BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Sejarah ...

56
33 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Temanggung 1. Kondisi Geografis Temanggung Temanggung merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Kendal di utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, dan Kabupaten Wonosobo di barat. Kabupaten Temanggung dahulu terdiri dari 12 kecamatan, dan sekarang terdiri dari 20 kecamatan (data 2009), dengan luas wilayah 870,25 km². Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian 500-1450 m dpl. Kabupaten Temanggung terletak 110°23’ – 110°46’30‖ BT dan 14’ – 32’ 35‖ LS (BPPD dan BPS Kab. Temanggung, 2009:3-4). Kabupaten Temanggung pada umumnya merupakan daerah bersuhu udara rendah, suhu udara berkisar antara 20°C 23°C. Temanggung memiliki hawa dingin terutama di Kecamatan Tretep, Kecamatan Bulu (lereng Gunung Sumbing), Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta Kecamatan Candiroto. Kota berpenduduk 709.343 jiwa (data 2009), sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi dan pegunungan, termasuk bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Dieng. Di perbatasan dengan Kabupaten Wonosobo terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Sejarah ...

33

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Temanggung

1. Kondisi Geografis Temanggung

Temanggung merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa

Tengah. Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Kendal di

utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, dan

Kabupaten Wonosobo di barat. Kabupaten Temanggung dahulu terdiri dari

12 kecamatan, dan sekarang terdiri dari 20 kecamatan (data 2009), dengan

luas wilayah 870,25 km². Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar

merupakan dataran dengan ketinggian 500-1450 m dpl.

Kabupaten Temanggung terletak 110°23’ – 110°46’30‖ BT dan

7°14’ – 7°32’ 35‖ LS (BPPD dan BPS Kab. Temanggung, 2009:3-4).

Kabupaten Temanggung pada umumnya merupakan daerah bersuhu udara

rendah, suhu udara berkisar antara 20°C – 23°C. Temanggung memiliki

hawa dingin terutama di Kecamatan Tretep, Kecamatan Bulu (lereng

Gunung Sumbing), Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta

Kecamatan Candiroto.

Kota berpenduduk 709.343 jiwa (data 2009), sebagian besar

wilayahnya merupakan dataran tinggi dan pegunungan, termasuk bagian

dari rangkaian Dataran Tinggi Dieng. Di perbatasan dengan Kabupaten

Wonosobo terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain

34

Gunung Sindoro dan Sumbing, di Temanggung juga terdapat Gunung

Prahu dan Butak serta beberapa perbukitan yang dipergunakan sebagai

lahan pertanian penduduk. Di bagian utara terdapat deretan perbukitan

yang berujung pada Gunung Ungaran, yang menjadi garis batas dengan

Kabupaten Kendal dan Semarang.

Temanggung memiliki empat buah sungai yang besar yaitu

Wringin, Sungai Lutut, Sungai Elo dan Sungai Progo. Pola persebaran

curah hujan yang tinggi di Temanggung mengakibatkan daerah bagian

selatan relatif lebih basah dibandingkan daerah bagian utara. Potensi air

mengalir melalui Kali Progo yang bermata air di Jumprit, Ngadirejo yang

terletak di lereng Gunung Sindoro. Kali Progo memiliki banyak anak

sungai dari Gunung Sindoro maupun Gunung Sumbing yang kemudian

dialirkan ke laut selatan (Asiatno, 1997:26).

2. Sejarah Singkat Temanggung

Sesuai dengan yang tercatat dalam Binnenland Bestuur,

Departemen Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda, besluit kelahiran

Kabupaten (Regentschap) Temanggung yaitu 10 November 1834. Tanggal

10 November sekarang diperingati sebagai kelahiran Temanggung.

Kabupaten Temanggung menjadi kabupaten kedua di Karesidenan Kedu

setelah sebelumnya muncul Kabupaten Magelang pada tahun 1818. Seperti

kota-kota lain di pedalaman Jawa, Temanggung tumbuh menjadi daerah

agraris yang damai. Meski pemerintahan kolonial berlangsung secara

35

diskriminatif, masyarakat Temanggung menerima apa adanya. Tidak ada

pergolakan politik yang serius sampai dengan akhir abad XX.

Sebelum Temanggung berdiri, pemerintah Hindia Belanda

membentuk Kabupaten Menoreh sebagai bagian dari Karesidenan Kedu.

Dengan Bupati pertama yaitu Bupati Raden Tumenggung (RT) Ario

Soemodilogo. Tugas pertama RT Ario Soemodilogo ialah membantu misi

militer menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Meski bergelar

Bupati Menoreh, RT Ario Soemodilogo tidak mungkin berkantor di

Menoreh, tempat yang menjadi markas besar kekuatan inti pasukan

Diponegoro. Maka, RT Ario Soemodilogo ditempatkan di Parakan sebagai

Ibu Kota Menoreh. RT Ario Soemodilogo meninggal karena serangan

laskar Diponegoro, dan kedudukan RT Ario Soemodilogo digantikan R.

Ngabehi Djojonegoro. Setelah menerima besluit pengangkatan 7 April

1926, Djojonegoro berinisiatif memindahkan ibukota kabupaten ke

Temanggung. Selain meminta persetujuan pindah kantor RT Djojonegoro

juga mengusulkan pergantian nama kabupaten. Dengan dua alasan yang

diajukan. Pertama, seusai perang, secara resmi Distrik Menoreh masuk ke

Kabupaten Magelang. Dengan begitu, nama Menoreh sudah tidak relevan

lagi. Kedua, dalam pandangan masyarakat Jawa, dalem bupati di Parakan

yang pernah diobrak-abrik musuh (pasukan Diponegoro) itu telah ternoda.

Permohonan itu di setujui hingga turunlah besluit tanggal 10 November

1943 yang melahirkan Regentschap Temanggoeng (Husni, 2008:10-12).

36

B. Temanggung Menjelang Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda I, berakhir dengan diadakannya perjanjian

Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Meskipun Temanggung tidak menjadi

medan tempur tetapi dampak dari Agresi Militer Belanda I ini juga dirasakan

di Temanggung.

1. Keadaan sosial dan ekonomi

Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda semakin ketat

sejak 1947, membuat persediaan logistik di daerah republik semakin

menipis. Mutu pelayanan umum ikut merosot. Pukulan terberat adalah

hilangnya daerah-daerah yang paling makmur, serta diikuti dengan

pemotongan jalur-jalur komunikasi dan lalu lintas barang (Husni, 2008:

199). Dalam keadaan serba keterbatasan, Temanggung harus ikut

menampung pasukan dari daerah lain yang hijrah akibat perjanjian

Renville. Dalam masa hijrah, banyak kesatuan dari luar daerah memasuki

kota Temanggung, antara lain:

a. ALRI Tegal pimpinan Mayor Ali Sadikin berkekuatan 3 batalyon,

b. MBPT Jawa Barat pimpinan Mayor Sakri Soenarto berkekuatan 1

batalyon

c. Siliwangi Jawa Barat pimpinan Nasuhi berkekuatan 1 batalyon

d. ALRI Kendal pimpinan Mayor Machmud berkekuatan 1 batalyon

Di Temanggung ternyata terdapat satu kelompok masyarakat yang

mempersiapkan diri untuk menyiapkan kedatangan Belanda bernama

Commite Van Ontyangt C.V.O yang dipimpin oleh Cheng Tien Tio. Berkat

37

laporan masyarakat, polisi akhirnya membongkar jaringan mereka, dan

menemukan bukti-bukti bendera Merah-Putih-Biru dalam ukuran besar

dan selempang dengan warna yang sama. Perkara ini akhirnya diajukan ke

Pengadilan Negeri Temanggung yang segera melakukan penahanan

terhadapat kelompok C.V.O

Februari 1948, kepolisian RI di Temanggung dipimpin oleh

Inspektur Polisi R.M. Sutoro Tedjokusumo, bersama pasukannya

melakukan tugas-tugas antara lain meningkatkan keamanan dan ketertiban

umum. Disamping itu polisi juga melakukan pengamana ekonomi dengan

membongkar jaringan pembuat dan pengedar uang ORI palsu, saat itu juga

berhasil disita barang-barang pokok kebutuhan hidup yang ditimbun para

spekulan, antara lain berupa beras, kopi, gula pasir, dan sebagainya. Tugas

lain yang dilakukan polisi adalah mengatur dan melaksanakan tugas-tugas

keamanan di garis demarkasi atau garis status quo, sebagai akibat

ditandatangainya perjanjian Renville. Garis demarkasi untuk daerah

kabupaten Temanggung, membentang di perbatasan utara dan menyusuri

kecamatan Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Jumo, dan Candiroto (Bekti,

2012:43-44).

Temanggung juga mengalami gejolak karena pemberontakan oleh

PKI. Sehari setelah pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso dengan

Front Demokrasi Rakyat (FDR)-nya, yang dilakukan pada 18 September

1948, pada 19 September 1948 di Parakan diadakan upacara sumpah setia

kepada RI terhadap Batalyon Machmud. Machmud yang berpangkat

38

sebagai Mayor dikenal sebagai personil ALRI yang proPKI. Tetapi pada

pukul 04.00 WIB 20 September 1948, batalyon Machmud melakukan

pemberontakan dan berhasil menguasai Parakan. Sejumlah tokoh sipil dan

militer kurang lebih 60 orang ditangkap dan ditahan di Muntung, antara

lain: Pembantu Inspektur Polisi II Rame Nitisoedarmo, Kusno, Kaolan

(Camat Tretep), Komandan Distrik Militer Mayor Salmun, Mayor Sukri,

Kapten Sumantri, dan Letnan Suwadji. Sehari kemudian mereka berhasil

meloloskan diri dan kembali ke Temanggung, namun nasib buruk

menimpa Kapten Sumantri dan Letnan Suwadji yang tertangkap di Jumo

dan dibunuh. Segera dilakukan operasi penumpasan yang terdiri dari

gabungan TNI dan Polisi dipimpin Mayor Panuju. Pada 27 September

1948, Parakan berhasil direbut kembali. Mayor Machmud ditangkap, sisa

pasukannya melarikan diri dan sebagian berhasil ditumpas, sebagian lagi

melarikan diri ke Sukorejo yang merupakan daerah status quo dan

meminta perlindungan Belanda.

2. Keadaan Militer dan Politik

Akibat agresi Kolonial Belanda I pada 21 Juli 1947, markas

DIV.III/Pangeran Diponegoro pindah dari Yogyakarta ke Magelang. Pada

saat itu sebutan Tentara Republik Indonesia (TRI) secara resmi diganti

menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang kemudian setelah

mencapai persetujuan Linggarjati dilaksanakan program Re-Ra. Dengan

adanya Program Re-Ra maka DIV. III/Pangeran Diponegoro menjadi

Divisi I/TNI dengan wilayah seluruh Jawa Tengah di bawah pimpinan

39

Kol. Bambang Sugeng (Dinas Sejarah Milliter KODAM VII Diponegoro,

1978:1).

Untuk menghadapi segala kemungkinan, utamanya untuk

menghadapi agresi militer II Belanda, Panglima Besar Angkatan Perang RI

menyiapkan Panglima Tentara Teritorium Jawa (PTTD) dan Panglima

Tentara Teritorium Sumatra (PTTS), masing-masing sebagai panglima

pertempuran di Jawa dan Sumatra. PTTD dalam kegiatannya biasa

menggunakan istilah Panglima Komando Jawa, bermarkas pada Markas

Besar Komando Jawa (MBKD). Panglima komando Jawa adalah Kolonel

A.H. Nasution, dibawah kendali Panglima Besar Sudirman sebagai KSAP.

