BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Adat...

20
23 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Adat Momu’o Ngango (Dutu) Adat momu’o ngango (dutu) adalah pengresmian/pengukuhan secara umum dengan disaksikan oleh pemerintah setempat, bahwa pesta pernikahan akan berlangsung dalam waktu dekiat (Daulima, 2006:87). Adat ini merupakan acara sebagai persyaratan dari perkawinan. Dari hasil observasi di lapangan, dalam adat momu’o ngango diawali bunyi genderang sebagai tanda dimulainya prosesi adat yang diiringi para pemangku adat. Adapun barang-barang yang dibawa berupa hantaran yang menjadi kewajiban calon pengantin laki-laki untuk diserahkan kepada calon pengantin perempuan. Hantaran itu kemudian disusun secara berjajar dan satu persatu sesuai dengan urutannya serta disertai syair atau tujai dari kedua belah pihak pemangku adat. Gambar 1. Benda Hantaran dalam Adat Momu’o Ngango ( Foto dok.penulis, Juni 2013 ) Sususnan benda-benda (artefak) hantaran dalam adat momu’o ngango dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu benda wajib dan benda pelengkap. Benda atau

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Adat...

23

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Adat Momu’o Ngango (Dutu)

Adat momu’o ngango (dutu) adalah pengresmian/pengukuhan secara umum

dengan disaksikan oleh pemerintah setempat, bahwa pesta pernikahan akan

berlangsung dalam waktu dekiat (Daulima, 2006:87). Adat ini merupakan acara

sebagai persyaratan dari perkawinan. Dari hasil observasi di lapangan, dalam adat

momu’o ngango diawali bunyi genderang sebagai tanda dimulainya prosesi adat

yang diiringi para pemangku adat. Adapun barang-barang yang dibawa berupa

hantaran yang menjadi kewajiban calon pengantin laki-laki untuk diserahkan

kepada calon pengantin perempuan. Hantaran itu kemudian disusun secara

berjajar dan satu persatu sesuai dengan urutannya serta disertai syair atau tujai

dari kedua belah pihak pemangku adat.

Gambar 1. Benda Hantaran dalam Adat Momu’o Ngango

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

Sususnan benda-benda (artefak) hantaran dalam adat momu’o ngango dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu benda wajib dan benda pelengkap. Benda atau

24

artefak wajib, yaitu kola-kola, genderang, tonggu, kati, mahar, tapahula besar,

payung adat, pakaian adat pengantin perempuan, busana adat utusan pihak laki-

laki dan utusan pihak perempuan. Artefak wajib tersebut terungkap dari

pernyataan para informan baik dari Karmin Delatu, Hamid R. Delatu, Karman

Saman, Hasim Supu, dan Ardia Tanggue. Meskipun terjadi kesamaan artefak

wajib, tetapi informan berbeda dalam menyatakannya. Misalnya Hamid R.

Delatu1 menyatakan bahwa artefak wajib itu “kola-kola, genderang, tonggu, kati,

mahar, tapahula besar, payung adat, pakaian adat pengantin perempuan, busana

adat utusan pihak laki-laki dan utusan pihak perempuan”. Atau pernyataan

Karman Saman2 “tonggu, kati, mahar, tapahula besar, payung adat, pakaian adat

pengantin perempuan, kola-kola, genderang, pakaian adat utusan pihak laki-laki

dan perempuan.”

Dari contoh dua pernyataan informan di atas terlihat bahwa secara garis

besar artefak wajib dalam adat momu’o ngango sama tapi berbeda dalam

penyebutan urutannya. Lebih lanjut dikemukakan oleh para informan adalah isi

artefak tersebut. Tonggu adalah Pemberian atau pembayaran adat kepada orang

tua perempuan. Tonggu yang dahulu bernilai Rp.25- dan sekarang sudah bernilai

Rp.160- yang dituangkan dalam sebuah tapahula kecil yang diletakan diatas baki

mempunyai penutup dan ditutupi dengan tudung yang berbalut kain satein yang

warnanya sesuai warna adat yakni warna merah, warna adat ini ada 4 macam

warna seperti warna kuning, merah, hijau, ungu. Adapun yang terdapat pada

pinggiran tonggu yakni pita yang berwarna kuning emas, bagian depan dihiasi

1 Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa)

2 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa)

25

payet yang berwarna kuning emas, dan diujung atas tonggu dihiasi dengan kertas

minyak yang berbagai macam warnanya, tonggu ini berbentuk segi tiga.

