BAB IV STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA ...digilib.uinsby.ac.id/6164/7/Bab 4.pdfadanya rasa...
Transcript of BAB IV STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA ...digilib.uinsby.ac.id/6164/7/Bab 4.pdfadanya rasa...
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
BAB IV
STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTHANASIA ANTARA
TINJAUAN FIQH JINA>YAH DAN KUHP
A. Analisis Tentang Pengertian Tindak Pidana Euthanasia Dalam Tinjauan
Fiqh Jina>Yah Dan KUHP
Sejak terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sampai
sekarang, mengenai euthanasia belum ada kasus yang nyata (dipublikasikan) di
Indonesia yang berhubungan dengan euthanasia, yang diatur dalam pasal 344
KUHP. Oleh sebab itu pasal 344 ini mengandung berbagai pernyataan, baik
euthanasia ini tidak pernah terjadi di Indonesia, atau memang perumusan pasal
344 KUHP yang tidak memungkinkan untuk mengadakan penuntutan di muka
Pengadilan.
Pasal 344 KUHP yang dikenal sebagai pasal euthanasia aktif
menyatakan bahwa, “barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
sendiri, yang menyatakan dengan kesungguhan hati, diancam pidana penjara
paling lama 12 tahun”.88
Dengan pasal 344 KUHP ini, perundang-undangan telah
menduga sebelumnya, bahwa euthanasia pernah terjadi di Indonesia dan akan
terjadi pula untuk masa yang akan datang, dalam arti euthanasia yang aktif, tetapi
perumusan pasal 344 KUHP menimbulkan kesulitan di dalam pembuktian, yaitu
88
R.Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lengkap dengan Komentarnya), (Bogor: Politis,
1991), 243
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
dengan adanya kata-kata “atas permintaan diri sendiri, diucapkan sendiri atau
dinyatakan sendiri, bukan oleh orang lain dan bahkan pula bukan oleh
keluarganya”.
Dari pasal tersebut dapat menimbulkan berbagai pertanyaan;
bagaimana jika orang tersebut sudah tidak bisa berekomunikasi lagi, bagaimana
kalau pasien tersebut sudah meninggal dunia dan sebagainya. Pernyataan tersebut
sulit untuk dibuktikan.89
Supaya pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam
praktek, maka sebaiknya dalam rangka Ius Constituendum hukum pidana, maka
rumusan pasal 344 yang ada sekarang perlu untuk dirumuskan kembali, sehingga
penerapan pasal tersebut dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam
pembuktiannya.
Dengan dirumuskannya pasal 344 dalam rancangan KUHP menjadi
pasal 445 tentang pembunuhan atas permintaan sendiri dengan penambahan kata-
kata “atas permintaan keluarga” dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam
hal pembuktian di depan Pengadilan. RUU-KUHP yang akan datang (ius
Constituendum) dapat memperhatikan serta memperhitungkan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga kematian tidak dipandang sebagai suatu
fungsi terpisah dari konep hidup sebagai suatu keseluruhan, dengan demikian
89
Djoko Prakoso, SH., dan Djaman Andhi Nirwanto, SH., Euthanasia (Hak Asasi Manusia dan Hak
Pidana), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 102
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
pengadilan dapat membedakan dan memisahkan secara jelas dan tegas antara
pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.90
Di zaman modern seperti sekarang, manusia seperti berada di puncak
kesuksesan dengan ditemukannya alat-alat teknologi canggih di berbagai bidang,
termasuk di bidang kedokteran. Dengan kehadiran teknologi di bidang kedokteran
ini, tim dokter banyak terbantu, sehingga mereka dengan mudah dapat
memberikan harapan sembuh lebih banyak pada para pasiennya. Namun di balik
itu, perkembangan penyakit berbanding terbalik dengan perkembangan teknologi
kedokteran, artinya perkembangan penyakit jauh lebih pesat daripada teknologi
kedokteran yang ada. Hal ini menandakan bahwa teknologi mempunyai
keterbatasan-keterbatasan, sehingga tidak semua penyakit bisa dibantu
penyembuhannya melalui alat-alat teknologi, di mana hal ini berakibat pada
terciptanya kesan penyakit tak tersembuhkan bagi para pasien dan pada akhirnya
euthanasia menjadi pilihan bagi keluarga.
