BAB IV Hasil Dan Pembahasan - Perpustakaan Digital · PDF fileKondisi pIOD menyebabkan...
Transcript of BAB IV Hasil Dan Pembahasan - Perpustakaan Digital · PDF fileKondisi pIOD menyebabkan...
43
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
21-Jan 22-Jan 23-Jan 24-Jan 25-Jan 26-Jan 27-Jan 28-Jan 29-Jan 30-Jan 31-Jan 1-Feb 2-Feb 3-Feb 4-Feb 5-Feb 6-Feb 7-Feb 8-Feb 9-FebHarian
Cur
ah H
ujan
(mm
)
2002 2007 2003 2004
BAB IV Hasil Dan Pembahasan
IV.1 Analisis Prekursor kejadian Curah Hujan Ekstrim
Hujan lebat yang berlangsung berjam-jam untuk daerah yang cukup luas dan
ditambah dengan banjir kiriman yang dibawa oleh sungai di DKI Jakarta terutama
sungai Ciliwung, Pasanggrahan dan Sunter merupakan faktor penyebab banjir.
Faktor pendukung lain adalah kerusakan infrastruktur akibat perubahan topografi
yang terus bertambah, karena DKI Jakarta merupakan daerah urban (Liong et al.,
2004). Perbandingan analisis dinamika atmosfer terbentuknya awan konvektif
sebagai penyebab banjir di DKI Jakarta, sangat penting untuk diteliti mengingat
pola tersebut terjadi pada saat kejadian banjir besar berlangsung.
Gambar IV.1. Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKI-Jakarta tanggal 21 Januari – 9 Februari tahun 2002, 2003, 2004 dan 2007.
Kajian dinamika atmosfer dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis
exploratif data pengamatan iklim. Sebagaimana Gambar IV.1, menunjukan grafik
kejadian curah hujan pada saat banjir tahun 2002, 2003, 2004 dan tahun 2007 di
DKI Jakarta. Curah hujan rata-rata harian di DKI-Jakarta tertingi pada saat banjir
tahun 2002 mencapai 143 mm untuk tanggal 29 Januari 2002, sementara untuk
tahun 2007 curah hujan rata-rata tertinggi mencapai 180 mm tanggal 1 Februari
2007. Curah hujan penyebab banjir tersebut termasuk curah hujan ekstrim, karena
sebagaimana dalam Gambar IV.2 dengan probabilitas di bawah 15% untuk
44
0.01
0.1
1
10
100
0-10 10.-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100>Curah Hujan (mm/hari)
Pro
babi
litas
(%)
periodisitas curah hujan 20 tahunan (tahun 1988-2008). Sebagai bahan
perbandingan untuk tahun 2003 dan 2004 dimana DKI Jakarta mengalami banjir
tahunan, dengan curah hujan sedikit di atas curah hujan normal. Hasil perata-
rataan curah hujan stasiun klimatologi di daerah Jakarta, diasumsikan mewakili
kondisi klimatologi daerah tersebut. Sebelas stasiun pengamatan klimatologi,
meliputi; stasiun BMKG (1060,86! BT, 60,16! LS), Cengkareng (1060,65! BT,
60,11! LS), Ciledug (1060,71! BT, 60,27! LS), Depok (1060,85! BT, 60,39! LS),
Halim (1060,88! BT, 60,28! LS), Pakubuana (1060,78! BT, 60,25! LS), Tanjung
Priok (1060,88! BT, 60,11! LS), Tanggerang (1060,62! BT, 60,18! LS), Tambun
(1070,07! BT, 60,19! LS), Kedoya (1060,75! BT, 60,17! LS) dan Pasar Minggu
(1060,76! BT, 60,27!
Gambar IV.2.Histogram Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKI-Jakarta tahun 1988-2008
Iklim di Benua Maritim Indonesia (BMI) tidak selamanya berada dalam kondisi
normal, ada kalanya terjadi penurunan curah hujan mengakibatkan kekeringan dan
pada saat yang lain mengalami peningkatan curah hujan hingga terjadi banjir.
Perubahan besaran curah hujan sangat berkaitan dengan pola anomali dinamika
awan, yang terjadi disertai perubahan parameter cuaca dalam waktu sesaat dan
anomali iklim untuk jangka waktu yang lama. Perilaku sirkulasi anomali atmosfer
tersebut, ditinjau dari tiga aspek yaitu; faktor perubahan global, regional dan lokal.
LS).
45
IV.1.1 Faktor Perubahan Lokal
IV.1.1.1 Analisis Vektor Angin
Pola pergerakan vektor angin menunjukan adanya rotasi sirkulasi angin (vortex) di
Selatan Pulau Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007.