Kati berasal dari kata pongati-ngatilio yang artinya dibagi-bagikan. Kati

bernilai Rp. 2.500, nilai kati ini disesuaikan dengan status orang tua perempuan.

Misalnya untuk puteri raja dan bangsawan ditetapkan Wopato kati (4 bagian) yang

bernilai Rp.10.000, untuk bangsawan ditetapkan Toolu kati (3 bagian) yang

bernilai Rp.7.500, untuk Wali ditetapkan Duulo kati (2 bagian) yang berniali

Rp.5.000, dan untuk rakyat jelata ditetapkan Ngokati (1 bagian) yang bernilai

Rp.2.500. di tuangkan dalam sebuah tapahula kecil yang diletakan diatas baki

mempunyai penutup dan ditutupi dengan tudung yang berbalut kain satein yang

warnanya sesuai warna adat yakni warna hijau, warna adat ini ada 4 macam warna

seperti warna kuning, merah, hijau, ungu. Kati ini berbentuk segitiga sama dengan

tonggu yang diletakan diatas bak yang bermotif, diujung atas kati dihiasi dengan

kertas minyak yang berbagai macam warna. Kemudian dipinggiran kati dihiasi

dengan pita yang berwarna kuning emas dan didepannya diberikan payet yang

berwarna kuning emas.

Mahar (Tonelo) pembayaran adat yang menjadi milik perempuan. Maharu

(tonelo) ini terisi pada Tapahula besar yang mempunyai penutup dan ditutupkan

dengan tudung yang berbalut kain satein yang berwarna hijau. Mahar ini

berbentuk segi empat yang dipinggiran sekaligus bawahanya dihiasi dengan pita

dan payet, pita ini berwarna kuning keemasan dan payetnya berwarna kuning

keemasan. Luhuto (Pinang) tuangkan didalam keranjang yang berbalut kain

berwarna merah mudah dan keranjangnya terbuat dari rotan, pinang ini berbentuk

26

bulat yang dibalut dengan kertas berwarna orange dan dibagian atas bawahnya

dipilin sesuai kreasi yang diinginkan. Tembe (sirih) tuangkan didalam keranjang

yang berbalut kain berwarna merah mudah dan keranjangnya terbuat dari rotan,

sirih ini dibalut dengan kertas yang berwarna kuning dan di bagian atas bawahnya

digunting sesuai kreasi yang diinginkan. Gambele (gambir) dibungkus dengan

kertas yang berwarna kuning emas bentuknya segi tiga dan diletakan di atas baki

yang berbentuk segi empat yang berwarna merah mudah. Taba’a diletakan di atas

tatakan (baki) yang berbentuk segi empat berwarna putih yang beralaskan

sepotong kertas yang berwarna kuning.

Limu bongo (jeruk bali) diletakan di dalam keranjang yang terbuat dari

rotan yang berbalut dengan kain berwarna merah mudah. Limu bongo ini pada

permukaanya diberi motif yang berbentuk segi tiga. Nanati (nenas) ini diletakan

di dalam keranjang yang terbuat dari rotan yang berbalut dengan kain berwarna

merah mudah. Nangka ini diletakan di dalam keranjang yang terbuat dari rotan

yang berbalut dengan kain berwarna merah mudah. Patodu (tebu) dalam adat

momu’o ngango atau modutu ada tiga macam yaitu patodu moyidu (tebu hijau),

patodu molalahu (tebu kuning), dan patodu melamo (tebu merah). Dulunya tebu

hijau biasanya dibagi-bagikan kepada anak-anak agar supaya anak-anak tersebut

menjauh dari tempat itu, tebu kuning biasanya diserahkan kepada camat atau

kepala kampung, dan tebu merah dibagikan ke pemangku adat yang hadir. Patodu

diletakan di atas keranjang yang berbalut kain warna merah mudah warna. Tunas

kelapa (tumula) dituangkan di dalam keranjang yang berbalut kertas yang

27

berwarna merah mudah, dan tunas kelapa ini balut dengan tas plastik yang

warnanya sama, kemudian dihiasi dengan pita yang berwarna merah mudah.