MBKD yang mengemban tugas pokok mengadakan konsolidasi dan

mengatur siasat untuk menghadapi agresi Belanda yang akan datang

sewaktu-waktu, membawahi 4 divisi dan 3 daerah militer istimewa, yaitu:

a. Divisi I/Jawa Timur

b. Divisi II/Jawa Tengah bagian timur

c. Divisi III/Jawa Tengah bagian barat

d. Divisi IV/Siliwangi

Tiga daerah militer istimewa tersebut adalah:

a. Daerah militer istimewa pertama, meliputi daerah Surabaya, Malang,

dan Kediri.

b. Daerah militer istimewa kedua, meliputi daerah Solo, Semarang, Pati,

Bojonegoro dan Madiun

40

c. Daerah militer istimewa ketiga, meliputi daerah Kedu, Banyumas,

Pekalongan, dan Yogyakarta.

Dalam menjalanankan tugas dan tanggung jawab masing-masing

panglima divisi merangkap sebagai Gubernur Militer. Kolonel Bambang

Sugeng sesuai instruksi panglima MBKD tanggal 28 Desember 1948

diangkat menjadi Panglima Divisi III/Jawa Tengah bagian barat dan

Djogjakarta; divisi III pimpinan Kolonel Bambang Sugeng ini terdiri dari 3

brigade dan 4 subtertitorium (Edi Hartoto, 2009:54-56).

41

Struktur Organisasi Divisi III Jateng dan Yogyakarta

Penetapan Presiden No. 14 tahun 1948 dan instr. Plm. M.B.K.D/Mobil/48

tgl 25 Desember 1948

Sumber : Sirnaning Jakso Katon Gapuraning Ratu I

(Sejarah TNI AD KODAM XVII Diponegoro)

Menghadapi kemungkinan agresi Kolonial Belanda, maka

Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah Siasat No.1

tanggal 9 November 1948 agar masing-masing Devisi menyusun baris-

GM III/Divisi III

Gub. Militer Kol.

Bambang

Sugeng

STC Kedu

Let. Kol.

Sarbini

STC Pekalongan

Mayor

Brotosewojo

Batalyon IV

Mayor

Soedarmo

Batalyon III

Mayor

Darjatmo

Batalyon II

Mayor

Soedjono

Batalyon I

Mayor

Sardjono

Brigade III

Let. Kol.

Soeharto

Brigade II

Let. Kol.

Pranoto/

Mayor A. Yani

Batalyon I

Mayor A. Yani/

Mayor

Sroehardojo

Batalyon III

Mayor

Bintoro

Batalyon IV

Mayor

Panudju

Batalyon II

Mayor

Soerjosoempeno

Batalyon IV

Kapten

Wongsoatmodjo

Batalyon III

Mayor

Soerono

Batalyon II

Mayor

Brotosiswojo

Batalyon I

Mayor

Hartojo

Brigade I

Let. Kol.

M. Bachroen

STC Banyumas

Mayor

Kun Kamdani

STC Jogjakarta

Let Kol Seloali/

Let. Kol.

Soehoedi

42

baris gerilya di daerah pedalaman. Sehubungan dengan perintah Siasat

tersebut, panglima Divisi III/GM III menentukan daerah Gunung Sumbing

sebagai terugval-basis gerilya DIV III/GM III dalam masa perang

kemerdekaan II.

Dalam rangka melancarkan perang gerilya, dari markasnya yang

baru di daerah Prambanan Panglima MBKD mengeluarkan instruksi

nomor :1/MBKD/1948 tanggal 25 Maret 1948 dan instruksi no:

3/MBKD/1948 tanggal 31 Desember 1948 tentang pembentukkan

pemerintah militer di seluruh Jawa dan menyusun perlawanan dalam

bentuk Wehrkreise (WK), yang kemudian terbagi dalam sub. Wehrkreise

(SWK), sektor dan sub sektor (Dinas Sejarah Militer KODAM

VII/Diponegoro, 1978:2). Temanggung masuk ke dalam Wehrkreise II

yang meliputi Kedu (minus Wonosobo) dan Kendal, dipimpin oleh Letkol

Sarbini yang kemudian diganti oleh Letkol Achmad Yani. Wilayah

Wehrkreise II ini dibagi menjadi beberapa sub Wehrkreise (SWK),

Temanggung masuk dalam SWK 296 di bawah pimpinan Mayor Bintoro

yang menguasai distrik Candiroto, Parakan, dan Temanggung. Pasukan

Bintoro merupakan pasukan mobil yang sering keluar masuk daerah

Temanggung untuk melakukan operasi militer. Untuk memperlancar

tugas-tugas menghadapi kemungkinan kembalinya Belanda di

Temanggung, pasukan membentuk Komando Daerah Militer (KDM) yang

dipimpin oleh Mayor Salmun (Bekti, 2012:39).

43

Selain TNI, Tentara Pelajar Temanggung yang berdiri pada

tanggal 1 Oktober 1947 setelah adanya reorganisasi satuan Tentara Pelajar

batalyon 300 resimen B, satuannya bernama Seksi 363 Komandan Sutarto.

Satuan ini bermarkas di sekretariat IPI di kampung Brojolan Temanggung

dan dipimpin oleh Soemardjono. Dengan susunan seksi 365 Batlyon 300

TP TMG sebagai berikut:

Komandan Seksi : Soetarto

Wakil Komandan seksi : Ir. Soetopo

Kepala Staff : Abdoel Madjid

Bagian Pertahanan : S. Hadly

Bagian Keuangan : St. Madiyo/Tjipto Darsono

Bagian Sekretariat : B. Hartadi/Soedradjat

Bagian Perlengkapan : Wahidi

Bagian Persenjataan : Tamat

Bagian Kesehatan : Goenawan/Siswardjo

Bagian Konsumsi : Soeprono/Soebagjo

Dalam perkembangannya, satuan-satuan Tentara Pelajar tidak

luput dari kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Para Tentara

Pelajar kemudian digabung dalam satu-satuan brigade dan masuk dalam

Brigade 17 yang dibagi menjadi 5 (lima) Detasemen. Tentara Pelajar

Temanggung masuk dalam Detasemen III di bawah Martono, yang terbagi

menjadi 4 seksi dan Temanggung berada dibawah kompi Sutarto (Husni,

2008:161-166).

44

3. Persiapan Melawan Agresi Militer Belanda II

Agresi militer yang akan dilancarkan Belanda secara strategis

tidak lagi merupakan pendadakan bagi RI, apalagi setelah segala upaya

diplomatik tidak berhasil. Hanya saja secara taktis operasinalnya kapan

serangan dilancarkan belum dapat diketahui secara tepat. Sejak November

1948, angkatan perang RI telah meningkatkan kesiagaannya untuk

mempertahankan negara dan kemerdekaa Republik Indonesia. Pelaksanaan

Re-Ra Angkatan Perang RI, yang tertunda karena pemberontakan PKI,

dilanjutkan kembali dengan menyusun dan mempersiapkan kekuatan

militer untuk menghadapi agresi Belanda yang berada diambang pintu

(Himawan, 2006:264).

Pada setiap operasi militer, secara normative dilakukan persiapan

maupun pelaksanaan dalam beberapa tahap, antara lain:

a. Mengembangkan secara operasi

b. Melakukan persiapan untuk memungkinkan perintah-perintah operasi

dapat dilaksanakan.

c. Menempati posisi awal operasi

d. Melaksanakan operasi

e. Melakukan konsolidasi.

Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman memerintahkan untuk

meningkatkan upaya persiapan-persiapan perang pada awal November

1948. Kepada para panglima divisi diinstruksikan untuk meningkatkan

kewaspadaan, sebab setiap saat Angkatan Perang Belanda dapat

45

melancarkan gerak ofensifnya terhadap Republik Indonesia (Himawan,

2006:265).

Pada November 1948, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa

Kolonel A. H. Nasution, ketika masih menjabat Kepala Staf Operasi

Markas Besar Angkatan Perang (SOMBAP), pada Juni 1948 telah

menyusun konsep pertahanan rakyat semesta yang sekaligus merupakan

konsep strategi militer Republik Indonesia. Rencana operasi tersebut

dirumuskan dalam Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar. Adapun

pokok isi Perintah Siasat No. 1 adalah:

a. Tidak akan menerapkan pertahanan linier

b. Memperlambat kemajuan serbuan musuh dan pengungsian total

(semua pegawai) serta bumi hangus total

c. Membentuk kantong-kantong di setiap onderdistrik militer yang

mempunyai pemerintah gerilya (wehrkreise) yang totaliter dan

mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan.

d. Melakukan aksi Wingate (penyusupan kembali ke daerah asalnya),

bagi pasukan-pasukan dari daerah federal, dan membentuk kantong-

kantong, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi satu medan

perang gerilya besar.

Menghadapi ancaman agresi Belanda yang semakin jelas pada

Oktober-November 1948, Jenderal Sudirman melakukan penyempurnaan

pada Perintah Siasat No. 1 dalam bentuk Instruksi Panglima Besar

Angkatan Perang yang dikeluarkan tanggal 9 November 1948. Instruksi

46

tersebut disahkan oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah no. 30

dan 70/1948. Instruksi panglima besar itu dijelaskan kepada para

panglima, gubernur, dan residen yang dipanggil ke Markas Besar

Komando Jawa di Yogyakarta pada 11 November 1948, dengan

penekanan pada cara menghadapi dan melawan Agresi Belanda. Lebih

lanjut, pada pertengahan bulan itu juga, Panglima Komando Jawa Kolonel

A. H. Nasution di depan forum yang lebih luas, dihadiri seksi luar negeri

dan seksi dalam negeri BPKNIP dalam sidang gabungan, mengemukakan

pokok-pokok rencana pertahanan untuk menghadapi agresi militer

Belanda. Pokok-pokok rencana itu adalah sebagai berikut:

a. Tidak dapat dipertahankan kota-kota dan jalan-jalan besar, yang akan

dikuasai musuh dalam beberapa minggu.

b. Perlu pengungsian total, penyebaran (penempatan) tenaga-tenaga ke

distrik-distrik untuk mengadakan kantong-kantong perlawanan gerilya

secara luas dan lama.

c. Pokok-pokok perlawanan RI adalah perang gerilya.

d. Akibat dari peristiwa Madiun, TNI pada bulan November itu masih

terpencar-pencar, tidak berada pada tempat-tempat yang sebenarnya,

sehingga memerlukan waktu untuk penggelaran persiapan perang

(Himawan, 2006:266-267).

Angkatan Perang RI melakukan persiapan-persiapan untuk

menghadapi agresi secara sungguh-sungguh sejak awal November,

ditingkatkan dengan Kolonel A. H. Nasution menyampaikan perintah

47

kepada para panglima divisi untuk memasuki tahap ketiga persiapan

operasi. Tahap ini adalah memulai menggerakkan pasukan pada gelar

posisi awal operasi, melakukan persiapan pembumihangusan proyek-

proyek vital secara intensif, dan persiapan pengunduran ke kantong-

kantong perlawanan (wehrkreise) untuk peralihan ke perlawanan gerilya,

dan lain-lain (Himawan, 2006:268-269).

4. Agresi Militer Belanda II

Perang kemerdekaan kedua adalah perang akibat agresi Militer

Belanda kedua atau disebut pula class II, yaitu serangan besar-besaran

militer Belanda setelah perjanjian Renville tidak dipatuhi dan dilanggar

oleh Belanda, dengan maksud menghancurkan Negara RI

(Susanto,1985:62). Dipandang dari kacamata Belanda, tindakan

penyerangan terhadap RI itu dinamakan Aksi Polisionil (Actie Politioneel),

yaitu aksi untuk menertibkan kekacauan yang terjadi di suatu wilyah yang

menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Indonesia berpendapat, bahwa

peristiwa tersebut dinamakan Aksi Militer karena menyerang suatu negara

yang telah diakui (Tri Wahyono, 2011:9).

