BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN...

31
72 BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa Berdasarkan hasil penelitian pada bab III, diketahui bahwa agama Kristen masuk di desa Mepa sekitar tahun 1842. Hal ini membuktikan bahwa pada saat agama Kristen belum masuk ke desa Mepa, masyarakat Mepa masih berpegang teguh pada adat istiadat atau agama asli atau kepercayaan asli. Pada saat itu masyarakat masih mempercayai dan menyembah tete nene moyangatau leluhur yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat pada saat itu diatur oleh sejumlah aturan-aturan yang disebut sebagai adat. Adat tersebut dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat, karena bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral dan berguna bagi masyarakat setempat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Tylor adat atau kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat isti-adat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Di dalam adat juga terdapat aturan-aturan yang telah digariskan serta diturunkan oleh leluhur, demikian juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Mepa. Salah satu adat istiadat yang menonjol atau yang sangat disakralkan dalam adat Mepa adalah Esmaket. Kehidupan masyarakat Mepa juga tidak terlepas dari berbagai aktifitas yang terbagi dalam dua ranah yaitu aktifitas dalam ranah profan dan ranah sakral.

Transcript of BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN...

Page 1: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

72

BAB IV

ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN

A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa

Berdasarkan hasil penelitian pada bab III, diketahui bahwa agama Kristen

masuk di desa Mepa sekitar tahun 1842. Hal ini membuktikan bahwa pada saat

agama Kristen belum masuk ke desa Mepa, masyarakat Mepa masih berpegang

teguh pada adat istiadat atau agama asli atau kepercayaan asli. Pada saat itu

masyarakat masih mempercayai dan menyembah tete nene moyangatau leluhur

yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka.

Kehidupan masyarakat pada saat itu diatur oleh sejumlah aturan-aturan

yang disebut sebagai adat. Adat tersebut dihormati dan dijunjung tinggi oleh

masyarakat setempat, karena bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral dan

berguna bagi masyarakat setempat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Tylor

adat atau kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat isti-adat dan kemampuan-kemampuan

serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Di

dalam adat juga terdapat aturan-aturan yang telah digariskan serta diturunkan oleh

leluhur, demikian juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Mepa.

Salah satu adat istiadat yang menonjol atau yang sangat disakralkan dalam adat

Mepa adalah Esmaket.

Kehidupan masyarakat Mepa juga tidak terlepas dari berbagai aktifitas

yang terbagi dalam dua ranah yaitu aktifitas dalam ranah profan dan ranah sakral.

Page 2: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

73

Nilai-nilai dalam Esmaket merupakan nilai-nilai yang mengatur kehidupan

masyarakat Mepa dalam dua ranah tersebut. Dalam Esmaket terdapat banyak

bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral. Bentuk-bentuk dan nilai-nilai ini

tercermin dalam perilaku yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat baik

dalam bentuk adat istiadat, kepercayaan maupun sosial kemasyarakatan. Nilai-

nilai Esmaket tersebut masih tetap utuh dan bertahan bahkan telah menjadi darah

daging dalam diri setiap individu.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, tidak jarang orang

menganggap Esmaketsebagai penyembahan berhala karena mereka percaya akan

keberadaan roh-roh leluhur. Menurut informasi yang didapat dilapangan, apa

yang seringkali orang lain pahami tersebut merupakan pemahaman yang salah,

karena bagi masyarakat Mepa sendiri, tete nene moyang atau leluhur bukanlah

berhala melainkan mereka adalah yang memiliki kuasa yang tertinggi yang

mampu menjaga dan melindungi kehidupan manusia.

Esmaketsebagai budaya dan kepercayaan masyarakat setempat

mengajarkan nilai-nilai yang sampai saat ini tertanam dalam sikap, tindakan

bahkan cara berpikir setiap individu. Oleh karena itu, tidak heran apabila nilai-

nilai yang dipercaya masih tetap dijaga dan dipelihara serta dilakukan sampai saat

ini. Dikatakan pula bahwa Esmaketmerupakan ritual adat yang penting karena

didalamnya terdapat nilai, norma dan lain sebagainya yang benar-benar hidup dan

terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan sebagai pembentuk maupun

turut membentuk perilaku masyarakat.Karena itu, masyarakat Mepa maupun

masyarakat Buru Selatan secara umum juga melihat Esmaketsebagai sebuah ritual

Page 3: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

74

yang dipandang sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga budaya orang

Buru sendiri.

