BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA DENPASAR DAN ......Denpasar mencatat jumlah penduduk Kota Denpasar tahun...
Transcript of BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA DENPASAR DAN ......Denpasar mencatat jumlah penduduk Kota Denpasar tahun...
BAB IV
GAMBARAN UMUM KOTA DENPASAR DAN PERKAWINAN CAMPURAN
4.1. Sejarah Kota Denpasar
Kota Denpasar Ibukota Daerah Tingkat I Provinsi Bali adalah salah satu kota
besar di Indonesia. Sebagai pusat pariwisata yang terletak dekat pelabuhan atau
Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Kota Denpasar mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari dua segi yaitu non-fisik dan dari fisik.
Dari segi non fisik tampak jelas betapa pesat terjadinya pertumbuhan proses
urbanisasi. Proses urbanisasi dan perubahan struktur sosial kota adalah perhatian
utama dari mereka yang tertarik pada studi sosiologi perkotaan. Sedangkan dari segi
fisik tampak betapa pesatnya pembangunan gedung-gedung, baik itu gedung
perkantoran, sekolah, kampus, universitas, pertokoan, pasar, terminal, perumahan
penduduk maupun jalan raya tumbuh dengan cepat. Semua penunjang bagi semakin
ramainya kota serta semakin banyaknya sarana angkutan.
Dilihat dari segi kehidupan kotanya, Kota Denpasar memiliki tiga kegiatan
utama yaitu (1) sebagai pusat pemerintahan (2) sebagai pusat pariwisata dan
perekonomian dan (3) sebagai kota kesenian. Dengan melihat Denpasar sebagai pusat
pemerintahan maka kita akan terbawa pada asal mula kota ini, yaitu pada masa
kerajaan-kerajaan di Bali. Nama Denpasar berasal dari masa kerajaan-kerajaan di
Bali. Nama Denpasar berasal dari kata (den dan pasar yang berarti sebelah utara
pasar (den=utara, pasar=pasar), mengingatkan kita pada suatu pola letak istana (puri)
yaitu bahwa letak sebuah puri selalu berada disebelah utara pasar. Jadi rupanya nama
Denpasar ini diambil berdasarkan letak puri yang selalu berada disebelah utara pasar.
Pada masa kerajaan, puri merupakan pusat pemerintahan, bahkan tidak jarang juga
sebagai pusat kebudayaan.
Di masa kolonial perkembangan Kota Denpasar dipengaruhi oleh unsur-unsur
“barat”, seperti pengaturan gedung-gedung adminitrasi pemerintahan dan mulai
munculnya bangunan sekolah-sekolah. Dengan demikian maka nilai tradisional mulai
mengalami perubahan. Pasar yang dulunya ada di depan istana kemudian dipindahkan
ke tempat yang baru, sedangkan lokasi pasar itu dijadikan lapangan, yang dulu
dikenal sebagai alun-alun. Ini salah satu ciri dari pola kota kolonial dimana gedung-
gedung pemerintahan dan rumah pejabat pemerintah ada disekitar alun-alun tersebut.
Beberapa bangunan dengan corak dan bentuk mengikuti model “barat” ini tentu
berkembang sampai masa pembangunan dewasa ini.
Kedudukan Kota Denpasar sebagai ibu-kota Daerah Tingkat I Provinsi Bali
tidak dapat dilepaskan dari beberapa unsur yang menunjang terutama masyarakatnya
yang sebagian besar memeluk agama Hindu. Oleh karena itu disamping mempunyai
kedudukan sebagai ibu kota, kota Denpasar lebih banyak berperan pula sebagai pusat
segala aktivitas baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang kebudayaan. Dari
segi kebudayaan ini rupanya akan lebih menonjol pada masa-masa sekarang ini
terutama pada masa pembangunan yaitu sejak Pelita I sampai akhir Pelita II. Hal ini
sudah tentu kita tidak dapat melepaskan pandangan terhadap kedudukan Pulau Bali
dimata dunia internasional yang sejak zaman penjajahan Belanda sudah dikenal
dengan kebudayaannya termasuk berbagai macam dan bentuk kesenian, upacara
keagamaan serta adat-istiadatnya yang menarik bagi para wisatawan asing dan
wisatawan dalam negeri. Demikian pesatnya arus wisatawan ke Bali, ini berarti
semua kegiatan berpusat di Kota Denpasar. Dampak ini sangat berpengaruh pada
perkembangan dan perluasan kota, munculnya hotel-hotel bertaraf Internasional
maupun nasional, rumah makan, toko-toko, tempat-tempat rekreasi ataupun taman
hiburan sehingga pembangunan dalam bidang pariwisata berkembang dengan pesat.
Salah satu yang menonjol mengenai kekhasan Kota Denpasar adalah sebagai
pusat kebudayaan. Hal ini tercermin dalam kegiatan pendidikan yaitu munculnya
sekolah-sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Banyaknya
sekolah ini menyebabkan penduduk Kota Denpasar semakin padat, keramaian kota
semakin meningkat dan secara tidak langsung berpengaruh juga pada masalah inovasi
terutama menyadarkan masyarakat Kota Denpasar pada tingkat pengetahuan. Akibat
dari dampak ini muncul stratifikasi sosial dalam masyarakat kota yang terdiri atas
golongan elite dan non-elite atau dapat dilihat dari golongan bawah sampai golongan
atas.
Kota Denpasar dalam hubungannya dengan penelitian ini, bukanlah merupakan
pusat pemerintahan atau kota administratif, melainkan sebagai tempat pertemuan dan
interaksi masyarakat dari berbagai latar belakang serta jenis pekerjaan di dalamnya,
yang membentuk suatu masyarakat multikultural dan dinamis.
4.2. Geografi Kota Denpasar
BPS Kota Denpasar memetakan Kota Denpasar secara geografis terletak pada
08º 35° 31° – 08º 44° 49° lintang selatan dan 115º 10° 23° – 115° 16° 27° bujur timur
yang berbatasan dengan: disebelah Utara Kabupaten Badung, disebelah Timur
Kabupaten Gianyar, di sebelah Selatan Selat Badung dan di sebelah Barat Kabupaten
Badung. Luas wilayah 227,78 km² atau 22.778 Ha atau sekitar 2,27% dari luas pulau
Bali. Kota Denpasar terletak ditengah-tengah dari Pulau Bali, selain merupakan
kotamadya, juga merupakan ibukota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat
pemerintahan, pendidikan, perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah
menguntungkan, baik dari segi ekonomi maupun dari pariwisata karena merupakan
titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten
lainnya.