4.2 Artefak Adat Momu’o Ngango (Dutu)

Berdasarkan urain di atas, yang termasuk artefak dalam adat momu’o

ngango antara lain:

1. Kola-kola

2. Genderang hantalo

3. Tonggu

4. Kati

5. Maharu

6. Tapahula

7. Payung adat

8. Madipungu (busana adat calon pengantin perempuan)

9. Pakaian Utusan

4.3 Makna Simbolik Artefak Adat Momu’o Ngango

Dari uraian di atas diketahui bahwa ada sembilan artefak wajib dalam adat

momu’o ngango. Pada bagian ini peneliti mendeskripsikan makna simbolik

artefak-artefak tersebut berdasarkan pemaknaanya dari para informan. Deskripsi

makna simbolik artefak dalam adat momu’o ngango dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Kola-kola

Secara khusus dari beberapa informan (Karmin dan Hamid Delatu)

mengatakan bahwa kola-kola tidak memiliki makna apapun kecuali fungsinya

28

sebagai pembawa hantaran. Namun, informan lain mengungkapkan makna kola-

kola. Menurut Karman Saman3:

Kola-kola adalah sebuah kenderaan yang menyerupai perahu. Perahu

yang terbuat dari bambu kuning (talilo hulawa) yang dihiasi dengan

janur (lale). Kola-kola yang berbentuk perahu ini yang nantinya

membawa hantaran adat momu’o ngango (dutu) yang nantinya sebagai

kenderaan yang mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam sejarahnya

Gorontalo pada saat Sultan Amai menikahi putri sang raja Palasa di

Tomini, yaitu putri Owutango, maka Sultan Amai memuat semua

hantaran adat itu dengan perahu yang diberi janur, serta payung

kebesaran. Dari sinilah yang dijadikan setiap acara momu’o ngango

(dutu) dibuatkan kola-kola.

Selain Saman, Hasim Supu4 juga mengemukakan makna kola-kola, yaitu

“sebuah kenderaan yang didekorasi menyerupai perahu, yang dihiasi dengan janur

(lale). Kola-kola ini sebagai tempat untuk memuat sebuah hantaran pada adat

momu’o ngango.” Sedangkan Ardia Tanggue5 menjelaskan bahwa “kola-kola

adalah sebuah kenderaan yang di dekorasi menyerupai perahu. maknanya sebagai

perahu yang menyeberang membawa hantaran adat.”

Dari penjelasan para informan di atas, penjelasan Karman Saman yang

relatif lengkap karena sejarah munculnya kola-kola meskipun maknanya tidak

terungkap langsung. Pernyataan Hasim Supu lebih menekankan pada makna

denotatif dari kola-kola sebagai kendaraan hiasan yang membawa hantaran.

Sedangkan Ardia Tanggue memaknai kola-kola sebagai perahu yang

menyeberang membawa hantaran adat. Pemaknaan ini lebih didasarkan pada

visual kola-kola yang berbentuk perahu dan membawa artefak-artefak sebagai

hantaran. Kola-kola dapat dilihat pada gambar berikut:

3 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa)

4 Wawancara tanggal 28 Desember 2013 di rumah Desa Bendungan (Bulango Utara)

5 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Bongohulawa (Tilong Kabila)

29

Gambar 2. Artefak Kola-Kola Pada Kendaraan

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

2. Genderang Hantalo

Genderang adalah peralatan sejenis bedug yang bentukya bulat, pinggiranya

dipakai rotan, depannya ditutup dengan kulit binatang. Genderang ini dibunyikan

untuk mengiringi kola-kola. Dalam adat momu’o ngango ini dulunya masyarakat

menggunakan genderang, seiring dengan perkembangan zaman, maka genderang

tersebut sudah mulai jarang digunakan, yang menggunakan genderang hanyalah

orang-orang tertentu, seperti para pejabat.

