BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Potret Taman Nasional ... · Pada waktu itu mereka melakukan...

17
49 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa yang terletak pada 6°30’ - 6°52’ Lintang Selatan dan 102°02’ - 105°37’ Bujur Timur. Secara administrasi, TNUK terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Perhatian akan kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna Ujung Kulon mulai dirintis oleh F. Junghun, dan Hoogerwerf ahli botani berkebangsaan Eropa. Kala itu, kawasan Ujung Kulon merupakan tempat berburu bagi para pejabat Belanda yang datang dari Batavia. Pada waktu itu mereka melakukan perjalanan ke Semenanjung Ujung Kulon untuk mengumpulkan beberapa species tumbuhan tropis yang eksotik. Satu dekade kemudian, keragaman speciesnya dinyatakan dalam laporan perjalanan ilmiah yang dimasukkan dalam jurnal ilmiah. Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten TNUK TNUJUNGKULON Gambar 2. Peta lokasi Taman Nasional Ujung Kulon Banten Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon, terjadi beberapa periode perubahan penting dalam sejarah terbentuknya TNUK.

Transcript of BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Potret Taman Nasional ... · Pada waktu itu mereka melakukan...

49�

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Potret Taman Nasional Ujung Kulon dan Masyarakat Sekitarnya

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu kawasan

konservasi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa yang terletak pada 6°30’ -

6°52’ Lintang Selatan dan 102°02’ - 105°37’ Bujur Timur. Secara administrasi,

TNUK terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Perhatian akan

kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna Ujung Kulon mulai dirintis

oleh F. Junghun, dan Hoogerwerf ahli botani berkebangsaan Eropa. Kala itu, kawasan

Ujung Kulon merupakan tempat berburu bagi para pejabat Belanda yang datang

dari Batavia. Pada waktu itu mereka melakukan perjalanan ke Semenanjung Ujung

Kulon untuk mengumpulkan beberapa species tumbuhan tropis yang eksotik.

Satu dekade kemudian, keragaman speciesnya dinyatakan dalam laporan perjalanan

ilmiah yang dimasukkan dalam jurnal ilmiah.

Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten

TNUK

TN�UJUNG�KULON

Gambar 2. Peta lokasi Taman Nasional Ujung Kulon Banten

Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon,

terjadi beberapa periode perubahan penting dalam sejarah terbentuknya TNUK.

50��

Tahun 1883, Pada bulan Agustus gunung Krakatau meletus, menghasilkan

gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan perairan dan daratan di Ujung

Kulon serta membunuh tidak hanya manusia akan tetapi satwa dan tumbuhan.

Pada saat itu seluruh kawasan Ujung Kulon diberitakan hancur.

Sejak letusan gunung Krakatau yang dahsyat tersebut, kondisi Ujung

Kulon tidak banyak diketahui, sampai kemudian dilaporkan bahwa kawasan

Ujung Kulon sudah tumbuh kembali dengan cepat. Tahun 1921, Ujung Kulon dan

Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Cagar Alam

Ujung Kulon-Panaitan melalui SK. Pemerintah Hindia Belanda No. 60 tanggal 16

Nopember 1921. Pada tahun 1937, Dengan keputusan Pemerintah Hindia Belanda

No 17 tanggal 14 Juni 1937 diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-

Panaitan.

Tahun 1958, berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/Um/1958 tanggal

17 April 1958 berubah kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukan

kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah

Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya

seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (pulau

Boboko, pulau Pamanggangan). Tahun 1967,

Dengan SK. Menteri Pertanian No. 16/Kpts/Um/3/1967 tanggal 16 Maret

1967, Gn Honje selatan seluas 10.000 ha masuk kedalam kawasan Cagar Alam

Ujung Kulon. Tahun 1979, Gn Honje utara masuk kawasan Cagar Alam Ujung

Kulon melalui SK. Menteri Pertanian No. 39/Kpts/Um/1979 tanggal 11 Januari

1979, seluas 9.498 ha. Tahun 1980, Tanggal 15 Maret, melalui pernyataan

Menteri Pertanian, Ujung Kulon mulai dikelola dengan sistem manajemen Taman

Nasional.

Tahun 1984, Dibentuklah Taman Nasional Ujung Kulon, melalui SK.

Menteri Kehutanan No. 96/Kpts/II/1984, yang wilayhnya meliputi: Semenanjung

Ujung Kulon seluas 39.120 ha, Gunung Honje seluas 19.498 ha, Pulau Peucang

dan Panaitan seluas 17.500 ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 ha dan Hutan

Wisata Carita seluas 95 ha. Tahun 1990, Berdasarkan SK. Dirjen PHPA No.

44/Kpts/DJ/1990 tanggal 8 Mei 1990, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon

mengalami pengurangan dengan diserahkannya Kepulauan Krakatau seluas

51�

2.405,1 ha kepada BKSDA II Tanjung Karang, Hutan Wisata Gn. Aseupan Carita

seluas 95 ha kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Selanjutnya luas kawasan TN. Ujung Kulon berubah menjadi 120.551 ha meliputi

kawasan daratan 76.214 ha dan kawasan perairan laut seluas 44.337 ha.