Sementara itu Kota Denpasar pada saat ini mempunyai wilayah yang cukup
luas terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan
Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Utara. Ada 27
Desa/Kelurahan meliputi 406 Banjar Dinas dan 360 Banjar Adat. Berikut data jumlah
penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kota Denpasar Tahun 2013.
Tabel 3Penduduk Menurut Jenis Kelamin per Kecamatan Di
Kota Denpasar Tahun 2013
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total
Denpasar Selatan 136090 130330 266420
Denpasar Timur 74460 72050 146510
Denpasar Barat 125470 120110 245580
Denpasar Utara 95980 91710 187690
Total 432000 414200 846200
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Denpasar
4.3. Demografi Kota Denpasar
Secara luas pengertian demografi Kota Denpasar meliputi hal-hal yang secara
erat berhubungan dengan masalah kependudukan seperti jumlah penduduk,
kelompok-kelompok etnis dan mobilitas sosial yang ada serta mewarnai
perkembangan kota Denpasar. Secara khusus dari jumlah penduduk, perkembangan
Kota Denpasar tampak sangat pesat. Tentu saja perkembangan ini bukan hanya
disebabkan oleh faktor kelahiran, tetapi yang lebih berpengaruh adalah faktor
urbanisasi atau migrasi yakni perpindahan penduduk dari daerah lain ke Denpasar.
Perpindahan ini sebagian besar dari daerah lain ke Denpasar.
Kota Denpasar mengalami perkembangan yang cukup pesat. BPS Kota
Denpasar mencatat jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2015 mencapai 880.600
jiwa Demografi dalam arti jumlah, kepadatan, dan laju pertumbuhan penduduk di
Kota Denpasar dari tahun 2011-2015 seperti yang telah dipaparkan di atas, secara
rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 4
Penduduk Kota Denpasar Menurut Kelompok Umur 2010 – 2015Population of Denpasar Municipality by Age Group 2010 – 2015
Kelompok Umur (Tahun) 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Age Group (Year)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 0-4 75900 76000 75900 75500 75500 758005-9 67700 69800 70900 72200 73000 72800
10-14 55700 57300 59500 61700 63800 6590015-19 66800 67000 67700 68300 68900 7030020-24 88900 91200 93200 94900 96100 9670025-29 84500 85500 86900 88500 91000 9300030-34 81000 81200 81700 82000 82600 8340035-39 73700 74900 75800 76400 77000 7760040-44 65700 67600 69500 70900 72500 7360045-49 44500 47700 50800 53800 56200 5840050-54 30600 32200 34100 35800 38100 4080055-59 22200 23400 24600 26000 27500 2890060-64 14100 14700 15400 16100 17100 1780065-69 9400 9800 10100 10700 11100 1170070-74 5700 5700 6100 6400 6500 680075+ 6600 6900 6700 7000 6700 7100
Jumlah 793000 810900 828900 846200 863600 880600
Sumber : Proyeksi Penduduk
Dari tabel 3 sangat jelas menggambarkan bahwa jumlah penduduk Kota
Denpasar dari tahun 2010-2015 menunjukkan kecenderungan meningkat. Jumlah
penduduk tahun 2010 adalah 793.000 jiwa dan meningkat menjadi 880.600 jiwa
tahun 2015. Demikian pesatnya arus wisatawan ke Bali menyebabkan Kota Denpasar
menjadi jantungnya Pulau Bali karena faktor urbanisasi atau juga migrasi yakni
perpindahan penduduk dari daerah lain ke Denpasar. Perpindahan ini sebagian besar
akibat perkembangan Kota Denpasar sendiri yang tumbuh sebagai pusat pariwisata
yang berarti semua kegiatan berpusat di Kota Denpasar juga sebagai akibat
pertumbuhan Kota Denpasar sebagai salah satu kota besar di Indonesia. Laju
urbanisasi yang semakin meningkat merupakan pemicu timbulnya keragaman budaya
di Kota Denpasar. Penduduk pendatang yang datang dari berbagai daerah asal dengan
latar belakang adat istiadat, bahasa, suku, agama, yang berbeda-beda membentuk satu
kesatuan masyarakat yang multikultural. Jumlah penduduk pendatang yang berasal
dari luar Kota Denpasar turut mempengaruhi jumlah perkawinan antar etnis bahkan
perkawinan antar bangsa. Berikut Data jumlah penduduk pendatang di Kota Denpasar
berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar.
Tabel 5
Jumlah Penduduk pendatang di Kota Denpasar
Kecamatan 2011 2012 2013 2014 2015L P L P L P L P L P
Denpasar Barat
2180 11012 5113 3301 5111 3299 738 1107 1126 862
Denpasar Timur
2499 1688 2574 1464 2567 1458 349 211 1155 750
Denpasar Selatan
2410 1709 6870 5867 6821 5837 1085 1496 1297 1334
Denpasar Utara
1115 699 1596 961 1596 961 1556 3237 4868 2131
Jumlah 23.312 27.746 27.650 9.779 13.523Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar
Banyaknya wisatawan Mancanegara yang datang langsung ke Provinsi Bali
tahun 2015 dapat dirinci sebagai berikut. Asia Pasifik 1.868.047 (56.98%), ASEAN
418.493 (12.76%), Afrika 14.389 (0.44%), Amerika 162.887 (4,97%), Eropa 719.806
(21.95%), Timur Tengah 18/245 (0.56%), Lainnya 76.731 (2.34%) jumlah
seluruhnya 3.631.195 jiwa. Jumlah wisatawan yang datang ke Provinsi Bali turut
mempengaruhi meningkatnya angka perkawinan campuran antarbangsa di Kota
Denpasar. Wisatawan domestik yang datang langsung ke Provinsi Bali selama tahun
2015 adalah 3.277.998 jiwa. Jumlah wisatawan asing yang datang langsung ke
Provinsi Bali tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 6 seperti berikut ini.
Tabel 6
Jumlah Wisatawan yang Datang Ke Provinsi Bali Tahun 2015
No Negara Asal Jumlah Presentasi (%)1 Asia Pasifik 1,868,047 56.98%2 ASEAN 418,493 12.76%3 Afrika 14,389 0.44%4 Amerika 162,887 4.97%5 Eropa 719,806 21.95%6 Timur Tengah 18,245 0.56%7 Lainnya 76,731 2.34%
Sumber: BPS Kota Denpasar
Tabel 6 menggambarkan bahwa wisatawan yang datang ke Provinsi Bali
didominasi oleh wisatawan asing yaitu 97.66%, dan jumlah tertinggi adalah
wisatawan yang berasal dari Asia Pasifik yaitu 1.868.047 (56.98%).