Berbicara mengenai praktek euthanasia, sebenarnya hal ini bukanlah
termasuk hal yang baru. Fenomena euthanasia ada sejak jaman Yunani Kuno, di
mana Plato sengaja meracuni dirinya hingga tewas demi mempertahankan
pendapatnya. Kemudian praktek tersebut semakin banyak dilakukan oleh orang di
90
Ibid., 106
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
zaman modern. Manusia tidak lagi peduli akan makna kehidupan, karena krisis
moral yang melanda dan menyebabkan kehidupan menjadi tidak bermakna.91
Angka kematian karena kasus euthanasia semakin hari semakin
bertambah. Pesatnya jumlah kematian akibat euthanasia menjadi motivasi bagi
para ahli hukum untuk membuat undang-undang mengenai euthanasia. Belanda
telah berhasil membuat undang-undang seputar praktek euthanasia. Bahkan di
Negara tersebut, praktek euthanasia dilegalkan. Kemudian langkah ini Australia,
Amerika, Inggris juga melegalkan euthanasia, walaupun harus melalui syarat-
syarat yang begitu ketat.92
Kasus euthanasia, ternyata, tidak hanya menimpa masyarakat yang
berada dalam kekuasaan Negara sekuler seperti Belanda dan semacamnya.
Namun kini juga dialami oleh Negara-negara yang sedang berkembang. Di
Indonesia sendiri, misalnya, seorang suami (Satria Panca Hasan) mengajukan
permohonan euthanasia atas istrinya (Ny. Agian Isna Nauli) kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Hal itu terpakasa dilakukannya karena sudah tidak tahan
melihat keadaan istrinya yang tergolek lemah di bawah selang-selang respirator
yang membantunya untuk bernafas. Ia mengalami koma setelah dirawat di sebuah
Rumah sakit di Jakarta. Dalam keadaan Vegetative state tersebut, harapan untuk
bisa sembuh semakin menipis.
91
F.Tengker, Kematian yang Digandrungi: Euthanasia dan Hak Menentukan Nasib Sendiri,
(Bandung: Nova, t.t), 91. 92
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta: RM Books, 2007), 244-245
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Sementara biaya perawatan yang harus ditanggungnya sangat besar,
yakni berkisar antara 1,5-2 juta setiap harinya. Biaya perawatan yang sangat besar
dirasakan berat oleh Satria Panca yang berpenghasilan kecil. Di samping itu,
keluarganya yang lain, anak-anaknya, yang notabene mempunyai status
kehidupan dan masa depan yang lebih jelas dari pada istrinya, juga membutuhkan
biaya hidup yang tidak sedikit. Jika perawatan diteruskan, maka biaya akan
semakin membengkak, dan sebagai konsekuensinya, keluarganya yang lain akan
ikut menderita sebab biaya yang dialokasikan untuk perawatan. Dalam keadaan
demikian, terpaksa Satria Panca Hasan meminta supaya perawatan terhadap
istrinya dihentikan, karena hal itu tidak juga membuat istrinya menjadi lebih
baik.93
Jika diamati, kasus terjadinya euthanasia merupakan buntut kegagalan
dan keterbatasan yang ada, baik keterbatasan ekonomi untuk menanggung seluruh
biaya perawatan yang tidak sedikit, keterbatasan alat-alat medis yang tersedia,
serta keterbatasan peran pemerintah atas jaminan kesehatan masyarakatnya,
sehingga kasus penghentian pengobatan menjadi alternatif. Hal ini akan menjadi
dampak tersendiri pada psikis pasien atau keluarganya, sehingga tak jarang pasien
yang berpenyakit parah merasa putus asa. Akhirnya euthanasia menjadi pilihan
yang terpaksa dilakukan. Kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyak kasus
93
http://www.detiknews.com/read/2004/10/22/110942/228879/10/hasan-mohonkan-penetapan
euthanasia-agian-ke-pn-jakpus. diakses tanggal 12 Mei 2008
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
yang terjadi di negeri ini. Karena hanya keduanya yang bisa terekspos dalam
media massa.
