BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten … fileDesa Les secara administratif merupakan...
Transcript of BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten … fileDesa Les secara administratif merupakan...
35
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Kabupaten Buleleng dan Kecamatan Tejakula
Kabupaten Buleleng merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
Propinsi Bali yang terletak di belahan utara Pulau Bali memanjang dari barat ke
timur. Secara geografis, Kabupaten Buleleng terletak pada posisi 8o03’40”-
8o23’00” lintang selatan dan 114
o25’55”-115
o27’28” bujur timur. Secara
keseluruhan luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah 136.588 hektar atau 24,25
persen dari luas Propinsi Bali. Terdiri dari sembilan kecamatan, yakni Kecamatan
Gerokgak, Seririt, Bungsubiu, Banjar, Sukasada, Buleleng, Sawan,
Kubutambahan, dan Kecamatan Tejakula.
Desa Les secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Tejakula
yang memiliki luas 97,68 km2 dan terletak di sisi timur Kabupaten Buleleng.
Kecamatan Tejakula berjarak 38 km dari pusat pemerintahan Kabupaten
Buleleng. Kecamatan ini memiliki garis pantai sepanjang 27,23 km yang
merupakan garis pantai kedua terpanjang di kabupaten ini. Topografi Kecamatan
Tejakula adalah daratan rendah dengan suhu rata-rata 28oC. Kecamatan Tejakula
terdiri atas 10 desa, salah satunya adalah Desa Les yang berada disebelah timur
Desa Tejakula (ibukota Kecamatan Tejakula).
Kabupaten Buleleng memiliki potensi yang besar dalam bidang perikanan,
seperti yang digambarkan pada Gambar 4. Setiap kecamatan dalam wilayah
administratif Kabupaten Buleleng memiliki potensi perikanan. Kecamatan
Tejakula selain dikenal potensial untuk pembudidayaan rumput laut juga memiliki
potensi sebagai daerah penghasil ikan hias. Desa Les, Desa Penuktukan, dan Desa
Tembok merupakan tiga desa pada Kecamatan Tejakula yang sekarang menjadi
penghasil ikan hias terbesar, juga sebagai penghasil ikan hias ramah lingkungan di
Bali.
36
Gambar 4. Peta Pesebaran Wilayah Potensi Perikanan(sumber: www.bulelengkab.go.id)
4.2 Profil Desa Les
Desa Les merupakan salah satu dari sepuluh desa yang berada di
Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali.
4.2.1 Sejarah Desa Les
Diceritakan bahwa penduduk Desa Panjingan selalu didatangi dan dirusak
oleh bajak laut sehingga mereka merasa tidak aman dan selalu dalam ketakutan.
Hal ini menyebabkan semua warga desa terpaksa ngenes/mekiles (berpindah
tempat dan bersembunyi di tempat yang lain) agar terbebas dari kedatangan bajak
laut itu. Menurut penuturan secara turun menurun dari orang-orang tua di Desa
Les, Desa Les adalah bagian dari Kancasatak (perhimpunan/persekutuan) dari
desa-desa yang jumlah seluruh warganya sebanyak 200 KK, desa-desa itu
sekarang adalah:
1. Desa Les Penuktukan
2. Desa Sambirenteng/ Banjar Geretek
3. Desa Tembok
4. Desa Pinggan
5. Desa Si Yakin
37
Desa Pinggan dan Desa Si Yakin termasuk Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, sedangkan Desa Les, Penuktukan, Sambirenteng, Geretek dan
Tembok termasuk Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Kancasatak ini
sampai sekarang masih menyungsung Kahyangan Kancasatak yaitu Pura Dalem
Blingkang yang terletak di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, serta Pura
Segara Pegonjongan dan Pura Puseh Panjingan yang terletak di Kecamatan
Tejakula, Kabupaten Buleleng.
