BAB IV HASIL PENELITIAN DAN...

68

Click here to load reader

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN...

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis menyajikan data hasil penelitian dan

triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran yang

dialami oleh perempuan di kota Salatiga. Analisis data dan pembahasan

dilakukan terpisah antara subyek satu dengan yang lainnya karena kedua

subyek memiliki latar belakang keluarga yang berbeda sehingga analisis

perlu dilakukan kasus per kasus.

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada konsep

pra-penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong, 2006) yaitu meliputi:

a) Penyusunan rancangan penelitian

Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang

mencakup latar belakang, landasan teori, metode penelitian,

kemudian mempersiapkan alat pengumpul data berupa penuntun

wawancara (interview guide).

b) Pemilihan lokasi penelitian

Lokasi penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti dengan

pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga pengambilan data

yang dimaksud dilaksanakan di kota Salatiga sesuai dengan tempat

domisili subyek penelitian. Dengan demikian, peneliti segera

menyusun alokasi waktu serta menghubungi subyek dan informan

dalam penelitian ini.

c) Memilih dan memanfaatkan informan

Dalam hal ini informan pertama adalah subyek penelitian

yang berjumlah 2 orang. Subyek dipilih berdasarkan tujuan

penelitian, yakni perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam

pacaran (KDP). Kedua subyek merupakan mahasiswi dari salah satu

universitas di Jawa Tengah yang berusia 24 tahun. Pemilihan subyek

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

ditetapkan dari kesediaan subyek untuk diwawancarai terkai

kekerasan yang dialaminya.

d) Mengurus perijinan

Perijinan dilakukan peneliti dengan cara informal, artinya

tidak memerlukan surat ijin dari fakultas, dikarenakan subyek

merasa tidak membutuhkan surat tersebut.

e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan

Tahap ini dilakukan melalui perbincangan santai dengan

subyek tanpa alat rekam untuk membangun rapport dan kepercayaan

subyek terhadap peneliti. Tahap ini dilakukan di kediaman masing-

masing subyek selama 3 kali hingga subyek merasa nyaman dan siap

untuk melakukan wawancara dengan peneliti. Interview awal ini

tidak menggunakan alat perekam. Peneliti mengajak subyek bercerita

dengan santai dan diselingi dengan percakapan-percakapan yang

ringan. Berikut ini adalah tujuan dari masing-masing interview awal

dengan subyek:

1. Interview awal - 1

Interview awal 1 dilakukan peneliti untuk mendapatkan

gambaran umum tentang subyek saat ini. Peneliti memposisikan

diri sebagai teman subyek yang dapat mendengarkan setiap cerita

subyek. Pada interview awal - 1 ini, subyek menceritakan tentang

kebiasaan dan rutinitas yang dijalaninya setiap hari.

2. Interview awal - 2

Interview awal - 2 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut

dari interview awal-1. Pada tahap ini, peneliti mulai menggali

informasi tentang keluarga dan tempat subyek dibesarkan, kesan

yang diberikan subyek terhadap setiap anggota dalam keluarga

dan lingkungan pergaulan subyek selama dibesarkan sepanjang

hidup.

3. Interview awal - 3

Interview awal - 3 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut

dari interview awal - 2. Peneliti mulai menggali informasi yang

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

lebih bersifat pribadi, yakni terkait dengan relasi pacaran subyek

dengan pacar yang menjadi pelaku kekerasan.

f) Persiapan perlengkapan

Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang

dibutuhkan dalam proses pengambilan data mencakup in-depth

interview guide, alat perekam, alat tulis, dan notes.

g) Mengetahui persoalan etika

Penelitian dengan memberitahukan maksud dan tujuan

penelitian secara terbuka kepada calon subyek, hal ini telah

dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan kedua subyek.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data melalui wawancara dilakukan sebanyak dua

kali terhadap subyek pertama dan subyek kedua. Pelaksanaan

wawancara terhadap seluruh subyek dimulai pada bulan Maret 2016 -

Mei 2016. Kedua subyek merupakan teman peneliti yang diketahui

telah mengalami kekerasan berulang kali baik secara fisik, psikis,

verbal dan seksual selama berpacaran bertahun-tahun dengan

pasangannya. Penggalian informasi dalam penelitian ini bersifat sangat

pribadi dan sensitif, oleh sebab itu peneliti dengan perlahan

membangun kepercayaan kedua subyek agar mempercayakan

kerahasiaan informasi kepada peneliti. Selain itu, penggunaan alat

rekam selama wawancara berlangsung juga sesuai dengan perijinan

dan kesepakatan dengan kedua subyek.

Penggalian informasi dilakukan di kediaman masing-masing

subyek. Pada subyek pertama, peneliti mendatangi kos tempat subyek

berdomisili di Salatiga, sedangkan untuk subyek kedua, peneliti

mendatangi subyek di Solo, tempat subyek mengasingkan diri dari

lingkungan yang dianggap menekannya. Untuk selanjutnya, subyek

pertama akan disebut dengan Sari, sedangkan subyek kedua disebut

dengan Dinda. Berikut ini ialah jadwal pelaksanaan interview dengan

Sari dan Dinda:

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

SARI DINDA

Interview 1 26 Maret 2016 9 April 2016

Interview 2 5 April 2016 23 April 2016

Interview 3 25 April 2016 11 Mei 2016

Tabel 4.1 Jadwal Interview Subyek

Setelah peneliti mendapatkan informasi yang diperlukan

melalui tiga kali wawancara dengan subyek, peneliti mulai membuat

verbatim atau transkrip wawancara, tabel analisa transkrip wawancara,

dan analisa serta pembahasan kasus secara lengkap dalam bentuk print

out. Di samping itu, peneliti juga mencari data sekunder melalui

orang-orang terdekat subyek sebagai berikut:

SARI DINDA

Informan 1 Teman kos A Teman dekat

Informan 2 Teman kos B Pacar

Informan 3 Ibu Ayah Tabel 4.2 Sumber data sekunder

B. Hasil Penelitian

Setelah peneliti mendapatkan data-data empiris melalui proses

wawancara mendalam, kemudian peneliti mulai menganalisis data-data

tersebut sehingga menjadi suatu pemahaman yang utuh tentang kedua

subyek. Pada sub-bab ini, peneliti membahas analisis subyek satu per satu

dengan rinci.

1. Analisis Deskriptif Subyek Pertama (Sari)

a) Identitas Diri Sari

Nama : Sari (bukan nama sebenarnya)

Usia : 24 tahun

Kota Asal : Solo

Kota Domisili : Salatiga

Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA)

Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya

Wacana, Salatiga

Jurusan : Ekonomi Manajemen dan Bisnis

Agama : Kristen Protestan

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Status Perkawinan

Urutan Kelahiran

:

:

Belum Menikah

Anak ke-2 dari 2 bersaudara

b) Hasil Observasi

Peneliti melakukan observasi yang sifatnya menambah

keterangan data yang diperoleh dari interview. Sepanjang proses

interview, peneliti mengamati perilaku Sari yang menunjukkan rasa

malu ketika membicarakan mengenai aktivitas seksual yang

dilakukan bersama pacarnya. Rasa malu ini dilihat dari wajah Sari

yang ditundukkan, volume suara yang mengecil, dan gestur tubuh

yang menghindar saat menjelaskan tentang aktivitas seksualnya.

Tidak ada perubahan lain yang signifikan ketika membahas tentang

sang pacar, termasuk hal-hal yang terkait kekerasan yang

dialaminya, Sari dapat menceritakannya dengan nada yang santai

dan diiringi tawa sesekali. Kemudian, ekspresi marah ditunjukkan

Sari ketika membahas tentang perselingkuhan yang dilakukan

ayahnya. Volume suara Sari menjadi keras dan memberi penekanan

pada kata-kata seperti ‘selingkuh’, ‘wanita idaman lain’, ‘kawin

lagi’.

c) Latar Belakang Sari

Sari merupakan anak dari perkawinan darah Medan yang

dilahirkan 24 tahun yang lalu. Meskipun kedua orang tua berasal

dari Medan, namun Sari dan keluarga tidak tinggal menetap di

Medan. Mereka memutuskan untuk berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain. Dari Medan, Sari melalui masa SD hingga SMP

Sari di kota Bandung, Jawa Barat. Lalu, ketika ia beranjak ke

bangku sekolah berikutnya, ia pindah ke Solo, Jawa Tengah hingga

ia menempuh jalur pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi

Swasta di Salatiga dan mengambil jurusan Ekonomi dengan

konsentrasi di bidang Manajemen Bisnis. Sari dan keluarga selalu

tinggal dalam satu atap hingga Sari memutuskan untuk berkuliah di

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

luar kota Solo dan membuat dirinya harus berada dalam situasi

berjarak dengan orang tua untuk pertama kalinya. Oleh karena jarak

kota Solo dan Salatiga dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2

jam perjalanan, Sari menyempatkan diri untuk pulang ke Solo di

setiap akhir minggu. Kebiasaan ini dilakukan hingga kurang lebih ia

menduduki semester 4 di perkuliahannya.

Bungsu dari dua bersaudara ini selalu mendapatkan

perhatian khusus dari ayah, ibu, dan kakaknya karena ia satu-

satunya anak perempuan dan kedua orang tua menganggap Sari

perlu pengawasan yang ekstra ketat agar ia tidak terjerumus dalam

pergaulan yang tidak sehat. Latar belakang kepercayaan Kristen

yang begitu kuat dipegang teguh oleh sang ibu, membuat ibu justru

cenderung over-protective dengan setiap tindakan dan Sari. Sari

cenderung dibatasi dalam memilih pergaulan dengan teman sebaya,

baju yang dikenakan, dan aktivitas rutin yang dijalani. Hal ini

membuat Sari tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada

keputusan orang tua dan sulit untuk mengambil keputusan dalam

situasi mendesak.

Keadaan ekonomi keluarga Sari dapat dikatakan fluktuatif.

Keluarga Sari pernah berada dalam situasi berlebihan dari segi

materi dan finansial, yakni masa ketika Sari dan keluarganya

menetap beberapa waktu di Bandung. Pada masa itu, Sari dapat

bersekolah di salah satu sekolah swasta yang bergengsi dan segala

kebutuhannya terpenuhi, bahkan berlebihan. Setiap permintaan Sari

selalu dikabulkan dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang

suka memberi. Semasa SMP, Sari memiliki banyak sekali teman

karena Sari dikenal sangat murah hati dan mudah memberi barang-

barang pada teman-temannya yang membutuhkan. Namun

demikian, tidak semua teman yang ditolongnya bersikap baik

terhadap Sari. Beberapa diantaranya justru menyalahgunakan

kebaikan dan kelebihan materi yang dimiliki Sari. Setiap uang yang

dipinjam oleh teman-temannya tidak pernah dikembalikan dan Sari

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

justru disingkarkan dari pergaulan ketika keluarganya mengalami

krisis ekonomi yang cukup drastis.

Krisis ekonomi yang dialami keluarga Sari diakibatkan oleh

kondisi ayahnya yang saat itu memiliki perempuan idaman lain dan

menghasilkan keturunan dari perempuan tersebut. Sebagian besar

uang dari penghasilan ayahnya dialihkan pada perempuan itu

beserta anaknya. Semenjak itu, keluarga Sari menjadi tidak

harmonis dan penuh dengan konflik serta kekerasan yang terjadi

antara ayah dan ibu. Kekerasan di dalam rumah terus berangsur

terjadi selama sang ayah menjalin hubungan dengan perempuan

tersebut. Oleh sebab itu, sang ibu memaksa keluarga untuk pindah

ke Jawa Tengah dan menetapkan Solo sebagai tempat tinggal

berikutnya. Ibu berencana membawa kedua anak bersamanya. Hal

tersebut membuat sang ayah menceraikan perempuan tersebut dan

ikut bersama keluarga untuk pindah ke Solo. Sari pun melanjutkan

pendidikannya di Solo semasa SMA, dan berkuliah di Salatiga sejak

tahun 2007. Hingga 2016 ini, Sari belum menuntaskan pendidikan

tingginya dan berungkali berencana untuk meninggalkan

perkuliahannya karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan

tugas akhir.

d) Analisis Kasus Sari

1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni

a) Identifikasi Jenis Kekerasan

Sari berkenalan dengan Doni, pacarnya hingga saat ini,

melalui game online yang sering dimainkannya. Mereka menjalin

pertemanan kurang lebih satu tahun, saling melihat satu dengan

yang lain melalui foto-foto yang diunggah ke jejaring sosial

Facebook, bertukar pesan melalui Short Messenger Service

(SMS), dan menelepon satu dengan yang lain. Keduanya merasa

memiliki kecocokan dan menjalani hubungan yang semakin

dekat. Selama satu tahun Sari dan Doni saling mengenal satu

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

dengan yang lain, keduanya memutuskan untuk bertemu dan

bersepakat untuk menjadi pacar. Selisih usia keduanya ialah 4,5

tahun lebih tua Doni dibandingkan Sari. Pada awal masa pacaran,

Doni menunjukkan sikap yang perhatian dan sangat penyayang.

Hal ini membuat Sari merasa begitu nyaman menjalani hubungan

pacaran dengan Doni. Sari yang berdomisili di kota Salatiga pun

tidak merasa berat dijalani karena Doni yang tinggal di Semarang

selalu menghampirinya setiap akhir pekan.

Masa pacaran Sari dan Doni kini tengah memasuki usia 4

tahun. Namun, memasuki usia 2 tahun pacaran, Doni mulai

menunjukkan sifat aslinya yang kasar dengan dirinya. Meskipun

Sari pernah mengalami pengalaman yang menyenangkan pada

awal pacaran, namun setelah menjalaninya beberapa waktu, Sari

mulai mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan

bersama Doni. Setelah beberapa waktu pacaran, Sari merasa

bahwa yang ditunjukkan pada awal kenalan hingga pendekatan

dengan Doni bukan merupakan sifat asli dari Doni. Sifat asli

pasangannya ialah sifat yang kasar dan seringkali melukai

dirinya.

“Wah.. saya bisa katakan masa-masa awal saya pacaran itu

sangat berbanding terbalik. Jadi sangat drastis kalo ibaratnya

statistik itu indah sekali... dan lalu menjadi yah.. malapetaka

ya..”

“Mungkin emmm... parahnya aja ya.. sebenernya itu kan proses.

Maksudnya sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit mulai ya

ada satu dua satu dua yang tadinya awalnya seperti ini kok jadi

kaya gini.. kok aslinya kaya gini ya.. tapi yang bener-bener saya

rasakan ini saya udah nggak kenal lagi nih.. kayaknya bukan

seperti yang saya pikirkan...”

Kekerasan baik secara verbal maupun fisik dan seksual kerap

terjadi pada hubungan Sari dan Doni yang berusia 3 tahun.

Kekerasan dimulai sejak usia pacaran memasuki usia 2 tahun.

Kekerasan yang dialami Sari mencakup kekerasan fisik, verbal,

dan seksual. Kekerasan seksual merupakan kekerasan pertama

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

yang ditunjukkan oleh Doni dengan mengajak Sari melakukan

sexual intercourse dengan landasan cinta dan ingin memiliki

seutuhnya. Penolakan yang dilontarkan Sari tidak dihiraukan

oleh Doni dan hal tersebut membuat Sari melakukannya dengan

keterpaksaan. Kekerasan fisik dialami Sari ketika Doni sedang

berada dalam masalah atau terlibat pertengkaran dengan Sari.

Doni seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti ‘anjing’,

‘bangsat’, ‘babi’, dan lainnya yang melukai hati Sari. Dalam

beberapa pertengkaran, Doni juga melemparkan barang-barang

yang ada di kamar kos Sari, seperti buku, piring, meja laptop,

dan lainnya. Perlakuan kasar tersebut terus berulang dan

membuat Sari terkadang ingin mengakhiri hubungan tersebut.

Namun, setiap kali Sari ingin memutuskan Doni, Doni selalu

mengatakan kepada Sari bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang

ingin bersama dirinya karena ia sudah tidak perawan lagi dan

menjadi ‘bekas’ Doni. Selain itu, Doni juga melunturkan konsep

diri Sari dengan mengatakan bahwa Sari itu tidak cantik,

berkelakuan buruk, dan hanya Doni yang dapat menerima

dirinya. Perkataan-perkataan seperti itu membuat Sari takut

untuk memutuskan Doni dan memilih untuk terus melanjutkan

hubungan tersebut. Kata ‘putus’ hanya diungkapkan Sari maupun

Doni ketika mereka sedang bertengkar dan cenderung

menggunakan emosi sesaat. Ketika pertengkaran telah selesai,

Sari dan Doni akan saling merindukan dan kembali bersama lagi.

Namun, setelah itu kekerasan tetap terjadi.