Padahal jika ditelusuri lebih dalam lagi, kasus-kasus euthanasia atas
permintaan keluarga akan lebih banyak. Mengingat, selain penyakit yang diderita
oleh masyarakat Indonesia semakin beragam, obat-obatan serta biaya perawatan
semakin mahal. Hal ini akan menjadi problem tersendiri bagi keluarga yang tidak
mampu membiayai perawatan. Sehingga euthanasia menjadi pilihan yang tak
terelakkan. Fenomena euthanasia di lapangan akan selalu berhubungan dengan
perawatan seseorang yang sedang dalam kondisi menderita penyakit yang sangat
parah sehingga tidak bisa lagi disembuhkan.
Dalam kondisi demikian, bisa jadi, kondisi pasien sudah tidak berdaya
dan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali ”menunggu ajal” atau jika tidak
demikian, ia merasakan penderitaan yang luar biasa karena penyakit yang
dideritanya, sehingga kematian,terkadang, menjadi idaman sebagai „solusi‟ dari
penderitaan tersebut. Sehingga euthanasia menjadi pilihan bagi pasien yang tidak
tahan lagi dengan penyakitnya. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa
euthanasia terjadi karena persoalan- persoalan yang dilematis antara meneruskan
perawatan pasien atau tidak, antara menyelamatkan pasien atau keluarga yang
lain.
Di sisi lain euthanasia mempunyai sisi kesamaan dengan pembunuhan,
di mana keduanya sama-sama berujung pada kematian seseorang. Euthanasia
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
terdiri dari berbagai kategori, sesuai dari sudut pandang masing-masing. Pertama,
dari sisi pasien, euthanasia dibagi menjadi Voluntary Euthanasia dan Involuntary
Euthanasia. Kedua, dari sisi pelaku terbagi menjadi euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Voluntary euthanasia berasal dari pasien yang mempunyai
keinginan untuk dieuthanasia karena tidak tahan terhadap penyakit yang
dideritanya.
Keadaan seperti ini juga biasa disebut dengan istilah assisted suicide
atau bunuh diri dengan bantuan. Kondisi demikian dapat saja terjadi, karena
adanya rasa keputus-asaan pasien dengan keadaan penyakitnya yang tak kunjung
sembuh, sehingga kematian menjadi jalan keluar bagi penyakitnya yang akut.
Selain itu, yang menjadi pemicu juga adalah kesadaran akan penyakitnya yang tak
mungkin untuk disembuhkan lagi, sehingga ia berkeinginan untuk menolak
pengobatan atau perawatan yang diberikan kepadanya. Dalam kasus seperti ini,
pasien mempunyai hak murni untuk menerima dan menolak perawatan. Oleh
karenanya, seorang dokter tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan
perawatan kepadanya, bila hal itu terjadi, maka sama halnya dokter telah
melakukan penganiayaan terhadap pasien. Kemudian persoalannya adalah jika
terjadinya euthanasia berangkat dari sebuah keputusasaan.
Sedangkan Involuntary euthanasia lebih mengarah pada euthanasia
yang diandaikan. Artinya, jika seandainya kondisi pasiensaat itu dalam keadaan
normal dan bisa berkomunikasi, maka niscaya pasien tersebut akan meminta agar
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
perawatannya segera dihentikan karena alasan sakit yang tak tertahankan. Dengan
kata lain, euthanasia pada jenis ini merupakan sebuah keputusasaan. Menurut
penulis, lebih mengarah pada euthanasia yang dipaksakan, karena tidak ada yang
mengetahui apa yang ada di dalam benak pasien yang sedang dalam kondisi
vegetatif atau dalam kondisi koma. Jika tim dokter melakukan hal demikian,
maka ia telah melakukan pembunuhan yang bisa diancam dengan hukuman.