Kebudayaan masyarakat Buru merupakan kebudayaan yang berakar di

dalam agama, sehingga bisa dikatakan nilai-nilai Esmakettetap ada dan tertanam

dalam diri setiap individu. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sebelum masuknya

agama Kristen di Buru Selatan, masyarakat Buru Selatan sudah memiliki

kepercayaan dan agama sendiri yang disebut agama asli atau kepercayaa asli

(agama suku) dibanding dengan agama atau kepercayaan resmi1 karena ia

merupakan warisan tete nene moyangatau leluhur yang menumbuhkan rasa

tanggung jawab dan penghormatan yang tinggi dari setiap individu. Nilai-nilai

tersebut diterapkan dalam dua ranah yaitu ranah sakral dan ranah profan. Dengan

demikian nampak bahwa ritual Esmaketmerupakan bentuk usaha masyarakat

untuk mengatur hubungan antara Manusia dengan Tuhan, manusia dengan

sesama bahkan manusia dengan alam. Ritual ini dilakukan masyarakat Mepa pada

dasarnya tertuju pada hal-hal yang sakral.

Dalam pemahaman Durkheim hal yang dikategorikan sakral diistilahkan

dengan “sesuatu yang spiritual” dimana ia tidak hanya terbatas pada sosok pribadi

tertentu melainkan mencakup juga apa yang terdapat di alam semesta. Oleh

karena itu satu-satunya hal yang dapat menghubungkan manusia dengan yang

spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan manusia padanya. Sesuatu yang

spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran dan kita dapat mempengaruhinya

1 Agama atau kepercayaan resmi yang disahkan oleh negara

Page 4: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

75

sebagaimana kita dapat mempengaruhi kesadaran secara umum dengan

menggunkan sarana-sarana psikologi,berusaha meyakinkan dan

membangkitkannya dengan kata-kata dan simbol-simbol yang digunakan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sakral diciptakan melalui ritual-ritual yang

mengubah kekuatan moral masyarakat kedalam simbol-simbol yang mengikat

para individu pada kelompok.Durkheim menyebutkan bahwa ikatan moral itu

menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori untuk pemahaman, seperti

klasifikasi, waktu, ruang, dan penyebab, juga berasal dari ritual-ritual.

Ritual Esmaketsebagai bentuk usaha masyarakat untuk mengekspresikan

rasa kagum dan hormat terhadap leluhur tentu saja melibatkan masyarakat secara

umum dalam pelaksanaannya.Bukan hanya itu saja melainkan dari pelaksanaan

Esmaketdan pemahaman masyarakat tentang hal tersebut Pada Bab

sebelumnya,dianalisis maka ada nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan dapat

berguna bagi masyarakat Mepa. Sistem nilai tersebut dipegang teguh oleh

masyarakat dan dijadikan pedoman untuk bertingkah laku.Nilai-nilai itu diajarkan

dan diwariskan pada generasi muda melalui proses belajar dari media yang dekat

dengannya agar selanjutnya dikembangkan dan dilestarikan sesuai dengan

perkembangan zaman.