19 Desember 1948, pasukan Belanda melakukan penyerbuan

secara besar-besaran ke daerah republik. Kota Yogyakarta sebagai ibukota

negara berhasil diduduki tentara Belanda, setelah berhasil melakukan

agresi ini, Belanda meneruskan penyerbuan ke daerah RI yang belum

didudukinya.

48

Jenderal Spoor memperhitungkan, bila Yogyakarta sebagai

sumber semangat perjuangan dan pusat perlawanan RI telah diduduki dan

pimpinan-pimpinan politik dan militernya ditangkap, perlawanan akan

berhenti secara menyeluruh, dan untuk itu Jenderal Spoor akan tetap

melancarkan strategi ujung tombaknya. Yogyakarta dianggapnya sebagai

sentra gravita (centre of gravity) Republik Indonesia. Apabila sentra

gravita diduduki, berakhirlah keberadaan Republik Indonesia ( Himawan,

2006:281).

Panglima besar Jenderal Sudirman sebelum meninggalakan istana

sempat mengeluarkan Perintah Kilat No. 1, yang menginstruksikan

segenap jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi

yang telah ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah

Siasat Nomor 1 Panglima Besar. Perintah Kilat No. 1 Panglima Besar

berbunyi:

1. Kita telah diserang

2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda

menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.

3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan

senjata.

4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah

ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di : Tempat

Tanggal : 19 Desember 1948

Jam : 08.00

(dto)

Panglima Besar Angkatan Perang

Letnan Jenderal Sudirman

(ket.: dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman...—tulisan

Letjen (Purn) Cokropranolo—halaman 125, dinyatakan bahwa

perintah kilat tersebut ditulis tangan sendiri oleh Pak Dirman dalam

secarik kertas yang terlihat samar-samar, tetapi dapat dibaca dengan

49

jelas oleh Kapten Supardjo, ajudan Pak Dirman saat itu. Kemudian,

teks perintah tersebut diberikan kepada Vaandrig Kadet Utoyo

Kolopaking, agar ia segera meneruskannya lewat telepon ke RRI

Yogya dan meminta agar teks tersebut disiarkan secepat mungkin)

(Himawan, 2006:292).

Sekalipun Belanda berhasil menawan pimpinan pemerintahan RI

dengan pendudukan Yogyakarta, Belanda tidak berhasil menawan

pimpinan utama Angkatan Perang RI, Panglima Besar Sudirman. Maka,

Belanda dengan berbagai cara mengumumkan bahwa Jenderal Sudirman

telah dapat ditawan. Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel mengumumkan

bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak diakui lagi. RI dinyatakan

sebagai staatkundig organisatie (organisasi kenegaraan yang telah dihapus

dari muka bumi). Perlawanan TNI, yang disebutnya ―pengacauan

gerombolan-gerombolan pemberontak‖, selanjutnya akan sia-sia saja dan

akan mengundang kehancurannya sendiri. Tentara Kerajaan Belanda telah

siap dengan segala keunggulannya untuk menghancurkan gerombolan-

gerombolan tersebut.

Tetapi kenyataannya panglima besar telah berhasil keluar kota

Yogyakarta, walaupun sedang sakit keras, untuk memimpin perang rakyat.

Perintah Kilat No. 1/Panglima Besar/ B/ D/1948 telah dikumandangkan

dan segera saja seluruh jajaran TNI melaksanakan rencana-rencana yang

telah ditentukan, yang dituangkan dalam Perintah Siasat No. 1 atau

Instruksi Panglima Besar pada awal November 1948 dan disahkan melalui

Peraturan Pemerintah No. 33 dan No. 70 tahun 1948 (Himawan,

2006:299).

50

Yogyakarta telah diduduki Belanda pada tanggal 19 Desember

1948. Serangan mendadak yang dilancarkan dengan mengerahkan

kekuatan tempur yang besar membuahkan hasil. Sungguh suatu

kemenangan strategis bagi Belanda. Ibu Kota Republik Indonesia, yang

dinilai Belanda sebagai sumber segala malapetaka atau sumber ―api

revolusi‖, telah dapat direbut. Pemimpin negara dan sebagian kabinet RI

berhasil ditawan. Dr. Beel yang ditetapkan Kerajaan Belanda sebagai

Wakil Tinggi Mahkota (WTM), tetapi tidak diakui oleh Republik

Indonesia, menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah dihapuskan dari

peta dunia (weggevaagd van de wereldkaart). Dengan ditawannya

pimpinan pemerintah RI ditambah kemampuan propagandanya, Belanda

memperhitungkan bahwa TNI dan rakyat akan mengalami demoralisasi

dan disorganisasi sedemikian rupa, sehingga mematahkan semangat untuk

melanjutkan perang gerilya melawan Belanda. Dalam strategi militernya,

Belanda menyerang Yogyakarta dengan kekuatan militer yang besar untuk

memastikan hancurnya TNI dalam satu pertempuran menentukan.

Akan tetapi hal itu tidak terjadi, kesatuan-kesatuan TNI di

Yogyakarta tidak melakukan perlawanan gigih dan tidak mempersiapkan

pertahanan mati-matian. Dalam mempertahankan Yogyakarta TNI

menghindari serangan penghancuran Belanda itu. Di dalam strategi militer

yang telah digariskan Perintah Siasat No. 1 tidak ada rencana untuk

menghadapi serangan Belanda secara mati-matian, sebab sudah

diperhitungkan bahwa keunggulan taktis dan teknis militer Belanda,

51

seperti pada agresi militer pertamanya, akan sangat menentukan dalam

perang konvensional. Bila dilakukan pertahanan konvensional secara mati-

matian, bantuan logistik yang besar akan diperlukan, terutama peluru dan

mesiu, untuk bertahan secara efektif. Karena itu, sesuai dengan yang telah

ditetapkan dalam Perintah Siasat No. 1, titik berat perlawanan diletakkan

pada perang wilayah dengan aksi-aksi gerilya. Untuk menghadapi

serangan, rencananya perlawanan akan diberikan sekedarnya oleh pasukan

yang khusus ditugaskan untuk melakukan penghambatan. Hal itu bertujuan

memenangkan waktu dan ruang untuk memberikan kesempatan pada

kesatuan-kesatuan besar TNI dan aparat pemerintahan untuk

mengundurkan diri ke daerah-daerah yang telah dipersiapkan sebagai

pangkalan perlawanan gerilya (Himawan, 2006:301-302).

Di kota-kota lain yang berhasil diduduki Belanda, dan

disepanjang garis komunikasinya, TNI dan pasukan pejuang RI lainnya

dengan semangat dan tekad yang tinggi melancarkan serangan gerilya

terhadap pos, patroli, dan iring-iringan logistik, dan menyabotase jalan-

jalan perhubungan. Selain itu, TNI mereorganisasi satuan-satuan

tempurnya di pangkal-pangkal perlawanan yang telah disiapkan,

menggelar kekuatannya, dan kemudian mengobarkan perang yang

sesungguhnya, perlawanan gerilya, di daerah-daerah yang seluas mungkin

(Himawan, 2006:309).

Aparatur pemerintahan Republik Indonesia banyak yang ikut

dengan pasukan TNI yang mundur atau yang melakukan infiltrasi,

52

sehingga mempermudah TNI membangun sistem pertahanan wehrkreise.

Sebaliknya, hal itu mempersulit Belanda untuk melakukan konsolidasi

untuk menegakkan kekuasaannya, dan membangun kembali pemerintahan

di daerah-daerah yang telah didudukinya (Himawan, 2006:310).

C. Masa Awal Pendudukan Belanda

1. Temanggung Dibumihanguskan

Diawali dengan agresi militer II, Belanda berhasil menguasai

ibukota negara, Yogyakarta. Pasukan TNI segera menyingkir ke

pedalaman untuk menyusun kekuatan baru. Dengan demikian Belanda

sangat leluasa meningkatkan gerakan militernya. Sesuai perintah Markas

Besar Angkatan Perang RI (APRI), sebelum Belanda datang, taktik bumi

hangus harus dilakukan. Senin, 20 Desember 1948, aksi bumi hangus

Temanggung dilaksanakan. Massa berkumpul sejak pagi hari di berbagai

tempat di Temanggung, atas perintah Komandan Batalyon Terirtotial

Salmun, aksi bumi hangus dilakukan serentak di Temanggung, Parakan,

dan Ngadirejo. Aksi massa itu di bawah kendali Kompi Oetoyo dibantu

polisi, Tentara Pelajar, pemuda Hisbullah, para pamong praja dan massa

rakyat. Mereka merusak apa saja yang kemungkinan dapat dimanfaatkan

oleh Belanda.

Di kota Temanggung terdapat 28 bangunan yang

dibumihanguskan. Bangunan-bangunan yang dibumi hanguskan antara

lain: kantor Kabupaten, Penjara, Kantor Pengadilan, Gedung NIS, Gedung

SMP, Kantor Pos, Kantor Telpon, Kantor Kawedanan, asrama ALRI, pasar

53

Lor dan Kidul, Gedung Bioskop, Kantor PLN, Bank Rakyat, RPCM,

stasiun Kereta Api, kantor Pegadaian, Rumah Pemotongan Hewan, Pabrik

Kertas, SR Alon-Alon, Kantor Asisten Residen, Jembatan Kali Kuas,

Markas ALRI, SD Sempurna, Penampungan Minyak, SR IV, Markas

Hisbullah. Sejumlah jembatan pun dihancurkan, antara lain jembatan

Kalimurung, Kali Kuwas (Tepungsari), Kali Deres, Kali Winong, Kali

Tengguru, Kali Galeh (Parakan), Kali Guntur, Kali Progo, dan Kali

Paponan.

Untuk menghambat laju bala tentara Belanda, jembatan Progo di

Kranggan diprioritaskan untuk dihancurkan. Beberapa lokasi jembatan

tersebut sudah dipasangi peledak. Tetapi rencana penghancuran jembatan

yang sangat strategis, untuk menuju Temanggung dan Wonosobo itu gagal

karena jembatan Progo tidak hancur dan hanya berlubang. Jembatan Progo

yang tidak berhasil dihancurkan oleh TNI menguntungkan Belanda untuk

dapat bergerak lebih maju lagi (Emy, 2006:19).

2. Serangan Belanda di Temanggung

Tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan

serangan besar-besaran terhadap kota Temanggung. Pada hari Selasa pagi

empat unit Mustang P-51 Belanda terlihat di atas langit Temanggung,

berputar-putar lalu menukik sambil menembakkan peluru. Dengan sasaran

mobil yang bergerak atau tempat-tempat yang dianggap sebagai pos TNI.

Kota Temanggung sunyi dan mencekam, yang berada di jalan-jalan hanya

unit-unit kecil patroli TNI dari Batalyon Terr/KDM Temanggung dan

54

Polisi. Salah satu sasaran pesawat Mustang P-51 adalah asrama polisi di

Gemoh. Serangan pertama mengenai kotak mesiu yang berada disana,

menimbulkan ledakan dan asap membumbung. Sehingga pesawat Belanda

menyangka tempat itu adalah pos tentara. Sambil terbang bersilangan,

pesawat-pesawat Mustang P-51 kembali menembakkan peluru. Akibatnya

tangsi polisi Gemoh semakin porak poranda, ada beberapa korban jiwa

dari petani yang meninggal dan terluka.