“Ya.. Bisa dibilang gini.. Eee saya waktu berpacaran sama dia,

saya tidak hanya kata-kata, mendapatkan kata-kata yang

berintonasi nada tinggi ya, tapi saya malah mendapatkan kasar

atau kata-kata yang tidak pantas yang kotor gitu.. misalnya ya

mbak tau lah.. kebun binatang, terus udah gitu makian misalnya

kata-kata bajingan lah apa lah pokoknya makian seperti itu atau

bahkan mungkin dia tidak melakukan percakapan dengan kata-

kata yang kasar, tapi dia melakukan tindakan di depan saya yang

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

membuat saya sedikit terancam seperti membanting barang,

merusak barang, atau hp-nya dibanting ya sering beberapa kali

kalo emosi sama saya hp dibanting sampe rusak beberapa kali,

terus dia pernah mukul pintu atau emm apa... tembok.. di depan

saya.. sampe berdarah tangannya. Lalu kalo sedang di atas motor,

dia sedang mengendarai motor, emm dia juga pernah istilahnya

emm apa sih namanya.. kalo dia ada jengkel sama, trus dia

ngendarain motornya ugal-ugalan kaya dikencengin gitu seolah-

olah kayak nantang bahaya gitukan seperti itu..”

“Itu yang pernah saya alami, saya pernah ditampar, saya pernah

ditendang, saya pernah emmm... dicekik juga, ya semacam

kekerasan yang apa yaa... bentuk fisik yang bener-bener itu

kekerasan gitu.. nggak cuma sekedar kesenggol atau apa, memang

secara sengaja..”

“Aduh… Gimana ya.. Nggak etis lah bahasnya kan.. Pokoknya

intinya ya begitu dulu awal-awalnya ya semi-semi diperkosa gitu

rasanya… Karena dia maksa, saya udah nggak mau.. Takut sama

mama kan kalo ketauan.. Dulu aja ampe saya trauma…Padahal itu

kan nggak ngapai-ngapain”

Sangat jauh berbeda dengan masa di awal pacaran, Doni

yang dikenal sangat penyayang, mulai bersikap over-protective

dan posesif terhadap Sari. Doni melarang Sari untuk bergaul dan

bepergian dengan teman laki-laki, meskipun untuk mengerjakan

tugas kelompok dalam mata kuliah tertentu. Tidak hanya teman

laki-laki, Sari juga diminta untuk membatasi pergaulan dengan

teman perempuannya. Doni selalu mengingatkan Sari untuk tidak

terlalu akrab dan percaya terhadap teman perempuannya dengan

menggeneralisasikan pengalaman pertemanan Sari sebelumnya.

Doni meyakinkan Sari untuk terus mempercayainya dan

menjadikannya satu-satunya orang yang dapat dipercaya oleh

Sari. Kekerasan tersebut dialami oleh Sari tanpa Sari mengetahui

dengan jelas alasan atau konflik yang menyebabkan kekerasan itu

dilakukan Doni terhadap dirinya. Menurut Sari, sikap Doni yang

posesif adalah salah satu alasan yang sering dijadikan konflik

oleh Doni. Kecemburuan, sikap posesif, dan over protective

Doni yang berlebihan berimplikasi pada sempitnya pergaulan

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Sari di lingkungan sosial. Hal ini turut membuat Sari sangat

bergantung pada kehadiran Doni disisinya.

“Saya sendiri bingung sampe sekarang ya, maksudnya kadang hal-

hal yang menurut saya itu tidak masalah menurut pandangan

orang umum pun misalnya saya tanyain kalo saya begini tuh salah

atau ngga gitu, dimata saya dan dimata orang-orang yang saya

tanyakan itu sebenarnya bukan sesuatu harusnya dipermasalahkan

misalnya seperti itu tapi bagi dia itu masalah begitu. Misalnya nih

saya lagi kerja kelompok, saya kerja kelompok saya ga mungkin

dong saya nolak misalnya kalo dosennya sudah menentukan ini

ada cowoknya gitu kan.. padahal bukan saya yang milih gitu kan,

misalnya dia merasa kamu ga boleh sekelompok yang ada

cowonya, kamu harusnya sama cewe semua. Tapi kalo misalnya

kita mau ngerjain kelompok emm yang dimana itu sudah diatur

gitu kan, ya kita tidak bisa dong maksudnya ngubah sembarangan

dan lagi tuhu posisinya saya mengerjakan tugas kelompok, saya

bukan jalan-jalan, saya bukan hangout atau acara-acara bebas

yang seperti itu.. dan dia marah misalnya, dia itu jengkel karena

saya tetep pergi untuk kerja kelompok, dia bilang kerjain sendiri

aja, tapi kan tetap ga mungkin saya kerjakan semua sendiri, ada

kalanya saya memang membutuhkan bantuan orang lain. Sedikit

posesif yang berlebihan lah seperti itu..”

Kekerasan berulang yang dialami Sari terus-menerus dalam

kurun waktu kurang lebih 2 tahun membuat Sari merasa terbiasa

dengan rasa sakit yang dirasakannya. Sari mulai bisa beradaptasi

dengan situasi yang menyakitkan tersebut. Namun demikian, Sari

masih merasa dirinya terancam, takut dan tidak nyaman karena

Doni bisa ‘kumat’ sewaktu-waktu.

“Emm.. sebenernya lebih banyak itu... emm terlalu banyak

mungkin ya (tertawa kecil), saya jadi tidak bisa emm apa ya

gimana ya.. sepertinya segala sesuatunya jadi kasar dia, seperti

jadi sesuatu yang biasa, dari ngomong pun udah udah kasar terus,

dari cara ngomong nggak ada lemah lembutnya gitu.. dari intonasi

dari apa, terus dari tindakan juga.. ya seperti itulah..”

“Jadi banyak hal-hal yang ekstrim yang dia lakukan untuk

membuat kita tuh rasanya takut atau apa.. terancam gitu.. Kaya

ngelemparin barang… Itu membuat saya terancam juga,

maksudnya emm walaupun itu tidak mengarah kepada saya, tapi

saya merasa itu satu tindakan yang sudah kasar ya.”

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007)

terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis-jenis kekerasan

yang diterima Sari dalam relasi pacarannya dengan Doni sebagai

berikut:

Kekerasan Verbal Name Calling (‘gendut’, ‘jelek’, ‘anjing’, ‘bangsat’,

‘babi’)

Monopolizing Time (tidak ada waktu bermain dengan

teman-teman)

Making feel insecure (dengan menggunakan kata

‘bekas pakai’, ‘nggak laku lagi’)

Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh)

Manipulation (meyakinkan korban bahwa sang pacar

yang terbaik)

Making threats (diancam akan ditinggalkan)

Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur)

Breaking items (melempar piring, memukul tembok

dan lemari, memecahkan gelas)

Kekerasan Seksual Pemaksaan untuk melakukan sexual intercourse

dengan janji akan dinikahi di kemudian hari dan

sebagai bukti cinta di antara keduanya.

Kekerasan Fisik Ditampar, ditendang, dicekik

Tabel 4.3 Identifikasi Kekerasan Relasi Sari-Doni

b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni

Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim Sari dan

Doni membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat

seperti lingkaran. Selama kurang lebih dua tahun Sari berada

dalam lingkaran kekerasan yang terus berputar seperti siklus yang

rutin. Pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan

tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Sari. Sari berpikir

untuk mengakhiri hubungannya dengan Doni setiap kali Doni

melakukan kekerasan terhadap dirinya. Tidak hanya itu, Sari

bahkan degan lugas mengutarakan hal tersebut kepada Doni

sebagai ultimatum agar Doni berhenti melakukan kekerasan.

Keputusan untuk berpisah juga berulang kali dilontarkan baik dari

Sari maupun Doni. Namun, keputusan itu disadari oleh kedua

pihak hanya bentuk pelampiasan dari emosi sesaat. Sari dan Doni

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

akan saling mencari dan menghubungi satu dengan yang lain

ketika ada rasa rindu yang mengingatkan keduanya akan kenangan

mereka. Ketika mereka memutuskan untuk kembali, tindak

kekerasan akan terulang lagi. Seperti lingkaran kekerasan yang

digambarkan oleh Walker (1979), lingkaran kekerasan pun terus

mengikat kedua Sari dan Doni sebagai berikut:

Gambar 4.1 Lingkaran Kekerasan Relasi Sari-Doni

Pada kasus relasi Sari dan Doni, kekerasan terus berlanjut

menjadi sebuah siklus yang tak terputus karena relasi yang

terjalin diantara keduanya cenderung bersifat tertutup, dalam

artian tidak ada orang lain yang dilibatkan dalam relasi tersebut.

Rutinitas yang dilalui Sari dan Doni setiap kali mereka bertemu

lebih banyak dihabiskan di kos Sari yang terbilang sangat sepi.

Kos tempat Sari berdomisili di Salatiga hanya terdiri dari 4

kamar, satu kamar ialah milik empunya kos, 3 kamar lain

disewakan ke penghuni kos, salah satunya Sari. Situasi kos Sari

dari pagi hingga malam hari sangat sepi karena pemilik kos

POWER & CONTROL

DENIAL

1. TENSION BUILDING- DONI

2. BATTERING - DONI Melempar barang, mendorong, memaki,

mengintimidasi, melecehkan

3. CONTRITION STAGE -

DONI

Meminta maaf, mohon ampun,

Berjanji akan

berubah,

Cemburu dengan

teman laki-laki Sari,

waktu Sari terbagi

dengan tugas kuliah,

Sari tidak menuruti

keinginannya

Pergi ke gereja, meyakinkan Sari

bahwa Doni adalah laki-laki terbaik untuknya, mengingatkan Sari akan

janji mereka tentang pernikahan

RESPONS SARI: Menutup wajah dari lemparan barang, menangis, memberikan ultimatum, mengancam akan meninggalkan Doni.

RESPONS SARI: Membela diri,

mengutarakan alasan, memberikan

penjelasan yang logis RESPONS SARI: Memaafkan, sepakat untuk kembali mempercayai, merasa senang dan penuh

harapan.

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

bekerja setiap hari, sedangkan 2 orang teman kos lainnya lebih

sering menghabiskan waktu di kampus. Situasi kos yang sepi itu

tak jarang membuat Doni berani untuk melampiaskan

kemarahannya jika sedang bekonflik dengan Sari.

Selain itu, tidak ada teman atau kerabat Sari maupun Doni

yang mengetahui tentang tindak kekerasan yang kerap terjadi

dalam relasi mereka. Sikap Doni yang cenderung posesif

membuat Sari terus menerus dijauhi oleh teman-temannya dan

menjauhkan Sari dari pergaulan dan komunitas manapun.

Doktrinasi Doni tentang pertemanan yang buruk juga

meyakinkan Sari bahwa dirinya tidak memerlukan teman untuk

berbagi pengalaman atau cerita. Bagi Sari, kehadiran Doni sudah

cukup untuk mengisi hari-harinya. Relasi yang tertutup dan jauh

dari jangkauan orang-orang di sekitar ini turut membuat

lingkaran kekerasan dalam relasi pacaran Sari dan Doni terus

berlanjut dan menguat dari waktu ke waktu.

a) Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan

Kekerasan yang dialami Sari dalam relasinya dengan Doni

selama bertahun-tahun lamanya tidak melunturkan keinginan

Sari untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan

Doni. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak

Sari untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan

baginya, yakni:

1. Adanya rasa mencintai dan dicintai

Salah satu alasan kuat yang membuat Sari terus

bertahan dalam relasi pacaran dengan Doni ialah rasa cinta

yang begitu besar yang dimilikinya terhadap Doni. Ada

keyakinan yang dipegang oleh Sari bahwa perasaan cinta

terhadap Doni jauh lebih besar daripada perasaan sakit karena

menerima perlakuan yang kasar dari Doni, sehingga Sari

tidak mampu untuk memutuskan hubungan dengannya. Sari

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

beranggapan bahwa kerelaannya untuk disakiti merupakan

bentuk pengorbanan yang dapat ia lakukan untuk Doni dan

juga sebagai upaya mengerti keadaan Doni yang sedang

mengalami konflik.

“Aduh gimana ya.. Saya tuh merasa saya sayang banget sama

dia.. Jadi saya rasa tuh kalo saya putus dengan dia tuh saya

yang nggak kuat sendiri gitu, saya yang kehilangan, saya yang

kangen, saya yang sedih... gitu kan yang galau. Pernah sih

mencoba untuk ya... coba break lah mungkin ya lebih ke

menenangkan pikiran dan lain sebagainya, tapi rasa sayang

saya sama dia lebih besar daripada rasa sakit yang apa ya... ya

saya sakit waktu saya dikasarin, tapi saya lebih sakit waktu

saya nggak ada dia..”

Melalui pernyataan tersebut, sangat terlihat pula bahwa

Sari meyakini bahwa sumber kekuatannya berasal dari Doni

sehingga ia merasa tidak memiliki kekuatan untuk menjalani

hari tanpa Doni. Ada indikasi ketidaknyamanan yang

ditunjukkan Sari ketika berada dalam situasi terpisah dengan

Doni. Hal ini membuat Sari lebih memilih untuk tetap

menjaga agar relasi tersebut terus berlanjut. Selain itu, Sari

mempercayai kata-kata Doni yang menyatakan bahwa ia

mencintainya. Namun, tidak terlihat bahwa Sari benar-benar

merasakan cinta dari Doni.

“Ya cinta lah mbak.. Emmm… Ya dia sih bilangnya cinta..

Katanya dia nggak pernah seserius ini sama cewe.. Nggak

pernah sampe mikir nikah juga. Tapi ya mungkin bener sih,

soalnya kita sempet putus berkali-kali, tetep dia pasti baliknya

ke saya lagi ke saya lagi.. Gatau ya tapi kenapa dia jahat sama

saya, kadang saya mikir dia tuh nggak cinta sama saya”.

Keraguan Sari dalam merasakan cinta Doni

menunjukkan bahwa Sari merasa kebingungan dalam

mengidentifikasi dan memahami konsep cinta. Keyakinan

Sari bahwa Doni mencintainya hanya ditegakkan dengan

kehendak Doni yang terus mendekatkan diri padanya dan

menginginkan relasi tersebut berlanjut ke pernikahan.

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

2. Adanya kecemasan tentang ‘mitos keperawanan’

Alasan lain yang membuat Sari bertahan ialah karena

Sari merasa kecemasan setiap kali ia memikirkan ancaman

dari pasangan bahwa tidak akan ada pria lain yang

menerimanya karena Sari telah memiliki hubungan yang

‘jauh’ dengan Doni. Ada keyakinan terkait stereotip gender

yang dianut Sari tentang perilaku seksual. Sari menganggap

bahwa seorang perempuan yang belum menikah namun

sudah tidak perawan, tidak berharga lagi di mata laki-laki

karena dianggap tidak dapat menjaga kekudusan tubuhnya.

Sedangkan, menurut Sari, laki-laki akan lebih mudah

mendapatkan pasangan lagi meskipun ia sudah tidak perjaka

karena tidak ada jejak yang membekas pada tubuh laki-laki

tersebut. Oleh sebab itu, Sari merasa bahwa Doni ialah satu-

satunya laki-laki yang harus menjadi suaminya karena ia

telah memberikan keperawanannya kepada Doni.

“Soalnya gini lah mbak, saya kan sudah jauh pacarannya

gitu kan, saya juga ditekan sama dia.. misalnya, kamu tuh

sama saya sudah sejauh ini.. siapa yang mau sama kamu

kalo misalnya saya tinggal? Gitu.. Kalo yang namanya cewe

kan istilahnya kan sekali seumur hidup kan ya mbak ya..

Kalo misalnya cowok kan ya nggak masalah mau berkali-

kali kek dia mah nggak ada bekasnya gitu kan.. Tapi kalo

kita kan belum tentu. Nah itu yang saya pikirkan juga, saya

sudah sejauh itu jadi saya kalo mau lepas dari dia saya

merasa saya rugi juga mbak”.

Kecemasan ini muncul karena intimidasi dari Doni

yang terus-menerus meyakini dirinya bahwa Sari tidak akan

mendapatkan laki-laki lain yang mau menerimanya jika ia

melepaskan Doni. Sari merasa dirinya sudah tidak berharga

lagi sebagai perempuan karena ia merasa gagal menjaga

kekudusan tubuhnya. Melalui pernyataan Sari, dapat dilihat

bahwa ada indikasi rasa tidak aman yang dialami Sari jika ia

mengakhiri hubungannya dengan Doni terkait dengan isu

penerimaan oleh pasangan berikutnya terhadap dirinya yang

sudah tidak perawan. Konsep diri Sari juga menjadi negatif

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

karena intimidasi yang terus dilakukan Doni. Hal ini

membuat Sari tidak pernah yakin untuk meninggalkan

lingkaran kekerasan yang terus berulang dalam relasinya

dengan Doni.

3. Adanya rasa nyaman dalam menjalani relasi

Alasan lain yang menjadi pertimbangan Sari untuk

bertahan dalam relasi tersebut ialah karena Sari merasakan

kenyamanan ketika bersama dengan Doni selama 4 tahun ini.