Gambar 3. Artefak Genderang Hantalo

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

Pada saat acara akan berlangsung genderang itu akan diperagakan atau

dibunyikan, yang akan memperagakan atau membunyikan genderang tersebut

yakni petugas adat, petugas adat ini diberi gelar Te Tamburu. Dari wawancara,

30

semua informan (Karmin Delatu, Hamid Delatu, Karman Saman, Hasim Supu,

dan Ardia Tanggue) mengungkapkan bahwa genderang tidak memiliki makna

simbolik. Mereka lebih menjelaskan fungsi, bentuk, dan bahan pembuat

genderang yang mengiringi kola-kola.

3. Tonggu

Menurut Karmin Delatu6 makna tonggu adalah “tiga utas pemerintah adat

yakni tokoh agama (buatulo sara’a ), pemangku adat (buatulo adati), dan

pemerintah (buatulo bubato). Dasar pemaknaannya terletak pada bentuk segitiga

penutup tonggu. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Hamid R. Delatu7,

Karman Saman8, Hasim Supu

9, dan Ardia Tanggue.

10

Gambar 4. Artefak Tonggu

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

6 Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara)

7 Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa)

8 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa)

9 Wawancara tanggal 28 Desember 2013 di rumah Desa Bendungan (Bulango Utara)

10 Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Bongohulawa (Tilong Kabila)

Penutup Tonggu

Tapahula kecil

31

4. Kati

Gambar 5. Artefak Kati

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

Kati menurut Karmin Delatu11

adalah:

berasal dari kata pongati-ngatilio yang berarti dibagi-bagikan. Di dalam

kati terdapat tapahula kecil, nilainya kati ini berjumlah Rp. 2.500 dan

disesuaikan dengan status orang yang dinikahi. Misalnya untuk rakyat

biasa dua kati yang nilainya Rp. 5000, untuk wali-wali mowali tiga kati

yang bernilai Rp. 7.500, untuk olongia (Raja) empat kati yang nilainya

Rp.10.000. Kati ini merupakan pembayaran adat kepada keluarga

perempuan yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara

dan adik-adik. Diletakan di atas baki yang mempunyai penutup dan

ditutupi dengan tudung yang berbalut segi tiga bermakna tiga utas

perintah adat dalam kerajaan, seperti tokoh agama, pemangku adat,

pemerintah.

Penjelasan yang mirip dengan Karmin adalah Hamid Delatu12

. Makna

berbeda dikemukakan oleh Karman Saman13

, yaitu tiga aspek yang terdapat pada

diri manusia yakni lahir, batin, qadim. Sedangkan Hasim Supu14

mengungkapkan

“penutup kati ini berbentuk segitiga sama dengan penutup tonggu maknanya juga

sama dengan maknyanya tonggu.” Hal yang sama juga dikemukakan Ardia

11

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara) 12

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggal (Tapa) 13

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 14

Wawancara tanggal 28 Desember 2013 di rumah Desa Bendungan (Bulango Utara)

Penutup Kati

Tapahula Kecil

32

Tanggue15

“kati ini berbentuk segi tiga, yang maknanya sama dengan tonggu.”

Melihat penjelasan dari informan diketahui bahwa dasar pemaknaan mereka lebih

melihat pada bentuk kati yaitu piramida. Jadi, ada dua makna kati, yaitu tiga utas

perintah adat dalam kerajaan, seperti tokoh agama, pemangku adat, pemerintah

dan tiga aspek yang terdapat pada diri manusia yakni lahir, batin, qadim.

5. Maharu

Kata maharu merujuk pada bahasa Arab mahar yang dalam bahasa adat

disebut tonelo. Karmin Delatu16

menjelaskan bahwa:

Mahar ini berasal dari bahasa arab, dalam bahasa adat yaitu tonelo.

