BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1...
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Buhu
Penelitian ini di lakukan di Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo yaitu di
wilayah kerja Puskesmas Buhu yang telah melaksanakan kegiatan klinik sanitasi,
dimana kegiatan ini lebih mengintegrasikan terhadap penyakit-penyakit yang
berbasis lingkungan seperti penyakit ISPA. Berikut ini adalah gambaran secara
umum dari Puskesmas Buhu.
Gambaran Geografi Puskesmas Buhu :
BATAS WILAYAH :
Sebelah Timur : Wilker Puskesmas Limbar
Sebelah Barat : Wilker Puskesmas Pongongaila
Sebelah Utara : Kab. Gorut
Sebelah Selatan : Wilker Puskesmas Global Tibawa
Luas Wilayah : 114,71 Km2
Wilayah Kerja : 5 Desa (Iloponu, Buhu, Ulobua (Desa Sulit), Labanu dan
Motilango)
Karakteristik Wilayah :
- Terdapat pegunungan
- Merupakan daerah aliran sungan (DAS)
42
Gambaran Demografi wilayah kerja Puskesmas Buhu :
Wilyah kerja puskesmas Buhu yaitu memiliki jumlah penduduk 11.725
jiwa. Dengan jumlah penduduk miskin Jamkesmas 5.404 jiwa Jamkesta 310 Jiwa.
Dengan sarana kesehatan yang di miliki yaitu Puskesmas Induk 1 Buah, Pustu 2
Buah dan Polindes 1 buah, Poskesdes 3 Buah, Rumah Dinas 3 Buah. Untuk
ketenagaan wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki tenaga Dokter 1 orang,
Perawat 6 orang, Perawat Gigi 2 orang, Bidan 5 Orang Sanitarian 2 orang
Nutrisions 1 orang, Magang 6 orang dan tenaga Abdi 3 orang.
Gambaran Social Budaya
Sebagian besar penduduk wilayah kerja Puskesmas Buhu beragama Islam dan
bekerja sebagai petani, penduduk di wilayah kerja Puskesmas Buhu sudah bersifat
modern sehingga mereka mengikuti perkembangan zaman terutama adalam
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yaitu sudah lebih mengendalikan
pengobatan medis dari pada pengobatan tradisional. Hal ini terlihat dari
banyaknya masyarakat yang mengunjungi Puskesmas Buhu setiap harinya. Saran
transportasi antar Desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Buhu adalah dengan
menggunakan kendaraan bermotor roda dua,roda tiga maupun roda empat.
4.1.2 Hasil Analisis Univariat
Dalam penelitian ini yang menjadi subyek utama dalam penelitian yaitu
masyarakat yang datang dan berobat di puskesmas dan di nyatakan oleh petugas
medis sebagai penderita ISPA yang berada di wilayah kerja Puskesmas Buhu
Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo dimana keseluruhan penderita ISPA
yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas ini merupakan sampel penelitian dengan
43
jumlah 76 orang, dimana penderita tersebut tersebar dalam 5 Desa yaitu di Desa
Motilango, Labanu, Ulobua, Buhu, dan Iloponu.
Analisis univariat yang dilakukan meliputi data umum responden yaitu umur,
jenis kelamin, jenis pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Untuk data sanitasi
dasar meliputi tipe rumah, keadaan luas ventilasi, kamarisasi dan kepadatan hunian.
Data Umum Responden
1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Distribusi responden berdasarkan umur di wilayah kerja puskesmas Buhu
dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur
No Golongan Umur Jumlah
(Tahun) N %
1 19-24 3 3.9
2 25-30 29 38.2
3 31-36 15 19.7
4 37-42 6 7.9
5 43-48 14 18.4
6 49-54 5 6.6
7 55-60 4 5.3
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.1 diatas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu
responden yang berumur 25-30 tahun sebanyak 29 orang atau (38.2%) pada
golongan umur ini merupakan golongan umur responden terbanyak dari
keseluruhan sampel yaitu sejumlah 76 responden dan untuk golongan umur yang
terendah yaitu yang berumur 19-24 tahun sebanyak 3 orang atau (3.9%).
44
2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja puskesmas
Buhu dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini :
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
n %
1 Perempuan 51 67.1
2 Laki-laki 25 32.9
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat terlihat bahwa di wilayah kerja puskesmas
Buhu jumlah responden perempuan terbanyak yaitu sejumlah 51 orang atau
(67.1%) dari jumlah keseluran responden yaitu berjumlah 76 orang, dan kemudian
untuk jumlah responden laki-laki sebanyak 25 orang atau (32.9%).