Mengenai asal usul nama “Les” sendiri, dapat dijelaskan sebagai berikut:
nama “Les” berasal dari kata ngenes yang sama artinya dengan mekiles yaitu pergi
dari suatu tempat ke tempat lain sambil bersembunyi. Akan tetapi karena
kata ngenes ditulis dengan huruf bali maka huruf “nge” melele maka oleh orang-
orang yang paham dengan pasang Sastra Bali ‘nge’ melele / ’me’ megantungan
‘ne’ metengenan ‘se’ di baca Les, dan sampai saat ini tetap dibaca Les (dikutip
dari situs resmi pemerintah Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali).
Desa Les merupakan desa yang masih memegang teguh warisan kebudayaan
dan agama dari leluhur. Kebudayaan Hindu sangat kental disini, upacara adat
diadakan di beberapa Pura yang tersebar di seluruh desa. Adapun upacara adat
besar yang mereka lakukan antara lain:
1. Upacara Galungan dan Kuningan, merupakan upacara setahun sekali
yang merupakan upacara terbesar di Bali. Pada Hari Raya ini umat
Hindu Bali dari seluruh nusantara diwajibkan untuk kembali ke Bali dan
berdoa bersama di Pura keluarga masing-masing.
2. Upacara Bulan Mati dan Bulan Hidup, dilaksanakan sebulan sekali pada
saat bulan purnama (bulan hidup) dan pada saat akhir bulan (bulan mati).
3. Upacara Tumpek, merupakan upacara awal bulan kalender Bali yang
diadakan setiap 35 hari sekali.
4.2.2 Kondisi Geografis dan Demografis
Desa Les merupakan salah satu desa yang berada dalam Kecamatan
Tejakula yang memiliki batas teritori wilayah, yakni: sebelah utara berbatasan
dengan laut Bali, sementara sebelah selatan berbatasan dengan hutan Bangli,
Kecamatan Kintamani. Sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa
Penuktukan, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Tejakula, kedua
38
desa tersebut masih di dalam satu kecamatan yang sama, yakni Kecamatan
Tejakula. Beberapa desa di Kecamatan Tejakula biasanya dibatasi oleh sungai
musiman yang melintas diantara dua desa. Desa Les terdiri atas sembilan dusun,
yakni dusun Kanginan, Butiyang, Panjingan, Tegallinggah, Kawanan, Selonding,
Tubuh, Lempedu, dan Dusun Panyumbahan.
Luas wilayah Desa Les adalah 769 hektar, termasuk di dalamnya hutan
seluas 200 hektar dan wilayah pesisir seluas 135 hektar. Sebagian besar wilayah
Desa Les merupakan tegalan atau ladang dan hutan lindung. Daerah persawahan
hanya empat persen sedangkan wilayah pemukiman umum hanya enam persen
dari total luas desa. Pantai Desa Les membujur dari barat ke timur sepanjang dua
kilometer. Bentuk geografis Desa Les yang merupakan kombinasi dataran rendah
dan dengan dataran tinggi membuat suhu udara dan mata air desa ini cukup unik.
Tabel 6 menggambarkan persentase pemanfaatan wilayah Desa Les.
Topografi Desa Les bila dilihat secara melintang, laut Bali berada di
sebelah utara desa dan perbukitan di sebelah selatan. Hal ini membuat suhu rata-
rata di daerah pesisir ini cukup sejuk. Suhu rata-rata Desa Les adalah antara 25oC
sampai 31oC. Suhu akan sangat dingin bila malam dan pagi hari karena ada aliran
udara yang berasal dari gunung. Sumber air Desa Les adalah mata air dari gunung
yang berada di selatan desa dan air sumur bor. Kedua sumber air ini cukup
berbeda, air dari pegunungan cenderung dingin dan segar dengan kadar salinitas
nol. Berbeda dengan air sumur bor yang masih memiliki kadar salinitas yang
cukup tinggi. Kondisi pantai berbatu mulai dari bongkahan batu ukuran kecil
hingga sedang dan berpasir warna kelabu hingga hitam dimana warna kelabu ini
merupakan hasil sisa dari letusan gunung api yakni Gunung Agung (LINI, 2008).