Tonelo pembayaran adat yang menjadi milik perempuan. Tonelo ini

terdiri dari uang, emas, seperangkat alat sholat. Tetapi yang ada pada

tapahula kecil yang penutupnya mahar segi empat ini isinya uang. Uang

pada tonelo ini berbeda-beda nilainya. Di lihat dari golongan raja Rp.

100.000, untuk bangsawan Rp. 7.500, untuk kepala kampung Rp. 50.000,

dan untuk rakyat biasa Rp. 25.000. nilai mahar ini di lihat dari segi status

orang yang di nikahi. Mahar (tonelo) ini tidak boleh disamakan dengan

nilai uang (ongkos) perkawinan. Karena ongkos perkawinan hanya

merupakan hadiah untuk perempuan dari pihak laki-laki. Mahar ini

berbentuk segi empat maknanya menandakan bahwa keinginan orang tua

kepada kedua mempelai untuk membentuk rumah tangga yang baru. Segi

empat melambangkan empat kimalaha (orang baik) yang menjadi

pembantu.

Penjelasan informan lainnya hampir sama dengan Karmin tetapi ada yang

berbeda mengenai makna simboliknya. Hamid R. Delatu17

mengungkapkan

makna simbolik maharu adalah “empat unsur terjadinya manusia yakni tanah, air,

api, dan angin.” Makna tersebut dilekatkan pada artefak maharu yang berbentuk

segi empat bukan pada nilai uang di dalamnya. Begitu pula makna simbolik

15

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Bongohulawa (Tilong Kabila) 16

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara) 17

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa)

33

maharu yang dikemukakan Karman Saman18

dan Hasim Supu19

sama seperti

makna yang dijelaskan Hamid R. Delatu yang merujuk pada keyakinan tentang

empat unsur pada diri manusia, yaitu tanah, air, api, dan udara. Sedangkan Ardia

Tanggue memaknai maharu dengan empat kimalaha (orang baik) yang menjadi

pembantu. Makna ini juga didasarkan pada bentuk artefaknya segi empat seperti

pada gambar 6.

Gambar 6. Artefak Maharu

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

6. Tapahula

Tapahula dijelaskan oleh para informan sebagai wadah. Di mana isinya

berupa pinang, sirih, tembakau (tab’a), dan gambir.20

Semua informan juga

menyatakan bahwa tapahula tidak memiliki makna simbolik. Misalnya ungkapan

18

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 19

Wawancara tanggal 28 Desember 2013 di rumah Desa Bendungan (Bulango Utara) 20

Wawancara bersama Karmin Delatu, Hamid R. Delatu, Karman Saman, Hasim Supu, dan

Ardia Tanggue.

Penutup Maharu

Tapahula Kecil

34

Karman Saman21

bahwa “tapahula tidak memiliki lambang dan makna” atau

ungkapan Hasim Supu22

“tapahula ini berbentuk bulat dan dibagian atas diukir,

ukiran ini tidak mempunyai lambang dan makna, akan tetapi hanya sebagai hiasan

semata.” Bentuk tapahula dapat dilihat pada gambar 4, 5, atau 6.

7. Payung Adat (Toyungo Bilalanga)

Payung secara fungsional digunakan sebagai alat pelindung dari sinar

matahari. Sedangkan dalam adat Gorontalo disebut payung adat atau payung

kebesaran. Seperti ungkapan Hasim Supu23

bahwa “payung adat (toyunga

bilalanga) adalah payung kebesaran, maknanya sebagai kemuliayaan. Kegunaan

payung ini ada tiga macam yaitu memayungi pada saat pembawaan hu’o lo

ngango, memayungi pada saat pengantin ketika turun dari mobil, memayungi

pada saat tilolo.” Karman Saman24

mengungkapkan “payung adat (toyungo

bilalanga) adalah payung kebesaran, yang maknanya sebagai kemuliaan.”

Sedangkan Hamid25

dan Karmin Delatu26

menyebutkan bahwa “payung adat

(payung kebesaran bermakna sebagai kemuliaan adat. Payung ini terletak di atas

baki yang beralas. Payung adat ini tidak memiliki lambang dan makna, hanya

sebagai payung kebesaran saja. Kegunaan dari payung ini ada 3, yakni

memayungi adat tilolo (suguhan adat), memayungi pada saat pembawaan hu’o lo

ngango, dan untuk memayungi pengantin ketika turun dari mobil.”