Tahun 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan SK.

Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992. Meliputi

wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, P.

Handeuleum dan Gunung Honje. Dengan luas keseluruhan 120.551 ha, yang

terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha. Tahun 1992, Taman Nasional

Ujung Kulon ditetapkan sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi

Warisan Alam Dunia UNESCO dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409

tahun 1992 tanggal 1 Pebruari 1992. Binatang langka warisan purba yang masih

hidup dan dilestarikan di TNUK hingga sekarang, serta menjadi ikon TNUK

adalah Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus). Berikut peta batas wilayah kelola

TNUK:

Gambar 3. Batas Wilayah Kelola Taman Nasional Ujung Kulon- Banten

52��

Menurut Adiwibowo, dkk (2009) perubahan status kawasan yang

berlangsung sejak masa Hindia Belanda hingga saat ini pada dasarnya bukan

persoalan teknis tata batas belaka tetapi lebih dari itu juga merefleksikan

perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan. Sebab perubahan rejim pengelolaan

kawasan hutan akan merubah struktur akses dan kontrol masyarakat sekitar

terhadap sumberdaya hutan yang telah telah terjalin lama sebelumnya. Terdapat

perubahan status kawasan hutan secara evolutif selaras dengan rejim pengelolaan

kawasan hutan di Ujung Kulon sejak masa kolonial Hindia-Belanda hingga saat

ini. Kawasan TNUK yang ada sekarang ini merupakan hasil panjang amalgamasi

dari kawasan suaka alam (Cagar Alam Ujung Kulon, Panaitan, dan Pulau

Peucang) dan kawasan hutan produksi (semula hutan produksi Perum Perhutani).

Berikut data perubahan status dan batas taman Nasional Ujung Kulon:

Tabel 1. Perubahan Status dan Batas Taman Nasional Ujung Kulon.

Tanggal Landasan Hukum Status Kawasan Tata Batas

17-Apr-58 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 48/Um/58

Cagar Alam Ujung Kulon Panaitan

Utara: Sungai Cilintang, Sungai Cihujan, Cikawaung yang berbatasan dengan hutan tutupan Gunung Honje Timur: hutan tutupan Gunung Honje

Selatan: Samudera Hindia Barat: Samudera Hindia dan Selat Sunda termasuk di dalamnya Pulau Panaitan dan Peucang yang diukur 500 m dari garis air surut serta Kepulauan Handeuleum dan gugusan Pulau Boboko yang terletak di teluk Cilintang

1-Mar-67 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. Kep. 16/3/1967

Cagar Alam Ujung Kulon dimana hutan tutupan Gunung Honje sebelah selatan seluas 10.000 ha termasuk kawasan cagar alam

Utara: mengikuti batas hutan G. 573, Sungai Cipunaga sampai ujung Cihandayan Timur: batas jalur Sungai Cihandayan dan batas hutan G. 355 Selatan: batas hutan G. 355 sampai dengan G. 464, batas laut yang diukur 500 m dari garis air surut sampai dengan batas hutan G. 435 Barat: batas hutan dari G. 435 sampai dengan G. 430 termasuk jalur laut selebar 500 m yang diukur dari air surut

15-Jul-78

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 440/Kpts/Um/ 7/1978

Penunjukan kompleks gunung Aseupan seluas 95 ha sebagai Taman Wisata yang selanjutnya dinamakan Taman Wisata Carita

Penetapan batas ditentukan setelah diadakan pengukuran di lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Kehutanan

11-Jan-79

Surat Keputusan Menteri Pertanian No.59/Kpts/Um/I/1979

Penetapan hutan Gunung Honje sebelah utara seluas 9.498,9 ha sebagai kawasan Cagar Alam Ujung Kulon

Penetapan tata batas Cagar Alam dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan melalui pengukuran dan penataan batas di lapangan

53�

Tanggal Landasan Hukum Status Kawasan Tata Batas

11-Dec-84

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 46/Kpts/VI-Sek/84

Penetapan wilayah kerja TNUK yang meliputi, Cagar Alam Krakatau, Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan dan Pulau Peucang, Cagar Alam Ujung Kulon dan Taman Wisata Carita

-

8-May-90

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan No. 44/Kpts/DJ-VI/1990

Penyerahan pengelolaan Cagar Alam Gunung Krakatau kepada Badan Konservasi Sumberdaya Alam II Tanjungkarang

-

4-Jun-90 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/90

Pemberian hak pengusahaan hutan Taman Wisata Carita kepada Perum Perhutani

-

26-Feb-92 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/92

Penetapan kawasan TNUK yang meliputi Cagar Alam Gunung Honje, Pulau Panaitan, Peucang dan Cagar Alam Ujung Kulon dengan luas total 78.619 ha serta perairan laut disekitar kawasan dengan luasan 44.337 ha

Penetapan batas ditentukan setelah dilakukan pengukuran dilapangan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan

Sumber: Adiwibowo dkk, Analisis Isu Pemukiman di Tiga Taman Nasional, 2009

Luas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon kini mencapai 121.561 ha

terdiri atas 63% di darat dan sekitar 37% di laut. Kawasan semenanjung Ujung

Kulon merupakan kawasan hutan yang terluas di TNUK. Untuk meningkatkan

efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, TNUK dibagi dalam beberapa

kawasan dan zona. Sejak pertama kali ditetapkan, kawasan dan zona TNUK

mengalami tiga kali revisi. Pertama, zonasi awal pada tahun 1991 berdasarkan SK

Dirjen PHPA No.172/Kpps/DJ-VI/1991, dimana kawasan dibagi ke dalam enam

zona. Kedua, melalui SK Dirjen PHPA No. 115/Kpps/DJ-VI/1997, zonasi TNUK

direvisi menjadi lima zona dengan dikeluarkannya zona penyangga dari dalam

kawasan. Ketiga, Balai TNUK kini mengajukan usulan perubahan zona menjadi

tujuh bagian.

54��

Tabel 2. Perubahan Zona TNUK, Tahun 1991 dan 1997

No. Status Hukum Pembagian Zona

Zona Luas (ha)

1. SK Dirjen PHPA No.172/Kpps/DJ-VI/1991

Inti 37.150 Rimba 77.839 Pemanfaatan intensif 562 Pemanfaatan tradisional 1.800 Rehabilitasi 3.200 Penyangga 2.405

2. SK Dirjen PHPA No. 15/Kpps/DJ-VI/1997

Inti 37.150 Rimba 77.295 Pemanfaatan intensif 1.096 Pemanfaatan tradisional 1.810 Rehabilitasi 3.200

Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Ujung Kulon Tahun Anggaran 1999/2000.

Kemudian terdapat usulan perubahan zonasi menjadi tujuh bagian sebagai berikut;

Tabel 3. Usulan Perubahan Zonasi TNUK

No. Zona Luas(ha) Wilayah Cakupan

1. Inti 47.250 Semenanjung Ujung Kulon, G. Honje

2.

Rimba 68.343 Seluruh kawasan daratan dan lautan. Pulau Panaitan, bagian Peri-peri kawasan Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje, Pulau Peucang dan Handeleum

a. Daratan 24.456

b. Perairan 43.887

3.

Pemanfaatan Intensif 1.108

Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje dan Pulau Panaitan a. Daratan 658

b. Perairan 450

4. Situs Budaya & Sejarah 20

Gunung Raksa (Pulau Panaitan), Makam Cilintang (S. Ujung Kulon), Makam Pasir Ranji dan Cimahi (Gunung Honje)

5. Pemanfaatan Khusus 3.700 Pulau Panaitan, Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje

6. Pemanfaatan Tradisional 130 Pulau Panaitan, Semenanjung Ujung

Kulon dan Gunung Honje

7. Penyangga 23.850 19 desa yang berada disekitar atau berbatasan dengan Taman Nasional

Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Ujung Kulon Tahun Anggaran 1999/2000.

Perubahan tata batas zonasi TNUK telah menyebabkan berubahnya status

wilayah pemukiman dan lahan pertanian penduduk. Kawasan yang semula masuk

wilayah desa menjadi masuk kawasan taman nasional. Hal ini terutama dirasakan

oleh kawasan-kawasan pemukiman di wilayah Gunung Honje yang dahulunya

tumbuh ketika wilayah ini masih berstatus hutan produksi di bawah pengelolaan

55�

Perum Perhutani. Pada masa itu muncullah perkampungan-perkampungan

penduduk di Legon Pakis, Kasendor, Cimahi, Cihujan, Tanjung Lame,

Cipunagara, Jayud, Cangkeuteuk, Ciakar, Ciguha, dan Ermukla.

Pada zona penyangga TNUK terdapat 19 desa penyangga yang tercakup

ke dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sumur yang terdiri dari tujuh desa dan

Cimanggu yang terdiri dari 12 desa. Dari 19 desa tersebut, 14 diantaranya

berbatasan langsung dengan kawasan.

Tabel 4. Nama, Luas Desa di Kecamatan Sumur dan Letak terhadap TNUK

No. Nama Desa Luas(ha) Letak

1. Ujungjaya 844 Berbatasan langsung 2. Tamanjaya 675 Berbatasan langsung 3. Cigorondong 466 Berbatasan langsung 4. Tunggal Jaya 466 Berbatasan langsung 5. Kertamukti 626 Berbatasan langsung 6. Kertajaya 420 Berbatasan langsung

7. Sumberjaya 323 Tidak berbatasan langsung

Total Luas 3.820

Sumber: Data BPS Kabupaten Pandeglang Tahun 2002

Tabel 5. Nama, Luas Desa di Kecamatan Cimanggu dan Letak terhadap TNUK

No. Nama Desa Luas

(ha) Letak

1. Tangkilsari 800 Berbatasan langsung 2. Cimanggu 1.222 Berbatasan langsung 3. Cijalarang 2.500 Tidak berbatasan langsung 4. Waringinkurung 1.250 Berbatasan langsung 5. Ciburial 1.213 Tidak berbatasan langsung 6. Padasuka 1.537 Berbatasan langsung 7. Mangkualam 1.300 Berbatasan langsung 8. Kramatjaya 1.815 Berbatasan langsung 9. Tugu 2.500 Berbatasan langsung 10. Batuhideung 1.690 Tidak berbatasan langsung