Doni merupakan sosok yang dapat mengisi kekosongan

dalam hati dan keseharian Sari. Hampir dalam semua

kebutuhan, mulai dari kebutuhan finansial (pemberian uang

untuk makan sehari-hari dan belanja), kebutuhan fisik

(kebutuhan untuk disentuh), kebutuhan untuk dicintai.

“Susah mba cari yang lain mah.. Apa ya.. Udah nyaman

banget saya sama dia.. Sekarang dia perhatian banget

orangnya kan, care gitu lho sama hal-hal kecil aja care,

saya makan apa, ada uang nggak, mau belanja apa.. Ya

untungnya dia udah kerja juga..”

Meskipun setelah dua tahun relasi tersebut berjalan dan

Doni mulai menunjukkan perilaku kekerasan terhadap Sari,

namun Sari masih dapat merasakan kenyamanan jika Doni

berada di dekatnya. Namun demikian, ada indikasi kuat yang

menunjukkan bahwa kenyamanan yang dirasakan Sari dipicu

oleh rasa bergantung pada pemenuhan kebutuhan yang

selama ini diberikan oleh Doni.

4. Adanya harapan akan perubahan sikap Doni

Menerima perlakuan kekerasan dari Doni hamper setiap

waktu, tidak mengurungkan harapan Sari untuk menunggu

Doni berubah menjadi sosok laki-laki yang lebih baik. Sari

memiliki keyakinan bahwa setiap manusia bisa berubah dan

Sari yakin Doni cepat atau lambat akan berubah menjadi baik

kembali seperti Doni yang dikenalinya ketika pertama kali

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

mereka bertemu. Sari menganggap bahwa jika di tahun-tahun

pertama relasi pacaran mereka, Doni bisa memperlakukannya

dengan sangat baik, maka ada kemungkinan Doni dapat

menjadi baik kembali. Keyakinan ini terus member kekuatan

bagi Sari untuk mempertahankan relasinya dengan Doni.

“Itu bukan hanya pikiran ya, itu harapan yang setiap

harinya gitu.. saya berharap dia bisa kembali seperti

dulu.. dimana dia tidak kasar seperti itu. Karena saya

sempet merasakan dia yang baik gitu.. walaupun itu

mungkin hanya sandiwara gitu untuk memenangkan

hati saya. Ya.. saya nggak tau sampe kapan ya tapi saya

percaya suatu saat dia akan berubah begitu”.

“Iya, ini nih kasarannya takdir yang saya harus jalani

mbak..”

Sari memiliki keyakinan bahwa keadaan yang dijalani

sekarang bersama pasangan adalah sebuah takdir yang harus

dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Melalui pernyataan ini,

dapat dilihat pula bahwa Sari merasa tidak berdaya untuk

keluar dari situasi yang mengancam dan membuatnya

terluka. Sari menunjukkan sikap pasrah terhadap apapun

yang dilakukan Doni terhadap dirinya dan menyerahkan

seluruh kendali dalam relasi tersebut seutuhnya di tangan

Doni.

2. Gambaran Kelekatan Sari dan Orang Tua

Lingkaran kekerasan yang menjerat Sari dalam relasi pacaran

dengan Doni yang menempatkan dirinya sebagai korban bertahun-

tahun lamanya membuat penulis perlu mengaji lebih dalam

mengenai relasi lekat antara Sari dan kedua orangtuanya di masa

lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk mendapatkan

pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin antara Sari dengan

orang tua sebagai figur lekat pertama dalam kehidupannya, karena

aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin di awal-awal masa

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

kehidupan tersebut terekam dalam memori jangka panjang dan

menghasilkan pola lekat yang serupa dengan relasi Sari dengan

siapapun di rentang kehidupan berikutnya. Namun, sebelum penulis

menggambarkan pola kelekatan antara Sari dengan kedua

orangtuanya, penulis menggambarkan terlebih dahulu relasi yang

terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah tangga dan peran

keduanya sebagai suami-istri.

a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Sari

Sari tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak

harmonis atau dapat dikatakan ‘broken home’ sejak ia berusia

kurang lebih 5 tahun atau ketika Sari masih menginjak Taman

Kanak-Kanak (TK). Pada usia tersebut, Sari seringkali

menyaksikan pertengkaran yang berupa adu mulut hingga

kekerasan yang dilakukan oleh ayah terhadap ibunya. Sari

seringkali melihat ibunya dipukul, dimaki-maki, dan diancam

dengan menggunakan pisau oleh sang ayah. Bagi Sari yang

ketika itu masih berusia 5 tahun, pengalaman menyaksikan

kekerasan dalam rumah tangga ayah dan ibunya merupakan

kenangan yang menyakitkan baginya, namun ia tidak dapat

melakukan apapun untuk menolong ibunya karena ia masih

terlalu kecil sehingga Sari hanya menyimpan dan memendam

kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan hingga ia kini dewasa.

Selain itu, sang ayah juga berselingkuh dengan perempuan

lain hingga akhirnya menikah dan memiliki anak dari perempuan

tersebut. Relasi ayah dan ibu semakin memburuk ketika sang

ayah menikah lagi. Kekerasan yang diterima ibu semakin

memburuk, namun ibu tidak melakukan pembelaan diri ataupun

melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang. Sang

ibu tetap setia dan mencintai ayahnya meskipun sang ayah telah

mengkhianatinya. Sang ibu meyakini bahwa ayah Sari yang ia

nikahi puluhan tahun silam ialah sosok yang sangat baik, namun

ia telah berubah drastis ketika bertemu dengan perempuan lain.

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Meskipun Sari tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari

sang ayah terhadap dirinya, namun sang ayah memberikan

pemahaman yang negatif tentang figur laki-laki di mata Sari

karena ia telah berlaku tidak setia dan tidak bertanggung jawab

pada istrinya.

b) Gambaran Relasi Lekat Sari-Orang Tua

Kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya

dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan

oleh Sari maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua

arah, yakni dari Sari sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai

basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan

penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan

lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki

tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby (1982).

Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan

menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup

kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam

proses penggalian data dengan Sari.

1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)

Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang

terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara

kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes

yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari

orang tua.

a) Sari-Ayah:

Relasi Sari dengan sang ayah dapat terbilang jauh atau

tidak intim secara fisik maupun emosional sejak kecil hingga

Sari beranjak dewasa. Kedekatan fisik dan emosional tidak

pernah terjalin dengan sang ayah, melainkan kebutuhan

finansial yang mendekatkan dirinya dengan ayah. Dengan

kata lain, Sari menjadi terbuka dengan ayah terkait dengan

kebutuhannya akan biaya-biaya yang harus dipenuhinya,

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

bukan tentang hal-hal yang mencakup pikiran dan

perasaannya terhadap sesuatu. Tidak ada upaya untuk

mencari kedekatan dan membina relasi lekat dengan sang

ayah karena Sari merasa ayah telah mengecewakan dirinya

dengan perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya,

juga karena penelantaran yang dilakukan ayah terhadap

keluarga dengan keputusannya menikah lagi dengan

perempuan lain.

“Yah.. Kalo sama papa sih paling minta duit aja… Itu juga dulu

pas jaman masih kaya..”

“Nggak.. Nggak ada itu dipeluk apa dicium sama papa..

Dingin.. Ya nggak akrab sih sama papa mah.. Cuma ya itu

urusan bayar-bayaran kuliah aja, sama uang makan baru

ngehubungin papa..”

“Ya kalo dulu mah yaaa… Pas kecil masih lumayan sering lah

diajakin belanja kan ke mall, beli baju-baju baru gitu kan.. Itu

juga diem-diem dari mama… Itu yaa.. Apa ya.. Dulu banget

lah.. Jaman bokap sehat! Hahaha… Pas dia udah ada istri lagi

ya ngomong aja males..”

Sari menutup diri dari berbagai percakapan atau diskusi

dengan sang ayah ketika ayah menikah lagi dan memiliki

anak dari istri kedua. Penilaian Sari terhadap sang ayah

sangat buruk dan hal itu membuat Sari juga tidak pernah

melibatkan ayah dalam pengambilan keputusan yang

dibuatnya. Bagi Sari, ayah adalah sosok yang tidak dapat ia

percayai karena sang ayah telah mengkhianati ibunya.

Penolakan dan sikap menghindar yang ditunjukkan Sari

kepada ayahnya sekaligus menunjukkan kekecewaan dan

luka yang amat besar dirasakan Sari sehingga

kepercayaannya terhadap sang ayah pun hilang seketika saat

mengetahui sang ayah berlaku kasar terhadap ibunya dan

menikah serta memiliki anak lagi.

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

“Nggak… nggak ngomong.. Taunya kan juga dari si mama

cerita kalo si papa teh kawin lagi…”

“Yah boro-boro curhat, Mbak… Ngomong aja nggak pernah

lagi kalo di rumah… Rasanya teh sakit ati gimana gitu kalo

keinget kasarnya papa ke si mama..”

“Ya.. Jadi kalo ketemu di rumah yaudah lewat aja gitu… Ini

gegara si papa sakit aja jadi saya juga jadi sering balik Solo..

Itu juga disuruh mama, ceunah kesian si papa sakit parah,

terus anak perempuannya nggak pulang-pulang”.

“Kalo dulu sih pas kecil ya kadang nanya papa ada.. Kalo

misalnya tuh ya pas mau beli baju.. ‘Pa, bagus nggak baju

yang ini?’ Gitu.. Itu juga jarang.. Kalo sekarang kan saya udah

segede gini yaa… Nggak pernah sama sekali tanya-tanya lagi

soal apapun yaa Mbak.. Gatau rasanya kaya asing aja.. Bener

deh asing.. Ya meskipun sekarang papa udah balik sama

keluarga ya cuma kok saya yang malah jadi kayak nggak kenal

papa lagi.. Beda Mbak soalnya…”

Sari mengungkapkan bahwa dirinya dan sang ayah

tidak pernah bercerita tentang hal-hal yang mendalam terkait

dengan pikiran dan perasaan atau rencana-rencana jangka

pendek maupun panjang. Perkembangan Sari pada masa

remaja hingga dewasa juga hilang dari pengamatan sang ayah

karena ayah terlalu fokus pada pernikahan dan keluarga

barunya. Seluruh perhatian ayah diberikan pada keluarga

barunya sehingga Sari dan keluarga terbengkalai. Hal

tersebut menyebabkan Sari merasa sangat jauh dengan

keberadaan ayah sehingga ketika sang ayah kembali pada

keluarga, Sari masih merasakan canggung dan sakit hati yang

mendalam pada perlakuan ayah terhadap keluarga, terkhusus

kepada ibunya. Sari berpikir bahwa ia tidak berdaya untuk

menolong ibunya dari perlakuan kasar sang ayah. Ketika Sari

berada dalam situasi terpisah dengan sang ayah pun Sari

tidak merasakan ada sesuatu yang hilang. Hal itu membuat

Sari tidak berkeinginan untuk menjalin komunikasi dengan

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

sang ayah via telepon atau Short Messenger Service (SMS)

ketika mereka berada dalam situasi yang berjauhan.

“Tentang perasaan saya gitu? Emmm… Nggak ya.. Nggak

bisa berkutik saya juga.. Bisa apa coba.. Anak bawang kan

saya mah, Mbak….”

“Bukannya gimana yah Mbak.. Bukannya emmm.. Bukan

nggak maapin… Cuman canggung aja.. Terus keinget gitu

tindak tanduk dia kepada ibu saya itu jauh lebih menyakitkan..

daripada ibu saya disiksa mungkin lebih baik saya yang

dipukul daripada ibu saya yang dibikin begitu..”

“…Apa.. Pas awal kuliah? Nggak sih.. Nggak nyari.. nggak

kangen juga.. Ya biasa-biasa aja lah, lah kalo ketemu aja

nggak ngobrol, apalagi di telfon, Mbak.. “

b) Sari-Ibu:

Sari memiliki kedekatan yang lebih erat kepada ibu

daripada kepada ayah karena ayah jarang pulang ke rumah dan

Sari melihat ayah menyiksa ibu, membuat ibu menangis.

Kedekatan yang dimiliki Sari dengan ibunya mencakup

kedekatan emosional dan kedekatan fisik. Sari merasa

sangat menyayangi ibunya dan ia merasa tidak bisa berada

dalam situasi yang terpisah dari ibunya. Pengalaman pertama

Sari berpisah dengan ibunya ialah ketika Sari memutuskan

berkuliah di luar kota. Hal tersebut membuat Sari setiap

malam harus tetap berkomunikasi dengan sang ibu melalui

telepon atau Short Messenger Service (SMS). Bahkan, Sari

kerap menangis ketika merasa rindu dengan ibunya, namun

hanya bisa mendengarkan suaranya melalui telepon.

“Wah.. kalo sama mama sih saya baper banget deh mba..

Mama saya telfon saya tiap malem aja saya bisa nangis, saking

kangennya, terus sedih kalo pas mama bilang lagi nggak ada

uang atau belum bayar listrik lah apa lah, nggak bisa bayar

kuliah saya lah. Rasanya saya mending berhenti kuliah aja biar

langsung kerja bantuin mama saya. Kalo keadaannya mama

saya yang sakit kayak papa saya, saya rela deh mba biar saya

aja yang gantiin sakitnya asal jangan mama saya yang sakit”.

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Rasa sayang Sari kepada selalu diungkapkan secara terbuka

dalam bentuk kata-kata, perhatian, dan pengertian. Ada

keinginan untuk melindungi ibu dari hal-hal buruk yang dapat

menimpanya. Sari pun mencari ibu ketika ia membutuhkan

pertolongan atau sekedar berbagi cerita tentang pengalamannya

sehari-hari. Namun demikian, meskipun Sari tergolong dekat

dengan ibunya, Sari tidak menunjukkan keterbukaan

kepada ibunya. Ia memilih untuk tidak menceritakan

persoalan yang bersifat pribadi kepada ibunya agar tidak

menjadi masalah.

“No…. Nggak semua bisa diceritain mbak.. Apalagi soal

pacar-pacaran.. Hehh mending diem aja deh daripada

ntar diocehin males.. Paling kalo soal kuliah ya terbuka.

Ini kan saya juga terhambat banget ya mbak skripsi

nggak kelar-kelar. Sampe bayar orang buat ngerjain juga

malah kabur orangnya, ketipu 3 juta saya. Kaya gitu-gitu

saya nggak bilang sama mama saya.. Ya saya cuma mau

mama taunya saya baek-baek aja lah disini…”

Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari

berupaya untuk membuat sang ibu tenang dengan mengetahui

dirinya baik-baik saja. Sari menampilkan diri yang baik dan

patuh di hadapan ibunya. Tidak semua aturan yang diberikan

oleh ibu diikutinya. Dalam hal berpacaran, ia menyembunyi-

kannya dari kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena

sosok ibu dalam pandangan Sari merupakan sosok yang

over-protective. Sejak kecil, ibu mengambil semua keputusan

dalam hidup Sari, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Sari

tidak diijinkan untuk main bersama teman-temannya sepulang

sekolah, harus memakai baju yang ‘cantik’ menurut ibunya,

tidak boleh datang ke acara ulang tahun teman-temannya.

Kemanapun Sari pergi selalu diantar jemput oleh ibunya. Sari

hanya boleh mengikuti acara gereja dengan pendampingan

ibunya. Hal itu dialami hingga Sari duduk di bangku SMA.

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Sang ibu memiliki pandangan bahwa kegiatan yang bersifat

positif dan baik bagi anaknya ialah kegiatan-kegiatan yang

mengandung unsur kerohanian. Sari menganggap bahwa

dirinya sulit sekali mendapatkan ijin dari sang ibu jika ia

menemukan hal baru yang menarik untuk dilakukan.

Kekhawatiran sang ibu yang berlebihan membuat Sari

membatasi ruang gerak untuk eksplorasi. Ia memilih untuk

menjadi pasif dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di

kampus. Banyak larangan yang diberikan oleh sang ibu demi

kebaikan Sari, dan Sari merasa tidak keberatan dengan hal itu

karena Sari meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk

kebaikan Sari.

“Saya anak baik.. anak manis dan penurut. Ya itu sih yang

diketahui sama papa mama saya..”

“Mereka taunya ya saya ikutin, tapi pada kenyataannya saya

banyak mangkir juga (tertawa).. Ya itu tadi.. Saya kan dilarang

pacaran, tapi saya bolak-balik pacaran backstreet gitu.. Itu sih

yang menurut saya paling nakal”

“Ya… Misal kegiatan di gereja, ikut retreat, latihan nyanyi

atau nari di gereja. Di luar itu sih bakal diinterogasi dulu

kegiatannya kayak gimana, sama siapa, waktunya kapan,

macem-macem lah..”