Dalam tradisi Esmaketberkembang nilai-nilai yang hidup dan berkembang

dimasyarakat yang digunakan sebagai pedoman untuk kehidupan masyarakat

setempat. Nilai-nilai tersebut antara lain :

a. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan

Page 5: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

76

Kekeluargaan dan kekerabatan ini merupakan salah satu ciri khas

dari pelaksanaan Esmaket, karena nilai ini tercermin solidaritas diantara

masyarakat.Hal ini beralasan karena dalam pelaksanaan ritual adat

Esmaket tidak terlepas dari bantuan keluarga, matarumah maupun

masyarakat. Sebelum melakukan Esmaket, umumnya diadakan suatu

tradisi oleh masyarakat Mepa yaitu kumpul keluarga2, dimana kegiatan ini

bertujuan untuk mengumpulkan keluarga maupun masyarakat untuk saling

membantu dan menunjang proses acara tersebut. Usaha tolong menolong

ini dapat berupa uang maupun bahan yang siap pakai, hal ini

mencerminkan bahwa masyarakat mempunyai kesadaran bersama sebagai

suatu komunitas sehingga hubungan kekeluargaan ini terus terbina.

Selain itu dengan adanya rasa solidaritas yang tinggi sebagai

bagian dari masyarakat desa Mepa menuntut adanya tanggung jawab

setiap individu untuk terlibat di dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Sebagai bagian dari masyarakat setempat pelaksanaan ritual ini merupakan

cara untuk mengekspresikan rasa kekeluargaan dan wujud tanggung jawab

moral sebagai masyarakat Mepa.

b. Nilai persekutuan dan relasi antar masyarakat

Dalam pelaksanaan Esmaket.Ditampilkan nilai persekutuan dan

relasi untuk saling mengasihi.Relasi tersebut bukan hanya pada

pelaksanaan adat Esmaket, tetapi terus berlanjut dalam kehidupan setiap

hari, karena dalam pelaksanaan tersebut, semua orang disatukan dalam

2Tradisi ini berlaku pada seluruh masyarakat Buru Selatan, ketika masyarakat hendak

melakukan salah satu pelaksanaan adat.

Page 6: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

77

ikatan kekeluargaan dan memiliki tanggung jawab bersama untuk

membina hubungan tersebut.Akan tetapi, dalam realitas kehidupan

masyarakat, nilai ini tidak diterapkan dengan baik, karena itu ada

masyarakat yang hidup dalam perselisihan dam pertentangan yang tidak

mencerminkan persekutuan dan relasi untuk saling mengasihi.

c. Saling berbagi berkat

Sikap hidup saling berbagi berkat dalam kehidupan masyarakat

Mepa semakin berkembang.Hidup saling berbagi berkat tidak hanya

dalam bentuk material saja, tetapi juga berada daya atau tenaga dan

pemikiran dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kehidupan yang

saling berbagi berkat, masih sangat kuat bertumbuh dalam

masyarakat.Hingga saat ini bagi masyarakat Mepa kesusahan seseorang

merupakan kesusahan bersama dan kebahagian seseorang merupakan

kebahagian bersama pula, dan hal ini harus dilestarikan pada setiap

generasi.

d. Makna hidup gotong royong

Semua pekerjaan dalam adat Esmaket dilaksanakan dalam bentuk

gotong royong seperti : masak bersama, membuat rumah pelantikan,

semua orang perempuan saling membantu untuk mempersiapkan semua

jenis makanan

Cara hidup gotong royong seperti ini telah membudaya dalam

hidup anak-anak negeri sehingga dalam segala bentuk pekerjaan baik

dalam keluarga, masyarakat maupun gereja masih mempergunakan cara

Page 7: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

78

gotong royong. Hal ini merupakan suatu kebiasan yang baik dalam

kehidupan masyarakat desa Mepa.

Selain nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan Esmaket, ada

juga makna adat Esmaket bagi kehidupan mereka, yaitu :

e. Sikap saling Menghargai dan menghormati

Penghormatan yang tinggi dan keyakinan yang kuat akan adanya

keberadaan leluhur yang telah memberikan tradisi bagi mereka tetapi juga

leluhur sebagai yang diberi kewenangan untuk menjaga, memberi

ketenangan, ketentraman serta kedamaian di desa yang ditempati. Tidak

hanya itu leluhur merupakan orang yang dijadikan tempat untuk memohon

berkat dan pertolongan.