Mata pencaharian penduduk Desa Les beraneka ragam, seperti nelayan
ikan konsumsi, nelayan ikan hias, pekerja bangunan, pedagang, dan beberapa
pengusaha. Namun sebagian besar terkonsentrasi pada sektor pekerjaan non-
formal bertani dan berternak. Jumlah nelayan ikan hias yang masih aktif ada
sekitar 50 orang dan sekitar 100 orang lainnya merupakan nelayan ikan konsumsi.
Ada empat kelompok nelayan di desa ini, salah satunya mengkhususkan diri
sebagai kelompok nelayan ikan hias.
39
Tabel 6. Pemanfaatan Wilayah Desa Les Tahun 2010
No Pemanfaatan WilayahLuas
Hektar Persentase1 Pemukiman Umum 48 6%2 Sawah 30 4%3 Tegalan/Ladang 394 52%4 Perkebunan 45 5%5 Hutan Lindung 200 26%6 Kuburan 3 0.40%7 Bangunan Umum 49 6%
Total 769 100%Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula, Bali (2010)
Mata pencaharian terbesar di Desa Les adalah sebagai petani peladang,
dengan luas lahan yang dimanfaatkan sebagai ladang di Desa Les sebanyak 394
hektar. Luas sawah yang terbentang di Desa Les hanya sebesar 30 hektar dengan
78 orang buruh tani yang tersebar. Hampir seluruh keluarga di Desa Les memiliki
usaha ternak babi, ataupun ternak sapi. Sebagian besar masyarakat Desa Les
merantau keluar desa, bagi perempuan menjadi karyawan perusahaan swasta dan
menjadi pembantu di Denpasar, sementara laki-laki akan bekerja sebagai buruh
kasar. Pada Tabel 7 terlihat persentase mata pencaharian penduduk Desa Les pada
tahun 2010.
Jarak tempuh menuju Desa Les dari ibukota Kabupaten Buleleng,
Singaraja (Kabupaten Buleleng) adalah 35 kilometer sekitar satu jam
menggunakan kendaraan bermotor. Akses mencapai Les dari Singaraja dapat
menggunakan kendaraan umum yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
desa-desa lain sepanjang Bali utara. Jarak tempuh dari Desa Les menuju ibukota
propinsi, Denpasar adalah sekitar 124 kilometer dengan waktu tempuh dapat
mencapai empat jam dengan kendaraan bermotor. Tidak terdapat angkutan umum
yang menghubungkan Les dan Denpasar, sehingga masyarakat Les akan
mengandalkan kendaraan pribadi atau menggunakan jasa travel plat hitam.
40
Tabel 7. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Les Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010No Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Petani 1851 1368 32192 Buruh Tani 53 25 783 Pegawai Negri Sipil 49 30 794 Pedagang Keliling 1 0 15 Peternak 240 310 5506 Nelayan 150 0 1507 Pengrajin Industri Rumah
Tangga0 10 10
8 Montir 4 0 49 Pembantu Rumah Tangga 0 65 65
10 TNI 4 0 411 POLRI 5 0 512 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 7 4 1113 Pengusaha Kecil dan
menengah5 2 7
14 Pengusaha Besar 2 0 215 Karyawan Perusahaan Swasta 356 483 83916 Karyawan perusahaan
Pemerintah6 12 18
Jumlah Penduduk 2733 2309 5042Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula (2010)
Potensi Desa Les antara lain potensi wisata bahari laut maupun gunung,
industri rumah tangga jajan Bali (seperti dodol dan kerupuk manuk), kerajinan
anyaman bambu, dan pengrajin perak. Kondisi alam Desa Les mendukung untuk
dikembangkan ekowisata. Ekowisata bawah laut yang sedang dikembangkan
adalah taman terumbu karang, sedangkan ekowisata alam pegunungan yang
menjadi perhatian adalah air terjun, Yeh Mampeh, dan pesona gua, serta wisata
hiking atau mendaki gunung. Selain itu, garam adalah komoditas potensial dari
Desa Les. Terdapat sebuah perusahaan pengolahan air laut menjadi garam
tradisional di Desa Les yang bergerak sejak Desa Les berdiri.
Jumlah penduduk Desa Les adalah sebesar 7453 jiwa pada tahun 2010.