Seperti terjadi di tempat lain, serangan udara hanya untuk

membuka jalan bagi pasukan darat yang akan melakukan pendudukan.

Sekitar pukul 13.45 pasukan Belanda mulai masuk dan menduduki

Temanggung. Mereka menembus kota dari dua arah. Pertama dari

Sumowono melalui Ngoho, Kaloran, ke Temanggung. Pasukan ini

merupakan bagian dari pasukan Brigade T. Kedua, dalam jumlah yang

jauh lebih besar, dari Brigade W, datang dari Magelang melalui Secang

dan tembus ke Temanggung

Sehari kemudian, tanggal 22 Desember 1948 pukul 10.00 WIB,

mereka berhasil masuk ke kota Temanggung yang hanya tinggal

reruntuhan. Setelah rendezvous di Temanggung, satuan Brigade T

bergerak ke Yogyakarta memperkuat induk pasukannya. Temanggung

dijaga oleh Vossen Brigade (V-Brigade/Anjing NICA) dibantu serdadu

kulit putih Koninglijke Landmacht (KL) hasil wajib militer di Belanda.

Pasukan Belanda ini dipimpin oleh Mayor A. Van Zanten (Mei 1947-Juli

55

1949). Sebagian anggota pasukannya yang berjumlah sekitar 900 personil

itu adalah orang Indonesia.

Tentara pendudukan di Temanggung adalah bagian dari satu

pasukan besar yang berkedudukan di Magelang. Resimen yang dipimpin

Mayor Van Zanten ini berkekuatan tiga Batalyon infantry, satu kompi

korps elit baret merah, ditambah kompi-kompi bantuan tempur artileri,

kavaleri dan satuan anti serangan udara. Dengan tugas, selain melakukan

pendudukan secara fisik, juga membentuk pemerintahan baru yang pro

Belanda. Pasukan Mayor Van Zanten hanya menguasai Temanggung dan

Parakan yang lumpuh.

Tidak ada birokrasi sipil yang bisa difungsikan untuk

melegitimasikan pendudukan Temanggung. Para tokoh birokrasi menolak

bekerjasama dengan tentara pendudukan dan memilih menyingkir ke

pedalaman hingga akhirnya membentuk pemerintahan darurat di pedesaan.

Di dalam kota yang tertinggal hanya orang-orang Tionghoa dan sejumlah

birokrat yang tidak tahu apa yang harus diperbuat (Husni, 2008:242-244).

Di dalam kota, tersebar beberapa anak-anak sekolah yang sengaja tinggal

untuk memata-matai gerakan pasukan Belanda. Pasukan Belanda tidak

menduga bahwa anak-anak tersebut bukanlah anak-anak sembarangan.

Sebagian dari mereka adalah anak-anak Tentara Pelajar

Gerak mundur dilakukan oleh Pimpinan Komando Daerah Militer

(KDM) yang sekaligus merangkap sebagai Komandan Batalyon Teritorial

Temanggung, Mayor Salmun. Bersama jajaran aparatur Pemerintah

56

Kabupaten dan beberapa Jawatan menuju ke lereng Sumbing selatan, ke

Desa Ngawen, Tembarak. Secara hirarkhis mereka berada di bawah

komandan SWK Mayor Bintoro. Markas tentara dan kantor-kantor darurat

dibuka di rumah-rumah penduduk. Markas Polisi Temanggung mundur ke

dukuh Kerokan desa Losari. Satuan Tentara Pelajar Brigade XVII sie

Temanggung terpencar. Ada yang bergerak ke arah Tembarak, ada juga

yang ke Kandangan mengikuti Komandan Seksinya Kapten Soetarto.

Namun, pembentukan pemerintahan gerilya tidak disertai oleh Bupati

Soetiwo yang memilih mengungsi ke Yogyakarta. Maka, Bupati Soetiwo

dilengserkan dan diganti oleh patihnya yaitu R. Soemarsono. Ketika KDM

pindah dari Ngawen ke Kemloko, Bupati R. Soemarsono juga ikut ke sana.

Dari Kemloko selanjutnya KDM dan Bupati R. Soemarsono pindah ke

Nglamuk Gunung, kemudian pindah lagi ke Petarangan. Perpindahan

markas dan kantor Pemerintahan Kabupaten itu dilakukan dengan jalan

kaki melalui jalan setapak, naik turun lembah jurang dan kadang-kadang

harus berlindung dari intaian maupun gempuran dari pesawat udara

maupun kejaran patroli-patroli Belanda.

3. Konsolidasi Angkatan Perang

Setelah berhasil membumi hanguskan kota Temanggung, pasukan

TNI dan pejuang segera melakukan konsolidasi. Konsolidasi pertama

menghasilkan 4 keputusan. Pertama, membantu struktur komando/

organisasi. Kedua, membagi wilayah dan tanggung Jawab. Ketiga,

membentuk pasukan mobil, dan keempat melakukan serangan mendadak,

57

penghadangan patroli Belanda, sabotase dan melakukan pengacauan di

daerah yang diduduki Belanda (Gema, 2009:38).

Temanggung masuk daerah STC II yang berada di bawah

pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, meliputi Kedu dan Semarang Barat.

Kekuatan 5 batalyon TNI dengan persenjataan lebih kurang 80%, serta

berbagai pasukan lain, sehingga jumlah seluruhnya lebih kurang 6

batalyon infanteri.

Tiga ―sub-wehrkreise‖ di utara, dipimpin oleh Mayor Akhmad

Yani, Komando Brigade 9, dengan 3 batalyon infanteri dari brigade

tersebut, Mayor Panuju untuk wilayah Temanggung-Kendal, Mayor

Suryosumpeno untuk Magelang, dan Mayor Daryatmo untuk Muntilan-

Salaman. Dengan tiap komandan ―sub-wehrkreise‖ turut pula bupati atau

patih yang bersangkutan yang memimpin staf urusan sipil dalam

Pemerintahan Militer Kabupaten (―sub-wehrkreise‖), biasanya disertai

pula kepala polisi dan beberapa orang kepala Jawatan kabupaten.

Penyusunan organisasi teritorial berjalan cepat dan tenaga umumnya

cukup. Tenaga pelajar banyak disebarkan untuk membantu

(Nasution,1979:46).

Mayor Salamun selaku Komando KDM, dibantu oleh Kapten

Yudomo selaku wakil Komando KDM ini membawahi OPI yang terbagi

menjadi tiga. OPI I dipimpin seorang komandan Letnan Mutamat

Siswanto. OPI II dipimpin Letnan Utoyo dan OPI III dikomandani oleh

Letnan Trisno dan Nirboyo.

58

OPI I membawahi Operasi Distrik Militer (ODM) Temanggung

dengan komandan Letnan Taryono, ODM Bulu dengan Komandan Letnan

Darsono, ODM Tembarak dengan komandan Letnan Mardi Dembyak,

ODM Pringsurat dengan Komandan Letnan Sumardi, dan ODM Kranggan

dengan komandan Letnan Sutjipto yang diganti serma Sudarno.

OPI II membawahi ODM Kaloran dengan komandan Letnan

Tusi, ODM Kandangan dengan komandan Letnan Tamijis, ODM Kedu

dengan komandan Letnan Janan, dan ODM Jumo dengan komandan

Letnan Marsaid.

OPI III membawahi ODM Ngadirejo dengan komandan Letnan

Suwardikum, ODM Candiroto dengan komandan Letnan Permadi, ODM

Tretep dengan komandan Letnan Sayuti dan ODM Parakan dengan

komandan Letnan Hartono.

Selain membentuk KDM-OPI dan ODM, TNI juga membentuk

pasukan mobil. Pasukan Mukri yang merupakan pasukan mobil, memiliki

kekuatan satu Seksi dengan senjata lengkap. Pasukan lainnya di bawah

pimpinan Istanto, berkekuatan satu kompi dengan persenjataan lengkap.

Pasukan Istanto dikenal sebagai kelompok yang sangat pemberani dan

berdisiplin tinggi. Pasukan mobil juga memiliki satu seksi di bawah

pimpinan Usmanpuger dengan persenjataan tidak lengkap. Tugas utama

pasukan Usmanpuger adalah memberikan penerangan dan pembinaan

kepada rakyat agar mereka tidak terhasut oleh pasukan Belanda. Pasukan

59

mobil lainnya adalah pasukan Cakra Buntung dengan persenjataan lengkap

yang dimotori oleh 3 pasukan Jepang.

Pasukan TP Temanggung terpencar, ada yang bergerak ke arah

Tembarak, dan ada yang kearah Kandangan. Pasukan TP yang bergerak

ke arah Tembarak segera melakukan konsolidasi bersama dengan pasukan

lainnya. Anggota TP Temanggung terdiri dari S. Hadly, Moeljono, Anthon

Saroso, dan anggota ALRI serta para pemuda mengundurkan diri ke

selatan menuju Nglarangan, Pikatan Mudal, Botoputih dan Tagung untuk

bergabung dengan Komando Distrik Militer. Disana banyak anggota

tentara dan kendaraan roda empat yang tidak berfungsi. Pasukan gabungan

ini terdiri kurang lebih 30 orang, tertahan di desa Greges Tembarak dengan

kekuatan senjata sten, senjata Jepang, karabyn, dan granat tangan.

Pimpinan kelompok tersebut diambil alih tiga orang anggota TP. Pohon-

pohon yang berada di tepi jalan ditebang untuk menjadi rintangan

menghambat laju 1 batalyon pasukan Belanda. Serangan pertama Belanda

diarahkan ke daerah Tembarak sampai ke utara, dengan menggunakan

pasukan darat dan udara, masuk melewati Windusari Magelang. Akibat

serangan ini, pertahanan republik di Greses hancur. Ada 2 orang ALRI dan

seorang pelajar gugur dalam pertempuran ini.

Setelah pertempuran di Tembarak, Moeljono dan Hadhy menuju

ke daerah Bulu, sewaktu menuju daerah Gunung Sumbing bertemu dengan

Pramono di daerah Tukbedoyo. Hampir setiap hari daerah ini mendapat

serangan udara dan kanon dari daerah Temanggung. Sedangkan Anthon

60

Saroso terpisah dari mereka, yang pada akhirnya bertemu kembali di Desa

Pete Kandangan.

Pasukan TP sebelah barat menuju ke Kandangan, dipimpin

Soemargo dan Abdulmajid mengundurkan diri dari kota melalui

Mungseng. Tamat, Soeparno, Tjipto Darsono, Soekotko, membawa

amunisi menuju Kentengsari. Di daerah Kedu S. Hadhy dan Moeljono

yang bertugas di KDM membawa beras dari Desa Putat ke Gunung

Sumbing untuk logistik tentara yang berada di daerah Bulu. Setelah ada

kontak, S. Handly mencari induk pasukan di Kandangan dan bertemu

dengan rekan-rekannya.

Setelah pasukan TP berhasil terkumpul kembali, komandan TP

Temanggung dipegang oleh Soetarto. Berdasarkan berbagai pertimbangan,

Komandan KDM Temanggung Mayor Salamun mengambil satu keputusan

yang berani yaitu menyerahkan operasional daerah Kedu, Kandangan, dan

Jumo kepada Tentara Pelajar di bawah pimpinan Sutarto yang diberi

pangkat Kapten Lokal.

Daerah Kandangan dan sekitarnya yang merupakan daerah Sub

sektor pimpinan Soetarto dengan kekuatan pasukan satu kompi dengan

stoottroep dipimpin Goenawan dan ditambah bantuan pasukan dari tentara.