2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)

Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari

relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe

haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat

sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari

kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk

pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan

akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.

a) Ayah-Sari:

Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan

emosional maupun fisik bagi Sari sejak kecil. Sosok ayah

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

dikenal pekerja keras yang selalu memenuhi kebutuhan rumah

tangga dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di dalam

rumah. Ada masa dalam kehidupan Sari dimana sang ayah

masih memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Ayah bukan

sosok yang menunda untuk menyenangkan anaknya dan ia

tidak ingin melihat anaknya menginginkan sesuatu hingga

memohon. Ayah Sari cenderung royal dalam memberikan

sesuatu kepada anaknya.

“Ayah saya dari saya kecil tuh nggak bisa ngelihat saya

ngerengek kalo mau sesuatu. Misal kan saya diajak jalan-

jalan gitu, terus ada barang yang saya mau beli, kayak baju

gitu, pasti ayah langsung belikan. Dulu tapi itu jaman saya

masih kaya.. Cuma ayah kadang diem-diem kasih saya jangan

sampai mama saya tau. Ayah tuh kalo beliin baju saya nggak

sembarangan dulu, brand bagus, mahal-mahal… Jaman dulu

saya SD aja dibeliin celana harganya 300.000. Jaman dulu lho

itu, mbak…”

Melalui pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan

Sari yang dipenuhi oleh sang ayah hanya kebutuhan finansial.

Sari tidak mendapatkan kehangatan atau rasa nyaman dari sang

ayah karena Sari sangat jarang menerima sentuhan fisik

dari ayah seperti dipeluk, digendong, dicium, dan lainnya. Hal

ini juga menyebabkan Sari seringkali merasa canggung dengan

sang ayah dan merasa jauh dengan ayah. Selain itu, ayah

menunjukkan inkonsistensi dalam hal pemenuhan

kebutuhan finansial Sari setelah sang ayah menikah lagi. Hal

ini kerap menimbulkan kecemasan bagi Sari untuk membiayai

hidupnya sendiri. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sosok

ayah bukan tempat Sari mencari perlindungan ketika Sari

berada dalam situasi yang sulit dan menekan dirinya.

b) Ibu-Sari:

Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu Sari lebih

memenuhi kebutuhan fisik dan emosional Sari. Sang ibu

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

cenderung hangat dan mudah mengungkapkan rasa sayangnya

melalui kata-kata maupun sentuhan fisik seperti pelukan atau

ciuman. Bagi Sari, sejak kecil sang ibu merupakan sosok yang

dapat diandalkan karena ibu selalu hadir dalam setiap Sari

membutuhkan pertolongan. Perhatian sang ibu kepada Sari

juga membuat Sari merasa disayang oleh ibunya. Ibunya selalu

berusaha memperhatikan Sari mulai dari hal-hal kecil, seperti

kegiatan Sari, kebutuhan makan, kebutuhan bercerita.

“Ya… Lengket kalo sama mama sih.. Sampe dibilang tuh.. apa..

anak mamih… Hahaha.. Ya emang anaknya mamih kan, cuek aja

saya sih.. Romantis saya mah kalo sama mama… Ya pelukan,

dicium.. Mama jauh lebih hangat lah dari papa..“

Namun, ibu Sari tidak dapat memenuhi kebutuhan Sari

dalam hal finansial karena sang ibu tidak bekerja dan hanya

mengandalkan uang dari ayah Sari yang cenderung tidak stabil

penghasilannya. Terlebih, ketika sang ayah telah sakit kanker,

Sari tidak lagi dibiayai oleh ayah maupun ibunya. Hal itu

membuat Sari setiap harinya merasa cemas dan sangat sedih

hanya kareana ia memikirkan kelanjutan hidupnya. Konsentrasi

Sari terhadap perkuliahan juga menjadi terpecah dan Sari

kebingungan untuk membayar uang kuliah, uang makan, uang

kos atau uang fotocopy dan lainnya.

“Harus.. harus banget.. Mama perhatian banget, selalu nelfon,

tanya udah makan belom, makan apa, kegiatannya apa… Tapi ya

cuma bisa tanya aja.. Kalo soal duit mama nggak bisa bantu

soalnya.. Mama kan nggak kerja kaya papa, papa juga sekarang

sakit udah nggak kerja.. Mama akhirnya kerja pabrikan, sekali

dateng Cuma dibayar 20 rebu.. Itu buat pengobatan papa.. Jadi

yah… Yah… Gini deh saya.. Bingung juga besok makan apaan… ”

3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai

figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan

tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi

Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari

sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan

pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih

sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons

menerima anak secara utuh.

a) Ayah-Sari:

Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga

dewasa ini, Sari menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat

dijadikan basis aman oleh Sari. Selain karena relasi

keduanya tidak dekat, Sari juga merasa tidak aman dengan

keberadaan ayah karena Sari telah menanamkan persepsi

negatif tentang figur ayah yang erat dengan kekerasan

terhadap perempuan. Meskipun kekerasan tersebut tidak

ditujukan kepada dirinya, namun hal tersebut tetap membuat

Sari merasa tidak aman karena ia dapat menyaksikan ibunya

dilukai oleh sang ayah kapanpun.

“Iya saya ini merasa ayah saya ini negatif walau pada akhirnya

dia kembali dan saya sudah berdamai, sudah memaafkan, ayah

saya juga sudah baik, tapi ya sedikit banyak apa yang dialami

ibu saya sangat berpengaruh dalam em.. cara saya menilai

lawan jenis.. dalam saya juga dasar-dasar pertimbangan saya

memilih pasangan.. Ya gatau juga ya.. Liat ntar deh sambil

jalan aja..”

Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari

menjadikan ayah sebagai tolak ukur penetapan standar

dalam pemilihan pasangan di kemudian hari. Ada indikasi

rasa cemas dan kebingungan yang ditunjukkan Sari tentang

kriteria pasangan yang ideal karena Sari tidak dapat melihat

figur laki-laki baik dari ayahnya.

b) Ibu-Sari:

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Meskipun Sari memiliki kedekatan dengan ibunya,

namun Sari juga tidak nampak menjadikan ibu sebagai

basis aman bagi dirinya. Ibu dianggap sebagai sosok yang

over-protective. Namun sikap tersebut diinterpretasikan oleh

Sari sebagai wujud rasa sayang yang berlebihan sehingga sang

ibu tidak ingin anaknya mendapatkan kesulitan. Hal ini

menunjukkan bahwa sang ibu sebenarnya membatasi ruang

eksplorasi Sari, yang dinyatakan oleh Bowlby bahwa hal ini

memicu pandangan bahwa dunia tidak aman untuk

dieksplorasi. Sikap ibu yang over-protective membuat Sari

tertekan, dan merasa tidak dapat menjadi diri sendiri. Sari

memiliki keinginan untuk memberontak dan bebas. Hal ini

juga membuat Sari menutupi atau menyembunyikan diri yang

sebenarnya dan berharap agar dapat secepatnya lepas dari

pengawasan ibunya.

“Itu mengajarkan saya untuk tidak terbuka sebenarnya. Tidak

bisa menjadi diri sendiri, apa yang kita mau kita nggak bisa ya

kan, kita tertekan.. Ada rasa ingin memberontak, ingin bebas,

ingin seperti orang yang lain.. Kaya ‘aduh temen aku enak

banget masa-masa muda, masa-masa remaja itu kan masa yang

paling happy.. ya kan bisa menikmati jalan-jalan lah sama

temen, nonton sama temen, hangout gimana lah party sama

temen.. itu nggak saya alami. Makanya saya sedikit merasa

gimana sih caranya secepetnya saya tuh bisa lepas gitu..”

Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara Sari

dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis ambivalent-insecure

attachment. Hal ini dapat dilihat dari pola perilaku lekat yang tidak

konsisten ditunjukkan oleh orang tua sebagai figur lekat maupun

Sari. Pemenuhan kebutuhan yang inkonsisten dari kedua orang tua

terhadap Sari baik dari segi emosional, fisik, maupun finansial turut

memicu munculnya kecemasan yang berkelanjutan untuk

menjalankan hidupnya. Selain itu, inkonsistensi emosi juga

ditunjukkan oleh Sari terhadap ibunya. Di satu waktu, Sari merasa

sangat menyayangi ibunya dan rela berkorban demi kebahagiaan

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

ibunya, namun di sisi lain Sari merasa sangat terkekang dan tidak

suka dengan cara ibu memperlakukannya seperti anak kecil. Pola

lekat yang insecure ini membuat Sari tumbuh dengan kebingungan.

Sari tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang

dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola

perilaku lekat dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua

sehingga muncul perasaan pada Sari bahwa mengeksplorasi dunia

dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini

berdampak pada rendahnya keinginan Sari untuk mengeksplorasi

hal-hal baru dan sempitnya cara pandang Sari terhadap sesuatu.

3. Dinamika Pola Kelekatan Sari dengan Orang Tua dan

Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan

Setelah mendapatkan gambaran tentang pola kelekatan Sari

dengan orang tua sejak kecil hingga dewasa dan juga melihat alasan

di balik kebertahanan Sari dalam lingkaran kekerasan, penulis

melihat fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat yang

berkesinambungan. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa pola

kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur lekat

membentuk internal working models dalam persepsi anak sepanjang

hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-pertimbangan

yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika antara keduanya,

penulis menguraikan terlebih dahulu tentang karakteristik serupa

yang dimiliki oleh ayah dan ibu Sari dengan Doni.

AYAH SARI-DONI IBU SARI-DONI

Ayah Sari dan Doni memiliki

karakteristik yang serupa, yakni

keduanya melakukan tindak kekerasan

terhadap perempuan. Sang ayah

melakukan kekerasan pada ibunya,

sedangkan Doni melakukan kekerasan

terhadap dirinya. Respons yang

ditunjukkan Sari kepada Doni dalam

situasi kekerasan yang dialaminya juga

Ibu Sari sebagai figur lekat memiliki

karakteristik dengan Doni, yakni sifat

yang over-protective terhadap Sari. Ibu

sejak kecil melarang Sari untuk

bermain bersama teman-temannya,

bahkan dilarang untuk hadir di acara

ulang tahun temannya. Hal kecil seperti

pemilihan baju yang hendak dikenakan

pun diatur oleh sang ibu. Sari meyakini

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

serupa dengan respons ibu menanggapi

kekerasan oleh sang ayah, yakni diam,

tidak ada perlawanan, dan berharap

bahwa suatu hari pasangannya pasti

berubah. Melihat sang ibu mengalami

kekerasan dari ayahnya juga hanya

membuat Sari diam, meskipun Sari

merasa sangat sedih dan ada keinginan

untuk menggantikan posisi ibunya.

Kemiripan lainnya ialah sosok kedua

laki-laki ini merupakan sosok yang

dapat memenuhi kebutuhan finan-

sialnya.

Interpretasi:

1.Ayah memberikan model pencetakan

(imprint) yang buruk tentang konsep

laki-laki yang baik sehingga Sari

tidak mendapatkan pemahaman yang

benar tentang pemilihan pasangan.

2. Ada rasa bersalah terhadap figur ibu

karena Sari tidak berdaya menolong

ibu ketika mengalami kekerasan.

Rasa bersalah ini termanifestasi

dalam bentuk penerimaan diri

sebagai korban kekerasan.

3.Adanya internalisasi terhadap

konsep stereotip gender dalam

persepsi Sari yang meletakkan

perempuan sebagai pihak yang tidak

berdaya untuk keluar dari lingkaran

kekerasan.

bahwa hal tersebut dilakukan ibunya

demi kebaikan dirinya. Sifat tersebut

juga ditunjukkan Doni terhadap Sari.

Doni melarang Sari untuk bermain

dengan teman-teman kuliahnya, dan

tidak boleh satu kelompok dengan

teman laki-laki dalam mengerjakan

tugas kuliah. Sari juga diminta untuk

membatasi pergaulannya. Situasi

terpisah yang dimunculkan antara relasi

Sari dengan ibu maupun Doni membuat

Sari merasakan kesedihan yang

mendalam dan terbawa dalam perasaan

kehilangan.

Interpretasi: 1.Ibu membentuk konsep ‘aman’

dengan perlunya proteksi atau

perlindungan yang berlebihan.

Proteksi berlebih yang juga diberikan

Doni dapat diterima dengan mudah

oleh Sari sebagai wujud dari cinta dan

perhatian.

2.Sari tidak pernah mendapatkan

kesempatan untuk eksplorasi. Tidak

ada dukungan eksternal dari para

figur lekat bagi Sari untuk dapat

mengeksplor lingkungan sekitar.

3.Adanya kecemasan dan sikap depresif

dalam merespons situasi terpisah

dengan figur lekat sehingga Sari terus

mencari cara untuk mendekatkan diri

dengan figur lekat.

Tabel 4.4 Karakteristik Figur Lekat Sari

Dapat dilihat, Doni memiliki kemiripan karakteristik dengan

ayah dan ibu Sari, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap

Sari hingga respons Sari menghadapi perlakuan tersebut. Hal ini

mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Sari dengan

kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut membentuk

persepsi Sari tentang proses membangun dan mempertahankan

relasi dengan Doni. Keserupaan ciri yang dimiliki oleh Doni

dengan kedua orangtuanya membuat Sari merasa nyaman berada

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

dalam relasi pacaran dengan Doni karena melalui relasi tersebut,

Sari mendapatkan representasi kehadiran orang tua didekatnya.

Dengan kata lain, Sari membentuk proses pembiasaan dengan

perlakuan orang tua, khususnya ibu terhadap dirinya dan

menjadikannya ‘standar basis aman’ yang harus dimilikinya,

meskipun sebenarnya sikap over-protective dan kekangan yang

diberikan oleh itu justru berdampak buruk bagi optimalisasi

perkembangan kognisi dan afeksi Sari. Sari menjadi cemas jika

berhadapan dengan situasi baru karena Sari tidak pernah

mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi dan membentuk

pemahaman subjektif bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk

bereksplorasi dan mengembangkan diri. Hal ini menyebabkan Sari

sulit untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk kebaikan

dirinya sendiri karena ‘rasa aman’ hanya dapat dirasakan Sari ketika

berada dalam proteksi dan perlindungan ketat dari ibu dan Doni

sebagai figur lekat, bukan melalui proses eksplorasi.

Kesulitan dalam pengambilan keputusan membuat Sari juga

rentan terhadap kegagalan untuk menghadapi situasi yang sulit,

seperti persoalan perkuliahan, pertemanan, dan percintaan. Sari juga

menjadi mudah tertekan jika menghadapi situasi terpisah dengan

ibu maupun Doni. Hal ini disebabkan karena Sari menganggap ibu

dan Doni ialah basis aman yang melindunginya dari berbagai

ancaman. Namun, penulis melihat bahwa ‘rasa aman’ yang

dirasakan Sari ketika berada dengan figur lekat merupakan bentuk

dari rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap figur lekat

karena jika ditelaah lebih mendalam, tidak ada basis aman (secure

base) bagi Sari untuk eksplorasi dan menjadi diri sendiri. Kesedihan

mendalam dan sikap depresif yang ditunjukkan Sari sebagai respons

menghadapi perpisahan merupakan indikasi kuat bahwa Sari

tumbuh menjadi individu yang insecure sehingga Sari merasakan

kecemasan untuk keluar dari relasi pacaran yang mengandung unsur

kekerasan didalamnya.

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Oleh karena sejak kecil Sari tidak pernah diberi kesempatan

untuk melakukan eksplorasi, proses adaptasi dan kemampuan

mengelola konflik internal (terkait pikiran dan perasaan) maupun

eksternal (relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar) juga

menjadi tumpul. Ketumpulan ini berimplikasi pada kegagalan untuk

mengatasi situasi sulit yang menekan dan menyakitkan. Situasi

keterpisahan dengan Doni sebagai figur lekat pengganti juga

menimbulkan kecemasan yang mendalam pada diri Sari meskipun

Sari menyadari bahwa relasinya dengan Doni yang mengandung

kekerasan tidak baik untuk diteruskan. Kecemasan terhadap

perpisahan ini tidak dapat dikelola dengan baik oleh Sari sehingga

lebih mudah bagi Sari untuk merasionalisasikan kecemasan tersebut

menjadi bentuk pengorbanannya dalam mencintai Doni.

Disimpulkan bahwa pola kelekatan Sari dengan ibu sebagai figur

lekat pertama membuat Sari tumbuh menjadi individu yang

insecure dan tidak berdaya untuk keluar dari jerat lingkaran

kekerasan yang dialaminya dengan Doni.

e) Pembahasan Kasus Sari

Melalui paparan jerat lingkaran kekerasna yang dialami Sari dan

pola kelekatan yang terjalin antara Sari dengan kedua orang tua dari

masa anak hingga remaja, berikut ialah rincian dinamika pola kelekatan

Sari dengan orang tua dan pacar:

KOMPONEN KELEKATAN Proximity

Maintenance

Ada (mengarah kepada ibu)

Pencarian kedekatan beserta upaya menjaga relasi hanya

ditunjukkan Sari kepada figur ibu. Tidak ada upaya untuk

mendekatkan diri kepada figur ayah karena ayah

dianggap sebagai figur yang tidak baik.