Jumlah penduduk perempuan sebesar 3712 jiwa atau sekitar 49 persen seimbang
dengan jumlah penduduk pria 3741 jiwa sekitar 51 persen dari jumlah total
penduduk Desa Les. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut.
41
Tabel 8. Perbandingan Jenis Kelamin Penduduk Desa Les Tahun 2010
No. Jenis Kelamin Jumlah PendudukJiwa Persen
1. Perempuan 3712 492 Laki-laki 3741 51
Total 7453 100Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula, Bali (2010)
Tahun 2009 jumlah kepala keluarga yang menetap di Desa Les, adalah
sebanyak 2094 KK. Keluarga tersebut tersebar di sembilan dusun di Desa Les.
Penyebaran keluarga di Desa Les cenderung merata karena sumber air tersebar
rata diseluruh desa. Keseluruhan warga Desa Les beretnik Bali. Mayoritas
penduduk Desa Les, 99 persen beragama Hindu, sedangkan sisanya beragama
Islam. Perbedaan agama bukan merupakan masalah bagi masyarakat Desa Les.
Berikut pengakuan dari Kepala Desa Les mengenai fenomena ini:
“…Tenggang rasa antar umat beragama disini begitu kuatsehingga tidak pernah tejadi perkelahian ataupun selisih pahamantar umat Hindu dan Islam disini.” (NA,52)Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Les antara lain dua PAUD, satu
Taman Kanak-Kanak, lima Sekolah Dasar Negeri dan satu Sekolah Menengah
Pertama Terbuka (sumber: www.kabbuleleng.go.id) . Adapun Sekolah Menengah
Atas terdekat berada di Desa Tejakula. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Les
cenderung rendah, terutama pada keluarga nelayan dan buruh bangunan (pekerja
kasar). Nelayan ikan hias Desa Les, sebagian besar tidak menamatkan pendidikan
menengah pertama. Kendala utama dalam pendidikan adalah ketidakmampuan
ekonomi dalam memenuhi biaya pendidikan. Terutama pada keluarga nelayan
ikan hias, pendidikan adalah sesuatu yang susah untuk dipenuhi. Pendapat
mengenai hal ini disampaikan oleh salah satu nelayan ikan hias MP (31 tahun):
“…Bahkan 50 orang dari nelayan ikan hias, hanya beberapayang berhasil menamatkan SMP (Sekolah Menengah Pertama),sisanya hanya tamat SD. Ada juga yang tidak pernah sekolahsama sekali dan buta huruf.”Kemiskinan membuat nelayan tidak mampu menyekolahkan anggota
keluarga. Khusus untuk keluarga nelayan ikan hias, biasanya anak laki-laki yang
telah menyelesaikan pendidikan menengah pertama akan membantu bapaknya
bekerja di laut ataupun bekerja di proyek bangunan (sektor non-formal tentunya).
Lain lagi dengan anak perempuan yang setelah menyelesaikan pendidikan
menengah pertama merantau ke kota (Denpasar) atau pilihan lainnya menikah.
42
Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi
merupakan hal biasa di Desa Les.
Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama
4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari
Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki
beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat
penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan
hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya
jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya
jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan
yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam
yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat
dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang
dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan
kepada masa transisi.
Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara
sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan
dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah
tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi
sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan
lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh
beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai
0
1000
2000
3000
4000
Series1
Series2
Jum
lah
Pend
uduk
Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama yang Dianut
42
Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi
merupakan hal biasa di Desa Les.
Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama
4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari
Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki
beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat
penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan
hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya
jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya
jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan
yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam
yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat
dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang
dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan
kepada masa transisi.
Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara
sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan
dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah
tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi
sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan
lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh
beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai
0
1000
2000
3000
4000
islam Kristen Katolik Hindu BudhaSeries1 6 0 0 3735 0
Series2 4 0 0 3708 0
Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama yang Dianut
42
Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi
merupakan hal biasa di Desa Les.
Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama
4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari
Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki
beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat
penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan
hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya
jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya
jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan
yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam
yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat
dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang
dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan
kepada masa transisi.
Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara
sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan
dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah
tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi
sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan
lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh
beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai
Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama yang Dianut
43
digerakkan untuk melakukan praktek perikanan yang ramah lingkungan. Hasil
pendampingan ini membuat nelayan mengambil sikap untuk meninggalkan
penggunaan potassium-sianida dalam penangkapan ikan hias. Pada tanggal 29
Oktober 2001 dibentuklah kelompok nelayan ikan hias di Desa Les dengan nama
Mina Bhakti Soansari.
Kelompok nelayan ini dibentuk atas keinginan dari para nelayan ikan hias
Desa Les untuk meninggalkan potassium-sianida. Dengan adanya kelompok
nelayan, maka para nelayan akan memiliki wadah untuk saling bertukar pikiran
dan berbagi informasi mengenai penangkapan ikan hias. Kelompok nelayan ikan
hias Mina Bhakti Soansari disahkan secara resmi pada tanggal 29 September 2002
oleh pemerintahan Desa Les, Kecamatan Tejakula, dan Kabupaten Buleleng.
Pada saat pembentukannya kelompok ini terdiri atas 60 orang nelayan ikan hias.
Kepengurusan kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari ini dipimpin oleh
bapak I Made Merta (Pak Eka) dengan bertindak sebagai penasehat organisasi
Kepala Desa Les bapak I Nengah Alus dan Kelian Adat Jero Ketut Murai. Posisi
sekretaris diduduki oleh bapak I Nyoman Traida, Bendahara oleh bapak I Gede
Gumiarta, dan pemasaran oleh I Made Partiana. Sedangkan Humas dilaksanakan
oleh bapak Nyoman seperti yang terlihat pada Gambar 5. Kepengurusan ini
dibantu oleh aktifnya anggota kelompok nelayan. Dimulai pada tahun 2003,
kelompok nelayan Mina Bhakti Soansari mencoba merehabilitasi Terumbu karang
yang berada di depan desa mereka, dengan cara transplantasi pada substrat buatan.
Upaya pemulihan ini sudah menampakkan hasil dengan kembalinya jenis-jenis
ikan di area yang direhabilitasi. Atas kesepakatan anggota kelompok dan
pemanfaat pesisir lain, sepanjang 400 meter area terumbu karang ditetapkan
sebagai daerah bebas tangkap (no-take zone).
Kelompok nelayan Soansari bersama LSM pendamping menerapkan
praktek perikanan yang ramah lingkungan sejak tahun 2001. Program ini
mengganti pola tangkap, alat tangkap, dan merubah pola pikir nelayan ikan hias.
Selain itu untuk mewujudkan pola perdagangan yang ramah lingkungan pada
tahun 2003 Kelompok nelayan bersama para LSM pendamping mendirikan PT.
Bahtera Nusantara LEStari. Perusahaan ini merupakan hasil inisiasi beberapa
LSM dan kelompok nelayan dengan visi untuk meningkatkan perekonomian
44
nelayan. Adapun beberapa pihak yang turut bergabung membangun perusahaan
ini antara lain: Telapak, Yayasan Bahtera Nusantara, dan Kelompok Nelayan Ikan
Hias Soansari sendiri. Perusahaan ini merupakan perusahaan eksportir ikan hias
ramah lingkungan dan bersertifikasi PRL (pada tahun 2006 nelayan penangkap
ikan hias telah disertifikasi oleh MAC).
Dalam perjalanannya perusahaan ini mengalami kendala pada pendanaan
sehingga kolaps pada tahun 2008. Perjalanan lima tahun perusahaan ini, roda
perekonomian perusahaan ini lambat berputar karena keterbatasan dana yang ada.
Kemampuan perusahaan mempersiapkan ikan berkualitas terbaik seperti yang
diminta oleh pihak importir juga berkurang. Biaya operasioanal yang tinggi tidak
didukung oleh permodalan yang baik.
