan dan perintah tertulis. Karakteristik kedua jenis perntah ini
dapat dijelaska sebagai berikut
a. Perintah Lisan
Perintah lisan dapat digunakan apabila tugas yang
diperintahkan adalah sederhana dan dalam keadaan darurat.
Disamping itu, dengan pertimbangan lain perintah lisan dapat
juga diberikan dalam keadaan sebagai berikut:
1) Bawahan yang diperintah sudah pernah mengerjakan
perintah
2) Perintah dapat seledai dalam waktu singkat.
3) Apabila dalam mengerjakan tugas itu ada kekeliruan, tidak
akanmembawa akibat besar.
4) Untuk menjelaskan perintah adalah buta huruf.
5) Apabila bawahan yang diperintah adalah buta huruf.
Pemakaian perintah lisan ini terbatas, meskipun demikian,
mempunyai kebaikan kebaikan sebagai berikut :
Tidak membutuhkan banyak waktu untuk
mempersiapkannya.
Memungkinkan memperjelas hal-hal yang kurang jelas.
Dapat dipergunakan kepada banyak orang.
Sedang, kekurangan perintah lisan yang utama ialah tidak
begitu dipersiapkan atau direncanakan, dan terlalu fleksibel.134
b. Perintah Tertulis
Perintah tertulis dianjurkan agar banyak digunakan dalam
organisasi, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1) Mudah diperiksa guna memelihara kebenaran.
2) Bawahan mengetahui benar tanggung jawabnya
3) Merupakan cara terbaik untuk menjamin persamaan dan
keserupaan dalam pelaksanaan di seluruh unsur
organisasi.
Sedang, kelemahan perintah tertulis ialah memakan waktu,
menelan biaya, dan mengandung inflesibilitas.
Perintah tertulis dapat diberikan sehubungan dengan hal-hal
sebagai berikut :
Pekerjaan yang ruwet, memerlukan keterangan detail,
angka-angka yang pasti dan teliti.
Bila pegawai yang diperintah berrada ditempat lain.
Jika pegawai yang diperintah sering lupa.
Jika tugas itu berlangsung dari bagian ke bagian lain.
Jika dalam pelaksanaan perintah itu kesalahan yang
terjadi dapat menimbulkan akibat yang besar.
4. Prinsip-prinsip Pemberian Perintah
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
pemberian perintah. Prinsip-prinsip itu menurut Manullang (1996)
adalah sebagai berikut :
a. Perintah harus jelas.
b. Perintah diberikan satu persatu.
135
c. Perintah harus positif.
d. Perintah harus diberikan kepada orang yang tepat.
e. Perintah harus erat dengan motivasi.
f. Perintah adalah suatu aspek berkomunikasi.
Selanjutnya, prinsip-prinsip tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
Perintah harus jelas, artinya peritah itu harus mudah
dipahami oleh yang menerima perintah. Perintah yang jelas,
apabila memenuhi enam elemen, yaitu: mengapa, siapa,
apa, bilamana, di mana, dan bagaimana. Elemen
“mengapa”, perintah harus mengandung pemberian alasan.
Elemen “siapa” menunjuk kepada orang yang tepat
melaksanakan perintah itu. Elemen “apa”, perintah itu harus
mengandung kejelasan apa yang harus dikerjakan. Dengan
elemen “bilaman”, perintah itu harus jelas kapan dilakukan.
Elemen “di mana”, harus memberikan penjelasan tentang di
mana bahan-bahan dan alat-alat serta tugas itu harus
dikerjakan. Elemen “bagaimana”, menuntut penjelasan
tentang segala sesuatu yang menyangkut soal tugas yang
diberikan sehingga pihak yang diperintah memperoleh fakta-
fakta yang cukup untuk melaksanakan tugas dengan baik.
Perintah diberikan satu persatu, artinya jangan terlalu
banyak pada saat yang bersamaan, Disampng itu,perintah
jangan terlalu detail, harus mengandung fleksibilitas agar
inisiatif bawahan dapat dihidupkan.