Fenomena vortex (depresi tropis) dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir
26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007 sebagaimana
Gambar IV.3a, gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah
hujan yang tinggi. Dalam penelitianya Tangang et al., 2008 menyimpulkan bahwa
Borneo vortex merupakan salah satu penyebab terjadinya curah hujan ekstrim di
Peninsular Malaysia tahun 2006/2007 dan diperkuat oleh cold surge serta periode
MJO yang terjadi secara simultan.
Timbulnya pembangkitan vortex skala meso, akibat pusat tekanan rendah di atas
Selat Sunda dan di Samudera Hindia yang mengakibatkan peningkatan instabilitas
angin secara menegak dan menjadi kondisi kondusif sebagai pembentukan awan
cumulus melalui proses konveksi. Sirkulasi siklonik yang konvergen
menyebabkan penumpukkan massa udara dan uap air, sehingga meningkatkan
perawanan. Besarnya curah hujan ada hubungan atau kaitannya dengan pola
streamline, yaitu vortex dan garis konfluensi pada paras 850 mb dan dibarengi
oleh shear antisiklonik pada paras 200 mb dan adanya siklon tropis yang berasal
dari Samudera Pasifik Utara bagian Barat Daya (Prawirowardoyo et al., 1982; Zhi
dan Kun, 2003; Chang et al., 2000; Wang et al., 1993; Hai et al., 2007).
Sebagaimana dalam Gambar IV.3 a fenomena hujan ekstrim di DKI Jakarta
diperkuat oleh kejadian vortex (depresi tropis) tanggal 29 Januari 2002 dan 1
Februari 2007 untuk periode 2002 dan 2007. Pola vortex pada periode tersebut di
atas, mengindikasikan penyebab terjadinya curah hujan ekstrim. Hal ini terlihat
dari pergerakan sirkulasi vektor angin, yang arahnya tegak lurus daerah Jakarta.
Tanpa melihat faktor penyebab karena ditarik oleh vortex atau terdorong oleh
kejadian cold surge, arah vektor angin tersebut mengakibatkan kejadian updraft
yang dapat menimbulkan pertumbuhan awan konvektif. Indikasi pertumbuhan
konvektif terukur pada data infra red (IR 1) dalam Gambar IV.8 a dan IV.8b.
46
29-1-02, 12
1-2-2007,12
Gambar IV.3.a.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m2
m/s
) (shading area) Jakarta 29-1-2002 dan1-2-2007, 12.00 UTC
m/s
kg/m2
kg/m2
47
29-1-2005, 12 UTC
30-1-2006, 12 UTC
Gambar IV.3.b.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m2
m/s
) (shadingarea) Jakarta 29-1-2005 dan 30-1 2006, 12.00 UTC.
m/s
kg/m2
kg/m2
48
Adapun hasil data pengukuran menunjukan kejadian yang sama (vortex)
sebagaimana terlihat pada Gambar IV.3b untuk periode tahun 2005 dan 2006 pada
tanggal 29 Januari 2005 dan 30 Januari 2006 pukul 12.00 UTC, namun tidak
menyebabkan pergerakan vektor angin menjadi tegak lurus. Hal ini tidak
mengakibatkan terjadinya updraft, sehingga tidak terjadi pertumbuhan awan
konvektif yang besar.
IV.1.2. Faktor Perubahan Regional
IV.1.2.1 MJO (Madden Julian Oscillation)
MJO dicirikan oleh adanya perjalanan gugus awan (SCC: super cloud cluster) ke
arah Timur dengan kecepatan 5m/s. Awal pertumbuhan SCC dimulai dari
Samudra Hindia dengan satu periode dalam waktu 40-50 hari, meskipun dalam
beberapa kasus bisa menjadi 30-60 hari. Madden Julian Oscillation (MJO)
memberikan pengaruh kuat terhadap pola curah hujan tropis, dengan periode 1,5
bulanan dan periode yang lebih pendek (intra-musim) ketika pengaruh musim
dominan (Seto, 2004).
Perubahan periodisitas MJO terlihat menuju dominant dari tahun 2002 hingga
tahun 2007, sebagaimana Gambar IV.4. Madden Julian Oscillation (MJO) adalah
sebuah sirkulasi yang memiliki struktur baroklinik sederhana, dicirikan dengan
daerah konveksi kuat dan gerakan vertikal serta berbatasan dengan daerah down
welling dan konveksi tertekan. Adapun cirinya adalah adanya pertumbuhan awan
skala besar dari samudra Hindia menuju samudra Pasifik bagian Barat, karena
pada massa ini MJO sedang mengalami massa aktif, maka akibatnya akan
meningkatkan curah hujan dan menimbulkan angin yang kuat (Wheeler et al.,
2004).