Kegiatan pariwisata di wilayah Kota Denpasar tentu tidak akan dipisahkan dari
kedudukan Pulau Bali sebagai daerah yang terkenal di dunia pariwisata juga tidak
terlepas dari kaitannya dengan Pemerintah Indonesia yang memikirkan pembangunan
pariwisata di Indonesia. Berikut data KEMENTERIAN PARIWISATA DAN
EKONOMI KREATIF RI dan KANWIL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN
HAM PROVINSI BALI mengenai jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung
ke Bali Tahun 1969-2014.
Tabel 2KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA YANG LANGSUNG
KE INDONESIA DAN BALI TAHUN 1969 – 2014YEAR NUMBER OF FOREIGN
TOURIST ARRIVALSSHARE % REMARK
INDONESIA BALI19691970197119721973
86,067129,319178,781221,195270,303
11,27824,34034,31347,00453,803
13.1018.8219.1921.2519.90
PELITA I
TOTAL 885,665 170,738 19.2819741975197619771978
313,452366,293401,237456,718468,614
57,45675,790115,220119,095133,225
18.3320.6928.7226.0828.43
PELITA II
TOTAL 2,006,314 500,786 24.9619791980198119821983
501,430561,178600,151592,046638,855
120,084146,644158,926152,364170,505
23.9526.1326.4825.7426.69
PELITA III
TOTAL 2,893,660 748,523 26.0019841985198619871988
700,910749,351825,035
1,060,5471,301,049
189,460211,244243,354309,294360,415
27.0328.1929.5029.1627.70
PELITA IV
TOTAL 4,636,892 1,313,767 28.33
19891990199119921993
1,625,9652,051,6862,569,8703,060,1973,403,138
436,358490,729555,939738,533885,516
26.8423.9221.6324.1326.02
PELITA V
TOTAL 12,710,856 3,107,075 24.441994199519961997199819992000200120022003200420052006
4,006,3124,310,5045,034,4725,184,4864,606,4164,600,0005,064,2175,153,6205,033,4004,467,0215,321,1655,002,1014,871,351
1,032,4761,015,3141,140,9881,230,3161,187,1531,355,7991,412,8391,356,7741,285,844993,029
1,458,3091,386,4491,260,317
25.7723.5522.6623.7325.7729.4727.9026.3325.5522.2327.4127.7225.87
20072008200920102011201220132014
5,505,7596,234,4976,323,7307,002,9447,649,7318,044,4628,802,1299,435,411
1,664,8541,968,8922,229,9452,493,0582,756,5792,892,0193,278,5983,766,638
30.2431.5835.2635.6036.0335.9537.2539.92
Sumber: KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF RI dan KANWIL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAM PROVINSI BALI
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah kedatangan wisatawan manca negara
yang datang ke Bali setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan.
Sehingga hal ini mendukung proses terjadinya perkawinan campuran baik antar
bangsa. Hal ini didukung oleh data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Denpasar tahun 2010-2014 yang mencatat bahwa ada sebanyak 450 pasangan
perkawinan campuran WNI dan WNA di Kota Denpasar.
4.4. Kelompok Etnis
Kota Denpasar sebagai kota besar, sangat menarik bila kita lihat kelompok-
kelompok etnis yang ada di Kota Denpasar seperti golongan Tionghoa, Arab sebagai
golongan minoritas yang lebih banyak hidup dari perdagangan. Disamping itu masih
tampak lagi beberapa kelompok suku bangsa seperti Jawa, Madura, dan Minang yang
jumlahnya semakin meningkat di Kota Denpasar dimana sebagian dari mereka hidup
dengan mendirikan rumah-rumah makan sebagai salah satu sarana yang ikut
menunjang kehidupan pariwisata di Kota Denpasar. Daya tarik Kota Denpasar dari
berbagai aspek itu menyebabkan timbulnya urbanisasi yang membawa dampak yang
sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat kota.
Masyarakat Kota Denpasar adalah masyarakat yang majemuk (heterogenitas)
dengan berbagai ragam kebudayaan didalamnya meliputi berbagai suku, agama,
bahasa, dan etnis. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat
yang terbuka dalam menerima kehadiran etnis lain. Hubungan antara Bali dengan
masyarakat luar, baik melalui hubungan politik, ekonomi maupun hubungan
perdagangan pada masa lampau telah menjadikan masyarakat Bali sebagai
masyarakat multietnis. Ini menyebabkan masyarakat Bali saat ini bukan lagi
masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Realitas
heterogenitas tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat, meliputi
bidang ekonomi, agama, budaya, dan bahasa. Burhanuddin (2008:39-40) mengatakan
bahwa heterogenitas tersebut terjadi ketika pulau ini menjadi pusat perdagangan
hasil-hasil bumi dan budak, telah membuat Bali beragam secara etnis, agama, bahasa,
dan juga budaya.
Bentangan sejarah cikal bakal munculnya etnis lain di Bali, seperti suku Cina,
Arab, Bugis, Jawa, dan Madura adalah melalui jalur perdagangan. Burhanuddin
(2008:21) mendeskripsikan latar historis pembauran etnis di Bali. Perdagangan
adalah jalur pertama munculnya kontak antara orang-orang Bali dengan suku-suku
lain dari daerah lain luar Bali. Hal tersebut didukung oleh kenyataan adanya orang-
orang sunantara yang menetap di Bali sejak abad XVII. Wong sunantara termasuk di
dalamnya adalah orang-orang Bugis, Cina, dan Arab. Orang Bugis datang dari
Makasar karena terjadi perang antara kerajaan Sulawesi Selatan, bersamaan dengan
datangnya Belanda (VOC) yang bersekutu dengan Raja Aru Palaka dari Bone untuk
mengalahkan Makasar.
Meskipun etnis Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnis dominan,
tetapi dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan kepada etnis lain
sebagai etnis minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari
rasa persaudaraan yang terjadi antaretnis yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal
budaya Bali.