Safe Haven Ada (diberikan oleh ibu)

Figur ibu merupakan tempat perlindungan bagi Sari

ketika ia berada dalam situasi yang mengancam. Ibu

memberikan kehangatan melalui kontak fisik seperti

pelukan, ciuman, dan dukungan kepada Sari untuk

melalui situasi sulit yang dihadapinya. Sebaliknya, figur

ayah tidak dapat dijadikan tempat perlindungan bagi Sari

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

karena Sari merasa tidak aman dengan kekerasan yang

dilakukan ayah terhadap ibunya.

Secure Base Tidak ada

Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman untuk

Sari mengeksplorasi dunianya. Figur ibu yang over-

protective cenderung membatasi ruang gerak Sari. Hal ini

berdampak pada kurangnya kemampuan Sari untuk

menghadapi situasi sulit dan mengambil keputu-san

tertentu.

Pola Kelekatan Ambivalent-insecure

INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang tidak

terpenuhi oleh ayah

Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional

Kebutuhan yang tidak

terpenuhi oleh ibu

Kebutuhan finansial

Kebutuhan yang

dipenuhi pacar

Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional, kebutuhan finan-

sial

Riwayat

Kekerasan dalam

Keluarga

Sari tidak mengalami secara langsung, melainkan berlaku

sebagai pengamat perilaku kekerasan yang dilakukan

ayah terhadap ibunya.

Riwayat kekerasan

dalam Pacaran

Sari mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan

kekerasan seksual dari Doni.

Tabel 4.5 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Sari

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap Sari

yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang mengandung

jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis memiliki beberapa

temuan terkait dengan kebertahanan Sari yang terjerat dalam lingkaran

kekerasan di dalam relasi pacaran:

Temuan 1: Kebertahanan sebagai Korban Kekerasan Merupakan

Manifestasi Kecemasan dari Pola Lekat Ambivalent-Insecure

dengan Orang Tua

Ketidaktersediaan basis aman yang konsisten bagi Sari untuk

eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk

dieksplorasi memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap situasi

terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat dari masa anak hingga

remaja. Kecemasan tersebut beralih dari orang tua sebagai figur lekat

pertama ke pacar sebagai figur lekat di masa dewasa seiring dengan

beralihnya perilaku lekat secara berangsur. Inkonsistensi dari

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

pengadaan basis aman ini berimplikasi pada kurangnya minat untuk

keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman, meskipun tidak aman.

Terbatasnya ruang eksplorasi yang diberikan kepada Sari juga turut

berimplikasi pada kurangnya kemampuan untuk mengatasi kecemasan

atas situasi perpisahan dengan pacar yang dijadikan sebagai figur lekat.

Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973) bahwa ketika relasi dengan

orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah

kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan,

kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan

mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian

positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan

tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari

insekuritas yang dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua,

kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik

oleh Sari sehingga ia memilih untuk bertahan dalam relasi yang

merugikan.

Temuan 2: Mitos Keperawanan Berimplikasi pada Konsep

Keberhargaan Diri

Pada kasus Sari, ditemukan bahwa ideologi tentang keperawanan

turut membuat Sari menjeratkan diri dalam lingkaran kekerasan.

Konstuksi nilai yang ditanamkan oleh ibu tentang pentingnya menjaga

‘kekudusan’ kepada Sari sejak ia kecil menyebabkan hilangnya rasa

berharga atas diri sendiri karena hubungan sexual intercourse yang

dilakukannya dengan pacar. Ada indikasi rasa bersalah dan rasa malu

mendalam yang dirasakan oleh Sari dan berdampak pada terbentuknya

persepsi tentang konsep diri yang negatif. Hal ini diperkuat dengan

intimidasi pacar terkait dengan keberhargaan seorang perempuan yang

diletakkan pada keperawanan. Ideologi tentang keperawanan menjadi

hal yang sangat mencemaskan bagi Sari sehingga itu menjadi alasan

kuat Sari bertahan dalam relasi tersebut. Ideologi tentang keperawanan

merupakan bentuk konstruksi nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

ibu sehingga membentuk persepsi atau keyakinan-keyakinan yang

dipegang teguh oleh Sari. Ketika keyakinan akan pentingnya

keperawanan tersebut tidak berjalan sesuai dengan pengalaman yang

dijalani, konsep keberhargaan diri turut menurun drastis.

Temuan 3: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak

Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan Kontak-

Kontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki

Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Sari akan kebutuhan fisik

seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan

keduanya dalam relasi pacaran. Ketiadaan sentuhan dari orang tua –

khususnya ayah sebagai figur lekat yang belainan gender – sejak kecil,

membuat Sari merasa asing dengan rasa nyaman yang dimunculkan

dari sentuhan itu sendiri sehingga ketika sang pacar memberikan

kepadanya, rasa nyaman yang tidak pernah dirasakan sebelumnya

menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Persepsi

yang buruk tentang figur ayah sebagai figur lekat laki-laki pertama

dalam kehidupan Sari pun turut membentuk ekspektasi yang tinggi

tentang karakteristik laki-laki ideal bagi Sari. Namun demikian,

keserupaan karakteristik yang dimunculkan oleh Doni dan ayah Sari

yang cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan

nampaknya menjadi cetakan (imprint) yang dipelajari secara tidak sadar

dan menjadi proses penerimaan berulang.

Temuan 4: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi

dengan Figur Lekat Pertama Perempuan

Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan

kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi

lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki

implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi)

dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Sari

dengan relasinya bersama Doni yang bersifat over-protective terhadap

dirinya. Perlakuan Doni tersebut sama dengan perlakuan ibu Sari yang

Page 37: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

juga over-protective sejak Sari kecil hingga dewasa sehingga Sari

merasa bahwa perilaku over-protective merupakan hal yang lazim

dilakukan oleh orang yang mencintai dirinya.

Temuan 5: Adanya Proses Pembelajaran Sosial Melalui Latar

Belakang Keluarga ‘Broken Home’

Latar belakang keluarga memiliki peran krusial dalam

membentuk pengalaman belajar Sari tentang konsep keluarga. Keluarga

yang ‘broken’ dan tindak kekerasan dari ayah kepada ibu yang terus

diamatinya perlahan dan dikuatkan oleh tindak kekerasan yang

dilakukan pacar terhadap dirinya turut membentuk skema tentang relasi

interpersonal dengan lawan jenis. Bandura (1977) menjelaskan tentang

observational learning yang dapat terbentuk dari proses modeling

(meniru figur yang dijadikan panutan). Dalam kondisi Sari yang sejak

kecil terbiasa melihat tindak kekerasan terjadi terhadap ibunya, dan

respons ibu Sari yang diam ketika menerima perlakuan tersebut,

membuat Sari belajar bahwa ketika ia mengalami kekerasan serupa dari

sang pacar, ia juga meniru respons yang ditampilkan ibu kepada

ayahnya. Ibu menjadi model pembelajaran bagi Sari dalam mengatasi

situasi serupa. Hal ini yang juga membuat Sari bertahan dalam

relasinya dengan Doni.

2. Analisis Deskriptif Subyek Kedua (Dinda)

a) Identitas Diri Dinda

Nama : Dinda (bukan nama sebenarnya)

Usia : 25 tahun

Kota Asal : Lampung

Kota Domisili : Solo

Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA)

Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya

Wacana, Salatiga

Jurusan : Psikologi

Agama : Katolik

Page 38: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Status Perkawinan

Urutan Kelahiran

:

:

Belum Menikah

Anak ke-2 dari 3 bersaudara

b) Hasil Observasi

Observasi juga dilakukan peneliti terhadap Dinda selama

proses interview dilangsungkan. Dinda cenderung menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan peneliti dengan emosi yang stabil dan

nada suara yang tenang. Dinda tampak menjadikan pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan sebagai refleksi bagi dirinya, khususnya

ketika menanggapi pertanyaan terkait kenangan masa kecil bersama

kedua orangtuanya. Hal ini terlihat dari jawaban Dinda yang

seketika terpenggal-penggal dan memberi pertanyaan refleksi pada

dirinya sendiri. Gejolak emosi Dinda hanya terlihat ketika

menjawab pertanyaan seputar perselingkuhan pacarnya. Dinda

menunjukkan perubahan respons emosional yang drastis, seperti

kening yang dikernyitkan, pipi yang memerah, nada suara yang

meninggi dan memekik, tangan yang dikepal serta gestur jari yang

menunjuk-nunjuk ketika menyebutkan nama-nama perempuan yang

menjadi selingkuhan pacarnya.

c) Latar Belakang Dinda

Dinda merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak

pertamanya perempuan dan adiknya ialah seorang laki-laki. Jarak

usia Dinda dengan kakak perempuannya sekitar 3 tahun dan 2 tahun

selisih usia dirinya dengan adik laki-laki. Dinda dibesarkan dalam

keluarga Katolik, namun ritual keagamaan jarang dilakukan

bersama-sama dengan keluarga. Dinda lahir dan besar di Lampung

bersama keluarganya. Sejak kecil, Dinda beserta dua saudaranya

dirawat oleh masing-masing satu baby sitter. Hal ini dikarenakan

ayah dan ibu seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah ketika

sedang sibuk bekerja di luar rumah. Situasi tersebut berlangsung

Page 39: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

hingga Dinda berusia kurang lebih 8 tahun. Peran pendampingan

orang tua dalam urusan sekolah, ibadah, dan kursus tertentu juga

digantikan oleh baby sitter masing-masing anak. Ayah dan ibu

Dinda tidak pernah hadir dalam acara-acara sekolah karena

kesibukannya mencari uang untuk keluarga.

Kegigihan ayah dan ibu dalam mengumpulkan uang di setiap

waktunya membuat Dinda dan keluarga memiliki status ekonomi

yang jauh di atas rata-rata. Untuk menggantikan waktu yang hilang

dengan anak-anak, ayah dan ibu Dinda selalu mengajak Dinda

beserta saudara-saudaranya dan para baby sitter-nya untuk berlibur

ke Jakarta di setiap akhir pekan. Selain itu, makan malam juga

merupakan waktu yang tepat bagi Dinda dapat berkumpul dengan

keluarganya lengkap. Namun demikian, hal tersebut tidak cukup

bagi Dinda untuk membuka diri terhadap orangtuanya dan sangat

sulit bagi Dinda untuk melakukan kontak fisik dengan orang tua.

Dinda lebih dekat dan nyaman menceritakan apapun dengan baby

sitter yang mengasuhnya dari kecil. Kedekatan dengan baby sitter

ini berlangsung hingga Dinda SMP.

Seiring berjalannya waktu, Dinda tumbuh menjadi anak yang

berani, tegar, mandiri dan mencintai kebebasan. Dinda dapat

melakukan semuanya sendiri dan juga mengambil keputusan sendiri

tanpa bantuan orangtuanya. Dinda dapat bergaul dengan teman-

teman yang ia kehendaki. Kepenuhannya dalam hal finansial

membuatnya dapat melakukan dan membeli apa saja yang ia

inginkan. Namun demikian, konsep keluarga dalam diri Dinda

cenderung samar-samar karena ia merasa tidak memiliki kedekatan

yang intim dengan keluarganya, terkhusus dengan sang ibu dan

kakak pertamanya. Relasi Dinda dengan sang kakak cenderung

buruk. Dinda terus mengalami konflik dengan sanga kakak sejak

kecil hingga ia duduk di bangku SMP. Sang kakak seringkali mem-

bully Dinda dengan ejekan ‘anak pungut’ hingga membuat Dinda

yang kala itu berusia 5 tahun kabur dari rumah. Rumah yang ‘dingin’

Page 40: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

membuat Dinda memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di

salah satu universitas di Salatiga agar ia jauh dari keluarganya. Ia

mengambil jurusan Psikologi tahun 2006 dan menamatkan gelar

kesarjaannya tahun 2013.

d) Analisis Kasus Dinda

1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-Rendi

a) Identifikasi Jenis Kekerasan

Dinda telah menjalani relasi pacaran dengan Rendi selama

kurang lebih 5 tahun. Dinda dan Rendi berkenalan di kampus.

Mereka belajar di satu fakultas yang sama, namun selisih 2

angkatan. Dinda 2 angkatan lebih awal dibandingkan Rendi.

Namun jika dilihat dari usia, Dinda 3 tahun lebih tua daripada

Rendi. Pada awalnya, Dinda tidak tertarik kepada Rendi secara

fisik. Mereka saling mengenal sebagai teman main sehingga

terbiasa menghabiskan waktu luang bersama. Rendi yang juga

berasal dari kota yang sama dengannya juga membuatnya merasa

cocok untuk berteman dengannya. Kedekatan mereka di awal

juga dikarenakan teman-teman Rendi meminta Dinda untuk

memantau dan memberikan nasihat tentang perkuliahan Rendi

yang seringkali absen hingga melebihi batas.

Dinda memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran

karena beberapa alasan, yakni adanya rasa nyaman dan terbiasa

melakukan kegiatan bersama-sama dan adanya rasa kasihan

dengan Rendi karena Rendi terlihat lemah dan tidak dapat meng-

handle dirinya sendiri. Tidak ada komitmen berpacaran yang

disepakati oleh Dinda dan Rendi. Keduanya terbiasa bersama-

sama hingga muncul rasa memiliki dan mengikat satu dengan

lain. Namun seiring berjalannya relasi pacaran diantara mereka,

Dinda menemukan bahwa Rendi seringkali berselingkuh. Rendi

berselingkuh dengan mantannya dan seorang perempuan lain

dalam teman perkumpulan-nya.

Page 41: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

“Ooo.. ya ada. Emm.. Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati,

itu, dia suka selingkuh. Terus, ada hal yang, ada hal yang waktu

pas dia awal ngajak pacaran juga, saya ngomong sama dia, emm

“Bener apa enggak?” Karena ketika kita pacaran dan kita

temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi

pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya

jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah

tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada hal-

hal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak

papa, gini-gini, bla-bla-blablabla.. Tapi ternyata, emm.. Dia

mungkin nyakitin-nya lebih ke, sebenernya nyakitinnya tuh

bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai

agak aneh”.

Dinda membangun keyakinan dan membuat rasionalisasi

bahwa Rendi menjadi individu yang seperti itu karena teman-

teman yang ada di lingkungannya. Bagi Dinda, teman-teman

Rendi membawa pengaruh yang buruk bagi perilaku Rendi.

Selain itu, Dinda menganggap bahwa dalam setiap

perselingkuhan yang terjadi antara Rendi dan perempuan-

perempuan yang lain, kesalahan dilimpahkan pada sang

selingkuhan yang terus mengajak Rendi bertemu berulang kali.

Dinda menganggap bahwa Sinta, mantan Rendi, adalah kunci

permasalahan dari perilaku Rendi yang sering bolos kuliah dan

berselingkuh dari dirinya. Selama lima tahun berpacaran dengan

Rendi, Dinda mengaku bahwa dirinya sudah 4 kali diselingkuhi

oleh Rendi. Sepengetahuan Dinda, 2 kali Rendi selingkuh

dengan Sinta dan 2 kali lainnya Rendi selingkuh dengan Becca,

teman perempuan sekumpulannya.

“Bolaaaak-balikkk. Ada kali empat kali saya diginiin… Yang

ketauan itu juga kan… Diem-diem dia ke Jogja lah nyamper si

Sinta, lha itu kan temen-temennya pada bilang sama gue.. Terus,

nemu si Becca pagi-pagi dikosannya baru bangun tidur masih

pake tanktop-an gitu… Ngapain lagi coba..”

Menurut penuturan Dinda, Rendi berselingkuh setiap kali ia

mengalami konflik dan bertengkar hebat dengan Dinda. Dapat

dilihat, Rendi cenderung melarikan diri dari masalah yang

Page 42: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

sedang dihadapi. Adanya ketidaksiapan dan ketidakmatangan

dari Rendi untuk menjalani sebuah komitmen berpacaran. Selain

kekerasan emosional yang dialami oleh Dinda, Rendi juga

seringkali menyakiti Dinda dengan kata-kata yang kasar seperti

‘anjing’, ‘babi’, ‘bego’. Namun, Dinda merasa bahwa itu adalah

hal yang biasa dilakukan kepada teman-temannya juga. Jadi,

Dinda tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati.

“Yah.. Apa.. Kapan sih? ‘Bego’ itu sih mah biasa, Teh!

Sepergaulannya emang kalo ngomong begitu modelnya. Ke saya

juga gitu.. Cuma saya sih biasa aja ya.. Eh tergantung deh.. Kalo

lagi badmood biasa jadi saya ributin”

Rendi cenderung menyakiti Dinda ketika Dinda dianggap

mengangkat isu tertentu yang membuat mereka bertengkar.

Perilaku selingkuh berulang kali yang dilakukan Rendi bertujuan

untuk membuat Dinda jera dan tidak mencari malasah

dengannya. Dinda pun cenderung menyalahkan dirinya setiap

kali Rendi menyakiti dirinya. Ia berpikir bahwa Rendi

melakukan kekerasan tersebut karena ada yang salah dengan

perilaku Dinda. Oleh sebab itu, Dinda selalu memaafkan dan

memaklumi perilaku Rendi yang menyakiti dirinya.