3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan di wilayah kerja puskesmas
Buhu dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini :
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah
n %
1 IRT 43 56.6
2 Pedagang 11 14.5
3 Petani 20 26.3
4 Wiraswasta 2 2.6
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas terlihat jelas bahwa di wilayah kerja puskesmas
Buhu untuk jenis pekerjaan yang tertinggi adalah jenis pekerjaan Ibu Rumah
45
Tangga sebesar 43 orang atau (56.6%), dan jenis pekerjaan sebagai wiraswasta
yang terendah yaitu sebanyak 2 orang atau (2.6%).
4. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga
Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga di wilayah
kerja puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini :
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jumlah Anggota Rumah
Tangga
No Jumlah Anggota RT Jumlah
n %
1 1-4 org 44 57.9
2 5-8 org 29 38.2
3 >8 org 3 3.9
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat di lihat bahwa diwilayah kerja puskesmas
Buhu jumlah anggota rumah tangga yang tertinggi adalah 1-4 orang yaitu
sebanyak 44 responden atau (57.9%), dan untuk jumlah anggota rumah tangga
yang terendah yaitu jumlah anggota rumah tangga lebih dari 8 orang sebanyak 3
responden atau (3.9%).
Data Sanitasi Dasar
5. Distribusi Responden Berdasarkan Tipe Rumah
Distribusi responden berdasarkan tipe rumah di wilayah kerja puskesmas
Buhu dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini :
46
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Menrut Tipe Rumah
No Tipe Rumah Jumlah
n %
1 Permanen 18 23.7
2 Semi Permanen 34 44.7
3 Non Permanen 24 31.6
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.5 di atas terlihat jelas bahwa di wilayah kerja puskesmas
Buhu jumlah tipe rumah yang terbanyak yang di huni yaitu tipe rumah non
permanen sebanyak 24 rumah atau (31.6%), dan yang tipe rumah yang terendah
yang dihuni yaitu tipe rumah permanen sebanyak 18 rumah atau (23.7%).
6. Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Ventilasi
Distribusi responden berdasarkan keadaan luas ventilasi di wilayah kerja
puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.6 di bawah ini :
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Luas Ventilasi
No Ventilasi Rumah Jumlah
n %
1 Memenuhi syarat 40 67.8
2 Tidak Memenuhi Syarat 19 32.2
Total (N) 59 100
Berdasarkan tabel 4.6 di atas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu
keadaan ventilasi responden yang memenuhi syarat sebanyak 40 rumah atau
(67.8%) sedangkan untuk ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 19 rumah atau (32.2%).
47
7. Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Kamarisasi
Distribusi responden berdasarkan keadaan kamarisasi di wilayah kerja
puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.7 di bawah ini :
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kamarisasi
No Kamarisasi Rumah Jumlah
n %
1 Memenuhi syarat 34 44.7
2 Tidak Memenuhi Syarat 42 55.3
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.7 di atas bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu
keadaan kamarisasi responden yang memenuhi syarat sebanyak 34 atau
(44.7%),dan untuk keadaan kamarisasi responden yang tidak memenuhi syarat
sebanyak 42 rumah atau (55.3%).
8. Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Penghuni
Distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian di wilayah kerja
puskesmas Buhu dapat dilihat pada tabel 4.8 di bawah ini :
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kepadatan Hunian
No Kepadatan Hunian Jumlah
n %
1 Memenuhi syarat 31 40.8
2 Tidak Memenuhi Syarat 45 59.2
Total (N) 76 100
Berdasarkan tabel 4.8 di atas terlihat bahwa di wilayah kerja puskesmas Buhu
kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 31 rumah atau (40.8%) dan
48
untuk kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sebanyak 45 rumah atau
(59.2%).