4.4.1. Budaya Etnis Sumba Timur
Dalam masyarakat Sumba Timur, perkawinan menganut adat eksogami
asimetris satu arah. Ego mengambil istri dari anak saudara laki-laki ibunya
(mother’s brother’s daughter marriage) dan tidak sebaliknya. Dalam ungkapan
Sumba disebut piti ana tuya (ambil anak paman). Selain adat endogami yaitu
endogami dedi (keturunan) dan identik dengan endogami kasta. Seseorang dari
golongan maramba tidak dibenarkan oleh adat untuk kawin dengan seseorang
yang berasal dari golongan ata . Prinsip kewargaan seseorang dalam masyarakat
Sumba ditentukan melalui garis keturunan ayahnya (patrinial).
Proses belajar dan penyesuaian alam pikiran serta sikap terhadap adat-
istiadat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan
Sumba masih berlangsung secara terus menerus dilaksanakan oleh seorang
individu dalam masyarakat Sumba Timur. Proses belajar dan penyesuaian alam
pikiran serta sikap itu, diawali dalam lingkungan keluarganya dengan cara meniru
tingkah-laku dan kebiasaan-kebiasaan orang tua atau saudara-saudaranya.
Selanjutnya proses tersebut masih akan berlangsung terus pada lingkungan yang
lebih luas melalui pergaulan dalam masyarakat.
Seiring berjalannya waktu dengan masuknya bangsa-bangsa asing sebagai
penjajah di Indonesia, khususnya di kepulauan Nusa Tenggara pada awal abad ke-
16, yang ditandai sebagai titik awal proses akulturasi (base line of acculturation)
yang berjalan lambat selama kurang lebih tiga abad dan melaju dengan cepat sejak
akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, masuklah pula misionaris-misionaris
Kristen untuk menyebarkan agama Kristen, penyuluhan kesehatan, pendidikan
formal di sekolah, serta unsur-unsur kebudayaan Eropa.
Menurut Kapita (1976:16-28), orang Sumba masih mengingat asal usul
leluhurnya dan oleh karena itu mereka masih mengadakan hubungan dengan
beberapa suku-bangsa seperti Jawa, Sumbawa, Bugis, Makassar, Selayar, Buton,
Bajau, Sabu, Flores dan lain-lain. Kecuali itu, pada abad 16, suku bangsa Sumba
telah bergaul dengan bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, Cina, Arab,
Perancis, dan Inggris. Hubungan itu terjalin karena adanya perdagangan diantara
mereka. Bangsa-bangsa asing itu sangat tertarik dengan kayu cendana yang harum,
kayu kemuning yang indah, dan hewan-hewan terutama kuda Sumba yang gagah
dan terkenal dengan sebutan kuda sandlewood. Kayu-kayu dan hewan, mereka
tukarkan dengan kain-kain, barang pecah belah yang dibuat dari porselin,
bermacam-macam muti terutama muti salak (ana hi’da), parang dan pisau dan lain
sebagainya. Dari orang inggris mereka mendapat uang emas dalam bentuk pound
dan dukaton yang lafal Sumba dikenal dengan matimbi dan likatongu atau nduaka.
4.4.2. Sejarah Masuknya Etnis Sumba di Bali
Pada tahun 1950 berdasarkan peraturan pemerintah No. 21 tahun 1950
daerah-daerah Flores, Sumba, Timor, Sumbawa, Lombok dan Bali merupakan satu
Propinsi Administratif dengan nama Propinsi Sunda Kecil. Nama Sunda kecil
kemudian diganti dengan nama Nusa Tenggara. Pada tahun 1957 setelah
berlakunya UU No.1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan
dengan UU No. 64 tahun 1958 Propinsi Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga daerah
Swantantra Tingkat 1, yaitu masing-masing Swantara Tingkat 1 Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur meliputi bekas daerah pulau Flores,
Sumba dan Timor dan kepulauannya.
Masa dimana Flores, Sumba, Timor, Sumbawa, Lombok dan Bali menjadi
satu provinsi hubungan diantara masyarakat Flores, Sumba, Sumbawa, Lombok
Timor, Sumba dan Bali juga cukup dekat. Hubungan ini mendorong proses
urbanisasi penduduk antara satu pulau ke pulau yang lain. Seperti yang terlihat
dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar dimana banyak masyarakat Sumba
yang melakukan urbanisasi ke pulau Bali khususnya di Kota Denpasar.
4.4.3. Sejarah Perkawinan Etnis Sumba
Dalam urusan perkawinan, masyarakat Sumba Timur masih menggunakan
tata cara/upacara perkawinan yang diputuskan oleh para leluhur pada musyawarah
adat yang ke-4 di Mandas. Hal ini masih dirasakan pada beberapa kelompok
masyarakat, tetapi sudah tampak kelompok masyarakat yang melakukannya
dengan perubahan/pembaharuan, disesuaikan dengan perkembangan kemajuan
tanpa menghilangkan yang bersifat ciri-ciri khas.
Musyawarah adat yang diadakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten Sumba
Timur pada tanggal 15-18 Mei 1953 di Waingapu ibukota kabupaten Sumba
Timur, telah membahas masalah adat-istiadat antara lain yang menyangkut:
1. Bentuk susunan masyarakat (Lii panaungu-lii panggolu = hal hubungan
kekeluargaan dan tata cara pergaulan hidup);
2. Hukum Adat Perkawinan (Lii mangoma-lii lalei = perihal beristri dan
bersuami);
3. Kematian dan Upacara Penguburan (Lii heda-lii meti = Perihal hidup dan
perihal mati).
Keputusan musyawarah adat tersebut diatas itulah yang dipergunakan untuk
melaksanakan segala tingkatan upacara adat di daerah Sumba Timur. Hal-hal yang
menyimpang dari keputusan-keputusan tersebut dalam pelaksanaannya, dapat
diawasi dan diarahkan secara langsung oleh pimpinan kecamatan dan desa
setempat.
