BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN · PDF fileresidual hasil pelapukan tuf lapili ... 4.3.2...
Transcript of BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN · PDF fileresidual hasil pelapukan tuf lapili ... 4.3.2...
49
BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN LERENG PADA TANAH
RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI
4.1. LONGSORAN DI DAERAH PENELITIAN
Di daerah penelitian banyak ditemukan kasus longsoran. Empat buah longsoran
dijumpai selama observasi lapangan dan tiga di antaranya dijumpai setelah terjadinya gempa
Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009. Longsoran-longsoran tersebut
dijumpai pada tanah residual yang merupakan hasil pelapukan Satuan Tuf Lapili Burangrang
(Gambar 4.1). Hal ini tentu saja akan semakin menarik untuk dipelajari tentang kestabilan
lereng di daerah penelitian, khususnya pada tanah residual pelapukan tuf lapili terkait dengan
percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration). Percepatan tanah maksimum ini
terbentuk akibat adanya gempabumi, baik yang bersumber dari hasil mekanisme subduksi
antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia. Selain itu, gempabumi dapat juga
bersumber dari pergerakan sesar baik Sesar Lembang maupun Sesar Cimandiri yang keduanya
berada dekat dengan daerah penelitian.
Gambar 4.1. Longsoran-longsoran yang terjadi di daerah penelitian. Longsoran ini terjadi pada tanah yang merupakan hasil dari pelapukan Satuan Tuf Lapili Burangrang.
50
4.2. METODE PENGAMBILAN CONTO TANAH PELAPUKAN
Conto tanah yang diambil untuk pengujian laboratorium yaitu pada bagian tanah
residual hasil pelapukan tuf lapili. Conto tanah yang diambil diusahakan berupa conto tanah
yang tidak terganggu (undisturbed sample). Metode yang digunakan agar mendapatkan
kondisi tersebut yaitu dengan menggali tanah tersebut sedalam ±10 cm dan mengambil tanah
tersebut dengan bentuk kotak dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 10 cm. Conto tanah tersebut
kemudian dibungkus oleh plastik transparan kemudian dibungkus lagi dengan allumunium foil
agar kelembaban tanah tetap terjaga dan yang terakhir direkatkan dengan perekat.
Gambar 4.2. Proses pengambilan conto dengan menggali bagian sampingnya dan membentuk kotak pada tanah residual hasil pelapukan tuf lapili (gambar kiri) dan conto tanah yang sudah dibungkus plastik transparan dan
allumunium foil yang direkatkan oleh perekat (gambar kanan).
4.3. PROPERTI TANAH RESIDUAL
4.3.1 Sifat Fisik
Tipe batuan dasar sangat mempengaruhi karakteristik dari tanah residual. Dalam
analisis kestabilan lereng, sangatlah penting untuk mengetahui sifat fisik material
penyusunnya (tanah). Sifat fisik tanah yang perlu diketahui untuk menganalisis kestabilan
lereng adalah berat isi. Berat isi (gr/cm3) merupakan perbandingan antara massa material (gr)
terhadap volume material tersebut (cm3). Berat isi menyatakan beban dari suatu material yang
akan mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Berat isi suatu material dapat berupa berat alami,
berat kering dan berat jenuh. Dalam analisis kestabilan lereng ini yang dipakai adalah berat
jenuh yang mencerminkan kasus atau masalah terburuk yang mungkin timbul.
51
Dari hasil pengujian laboratorium, didapat bahwa berat alami untuk tanah ini adalah
1,59 gr/cm3 dan berat jenuhnya adalah 2,09 gr/cm3 (lihat Lampiran D.1).
4.3.2 Sifat Mekanik
Selain sifat fisik, sifat mekanik suatu material juga sangat mempengaruhi kestabilan
lereng. Sifat mekanik yang dicari dalam analisis kestabilan lereng adalah kohesi dan sudut
geser dalam. Untuk perhitungan keduanya digunakan Uji Geser Langsung (Direct Shear Test).
Pengujian ini dilakukan dengan memberikan tegangan normal atau normal stress (σn) pada
material yang ditambahkan tegangan geser atau shear stress (σs) hingga batas keruntuhan
material. Pengujian ini dilakukan di laboratorium karena lebih mudah, cepat dan efektif. Dari
hasil analisis laboratorium diperoleh nilai sudut geser dalam 65,11° dan nilai kohesi 0,042
kg/cm2 (lihat Lampiran D.2). Dari nilai sifat fisik dan sifat mekanik yang telah diperoleh
seperti densitas, sudut geser dalam dan kohesi, data ini lebih lanjut akan digunakan untuk
analisis kestabilan lereng dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Slide versi 3.0
(Rocscience, 2003).