Pola MJO untuk tahun 2002 dan 2007 sebagaimana dalam Gambar IV.4, terlihat
kejadian MJO untuk tahun-tahun dimana DKI Jakarta terjadi banjir besar. Untuk
tahun 2002 bulan Januari-Februari terlihat pola yang aktif dari MJO, sementara
untuk tahun 2007 pada bulan Januari-Februari tidak aktif. Hal tersebut
49
menunjukan bahwa keberadaan MJO tidak menunjukan faktor dominan penyebab
curah hujan ekstrim di DKI-Jakarta (Syamsudin, 2007).
Gambar IV.4. Diagram Hovmoller anomali data OLR tahun 2002 dan 2007. (Sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov)
Jakarta
Jakarta
50
IV.1.2.2 Multivariat ENSO Index (MEI) dan Dipole Mode Index (DMI)
Adanya perubahan gejala alam global lain, yaitu kejadian El Niño ataupun La
Niña makin berkembang. Dari pengamatan data Sea Surface Temperature (SST)
yang dianalisis berdasarkan pengaruh perubahan anomali iklim, diperoleh analisis
bahwa untuk periodisitas El Niño 1991–1994 terpanjang dan El Niño 1997/1998
dengan intensitas terbesar dan tercepat dari kejadian sebelumnya, sebaliknya La
Niña kurang berkembang seperti kondisi sebelumnya. Fenomena di atas,
mengakibatkan perubahan pola angin musim di wilayah Indonesia dan sekitar
sejak tahun 1991 hingga kini. Diduga pola perubahan tersebut akan
mempengaruhi perubahan iklim (Diaz et al., 2001).
Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di
Samudera Hindia, akan menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian
timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang mengakibatkan aliran massa
udara yang berhembus ke barat. Hal ini akan mengakibatkan SST di sekitar pantai
Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan. Perbedaan
SST yang membentuk dua kutub positif dan negatif di Samudera Hindia, disebut
sebagai Dipole Mode Event (DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD).
Seperti halnya El Niño, kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang
diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SST di bagian barat
Samudera Hindia (500 – 700 BT, 100 LS – 100 LU) dan SST di bagian timur
Samudera Hindia (900 – 1100 BT, 100 LS – ekuator). Semakin besar nilai indeks
ini, semakin kuat sinyal IOD dan semakin besar akibat yang ditimbulkan. Jika di
Samudera Pasifik, El Niño memiliki kembarannya yaitu La Niña, maka IOD di
Samudera Hindia juga berpasangan; positif IOD (pIOD) dan negatif IOD (nIOD).
Kondisi pIOD menyebabkan kekeringan (sama halnya dengan El Niño) sementara
nIOD (memiliki sifat yang sama dengan La Niña) akan meningkatkan curah
hujan. Lain halnya dengan El Niño-La Niña yang mencapai puncaknya pada
akhir/awal tahun (Desember–Februari). Evolusi IOD dimulai pada bulan Juni/Juli
dan akan mencapai puncaknya pada bulan September – Oktober. Maka jika terjadi
kombinasi El Niño di Samudera Pasifik dan pIOD di Samudera Hindia, Indonesia
51
1975/1976
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1
DMI
MEI
1995/1996
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4
DMIM
EI
2001/2002
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
-0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
DMI
ME
I
2006/2007
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
-0.5 0 0.5 1 1.5
DMI
ME
I
akan mengalami bencana kekeringan yang sangat parah akibat kemarau yang
berkepanjangan dari bulan Juli hingga Februari tahun berikutnya. Hal ini pernah
kita alami pada tahun 1997/1998 (Tjasyono et al., 2006).
Gambar IV.5. a) MEI vs DMI Juli 1975/ 1976, Juli 1995/1996, Juli 2001/2002 dan Juli 2006/2007 ( = Januari, = Juli data awal tahun)
Sebagaimana Gambar IV.5a. dengan dasar analisis kombinasi Multivariat ENSO
Index (MEI) negatif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling
memperkuat terjadinya fenomena curah hujan ekstrim, maka pola kombinasi
untuk tahun 1975/1976, 1995/1996 dan 2001/2002 akan memenuhi syarat
konsistensi fenomena tersebut. Namun sebagaimana terjadi dari kombinasi MEI
dan DMI khususnya tahun 2006/2007 menjadi tidak lazim, karena kombinasi
tersebut menjadi memperlemah kedudukan DMI yang negatif.
52
2002/2003
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4
DMI
MEI
2003/2004
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
DMI
MEI
2004/2005
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
DMI
MEI
2005/2006
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8
DMI
ME
I
Gambar IV.5. b) MEI vs DMI Juli 2002/2003, Juli 2003/2004, Juli 2004/2005 dan Juli 2005/2006 ( = Januari, = Juli data awal tahun)
Adapun Gambar IV.5b dengan dasar kombinasi Multivariat ENSO Index (MEI)
positif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling memperlemah
sehingga terjadi fenomena tahun-tahun normal, untuk tahun 2002/2003,
2003/2004 dan 2004/2005 masih terpenuhi kondisi tersebut. Namun untuk tahun
2005/2006 hal tersebut menjadi tidak lazim karena kondisi MEI negatif dan DMI
negatif, artinya menjadi anomali untuk kondisi normal.