Khusus yang menyangkut pelaksanaan dari upacara kawin mawin (lii
mangoma-lii lalei) banyak hal-hal yang telah menyimpang dari keputusan
musyawarah para leluhur. Karena sudah dicampur lagi dengan sifat dan sikap
feodalisme serta semangat komersialisme, disamping karena sudah majunya
masyarakat, maka musyawarah adat tahun 1963 telah menolak beberapa tata cara
yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat kemajuan masyarakat sekarang dan
karena dapat merusak atau mengganggu keamanan dan ketertiban, bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia (HAM), ajaran agama dsb, yaitu:
a) Maranggangu (mengambil isteri secara merampok);
b) Tama rumbak (masuk bilik secara paksa);
c) Piti Rambangu (ambil isteri dengan kekerasan, secara paksa);
d) Pahamburungu la marada (mempertemukan di padang);
e) Wili bara-rau karaki (melamar gadis sejak masih kecil);
f) Lale Tama (kawin masuk);
g) Perkawinan dengan menggunakan “ata ngandi”
h) Welli papaha tau (merampas isteri orang)
i) Poligami dan perceraian
Tata cara-tata cara diatas sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan karena
masyarakat sudah bertambah maju sehingga keamanan dan ketertiban sudah
semakin baik dan terjamin, pergaulan kehidupan sudah semakin harmonis dan
selaras. Karena masih ada hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi sejalan dengan
perkembangan keadaan ataupun didalam pelaksanaannya sering terjadi
penyimpangan yang merugikan, maka pemerintah kecamatan Pahunga Lodu dan
didukung oleh segenap lapisan masyarakat telah mengadakan Musyawarah adat
se-kecamatan Pahunga Lodu dalan Tahun 1988, yang sudah dipersiapkan sejak
awal tahun.
Pada waktu yang lampau, perkawinan terjadi karena dijodohkan oleh
orangtua, sehingga banyak juga pasangan yang sebenarnya kawin karena terpaksa
dan cinta tumbuh dan bersemi kemudian. Akan tetapi sekarang ini perkawinan
hanya dapat terjadi karena suka sama suka, akibat dari sebelumnya telah
terjalinnya percintaan diantara keduanya.
Walaupun terjalinnya hubungan cinta sudah terjadi diantara kedua sejoli,
namun urusan selanjutnya sudah merupakan “urusan keluarga”. Bukan lagi urusan
pribadi dari dua sejoli yang bersangkutan. Pemberian belis berupa emas dan hewan
dari pihak laki-laki dan pemberian balasan berupa kain dan sarung (=kamba) serta
hiasan perempuan oleh pihak pemberi perempuan adalah tuntutan adat-istiadat
yang mulia, karena sebenarnya harus seimbang. “Banda wili” (emas dan hewan
belis) harus diimbangi dengan “kamba wili” (kain, sarung dan hiasan). Anak
perempuan yang dengan mudah dilepaskan dengan tidak diadatkan atau tidak
dibelis, sama dengan merendahkan harga dirinya dan harkat dan martabatnya
dinilai rendah oleh masyarakat. Ungkapannya “Napakahoru alu mbatanya -
napakitu ngahu mberanya” (=anaknya disorong sebagai alu patah dan diguling
seperti lesung pecah) yang artinya, anaknya dikawinkan dengan tiada perempuan
itu kurang dihargai, karena seakan-akan dipungut ditengah jalan, di dapat dengan
cara gampang. Oleh karena itu, pemberian belis itu adalah harus, dan pembalasan
dari pihak wanita juga harus yang seimbang.
Apabila keadaan dari pihak laki-laki belum memungkinkan terselenggaranya
urusan adat istiadat atau pembayaran belis itu juga ada jalan keluarnya. Dapat saja
mereka kawin lebih dahulu melalui prosedur adat yang diperingankan, kemudian
(satu dua tahun) urusan penyelesaian belis dapat diselenggarakan. Hal demikian
disebut: pa halelaya la mangilu, pambotuya la malamuri (diringankan lebih
dahulu, diberatkan kemudian). Ini semuanya sudah barang tentu harus melewati
kesepakatan kedua pihak.
Adapun tingkatan tata perkawinan yang cocok dengan keadaan
perkembangan pembangunan dewasa ini serta tidak menjurus kepada pemborosan
adalah tata cara “meminang” (“keulu tau”, menyampaikan lamaran dan proses
penyelesaiannya dilakukan secara adat), yang dilaksanakan dengan cara-cara yang
sudah sangat disederhanakan.
Yaitu dengan urutan upacara sebagai berikut:
1. Kerumah pihak wanita
Setelah si pemuda dewasa menyampaikan orangtuanya keputusan tentang
pilihan hidupnya, maka pihak keluarga laki-laki mengirim utusan (wunang)
kepada keluarga wanita untuk mengungkapkan isi hati dan menyampaikan
maksud dan tujuannya antara lain mengatakan: Himbunggunya kanjonga ningu
waingu, luku ningu kurangu (terjemahannya secara harafiah: “saya mencari
lembah yang ada airnya, sungai yang ada udangnya”). Sama artinya: mencari
kembang di taman, mencari taman yang ada gadisnya. Adakalanya tahap ini
masih didahului dengan acara memperkenalkan diri atau biasa juga disebut
ketuk pintu dimana yang datang hanya anak laki-laki itu didampingi oleh satu
dua orang dewasa, dengan membawa satu buah mamuli mas dengan lulu amah
dan seekor kuda. Kalau sudah diterima, maka dibalas dengan kain dan ditikam
seekor babi sebagai kameti. Setelah itu baru wunang sebagai utusan resmi.
Pembawaan wunang dan rombongannya pada tahap ini:
Satu buah mamuli mas ma pawiti (mamuli mas berukir) dan satu buah
lulu amahu;
Satu buah mamuli mas ma makamuluku (mamuli emas polos) dan satu
utas lulu amahu;
Satu ekor kuda jantan cukup umur dan satu ekor kuda betina cukup umur;
Mamuli emas yang disampaikan pada tahap ini disebut: Kabela punggu
oka, pariku buta rumba (Parang pemotong kayu pagar, tajak untuk mencabut
rumput). Maksudnya sebagai perintis (permulaan) dari pembawaan-pembawaan
selanjutnya. Semua pembawaan ini adalah untuk orang tua dari si gadis, tidak
akan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga lain.
Pada zaman dulu, kuda merupakan sarana transportasi yang handal dan
vital. Penanggung jawab keseluruhan upacara dari awal sampai selesai adalah
orangtua dari laki-laki, atau saudara yang “dituakan” dalam kabihu atau dalam
kampung pihak laki-laki. Dialah yang menyuruh wunang, dan menerima
laporan pelaksanaannya. Karena tokoh ini menunggu dikampungnya, maka
disebut sebagai manu manda puru, wei manda luhu (ayam yang tidak turun,
babi yang tidak keluar), artinya penanggung jawab yang berdiam dan
menunggu di tempat.