11. Cibadak 1.501 Berbatasan langsung

12. Rancapinang 1.549 Berbatasan langsung

Total luas 18.877

Sumber: Data BPS Kabupaten Pandeglang Tahun 2002

56��

Hingga sekarang ini persoalan hubungan TNUK dengan desa-desa baik

yang berbatasan langsung maupun tidak memiliki dinamikanya sendiri. terdapat

beberapa desa disekitar TNUK yang cukup harmonis menjaga hubungah dengan

TNUK, tetapi sebagain lainnya terjadi konflik, baik yang terselubung maupun

yang terang-terangan. Hal ini sangat tergantung pada tipikal rejim penguasa

TNUK dan kebijakan-kebijakan konservasi yang dikeluarkannya, terutama

menyangkut isu pemukiman di sekitar dan dalam kawasan TNUK. Peristiwa

peristiwa penembakan warga oleh Pertugas TNUK di desa Ujung Jaya, pada

oktober 2007, menjadi titik kulminasi konflik terselubung antara masyarakat di

sekitar dan dalam kawasan TNUK.

Sejak peristiwa tewasnya warga yang disusul dengan amok massa dan

penangkapan/penahanan beberapa warga dari beberapa kampung di Ujung jaya,

termasuk warga dari kampung Legon Pakis telah menciptakan ketegangan

hubungan masyarakat dan BTNUK. Ketegangan dan disharmoni tersebut terus

berlarut dengan beragam konflik sejenis, diseputar tata batas kelola, perambahan

hutan, perluasan lahangarapan, penambahan wilayah pemukiman dan persoalan

lainnya terkait dampak pembatasan akses dan control masyarakat atas kawasan

TNUK. Konflik masyarakat dengan TNUK kembali menghangat ketika proyek

Pemagaran Listrik Yayasan Badak Indoneisa (YABI) masuk sejak tahun 2010,

dan masih menciptakan pro-kontra hingga sekarang ini.

4.2 Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kecamatan Sumur

4.2.1 Kondisi Bio-Fisik dan Kependudukan

Secara bio-fisik letak dusun Legon Pakis yang berada di wilayah

administratif Desa Ujungjaya Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, terletak

pada ketinggian dibawah 500 m dpl.49 Desa ini mempunyai bentuk topografi

datar. Berdasarkan letak geografisnya, desa Ujung Jaya dikategorikan sebagai

desa pantai karena wilayahnya berbatasan dengan garis pantai/ laut dengan corak

kehidupan sebagian masyarakat tergantung pada potensi laut. Suhu udara yang

terjadi di di kedua desa ini berkisar antara 27O C – 30,650O C dengan suhu udara

������������������������������������������������������������49 BPS Kabupaten Pandeglang, 2010.

57�

rata-rata 27,880O C. Sedangkan curah hujan rata-rata di di kedua desa ini

mencapai 1751 mm/th. Tanah di desa ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan

yang relatif rendah serta mengandung bahan induk masam dan miskin zat hara.50

Luas kawasan wilayah dusun Legon Pakis hasil Pemetaan Pasrtisipatif

bersama masyarakat adalah 261, 611 ha, terdiri dari pemukiman, sawah dan kebun

campuran. Luas wilayah ini berbeda dengan data yang dimiliki oleh BTNUK yang

menyebutkan bahwa laus wilayah Legon Pakis kurang dari 250 ha. Hal ini terkait

dengan batas wilayah kelolala TNUK dan garapan warga yang hingga hari ini

masing disengketakan. Khususnya setelah penetapan kawasan TNUK tahun 1984

yang menelan seluruh kawasan dusun Legon Pakis sebagai wilayah TNUK.

Kini, di dusun ini tinggal kurang lebih 99 KK, kurang lebih 500-an jiwa,

yang mengalami pasang-surut sejak awal munculnya pemukiman di wilayah ini,

hingga sekarang51. Persoalan kependudukan di wilayah Legon Pakis memilki

aturannya sendiri yang diselaraskan dengan atauran pelarangan dari pihak TNUK.