4.4 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Les yang bermata
pencaharian sebagai nelayan ikan hias. Rata-rata umur responden dalam penelitian
Pelindung/PenasehatKepala Desa Les
Nengah AlusKelian Adat
Jero Ketut Murai
KETUA: Made Merta
HUMASNyoman
Widia
PEMASARANMade Partiana
SEKRETARIS: Nyoman Triada
BENDAHARAGede Gumiarta
ANGGOTA
Gambar 5. Susunan Kepengurusan Kelompok Nelayan Ikan HiasMina Bhakti Soansari
45
ini adalah termasuk dalam kategori usia muda dan usia dewasa (antara 18 hingga
49 tahun) menurut Havighurts dan Acherman dalam Sugiah (2006). Berdasarkan
latar belakang pendidikannya mayoritas responden yang merupakan nelayan ikan
hias di Desa Les berpendidikan rendah, yakni tidak pernah sekolah, tidak tamat
SD, atau hanya tamat SD. Sedangkan sisanya responden hanya lulus Sekolah
Menengah Pertama. Tidak ada responden yang berpendidikan di atas Sekolah
Menengah Pertama.
Tabel 9. Persentase Tingkat Pendidikan Responden
No. Tingkat PendidikanJumlah Responden
(Orang) (%)
1. Rendah (tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya tamat SD)10 67
2. Sedang (tamat SMP/sederajat) 5 43
3. Tinggi (tamat SMA/sederajat) 0 0
Total 15 100
Rendahnya tingkat pendidikan nelayan juga mempengaruhi rendahnya
tingkat pendidikan keluarga nelayan. Hal ini karena ketiadaan biaya keluarga
nelayan untuk menyekolahkan anak-anaknya dan motivasi untuk berpendidikan
yang rendah. Salah seorang nelayan ikan hias memaparkan kondisi pendidikan
keluarganya:
“… Saya cuma tamat kelas 3 SD, tidak apa-apa yang pentingsaya sudah bisa membaca dan menulis. Itu yang penting. Anaksaya yang pertama, peremepuan tamat SMA sekarang jadipelayan took di Denpasar. Anak saya yang kedua laki-laki, cumatamat SMP saja. Dia akan menlanjutkan usaha saya mencariikan di laut, jadi tidak perlulah sekolah tinggi-tinggi. Istri sayasaja tidak pernah sekolah.” (NA,47)
Terdapat dua tipe nelayan ikan hias di Desa Les berdasarkan cara
penangkapan ikan hiasnya, yaitu nelayan pinggiran dan nelayan kompresor.
Nelayan pinggiran adalah nelayan ikan hias yang hanya menangkap ikan hias di
wilayah pinggir pantai dengan kedalaman maksimum lima meter. Sedangkan
nelayan kompresor adalah nelayan yang menangkap ikan hias dengan
menggunakan alat bantu pernapasan, kompresor. Biasanya nelayan kompresor
menangkap ikan di kedalaman lebih dari lima meter. nelayan kompresor yang
46
membutuhkan perahu untuk menangkap ikan. Nelayan pinggiran hanya dengan
menggunakan alat bantu seperti masker dan fin. Nelayan ikan hias yang menjadi
responden penelitian ini sebanyak 67 persen adalah nelayan pinggiran, sedangkan
33 persen lainnya merupakan nelayan kompresor.
Berdasarkan kepemilikan perahu, dan kondisi tempat tinggal responden
hanya tujuh persen yang memiliki kapal sendiri dan berkondisi tempat tinggal
permanen dan cukup luas. Sementara itu sebagian besar nelayan bertempat tinggal
semi permanen, bahkan 34 persen responden yang bertempat tinggal non-
permanen. Tempat tinggal non-permanen ini biasanya berupa gubug dengan luas
10m2 dengan dinding dan atap dari daun kelapa yang telah dikeringkan kemudian
dianyam. Jumlah pendapatan responden cukup beragam antara Rp. 500.000 per
bulan hinggan Rp. 2.000.000 per bulan. Responden penelitian ini homogen dalam
latar belakang agama, etnik, dan kependudukan. Responden merupakan penduduk
asli desa Les, yang beragama Hindu, dan beretnik Bali. Tidak ada pendatang yang
menjadi nelayan ikan hias di Desa Les, sehingga responden penelitian ini juga
tidak ada yang merupakan warga pendatang.