Pembalasan sebagai jawaban dari pihak wanita (kalau pihak perempuan
menerima lamaran dari pihak laki-laki itu):
Satu lembar kain kombu dan satu lembar sarung Sumba ditambah satu
potong kain merah; kain dan sarung adalah balasan dari mamuli dan
hewan, sedangkan kain merah adalah tanda perjanjian yang harus ditepati;
Menikam seekor babi jantan besar (kameti), dimana yang sebelah/separuh
dari babi itu dimasak untuk menjadi lauk makan bersama dan yang
sebelah lagi dibawa pulang oleh rombongan pihak laki-laki.
Potongan kain merah (=tera kaha) menandakan penerimaan lamaran dan
perjanjian untuk urusan-urusan selanjutnya dengan ungkapan: “Mata wa
kana njanga njara kana njanga karimbua” (=supaya dia menjadi kuda
yang baik dan kerbau yang kembali).
2. Ke rumah laki-laki
Sesuai perjanjian (yang ditandai oleh potongan kain merah), kedua pihak
menentukan dan menetapkan waktunya (waktu yang disepakati disebut: rahi
pakawuku, tula pakajanga), kapan pihak perempuan pergi ke keluarga laki-laki
untuk melihat atau mencari tahu persiapan dan tingkat kemampuan dari pihak
laki-laki (melihat padang = melihat hewan di padang dan hewan di “mbola” =
emas adat). Tahap ini disebut “lua pa pangga” (terjemahan langsungnya: pergi
berlenggang). “Lua pa pangga” dapat juga dikatakan “lua pa ngangu ahu”
(pergi makan anjing).
Acara ini dapat dilaksanakan, dapat juga tidak. Kalau kedua pihak belum
pernah mempunyai hubungan kawin mawin sebelumnya sehingga merupakan
hubungan kekeluargaan yang baru (kalembi budi = keluarga baru) maka “lua pa
pangga” ini sangat perlu diadakan. Rombongan pihak perempuan yang hanya
terdiri dari laki-laki yang mengikuti acara ini, jumlahnya bisa besar sekali, bisa
juga hanya beberapa puluh orang.
Ketika rombongan tiba dan akan memulai pembicaraan adat, ditikam
seekor babi jantan besar (keluar taring) berwarna hitam polos. Kameti ini
disebut “kameti tanda taka” (tanda tiba). Sesudah itu untuk santapan bagi tamu
selama mereka masih menjadi tamu (ari ya), dipotong sapi atau ditikam babi
sebagai lauk pauk, tergantung jumlah dan berapa lama tamu itu berada di
keluarga laki-laki (dulu, bisa beberapa bulan, tetapi sekarang hanya beberapa
hari saja).
Sesudah itu, dibicarakan urusan-urusan selanjutnya. Biasanya kain
(kamba) yang dipakai untuk meminta belis oleh pihak perempuan, disampaikan
pada tahap ketika pihak laki-laki pergi membayar belis. Tetapi ada kalanya
semua “kamba” itu dibawa ketika pergi “pa pangga”, dan hewan-hewan serta
emas dibawa sendiri oleh pihak rombongan perempuan ketika kembali ke
negerinya.
Kalau pembicaraan sudah akan berakhir karena sudah tercapainya
kesepakatan dan keputusan bersama (pa hamanya ka la ngaru, pa batanya ka la
lima), maka pihak tuan rumah (pihak laki-laki) memperlihatkan mamuli-
mamuli yang terdiri dari satu buah mamuli mas berukir (ma pawiti) dan satu
buah mamuli mas polos (ma kamuluku) yang akan dibawa nanti ketika pergi
membayar belis kerumah pihak perempuan. Demikian juga harus
mempertunjukkan hewan/kuda yang akan dibawa nanti. Setelah melihat itu,
pihak perempuan akan mengatakan “supaya mamulinya tambah dimerahkan
dan ukurannya diperbesar lagi, dan kudanya dipelihara lagi”. Artinya agar
supaya mutunya ditingkatkan lagi, atau diganti dengan yang lebih bermutu.
Sesudah segala pembicaraan selesai dan tamu akan pulang, maka pihak
tuan rumah (laki-laki) menikam seekor babi jantan besar keluar taring, berbulu
hitam polos (mampu dipikul oleh 8-12 orang). Kameti ini disebut “kameti tanda
luhu” (=tanda keluar). Biasanya babi tersebut ditikam lalu dibagi dua, yang
sebelah ditinggalkan atau diberikan kepada tuan rumah untuk menjadi lauk
pauk pada santapan perpisahan, yang sebelah lagi dibawa pulang. Tetapi
sekarang mulai biasa dibawa bulat-bulat. Maka rombongan pun pulanglah ke
negeri mereka, untuk menunggu saat datangnya pihak laki-laki untuk
membayar belis dan menjemput serta membawa pulang gadisnya.
3. Ke rumah pihak perempuan
Setelah tiba waktu yang sudah dijanjikan, maka pihak keluarga laki-laki
pun berkumpul untuk pergi ke rumah pihak perempuan guna membayar belis
dan menjemput gadis yang sudah dilamar. Rombongan pihak laki-laki yang
pergi membayar dan menjemput si gadis ini, besarnya atau jumlahnya harus
melebihi jumlah rombongan dari pihak perempuan ketika datang “pangga”.
Pada zaman dahulu, pihak tuan rumah sudah menugaskan satu dua orang
untuk menghitung jumlah anggota rombongan itu, laki-laki dan perempuan. Ini
merupakan pekerjaan gampang, oleh karena itu rombongan menggunakan
kendaraan kuda, sehingga rombongan datang beriringan. Sekarang, rombongan
datang dalam kendaraan truk atau bus sehingga lebih sukar melakukan
perhitungan. Ketika sudah memasuki kampung, wunang tamu akan ditanya
berapa orang bangsawan dan berapa orang hamba. Ini perlu nanti ketika tamu
disuguhi makanan secara adat. Yang statusnya hamba tidak boleh dibagikan
tempat minum bagi yang bangsawan tidak boleh sama dengan yang hamba.
Misalnya, cangkir minuman para bangsawan memakai tutup, yang hamba tidak
tertutup, dan lain sebagainya. Kini, hal-hal seperti ini tidak lagi, tetapi masih
berlaku di beberapa tempat tertentu. Tetapi informasi tentang siapa yang
bangsawan dan yang tidak, hanya diberikan secara diam-diam saja.