Dalam kesepakatan yang dibuat bersama antara masyarakat Legon Pakis dan

TNUK pada tahun 2004 dan masih terus dinegosiasikan hingga sekarang,

penduduk yang boleh tinggal dikawasan dusun Legon Pakis tidak boleh melebihi

jumlah 120 KK52. Hal ini terkait dengan kebutuhan tempat tinggal, sawah, kebun

dan kebutuhan hidup lainnya yang dikuatirkan akan merusak sumberdaya hutan

disekitarnya. Sebab sudah barang tentu masyarakat yang tinggal di wilayah Legon

Pakis berada di dalam kawasan TNUK. Kesepakatan tersebut dipraktikkan oleh

masyarakat Legon Pakis dengan strategi bahwa jika seorang gadis Legon Pakis

mendapatkankan suami orang dari luar dusun maka ia dipersilahkan untuk keluar ������������������������������������������������������������50 Tim ERA. 2010. Analisis Resiko Lingkungan (Enviromental Risk Assesment/ERA); Rencana Pembangunan Javan Rhino Sanctuary di TNUK, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kerjasama antara Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, dan WWF-Ujung Kulon. Bogor. 51 Hasil Kajian Sajogyo Institute (SAINS) , Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan LATIN, 2010. (belum diterbitkan). 52 Hasil kesepakatan soal jumlah penduduk yang boleh tingggal di wilayah Legon Pakis ini bukanlah hasil kesepakatan yang “berimbang”. Masyarakat lebih banyak menerima aturan tersebut menurut ketentuan TNUK. Bahkan pelanggaran dalam penambahan keluara ini isa berakibat pada pembongkaran rumah penduduk. Pada tahun 2010, hasil negosiasi multi pihak di Hotel Kharisma Pandeglang banten, disepakati ulang mengenai jumlah keluarga yang boleh tinggal di kawasan Legon Pakis, karena melihat pertambahan penduduk yang sudah ada, yaitu 120 KK, dan tentunya hanya boleh ada 120 rumah di Legon Pakis. (Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Legon Pakis, Perangkat Desa Ujung Jaya 2009). Penulis juga ikut menjadi Tim Pendamping Masyarakat Legon Pakis dalam proses negosiasi multi pihak di Hotel Kharisma, Maret 2010.

58��

dari wilayah Dusun Legon Pakis. Namun, jika seorang pemuda Legon Pakis

mendapatkan istri orang luar Legon Pakis maka ia boleh tinggal di wilayah Legon

Pakis. Dengan cara demikian populsi dan kepadatan penduduk diupayakan untuk

ditekan. Termasuk aturan ketat bagi para pendatang yang akan tinggal di dusun

Legon Pakis.

Namun demikian, meski sejauh ini kesepakatan tersebut dipermukaan

memang dijalankan, bukan berarti persoalan populasi penduduk dan kebutuhan

pemukiman serta merta sudah selesai. Sebab pertambahan penduduk baik yang

asli dari dusun Legon Pakis maupun para pendatang lambat laun akan bertambah

seiring meningkatnya populasi masyarakat sekitar dusun Legon Pakis dan desa

Ujung Jaya.

Kini mayoritas anak muda baik perempuan dan laki-laki dari dusun Legon

Pakis sebagian besar keluar dari dusun Legon Pakis. Bagi yang perempuan,

umumnya mereka bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), dan buruh

pabrik di beberapa di kota, seperti Serang, Bekasi, Jakarta, Bandung hingga

Lampung. Bagi yang laki-laki lebih banyak kerja buruh kasar, buruh pabrik dan

kerja bangunan. Sehingga jika saat ini hendak berkujung ke Legon Pakis yang

banyak dijumpai mayoritas adalah anak-anak dan orang-orang yang sudah cukup

tua. Meskipun, masih tersisa beberapa anak muda yang tetap tinggal di Legon

Pakis bertani dan berkebun sebagai sumber mata pencahariannya. Berikut peta

wilayah dusun Legon Pakis:

Gambar 4. Peta Lokasi Dusun Legon Pakis Desa Ujung Jaya Kec. Sumur Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (yang diberi arsiran warna kuning, di tengah-tengah. (Sumber, JKPP, SAINS LATIN, 2010)

59�

4.2.2 Kesejarahan dan Kearifan Lokal

Secara historis, hingga pertengahan dekade 1970an, Legon Pakis Desa

Ujungjaya, hanya dimukimi oleh beberapa rumah tangga saja. Saat tersebut

kawasan hutan sekitar Legon Pakis masih berstatus sebagai hutan produksi yang

dikelola oleh Perum Perhutani (melanjutkan rejim pengelolaan hutan produksi di

masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda - yang di mata masyarakat dikenal

sebagai hutan Bouwheer). Ketika Cagar Alam (CA) Gunung Honje diperluas ke

wilayah Utara pada tahun 1979, Legon Pakis ditetapkan sebagai bagian dari CA

Gunung Honje. Kemudian ketika CA Gunung Honje dan CA Ujung Kulon,

Panaitan dan Pulau Peucang dideklarasikan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon

pada tahun 1980, pemukiman Legon Pakis otomatis masuk sebagai bagian dari

taman nasional (Adiwibowo dkk, 2009).

Sejak penatapan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon tahun 1984, dan

diperbaharui 1992, keseluruhan pemukiman Dusun Legon Pakis masuk di dalam

kawasan TNUK, beserta sebagain besar pekarangan, sawah dan kebun campuran

mereka. Hal inilah yang membedakan dengan kampung dan dusun lain yang

berbatasan dengan TNUK, misalnya kampung Cikaung Girang dan Ciakaung

Seberang yang hanya sebagian wilayahnya saja yang masuk di dalam kawasan

TNUK, meski sama-sama di dalam wilayah administratif desa Ujung Jaya. Posisi

ini pula yang membuat masyarakat Legon Pakis memiliki resistensi lebih tinggi

dan dampak langsung dari sebagian dan keseluruhan kebijakan, peraturan dan

program konservasi di wilayah TNUK. Selain itu, seluruh warga di Kampung

Legon Pakis tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, seperti Cap Girik, Cap

Garuda, atau bukti-bukti lainnya yang menunjukkan sejarah kepemilikan lahan

mereka—kecuali hak historis mereka--, sebagaimana dimiliki sebagian warga di

dusun tetangga mereka (Cikaung Sebrang, Cikaung Girang, Tanjung Lame, di

desa yang sama yakni Ujung Jaya). Dengan kenyataan semacam ini, masyarakat

di Legon Pakis sering menjadi sasaran dan objek kekerasan (fisik maupun non-

fisik) atas nama konservasi, ketika mereka dianggap ‘melanggar’ aturan dan tata

tertip pengelolaan kawasan TNUK.