“Menurutnya kalo pas kita lagi berantem, dia bakal langsung cari

cewek laen, biar saya sadar biar saya kapok gitu biasanya…

Bilangnya dia, itu pelajaran karena gue cari masalah mulu sama

dia…”

“Hal yang saya pikir adalah.. Mungkin ada kelakuan saya yang

salah yang saya gak tau. Walaupun saya gak tau itu apa”.

Selain itu, Rendi juga menunjukkan perilaku agresinya

ketika sedang bertengkar dengan Dinda melalui perusakan

barang-barang yang ada disekitarnya, misalnya membanting hand

phone, memukul pintu. Kekerasan tersebut dilakukan Rendi

dalam keadaan mabuk karena Rendi seringkali minum alkohol

bersama teman-temannya sehingga Rendi selalu meminta Dinda

untuk memakluminya jika ia menyakiti Dinda saat ia sedang

Page 43: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

dalam keadaan mabuk. Oleh karena Dinda pun terkadang juga

ikut dalam acara minum bersama dengan teman-teman Rendi,

maka Dinda pun mencoba mengerti bahwa efek yang muncul

pada masing-masing orang yang berada di bawah pengaruh

alkohol berbeda satu dengan lainnya. Karena itu, Dinda selalu

memaafkan Rendi dan terus menjalani relasi tersebut.

“Dia alesannya gini pasti… ‘Ya kan gua lagi mabok.. Orang

mabok lo reken.. Mana juga gua sadar, Din! Maklumin aja sih

lo kaya nggak pernah mabok aja..’ Ya gitu.. Selalu gitu excuse-

nya dia.. Saya juga mau complain juga nggak nyampe mulu”

Relasi Dinda dan Rendi yang telah berlangsung selama 5

tahun tidak seutuhnya langgeng. Keduanya seringkali menghadapi

situasi ‘putus nyambung’ dalam menjalani relasi mereka. Dinda

beberapa kali memutuskan Rendi karena Rendi telah berselingkuh

darinya. Namun, ketika Dinda mengetahui bahwa Rendi telah

berhubungan intim (sexual intercourse) dengan Sinta maupun

Becca, Dinda terus mengurungkan niat untuk meninggalkan

Rendi. Hal ini disebabkan karena Dinda merasa cemburu, marah,

dan tidak terima Rendi melakukan hubungan intim dengan

perempuan lain ketika Dinda telah memberikan keperawanannya

untuk Rendi di tahun-tahun pertama mereka berpacaran. Tidak

ada perubahan yang signifikan ketika awal-awal melakukan

hubungan intim. Dinda tidak merasa mengalami ketergantungan

untuk melakukan hubungan intim pada awal masa pacaran.

Perubahan baik dari segi emosional dan sikap terhadap Rendi baru

muncul setelah tahun ketiga pacaran, tepatnya setelah pacar

didapati selingkuh dari dirinya. Dinda baru merasakan bahwa

hubungan intim telah berubah menjadi suatu kebutuhan biologis

baginya ketika ia sempat putus dari Rendi. Dinda menyadari

bahwa yang dapat melengkapi kebutuhan biologis tersebut hanya

Rendi, sehingga ia terus kembali padanya.

Page 44: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

“Waktu pas di awal sih, enggak ya, maksudnya masih yang..

Masih yang biasa aja, dan saya, saya juga tidak merasa saya

ketergantungan dia karena emm, sexual intercouse-nya itu. Pas

di awal malah enggak”

“Setelah, emm, setelah tiga tahun pacaran, malah setelah dia

selingkuhin gitu malah baru itu..”

“He’eh. Karena.. Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas

begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan saya udah

gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana saya baru tau

ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu akan menjadi

suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama

orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia ya karena itu.”

Sexual intercourse terus dilakukan oleh Dinda dan Rendi

meskipun Dinda mengetahui bahwa Rendi juga melakukan hal

serupa dengan beberapa perempuan lain. Namun, Dinda lebih

tidak menghiraukan itu selama Rendi juga memenuhi kebutuhan

biologisnya tersebut. Dinda merasa bahwa ia perlu ‘melayani’

kebutuhan biologis Rendi lebih dari sebelumnya agar Rendi tidak

‘bermain’ lagi dengan perempuan lain. Namun, hal itu tidak

membuat Rendi berhenti mengkhianati Dinda. Kini, Dinda sedang

hamil 7 bulan dan Rendi tidak dapat diketahui keberadaannya.

Pernah ada niat baik untuk menikahi Dinda di awal kehamilan

sekitar usia kandungan Dinda 3 bulan, namun sang pacar berubah

pikiran. Sang pacar sempat memintanya untuk menggugurkan

kandungan, namun Dinda menolak. Sang pacar memberikan

syarat untuk menikah ialah Dinda harus pindah agama, Dinda pun

menolak dan memilih untuk menjadi single mother. Melalui

klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis

kekerasan, dapat diidentifikasi jenis kekerasan yang dialami Dinda

ialah sebagai berikut:

Kekerasan Verbal Name Calling (‘bego’, ‘anjing’, ‘babi’)

Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh)

Making threats (mengancam akan ‘balikan’ dengan

mantan)

Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur)

Page 45: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Breaking items (melempar hand phone, memukul atau

membanting pintu, melempar botol)

Kekerasan Emosional Diselingkuhi berulang kali, dibohongi.

Kekerasan Seksual Meninggalkan Dinda dalam keadaan hamil,

permintaan untuk menggugurkan kandungan.

Tabel 4.6 Identifikasi Kekerasan Relasi Dinda-Rendi

b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-

Rendi

Selama lima tahun Dinda berada dalam lingkaran kekerasan

yang terus berputar seperti siklus yang rutin, namun Dinda tidak

menyadarinya. Menurut Dinda, konflik seperti yang dialami Dinda

akan terjadi pada semua pasangan. Meskipun demikian,

pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan

tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Dinda. Dinda

berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Rendi setiap kali

Rendi berselingkuh dari dirinya. Perselingkuhan berulang

sebenarnya bukanlah hal yang dapat ditolerir oleh Dinda, namun

rasa cinta Dinda kepada Rendi lebih besar sehingga Dinda

memutuskan untuk terus memaafkan Rendi. Sekitar 4 atau 5 kali

Dinda memutuskan Rendi karena tidak kuat tersakiti oleh

ketidaksetiaan Rendi, namun Rendi terus kembali padanya dengan

berbagai alasan. Mengacu pada lingkaran kekerasan Walker

(1979), kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan

Rendi dapat digambarkan sebagai berikut:

POWER & CONTROL

DENIAL

1. TENSION BUILDING- RENDI

2. BATTERING - RENDI Memaki, merusak barang, pergi dari

Dinda, minum alkohol dengan teman,

tidur dengan perempuan lain

3. CONTRITION STAGE -

RENDI

Mencari Dinda,

meminta maaf, mengajak

nongkrong,

Minum alkohol,

mencari-cari kesalahan

Dinda, tidur dengan

perempuan lain

Membawakan makanan atau snack,

membelikan barang, ‘melayani’

kebutuhan biologis Dinda

RESPONS DINDA: Menangis, mengejar Rendi, mencoba mengajak bicara baik-baik

RESPONS DINDA: Marah, menyalahkan

diri sendiri, mengalah,

mengadu argumen

Page 46: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Gambar 4.2 Lingkaran Kekerasan Relasi Dinda-Rendi

Pada kasus Dinda dan Rendi, lingkaran kekerasan terus

berlanjut karena keduanya telah merasa nyaman dengan

keberadaan satu sama lain. Relasi Dinda dan Rendi bukanlah

relasi yang tertutup. Mereka memiliki lingkungan pergaulan yang

luas dan seringkali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan

lingkungan. Namun, ada beberapa hal yang membuat kekerasan

terus berulang. Pertama, baik Dinda maupun Rendi tidak

menyadari bahwa mereka berada dalam jerat lingkaran

kekerasan. Dinda meyakini bahwa setiap relasi percintaan

memiliki pengorbanannya masing-masing. Rendi pun merasa

bahwa yang dilakukan terhadap Dinda merupakan hal yang biasa

terjadi dalam setiap relasi berpasangan. Perselingkuhan yang

dilakukan Rendi juga dianggap ganjaran atas kesalahan yang

dilakukan Dinda. Hal tersebut dilakukan Rendi untuk membuat

Dinda jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Rendi sangat

mengetahui bahwa Dinda sangat pencemburu dan akan jera jika

melihat Rendi meninggalkannya bersama perempuan lain.

Menurut Rendi, setiap pasangan juga tentu pernah memberi

ganjaran kepada pasangannya, dan inilah cara yang diambil

Rendi.

Kedua, relasi Dinda dan Rendi bersifat transaksional,

dalam artian keduanya saling melengkapi kebutuhan masing-

masing. Dinda yang sejak kecil merasakan kesepian dan

kekosongan mendalam tentang figur yang dapat

memperhatikannya menjadi terisi dengan kehadiran Rendi yang

sangat perhatian pada dirinya dan membuatnya begitu nyaman.

RESPONS DINDA: Membuat kesepakatan baru, menyambut ajakan sexual intercourse

Page 47: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Kehadiran Rendi menjadi dasar pemuasan kebutuhan Dinda baik

dari sisi emosional dan fisik yang membuat Dinda sangat

bergantung dengan sosok Rendi. Di sisi lain, sosok Dinda juga

melengkapi sisi kekanak-kanakan yang dimiliki oleh Rendi. Usia

Dinda yang 3 tahun lebih tua dari Rendi dan keterpisahan Rendi

dari sang ibu (sosok lekatnya) membuat Rendi merasa diasuh

oleh Dinda.

c) Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan

Kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan

Rendi selama 5 tahun lamanya tidak melunturkan keinginan

Dinda untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan

Rendi. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak

Dinda untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan

baginya, yakni:

1. Adanya rasa mencintai

Dinda merasa ia mencintai Rendi dan hal tersebut mampu

membuatnya rela berkorban dan merasakan sakit hati karena

diselingkuhi berulang kali. Dinda merasa dirinya telah terbiasa

dengan perlakuan Rendi dan Dinda berusaha untuk menerima

Rendi apa adanya beserta dengan kelebihan dan

kekurangannya. Dinda meyakini bahwa setiap manusia pasti

memiliki kekurangan dan sebagai pasangan, Dinda berusaha

untuk menerima kekurangan Rendi. Meskipun merasa tidak

terima dan menyesal, namun Dinda tetap memilih untuk

bertahan dan kembali dalam hubungan.

“Ya saya sayang banget sama dia, tapi untuk ngarepin da

kayanya udah nggak lah.. Nyesel juga saya… Kenapa ini

harus terjadi harusnya terakhir putus itu yaudah saya

move on aja..”

Page 48: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Dinda

tidak memiliki cukup keteguhan hati untuk mengakhiri

hubungannya dengan Rendi sehingga Dinda lebih memilih

untuk mengabaikan konflik yang terjadi dan terus-menerus

luluh kembali dengan rayuan Rendi. Penyesalan Dinda baru

sungguh-sungguh dirasakannya ketika ia mendapatinya

dirinya hamil dan Rendi pergi meninggalkannya.

2. Adanya ketergantungan atas pemenuhan kebutuhan

biologis

Dinda merasa sangat sulit untuk melepaskan Rendi

karena Dinda merasa ia telah ketergantungan untuk

melakukan sexual intercourse bersama dengan Rendi. Dinda

merasa bahwa ia tidak akan pernah bisa lagi melakukan hal

tersebut dengan laki-laki lain karena Dinda pertama kali

melakukannya kepada Rendi. Dinda mengakui bahwa dirinya

ialah sosok yang setia sehingga tidak mudah tertarik lagi

dengan laki-laki lain.

“Jadi pas begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan

saya udah gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana

saya baru tau ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu

akan menjadi suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk

ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia

ya karena itu..”

Dorongan untuk melakukan sexual intercourse dengan

Rendi terus dirasa oleh Dinda sebagai suatu adiksi yang

mengikatnya dalam relasi berpacaran dengan Rendi. Hal itu

juga yang menyebabkan Dinda masih menerima Rendi

meskipun Rendi juga berselingkuh dan melakukan sexual

intercourse dengan Devi maupun Becca.

3. Adanya rasa nyaman karena terbiasa bersama

Menurut Dinda, ia mempertahankan Rendi bukan karena

tidak ada lelaki lain yang lebih baik dari Rendi. Dinda menyadari

Page 49: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

bahwa pasti sangat banyak laki-laki di luar yang lebih baik dari

Rendi, namun Dinda merasa sulit untuk membuka hati bagi laki-laki

karena Dinda merasa sudah nyaman dengan Rendi. Kenyamanan

yang dirasakan oleh Dinda disebabkan karena Dinda merasa sudah

terlalu terbiasa bersama-sama dengan Rendi. Selama 5 tahun Dinda

selalu menghabiskan waktu dengan Rendi, makan, tidur, kuliah,

bermain, jalan-jalan, belanja kebutuhan, dan lainnya. Rendi pun

menjadi teman cerita bagi Dinda yang sangat baik dan sabar

mendengarkan setiap keluh kesah Dinda. Sentuhan fisik yang

menguatkan dukungan terhadap Dinda melalui pelukan, ciuman,

usapan, juga terus membuat Dinda nyaman dengan Rendi.

Keterikatan inilah yang membuat Dinda merasa bahwa dirinya

sudah membentuk kebiasaan harus ditemani oleh Rendi sehingga

jika tidak Rendi dalam hidupnya, Dinda akan merasa sangat

kehilangan dan kesepian. Perasaan inilah yang juga menuntun

Dinda untuk mentolerir seluruh kesalahan Rendi dan

memaafkannya berulang kali

“Bikin nyamannya itu yang emm… itu kali yah yang bikin

saya juga susah lepas dari dia.. Nyaman gatau nyaman apa

kebiasa sama-sama ya.. Ya pokoknya gitu…”

“Mungkin karna kebiasaan bareng. Karena kebiasaan bareng

itu jadi kita jadiii biasa bareng, dan kebetulan kita sama-

sama dari luar Jawa, dia lebih nyaman”.

“Apa ya.. Perhatian dan penyayang dia sih.. Orangnya

hangat kalo ke saya sih.. Kalo lagi bener, supportive banget..

Kalo saya cerita tuh sabar dengerin, kasih saran.. Dan

anehnya kalo dia yang nyaranin, saya bisa dengerin.. Kan

saya juga itungannya keras kepala ya Mbak! Hhehe…

Nyaman juga tuh kalo udah mulai affectionate gitu dianya..

Misalnya kaya meluk apa nyium. Kalo pas lagi sedih saya

bisa langsung lega gitu rasanya..”

Dinda merasa bahwa dirinya sangat bodoh den gan

mempertaruhkan perasaannya terus disakiti dan kini masa

depan diri dan anak yang sedang dikandungnya juga menjadi

terancam. Keinginan Dinda untuk meninggalkan Rendi

berulang kali kini harus ditiadakan karena Dinda akan terus

Page 50: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

berurusan dengan Rendi dan keluarganya terkait kehidupan

sang anak. Namun demikian, Dinda merasa siap untuk

menghadapi berbagai kesulitan yang muncul jika ia menjadi

seorang single parent kelak.

2. Gambaran Kelekatan Dinda dan Orang Tua

Lingkaran kekerasan yang menjerat Dinda dalam relasi

pacaran dengan Rendi yang menempatkan dirinya sebagai korban

lima tahun lamanya hingga Dinda kini tengah hamil, perlu dikaji

lebih dalam mengenai relasi lekat antara Dinda dan kedua

orangtuanya di masa lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk

mendapatkan pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin

antara Dinda dengan orang tua sebagai figur lekat pertama dalam

kehidupannya, karena aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin

di awal-awal masa kehidupan tersebut terekam dalam memori

jangka panjang dan menghasilkan pola lekat yang serupa dengan

relasi Dinda dengan siapapun di rentang kehidupan berikutnya.

Namun, sebelum penulis menggambarkan pola kelekatan antara

Dinda dengan kedua orangtua, penulis menggambarkan terlebih

dahulu relasi yang terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah

tangga dan peran keduanya sebagai suami-istri.

a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Dinda

Dinda lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam

keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke atas.

Setiap minggu Dinda beserta keluarganya dan pengasuh selalu

menyempatkan diri untuk berlibur ke Jakarta. Selain di

Lampung, mereka memiliki rumah di Jakarta. Orang tua Dinda

juga mampu membayar 3 orang baby sitter sekaligus untuk

mengasuh ketiga anaknya sehingga masing-masing anak

mendapatkan satu baby sitter pribadi. Ayah maupun ibu Dinda

merupakan tipe pekerja keras dan hal tersebut berimplikasi pada

kegiatan keduanya yang sangat sibuk dan minimnya waktu yang

Page 51: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

diberikan terhadap anak-anak. Ayah maupun ibu pergi kerja dari

pagi dan pulang sangat malam sehingga tidak ada waktu

bercerita tentang keseharian diantara anggota keluarga. Mereka

juga jarang sekali makan bersama di meja makan, semua anggota

keluarga makan sendiri-sendiri.