Menghargai juga merupakan satu sikap menghormatiatau

mengindahkan orang lain, Sikap saling menghargai dalam kehidupan

masyarakat, biasanya lebih terlihat dalam tinggkah laku sehari-

hari.Contohnya yang muda menghargai dan menghormati yang tua.

Saling menghormati merupakan sikap yang didasarkan pada kesadaran

bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dangan harkat dan martabat yang

sama. Dalam kaitan dengan pelaksanaan ritual Esmaket, sikap saling

menghargai ini sangat dibutuhkan, karena di dalam masyarakat perbedaan

itu pasti ada baik perbedaan usia, agama maupun kedudukan sosial. Maka

untuk kelancaran pelaksanaan Esmaketmasyarakat harus mempunyai

kesadaran untuk berbagi rasa dan bersatu menciptakan suasana yang

harmonis dengan meninggalkan adanya perbedaan diantara mereka.

Page 8: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

79

f. Sikap tanggung jawab

Lancarnya pelaksanaan upacara Esmaket memerlukan kerjasama

yang baik antar warga masyarakat.Masing-masing warga mempunyai

tanggung jawab.Tanpa adanya tanggung jawab suatu kegiatan tidak pernah

mencapai tujuan yang baik. Nilai tanggung jawab mempengaruhi

kehidupan masyarakat karena bertanggung jawab menjadi dasar untuk

bertingkahlaku dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun

komunitas.

Nilai-nilai Esmaketini tidak datang atau hadir secara mendadak, tetapi

melalui proses yang panjang. Dalam realitas kehidupana masyarakat Mepa, nilai-

nilai Esmakettersebut sebagai suatu keyakinan yang teraktualisasi dalam sistem

budaya yang berperan untuk mengatur pergaulan hidup, noram-norma sosial, adat

istiadat, kebudayaan dan lainnya. Semua yang berkaitan dengan nilai

Esmaketyang berperan dalam kehidupan masyarakat Mepa muncul berdasarkan

pengalaman hidup yang dijalani secara bersama.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya suatu beban psikis

yang dirasakan oleh setiap individu yang kemudian mendorongnya untuk terlibat

dalam pelaksanaan Esmaket. Beban psikis tersebut muncul ketika mereka

meyakini adanya “kuasa tertinggi” yang menguasai kehidupan mereka.

Terdapat pula larangan-larangan yang harus dipatuhi seseorang yang

dipilih tersebut bahkan juga oleh masyarakat desa Mepa berhubungan dengan

Esmaket. Larangan-larangan tersebut juga disampaikan dalam rangka membangun

hubungan yang baik dengan sesuatu yang sakral. Jika larangan tersebut dilanggar,

Page 9: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

80

maka mereka meyakini bahwa tete nene moyangatau leluhur sebagai orang yang

sakral akan marah dan mendatangkan hukuman bagi manusia yang melanggarnya.

Jadi larangan itu merupakan suatu upaya yang diciptakan oleh masyarakat, agar

setiap individu secara bersama-sama dapat masuk dalam kehidupan ranah sakral

dengan terlibat langsung dalam satu upacara. Pada saat individu terlibat dalam

upacara atau ritual, maka larangan yang dipatuhi akan mengikat setiap individu

dalam satu keyakinan yang sama yaitu bahwa hal-hal yang sakral harus diisolasi

dari hal yang profan.

Kehidupan diranah sakral akan membawa setiap individu melupakan

kesibukan mereka didunia profan dan untuk beberapa saat berkumpul guna

mengekspresikan rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap hal-hal yang

sakral tersebut. Ketika mereka berkumpul dan ada dalam kebersamaa yang erat,

maka ada kekuatan religius dirasakan setiap indivudu dan mempengaruhi psikis

mereka, seperti yang dikatakan oleh Durkheim bahwa kekuatan religious tersebut

tidak lain melupakan kekuatan yang dibanding secara kolektif. Kekuatan kolektif

inilah yang menciptakan ide mengenai hal yang sakral dan mengusahakan agar

yang sakral tetap bertahan melalui pemujaan dan tidak tercemar oleh hal-hal yang

profan dengan cara membuat atau menciptakan larangan. Jadi segala sesuatu dapat

dikatakan sakral apabila ada suatu larangan yang berhubungan erat dengan yang

sakral tersebut, guna menjauhkan yang sakral dari yang profan.