4.1.3 Pembahasan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Pelaksanaan
Klinik Sanitasi Dengan Kejadian Penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas
Buhu. Berdasarkan hasil analisis Univariat yang telah dilakukan terhadap 76
responden pembahasannya sebagai berikut:
1. Umur
Di wilayah kerja puskesmas Buhu jumlah penderita ISPA pada tahun 2012
berdasarkan data yang di dapatkan tercatat bahwa golongan umur yang terbanyak
sebagai penderita ISPA yaitu pada golongan umur 20-44 tahun sebanyak 371
untuk golongan umur 45 tahun sampai dengan lebih dari 70 tahun sebanyak 275
penderita. Pada tahun berjalan 2013 jumlah penderita ISPA yang tercatat dalam
wilayah kerja puskesmas Buhu yaitu pada golongan umur 23-58 tahun sebanyak
76 penderita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan bahwa untuk
golongan umur terbanyak sebagai responden yaitu 25-30 tahun atau (38.2%). Hal
ini merupakan kelompok umur dewasa awal. Berdasarkan hasil penelitian oleh
Agung, 2006 kejadian penyakit ISPA sangat erat kaitannya dengan umur, umur
merupakan determinan untuk terjadinya penyakit ISPA resiko terkena penyakit
ini pada usia awal muda yaitu sebesar 2.56 kali lebih besar dari pada usia dewasa
lanjut ataupun lansia. Pada golongan umur ini sangat rentan untuk terkena
penyakit ISPA, karena jika di lihat dari kebiasaan umumnya pada laki-laki
kebiasaan mereka untuk merokok merupakan salah satu penyebab terkena
49
penyakit ISPA, sedangkan pada perempuan terpapar langsung oleh kepulan asap
dapur.
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan data yang di dapat terdahulu bahwa jumlah penderita ISPA pada
tahun 2012 yang terbanyak yaitu jenis kelamin perempuan sebanyak 538
penderita dan laki-laki sebanyak 412 penderita. Sedangkan untuk jumlah
penderita ISPA pada tahun berjalan 2013 jenis kelamin perempuan sebanyak 55
penderita (67.1%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (32.9%). Dengan jumlah
penderita ISPA yang lebih banyak perempuan Hal ini di sebabkan karena
perempuan merupakan pekerja rumah tangga yang setiap harinya berada
dilingkungan dapur untuk memasak dan memungkinkan selalu terpapar dengan
asap , seperti yang di tegaskan dalam (Aswan, 2008) apalagi kegiatan memasak
dengan menggunakan bahan bakar biomassa yang menghasilkan polutan udara
yang secara langsung dapat berbahaya dari saluran pernafasan untuk kaum
perempuan.
3. Pekerjaan
Wilayah kerja Puskesmas Buhu sebagian besar penduduknya merupakan
petani, jenis pekerjaan berkaitan erat dengan tingkat ekonomi pendapatan dari
masyarakat itu sendiri, untuk itu status ekonomi juga dapat mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang di sajikan dalam tabel
distribusi frekuensi bahwa sebagian responden berjenis kelamin perempuan 51
orang (67%) dan jenis kelamin laki-laki 25 orang (33%). Mayoritas responden
dengan jenis pekerjaan IRT 43 orang (56.6%), petani 20 orang (26.3%) yang
50
dimaksud dengan petani disini yaitu petani kebun yang mayoritasnya menanami
jagung dan juga buah yaitu pepaya dan pisang, sedangkan yang bekerja sebagai
pedagang 11 orang (14.5%) dan sebagai wiraswasta sebanyak 2 orang (2.6%).
Dengan jenis pekerjaan IRT yang terbanyak responden penderita ISPA hal ini di
karenakan kaum ibu ataupun perempuan merupakan pekerja semua urusan rumah
tangga, mereka sering terpapar oleh asap dari kegiatan mereka ketika memasak,
berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan hampir sebagian rumah letak
dapurnya tidak memiliki lubang tempat keluarnya asap dari hasil kegiatan
memasak, sehingga asap-asap yang di hasilkan menyebar keruangan lainnya yang
dapat membahayakan kesehatan bagi penghuni dalam rumah utamanya pada
saluran pernafasan. (Aswan, 2008) menyatakan bahwa Bila letak dapur yang
sering di pergunakan oleh ibu rumah tangga dalam kegiatan memasak tidak
memenuhi syarat maka dapat terjadi akumulasi polutan dalam ruangan dapur dan
penyebaran polutan tersebut ke ruangan lainnya dalam rumah sehingga
menimbulkan paparan bagi penghuni rumah. Polutan udara tersebut mengandung
beberapa zat yang bersifat merusak sistem pertahanan saluran pernapasan
sehingga memperbesar risiko bagi penghuninya untuk menderita ISPA.
4. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit,
jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah melebihi dari
besarnya rasio ruangan rumah. Berdasarkan hasil penelitian bahwa jumlah
anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah sebagian besar yaitu terdiri
dari 1-4 orang dengan jumlah 44 responden (57.9%), sedangkan jumlah anggota
51
rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dengan jumlah 5-8 orang sebanyak
29 responden atau (38.2%), kemudian jumlah anggota rumah tangga yang tinggal
dalam satu rumah dengan jumlah lebih dari 8 orang sebanyak 3 responden atau
(3.9%) dimana masing-masing terdiri dari 9,10 sampai dengan 11 orang dalam
satu rumah dalam hal ini jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu
rumah jika sudah lebih dari 3 atau 4 orang maka tingkat kepadatan hunian sudah
tidak memenuhi syarat kesehatan, karena anggota rumah tangga lainnya sudah
tidak memeliki ruang gerak lagi, dan juga dapat berpotensi besar dalam
menularkan penyakit terhadap anggota rumah lainnya. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan bahwa rumah yang memiliki tingkat kepadatan hunian yang
lebih dalam satu rumah mereka terdiri dari 2-3 rumah tangga yang juga di
dalamnya terdapat bayi dan juga balita, Jumlah anggota rumah tangga yang
melebihi dari standar kesehatan sama dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Dari hasil penelitian yang telah di lakukan bahwa
jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah tidak memenuhi sayarat
memungkikan terjadinya kejadian penyakit ISPA. Penelitian ini di dukung oleh
hasil penelitian Dela Oktaviani (2010) bahwa tingkat kepadatan hunian dan
jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah kemungkinan besar
terkena kejadian penyakit ISPA. Jika dalam satu rumah memiliki tinggkat
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan apabila terdapat bayi ataupun
balita hal ini memungkinkan bayi dan balita tersebut rentan terkena penyakit,
khususnya penyakit yang berbasis lingkungan di sekitarnya.
52
5. Tipe Rumah
Di Wilayah kerja Puskesmas Buhu tipe rumah yang dihuni oleh masyarakat
yaitu tipe rumah permanen, semi permanen dan non permanen, hampir sebagian
besar merupakan tipe rumah semi permanen dan non permanen, namum setelah
adanya pelaksanaan kegaiatan dari puskesmas yaitu Klinik Sanitasi jumlah rumah
yang memenuhi syarat kesehatan mulai meningkat meskipun hanya sampai
beberapa rumah dengan semi permanen. Berdasarkan data yang di dapatkan
bahwa dari jumlah rumah yang ada di wilayah kerja puskesmas ini yaitu 2224
rumah, rumah yang sudah memenuhi syarat kesehatan sebanyak 1136 rumah atau
(51%), hal ini menunjukan peningkatan jumlah tipe rumah yang sudah memenuhi
syarat kesehatan sebagai rumah sehat sederhana.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan tipe rumah yang dihuni
oleh penderita ISPA di wilayah kerja puskesmas Buhu dengan adanya
pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi bahwa yang menghuni rumah yang layak
huni dengan tipe permanen sebanyak 18 responden atau (23.7%) dimana jenis
kelamin perempuan yang menghuni tipe rumah permanen sebanyak 13 responden
atau (25.5%) dan laki-laki sebanyak 5 responden atau (20.0%). Dalam hal ini tipe
permanen dengan melihat keadaan jendela dan ventilasi mereka hanya ditutupi
dengan potongan-potongan bambu dan juga keadaan ventilasi mereka ditutupi
dengan kardus bekas maupun triplek, dengan keadaan yang seperti ini tidak
memungkinkan terjadinya pertukaran udara dalam rumah yang dapat
membebaskan oksigen untuk masuk ke dalam rumah.
53
Penderita yang menghuni rumah dengan tipe semi permanen sebanyak 34
responden atau (44.7%), untuk jenis kelamin perempuan yang menghuni tipe
rumah semi permanen sebanyak 24 responden atau (47.1%) dan untuk jenis
kelamin laki-laki sebanyak 10 responden atau (40.0%). Kondisi rumah seperti ini
hampir sebagian memiliki tingkat kepadatan hunian yang banyak tidak sebanding
dengan ukuran rumah yang mereka huni dan juga kondisi lingkungan rumah yang
sangat memprihatinkan yang memicu timbulnya penyakit akibat lingkungan
mereka sendiri. Kemudian penderita yang menghuni rumah tipe non permanen
sebanyak 24 responden atau (31.6%) untuk jenis kelamin perempuan yang
menghuni tipe rumah non permanen sebanyak 14 responden atau (27.5%) dan
untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 responden atau (40.0%). Untuk kondisi
tipe rumah non permanen ini hampir sebagian besar adalah memiliki jumlah
anggota rumah tangga yang lebih dari 4 orang yang tinggal dalam satu rumah,
selain itu juga keadaan kamarisasi yang terbatas tidak cukup untuk jumlah
anggota rumah tangga yang tinggal di dalamnya. Dalam hal ini dengan tingkat
kepadatan hunian pada tipe rumah non permanen ini merupakan rumah bantuan
layak huni pada masyarakat miskin dan bukan merupakan bagian dari kegiatan
tindak lanjut dari klinik sanitasi. Jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di
dalamnya melebihi ukuran kapasitas rumah yang sudah tidak sesuai sehingga
kejadian penyakit ISPA akan semakin meningkat.