Adapun jenis kedua euthanasia yang terakhir (aktif dan pasif ), yang biasa disebut
juga dengan euthanasia positif dan negative.
Menurut penulis, euthanasia merupakan tindakan-tindakan yang
terjadi karena tim dokter ataupun keluarga melihat kondisi pasien yang sudah
tidak bisa lagi diharap kesembuhannya, dan oleh karena itu perawatannya
dihentikan. Euthanasia aktif atau positif merupakan tindakan yang sengaja
dilakukan oleh tim dokter untuk mengakhiri atau tidak memperpanjang hidup
pasien. Tindakan aktif bisa dinyatakan dengan memberikan obat-obatan dalam
dosis tinggi, sehingga hal ini mengakibatkan kematian bagi pasien.
Namun setelah dilihat dalam kenyataannya, tidak semua dokter yang
memberikan obat-obat tertentu mempunyai tujuan memperpendek hidup
pasiennya. Dengan adanya kasus semacam ini, para pakar lantas membagi
euthanasia jenis ini ke dalam dua bagian. Pertama, euthanasia aktif secara
langsung, yaitu tindakan, di mana dokter melakukan euthanasia terhadap pasien
dengan tujuan tidak memperpanjang hidup pasien. Kedua, euthanasia aktif
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
indirect, yaitu euthanasia yang dilakukan tidak untuk mengakhiri kehidupan
pasien, walaupun disadari hal itu akan beresiko mengakibatkan kematian pada
pasiennya. Dari sini dapat dipahami bahwa pada tindakan euthanasia aktif, baik
secara lagsung ataupun tidak langsung, terdapat unsur-unsur kesengajaan dari
pelaku untuk mengakhiri hidup seseorang dengan menggunakan instrumen-
instrumen yang bisa mematikan.
Meskipun kejahatan euthanasia belum di jelaskan secara mendetai
dalam Undang-Undang. Namun, setidaknya ada beberapa Pasal yang berkaitan
dengan penghilangan nyawa seseorang, yaitu Pasal 55 (tentang pelaku dan yang
menyuruh melakukan suatu perbuatan pidana), 304 (tentang meninggalkan orang
yang perlu ditolong), 338 (tentang kejahatan terhadap nyawa), 340 (tentang
pembunuhan bencana), 345 (memberikan pertolongan terhadap orang yang bunuh
diri), dan 531 (tentang penganiayaan). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
euthanasia terdiri dari berbagai kategori jika dipandang dari sisi pelaku dan
pasien yang di euthanasia.
Praktek euthanasia aktif memiliki indikasi kuat bahwa di dalamnya
telah terdapat unsur-unsur pidana yaitu menghilangkan nyawa orang lain,
walaupun untuk sementara dengan tujuan meringankan penyakit si pasien. Jika
dokter melakukan hal ini, maka ia bisa dijerat dengan Pasal 338 tentang kejahatan
terhadap nyawa. Di mana bunyi Pasal tersebut adalah; “Barang siapa sengaja
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.”.94
Jika euthanasia terbut dilakukan atas permintaan para keluarga pasien,
maka keluarga yang memintanya bisa dikenai tuntutan hukuman karena telah
melanggar Pasal 55 KUHP. Di sisi lain, terkadang permintaan euthanasia datang
dari pasien yang tidak tahan akan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini jika
dokter meloloskan pemintaan pasien tersebut dan tidak ada bukti tertulis dari
pasien, maka ia bisa bisa dijerat dengan Pasal 345 karena telah memberikan
bantuan bagi upaya bunuh diri seseorang. Dengan melihat uraian yang ada
tampak sepintas bahwa hukum positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi
euthanasia baik euthanasia positif maupun negatif.