Dari garis keturunan, menurut informasi lisan dari para sesepuh dusun

yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman dan Ki Misra) diketahui bahwa

60��

mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah/Bapak

Pelen53 dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak. Mereka kemudian

menyebar di sekitar hutan dan pesisir Pantai Ujung Kulon dan tinggal dikelilingi

batas sungai Cilintang di sebelah Selatan dan Sungai Cihujan sebelah Timur.

Masyarakat Legon Pakis secara turun temurun telah mengenal Hutan

Tutupan dan Hutan Titipan. Menurut pemahaman masyarakat Legon Pakis Hutan

Tutupan menunjuk pada hutan yang tidak boleh diganggu ataupun dirusak dan

harus dihormati sebagai “warisan” leluhur. Batas wilayah hutan Tutupan ini

menurut keyakinan para sesepuh dan diyakini juga oleh masyarakat Legon Pakis

sekarang adalah sungai Cilintang dan Sungai Cihujan ke arah dalam hutan. Hal ini

sangat berbeda jauh dengan batas kelola yang dibuat oleh Pemerintah/Perhutani

tahun 1982 dan sejak ditetapkannya TNUK yang garis batasnya “memakan’

keseluruhan wilayah Legon Pakis dan sebagian kampung sekitarnya. Sedangkan

pengertian Hutan Titipan menunjuk hutan yang boleh dikelola dan dijadikan

tempat tinggal oleh masyarakat setempat. Menurut pandangan masyarakat Legon

Pakis daerah hutan Titipan adalah arah keluar dari hutan Tutupan (juga dengan

batas sungai Cihujan dan Cilintang)54.

Menurut cerita lisan beberapa sesepuh kampung Legon Pakis, masih

terdapat pemahaman tradisional yang dipegang teguh masyarakat hingga sekarang

misalnya pandangan bahwa “Hutan itu adalah perkampungan hidup yang punya

tata tertib, aturan dan norma sendiri, sehingga hutan harus dihormati dan

dilestarikan sebagaimana seharusnya”. Keyakinan semacam ini memunculkan

“etika berhutan” yang sangat dipatuhi secara turun temurun di masyarakat LP,

diantaranya: 1) . Jangan memotong dahan/ranting pohon dengan tangan kosong,

harus dengan parang. 2) Jangan makan dan minum dengan berdiri. 3). Jangan ������������������������������������������������������������53 Menurut cerita lisan masyarakat Bapak/Abah Pelen adalah seorang sosok tokoh populer dan legendaris di mata masyarakat Legon Pakis, Cikawung Girang, Cikawung Sebrang dan beberapa kampung dan desa di sekitar Ujung Kulon. Beliau dianggap sebagai seseorang yang sakti mandraguna (Jawara) yang membuka pertama kali hutan Ujung Kulon. Diceritakan secara lisan oleh para muridnya, Abah Pelen telah datang ke Ujung Kulon sekitar tahun 1918. Selain sebagai seorang pemimpin kharismatik dalam politik, gerakan, pendakwah, beliau diklaim masyarakat sebagai kawan karib Ir Soekarno (Presiden RI I). Di hampir setiap kampung, masyarakat bercerita perkawanan antara Abah Pelen dan Soekarno, bahkan beberapa sesepuh kampung yang masih hidup mengaku pernah melihat langsung Soekarno dengan bersama Bapak/Abah Pelen. (Hasil wawancara penulis, dengan sesepuh dusun Legon Pakis, oktober 2008, dan akhir tahun 2009). 54 Hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dusun Legon Pakis dan murid-murid Bapak Pelen yang masih hidup. (Juni 2009).

61�

kencing dengan berdiri. 4). Jangan bersiul, 5). Kalau duduk di hutan harus pakai

alas. 6) Jangan bekerja jika sudah magrib, 7) Jangan menebang dan merusak hutan

Tutupan . Jika hal-hal di atas dilanggar maka, menurut keyakinan warga akan ada

sesuatu yang menimpa sang pelanggar, bahkan hingga berujung kematian.