Perintah harus positif, dalam memberi perintah, sebaiknya
tidak menggunakan perintah yang negatif, misalnya 136
menggunakan kata “jangan”. Yang demikian dapat
menimbulkan salah pengertian.
Perintah diberikan kepada orang yang tepat, artinya
pemberian perintah harus memperhatikan kemampuan
seseorang. Kemampuan ini tentunya dilihat dari segi
pengetahuan, pengalamannya, waktunya, umur, jenis
kelamin, kesehatan dan lain-lain.
Perintah harus erat dengan motivasi. Pemberian perintah
harus terkait dengan motivasi. Motivasi yang diberikan
sehubungan dengan perintah bukan hanya kebutuhan
material sebagai imbalan jasa, tetapi, semua macam
kebutuhan. Perintah yang diberikan yang tidak dikaitkan
dengan pemberian motivasi tidak akan efektif.
Perintah adalah suatu aspek berkomunikasi, artinya
perintah merupakan suatu alat berkomunikasi dari seorang
pemimpin kepada bawahan, karena itu pemimpin harus
sanggup menyusun perintah sedemikian rupa agar
berkenan di hati bawahan dan suka melakukan perintah itu.
D. Controlling ( Pengawasan )1. Pengertian Pengawasan
Menurut Manullang (1996) pengawasan dapat diartikan
sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang
sudah dilaksanakan, menilainya, dan bila perlu mengoreksi
dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan
rencana semula.
Selanjutnya, Siagian (1977) memmberikan pengertian
pengawasan sebagai proses pengamatan dari pelaksanaan 137
seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua
pekerrjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Sedang, menurut Mc. Farland dalam Handayaningtar
(1982), pengawasan adalah suatu proses di mana pimpinan ingin
mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh
bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau
kebijaksanaan yang telah ditentukan.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memeriksa, menilai, mencocokkan serta membandingkan
antara pelaksanaan kerja dengan rencana yang telah ditetapkan
sehingga mempermudah untuk mengambil langkah-langkah
perbaikan.
Memperhatikan rumusan pengawasan di atas, jelas sekali
terlihat adanya kaitan yang sangat erat antara perencanaan dan
pengawasan.
Memang demikian halnya, kedua fungsi manajemen
tersebut mempunyai hubungan yang erat, rencana itulah yang
merupakan standar untuk mengadakan pengawasan. Tanpa ada
rencana yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan maka
pengawasan tidak perlu, karena apa yang akan diawasi,
demikian pula sebaliknya rencana yang akan dilaksanakan tanpa
pengawasan akan terjadi penyimpangan, penyelewengan serta
ketidak terarahan kegiatan kerja.
Demikianlah pentingnya peranan pengawasan dalan setiap
usaha kerja sama. Namun dalam hal ini, pimpinan masih kurang 138
menyadarinya, dilain pihak pengawasan itu sering dilaksanakan
sebagai kegiatan mencari kesalahan-kesalahan belaka dan
bertindak menghukum bawahan yang melakukan kesalahan itu.
Pengawasan bukanlah tujuannya untuk mencari kesalahan-
kesalahan, tetapi membetulkan penyimpangan-penyimpangan
dan kesalahan-kesalahan yang mungkin akan terjadi dalam
pelaksanaan kerja yang telah di rencanakan.
Oleh karena itu, seorang pimpinan harus selalu
mengadakan pengawasan dan dia harus tahu kecenderungan-
kecenderungan penyimpangan yang akan terjadi dalam kegiatan
kerja bawahannya, sehingga mudah mencegahnya serta terbuka
untuk memberikan bimbingan, perbaikan kesalahan-kesalahan
yang akan di alami bawahannya.
2. Maksud dan Tujuan PengawasanPengawasan dimaksudkan untuk menjaga agar
pelaksanaan pekerjaan berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya. Karena itu, tindakan untuk
mencegah atau untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan-
penyimpangan, kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan
perlu dilakukan dalam proses pengawasan.