Pasukan TP dipimpin Gunawan dengan kekuatan kurang lebih dua regu

(30 orang). Pangkat yang diberikan padi KDM Temanggung pada Soetarto

adalah Kapten Lokal dengan susunan staff sebagai berikut:

61

Komandan : Soetarto

Kepala staf : Abdoelmadjid

Anggota staff : Soekarno HP dan Pratiwanto

Seksi-seksi :

a. Goenawan dari TP

b. Marsono Yacob dari TP

c. Letnan Kliwon dari kompi Havik Suyono

d. Letnan Pratikto dari kompi Havik Suyono

Sub sektor berkedudukan di Kandangan, sedangkan daerah

teritorinya meliputi Jumo, Kandangan, Pingit, Pringsurat. Daerah

operasional meliputi daerah Temanggung, perbatasan kabupaten

Temanggung dengan Semarang/Ambarawa. Sub sektor Kandangan di

bawah Komando Distrik Militer yang berkedudukan di daerah Kledung

Gunung Sumbing bagian utara di bawah pimpinan Mayor Salamun bekerja

sama dengan instansi militer lain yaitu OPI setingkat pemerintahan militer

kawedanan. Kerja sama antara OPI II pimpinan Bambang Oetoyo dengan

instansi militer sub sektor Kandangan terjalin dengan baik berkat

dukungan dari rakyat setempat dan usaha mereka sendiri.

Penyusunan pemerintahan gerilya di onderan-onderan telah

melanjut, siap sebagai pangkalan perang gerilya selama waktu yang

diperlukan. Serangan malam, penghadangan, perusakan jalan, kanonade,

tembakan senapan mesin dan sebagainya telah menjadi kebiasaan bagi

rakyat desa (Nasution,1979:58).

62

D. Perang Gerilya

Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar untuk

semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk

menghadapi serangan Belanda, maka tidak akan dilakukan pertahanan linier

dengan pertimbangan bahwa dengan perang konvensional tidak akan berhasil

mengalahkan Belanda. Keunggulan Belanda dalam persenjataan harus

dihadapi dengan perang gerilya yang inovatif. Tujuan dari perang gerilya

adalah melelahkan, mengacaukan, dan mengikis kekuatan musuh.

1. Perlawanan Gerilya

Serbuan kilat (doorstoot) serdadu NICA ke Yogyakarta ternyata

tidak mampu merobohkan Republik Indonesia dan TNI. Tentara Belanda

hanya menduduki kota-kota Republik sampai ke tingkat distrik

(kawedanan), dan menempatkan pos militer di berbagai titik. Tapi,

beberapa ratus meter saja dari pos-pos terdepan tentara Belanda,

pemerintahan desa berjalan seperti biasa (Simatupang, 1960:55). Laras

senapan, moncong meriam, aksi intimidasi, bahkan tindakan oleh tentara

kolonial, tidak membuat masyarakat desa berpaling dari kesetiaannya

kepada pemerintahan Republik.

Di belakang wajah ramah penduduk desa, satuan-satuan TNI

berlindung dan berkonsolidasi. Setelah mengamati pola-pola tekanan

militer musuh, mereka paham bagaimana harus menghindar dari intaian

patroli udara, dan paham kemana harus bergerak ketika posisinya dihujani

tembakan artileri. Dari Tembarak, Letkol Ahmad Yani berkeliling

63

meninjau kesiapan pasukannya di berbagai front dengan mengendarai kuda

putihnya. Seperti yang ditulis Nasution (1989:232) bahwa:

―Fase perang gerilya di berbagai daerah meningkat sejak Maret 1949,

serangan-serangan kepada Belanda terjadi di Solo, Magelang,

Temanggung, Wonosobo, begitu pula dengan kota-kota lain di

Karesidenan Banyumas, Pekalongan dan Pati. Pada bulan Maret pula,

satuan-satuan Siliwangi sudah siap beraksi di Jawa Barat. Mulai dari

Serang, Bogor, Sukabumi, hingga Cirebon, mengalami serangan hebat

dari pasukan gerilya RI.‖

Pertempuran terjadi di Temanggung, sepanjang bulan Februari,

Maret dan April 1949, merupakan masa-masa Brigade 9 pimpinan Letkol

Ahmad Yani gencar melakukan serangan. Pada tanggal 1 Februari 1949

kota kabupaten Temanggung mendapat giliran serangan Gerilya.

Beranggotakan 15 orang tentara dan 10 orang TP menargetkan menyerang

stasiun kereta api di kampung Banyuurip. Pasukan gerilya menyerbu ke

dalamnya dan melakukan pengacauan selama sejam (Nasution,1979:48).

Selain membuat pukulan fisik dan mental kepada lawan, serangan itu juga

dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat yang berani

mencoba-coba menjadi kaki tangan Belanda.

Pada tanggal 28 Februari kompi Sukarno dari Batalyon Bintoro

menyerbu Parakan, serangan dilakukan pada malam hari dengan target pos

militer Belanda. Baku tembak berlangsung selama tiga jam, beberapa

prajurit Belanda dilaporkan tewas dan di pihak TNI tidak ada korban jiwa,

beberapa terluka dan sepucuk mitraliur hilang. Pada tanggal 25 Maret

1949 penjagaan musuh di jembatan Kali Progo ditembaki

(Nasution,1979:50). Pada 5 Mei 1949, sebuah truk berisi personil militer

64

Belanda dihancurkan oleh TNI di Nguwet Temanggung (Husni,

2008:272). Sementara itu penghadangan di jalan raya terhadap lalu lintas

musuh selalu dilakukan oleh pasukan gerilya. Aksi ini sangat melelahkan

pasukan Belanda (Nasution,1979:51). Nasution (1979:54) menulis dalam

bukunya:

―Kejadian-kejadian seperti ini diselingi pertempuran patroli yang

terus menerus dari hari ke hari walaupun kita mengambil taktik

menghindarinya. Disamping itu kita melakukan serangan secara

kecil-kecilan dengan tujuan menculik atau menghukum mata-mata

musuh yang sudah kita kenali. Dalam pada itu musuh menggiatkan

pertempuran patroli sepanjang hari, karena mereka tahu bahwa

hanya dengan aksi demikianlah mereka dapat mempersempit ruang

gerak pasukan gerilya yang sering tidak terlihat itu.‖

Bersama dengan TNI, Tentara Pelajar juga berjuang di kawasan

Temanggung, ada beberapa kisah perjuangan TP dari buku Hady Gintong,

ex. TNI Brigade XVII TP Temanggung ―Data Perjuangan TNI Brigade

XVII TP Temanggung tahun 1945-1951‖:

a. Pasukan TP bersama Havik Soejono

Perintah pertama TP datang untuk S. Hadhy yang

Gedetacheerd ke daerah Pringsurat di pasukan Havik Soejono. TP

diperbantukan di kompi Hawig Soejono, ikut dalam serangan di

Kranggan dengan melakukan pencegatan patroli di daerah Purwosari

yang waktu itu mendapat serangan Belanda dengan membakar rumah,

sehingga terjadi kontak senjata. Markas kompi Hawig Soejono dan TP

berpindah-pindah dari desa Pocung, Gowak, Karangwuni, Jeketro, dan

di dekat pasar Piyatak Pringsurat.

65

Suatu hari mereka mendengar informasi bahwa patroli polisi

Belanda dari Banaran sedang menuju pasar Piyatak dengan kekuatan

satu regu. Kapten Wignyo dari kompi Havik Soejono mengadakan

pencegatan dan terjadilah kontak senjata yang berhasil menjatuhkan

korban di pihak Belanda.

Penyerangan pasukan ke Kranggan bersama kompi Havik

Soejono, berhasil memporak-porandakan pos Belanda di jembatan

Kali Progo Kranggan yang berkekuatan satu kompi. Pasukan ini

masuk dari Kenalan melalui jalan-jalan di sekitar pasar Kranggan.

Pasukan Belanda bertahan di jembatan dengan mengarahkan

tembakan ke gorong-gorong. Gorong-gorong yang membujur

sepanjang jalan menjadi tempat strategis untuk berlindung pasukan TP

sehingga terhindar dari tembakan Belanda.

Beberapa bulan bertugas di daerah Pingit, TP sering

mengadakan rapat keamanan setempat dengan ODM pimpinan Letnan

Soemardi untuk mendiskusikan tentang siasat, logistik, dan

penyerbuan. Bantuan TP Pringsurat bertemu dengan kelompok

Goenawan yang sudah cukup lama tugas Gedetacheerd, dan akhirnya

ditarik ke Kandangan untuk memperkuat induk pasukan TP.

b. Pasukan TP yang bertugas menjadi mata-mata

Pasukan TP ada yang sengaja ditinggalkan di dalam kota

untuk menjadi informan di dalam kota. Tugas menjadi penghubung

tidak ringan terutama yang berada di dalam kota, karena beresiko

66

tertangkap oleh pasukan Belanda. Anggota TP yang berada di dalam

kota antara lain: Tamat, Sardjono, Tjipto Darsono, Soekotjo,

Moelyono, dan lain-lain.

c. Desa Jengkeling, pencegatan patroli Belanda dengan TP yang pulang

patroli

Pukul 10.00 pasukan TP mendengar kabar Patroli Belanda

sedang menuju Temanggung dari Kandangan berkekuatan satu

peleton. Pasukan TP yang kebetulan sedang menempati pos di desa

Bero kemudian mengatur siasat. Pasukan TP dipimpin Goenawan

berkekuatan dua regu telah menempatkan anak buahnya di sebelah kiri

jalan gumuk sehingga menghadap ke jalan Kandangan-Temanggung.

Dari kejauhan terlihat pasukan patroli Belanda, pasukan TP

bersiap-siap mengadakan serangan. Goenawan membuntuti jalannya

patroli hingga ke jembatan Jengkeling yang waktu itu pernah di bom

oleh TP sehingga kondisi jembatan miring di sebelah timur dan

mencuat di sebelah barat. Jadi apabila patroli lewat mereka harus

merangkak naik. Pada saat patroli melewati jembatan, terdengar

tembakan dari Goenawan sehingga patroli tersebut kalang kabut dan

banyak jatuh korban. Pertahanan TP berada pada posisi yang unggul

karena di daerah yang lebih tinggi. Tembakan ke arah patroli Belanda

gencar ditambah dengan tembakan tekadante yang dibawa oleh

Soeparno semakin memporak-porandakan pertahanan patroli Belanda.

67

Akhirnya patroli Belanda mundur ke sebelah gumuk lalu kembali ke

Temanggung. Di kubu pasukan TP tidak satupun jatuh korban.

d. Pertempuran di desa Balon, Citran, dan Bledu Kandangan

Pukul 06.00 WIB, ada informasi yang mengatakan patroli

Belanda dari jurusan Kedu melalui sungai Citran menuju Kandangan

lewat Bledu, Balun, Duwek, dengan kekuatan 1 seksi (60 orang).

Senin wage malam, pasukan TP pimpinan Goenawan

berjumlah 1 peleton dan anak buah kompi Havik Soejono telah

menempati pos di desa Citran, menunggu datangnya patroli Belanda

sesuai dengan informasi yang diterima pada pagi harinya. Pasukan TP

telah mengatur siasat dengan menempatkan personil di atas sebuah

gumuk (bukit kecil) yang terdiri dari: Goenawan, Soehadi Tutuk,

Soeparno, Pramono, dll. Dan di bawah gumuk, di sawah yang

menghadap ke arah jalan Kandangan, sepanjang tepi jalan di

tempatkan Rahadijono, Kadar, Mardi, dll. Senjata Watermantel

dibawa Koep salah seorang anak buah Havik Soejono mengambil

posisi di gumuk, komando serangan dilakukan Goenawan dengan

senjata GRI-nya.