Dengan adanya kekuatan moral yang tidak lain adalah kekuatan kolektif

itu sendiri, maka muncul respek yang besar dalam diri individu yaitu

penghormatan terhadap yang sakral dan masyarakat. Penghormatan terhadap hal-

Page 10: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

81

hal yang bersifat sakral dan penghormatan terhadap masyarakatmerupakan suatu

bentuk kekuatan moral yang tidak yang tidak lain adalah kekuatan kolektif yang

disalurkan ke dalam diri setiap individu. Pemahaman seperti ini semakin

dipertegas ketika secara umum narasumber yang adalah masyarakat desa Mepa

berpendapat bahwa ketelibatan mereka dalam ritual Esmaketdikarenakan dua hal,

yaitu penghormatan dan keyakinan yang kuat akan keberadaan leluhur yang

menjaga kehidupan manusia. Kedua rasa penghormatan terhadap masyarakat yang

melaksanan ritual Esmaket.

Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih besar daripada kita.

Iamelampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas tendensi-tendensi egois

kita,dan memenuhi kita dengan energi. Bagi Durkheim, Masyarakat melaksanakan

kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasi-representasi.Sehingga dapat

dikatakan Tuhan tidak lebih dari sekedar hasil pengejewantahan wujud Tuhan dan

simbolisasinya.3Oleh karena itu masyarakat adalah sumber dari yang

sakral.Dengan demikian dapat dilihat bahwa Hubungan antara yang spiritual atau

yang sakral dalam masyarakat sangat erat kaitannya. Bagi Durkheim semua yang

berhubungan dengan masyarakat masuk ranah sakral

Ketika masyarakat Mepa telah melakukan pemujaan negatif seperti dalam

istilah Durkheim, maka setiap individu akan dihentarkan untuk masuk dalam

ranah kehidupan sakral. Objek-objek tertentu seperti siri pinang yang diletakan

3Daniel Pals, Seven Theories Of Religion (Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2

2012), 159

Page 11: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

82

dalam baskom merupakan objek yang memperoleh kekuatan kesakralannya,

dikarenakan adanya kepercayaan dari setiap individu, oleh karena untuk tetap

dipertahankan agar ia tetap memiliki kekuatan sakral.

Bertititolak dari pandangan tersebut maka ritual Esmaketwajib dilakukan

oleh masyarakat Mepa setiap ada pelantikan adat, Sebab ritus Esmaketini

berhubungan dengan masyarakat sehingga dalam ritus Esmaketatau upacara

pengangkatan seorang pemimpin masyarakat Mepa disakralkan.Samahalnya

dalam pemahaman Durkehim, memang ritus atau upacara dilakukan secara

periodik bukan hanya dalam rangka mewujudkan aksi nyata dari kepercayaan

mereka melainkan untuk tetap menghidupkan dan mempertahankan kepercayaan

tersebut,karena itu segala sesuatu yang dianggap sakral tidak akan hilang

kesakralannya.

Melihat kembali pemahaman Durkheim teorinya pada Bab II mengenai

pembagian kehidupan manusia menjadi dua ranah yaitu yang sakral dan profan,

maka kita dapat melihat bagaimana pengertian mengenai sesuatu yang sakral

menurut Durkehim dan sesuatu yang sakral menurut masyarakat Mepa. Bagi

Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat sementara yang profan berada

dalam konteks individu.Hal-hal yang sakral itu selalu identik dengan dewi-dewi,

roh-roh, ritus-ritus, batu-batu, kau-kayu, mata air, pohon, dan sebagainya.Bagi

masyarakat Mepa nilai yang sakral disini terletak pada ritual Esmaket dan juga

benda-benda atau simbol-simbol yang digunakan upacara atau ritus

Esmaket.Dengan demikian terdapat kesamaan Pemahaman terhadap yang sakral

Page 12: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

83

menurut masyarakat Mepa dan Durkheim mengenai hal-hal yang sakral dan

profan.