Sampai dikampung pihak perempuan, rombongan disambut tuan rumah
diluar kampung dan dipintu gerbang kampung sudah dipasang satu lembar kain
Sumba menghalangi jalan. Rombongan hanya boleh masuk kalau kain itu sudah
diambil oleh pihak laki-laki dengan membayar mamuli, maka rombongan pun
sudah boleh masuk kampung dan diterima tuan rumah dengan tari-tarian,
kemudian dilanjutkan dengan penyuguhan sirih pinang atau dengan pertukaran
tempat sirih pinang.
Ketika sudah akan memulai pembicaraan pembayaran belis, maka pihak
tuan rumah menikam satu ekor babi besar, sebagai “tanda taka” (tanda tiba).
Sesudah itu, pembicaraan-pembicaraan pun dilanjutkan.
4. Pelaksanaan Pemberian Belis
Acara adat ini merupakan tahapan terakhir dalam urusan kawin mawin (lii
lalei-lii mangoma). Sebelum acara ini dilaksanakan, kedua belah pihak sudah
mengetahui perkiraan jumlah “kamba” yang akan disodorkan oleh pihak
perempuan, dan perkiraan jumlah dan jenis hewan yang perlu disediakan oleh
pihak laki-laki. Perkiraan ini sudah dibicarakan ketika acara “lua pa pangga”
sebelumnya. Itulah gunanya kain merah itu, “tera kaha” tanda perjanjian.
Urutan penerimaan belis adalah sebagai berikut:
a. Tanggu na ma paanangu (bagian orang-tua/ Ibu-Bapa, na pingi ai
papunggu, na mata wai pataku):
Satu buah mamuli mas ma pawiti dan satu utas lulu amahu
Satu buah mamuli mas ma kamuluku dan satu utas lulu amahu (kedua
jenis tersebut diatas sudah pernah diperlihatkan ketika pergi pangga,
tinggal di cek saja apakah yang itu dan sudah lebih besar dari karat
masnya sudah lebih tinggi atau tidak).
Adakalanya lulu amahu yang dibawa dibuat dari bahan emas, namanya
“kanataru”.
Pihak perempuan membalasnya dengan muti salak dan kamba (kain
dan sarung) yang mutunya seimbang dari bahan emas yang dibawa.
Penambahan hewan berupa kerbau atau sapi dan penambahan mamuli
mas atau kanatar (rantai mas) dan lulu bara (rantai perak) tergantung dari
persiapan dari kedua belah pihak (pembawaan pihak perempuan dan
kemampuan pihak laki-laki).
b. Kuta rara kaliti pangga (bagian paman):
Sesuai dengan jumlah paman yang berhak menerima bagian. Untuk dapat
berhak menerima, sudah barang tentu mereka harus menyediakan kambanya,
satu lembar kain Sumba dan satu lembar sarung Sumba. Tiap paman menerima
satu buah mamuli mas (polos) dan satu utas lulu amahu, ditambah satu ekor
kuda jantan cukup umur.
c. Kuta rara aya na – kuta rara eri na (bagian saudara laki-laki)
Sesuai jumlah saudara laki-laki yang berhak menerima dan menyediakan
kamba. Masing-masing saudara laki-laki menerima satu buah mamuli mas
(polos) dan satu utas lulu amahu, ditambah satu ekor kuda umur satu adik.
Pemberian ini bisa langsung disetujui atau masih menuntut mas yang lebih
merah atau yang lebih besar.
d. Ma pajurungu – Ma pandalarungu (bagian tetangga)
Sesuai jumlah tetangga yang hadir dan menyediakan kamba. Masing-
masing mendapat satu buah mamuli mas atau perak dan satu utas lulu amahu
dan satu ekor kuda jantan atau kuda betina. Pada tingkatan ini, umumnya tidak
mutlak harus dibayar kontan, tetapi bisa berupa janji (=puha). Ada juga yang
pantas diberikan mamuli mas, karena walaupun dia hanya termasuk tetangga,
tetapi mempunyai kedudukan tertentu dalam adat, dengan ungkapan: Ta tongu
wili ana, ta tongu wili ana wini.
Balasan dari pihak Perempuan
a. Dari Pihak Ibu-Bapak (=Pokok)
Dua lembar kain kombu dan dua lembar sarung tenun (lau pahudu), satu
leher (=nggelu) muti salak, satu pasang (=hamawangu) gading atau satu
pasang gelang perak; muti salak dan gading/gelang tidaklah harus/mutlak.
b. Dari pihak kuta rara kaliti pangga
Satu lembar kain kombu, satu lembar sarung tenun, satu leher atau satu
tangan muti salak. Soal muti ini juga tidak mutlak atau tidak harus.
c. Dari pihak kuta rara aya na – kuta rara eri na (saudara laki-laki)
Satu lembar kain kombu, satu lembar sarung tenun, satu utas muti salak
(ini tidak mutlak).
d. Dari pihak mapajurungu ma pandalarunggu (tetangga)
Masing-masing tetangga yang mau menerima belis harus membalasnya
dengan satu lembar kain kombu dan satu lembar sarung tenun.
Sesuai tingkatan kedudukan sosial kedua belah pihak, pihak perempuan
dapat pula memberikan satu atau dua orang hamba yang menyatu dengan gadis
yang akan dibawa pihak laki-laki. Hamba atau dayang-dayang ini ketika dibawa
disebut “mamoha”. Jika demikian, pihak laki-laki tentu harus memberikan belis
tambahan, dan disinggung juga dalam pembicaraan-pembicaraan adat.
5. Tata cara penyerahan
Semua kamba dibawa pihak perempuan untuk meminta belis, diserahkan
seluruhnya kepada pihak laki-laki, tentu saja melalui wunang, disertai dengan
daftar nama dari pemiliknya dan kedudukannya. Lalu pihak laki-laki
menghitung dan meneliti daftar nama pemilik dari kamba itu, lalu dipilih jenis
mamuli dan menetapkan jenis dan keadaan hewan yang akan dipakai sebagai
balasannya. Biasanya, tuntutan belis yang banyak harus pula disesuaikan
dengan pembawaan pihak perempuan. Namun hal ini sudah dapat diperkirakan
sebelum dalam perundingan diantara kedua pihak.
Setelah balasan dari pihak laki-laki disesuaikan masing-masing, lalu
diserahkan semuanya kepada pihak keluarga perempuan (tentu saja harus
melalui wunang) untuk dibagikan kepada masing-masing sesuai nama dan
kedudukannya. Bagi pihak yang belum puas, akan mengutus kembali wunang
untuk menyampaikan tuntutannya.