Dalam penilaian Dinda, relasi antara ayah dan ibunya

dapat dikatakan harmonis. Dinda tidak pernah melihat ayah

dan ibunya bertengkar hebat. Setiap pertengkaran yang pernah

terjadi hanya disebabkan oleh hal-hal kecil saja dan dapat segera

diatasi dengan cepat sehingga tidak memberikan dampak buruk

yang berkepan-jangan bagi keluarga. Namun demikian,

meskipun kedua orang tua Dinda tergolong harmonis, baik ayah

maupun ibu tidak pernah menunjukkan kasih sayang diantara

mereka di depan anak-anaknya. Keduanya cenderung kaku dan

dingin satu dengan yang lain. Menurut penuturan Dinda, tipe

ayah dan ibunya memang seperti itu. Jadi, anak-anak tidak

terbiasa melihat baik ayah atau ibunya saling memeluk atau

memberikan ciuman. Dinginnya relasi ayah dan ibu juga

dirasakan oleh anak-anaknya.

b) Gambaran Relasi Lekat Dinda-Orang Tua

Kelekatan yang terjalin antara Dinda dan kedua

orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang

ditunjukkan oleh Dinda maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini

berlaku dua arah, yakni dari Dinda sebagai anak yang mencari figur

lekat sebagai basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat

yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang

dunia dan lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat

memiliki tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby

(1982), yakni ada proximity maintenance (pencarian kedekatan),

safe haven (menjadi tempat berlindung), secure base (menjadi basis

aman). Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan

Page 52: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup

kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam

proses penggalian data dengan Dinda.

1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)

Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang

terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara

kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes

yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari

orang tua.

a) Dinda-Ayah:

Di mata Dinda, sosok ayah adalah tipe penyayang dan

berhati lembut, namun cenderung kaku dan sulit untuk

mengekspresikan rasa sayang melalui sentuhan fisik

seperti memeluk atau mencium. Oleh karena kesibukan ayah

yang sangat padat, Dinda tidak memiliki banyak waktu untuk

dihabiskan dengan sang ayah. Kedekatan yang terjalin dengan

sang ayah juga hanya seputar kedekatan dalam perihal

finansial. Dinda tidak pernah mendapatkan kesulitan jika

hendak meminta ayahnya untuk membelikan sesuatu

untuknya. Ayah juga selalu berusaha untuk memenuhi seluruh

kebutuhan dan keinginan anak-anaknya.

“Emm.. Penyayang! Emm.. Dia typical seorang ayah yang

penyayang, jadi memang dia sayang sama anak-anaknya dan..

Tapi kaku jadi dia memang bukan orang yang typical yang bisa

meluk gitu susah, nyium juga nggak”

“Kalau dicium sih kita kan selalu pamit gitu kan salim, cium

tangan gitu. tapi kalau dicium dalam hal-hal yang ada hal apa

gitu dicium enggak. Tapi penyayang-penyayang gitu, dan dia

familly man banget. Dia selalu stay dirumah untuk keluarganya,

terus dia berusaha apa yang anaknya mau dikasih, jadi kadang

kalau dia abis marah-marah gitu, selesai marah-marah kita..

karena anak-anak suka pura-pura sedih, pura-pura nangis..

Nanti sama dia yang, dia ajak kita kemana untuk dibeliin apa”

Page 53: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Melalui pernyataan Dinda, ia beserta saudara-saudara

dapat melakukan manipulasi perasaan sedih ketika dimarahi

sang ayah untuk mendapatkan kompensasi atas kemarahan

ayahnya itu. Dinda menyadari bahwa sang ayah berhati

lembut dan tidak tega jika melihat anaknya sedih atau

menangis. Hal tersebut digunakan oleh Dinda untuk

mendapatkan rasa bersalah ayahnya sehingga ayah menebus

kemarahannya dengan membelikan barang-barang yang

diinginkan Dinda. Tidak ada upaya yang ditunjukkan oleh

Dinda untuk mendekatkan diri dengan sang ayah sejak ia

masih kecil. Dinda tidak pernah menceritakan pengalamannya

di sekolah, hubungannya dengan saudaranya, dengan teman-

temannya karena Dinda merasa ayahnya sudah terlalu sibuk

dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuknya.

Ketika Dinda sedang merasa sedih atau berada dalam situasi

sulit, Dinda hanya dapat bercerita dengan baby sitter

pribadinya, itu pun hanya untuk melegakan perasaannya saja.

“Saya lebih sering ngobrol sama pembantu saya dibanding

orang tua. Biasa sih enggak memberikan sesuatu juga sih

pembantu ini, cuma memang kadang kalau saya bisa komplain

gitu ya udah, dan saya bukan typical orang yang.. Saya suka

menceritakan hal-hal apa gitu, enggak. jadi emang ya udah saya

pendem sendiri saja”.

Oleh karena tidak pernah terjalinnya kedekatan fisik dan

emosional dengan sang ayah, Dinda merasa dalam situasi

yang berjarak jauh dengan sang ayah pun Dinda tidak

merasakan kehilangan karena kebutuhan yang selama ini

dicukupi oleh sang ayah ialah kebutuhan finansial, sehingga

dalam jarak jauh pun sang Dinda masih mendapatkannya

melalui transaksi transfer antar rekening. Ketika Dinda mulai

berkuliah di Salatiga, yang berada cukup jauh dengan

kediaman orang tua di Lampung, Dinda sama sekali tidak

merasa kehilangan sosok ayah. Bahkan, Dinda

Page 54: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

mengungkapkan bahwa ia lupa bagaimana caranya untuk

merindukan ayahnya karena ketika masih berada dalam situasi

dekat, relasi Dinda dan sang ayah cenderung dingin.

“Biasa aja sih.. Apa ya.. Emmm.. Karena dari dulu juga

serumah kan kita itu ya emm apa ya.. jarang juga sih ada kontak

emosional.. jadi pas jauh ya biasa aja..”

“Saya enggak tahu, dulu saya kangen apa enggak ya, saya

enggak tahu deh saya lupa deh”

Meskipun demikian, Dinda masih dapat mengingat satu

momen masa kecil yang membuatnya sangat bahagia ketika

berada dekat ayahnya. Kenangan tersebut terus teringat

dengan jelas hingga Dinda telah dewasa. Dinda mengingat

dirinya masih berusia 2 tahun ketika ia yang masih mengantuk

karena bangun tidur diajak jalan-jalan dan digendong oleh

sang ayah. Dinda bahkan masih dapat mengingat pakaian apa

yang ia kenakan waktu itu.

“Emm... Ada satu kenangan yang saya inget banget itu mungkin

usia saya baru dua tahun, pokoknya saya inget benget. Jadi itu

tuh saya lagi pergi sama orang tua saya jalan-jalan gitu di mall

di supermarket. Terus saya digen-dong gitu, itu saya masih kecil

masih dua tahunan gitu, saya digendong gitu sama papa.. Terus

saya masih pake baju sweater pake piyama, piyama-piyama

batita gitu, apa celana panjang, ya itu sih kayaknya... kenangan

itu saja yang tersisa”

Kenangan ini sangat sederhana, namun sangat diingat

oleh Dinda hingga saat ini meskipun pada waktu itu ia masih

berusia 2 tahun. Dapat dilihat bahwa momen ketika sang ayah

menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan yang

melibatkan kontak fisik seperti menggendong, merupakan

pengalaman penting yang bermakna bagi Dinda. Dapat

teramati bahwa Dinda tidak menunjukkan upaya untuk

mendekatkan diri dan tidak menunjukkan protes atas

situasi perpisahan dengan sang ayah.

Page 55: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

b) Dinda-Ibu:

Ibu di mata Dinda adalah sosok yang dominan dan keras.

Sama dengan halnya sang ayah, ibu juga bukan tipe orang

yang dapat mengekspresikan rasa sayangnya dengan sentuhan

fisik. Tidak pernah ada kedekatan fisik dan emosional

yang terjalin antara Dinda dan ibunya. Pengajarannya

terhadap Dinda tentang menjadi sosok yang kuat, tidak lemah,

dan tidak boleh menangis terus mempengaruhi hidup Dinda

hingga saat ini. Dinda sangat jarang menangis karena baginya

menangis adalah hal yang tabu. Selain itu, sosok ibu lebih

memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan rumah

tangga dan cenderung lebih ditakuti daripada sosok ayah.

“Dominan! Terus keras. Orangnya keras tapi juga sama dia juga

bukan typical orang yang bisa menunjukan hal-hal yang

emosional gitu dan dia selalu bilang.. Saya inget ada satu

kalimat dia yang bikin saya.. even sampai sekarang pun untuk

nangis di depan dia itu kayaknya tabu. Karena dia pernah

ngomong "Ngapain nangis anak mama itu enggak ada yang

lemah, enggak boleh nangis, karena nangis itu tidak

menyelesaikan masalah" Jadi typical mama saya begitu, keras

orangnya dominan. Jadi apapun yang terjadi di keluarga ya, dia

yang ambil andil”.

Dinda merasa bahwa sang ibu tidak pernah hadir secara

emosional maupun dukungan tentang kehidupan Dinda.

Bahkan, Dinda tidak dapat mengingat kenangan manis yang

pernah dilalui bersama ibunya. Hanya ada pengalaman pahit

yang membekas dalam pikiran Dinda terkait relasi dirinya

dengan sang ibu. Pengalaman pahit yang diingat oleh Dinda

ketika ia masih kecil ialah pengalaman saat ia di-bully oleh

kakak dan adiknya. Pada saat ia di-bully, sang ibu turut serta

memojokkan dan menyalahinya. Pengalaman tersebut

mengikis kepercayaan Dinda terhadap ibunya dan membuat

Dinda enggan menceritakan apapun kepada kedua

orangtuanya.

Page 56: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

“Ada.. Ada!! Ada hal yang bikin saya enggak, kenapa saya

enggak pernah ngomong apapun dengan mama papa saya,

karena... dulu waktu di-bully nih sama kakak, sama adek saya,

kalau saya ngomong gitu ya.. Mereka akan kompakan untuk

nyalahin saya, dibikin saya yang salah gitu, jadi saya

memutuskan untuk “Enggak usah deh, engak usah cerita" gitu.

Selain itu, Dinda juga mengalami kekerasan verbal

dari ibunya sejak kecil yang sangat melukai perasaannya.

Dinda mengingat salah satu contohnya pada waktu ia saat itu

masih duduk di bangku SMP, sang ibu seringkali mengatakan

kepada Dinda bahwa Dinda sangat menjengkelkan dan selalu

membuatnya ingin marah atau memukulnya. Perkataan seperti

itu didengar langsung oleh Dinda dan saudara-saudaranya dan

membuat Dinda semakin di-bully oleh kedua saudaranya.

Selain kekerasan verbal yang diterima Dinda dari sang ibu,

Dinda juga mengalami kekerasan fisik dari adik kandungnya

dalam bentuk tamparan. Dalam situasi pertengkaran antar

saudara, Dinda selalu menjadi pihak yang disalahkan oleh

sang ibu. Hal tersebut membuat Dinda hingga dewasa menjadi

individu yang takut untuk mengambil langkah tertentu dan

kurang terbuka terhadap teguran.

“Kayaknya dulu pernah, kayaknya SMP deh, itu saya pernah

berantem apa gitu sama mama saya, terus mama saya pernah

ngomong “Eh...kamu selalu menjengkelin mama, dari dulu tuh

rasanya pengen marah aja gitu kalau enggak marah mukul”

“He'em.. Dulu tuh waktu jaman kecil saya `pernah ditampar

dengan adek saya.. Dari kecil saya sering main-main gitu cuma

gara-gara apa gitu saya lupa, cuma gara-gara bangun.. bangun

tidur kan kita mau pergi atau gimana gitu, terus saya ngomong

ke mama saya juga tetap saya juga yang disalahin, jadi mungkin

karena itu kali ya? Karena saya selalu... selalu jadi... saya kalau

salah jadi saya, ya udahlah diem, dan saya juga jadi takut untuk

teguran. Saya takut salah! Jadinya.. Saya sekarang juga jadi

mau ngelakuin apa-apa takut jadinya”.

Dinda sendiri mengakui bahwa sejak saat itu Dinda

merasa semua yang dilakukannya adalah kesalahan dan ia

Page 57: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

menjadi takut untuk melakukan sesuatu. Bahkan, pada usia 5

tahun, Dinda telah mengalami tekanan dari keluarga yang

membuatnya kabur meninggalkan rumah. Hal ini

menunjukkan bahwa sejak kecil Dinda telah membentuk ide

untuk menghindar dari situasi yang membuatnya merasa

terancam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Dinda merasa

kedua orangtua menolak dan tidak memihak dirinya yang

membuat dirinya merasakan kesendirian. Dinda merasa sedih

atas perlakuan yang diterimanya dan membuat ia meragukan

dirinya sendiri. Namun, Dinda cenderung mengabaikan atau

merepresi perasaan tersebut.

Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Dinda

tidak menunjukkan perilaku mencari kedekatan dengan ayah

maupun ibunya. Dinda tidak menunjukkan upaya untuk berada

dalam situasi yang dekat dengan keduanya dan tidak

menunjukkan protes dalam bentuk keberatan maupun

kesedihan atas situasi terpisah dari kedua orang tua. Dinda

lebih berupaya untuk menjadi mandiri sejak kecil dan

berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya

sendiri.

2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)

Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari

relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe

haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat

sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari

kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk

pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan

akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.

a) Ayah-Dinda:

Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan

emosional maupun fisik bagi Dinda sejak kecil. Jarang dan

Page 58: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

hampir tidak pernah Dinda mendapatkan sentuhan fisik dari

sang ayah baik berupa pelukan atau ciuman. Sosok ayah

dikenal pekerja keras dan lebih banyak menghabiskan

waktunya di luar rumah. Kehadiran ayah dalam kehidupan

Dinda berfungsi sebagai dasar pemenuhan kebutuhan

finansial bagi Dinda, misalnya dalam pembayaran uang

sekolah, uang jajan, uang makan, pembelian barang-barang

yang diinginkan serta dibutuhkan.

“Ya itu tadi mbak.. Keberadaannya buat saya tuh ya mungkin

ya kalo bisa dibilang kasarannya ya urusan finansial aja.. Haah..

Untuk masalah emosional sih nggak..”

Tidak ada dukungan secara fisik maupun emosi untuk

segala sesuatu yang Dinda lakukan, baik dari hal pendidikan,

kegiatan-kegiatan lain di luar sekolah. Ayah tidak hadir dalam

menemani Dinda menjalani aktivitasnya sejak kecil karena

Dinda sudah ditemani oleh baby sitter-nya, bahkan untuk antar-

jemput sekolah, ke gereja, kebutuhan makan, ayah tidak hadir

dalam momen-momen penting yang Dinda lalui. Ayah

cenderung memberi kebebasan pada Dinda untuk melakukan

apapun yang Dinda inginkan tanpa peraturan ketat yang harus

dipenuhi. Hal tersebut diterapkan dari Dinda kecil hingga besar.

“Nggak sih, mereka itungannya malah ngebebasin yaa.. Apa

nggak peduli ya (tertawa) Nggak tau deh mbak..”

“Kapan ya? Kalo pas kecil dulu sih nggak ya.. Sama pembantu

semua saya minta tolongnya, karena ya itu, pada sibuk kerja

semua papa mama..”

Kebebasan yang diberikan kepada Dinda tidak jarang

membuat Dinda justru merasa diabaikan atau tidak dipedulikan

oleh sang ayah. Terlebih, sosok ayah juga tidak pernah tersedia

ketika Dinda membutuhkan pertolongan saat menghadapi

situasi yang dianggapnya mencemaskan atau mengancam.

Page 59: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

b) Ibu-Dinda:

Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu tidak berperan

dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik,

melainkan hanya kebutuhan finansial bagi Dinda sejak

kecil. Ibu lebih banyak melukai perasaan Dinda dengan

kekerasan verbal yang diucapkan dan penolakan terhadap

kedekatan yang terjalin diantara mereka. Ibu menunjukkan

ketidaknyamanan dan pengabaian sesekali Dinda mencoba

untuk mendekatkan diri kepadanya pada waktu Dinda kecil.

Hal ini disebabkan karena ibunya lebih menyayangi adiknya

dan membuat Dinda merasa terpinggirkan. Bahkan, ketika

Dinda menangis pun sang ibu tidak menunjukkan upaya untuk

menenangkan atau membuatnya merasa nyaman kembali. Ibu

justru membentak Dinda untuk berhenti menangis karena

menangis merupakan simbol kelemahan. Doktrin sang ibu

bahwa perempuan harus mandiri dan tidak lemah membuatnya

terbentuk menjadi individu yang kuat dan cenderung

mengabaikan perasaan sedih.