Dengan pemahaman semacam ini masyarakat Legon Pakis sebenarnya

telah memiliki pemahaman dan kesadaran ekologis yang terpelihara bagi tata

kelola bagi pelesatarian kawasan konservasi TNUK. Perubahan tata batas

kawasan TNUK pada tahun 1982 ikut merubah juga wilayah kelola masyarakat,

termasuk akses dan kontrol masyarakat atas kawasan hutan TNUK. Baik untuk

kepentingan mata pencaharian mereka sehari-hari maupun jangka panjang,

misalnya kebutuhan kayu bagi perbaikan rumah mereka, yang kadangkala

memaksa masyarakat mengambil kayu di wilayah zona inti yang berakibat pada

penangkapan dan pemenjaraan warga dengan tuduhan perambahan hutan. Satu

kasus yang paling sering terjadi hingga kini, dan kerap menciptakan ketegangan

dan disharmoni masyarakat dan BTNUK.

4.2.3 Kondisi Sosial Ekonomi

Masyarakat Legon Pakis mempunyai 3 pola pemanfaatan sumberdaya di

dalam, yaitu penggunaan lahan, pengambilan sumberdaya alam, dan pemanfaatan

sumberdaya hayati. Penggunaan lahan terutama untuk kegiatan pertanian

tanaman semusim misalnya padi, dan jagung. Ada dua jenis tanaman perkebunan

yang dominan dilakukan oleh masyarakat, yakni kelapa dan umum (kopi, melinjo,

nangka, ubi batang dan lain-lain). Masyarakat legon pakis 70% bertani, 30%

usaha lain (dagang, kerja di kota/luar daerah, buruh bangunan dan lain-lain)55.

Jadi, pengambilan kayu bukan merupakan salah satu sumber pendapatan

masyarakat legon pakis. Penebangan kayu dilakukan untuk kebutuhan sendiri

(bahan bakar dan bangunan), tidak untuk tujuan komersial (dijual ke

luar/pasar). Pada umumnya yang mengambil/pengguna kayu yang berasal dari

TNUK tidak hanya masyarakat Legon Pakis saja melainkan banyak penduduk

������������������������������������������������������������55 Hal ini selaras dengan data BPS Pandenglang 2010, yang menyebutkan bahwa 95 % masyarakat di desa Ujung Jaya adalah Petani.

62��

sekitar yang mengambil kayu dari TNUK dan itu untuk kebutuhan konsumsi

sendiri bukan untuk dijual.

Perubahan rejim pengelolaan hutan ini – dari hutan produksi ke cagar alam

kemudian ke taman nasional – membawa pengaruh besar pada denyut kehidupan

masyarakat yang bermukim di Legon Pakis. Menurut warga Legon Pakis, di masa

rejim hutan (produksi) Bouwheer dan Perum Perhutani, mereka diperbolehkan

akses ke kawasan hutan untuk keperluan budidaya pertanian. Struktur akses ini

berubah ketika kawasan hutan Perum Perhutani berubah menjadi Cagar Alam dan

kemudian Taman Nasional. Terlebih ketika batas kawasan TNUK telah selesai

ditata.

Walau upaya memindahkan warga keluar dari dan melarang warga baru

masuk ke Legon Pakis telah dimulai sejak dideklarasikannya TNUK, namun

langkah-langkah serius baru dimulai setelah tahun 1992 yakni ketika TNUK telah

mempunyai kawasan hutan yang ditunjuk untuk itu Sementara areal pemukiman,

sawah serta kebun kelapa di Legon Pakis perlahan-lahan meluas akibat proses

transisi yang berlangsung selama 12 tahun (tahun 1980 sampai 1992). Di mata

warga Legon Pakis, keberadaan mereka yang “diijinkan” dikawasan TNUK

selama lebih dari dua dekade, dan besarnya investasi yang telah mereka tanamkan

untuk membangun pertanian di Legon Pakis, telah menjadikan Legon Pakis

sebagai ‘tanah air’ dimana hidup bergantung. Ketergantungan tersebut sulit

dibantah, jika dilihat dari hasil sensus aset agraria dan produksi pertanian di

kampung ini. (Adiwibowo, dkk, 2009).

63�

Tabel 6. Aset Agraria Legon Pakis Masyarakat di Dusus Legon Pakis

(Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007)

GAMBARAN�ASET�AGRARIA�MASYARAKAT�KAMPUNG�DI�WILAYAH�KONFLIK

Jenis Pemanfaatan

Luas (ha)

StatusKeterangan”Pemilik”

(org)Penggarap

(org)

Sawah 89,1 59 8Penggarap rata-rata memiliki sawah juga, meskipun tidak terlalu luas

Kebun Kelapa 30,421 56 - Kebun ini hanya ditanami pohon kelapa saja

KebunCampuran 83,675 56 -

Umumnya kebun campuran ditanami pohon kelapa juga

Total lahan pertanian 203,196

RumahTinggal 24,487 67

Total luas 227,683

LEGON�PAKIS

Tabel 7. Produkivitas Sumberdaya Pertanian di Wilayah Legon Pakis

(Hasil Sensus, Sajogyo Institute, tahun 2007)

PRODUKTIVITAS�SUMBERDAYA�PERTANIAN�DI�WILAYAH�LEGON�PAKIS�(Sensus,�2007)