B. Analisis Tentang Komparasi Tindak Pidana Euthanasia Dalam Tinjauan
Fiqh Jina>Yah Dan KUHP
Dalam hukum Islam, pembunuhan terbagi menjadi tiga, yaitu
pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan tersalah. Pembunuhan
sengaja dikakukan untuk menganiaya korbannya, di mana tujuan tersebut
tercermin dari adanya alat-alat yang bisa mematikan yang digunakan untuk
membunuh korbannya. Abu Zahrah mengatakan bahwa unsur kesengajaan dan
94
Mulyatno, KUHP, cet. Ke-6, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 122.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
aniaya dapat diketahui dengan adanya empat hal. Pertama, pelaku adalah orang
yang bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya (mukallaf).
Kedua, pembunuhan yang dilakukan berdasarkan alasan yang dapat
dibenarkan. Misalnya ia seorang eksekutor yang bertugas mengeksekusi orang-
orang terpidana mati. Ketiga, ada korelasi yang kuat antara perbuatan dan akibat
yang ditimbulkannya. Keempat, harus bisa dipastikan bahwa pelaku benar-benar
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada tindak pidana. Jika
pelaku yang melakukan pembunuhan melakukan tindakan tersebut hanya karena
membela diri atau hartanya, maka ia juga tidak bisa disanksi qisas.95
Sedangkan pembunuhan semi sengaja, si pelaku tidak berniat
membunuh korbannya. Hal itu tercermin dari alat yang digunakannya bukan
merupakan alat yang bisa membunuh sebagaimana biasanya. Namun akibat dari
tindakannya tersebut mengakibatkan kematian seseorang. Berbeda dari kedua
jenis pembunuhan yang telah dijelaskan, pembunuhan tersalah tidak disertai
dengan tujuan membunuh seseorang, namun lebih mengarah pada salah sasaran
sehingga mengakibatkan kematian seseorang. Menurut penulis, pembunuhan
tersalah lebih merupakan kelalaian yang dilakukan oleh pelaku, yang sebenarnya,
tidak mempunyai tujuan membunuh siapapun, tapi akibat dari kelalaian tersebut
mengakibatkan salah sasaran sehingga berujung pada kematian seseorang.
95
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-„Uqubah fi al-Fiqh al-Islamiy, ( Kairo: Dār al-Fikr, t.t.),
372.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
Euthanasia bisa terjadi karena permintaan dari pasien sendiri, tim
medis atau berasal dari pihak keluarga pasien. Meski tindakan tersebut secara
lahirilah sepertinya dapat membantu meringankan atau menghilangkan
penderitaan pasien. Akan tetapi dikarenakan menggunakan cara-cara yang tidak
benar dan akan mempunyai potensi untuk menghilangkan nyawa seseorang maka
hal itu termasuk kategori pembunuhaan. Dimana pembunuhan adalah dosa besar
dan perbuatan yang tercela, seperti dalam berfirman Allah dalam QS. An-Nisa‟
adalah:96
للاث كب بسصقىللا فقاي أ خش وا ان آياثبلل ىن يبراعه اىعهى
Artinya: “ Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.
Dalam hukum Islam, setiap jarimah pembunuhan akan diancam
dengan hukuman mulai dari qisas, diyat serta kifarat. Yang membedakan antara
pembunuhan yang dapat diancam dengan qisas dan diyat, misalnya, terletak pada
jenis pembunuhan yang telah dilakukan. Pembunuhan yang dilakukan secara
sengaja dan ada unsur penganiayaan, misalnya, diancam dengan hukuman qisas.
Sedangkan bagi pelaku pembunuhan semi sengaja diancam dengan hukuman
membayar diyat saja kepada para keluarga korban. Kemudian bagi orang yang
melakukan pembunuhan tersalah, bisa diancam dengan hukuman ta‟zir.