21

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 22

Wawancara tanggal 28 Desember 2013 di rumah Desa Bendungan (Bulango Utara) 23

Ibid. 24

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa) 25

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa) 26

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara)

35

Penjelasan para informan memberi pemahaman bahwa payung adat bukan

saja berfungsi sebagai alat pelindung seperti payung pada umumnya, tetapi juga

memiliki makna simbolik kemuliaan bahkan Ardia Tanggue27

memaknai sebagai

kemuliaan adat. Payung adat seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 7. Artefak Payung Adat (Toyungo Bilalanga)

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

8. Madipungu (busana adat calon mempelai perempuan)

Madipungu merupakan busana yang dipakai calon pengantin perempuan

saat prosesi adat momu’o ngango. Menurut Ardia Tanggue:28

Pakaian pengantin perempuan yaitu pakaian madipungu , pengantin ini

berada di kamar adat (tohuali lo humbia), pengantin ini berdiri di depan

ranjang yang berselimut kain adat, ranjangnya ini dihiasi dengan

kulambu adat. di atas kepalanya terdapat tujuh buah sundhi, di dadanya

terdapat hiasan pembalut dada. Tujuh buah sundi ini maknanya tujuh

nafsu yang menentukan martabat manusia. Adapun yang ada pada

pergelangan tangan disebut dengan gelang (pateda).

Penjelasan lain seperti dikemukakan Karman Saman29

:

Pakaian pengantin perempuan ini di kepalahnya terdapat 7 buah sundi,

belakang kepala dalam bahasa adatnya pangge mopa artinya tangkai

rendah, tangkai ini berjumlah 6 buah, dibagian dadahnya terdapat hiasan

yang disebut hiasan pembalut dada (kucubu), dan di bagian pergelangan

tangan terdapat gelang emas dalam bahasa adatnya pateda. Tujuh buah

27

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Bongohulawa (Tilong Kabila) 28

Ibid 29

Wawancara tanggal 27 Desember 2013 di rumah Desa Duwano (Suwawa)

36

sundi ini maknanya tujuh nafsu yang menentukan martabat manusia,

gelang yang ada pada pergelangan tangan ini menandakan pengantin ini

sudah memasuki pada sunah rasul, dan hiasan pembalut dada (kucubu)

melambangkan lima rukun iman.

Gambar 8. Artefak Pakaian Adat Madipungu

( Foto dok.penulis, Juni 2013 )

Dari dua pendapat di atas dapat diketahui makna simbolik dari pakaian adat

madipungu terletak pada aksesorisnya, yaitu tujuh nafsu yang menentukan

martabat manusia. Disini makna yang dibangun tertuju pada moralitas manusia

yang dimanifestasikan pada sunti. Penjelasan Hamid R. Delatu30

sama dengan

penjelasan Karman Saman. Sedangkan pandangan Karmin Delatu31

mengenai

pakaian adat madipungu sebangun dengan ungkapan Ardia Tanggue.

30

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa) 31

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Utara)

37

9. Pakaian Utusan (Luntu Dulungo Layi’o dan Luntu Dulungo Walato)

Selain pakaian ada madipungu, artefak penting dalam adat momu’o ngango

adalah pakaian adat utusan dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan).

Menurut Karmin Delatu32

“pakaian adat utusan pihak laki-laki dan utusan

perempuan disebut bo’o takowa kiki. Kedua utusan ini mereka memakai songkok

dan sarung yang terlingkar dipinggang, dari kedua sarung ini berbeda. Sarung

yang terlingkar dipinggang utusan pihak laki-laki berbentuk huruf A yang artinya

wujudnya Allah ada, dan dari utusan pihak perempuan berbentuk H yang artinya

Allah.”