Sedangkan, tujuan pengwasan adalah mengusahakan agar
apayang direncanakan menjadi kenyataan (Maullang, 1996).
Sejalan dengan pendapat itu ialah pendapat Handayaningrat
(1982) yang mengatakan bahwa pengawasan bertujuan agar
hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna
(efisien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya.139
3. Macam-macam Pengawasan Pada dasarnyan dikenal adanya empat macam
pengawasan, yaitu:
a. Pengawasan dari dalam (Internal Control)
Pengawasan dari dalam adalah pengawasan yang
dilakukan oleh aparat/unit pengawasan yang dibentuk
dalam organisasi sendiri, dan bertindak atas nama
pimpinan organisasi. Aparat/ unit pengwas ini bertugas
mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan oleh
pimpinan untuk menilai kemajuan/kemunduran
pelaksanaan pekerjaan. Hasil pengawasan dapat
digunakan untuk menilai kebijaksanaan pimpinan, meninjau
kembali kebijaksanaan atau keputusan yang telah
dilakukan, atau melakukan tidakan-tindakan paerbaikan
(koreksi) terhadap pelaksanaan tugas yang dilakukan
bawahan. Contoh internal kontrol adalah: Inspektorat
Jenderal adalah aparat pengawas dalam suastu
departemen.
b. Pengawasan di luar organisasi (External Control)
Pengawasan dari luar adalah pengawasan yang dilakukan
oleh aparat/unit pengawas di luar organisasi yang bertindak
atas nama atasan dari pimpinan organisasi itu, baik atas
permintaan pimpinan organisasi yang bersangkutan
maupun bukan atas permintaannya. Misalnya pengawasan
yang dilakukan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan
Negara terhadap suatu departemen., Badan Pemeriksa
Keuangan yang bertidak atas nama Negara Republik 140
Indonesia melakukan pengawasan terhadap suatu
departemen.
c. Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan
sebelum suatu rencana dilaksanakan.Dari pengawasan ini
dapat dicegah trerjadinya kekeliruan, kesalahan dalam
pelaksanaan Pengawasanpreventif dapat dilakukan
dengan usaha-usaha antara lain: (1) menentukan
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan system
dan prosedur kerja,dan membuat pedoman kerjanya; (2)
Menetapkan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung
jawab; (3) Menentukan system koordinasi, pelaporan, dan
pemeriksaan; (4) Menetapkan sangsi-sangsi
terhadappejabat yang menyimpang dari peraturan.
d. Pengawasan Repressif
Pengawasan repressif dilakukan setelah adanya
pelaksanaan pekerjaan. Maksudnya ialah untuk menjamin
kelangsungan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan
rencana. Adapun system-sistem pengawasan repressif
antrara lain sebagai berikut
1) Sistem komperatif, misalnya membandingkan laporan-
laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan rencana
yang telah diputuskan sebelumnya.
2) Sistem verifikasi, misalnya mengadakan penilaian
terhadap hasil pelaksanaannya.
3) Sistem Inspektif, yaitu dimaksudkan untuk mengecek
kebenaran dari suatu laporan yang dibuat oleh para 141
petugas pelaksananya. Misalnya pemeriksaan ditempat
(On the spot Inspection) dimana instruksi-instruksi
diberikan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan
pekerjaan.
4) Sistem Investigatif, system ini menitik beratkan terhadap
penyelidikan/penelitian yang lebih mendalam terhadap
sesuatu masalah yang bersifat negatif. Penelitian ini
didasarkan atas laporan yang mungkin benar dan
mungkin salah.
4. Proses dan Metode Pengawasan Menurut Marullay (1996) ada tiga fase yang umum didapati
oleh proses pengawasan di manapun juga dan objek apapun
yang diawasi. Ketiga fase itu ialah : (1) Menetapkan alat
pengukur (standar), (2) Mengadakan penilaian(evaluate), dan (3)
Mengadakan tindakan perbaikan.
Pada fase pertama, pemimpin menetapkan standar atau
alat pengukur. Berdasarkan standar inilah diadakan penilaian.