96
QS. An-Nisa‟:39
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
Diyat disyari'atkan dengan maksud mencegah perampasan jiwa atau
penghaniayaan terhadap manusia yang harus dipelihara keselamatan jiwanya.
Firman Allah SWT :
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة اىل اهله ان يصدقوا
Artinya: "Dan barangsiapa membunuh seorang Mu'min karena tersalah,
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman
serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah".
(QS. An-Nisa: 92).
Imam Syafi'i berpendapat bahwa diyat itu terbagi 2 macam saja, yaitu:
diyat ringan yang dikenakan pada pembunuhan tersalah dan diyat berat yang
dikenakan pada pembunuhan sengaja dan mirip sengaja. Imam Syafi'i
berpendapat bahwa pada dasarnya diyat itu adalah 100 ekor unta. Dalam Islam
masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah SWT. Jadi perbuatan-
perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan hidup seseorang
itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan dengan perintah Allah. Allah
SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk apapun,
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya
euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan
pembunuhan tanpa hak. Sebagaimana diketahui bahwa sebuah tindakan baru
termasuk kategori jarimah (tindak pidana), jika telah memenuhi tiga unsur. Yaitu:
1. Ar-rukn as-syar‟i atau unsur formil: artinya tindakan pembunuhan sudah jelas
dilarang dalam nas-nasal-Qur‟an maupun as-Sunnah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
2. Ar-rukn al-maddi atau unsur materiil, yakni adanya prilaku yang melawan
hukum formil, yang hal ini bisa merugikan orang lain.
3. Ar-rukn al-adabi atau unsur moril, yaitu pertanggung jawaban pidana.
Maksudnya adalah pelaku tindak pidana haruslah orang yang mampu
bertanggung jawab atas segala tindakannya secara hukum. Hal ini juga disebut
dengan istilah cakap hukum, dalam hukum Islam representasi dari orang yang
cakap hukum adalah mukallaf, yakni orang yang telah baligh, sehat rohani dan
muslim. Dalam ajaran Islam baik al-Qur‟an maupun as-Sunnah tidak ada satu
katapun yang menyebutkan tentang euthanasia, sehingga ada khafi atau
ambiguitas dalam kasus euthanasia untuk dikategorikan sebagai pembunuhan
seperti yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an. Untuk itu diperlukan adanya
analisa tekstual terhadap ayat-ayat yang berisi tentang aturan pembunuhan dalam
al-Quran. Persoalan khafi yang terdapat dalam al-Qur‟an bisa diselesaikan dengan
melibatkan tiga komponen yang memiliki hubungan dialektis, yaitu teks,
kenyataan dan maqasid as-syari‟ah.97
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa euthanasia termasuk persoalan
baru yang belum tercover dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Pada
kenyataannya, euthanasia memiliki kesamaan efek dengan pembunuhan yang
telah ditetapkan dalam nas, yaitu berujung pada kematian seseorang. Sedangkan
dalam prinsip hukum Islam, segala aturan harus berpihak pada kemaslahatan yang
97
Syamsul Anwar, Dalalah al-khafiy; Dirasah Usuliyah bi Ihalat Khassah ila-Qadiyyat al-Qatl ar
Rahim, dalam jurnal Al-Jami‟ah, Vol.41, No.1, 2003
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
bisa dicapai dengan melaksanakan lima prinsip dasar (maqasid as-syari‟ah) yang
menjadi patokan dalam penetapan sebuah hukum, yaitu, hifz ad-din, hifz an-nafs,
hifz an-nasl, hifz al-mal dan hifz al-„ird.
Dalam persoalan euthanasia memang terdapat tujuan mulia yaitu
menghilangkan penderitaan pasien. Namun yang harus disadari, tujuan mulia
tidak disertai dengan perbuatan yang sama, bahkan dengan memasukkan obat
dalam kondisi tertentu kepada pasien, di mana hal ini berakibat pada
kematiannya. Dengan melihat kasus ini, tampak sekali bahwa euthanasia
bertentangan dengan prinsip hifz an-nafs yang harus menjadi pegangan dalam
sebuah tindakan hukum. Sebagaimana yang terjadi dalam hukum Islam, dalam
Hukum Pidanapun kata euthanasia juga belum tercantum seperti penjelasan di
atas tentang kejahatan euthanasia menurut Pasal 344 KUHP dan sanksi
hukumannya.