Ungkapan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh

Hamid R. Delatu33

bahwa “pakaian adat utusan pihak laki-laki dan utusan pihak

perempuan dalam bahasa adatnya disebut bo’o takowa kiki. Adapun sarung yang

terlilit dipinggang dari kedua pihak utusan ini lilitan sarungnya berbeda, sarung

dari utusan pihak laki-laki modelnya huruf A dan sarung dari utusan pihak laki-

laki modelnya huruf H. Dari kedua model ini memiliki arti, yakni wujud Allah

dan Allah.” Begitu pula penjelasan dari informan lainnya (Karman Saman, Hasim

Supu, dan Ardia Tanggue) yang menekankan bentuk lipatan sarung dengan makna

simbolik yang merujuk kepada Allah swt.

Busana adat yang dipakai oleh Luntu dulungo layi’o (juru bicara pihak

laki-laki) dan Luntu dulungo walato (juru bicara pihak perempuan) adalah Bo’o

takowa kiki, dan memakai sarung yang terikat dipinggang, kemudian dari kedua

pihak ini memakai kopiah yang berwarna hitam, maknanya taat kepada segala

32

Wawancara tanggal 26 Desember 2013 di rumah Desa Lomaya (Bulango Selatan) 33

Wawancara tanggal 29 Desember 2013 di rumah Desa Dunggala (Tapa)

38

sesuatu atas perintah Allah dan segala larangannya. Sarung yang teikat pada

pinggang kedua pihak juru bicara dari pikah laki-laki dan perempuan ini berbeda,

sarung yang terikat pada pihak juru bicara laki-laki modelnya huruf A (alif)

artinya wujud Allah itu ada, dan dari pihak juru bicara perempuan modelnya huruf

H artinya Allah. Makna dengan memakai sarung yaitu mereka sudah dilingakari

atau dililit dengan masyarakat itu sendiri, dalam arti sudah tidak dapat dipisahkan.

Seperti ungkapan Hasim Supu34

bahwa “payung adat (toyunga bilalanga) adalah

payung kebesaran, maknanya sebagai kemuliayaan. Kegunaan payung ini ada tiga

macam yaitu memayungi pada saat pembawaan hu’o lo ngango, memayungi pada

saat pengantin ketika turun dari mobil, memayungi pada saat tilolo.”

Gambar 11 Atefak Busana Adat Luntu Dulungo Layi’o (model huruf A dan H)

( Foto dok Penulis , Juni 2013 )

34

Ibid.

39

4.4 Ringkasan analisis dan pembahasan artefak pada adat momu’o ngango

Di atas telah diuraikan deskripsi adat momu’o ngango, artefak dalam adat

momu’o ngango, dan makna simbolik dari artefak adat momu’o ngango. Untuk

memudahkan pemahaman atas pembahasan, maka dibuatkan ringkasan hasil

analisis dan pembahasan sebagaimana tampak pada matrik berikut:

Tabel 1. Simbol dan Makna Artefak Adat Momu’o Ngango

No Artefak Deskripsi Makna Simbolik

1 Kola-kola

Kola-kola adalah Sebuah

usungan yang terbuat

dari bambu kuning

(Talilo hulawa) yang

berbentuk persegi yang

dihiasi dengan janur atau

lale.

Makna denotatif dari

kola-kola sebagai

kendaraan hiasan yang

membawa hantaran.

Pemaknaan ini lebih

didasarkan pada visual

kola-kola yang

berbentuk perahu dan

membawa artefak-

artefak sebagai

hantaran.

2 Genderang

Genderang adalah

peralatan yang sejenis

bedug yang bentukya

bulat, pinggiranya

dipakai rotan, depannya

ditutup dengan kulit

binatang

Tidak ada

3 Tonggu

Tonggu yag berbentuk

segi tiga yang terisi pada

tapahula kecil yang

diletakan diatas baki

mempunyai penutup dan

ditutupi dengan tudung

yang berbalut kain satein

Tiga utas pemerintah

adat yakni tokoh agama

(buatulo sara’a ),

pemangku adat (buatulo

adati), dan pemerintah

(buatulo bubato). Dasar

pemaknaannya terletak

40

yang warnanya sesuai

warna adat yakni warna

merah. Adapun yang

terdapat pada pinggiran

tonggu yakni pita yang

berwarna kuning emas,

bagian depan dihiasi

payet yang berwarna

kuning emas, dan

diujung atas tonggu

dihiasi dengan kertas

minyak yang berbagai

macam warnanya.

pada bentuk segitiga

penutup tonggu.