4.4. PEMODELAN DAN SIMULASI KOMPUTER 4.4.1. Model Lereng
Pada simulasi pengaruh percepatan gempabumi terhadap kestabilan lereng akan dibuat
model lereng dengan berbagai variasi sudut. Asumsi yang digunakan pada masing-masing
model lereng yang dibuat yaitu materialnya homogen, lereng tersebut kontinu, isotropik dan
jenis lerengnya adalah lereng tunggal (single slope).
Bentuk geometri dari lereng dibuat sederhana. Kemiringan lereng dibuat bervariasi
dari sudut 90⁰ hingga 20⁰ dengan interval 10⁰. Material penyusun lereng diasumsikan
homogen, lereng terdiri dari satu jenis tanah penyusun saja (Gambar 4.3).
52
4.4.2. Metode Simulasi
Dengan menggunakan perangkat lunak Slide versi 3.0 (Rocscience, 2003) dilakukan
simulasi kestabilan lereng pada tiga kondisi. Pada simulasi awal (Gambar 4.4), lereng dibuat
dalam kondisi tidak adanya percepatan tanah maksimum akibat gempabumi yang
mempengaruhi lereng (simulasi tanpa PGA). Simulasi ini dilakukan mulai dari sudut 90⁰
hingga 20⁰ dengan interval 10⁰ dan dicari tinggi lereng (h) pada saat kondisi lereng kritis
(FK≈1) dengan metode trial dan error. Dalam satu kali penentuan tinggi lereng dengan FK≈1,
misalnya pada lereng dengan sudut 60º, penentuan nilai h ini dapat mencapai 10 kali simulasi
(running software). Setelah didapat nilai tinggi lereng (h), lalu data tersebut dicatat pada
Gambar 4.3. Model lereng yang digunakan untuk simulasi dengan menggunakan perangkat lunak Slide versi 3.0 (Rocscience, 2003) dengan bentuk lereng tunggal, α adalah sudut lereng dan h adalah tinggi lereng.
53
variasi sudut dan nilai tinggi yang didapat dengan nilai faktor keamanannya dan model
keruntuhannya.
Setelah semua variasi sudut dilakukan dari sudut 90⁰ hingga 20⁰ dengan kondisi tanpa
PGA, selanjutnya simulasi dilakukan pada kondisi percepatan gempabumi (PGA) dengan nilai
0,15 g dan 0,20 g dengan melakukan hal yang sama seperti pada kondisi tanpa PGA. Lalu
data-data tersebut dicatat dalam bentuk tabel dan hasilnya akan dibuat grafik. Dari grafik ini
dapat diketahui seberapa besar pengaruh percepatan gempabumi terhadap kestabilan lereng.
4.4.3. Hasil Simulasi Komputer
Pada tiap variasi sudut lereng dilakukan minimal sepuluh kali simulasi pada conto
tanah residual tuf lapili dengan parameter perubahan nilai percepatan gempabumi dari tanpa
PGA hingga dengan nilai PGA 0,20 g. Sifat poperti yang digunakan dalam simulasi ini antara
lain berat isi jenuh (γs), kohesi (c), dan sudut geser dalam (θ) (lihat Lampiran D).
Hasil simulasi (lihat Lampiran E) pada tanah residual hasil pelapukan tuf lapili yang
dilakukan tanpa PGA pada tiap-tiap variasi dengan mencari nilai ketinggian pada kondisi
lereng kritis (FK≈1) ditabulasikan pada Tabel 4.1. Nilai dari hasil tabulasi ini kemudian dibuat
grafik (Gambar 4.5). Garis pada grafik yang dibuat mencerminkan batas antar lereng yang
stabil (bagian bawah garis) dengan lereng yang tidak stabil atau lereng yang seharusnya sudah
longsor (bagian atas garis). Nilai tinggi lereng yang didapatkan untuk simulasi tanpa PGA ini
mulai dari 1 m sebagai titik terendah dan 70 m sebagai titik tertinggi.
Tabel 4.1. Hasil simulasi lereng dengan kondisi tanpa PGA
Sudut (⁰) Tinggi (m) FK Model Keruntuhan
90 1 1.060 Toe Failure
80 1.4 1.012 Toe Failure
70 1.8 1.021 Toe Failure
54
60 2.5 1.000 Toe Failure
50 3.5 1.008 Toe Failure
40 6 1.008 Toe Failure
30 20 1.010 Toe Failure
20 70 1.024 Toe Failure
Hasil simulasi selanjutnya dilakukan pada lereng dengan kondisi adanya percepatan
gempabumi dengan nilai percepatan maksimum (PGA) yaitu 0,15g. Hasil simulasinya (lihat
Lampiran E) dibuat dalam bentuk tabel (Tabel 4.2) dengan tinggi lereng terendah yang didapat
yaitu 0,8 m dan 30 m sebagai titik lereng tertinggi pada kondisi lereng kritis (FK≈1). Tabulasi
inipun dibuat dalam bentuk grafik (Gambar 4.5).