Berdasarkan hasil wawancara pada saat penelitian bahwa setelah melakukan
wawancara dengan petugas sanitasi di puskesmas untuk perbaikan kondisi
lingkungan rumah sekitar mereka, hanya beberapa dari mereka tidak
54
melaksanakan saran dari petugas sanitasi dengan alasan bahwa keadaan
lingkungan mereka sudah seperti itu dan tidak ada yang harus diperbaiki. Namun
beberapa masyarakat yang melaksanakan saran dari petugas sanitasi, kondisi
sanitasi dasar khususnya kondisi perumahan mereka mulai membaik meskipun
dengan adanya perubahan yang sedikit.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Suriana (2006) bahwa jumlah
rumah sehat mulai meningkat dengan adanya kegiatan Klinik Sanitasi yang di
adakan di puskesmas. Hal ini dapat membantu meningkatkan taraf hidup
masyarakat yang kurang mampu dalam meningkatkan kesehatannya yang di lihat
dari sarana sanitasi dasar perumahannya. Untuk itu dalam pelaksanaan klinik
sanitasi di puskesmas ini dapat membantu memecahkan masalah penyakit yang
berbasis lingkungan.
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf kesehatan
jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini dapat menjadi
reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya
pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan pemukiman).
Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman pada dasarnya
disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah, karena
rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya.
6. Luas Ventilasi
Venilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dan bakteri-bakteri
terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus
55
menerus, Bakteri yang dibawa oleh udara akan selalu mengalir. Dengan adanya
ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah
sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang.
Untuk keberadaan ventilasi rumah yang dihuni oleh penderita ISPA diwilayah
kerja Puskesmas Buhu bahwa rumah yang memiliki ventilasi sebanyak 59 rumah
atau (78%) dan rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sebanyak 17 rumah atau
(22%), dalam hal ini rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sebagian besar
rumah tipe non permanen, hanya langsung jendela tanpa dibuat ventilasi, adapun
ventilasi yang ada hanya berbentuk lingkaran dengan diameter 10-15cm, sehingga
udara dan cahaya matahari tidak bisa masuk secara optimal ke dalam rumah
berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Oktaviani (2010) bahwa rumah yang
tidak memiliki ventilasi berpeluang lebih besar untuk terkena penyakit ISPA,
sedangkan berdasarkann hasil penelitian yang di lakukan oleh Agung Sukamawa
(2006) bahwa ventilasi merupakan determinan dari kejadian penyakit ISPA,
apalagi pada anak balita yang menempati rumah tanpa ventilasi besar resikonya
untuk terjadinya penyakit ISPA. dalam hal ini rumah yang tidak memiliki
ventilasi yaitu sebagian besar rumah tipe non permanen, hanya langsung jendela
tanpa dibuat ventilasi, adapun ventilasi yang ada hanya berbentuk lingkaran
dengan diameter 10-15cm, sehingga udara dan cahaya matahari tidak bisa masuk
secara optimal ke dalam rumah ( Notoatmodjo, 2003). Dengan adanya ventilasi
yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah sehingga
kejadian ISPA akan semakin berkurang. Sedangkan ventilasi yang tidak baik
56
dapat menyebabkan kelembaban tinggi dan membahayakan kesehatan sehingga
kejadian ISPA akan semakin bertambah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan Untuk rumah dengan
keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 40 rumah atau
(67.8%) dimana keadaan luas ventilasi yang memenuhi syarat dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 25 responden atau (65.8%) dan untuk jenis kelamin
laki-laki sebanyak 15 responden atau (71.4%). Rumah yang memiliki ventilasi
baik atau memenuhi syarat dapat melancarkan proses pertukaran udara yang
masuk ke dalam rumah,namun dalam hal ini keadaan ventilasi mereka di tutupi
dengan menggunakan kardus, tripleks maupun kertas karton maka udara tidak
dapat masuk dan tidak terjadi pertukaran udara dalam rumah, sehingga potensi
penularan penyakit sangat besar. Dan untuk rumah yang memiliki keadaan
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sejumlah 19 rumah atau
(32.2%) Dimana penderita ISPA jenis kelamin perempuan yang di lihat dari
keadaan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 13 responden atau
(34.2%) sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 responden atau (28.6%).