Dalam ritus Esmaket, Benda-benda atau simbol-simbol yang digunakan

dalam ritus Esmaket juga memiliki nilai yang sakral dan yang profan. Yang

sakral nampak dalam gagasan bahwa bahwa ada kekuatan yang mendiami benda-

benda atau simbol-simbol tersebut yang disakralkan, oleh karena itu benda atau

simbol yang disakralkan tersebut akan mendapat perhatian atau bahkan mendapat

pemujaan secara khusus. Selain itu, masyarakat Mepa menganggap bahwa apa

yang dianggap sakral ini berhubungan dengan bukan hanya simbol-simbol atau

benda-benda yang digunakan dalam ritual Esmaket melainkan juga perkataan

maupun tindakan dianggap sakral. Dengan demikian semua yang berhubungan

dengan masyarakat dianggap sakral.

Sementara itu, simbol atau benda yang digunakan dalam ritus Esmaket

juga memiliki nilai profan.Bagi masyarakat Mepa hal-hal yang dianggap profan

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan adanya

penggunaan benda atau simbol dalam ranah sakral juga digunakan dalam ranah

profan, meskipun benda atau simbol tersebut di rawat dengan baik bukan berarti

memiliki nilai sakral, melainkan masyarakat Mepa tetap menganggap hal tersebut

sebagai hal yang profan, pemeliharaan serta penggunaan benda atau simbol

tersebut tidak berarti menaikan nilai dari ranah profan ke ranah sakral.

B. Kedudukan Leluhur Kehidupan Masyarakat Desa Mepa

Dalam ritual upacara adat biasanya disebut juga para leluhur seperti yang

sudah disebutkan pada Bab-bab sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa dalam

Page 13: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

84

kepercayaan masyarakat Mepa terhadap leluhur, mereka menjalankan dan

mematuhi segala bentuk adat serta aturan-aturannya yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat, sebab hal tersebut merupakan tradisi yang diwarikan dari

tete nene moyangatau leluhur masyarakat Mepa.

Masyarakat Mepa dipercaya memiliki kemapuan kuatan-kekuatan spiritual

yang oleh karenannya mereka selalu tunduk dan menghormati leluhur mereka.

Kekuatan spiritual yang berasal dari tete nene moyangatau leluhur masyarakat

Buru yang tidak dapat dipelajari. Kekuatan tersebut akan menurun secara

otomatis kepada keturunannya. Segala kemampuan spiritual maupun kekuatan

lain yang dimiliki oleh mereka semuanya berasal dari tete nene moyangatau

leluhur saat itu yakni Opolastalah. Apabila kemampuan yang sudah diberikan

tidak digunakan dengan baik atau untuk hal-hal yang negatif, hal itu akan menjadi

tanggung jawab pribadinya dalam melaksanakannya.4

Berdasarkan data dan teori yang dipakai dalam penelitian, maka leluhur

merupakan orang yang dianggap sakral, oleh karena itu, apapun yang

berhubungan dengan leluhur atau yang diamanatkan oleh leluhur tidak akan

pernah diabaikan oleh masyarakat desa Mepa. Hal inipula nampak dalam

pandangan Eliade dalam melihat yang sakral sebagai sesuatu yang supernatural,

luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan.Di dalam Yang Sakral

mengandung kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh,

4 Hal ini pernah terjadi pada salah satu pejabat pemerintah di desa mepa. Ia mengalami

kelalaian dalam menjalankan tugasnya. Menurut masyarakat ia di tegur oleh Opolahtasah dan tete

nene moyang

Page 14: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

85

nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara,Yang Profan

adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari

secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting, bersifat mudah

hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah,

manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan.