Setelah patroli Belanda menyeberang dan sampai di daerah

timur sungai di tempat yang datar, mereka beristirahat. Goenawan

mengawali serangan dengan menembakkan senjatanya tiga kali

berturut-turut dan berhasil mengenai sasaran, hingga tembakan yang

ke sepuluh senjatanya macet. Setelah itu disusul tembak-menembak

68

sehingga terjadi pertempuran sengit diantara kedua belah pihak.

Tembakan wartermantel Koep menjadi incaran serangan Belanda

karena tidak henti-hentinya menembak. Koep terkena pecahan mortir

di bagian kaki dan mengundurkan diri ke arah timur. Soemardi sempat

tertembak di bagian perut ketika berada di sebelah sungai Citran.

Berbeda dengan Kadar, yang baru berlari ke sebelah gumuk, kurang

lebih 50 meter dan terkena tembakan sehingga gugur di tempat.

Pertempuran berjalan cukup lama dari pukul 07.00 – 13.00 WIB.

Pertempuran ini banyak menghabiskan peluru dan berakhir dengan

tercerai-berainya sebagian pasukan. Ada yang lari ke arah timur dan

lainnya ke arah barat menyelamatkan diri menuju ke arah Gesing.

Sedangkan Belanda sendiri masih berada di Kandangan hingga pukul

17.00.

Pukul 17.30 setelah Belanda kembali ke Temanggung,

pasukan TP di bawah pimpinan Goenawan mengadakan konsolidasi di

desa Gesing. Setelah konsolidasi, mereka melaporkan keadaan itu

kepada pasukan Soekarno, tetapi tidak mendapat tanggapan.

Jenazah Kadar dan Soemardi dibawa oleh rakyat ke desa Pete

untuk diinapkan di rumah pak Kaum (pemuka agama di desa). Malam

itu pasukan TP tetap berjaga, dan pagi harinya mendapat kabar bahwa

pasukan KNIL beranggotakan 100 orang menuju Kandangan. Segera

pasukan TP mengadakan steeling di sekitar desa Pete. Patroli Belanda

masuk ke desa Kembangsari dan Pete. Mereka membakar rumah

69

Djono yang diduga sebagai markas TP karena bentuknya yang besar.

Sementara jenazah Kadar dan Soemardi masih berada di rumah pak

Kaum, tetapi dibiarkan saja oleh Belanda karena pak Kaum

mengatakan bahwa kedua jenazah tersebut adalah anaknya yang

meninggal. Setelah Belanda meninggalkan rumah Djono yang

terbakar pada sore harinya, pasukan TP mengadakan pemakaman

sederhana. Markas pasukan TP sempat berpindah-pindah ke daerah

Sodong, Gesing, Krengseng, dan tempat-tempat yang lain berputar-

putar di kecamatan Kandangan.

e. Penyusupan ke patroli Belanda di Selopampang dengan korban

Kasiran

Kira-kira bulan Maret 1949 pukul 18.00 wib pasukan TP

yang dipimpin Komandan Sub Sektor Soetarto memerintahkan kepada

pasukannya untuk melakukan serangan ke kota Temanggung dari arah

utara. Berangkat dari Kandangan dengan pasukan berkekuatan ± 1

kompi lebih terdiri dari pasukan pimpinan Goenawan, Marsono

Yacop, Letnan Kliwon, Pratikto. Dari Kandangan menuju Maron,

pasukan Goenawan sudah siap di dekat lapangan Maron.

Pasukan yang akan menyerang kota bersenjatakan 1

watermantel, kekikjoe senjata otomatis Jepang, tekidanto, dan senjata

laras panjang lainnya, serta granat tangan. Sebagai seko penunjuk

jalan ditunjuk Pramono dengan membawa tekidanto sedangkan S.

Hadhy membawa pistol sebagai tanda dimulainya penyerangan.

70

Pasukan lain mengikuti dari belakang, sesampainya di Tepungsari

pasukan berhenti. Pramono dan S. Hadhy menyiapkan tekidanto untuk

diarahkan ke kota sebagai tembakan pertama. Namun sampai tiga kali

percobaan peluru gagal ditembakkan/macet, padahal peluru hanya ada

5 buah. Saat itu sudah menunjukkan pukul 21.00 wib, akhirnya

dilaporkan kepada komandan kejadian macetnya senjata tersebut.

Keputusan terakhir pasukan diperintahkan mengundurkan diri menuju

Kentengsari daerah Magelang.

Pasukan mundur teratur menuju Maron, Demangan,

menyeberangi Kali Kuas belakang RSU, lalu naik ke desa Tlogorejo,

Kebonsari, Sriwungu, kemudian menyeberang jalan Temanggung-

Bulu, Balerejo, Kerokan, Greges, Tagung, Menggoro, Kecepit,

Selopampang, terus ke Kentengsari daerah Magelang.

Pasukan yang sudah sampai dan beristirahat di Kentengsari

diantaranya pasukan pimpinan Letnan Kliwon, Goenawan, Marsono

Yacob, Pratikto yang tiba di Kentengsari ± pukul 02.00 wib.

Sedangkan regu yang dipimpin Soeparno masih tertinggal dan

menempati pos di Selopampang. Pagi hari ± pukul 05.00 wib regu

yang berada di Selopampang mengadakan patroli ke Selopampang.

Setelah tiba di sebelah rintangan/barikade yang masuk desa

Selopampang, terdengar sapaan/teguran oleh suara asing. Teguran

tersebut dijawab Soehadi Tutuk. Ternyata jawaban itu dibarengi

balasan tembakan sten, menyebabkan patroli TP berpencar ke sebelah

71

selatan papringan, sedangkan patroli Belanda juga terpencar.

Kekuatan musuh ± 1 peleton. Mendengar tembakan beruntun, pasukan

yang ada di Kentengsari membuat siasat membujur dari kelurahan

sampai ke kuburan yang memanjang dari sebelah timur hingga barat

gligir/punggung gunung, karena perbatasan dilalui oleh sungai kecil

dan kedudukan desa sama-sama di punggung gunung yang dibatasi

jurang.

Pasukan Belanda terlihat jelas dari Kentengsari dengan iring-

iringan membawa semua laki-laki untuk tawanan. Kasiran dan

seorang anak buah Letnan Kliwon diperintahkan oleh Goenawan

untuk menyelidiki dan menghubungi pasukan yang berada di sebelah

atas Pasar Selopampang agar pasukan TP dan anak buah Kliwon bisa

mengambil siasat. Akan tetapi sebenarnya pasukan TP di

Selopampang sudah lebih dahulu tahu dan mengadakan patroli.

Kasiran dan anak buah Kliwon terlanjur masuk ke daerah pasar

Selopampang. Keberadaan mereka diketahui patroli Belanda yang

telah terlebih dahulu datang dan menempati pos yang lokasinya lebih

tinggi. Belanda menyergap Kasiran dan anak buah Kliwon untuk

dimintai keterangan tentang pasukan gerilya. Akhirnya terjadi

pergulatan sengit antara Kasiran dengan KNIL Belanda. Kasiran tidak

bersenjata, karena bukan anggota pasukan melainkan tenaga logistik.

Tetapi karena adanya rencana penyerangan ke kota malam itu, maka

turut dan diberi tugas sebagai seko ke Selopampang. Dalam pergulatan

72

yang tidak seimbang, Kasiran tertembak di tangan kanan akibat

tangkisan dan menembus kepalanya. Sedangkan anak buah Kliwon

lari ke pangkalan Kentengsari dan melaporkan kejadian tersebut

kepada Komandan Soetarto.

Sebenarnya pasukan yang ada di Kentengsari akan

mengadakan serangan balasan, akan tetapi diurungkan dengan

pertimbangan menghindari korban dari rakyat. Kejadian yang paling

menjengkelkan adalah sewaktu melihat patroli Belanda yang

membawa tawanan wanita dan memperkosanya di Langgar sebelah

atas desa Selopampang.

Patroli Belanda kembali ke Temanggung melalui Desa

Gambasan Tembarak pukul 14.00 wib dan dihadang oleh pasukan

Soekri, jumlah korban tidak diketahui. Setelah Belanda pergi, jenasah

Kasiran diambil dan dikebumikan di Kentengsari. S. Hadhy

ditugaskan untuk mengurus pemakaman dan mengucapkan

terimakasih kepada rakyat Kentengsari atas bantuannya mengambil

jenasah Kasiran.

f. Serangan TP ke Bantir markas Belanda Soemowono pimpinan

Soetarto

Kira-kira bulan Mei 1949, pasukan TP dipimpin langsung

oleh Soetarto merencanakan penyerangan ke markas Belanda di Bantir

Soemowono yang masuk wilayah kabupaten Semarang dengan

kekuatan satu batalyon. Berangkat dari Kandangan menuju Kaloran

73

melalui Rowoseneng, Rowobrebet, Alas Sapu Angin dan beristirahat

di Kaloran selama satu hari. Pada malam hari berangkat menuju

Soemowono melalui Kalimanggis, Nglamuk, Ngoho yang merupakan

desa tertinggi dan merupakan perbatasan kabupaten Temanggung

dengan kabupaten Semarang. Pertempuran dimulai dengan

penghancuran Jembatan Nglayan oleh tentara TP, sehingga meletuslah

pertempuran dengan Belanda di Bantir. Namun, karena pasukan TP

belum mengusai medan apalagi malam hari dan kekuatan yang

dimiliki tidak sebanding dengan musuh, maka untuk menghindari

korban yang lebih banyak, pasukan TP mengundurkan diri ke

Kaloran.

Ternyata rencana pengunduran diri ke Kaloran diketahui

pihak Belanda. Melalui komunikasi radio berita pengunduran TP dari

Sumowono menuju Temanggung diteruskan ke pasukan Belanda di

Temanggung. Pasukan Belanda dari Temanggung menghadang sisa-

sisa anggota TP yang mengundurkan diri. Kondisi pasukan TP

kelelahan dan tidak menguntungkan, tercerai berai dan terpencar

masuk ke hutan dan ladang-ladang.

Dampak dari pertempuran Bantir Sumowono menyebabkan

turunnya moril Belanda karena keberhasilan TP menghancurkan

beberapa jembatan dan memutuskan kawat telepon. Dipihak pasukan

TP, banyak anggotanya yang ditawan Belanda. Pada serangan Bantir

74

turut ambil bagian juga pasukan lain seperti CPM pimpinan Kartono,

PGR (Pasukan Gerilya Rakyat) Ronggo Kondang Kaloran.

Kekuatan kesatuan TP semakin lama semakin bertambah dengan

pengalaman dan sepakterjang di lapangan yang semakin sering untuk

menghadapi Belanda. Daerah operasionalnya semakin meluas meliputi

seluruh wilayah kabupaten Temanggung. Selain melakukan pertempuran,

sebagai komandan TP Soetarto juga membuat kebijakan yang menyulitkan

pihak Belanda. Pertama, pasukan Soetarto melakukan Gerakan Politik dan

Ekonomi (Gapolek). Yaitu melakukan blokade politik dan ekonomi

dengan cara mencegah warga desa agar tidak menjual hasil panen serta

tidak berhubungan dengan Belanda. Gerakan ini diserahkan sepenuhnya

kepada Marsono dan Goenawan. Kedua, Tentara Pelajar dengan dukungan

penuh pasukan yang tergabung dalam TNI , melakukan operasi

pembersihan mata-mata (Bekti, 2012:60-61).