Dari hasil penelitian bahwa rumah yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan terdapat penderita ISPA yang selama 2 bulan terakhir 3 kali
berturut-turut datang berobat ke puskesmas dengan hasil diagnosa dokter yang
sama. Setelah petugas sanitasi datang ke rumah penderita ternyata kondisi rumah
non permanen dan tidak memiliki ventilasi. Sehingga menyebabkan tidak adanya
pertukaran udara maupun cahaya yang bisa masuk langsung ke dalam rumah.
57
Penderita tidak melaksanakan saran yang di berikan oleh petugas sanitasi setelah
konsultasi di ruangan klinik sanitasi pada pemeriksaan sebelumnya.
Secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan
rollmeter. Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai
rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang
dari 10% dari luas lantai rumah.
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Oktaviani (2009) bahwa
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat tingkat kejadian penyakit ISPA akan
lebih besar di bandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi
syarat. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Aswan (2008) yaitu kondisi ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat kemungkinan besar terkena kejadian ISPA.
Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat lebih banyak yang menderita
ISPA dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya memenuhi syarat.
Untuk itu keadaan ventilasi rumah sangatlah perlu di perhatikan, karena
dengan kondisi ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan memungkinkan kondisi
dalam rumah terbebas dari bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit.
7. Kamarisasi
Keberadaan kamarisasi dalam satu rumah sangatlah diperlukan hal ini guna
untuk mengisolasi penderita ISPA dalam ruangan tertentu sehingga membatasi
kontak antara penderita dengan penghuni rumah lainnya dan membatasi sebaran
kuman di udara dalam rumah. Bila kamarisasi rumah tidak memenuhi syarat dan
58
ada penderita ISPA dalam rumah, maka kemungkinan kontak penderita dengan
penghuni lainnya tidak dibatasi dan kuman dapat tersebar bebas di udara ke
bagian rumah lainnya sehingga menimbulkan risiko yang lebih besar bagi
penghuni lainnya untuk tertular penyakit. Luas ruang tidur minimal 8 m2, dan
tidak dianjurkan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali dibawah
umur 5 tahun (Kusnoputranto, 2002). Di wilayah kerja puskesmas Buhu
berdasarkan hasil penelitian bahwa keadaan kamarisasi dalam rumah penderita
sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sejumlah 42 rumah atau
(55.3%) di mana untuk jenis kelamin perempuan yan di lihat dari keadaan
kamarisasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 28 responden atau (54.9%)
sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 14 responden atau (56.0%).
Dengan ukuran kamar yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni yang menempati
kamar tersebut, selain itu pula terdapat bayi maupun balita dalam penghuni kamar.
Untuk rumah yang memiliki kamar yang memenuhi syarat kesehatan yaitu
sejumlah 34 rumah atau (44.7%) dimana untuk jenis kelamin perempuan yang di
lihat dari keadaan kamarisasi yang memenuhi syarat sebanyak 23 responden atau
(45.1%) sedankan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 responden atau
(44.0%), dalam hal ini rumah yang memiliki kamarisasi yang memenuhi syarat
sebagian hanya dihuni oleh 1-2 orang dengan rasio perbandingan luas kamar.