4 Kati

Kati berasal dari kata

pongati-ngatilio yang

artinya dibagi-bagikan.

Kati di tuangkan dalam

sebuah tapahula kecil

yang diletakan diatas

baki mempunyai penutup

dan ditutupi dengan

tudung yang berbalut

kain satein yang

warnanya sesuai warna

adat yakni warna hijau.

Kati berbentuk segitiga .

diujung atas kati dihiasi

dengan kertas minyak

yang berbagai macam

warna dan diberi pita,

dan diberi payet yang

berwarna kuning emas

Ada dua makna kati,

yaitu tiga utas perintah

adat dalam kerajaan,

seperti tokoh agama,

pemangku adat,

pemerintah dan tiga

aspek yang terdapat

pada diri manusia yakni

lahir, batin, qadim.

Dasar pemaknaan

mereka lebih melihat

pada bentuk kati yang

itu piramida.

5 Maharu

Maharu (tonelo) ini terisi

pada Tapahula besar

yang mempunyai

penutup dan ditutupkan

dengan tudung yang

berbalut kain satein yang

berwarna hijau.

dipinggiran dan

bawahnya dihiasi dengan

pita serta payet, pita ini

berwarna putih dan

payetnya berwarna

kuning emas, kuning

emas. mahar terdiri dari

1. Empat unsur

terjadinya manusia

yakni tanah, air, api,

dan angin.

2. Empat kimalaha

(orang baik) yang

menjadi pembantu.

Makna tersebut

dilekatkan pada artefak

maharu yang berbentuk

segi empat bukan pada

nilai uang di dalamnya.

41

bentuk segi empat ,

6 Tapahula

Wadah yang berisi

berupa pinang, sirih,

tembakau (tab’a), dan

gambir.

Tidak ada

7 Payung adat

(Toyungo

Bilalanga)

Payung adat ini

digunakan oleh

penghubung utusan dari

pihak laki-laki yang

turun dari mobil menuju

kerumah mempelai

perempuan dengan

membawa tonggu. Kain

yang digunakan pda

payung ini terdapat tiga

macam warna yang

terdiri dari warna merah,

warna kuning dan warna

hijau.

Kemuliaan atau

kemuliaan adat.

8 Busana adat

madipungu

Pengantin wanita ini

berada to huwali lo

humbiya (kamar adat),

pengantin ini berdiri

didepan ranjang yang

dihiasi dengan kulambu

adat. Busana yang

digunakan oleh

pengantin wanita

berwarna merah muda.

Pada busana pengantin

ini terdapat hiasan atau

yang biasa disebut

tambi’o. bagian kepala

menggunakan tiga belas

Makna simbolik dari

pakaian adat

madipungu terletak

pada aksesorisnya,

yaitu tujuh nafsu yang

menentukan martabat

manusia. Disini makna

yang dibangun tertuju

pada moralitas manusia

yang dimanifestasikan

pada sunti.

42

tangkai pada konde.

9 Pakaian Utusan

atau busana adat

Luntu dulungo

layi’o

busana adat Luntu

dulungo walato

Busana adat yang dipakai

oleh Luntu dulungo

layi’o (juru bicara pihak

laki-laki) dan Luntu

dulungo walato (juru

bicara pihak perempuan)

adalah Bo’o takowa kiki,

dan memakai sarung

yang terikat dipinggang,

kemudian dari kedua

pihak ini memakai

kopiah yang berwarna

hitam. Sarung yang

terikat pada pinggang

kedua pihak juru bicara

dari pikah laki-laki dan

perempuan ini berbeda,

sarung yang terikat pada

pihak juru bicara laki-

laki modelnya huruf A

(alif). Busana yang

diakai kedua pihak

utusan ini memakai

busana yang berwarna

orange dan merah

mudah.

Wujud Allah (model

lipata sarung A) dan

Allah (model lipatan

sarung H)