Dari pola anomali kedua periode di tahun-tahun tersebut, yaitu tahun 2005/2006
dan 2006/2007 kondisi MEI dan DMI mengalami perubahan fasa, sehingga untuk
53
-0.7
-0.5
-0.3
-0.1
0.1
0.3
0.5
1-Jul-75 1-Jan-78 1-Jul-80 1-Jan-83 1-Jul-85 1-Jan-88 1-Jul-90 1-Jan-93 1-Jul-95 1-Jan-98 1-Jul-00 1-Jan-03 1-Jul-05Bulan
(MEI
x 1
0, D
MI
0
100
200
300
400
500
600
700
Cura
h Hu
jan
(mm
/bln
)
MEI DMI CH
analisis kasus curah hujan ekstrim maupun kondisi normal mengindikasikan
kombinasi tersebut menjadi faktor yang tidak dominan (Gambar IV.5c).
Gambar IV.5c. MEI, DMI vs curah hujan (CH) bulan Januari dan Juli tahun 1975-2007 DKI Jakarta (tanda = MEI, DMI CH tahun banjir Jakarta)
IV.1.2.3 Monsun
Monsun didefinisikan sebagai angin yang berubah arah selama setahun atau angin
yang bertiup musiman. Menurut Khromov daerah monsun adalah daerah dengan
angin yang berbalik arah paling sedikit 1200
Gambar IV.6. Analisis spektra wavelet data curah hujan pentad daerah Jakarta tahun 1990-2007.
Beberapa penelitian mengenai pengaruh monsun terhadap variabilitas curah hujan,
dilakukan Chang et al. (2004) analisis curah hujan terhadap aliran monsun dan
topografi di atas Indochina. Hasil penelitianya menunjukan selama musim dingin
terdapat pergerakan vektor angin dekat pantai menuju deretan pegunungan di
sekitar pantai di Viet Nam, Malaysia dan sepanjang sisi Timur Filipina.
Pergerakan vektor angin dekat pantai berkontribusi maksimum pada curah hujan
monsun musim dingin di wilayah ini.
antara bulan Januari dan Juli.
54
Pengetahuan mengenai struktur dan sifat sistem konveksi di daerah monsun dunia,
baik di darat maupun di laut diperoleh dari studi kasus dan kegiatan lapangan
(field campaigns) terbatas. Bukti dari studi ini mengindikasikan karakteristik
sistem konveksi kuat (deep convection) pada bermacam-macam wilayah monsun
mempunyai kemiripan satu sama lain (Houze et al., 1981, Johnson dan Houze,
1987). Adapun untuk wilayah DKI Jakarta yang merupakan wilayah pengaruh
monsun, pada bulan Januari dipengaruhi angin Baratan dengan nilai persistensi
angin sebesar 0,8 sedangkan angin pada bulan Juli dikuasai angin Timuran
(pesistensi anginya sebesar 0,6). Sebagaimana pada Gambar IV.6 terlihat pola
monsun (periodisitas tahunan) dari analisis spektra wavelet data curah hujan DKI
Jakarta tahun 1990 sampai 2007 cukup dominan. Hal tersebut mengindikasikan
pengaruh monsun kurang mendominasi analisis kejadian curah hujan ekstrim,
karena pola monsun tersebut hampir tiap tahun terjadi (Banu dan Suriamiharja,
2004; Tjasyono et al., 2008).
IV.1.3 Faktor Perubahan Global
IV.1.3.1 Indeks Sunspot.
Fenomena curah hujan ekstrim ditinjau dari efek global terlihat pada perubahan
indeks sunspot maksimum untuk hujan ekstrim 2002 dan minimum untuk tahun
2007 (Gambar IV.7a). Ketika aktivitas matahari minimum, akan mengakibatkan
fluks sinar kosmik maksimum yang memungkinkan timbulnya tutupan awan.
Secara fisis akan menghalangi irradiansi masuk ke permukaan dan terjadi
pendinginan, sehingga mempengaruhi curah hujan.
Beberapa penelitian membuktikan adanya keterkaitan antara aktivitas matahari
dan sejumlah unsur iklim di bumi, dengan korelasi yang kuat. Korelasi yang
terjadi misalnya, kaitan antara panjang siklus sunspot dengan suhu permukaan
dalam selang 130 tahun terakhir (Friis dan Lassen, 1991). Kemudian diperkuat
penelitian lain dengan pembuktian secara empirik keterkaitan aktivitas matahari
dengan suhu global, ketinggian atmosfer bertekanan 30 mb dan rata-rata tahunan
suhu permukaan di Belahan Bumi Utara (BBU) (Djamaludin, 2008).