Kamarisasi dengan tingkat kepadatan hunian kamar yang lebih dari dua orang
memudahkan untuk terjadinya penularan penyakit. Seperti pada penelitian yang di
lakukan oleh Dewi (2012) bahwa kamarisasi yang tidak memenuhi syarat rasio
ruangan kamar tidur dengan jumlah penghuni yang menempati kamar tersebut
59
lebih dari 2 orang maka beresiko besar untuk terkena penyakit ISPA. Studi
terhadap kondisi rumah menunjukan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri
dan kepadatan hunian penghuni kamar per meter persegi. Luas kamar yang kecil
dengan jumlah penghuni kamar yang banyak akan memperbesar kemungkinan
penularan penyakit melalui droplet atau kontak langsung. Selain itu pada hasil
penelitian yang di lakukan bahwa di wilayah kerja puskesmas buhu rumah
responden ada juga kamar yang tidak di pakai oleh penghuni rumah karena
mereka lebih suka tidur diruangan yang lebih luas dari pada kamar mereka seperti
pada ruang keluarga atau ruangan tempat biasa menonton tv. Hasil penelitian yang
telah di lakukan bahwa penderita yang telah berkonsultasi dengan petugas sanitasi
ada beberapa yang melaksanakan saran dari petugas sanitasi, yaitu mereka
meminimalisir kontak langsung dengan anggota keluarga lainnya yang tinggal
dalam rumah tersebut dengan mengisolasi diri sendiri di dalam kamar, namun ada
juga dengan kondisi kamar yang seadanya mereka tidur bersama sampai lebih dari
3 orang termasuk balita, dengan alasan karena tidak ada lagi ruangan yang bisa
dipergunakan umtuk tidur, sehingga peluang penularan penyakit semakin besar
dengan kondisi yan seperti itu. Selain itu dengan kondisi kepadatan hunian kamar
yang tidak memenuhi syarat, ada beberapa dari mereka hanya memperbaiki
pencahayaan yang masuk dalam rumah ataupun kamar dengan cara menggunakan
ventilasi dan juga jendela guna terjadinya pertukaran udara dalam ruangan
sehingga dapat membunuh bakteri patogen yang ada di dalamrumah.
60
8. Kepadatan Hunian
Wilayah kerja puskesmas Buhu memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit,
jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah melebihi dari
besarnya rasio ruangan rumah. Berdasarkan data yang di peroleh bahwa hampir
sebagian besar jumlah anggota rumah yang tinggal dalam satu rumah lebih dari 4
orang bahkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu ada dalam 1 rumah
jumlah anggota yang tinggal dalam rumah tersebut sebanyak 11 orang yang
terdiridari 2 KK yang termasuk tinggal di dalamnya yaitu bayi dan juga balita.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh
penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan
seperti ISPA. Ruangan yang sempit akan membuat nafas sesak dan mudah tertular
penyakit oleh anggota keluarga yang lain. Kepadatan hunian rumah akan
meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang
akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan
demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara
ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni,
maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO 2
ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas
udara dalam rumah.
Untuk tingkat kepadatan hunian sebaiknya harus disesuaikan dengan syarat
kesehatan yaitu dengan melihat rasio ruangan dengan jumlah penghuni yang
tinggal di dalam rumah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di
61
wilayah kerja puskesmas buhu bahwa rumah yang tingkat kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat sebanyak 45 rumah atau (59.2%) di mana untuk jenis
kelamin perempuan sebanyak 34 responden atau (66.7%) dan untuk jenis kelamin
laki-laki sebanyak 11 responden atau (44.0%). Sedangkan untuk rumah yang
tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 31 rumah
atau (40.8%) dimana terdiri dari jenis kelamin perempuan yang di lihat dari
tingkat kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 17
responden atau (33.3%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 14 responden atau
(56.0%). Tingkat kepadatan hunian baik dalam ruangan rumah maupun kepadatan
hunian kamar sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan, hal itu di
sebabkan karena adanya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
terlalu banyak.
Hal ini terlihat jelas bahwa jumlah anggota rumah yang tinggal dalam satu
rumah sudah tidak sesuai dengan rasio ruangan. Secara spesifik, kepadatan
penghuni meningkatkan risiko infeksi karena meningkatnya jumlah orang yang
potensial tertular. Akibatnya, anak-anak yang tinggal di tempat yang padat
penghuni menderita infeksi lebih sering dan bahkan lebih. Berdasarkan hasil
penelitian oleh Aswan (2008) bahwa tingkat kepadatan penghuni yang tidak
memenuhi syarat beresiko terkena penyakit ISPA. Rumah yang padat penghuni
lebih banyak yang menderita ISPA dibandingkan dengan rumah tidak padat
penghuni.
Pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi di puskesmas tentunya dapat membantu
permasalahan sanitasi dasar yang ada di wilayah kerjanya, namun keberhasilan
62
dari kegiatan ini harusnya ada peran aktif dari petugas sanitasi yang ada di
puskesmas. Jika tercipta kerja sama antara penderita ataupun klien/masyarakat
dengan petugas sanitasi yang ada maka pelaksanaan klinik sanitasi akan berhasil
utamanya dalam pemecahan masalah sanitasi dasar yang buruk ataupun
lingkungan yang tidak sehat. Kondisi yang seperti itu merupakan target capaian
keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi, namum di lihat dari hasil
observasi dan penelitian berdasarkan wawancara yang telah di lakukan di wilayah
kerja puskesmas buhu bahwa pelaksanaan kegiatan klinik sanitasi belum
sepenuhnya memenuhi kriteria keberhasilan, hal ini di sebabkan karena kunjungan
pasien penderita penyakit berbasisis linkungan salah satunya ISPA meningkat
keruang klinik berdasarkan rujukan petugas medis, kunjungan petugas sanitarian
ke lapangan ataupun kegiatan tindak lanjut dari ruang klinik sanitasi ke penderita
atau klien/masyarakat menurun atau jarang di lakukan, penyakit berbasis
lingkungan seperti ISPA masih tetap menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit
menonjol di wilayah kerja puskesmas ini.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah di lakukan pada saat penelitian di
lakukan bahwa penderita ISPA yang telah di rujuk keruang klinik sanitasi setelah
di wawancarai oleh sanitarian tentang permasalahan kesehatan lingkungan yang di
hadapai sanitarian membuat janji untuk melakukan kunjungan rumah sebagai
tindak lanjut dari kegiatan di ruang klinik sanitasi, namun tidak ada kunjungan
dari sanitarian. Hal itu di sebabkan karena ada beberapa dari pasien tidak mau
untuk di lakukan kunjungan rumah dengan berbagai macam alasan dan juga di
sebabkan oleh akses jalan menuju rumah penderita sangat sulit dengan melihat
63
kondisi wilayahnya serta transportasi yang sulit menuju ke tempat yang menjadi
sasaran kunjungan petugas sanitasi.
Selain itu pula masih terbatasnya petugas sanitasi yang ada di wilayah kerja
puskesmas yaitu hanya terdiri dari 2 orang sehingga menyebabkan terbatasnya
jangkauan petugas sanitasi untuk mebina semua desa yang ada di wilayah kerja
puskesmas karena luas wilayahnya, dan masih terbatasnya dana untuk kerperluan
kegiatan klinik sanitasi. Pelaksanaan klinik sanitasi ini masih sangat perlu untuk
mendapat perhataian dari dinas terkait guna mengatasi permasalahan sanitasi
dasar serta kondisi kesehatan lingkungan yang buruk. Namun dari beberapa
permasalahan yang ada, kegiatan ini belum terlalu menjadi prioritas utama di
puskesmas, karena hanya di sesuaikan dengan kondisi yang ada.
Dari hasil penelitian keseluruhan di dapatkan 6 rumah responden yang di lihat
dari keadaan luas ventilasi, kamarisasi serta kepadatan hunian semuanya
memenuhi syarat, namun salah satu anggota rumah tangga yang tinggal dalam
rumah tersebut merupakan penderita ISPA, hal ini dikarena ISPA merupakan
kelompok penyakit yang di sebabkan oleh Virus dan juga bakteri, meskipun
bakteri juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi
Virus. Kemudian di tularkan melalui udara yang berbentuk aerosol yang terhirup
oleh orang tersebut ataupun kontak langsung tangan dengan sekret yang terinfeksi
dan kemudian menyentuh hidung atau mata. Semua jenis infeksi ini dapat
mengaktifkan respon imun dan juga inflamasi sehingga dapat terjadi
pembengkakan pada jaringan yang terinfeksi oleh virus tersebut, reaksi inflamasi
dapat menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan
64
ISPA. Yaitu hidung tersumbat, sputum berlebihan, pilek, sakit kepala, demam
ringan dapat terjadi akibat reaksi inflamasi tersebut.
Penyakit ISPA merupakan infeksi minor yang di peroleh dimasyarakat yang
di sebabkan oleh virus, ISPA juga dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi
penderita berusia lanjut atau penderita yang sangat muda. Untuk itu selain melihat
kondisi rumah yang tidak yang memenuhi syarat kesehatan ataupun kondisi
rumah yang memenuhi syarat, kondisi kesehatan pribadi pun harus di
perhatikan,karena jika keadaan sistem imun seseorang tidak stabil maka
kemungkinan besar tubuh kita mudah terserang oleh penyakit utamanya penyakit
yang di sebabkan oleh virus yang di timbulkan dari keadaan lingkungan yang
tidak sehat.