Jenis Komoditas

Volume Produksi per

tahun

Frekuensi Produksi per

tahun

Nilai Produksi per tahun Keterangan

Gabah 320,8 ton 1-2 kali Rp 705.760.000 Harga gabah Rp 2.200 per kg

Kelapa 752.840 buah 6 kali Rp 376.420.000 Harga kelapa per butir Rp 500

Kopi 5.930 kg 1 kali Rp 118.600.000 Harga Kopi Rp 20.000 per kg

Pete 26220 1 kali Rp 5.240.000Harga pete Rp 20.000 per 100 papan (empong)

Melinjo 280 kg 1 kali Rp 840.000 Harga Melinjo Rp 3000 per kg

Jengkol 161 kg 1 kali Rp 322.000 Harga jengkol Rp 2000 per kg

Mahoni 20 papan 1 kali Rp 400.000 Harga mahoni Rp 20.000 per papan

Jumlah (bruto) Rp 1.207.582.000

Pada tahun 2009, dalam rangka pendampingan untuk penyelesaian konflik,

dilakukan kajian ulang tentang sumberdaya ekonomi di Legon Pakis.

Berdasarkan pola sebaran pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria

lokal, maka pola pelapisan (ekonomi) Rumah Tangga Petani (RTP) di Legon

Pakis dikelompokkan ke dalam 3 lapisan yakni, RTP golongan mampu, sederhana

dan tidak mampu. Menurut informasi yang digali di masyarakat diketahui bahwa

64��

dari 73 RTP yang tercatat, 40 RTP masuk dalam kategori tidak mampu yang di

antaranya tidak memiliki lahan (5 RTP) dan janda (8 RTP). Sementara, untuk

golongan sederhana terdiri 16 RTP sedangkan untuk golongan mampu sebanyak

17 RTP. Selain ukuran pemilikan dan penguasaan lahan, profesi dan status sosial

turut menentukan ukuran tingkatan kesejahteraan suatu RTP. Ukuran

kesejahteraan RTP di Legon Pakis dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 8. Ukuran Kesejahteraan Masyarakat di Dusun Legon Pakis

Ukuran/Penanda Mampu(kaya)

Sederhana (sedang)

Tidak Mampu (miskin)

Sawah >21 kotak 16 – 21 kotak 0 – 16 kotak Kebun Kelapa >500 pohon 50 – 500 pohon 0 – 50 pohon Kebun kopi, cengkeh, Meninjo Punya Tidak punya Tidak punya

Jenis pekerjaan/status sosial

Ustadz, penadah, tokoh masyarakat Petani Petani dan buruh tani

Jumlah RTP 17 RTP 16 RTP 40 RTP Sumber: Kajian Sosial-Ekonomi Tim SAINS, JKPP dan Latin 2009

Data ini menunjukkan bahwa ada kondisi kesejahteraan yang belum

merata lapisan masyarakat di Legon Pakis. Kemampuan pengelolaan dan akses

atas sumberdaya hutan dan daya adaptasi atas tekanan dan ancaman dari BTNUK

menentukan tingkat kesejahteraan ini. Ketidakmerataan sosial-ekonomi ini masih

dialami oleh masyarakat Legon Pakis hingga sekarang. Hampir separoh

kehidupan masyarakatnya tergolong miskin dan memiliki keterbatasan beragam

akses bagi kepentingan pemenuhan basic right mereka sehari-hari, seperti baik

yang nyata bagi kehidupan mereka seperti kesehatan, pendidikan, informasi, juga

hal-hal yang lebih substansial yakni keamanan, keadilan dan kebebasan. Sebab

mereka hanya punya satu pilihan untuk patuh dengan aturan kebijakan BTNUK,

mengingat kawasan mereka kini seratus persen berada di dalam kawasan TNUK.

Padahal jika merujuk pada pemikiran Amartia Sen (2009), tanda

kemiskinan yang paling substansial adalah ketidakadilan, dan kebebasan, semata

persoalan ekonomi. Di titik ini “masyarakat yang adil” mestinya dipahami

sebagai hasil dari institusi-institusi negara yang berjalan secara adil, dengan

adanya pengaturan sosial serta hak-hak warga. Masih banyaknya penangkapan,

kekerasan, pembatasan dan tekanan-tekanan psikologis dari wakil Negara dalam

65�

hal ini BTNUK, menyisakan beragam hambatan akses bagi peningkatan dan

kemajuan sosial-ekonomi warga. Selaras dengan pandangan Sen (2000) bahwa

penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun

keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Dalam hal ini, kemiskinan

diakibatkan oleh keterbatasan akses.

Masyarakat dibatasi pilihanya dalam menentukan keberlangsungan untuk

kehidupannya. Apabila manusia dibatasi dan tidak diberikan akses maka itu

artinya manusia hanya melakukan apa yang terpaksa dilakukan bukan apa yang

seharusnya dilakukan. Atas dasar itu, maka potensi untuk mengembangkan hidup

menjadi terhambat dan pada akhirnya menimbulkan kontribusi untuk menciptakan

kesejahteraan bersama yang lebih kecil. Kondisi keterbatasan akses dan masih

banyaknya ketidakdilan akibat kebijakan politik penataan dan penguasaan ruang

kawasan konservasi TNUK selama ini telah menyebabkan proses ketidakmerataan

sosial-ekonomi warga di Legon Pakis.