2. Bantuan Rakyat Temanggung

Rakyat yang menyadari hakekat kedaulatan bernegara, merdeka

dan bebas dari jajahan ikut berjuang bersama tentara republik yang

bertahan di kantong-kantong gerilya dan pemerintahan dalam

pengungsian. Bantuan dari rakyat sangat besar, tanpa mereka pasukan

tentara republik tidak mampu berbuat banyak. Bantuan rakyat itu

merupakan suatu komponen (satu subsistem) dan selanjutnya dipadukan

dengan komponen tentara (subsistem yang lain), sehingga subsistem-

subsistem itu berkembang menjadi sistem pertahanan rakyat yang kukuh.

75

Hal itu semula dianggap sepele oleh Belanda yang terlalu berfikir

konvensional dan kurang memperhitungkan hal tersebut. Dengan bertolak

dari sistem pertahanan rakyat, TNI dapat merebut dan memelihara inisiatif

dalam perlawanan gerilyanya serta tumbuh semakin kuat dan tidak mudah

dihancurkan (Himawan, 2006:324).

Pasukan TNI dan pejuang Temanggung secara gencar menyerang

garis perhubungan, garis logistik, pos, dan patroli Belanda. Bantuan yang

diberikan penduduk berupa makanan, intelijen, petunjuk-petunjuk jalan,

kurir, pasukan territorial ―pager desa‖, dan early warning system (sistem

peringatan dini) apabila ada gerakan pasukan Belanda. Bantuan-bantuan

itu memungkinkan pasukan gerilya semakin mengembangkan inisiatif.

Rintangan-rintangan di jalan pendekat yang dipasang rakyat semakin berat

dan semakin sempurna dan terutama taktik gerilya TNI semakin canggih

(Himawan, 2006:341).

a. Rakyat berperan dalam melindungi satuan-satuan TNI ketika mereka

dikejar pasukan musuh. Petani di sawah atau ladang, penggembala

kerbau, anak-anak penyabit rumput, adalah tenaga-tenaga sukarela

bergegas melapor saat melihat gerakan patroli Belanda mendekat ke

tempat-tempat persembunyian tentara republik. Seperti yang

dikisahkan Sulilo SA ketika bersama ketiga rekan pejuangnya saat

berada di daerah Gunung Sumbing. Saat itu Belanda menembakkan

Kanon dari daerah Kranggan ditujukkan ke desa Tlilir kecamatan

Tembarak. Susilo SA dan ketiga rekannya bersepakat untuk turun dan

76

bergabung dengan rekan-rekan TP mereka di Kandangan. Sekitar

pukul 16.00, turun dari Sumbing ke Kandangan melalui desa

Danupayan menuju ke daerah Kedu. Karena sudah malam, Susilo

meminta ketiga rekannya ikut bermalam di Makukuhan rumah Susilo,

tetapi ditolak. Perjalanan kembali dilanjutkan, pada malam hari

sampai di desa Gondangwayang dan beristirahat di masjid.

Pagi hari, Belanda mengadakan patroli ke Kedu dan sekitarnya. Susilo

SA bersama tujuh orang penduduk ditangkap dan dibawa ke kantor

kelurahan Kedu. Ketika Lurah Kedu diminta konfirmasi tentang

keberadaan Susilo di desanya, mengatakan bahwa Susilo SA adalah

anaknya yang masih bersekolah. Susilo dilepas oleh Belanda, tetapi

nasib ketujuh orang lainnya tidak diketahui (Asiatno, 2008: 97-98)

b. Penduduk Temanggung dengan suka rela membantu tentara dengan

menyediakan dapur umum dan tempat menginap. Mantan Lurah

Medari, Ngadirejo, Sudarman (almarhum) mengatakan sangat malu

apabila harus menjual beras hasil panen kepada tentara. Menurut

Sudarman, di awal 1949, hasil panen musim hujan di Medari dan

Ngadirejo pada umumnya sangat bagus. Apalagi, kehadiran satuan

TNI di satu desa tidak cukup lama. Dua tiga hari, setelah beristirahat,

mereka bergerak, dan datang kembali setelah sekian pekan. Dengan

begitu, sumbangan untuk tentara tidak memberatkan rakyat. Apabila

tentara meminta masakan spesial, seperti sate kambing, mereka

membelinya dengan ORI (Husni, 2008:275).

77

c. Keramahtamahan dan bantuan dari rakyat juga dirasakan istri Letkol

A. Yani ketika ikut mengungsi ke daerah Tembarak, Temanggung.

Perjalanan yang cukup berat karena membawa dua puteri dan seorang

bayi. Tapi, merasa selalu dibantu penduduk desa di sepanjang

perjalanan. Bahkan, ketika beristirahat di Desa Mantenan, Tembarak,

warga menyiapkan tempat tinggal yang dianggap layak untuk istri

komandan tanpa dipungut biaya. Ketika tentara Belanda datang

mencari keluarga Letkol A. Yani, tidak ada penduduk desa yang

berbicara, meski diancam dengan laras senapan (Husni, 2008:275).

d. Komunikasi antara kesatuan-kesatuan dan pemerintah dilakukan

dengan jasa kurir seorang rakyat dengan berjalan kaki karena mereka

ada di gunung, sedangkan di daerah pinggiran sering dilewati patroli

Belanda. Hubungan ini bisa dilakukan secara langsung maupun

tundan. Ada juga penghubung yang berada di dalam pendudukan

Belanda (di kota), yang juga sering memberi bantuan obat-obatan, alat

tulis kantor, serta beberapa informasi kekuatan Belanda. Beberapa

sukarelawan yang rutin memberikan batuan material di Temanggung

yaitu Thomas dan istrinya (guru SMP Negeri Temanggung), Asisten

Suparman, Dokter Said, Kepala Polisi Sardjo (Bekti, 2012: 68).

Diluar bantuan tenaga, support moril, pasokan bahan pangan, dan

perlindungan fisik, sumbangan yang tidak ternilai dari rakyat Temanggung

adalah rakyat rela mempersembahkan putra-putri terbaik mereka untuk

perjuangan mempertahankan kemerdekaan (Husni, 2008:276).

78

3. Tragedi Kali Progo

Kejahatan Perang oleh Belanda terjadi hampir di setiap tempat

yang diduduki, termasuk di Kabupaten Temanggung. Tidak sedikit warga

Temanggung yang bekerja sebagai mata-mata tentara pendudukan.

Motifnya macam-macam, ada yang tergiur iming-iming bahwa kalau TNI

dan RI berhasil dimusnahkan secara militer oleh serdadu NICA, kelak

akan mendapat kedudukan dalam Negara Indonesia Serikat (NIS). Ada

pula yang melakukan secara terpaksa, karena satu atau beberapa anggota

keluarga ditahan dan diancam akan dibunuh apabila tidak mau menunjuk

orang atau kelompok yang terkait dengan kelompok pejuang. Hal paling

jahat adalah mereka yang memberikan info (yang mungkin juga asal-

asalan) karena motif ekonomi. Tidak heran bila banyak rakyat tidak

berdosa menjadi korban.

Pejuang atau rakyat yang ditangkap oleh militer Belanda

umumnya digelandang ke Gedung Inlichtingen Veiligheids Groep

(IVG/Badan Penyelidik Pemerintah Militer Belanda). Di Gedung IVG

tahanan diinterogasi dan disiksa. Sebagian besar diangkut ke jembatan

Progo, Kranggan kemudian dieksekusi. Eksekusi dilakukan dengan

tembakan, dan tusukan bayonet. Setelah rebah tidak berdaya tubuhnya

ditendang agar jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Kekejaman

pasukan Belanda mulai dilakukan sehari setelah Belanda menduduki

Temanggung.

79

Berdasarkan kesaksian Moh Dimyati (Bekti, 2012:13), ruang

penahanan yang tidak luas, dijejali oleh sekitar 40 orang. Kondisi tahanan

sangat memprihatinkan karena adanya siksaan yang luar biasa serta

keadaan ruang tahanan yang kotor. Bahkan pada malam hari, kebutuhan

biologis buang air kecil dan besar dilakukan di tempat yang sama.

Komandan IVG adalah Letnan Van Der Zee. Mereka melakukan

penangkapan terhadap warga yang dicurigai sebagai pemberontak, dalam

melakukan aksinya Letnan Van Der Zee mendapat dukungan dan bantuan

penuh dari seseorang yang bernama Go In Liem. Selain Go In Liem, ada

juga beberapa mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap dan dihukum,

diantaranya:

a. Mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap di daerah Banaran Bulu,

sebanyak lima orang. Setelah diintrogasi mereka terbukti positif

sebagai mata-mata dan dieksekusi oleh Soetarto.

b. Setelah serangan di Gowak, berhasil menangkap seorang pria. Ketika

malam hari diintrogasi oleh Kapten Wignya, Marsono, dan S. Hadli,

ternyata berasal dari Pasar Kidul Temanggung dan positif sebagai

mata-mata Belanda. Akhirnya dieksekusi oleh Yacob Marsono.

c. Januari 1949, ketika banyak pertempuran di daerah Kedu tentara

berhasil menangkap tiga orang mata-mata Belanda yang akhirnya

dipenggal dan kepalanya di letakkan di tiga tempat berbeda yaitu di

Pasar Kedu, Pasar Bulu, dan Pasar Ngelo Kedu.

80

Tindakan untuk membunuh para mata-mata tersebut merupakan

tindakan yang wajar di masa perang karena begitu banyak kerugian

republik karena mereka, diantaranya adalah tragedi yang terjadi di Kali

Progo. beberapa kisah pembataian Kali Progo antara lain:

a. Mayor Sarno Samsiatmojo

Salah satu korban pembantaian di jembatan Kali Progo

adalah Mayor Sarno Samsiatmojo. Mantan (salah satu) komandan

batalyon pada resimen 9 divisi III Diponegoro yang dilikuidasi setelah

program reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Awal tahun 1949, satuan-

satuan tentara Belanda datang ke rumah orang tua Sarno Samsiatmojo

di Desa Nglarangan, Kedu. Pasukan mengambil posisi mengepung

dengan senjata terkokang. Sarno Samsiatmojo tidak melakukan

perlawanan ketika ditangkap dan dibawa ke atas truk. Bukan saja

tidak bersenjata, tapi Sarno khawatir perlawanannya akan

membahayakan anggota keluarga. Sejak itulah Mayor Sarno

Samsiatmodjo tidak pernah kembali ke keluarganya. Masyarakat

Temanggung percaya bahwa Mayor Sarno Samsiatmodjo termasuk

salah satu korban, yang dieksekusi di Jembatan Sungai Progo,

Kranggan.

b. Sukomiharjo (Suko)

Salah satu korban yang lolos dari maut di Kali Progo adalah

Sukomiharjo (Suko), pria asal Kowangan, Temanggung. Suko adalah

salah satu pemuda yang menjadi perangkat Desa Kowangan. Seperti

81

penduduk desa lainnya, warga Kowangan juga siap membantu

pasukan TNI di medan gerilya dengan membangun dapur umum.

Suko mendapat tugas membawa ransum untuk anggota TNI, yang saat

itu sedang bermarkas di seberang Progo tidak jauh dari Desa

Walitelon. Sambil mengantar makanan, Suko melaporkan situasi

Temanggung kepada para pemimpin tentara. Kegiatan Suko diketahui

oleh Belanda. Suatu siang Suko ditangkap oleh tentara Belanda dan

dibawa ke kamp tawanan di Temanggung. Empat hari empat malam

Suko mengalami siksaan hebat. Karena dianggap tidak berbahaya,

Suko mendapat kepercayaan sebagai koordinator tahanan. Tidak perlu

waktu lama bagi Suko untuk memahami satu hal bahwa para tahanan

yang digunduli rambutnya, pada esok hari dibawa dengan traktor

keluar kamp dan tidak pernah kembali. Suko juga menyimpulkan,

mereka dibunuh di Kali Progo.