Proses tawar menawar atau negosiasi ini bisa berlangsung cepat, bisa juga
lambat bahkan bisa sampai pagi. Kadang-kadang terjadi selisih paham. Tetapi
bagaimanapun juga, “menuntut” itu adalah hak pihak perempuan, sehingga
kalau ada yang menuntut banyak, adalah hal yang wajar-wajar saja. Ada
kalanya, ada dari pihak perempuan yang menuntut belis tinggi-tinggi tetapi
sesudah diberikan balasannya, langsung saja menerimanya.
Selesai segala urusan belis, ataupun terjadi kemelut dalam negosiasi itu,
maka pihak keluarga laki—laki meminta (secara adat) agar si anak perempuan
datang “bersama-sama untuk membantu pembahasan” urusan tawar menawar
belis ini. Maka tibalah saatnya si anak perempuan berpindah atau menyeberang
ke pihak laki-laki (“pa palangu”, =penyebrangan), dengan membawa
pembawaannya (mbola ngandi-kahidi yutu = tempat bawaan, pisau jinjingan)
berisi pakaian, perhiasan, muti salak, dan barang-barang adat lainnya. Ini semua
merupakan hak pribadi dari anak perempua itu dan suaminya, tidak perlu
dibagi-bagikan lagi kepada anggota keluarga. Sudah barang tentu dalam acara
“pa palangu” ini, baik anak perempuan maupun anak laki-laki calon pengantin
itu sudah berhias dengan sebaik-baiknya.
Sebelum itu diadakan acara pemberian nasihat (lii panaungu-lii
pangerangu), dimana orang yang memberikan nasihat, membawa barang adat
juga. Penasihat dari pihak laki-laki akan memberikan mamuli, dari pihak
perempuan akan menyerahkan sarung, muti salak atau jenis perhiasan wanita
lainnya lalu memberikan nasihat. Biasanya, inti dari nasihat antara lain: kalau
disuruh pergi mengambil air, jangan justru mengambil api, kalau disuruh ke
dapur, jangan justru mengambil air”. Maksudnya, setialah kepada suamimu”.
Anak laki-laki juga diberikan nasihat yang sama.
Selesai pemberian nasihat, maka resmilah si gadis yang dilamar itu
berpindah dan menjadi bagian dari keluarga laki-laki. Setelah menerima
nasihat, si gadis pun pamit dari keluarganya dan dari seluruh keluarga pihak
perempuan.
6. Membawa Pulang Si Gadis
Selesai acara nasihat, maka saatnya tiba untuk keluarga laki-laki pulang
membawa serta gadis yang dipinang. Selesai menikam babi tanda keluar (tanda
luhu) maka pihak keluarga laki-laki pun berkemas, pamit dan pulang bersama
rombongannya. Untuk membalas “babi atau kameti tanda luhu”, pihak laki-laki
menyerahkan satu ekor kerbau cukup umur, yang boleh dipotong boleh juga
tidak, oleh pihak perempuan. Oleh orang tua, si anak gadis diberikan seekor
kuda jantan besar untuk menjadi “kuda tunggang” (njara kaliti) bagi anak
perempuan mereka (Hal ini tidaklah mutlak, tergantung kemampuan pihak
perempuan. Tetapi ada kalanya, pihak orangtua perempuan yang mampu,
memberikan juga hewan atau emas untuk menjadi bekal dan modal usaha dari
anak perempuan mereka di tempat keluarganya yang baru).
Sejak saat itu, resmilah hubungan kekerabatan diantara kedua pihak.
Pihak perempuan disebut “yera, atau ai ngia papunggu, wai ngia pataku”
(tempat memotong kayu, tempat menimba air), sedangkan pihak laki-laki
disebut “ulayea”, atau “ana kawini”.
Biasanya, ketika akan keluar dari kampung itu, sudah banyak orang-orang
(biasanya anak-anak tetapi bisa juga orang besar) dari kampung itu yang
menyiapkan air kotor atau kotoran hewan untuk ditebarkan kepada rombongan
ketika melintas dipintu gerbang kampung, sehingga ada yang kena kotoran, air
kotor dan lain-lain. Supaya orang-orang ini tidak sempat melempar kotoran,
pihak rombongan laki-laki harus membuang uang perak ataupun uang kertas
kejalan sehingga mereka sibuk berebutan uang dan melupakan kotoran yang
sudah mereka siapkan.
Tiba kembali dikampung asalnya, rombongan akan diterima dengan tari-
tarian oleh keluarga yang tidak ikut ke kampung pihak perempuan. Pesta di
kampung pihak laki-laki disebut “pa maupapa” dimana tiap-tiap malam
diadakan tari-tarian, dimana hadir pula keluarga dari kampung-kampung lain.
Pesta “pa maupapa” ini bisa bulanan, tetapi biasanya hanya satu dua hari saja.
7. Hari Pernikahan
Dengan sudah beradanya si gadis di rumah pihak laki-laki, maka
sebenarnya secara adat sudah resmi laki-laki dan si gadis resmi menjadi suami
isteri. Tetapi sesuai dengan ajaran agama yang dianut dan ketentuan undang-
undang perkawinan (UU No.1 1974) maka perlu diselenggarakan upacara
perkawinan. Penyelengaraannya menjadi hak dan kewajiban dari pihak laki-
laki, sedangkan dari pihak perempuan hanya menjadi undangan. Dalam
pelaksanaannya, kegotong-royongan diantara kedua pihak tetap dipertahankan
sehingga bisa juga “acara pernikahan” dilakukan dirumah keluarga wanita.
Selesai pernikahan barulah diberikan “tanda luhu” dan rombongan kembali
dengan membawa sepasang muda-mudi yang sudah menjadi suami-isteri
karena sudah menjalani pernikahan adat dan acara pernikahan modern.
Bagi yang beragama kristen, pernikahan diselenggarakan di gereja, yang
diikuti dengan pencatatan oleh Dinas Pemerintah yang berwajib, biasanya
disebut BS. Kemudian diselenggarakan pesta atau resepsi yang biasanya sangat
mewah. Selesai pesta, rombongan dari pihak perempuan yang menghadiri pesta
akan di sapa lagi secara adat, yaitu dengan diberikan satu buah mamuli mas,
satu utas lulu amahu dan satu ekor kuda serta menikam satu ekor babi sebagai
tanda ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas telah
terselenggaranya upacara perkawinan itu. Babi atau kameti tersebut bisa
ditikam disitu, bisa juga dibawa pulang hidup-hidup.