Dengan demikian para pelaku euthanasia dan yang menganjurkan
tindakan eutahansia bisa dikenai hukuman karena telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Sementara dalam hukum Islam dikatakan bahwa sebuah
tindakan baru termasuk kategori jarimah jika telah memenuhi tiga unsur seperti
telah disebutkan di atas. Jika diteliti dengan seksama, euthanasia positif bisa
dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena telah memenuhi tiga unsur,
yakni pertama adanya larangan dalam nas terhadap tindakan membunuh, kedua
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
dokter melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup pasien, misalnya
dengan menyuntikkan obat dengan dosis tinggi ke tubuh pasien.
Ketiga dokter adalah orang yang diberikan kelebihan dan kemampuan
untuk menangani orang yang sakit, oleh karenanya mustahil jika seorang dokter
tidak cakap hukum. Sedangkan di sisi lain, al-qatl al-„amd memiliki kriteria yang
sama, yaitu adanya alatyang bisa mematikan, adanya unsur penganiayaan yang
ditandai dengan terpakainyaalat untuk membunuh serta pelaku yang cakap
hukum. Selain itu hal yang dapat mengindikasikan kuat bahwa euthanasia aktif
sama dengan pembunuhan sengaja adalah adanya korelasi antara tindakan yang
dilakukan dengan akibat yang ditimbulkannya, yaitu kematian pasien. Berangkat
dari uraian di atas, maka euthanasia aktif merupakan sebuah kategori dari
pembunuhan, di mana bagi pelaku harus dikenai sanksi pembunuhan sengaja atau
al-qatl al-„amd. Adapun euthanasia pasif atau negatif lebih mengarah pada letting
the person die atau membiarkan pasien menemukan kematiannya secara alamiah.
Dalam euthanasia jenis ini dokter tidak melakukan apa-apa untuk
mengakhiri pasien, namun hanya tidak memberikan perawatan, karena telah
diketahui bahwa penyakit yang dideritanya tak mungkin dapat disembuhkan lagi.
Tindakan dokter yang demikian mengakibatkan pasien meninggal dunia. Secara
sepintas euthanasia jenis ini juga mempunyaiefek yang sama dengan yang terjadi
pada euthanasia aktif, yaitu berujung pada kematian pasien.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
Namun yang membedakan adalah dokter tidak melakukan apa-apa
untuk memperpendek kehidupan pasien. Dari sini dapat diketahui bahwa salah
satu unsur jarimah yang berupa alat yang bisa mematikan tidak didapatkan,
karena adanya alat yang bisa mematikan adalah representasi dari adanya unsur
kesengajaan dan penganiayaan. Selain itu, hukum asal dari berobat adalah Sunnah
bagi seseorang yang sedang menderita penyakit. Jadi bagi pasien , ia berhak
menerima ataupun menolak perawatan yang diberikan kepadanya, terlebih bila
sudah diketahui bahwa pengobatan tidak akan membawa dampak yang labih baik.
Hal ini sejalan dengan hak-hak pasien yang terdapat dalam kode etik kedokteran.
Dengan demikian dokter atau keluarga yang melakukan tindakan
euthanasia negatif terhadap pasiennya tidak bisa disanksi dengan sanksi yang
dibebankan kepada seorang pembunuh, karena tidak terdapat unsur-unsur yang
menunjukan adanya jari<mah. Dengan kata lain euthanasia negatif bukan
termasuk dalam kategori pembunuhan. Islam sebagai alat untuk mencari solusi
atas sejumlah persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena
itu, perlu adanya ijtihad-ijtihad baru untuk menghadapi persoalan kekinian
dengan menggunakan metode-metode yang telah diwariskan oleh para ulama‟
masa lalu.