“Saya enggak pernah untuk menceritakan masalah-masalah

saya waktu itu pada keluarga saya, apapun itu, karena balik lagi

karena mama ngajarinnya untuk mandiri harus bisa apa-apa

sendiri, enggak boleh lemah. Rasanya lemah banget sih, kalau

hal kayak gini bikin sedih tuh kok.. Malu-maluin banget

sih.."Gini doang" gitu..”

Relasi Dinda dan kedua orangtuanya tidak menunjukkan

bahwa kedua orang tua adalah tempat yang aman untuk

berlindung. Hal ini teramati dari perilaku Dinda yang justru

memendam dan menutup diri untuk bercerita kepada ayah dan

ibunya karena Dinda tidak ingin mendapatkan pelabelan ‘anak

yang lemah’ oleh orang tuanya. Selain itu, Dinda juga tidak

terlihat menjadikan ayah atau ibunya sumber pertolongan

pertama yang perlu dicari ketika ia menghadapi situasi sulit.

Page 60: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)

Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai

figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan

tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi

Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari

sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan

pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih

sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons

menerima anak secara utuh.

a) Ayah-Dinda:

Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga

dewasa ini, Dinda menunjukkan bahwa sosok ayah tidak

dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Meskipun ayah

memberikan Dinda kebebasan yang seluas-luasnya untuk

mengeksplorasi dunianya, namun Dinda tidak dapat

menemukan sosok ayah sebagai basis aman yang dapat ia

datangi ketika ia menemukan kegagalan dalam eksplorasi

karena sang ayah lebih sibuk memperhatikan dengan

pekerjaannya daripada berada di samping Dinda dan

memperhatikannya.

“Nggak lah nggak ada ribet-ribet. Bebas lah pokoknya, resiko

ditanggung sendiri yang penting mah..”

Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari sejak

kecil hingga dewasa telah dibentuk menjadi sosok yang

bertanggung jawab pada kekebasan yang diberikan oleh sang

ayah.

d) Ibu-Dinda:

Relasi Dinda dengan ibunya sejak kecil juga tidak

menunjukkan bahwa sang ibu merupakan basis aman

untuk Dinda eksplorasi. Perlakuan ibu yang selalu

menyalahkan dan menuduh Dinda sebagai ‘biang masalah’

Page 61: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

membuat Dinda menjadi selalu takut untuk melangkah dan

membuat keputusan tertentu. Namun demikian, ada perubahan

sikap yang ditunjukkan Dinda dalam hal menyampaikan

kekecewaan atau kemarahan kepada ibunya. Pada waktu kecil,

Dinda terbiasa diam jika menemukan tindakan ibu yang tidak

sesuai dengan harapannya. Namun, ketika Dinda dewasa, ia

cenderung menunjukkan sikap yang berani untuk menegur

jika ibunya salah dan ia tidak merasa sungkan untuk

mengutarakan pendapatnya.

“Kalo dulu emm… Ya dulu itu kalo saya kecil saya biasanya

Cuma diem karena ya kan itu ya… Mama juga pasti nyalahin..

Tapi kalo udah gede kaya sekarang ya beda.. Saya kalo nggak

suka ya tinggal ngomong, gentian saya yang sering ngomelin

papa mama kalo mereka lupa minum obat lah ato mama lagi

cerewet lah, trus kalo urusan apotik teledor.. Udah lebih kaya

omongan dewasa sih sekarang saya kalo sekarang…”

Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara

Dinda dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis avoidant-

insecure attachment. Hal ini dapat dilihat melalui sikap

penghindaran yang dilakukan oleh Dinda terhadap kedua

orangtuanya sebagai bentuk. strategi ‘pemberontakan’ bagi kedua

orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak afeksi dan tidak

menunjukkan simpati maupun rasa nyaman. Sebagaimana dikatakan

bahwa anak yang tergolong dalam avoidant attachment jarang

menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan

menghindari kontak ketika figur lekat kembali, begitupun halnya

Dinda terhadap kedua orangtuanya. Dinda tidak menunjukkan

protes terhadap situasi terpisah dari orangtuanya.

3. Dinamika Pola Kelekatan Dinda dengan Orang Tua dan

Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan

Berdasarkan data empiris yang diperoleh, penulis melihat

fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat

Page 62: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

berkesinambungan yang terjadi pada relasi Sari dengan ayah dan

ibu serta Sari dengan pacar. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa

pola kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur

lekat membentuk internal working models dalam persepsi anak

sepanjang hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-

pertimbangan yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika

antara keduanya, penulis menguraikan terlebih dahulu tentang

karakteristik serupa yang dimiliki oleh ayah dan ibu Dinda dengan

Rendi.

AYAH DINDA-RENDI IBU DINDA-RENDI

Ayah Dinda dan Rendi memiliki

karakteristik yang serupa, yakni

keduanya merupakan figur yang

penyayang dan selalu sigap memenuhi

kebutuhan Dinda. Meskipun sang ayah

tidak dapat mengungkapkan perasaan

sayangnya dengan sentuhan fisik,

namun Dinda dapat melihat bahwa

setiap kerja keras dan kesungguhan

ayahnya dalam bekerja merupakan

bentuk dari kasih sayangnya terhadap

keluarga. Rendi pun menunjukkan hal

yang serupa. Meskipun Rendi

berselingkuh, namun Dinda merasakan

bahwa Rendi ialah sosok yang

penyayang dan selalu ada menemani

hari-hari Dinda. Terlebih, Rendi dapat

menunjukkan kasih sayangnya melalui

sentuhan fisik yang selama ini tidak

diperolehnya dari ayah.

Interpretasi:

1. Dinda mencari sosok laki-laki sesuai

dengan figur ayah yang penyayang

dan sigap dalam menanggapi

kebutuhannya.

2. Ada indikasi pemenuhan kebutuhan

kontak fisik yang diberikan oleh

Rendi.

3. Rasa nyaman yang dicari Dinda dari

relasinya dari Rendi merupakan

bentuk substitusi dari kebutuhan

Ibu Dinda dan Rendi memiliki

karakteristik yang serupa, yakni

keduanya selalu melimpahkan

kesalahan pada Dinda dan menuduh

bahwa Dinda yang menyebabkan

munculnya konflik tertentu dalam

relasi tersebut atau relasi dengan

orang lain. Sejak kecil, ibu yang

terlihat tidak menyayangi Dinda

selalu menyalahkan Dinda atas setiap

pertengkaran Dinda dengan

saudaranya. Tidak ada pembelaan

yang didapatkan oleh Dinda dari sang

ibu. Begitupun dengan Rendi yang

selalu menyalahkan Dinda untuk

setiap perselingkuhan yang

dilakukan-nya dengan perempuan-

perempuan lain. Dinda selalu merasa

setiap perbuatannya ialah kesalahan.

Interpretasi:

1. Ada indikasi rasa inferior yang

dirasakan oleh Dinda karena sejak

kecil Dinda selalu disalahkan oleh

sang ibu, dan rasa inferior tersebut

diperuncing dengan perlakuan

Rendi terhadap dirinya.

2. Adanya proses pembiasaan dari

rasa inferior, sehingga Dinda tidak

lagi merasa itu hal yang buruk dan

mengganggu baginya.

Page 63: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

akan rasa nyaman yang hilang dari

relasinya dengan sang ayah.

Tabel 4.7 Karakteristik Figur Lekat Dinda

Dapat dilihat, Rendi memiliki kemiripan karakteristik dengan

ayah dan ibu Dinda, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap

Dinda hingga respons Dinda menghadapi perlakuan tersebut. Hal

ini mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Dinda

dengan kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut

membentuk persepsi Dinda tentang proses membangun dan

mempertahankan relasi dengan Rendi. Tanpa disadari, Dinda

beradaptasi dengan sangat baik terhadap pengabaian yang

diterimanya sejak kecil, khususnya ibu yang membentuk rasa

bersalah dan membuat Dinda merasa inferior dan tidak beguna

dengan apapun yang dikerjakannya. Hal tersebut berimplikasi pada

kerelaan Dinda yang terus disalahkan oleh Rendi atas

perselingkuhan yang berulang kali dilakukannya. Intimidasi

semacam itu seharusnya membuat Dinda merasa terluka, namun

oleh karena indtimidasi tersebut telah diterima Dinda sejak kecil

dari ibunya, Dinda merasa itu merupakan hal yang biasa dan Dinda

telah beradaptasi dengan baik menghadapi intimidasi tersebut.

Maka dari itu, Dinda membentuk persepsi bahwa Rendi dapat

berselingkuh dari dirinya memang bersumber dari kesalahannya

yang sering membuat keributan kecil, yang kurang cantik, kurang

menarik, dan lainnya.

Tidak adanya basis aman yang diberikan oleh kedua orangtua

Dinda membuat Dinda eksplorasi secara mandiri tentang dirinya

dan kebutuhannya. Tidak adanya pendekatan emosional yang

pernah terjalin antara Dinda dan kedua orang tua juga membuat

Dinda terus mencari kekosongan tersebut hingga Dinda bertemu

dengan Rendi. Rendi merupakan sosok yang dapat mengisi

kekosongan Dinda dalam hal sentuhan fisik dan emosi. Hal ini

Page 64: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

terlihat dari kenangan paling bahagia yang dapat diingat Dinda ialah

suatu kali ketika ayahnya menggendong dirinya yang baru bangun

tidur. Kenyamanan dan rasa bahagia sangat dirasakan Dinda hanya

di satu waktu itu karena sang ayah tidak pernah menggendong atau

menyentuhnya lagi setelah itu. Pertemuannya dengan Rendi yang

dapat dengan mudah menunjukkan rasa sayangnya melalui

sentuhan-sentuhan fisik membuat Dinda sangat nyaman dan

bahagia, sama seperti yang dirasakan Dinda ketika sang ayah dulu

menggendongnya. Melalui hal ini dapat dilihat bahwa Dinda

mencari sosok pengganti ayah yang dapat dijadikannya basis aman

untuk eksplorasi.

Kebutuhan Dinda akan sentuhan fisik menjadi salah satu

alasan kebertahanan Dinda dengan Rendi meskipun dirinya harus

berulang kali sakit hati karena dikhianati. Hal ini mengindikasikan

bahwa ketiadaan dukungan melalui sentuhan fisik dan emosi dari

kedua orangtua membuat Dinda menjadi rentan terhadap segala

bentuk sentuhan fisik dan pendekatan emosi yang diberikan oleh

Rendi. Sebagaimana diketahui bahwa ikatan emosi sepanjang hidup

dapat dimulai melalui kontak fisik dan rasa aman yang diberikan

oleh figur lekat pertama, Dinda pun merasakan bahwa ikatan

emosinya terikat terlampau dalam kepada Rendi sehingga ia merasa

sangat nyaman bertahan dalam relasi yang menyakitkan. Maka dari

itu, dapat disimpulkan bahwa pola kelekatan Dinda dengan orang

tua membuat Dinda tumbuh menjadi individu yang insecure dan

menjadikan Rendi sebagai satu-satunya pemuas kebutuhan fisik dan

emosional Dinda sehingga sangat sulit bagi Dinda untuk keluar dari

jerat lingkaran kekerasan yang dialaminya dengan Rendi.

e. Pembahasan Kasus Dinda

Melalui penjabaran kasus kekerasan yang dialami oleh Sari dan

Dinda dalam relasi berpacaran, dapat dipahami bahwa kebertahanan

Sari maupun Dinda dalam relasi yang mengandung kekerasan

Page 65: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

didalamnya memiliki keterkaitan dengan pola lekat yang terjalin

dengan orang tua di masa lampau, baik itu sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan yang terabaikan, maupun pengulangan kebutuhan yang telah

terpenuhi.

Berikut ini digambarkan tentang perbandingan kedua kasus Sari

dan Dinda yang dikaji oleh penulis:

KOMPONEN KELEKATAN

Proximity

Maintenance

Tidak ada

Tidak ada perilaku Dinda yang menunjukkan upaya

pencarian kedekatan dengan kedua figur lekat karena baik

ayah dan ibu terlalu sibuk bekerja sehingga Dinda banyak

menghabiskan waktu dengan baby sitter.

Safe Haven Tidak ada

Figur ayah dan ibu tidak dapat dijadikan tempat

perlindungan yang aman bagi Dinda setiap kali Dinda

menghadapi situasi yang membuatnya merasa tertekan.

Tidak ada pembelaan atau dukungan yang diberikan kedua

orang tua kepada Dinda saat Dinda mengalami konflik

dengan kedua saudaranya.

Secure Base Tidak ada

Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman bagi

Dinda untuk eksplorasi. Ketia-daan figur lekat dalam

waktu yang lama membuat Dinda merasa tidak lagi

memerlukan figur lekat di dekatnya.

Pola Kelekatan Avoidant-insecure

INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang

tidak terpenuhi oleh

ayah

Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional

Kebutuhan yang

tidak terpenuhi oleh

ibu

Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional

Kebutuhan yang

dipenuhi pacar

Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional

Riwayat

Kekerasan dalam

Keluarga

Dinda mengalami kekerasan langsung dari ibunya berupa

kekerasan verbal dan emosional.

Riwayat Kekerasan

dalam Pacaran

Dinda mengalami kekerasan verbal, kekerasan emosional,

dan kekerasan seksual dari Rendi.

Tabel 4.8 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Dinda

Page 66: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap dua

orang korban yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang

mengandung jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis

memiliki beberapa temuan terkait dengan kebertahanan korban yang

terjerat dalam lingkaran kekerasan di dalam relasi pacaran.

Temuan 1: Pola Kelekatan Avoidant-Insecure dengan Orang Tua

Merupakan Dasar Kebertahanan Korban Kekerasan

Pola lekat yang dimiliki Dinda terhadap orangtuanya tergolong

insecure-avoidant. Poin penting yang melekat dalam pola lekat

insecure ini terletak pada ketidaktersediaan basis aman bagi keduanya

untuk eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman

untuk dieksplorasi. Ketiadaan basis aman ini berimplikasi pada

kurangnya minat untuk keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman,

meskipun tidak aman. Selain itu, kurangnya kemampuan bagi Dinda

untuk mengatasi kecemasan atas situasi perpisahan dengan pacar yang

dijadikan sebagai figur lekat. Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973)

bahwa ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan,

emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai

respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini

berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh,

pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat

individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat

memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari insekuritas yang

dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua, kecemasan terhadap

perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik oleh Dinda sehingga

keduanya memilih untuk bertahan dalam relasi yang merugikan.

Temuan 2: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak

Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan Kontak-

Kontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki

Page 67: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Dinda akan kebutuhan

fisik seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan

keduanya dalam relasi pacaran. Sari dan Dinda keduanya pertama kali

disentuh oleh pacarnya hingga melakukan hubungan sexual intercourse.

Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat

yang belainan gender – sejak kecil, membuat Dinda merasa asing

dengan rasa nyaman yang dimunculkan dari sentuhan itu sendiri

sehingga sang pacar memberikannya kepada mereka, rasa nyaman yang

mereka tidak pernah rasakan sebelumnya menjadi sebuah

ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan, khususnya bagi Dinda

yang sama sekali tidak pernah mengalami sentuhan kasih sayang dari

ayah dan ibunya. ‘Kekosongan’ afeksi juga dirasakan oleh Dinda

karena Dinda tidak pernah mendengar ayah atau ibunya menyatakan

rasa sayang terhadap dirinya. Hal ini menyebabkan seluruh kata-kata

dan tindakan penuh afeksi yang ditunjukkan oleh Rendi membuat

Dinda merasa ‘kekosongan’ yang dirasakannya sejak kecil telah terisi

dengan sosok Rendi. Maka dari itu, Dinda bertahan diselingkuhi

berulang kali oleh Rendi selama Rendi masih dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya tersebut.

Temuan 3: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi

dengan Figur Lekat Pertama Perempuan

Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan

kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi

lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki

implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi)

dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Dinda

dengan peilaku yang menunjukkan bahwa dirinya menjadi terbiasa

dengan posisi ‘yang bersalah’ atas perilaku negatif Rendi yang gemar

berselingkuh sama halnya dengan Dinda yang selalu berada di posisi

‘yang bersalah’ atas kemarahan ibunya di masa lampau. model perilaku

yang telah terbentuk dan relatif menetap. Proses pembiasaan ini yang

disebut dengan istilah “working models” atau “internal

Page 68: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10226/4/T2_832013016_BAB IV.pdf · triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran

representations” tentang diri dan pasangan, yang merupakan komponen

sentral dari kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan

ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi terkait

dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan (Main, Kaplan

& Casidy, 1985). Representasi internal tersebut: 1) berisi tentang model

dari konsep diri terkait layak atau tidak layak individu mendapatkan

cinta atau perhatian; 2) menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari

tentang konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola

dalam membangun relasi sosial di masa mendatang.