Kisah eksekusi di Kali Progo sudah merebak sebelum Suko

ditangkap. Setiap kali mendapati ada tawanan yang digunduli, Suko

membantu agar kabur meloloskan diri malam itu juga. Beberapa

tawanan berhasil lolos. Akhirnya Belanda mengetahui sepak terjang

Suko. Suatu hari Suko digunduli dan tidak bisa mendapatkan

kesempatan untuk kabur. Sekitar pukul 16.00 WIB, bersama tiga

tawanan lain, Suko diangkut dengan traktor ke arah Jembatan Progo di

Kranggan. Keempat tawanan disuruh berdiri berjejer kemudian

pasukan Belanda menembak meresa satu-persatu, pada suara

82

tembakan yang kedua Suko menjatuhkan diri ke sungai, dari

ketinggian sekitar 15 meter. Suko berpegangan pada salah satu

jenasah korban agar tidak tenggelam dan akhirnya selamat. Setelah

suasana aman baru Suko kembali ke Kowangan (wartawan Wedy

Utomo, laporan Harian Tempo, Koran Semarang Desember 1964).

c. Tjiptodarsono

Tjiptodarsono ditahan karena ketahuan sebagai anggota

Brigade XVII Tentara Pelajar (TP) yang beroperasi di Temanggung.

Sebagai anggota TP, Tjiptodarsono bersama teman-temannya sering

menghadang patroli-patroli tentara Belanda di sekitar Temanggung.

Suatu kali Tjipto tertangkap dan ditawan. Dalam penuturannya ke

Harian Tempo, Tjipto mengatakan terus bungkam ketika diinterogasi.

Begitu marahnya para serdadu Belanda sampai kedua kaki dan

tangannya Tjipto diikat dengan tali yang kemudian ditarik ke arah

empat sudut. Siksaan dimulai, Tjipto dipukul, dicambuk dan dicocok

dengan api. Beruntung Tjipto berhasil lolos dari kamp tersebut dan

bergabung kembali bersama pasuka TP (Husni, 2008;285).

d. Moh. Sholeh

Moh. Sholeh sempat menjabat sebagai sekretaris OPI yang

mengkoordinator wilayah ODM Kedu, Kandangan dan Jumo. Pagi

hari tanggal 2 Februari 1949, setelah pengacauan semalam di stasiun

kereta api di kampung Banyuurip oleh pasukan gabungan Tentara dan

83

TP, Moh. Sholeh berada di desa Kedungumpul (Kandangan) untuk

melakukan persiapan menyambut rekan-rekannya.

Di sebuah warung, sekitar pukul 06.30 WIB, tiba-tiba datang

seseorang yang menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Moh.

Sholeh. Tanpa curiga Moh. Sholeh mengatakan sedang menunggu

teman-temannya. Orang itu kemudian berlalu ke arah Kedu. Setelah

lama menunggu dan belum ada yang datang, Moh. Sholeh bersama

dengan ajudannya Marsono dan Lurah Kedungumpul berencana

menyusul ke Walitelon. Di perjalan, mereka dicegat dan dikepung

pasukan Belanda. Mereka sempat melarikan diri di bawah

berondongan tembakan. Di desa Ngebel, Moh. Sholeh sempat

membuang pistolnya ke sebuah sumur.

Sesaat kemudian Moh. Sholeh dan Marsono tertangkap

pasukan Belanda, sedang Lurah Kedungumpul sempat melarikan diri

dan masuk perkampungan. Saat ditangkap, Marsono masih membawa

granat. Mereka berdua akhirnya dibawa ke Temanggung melalui

Kedu-Parakan-Bulu. Disepanjang jalan mereka disiksa. Sesampainya

di Temanggung, mereka dimasukkan di sebuah sel di IVG. Di dalam

ruangan sel penuh terisi, diantaranya ada anggota pasukan Siliwangi,

ALRI dan beberapa rakyat yang dicurigai sebagai pemberontak.

Pada malam hari, penyiksaan terhadap tahanan dilakukan.

Tahanan dipanggil satu persatu, disiksa dengan berbagai cara, dan

kemudian dikembalikan lagi ke sel. Beberapa tahanan itu setelah

84

disiksa ada yang dibawa pergi untuk dieksekusi di Kali Progo. pada

malam kedua tanggal 3 Februari 1949, Moh. Sholeh mendapat giliran

untuk diintrogasi. Pengintrogasinya adalah tentara KNIL bernama

Luluk dibantu oleh Po Ang Tjui (pasukan keamanan semacam hansip

yang terdiri dari orang-orang keturunan Cina). Interogator, orang-

orang Po tidak segan-segan melakukan penyiksaan. Setelah tidak

berdaya, Moh. Sholeh kembali dimasukkan di tahanan.

Pada saat yang bersamaan dengan Moh. Sholeh diinterogasi,

Marsono juga diperiksa. Dari Marsono diketahui bahwa Moh. Sholeh

adalah sekretaris OPI. Selain itu, akibat penyiksaan, Marsono juga

sempat memberitahukan markas-markas ODM. Tidak lama kemudian

Kapten Soekendro, komado ODM di desa Walitelon ditangkap dan

dibawa ke IVG untuk disiksa. Dari keterangan Kapten Soekendro,

pihak KNIL mengetahui susunan OPI, dimana Moh. Sholeh

berkedudukan sebagai sekretaris.

Tanggal 4 Februari 1949, Moh. Sholeh kembali dipanggil di

ruangan khusus. Interogasi kali ini dilakukan dengan lebih kejam.

Moh. Sholeh digantung dengan kaki diatas. Kayu pemukul yang

disiapkan Po Ang Tjui siap memukulnya bila jawaban yang diberikan

tidak sesuai dengan yang diharapkan KNIL. Pertanyaan dipusatkan

pada letak markas para pejuang. Akhirnya KNIL menyerah karena

tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tubuh Moh. Sholeh

harus digotong ke ruang tahanan karena pingsan. Tetapi sebelum

85

pingsan Moh. Sholeh sempat berkata kalau ingin memburu pejuang,

cari saja di kawasan Sindoro-Sumbing.

Hari keempat Moh. Sholeh menempati IVG, ia tidak

diinterogasi lagi. Hari itu, banyak tahanan yang dibawa pergi dan

tidak kembali lagi. Sehingga pada tanggal 5 Februari 1949, tertinggal

8 orang tahanan saja. 9 Februari 1949, pukul 01.00 WIB, Moh. Sholeh

dibangunkan dari tidurnya. Dia diseret dan dimasukkan ke dalam

mobil oleh dua orang. Berdesakan dengan tujuh orang tahanan lain,

mereka diikat tangannya dan diangkut ke Jembatan Progo. Ketika

proses eksekusi sampai pada giliran Moh. Sholeh, dia meminta

kesempatan untuk berdoa, dan diijinkan. Tetapi ditengah-tengah dia

berdoa muncul niat nekat untuk terjun ke sungai yang sedang banjir.

Pasukan pengeksekusi terkejut melihat aksi nekat Moh. Sholeh dan

menembaki dari atas jembatan. Moh. Sholeh berhasil selamat di

sekitar desa Plumbon.

Menurut Moh. Sholeh, korban pembantaian jumlahnya

mencapai ribuan orang. Moh. Sholeh sendiri pada waktu itu mendapat

nomor urut 1390 dan masih banyak lagi korban-korban pembantaian

di Kali Progo setelah dirinya.

Teror di atas Jembatan Progo, Kranggan berlangsung sepanjang

masa perang 1949. Bengkal dan Plumbon, desa di sebelah hulu, sekitar 3-4

km dari Jembatan Progo adalah tempat dimana jasad para korban sering

terdampar di tepian sungai. Warga Plumbon dan Bengkal sering menemui

86

banyak jenasah yang kondisinya sunguh menyedihkan. Bila jenasah masih

utuh, penduduk desa beramai-ramai memakamkan di pekuburan desa.

Tidak ada catatan resmi tentang jumlah korban tragedi Kali Progo.

E. Temanggung Kembali ke NKRI

Adanya pendekatan antara pihak RI-Belanda-BFO (Bijeenkomstvoor

Federal Overler/pertemuan untuk musyawarah federal) dan atas inisiatif dari

DK PBB, kembali diadakan perundingan antara RI dengan Belanda. Pada

tanggal 17 Mei 1949 tercapai persetujuan antara pihak RI dan Belanda yang

terkenal sebagai persetujuan Roem-Royen dengan pokok-pokok penting

kesepakatan: mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata

untuk menghentikan perang gerilya, perintah penghentian tembak-menembak

ini baru dikeluarkan tanggal 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa, dan

tanggal 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatra atas perintah Presiden

Soekarno dan Wakil Mahkota Belanda; kerja sama dalam pengembalian

perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban; Perundingan KMB di

Den Haag dimaksudkan untuk mempercepat ―penyerahan‖ kedaulatan yang

sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak

syarat; membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin RI dan tahanan

politik yang ditangkap sejak tanggal 19 Desember 1948.

Husni (2008:307) berpendapat perundingan di Den Haag menjadi

front terakhir perjuangan kemerdekaan. Konferensi Meja Bundar Bundar

(KMB) berlangsung pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Pertemuan

ini membahas tiga isu utama, yakni : Piagam penyerahan kedaulatan, Piagam

87

Uni-Nederland dengan segala lampiran persetujuan kedua belah pihak, dan

persetujuan peralihan/perpindahan yang memuat peraturan yang berkaitan

dengan penyerahan kedaulatan. Dan dua tema penting, yakni tentang beban

hutang Pemerintah Hindia Belanda dan integrasi KNIL dalam TNI.

Berdasarkan wawancara dengan Letda. Inf. (Purn) Mundjiat

(wawancara tanggal 18 Februari 2012), keadaan Temanggung selama

berlangsungnya perundingan antara pihak RI dan Belanda, yaitu pada tanggal

1 September 1949 semua pasukan pejuang yang sebelumnya bermarkas di

daerah pegunungan turun dan berkumpul di daerah Kedu. R. Soemarsono

yang pada waktu itu menjabat menjadi Bupati Temanggung juga turut

bermarkas di Kedu. Pada waktu itu Kedu menjadi pusat Kota Temanggung

Republik dari tanggal 1 September s/d 10 November 1949. Pasukan Belanda

yang waktu itu masih menguasai Temanggung hanya boleh berpatroli sampai

pada batas/kring, patroli pasukan Belanda hanya diberi jarak 1 km dari kota,

di luar itu daerah telah menjadi daerah Republik. Pada tanggal 10 November

1949 Belanda meninggalkan kota Temanggung dengan tenang dan tanpa ada

aksi tembak-menembak.

Setelah Belanda meninggalkan Temanggung, pasukan TNI dan

Bupati R. Soemarsono mulai masuk Kota Temanggung. Pada waktu itu

kantor Kabupaten menempati Kantor Jawatan Sosial (RPCM), KDM

menempati Kantor Kabupaten sekarang, sedangkan polisi bertempat di

Gemoh (sekarang asrama polisi). Pasukan TP masih berada di luar kota untuk

menjaga kekacauan, namun akhirnya turut masuk pula ke kota Temanggung

88

sebanyak 1 regu di bawah kompi Tjipto Darsono yang menempati kantor Pos.

Orang-orang sipil yang semula ikut Belanda, akhirnya menyerahkan diri

kepada pemerintahan di Temanggung, setelah pasukan Belanda

meninggalkan Temanggung. Mantan Tentara Pelajar yang turut

mempertahankan kemerdekaan, berjuang dan terpaksa meninggalkan

sekolahnya, sebagian ada yang melanjutkan sekolah dan ada pula yang masuk

ke Akademi Militer.