Ada beberapa pendapat tentang euthanasia, diantaranya adalah adanya
yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung
dan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dikarenakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
dalam hal ini manusia tidak mempunyai kewenangan untuk memberi hidup dan
atau menentukan kematian seseorang, seperti dijelaskan di dalam QS: Yunus, 56:
وييت وإليه ت رجعون ۦهو يى
Artinya: “Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan”.98
Pendapat lain ynag menyatakan bahwa euthanasia dilakukan dengan
tujuan baik yaitu untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang
menjadi pedoman pendapat ini adalah kaidah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita. Para pendukung euthanasia ini berargumentasi bahwa memaksa
seseorang untuk melanjutkan kehidupan penuh derita adalah sesuatu yang
irasioanl.99
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam sangat menghargai
kehidupan dan kehidupan yang baik sangat terkait dengan terpeliharanya
kesehatan seseorang. Oleh karenanya Islam menganjurkan berobat bagi yang
terkena suatu penyakit serta berusaha untuk mencari kesembuhan, karena tidak
ada penyakit yang tak ada obatnya. Namun yang harus disadari, pada
kenyataannya, ada beberapa penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan
obatnya, tentu pesoalan ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi pasien dan
98
QS. Yunus (10): 56, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesi. 99
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama,(Bandung: Penerbit Mizan,
1997), 168.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
keluarganya atau tim dokter yang menanganinya untuk segera menghentikan
perawatan. yang sudah tidak ada artinya.
Jika perawatan yang sudah tidak berarti lagi tetap dilanjutkan, maka
berarti melakukan kesia-siaan. Sedangkan dalam ajaran agama apapun melakukan
hal yang sia-sia adalah dilarang. Dalam kondisi ini, menurut penulis, usaha
penyembuhan harus tetap dilakukan selama penyembuhan tersebut memberikan
hasil yang positif. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka perawatan
harus segera dihentikan, karena hal itu merupakan perbuatan yang sia-sia. Selain
itu, perawatan yang dipaksakan sama dengan pemaksaan diri keluarga pasien
yang akan menyebabkan mereka terjebak pada kesengsaraan, karena biaya yang
ditanggungnya sangat besar. Jadi menjalankan perintah harus dilakukan sesuai
dengan kemampuan masing-masing.
Tabel 1
Persamaan dan Perbedaan Tindak Pidana Euthanasia dalam Jinayah dan KUHP
Jenis Persamaan Perbedaan
1. Tindak Pidana
Euthanasia dalam
Fiqh Jinayah
1. Merupakan tidak pidanan
pembunuhan
2. Dapat dibebani hukuman
atau sanksi
3. Menghilangkan nyawa
seseorang
1. Diatur tindak pidana
pembunuhan yang
diatur dalam al-
qur‟an dan hadis
pembunuhan
2. Sanksi hukumannya
berupa qishas,
diyad,kafarat, dan
pencabutan hak-hak
tertentu
3. Merupakan
pembunuhan bukan
karena permintaan
sendiri
4. Dalam fiqh jinayah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
pembunuhan atas
permintaan sendiri
diistilahkan dengan
pembunuhan
euthanasia
2. Kejahatan
Euthanasia dalam
KUHP
1. Merupakan tidak pidanan
kejahatan
2. Dapat dibebani hukuman
atau sanksi
3. Menghilangkan nyawa
seseorang
1. Tindak pidana
pembunuhan diatur
dalam KUHP pasal
344
2. Sanksi pidana
dengan hukuman 12
tahun penjara
3. Merupakan
pembunuhan atas
permintaan sendiri
atau keluarga pasien
4. Dalam KUHP
kejahatan
euthanasia
merupakan
pembunuhan bukan
merupakan bunuh
diri, karena bunuh
diri sudah diatur
dalam pasal
tersendiri