Selanjutnya pada fase kedua yaitu evaluasi dilakukan
perbandingan pekerjaan yang senyatanya dilakukan dengan
standar yang tetap dibuat. Dan akhirnya pada fase ketiga,
tindakan perbaikan dilakukan bila pada fase kedua didapati
ketidaksamaan antara actual result dengan standar. Dengan
demikian apa yang menjadi tujuan pengawasan dapat
direalisasikan, yakni apa yang direncanakan dapat menjadi
kenyataan.
142
Sehubungan dengan proses pengawasan ini, yang penting
diketahui ialah jenis-jenis standar. Dalam garis besarnya jenis-
jenis standar dapat digolongkan kedalam tiga golongan besar,
yaitu :
a. Standar dalam bentuk fisik :
1. Kuantitas hasil produksi.
2. Kualitas hasil produksi.
3. Waktu.
b. Standar dalam bentuk uang:
1. Standar biaya
2. Standar Penghasilan
3. standar investasi
c. Standar intangible
Standar intangible digunakan untuk mengukur/menilai
kegiatan bawahan, atau bagian atau kepala bagian misalnya
banyaknya keluhan pegawai dan disampaiakan, banyaknya
pegawai yang mangkir, banyaknya pegawai yang minta
berhenti dan sebagainya.
Metode Pengawasan Pada dasarnya didalam pengawasan terdapat 6 metode
(Handayaningrat,1982) sebagai berikut:
1) Pengawasan langsung, yakni pengawasan yang dilakukan
aparat pengawas/pimpinan organiasasi apabila secara
langsung mengadakan pemeriksaan pada tepat pelaksanaan
pemeriksaan, baik dengan system inspeksi, verifikasi maupun
investigasi tujuannya ialah dengan segera diadakan
perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan 143
pekerjaan. Apabila atasan yang melakukannya, maka ini
disebut Built In Control.
2) Pengawasan tidak langsung, ialah apabila aparat pengawas/
pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan
pekerja hanya melalui laporan yang masuk padanya.
Kelemahannya ialah tidak dapat segera diketahui kesalahan-
kesalahan dalam pelaksanaannya, sehingga dapat
melakukan kerugian yang lebih besar.
3) Pengawasan formal ialah pengawasan yang secara formal
dilakukan oleh unit/aparat pengurus yang bertindak atas
nama pimpinan organisasinya atau atasan dari pimpinan
organisasi itu. Dalam pengawasan ini biasanya telah
ditentukan prosedurnya, hubungannya dan tata kerjanya.
4) Pengawasan informal, ialah pengawasan yang tidak melalui
saluran formal atau prosedur yang telah ditentukan. Misalnya
dilakukan dengan kunjungan tidak resmi atau secara
incognito.Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan
kekakuan hubungan antara artasandengan bawahan.
5) Pengawasan administrative ialah pengawasan yang meliputi
bidang-bidang seperti keuangan, kepegawaian dan material.
6) Pengawasan teknis (Technical Control), ialah pengawasan
terhadap hal-hal yang bersifat fisik, misalnya pemeriksaan
terhadap pembangunan gedung, pemeriksaan terhadap
pemeriksaan kesehatan rakyat dan sebagainya. Pemeriksaan
ini meliputi jenis kuantitatif (jumlah/volume), kualitatif (mutu),
dan biaya yang diperlukan setiap satuannya.
144
5. Prinsip-Prinsip PengawasanHandayaningrat (1982) mengemukakan prinsip-prinsip
pengawasan sebagai berikut :
1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.
2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut
peraturan-peraturan yang berlaku (wetmatgheid), berorientasi
terhadap kebenaran atas prosedur yang telah ditetapkan
(rechmatingheid), dan berorientasi terhadap tujuan (manfaat)
dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatifheid).
4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.
5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif,
teliti (accurate) dan tepat.
6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue).
7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik
(feed-back) terhadap perbaikan dan penyempurnaan dalam
pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan waktu yang
akan datang.
145