Hasil simulasi selanjutnya dilakukan pada lereng dengan kondisi adanya percepatan
gempabumi dengan nilai percepatan maksimum (PGA) yaitu 0,20g. Hasil simulasinya (lihat
Lampiran E) dibuat dalam bentuk tabel (Tabel 4.3) dengan tinggi lereng terendah yang didapat
yaitu 0,75 m dan 13 m sebagai titik lereng tertinggi pada kondisi lereng kritis (FK≈1). Hasil
tabulasi dibuat dalam bentuk grafik (Gambar 4.6).
Gambar 4.4. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan hasil simulasi lereng dengan kondisi tanpa PGA.
55
Tabel 4.3. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,20g
Sudut (⁰) Tinggi (m) FK Model Keruntuhan
90 0.75 1.039 Toe Failure
80 0.9 1.052 Toe Failure
70 1.1 1.044 Toe Failure
60 1.4 1.020 Toe Failure
50 1.8 1.015 Toe Failure
40 2.4 1.013 Toe Failure
30 4 1.001 Toe Failure
Sudut (⁰) Tinggi (m) FK Model Keruntuhan
90 0.8 1.068 Toe Failure
80 1 1.041 Toe Failure
70 1.3 1.004 Toe Failure
60 1.6 1.012 Toe Failure
50 2 1.032 Toe Failure
40 2.9 1.008 Toe Failure
30 5.2 1.001 Toe Failure
20 30 1.009 Slope Failure
Gambar 4.5. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,15g.
Tabel 4.2. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,15g.
56
20 13 1.010 Slope Failure
Gambar 4.6. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,20g.
4.5. DISKUSI DAN ANALISIS Dari ketiga grafik di atas, maka dapat diketahui adanya perubahan ketinggian lereng
terhadap variasi sudut lereng dengan kondisi lereng kritis (FK≈1) pada tanah hasil pelapukan
tuf lapili mencerminkan model grafik yang mengikuti pola eksponensial negatif.
Model analisis kestabilan lereng dari ketiga grafik tersebut digabungkan, maka dapat
diketahui adanya perubahan nilai kestabilan lereng yang ditunjukan oleh penurunan nilai
tinggi lereng karena adanya percepatan tanah maksimum yang diakibatkan oleh gempabumi,
seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.7. Penurunan tinggi lereng ini dapat mencapai 40%
pada kondisi PGA 0,15g dan 70% pada kondisi PGA 0,20g.
Model grafik ini menggunakan asumsi model lereng yang dibuat yaitu materialnya
homogen, dan jenis lerengnya adalah lereng tunggal (single slope). Model ini masih belum
memperhitungkan kondisi-kondisi yang lain seperti adanya keheterogenan material (berupa
jenis-jenis mineral penyusun, ukuran butir, bentuk dan pemilahannya), dan derajat pelapukan
57
dari tanah itu sendiri. Model inipun belum memperhitungkan kondisi lingkungan di sekitar
lereng seperti adanya vegetasi, tingkat pelapukan, dan air tanah.
Gambar 4.7. Grafik hubungan tinggi lereng dan sudut lereng pada ketiga kondisi yang menunjukan adanya model
penurunan kestabilan lereng yang ditunjukan oleh penurunan tinggi lereng.
Khusus untuk sudut 10º tidak didapatkan tinggi lereng dengan kondisi FK≈1 karena
dari simulasi pada sudut tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa lereng tersebut
stabil (tidak ada potensi runtuh) dengan tinggi lereng yang tidak terbatas (unlimited slope).
4.6. REKOMENDASI HASIL PENELITIAN
Model penurunan tinggi lereng ini dapat dijadikan sebagai model acuan untuk
pemotongan lereng baik untuk pembuatan jalan, perumahan dan penambangan (penambangan
pasir maupun bahan galian “C” lainnya). Dari model grafik ini dapat diketahui geometri lereng
(tinggi lereng dan sudut lereng) baik pada kondisi tanpa adanya percepatan tanah (tanpa PGA)
ataupun bila ada kejadian gempabumi yang kemudian menghasilkan percepatan tanah yang
58
dapat mengganggu kestabilan lereng. Dari hasil grafik ini dapat diminimalisir kerugian akibat
longsor yang diakibatkan oleh adanya percepatan gempabumi.