Berbicara mengenai kedudukan tete nene moyangatau leluhur dalam

kehidupan masyarakat, hal yang tidak lepas pisah ialah kepercayaan masyarakat

kepada tete nene moyangyang mereka jumpai dalam kehidupan mereka, yang

memberikan sesuatu yang benar-benar luar biasa dasyat dan agung. Seperti yang

diungkapkan oleh bapak A. Solissa,5bahwa hidup masyarakat Mepa bahkan Buru

Selatan secara umum tidak bisa dilepas-pisahkan keberadaannya dengan leluhur

mereka. Masyarakat Buru Selatan memiliki pandangan bahwa kehidupan mereka

menyatu dengan tete nene moyangatau leluhur sebagai suatu persekutuan. Melalui

adat, penyatuan itu terjadi sebagai sebuah persekutuan. Sehingga penyatuan ini

mengarah kepada pemeliharaan adat yang telah dibentuk oleh para leluhur. Dalam

pendekatan ini, leluhur mendapat tempat yang penting dalam nilai kepercayaan,

bahkan para leluhur ini disembah dan dipuja sebagai bentuk penghayatan.

Olehnya dengan memelihara adat, masyarakat akan mendapat berkat, dan

sebaliknya yang melanggarnya akan mendapat kutukan, melalui bencana atau

penyakit, dan sebagainya.

Masyarakat Mepa percaya bahwa, kehidupan yang mereka jalani

sekarang ini tidak luput dari pemeliharaan dan pengawasan juga tete nene

5 Hasil wawancara dengan Bapak A. Solissa, tanggal 18 November 2014

Page 15: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

86

moyangatau leluhur. Tete nene moyangatau leluhur diyakini sebagai orang yang

sudah mati raga, tetapi roh mereka tidak akan mati. Roh tete nene moyangberada

bersama anak cucu di dalam desa Mepa dan akan membantu jika anak-anak cucu

menghadapi kesakitan, melindungi dari bahaya yang mengancam keselamatan

negeri.

Pemujaan dan penghormatan terhadap roh tete nene moyang atau roh para

leluhur sebagaimana yang dilakukan oleh suku Arunta, samahalnya dengan yang

dilakukan oleh masyarakat Mepa. Alasannya, tete nene moyang atau leluhur telah

memberikan atau warisan yang mampu mengatur kehidupan bersama sebagai

suatu komunitas masyarakat adat.

Tete nene moyangatau leluhur dalam pandangan masyarakat BuruSelatan

tidak saja dilihat sebagai bagian dari persekutuan hidup dalam kosmologi, namun

lebih jauh telah membentuk sistem kepercayaan masyarakat. Pemujaan terhadap

leluhur adalah fakta yang tidak bisa dilepaspisahkan dalam kehidupan masyarakat

Buru. Karena itu, sistem adat dirancang untuk memastikan dan mengikat manusia

bahwa pengaruhnya negatif atau positif.

Masyarakat desa Mepa memiliki keyakinan akan adanya hal-hal yang

memberikan arti bagi kehidupan mereka. Dalam alam pemikiran mereka bahwa

leluhur dapat mengabulkan permohonan mereka sehingga perlakuan terhadap

leluhur mendapat posisi yang tinggi. Selain memohon kepada Tuhan Allah

(Opolahtalah ) juga leluhur disebutkan. Oleh karena itu leluhur dianggap sakral

oleh masyarakat desa Mepa. Sama seperti yang dikatakan oleh Eliade bahwa

yang sakral itu bukan hanya merujuk pada Tuhan yang personal melainkan ide

Page 16: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

87

mengenai yang sakral tersebut sangant luas. Yang sakral tersebut bisa berarti

kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, serta jiwa-jiwa abadi.

Kepercayaan dan rasa hormat kepada leluhur sebagai yang menempati posisi

tertinggi dari hal-hal yang dianggap sakral. Melalui perjumpaan kepercayaan dan

rasa hormat kepada leluhur, sehingga masyarakat Mepa dalam keseharian

hidupnya, tidak terlepas dari apa yang dianggap pantas untuk dilakukan dan

menempatkan hal-hal yang sakral sebagai sumber moral. Tampak jelas bahwa

yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara

berbeda dari dunia profan.

Masyarakat mengatakan bahwa tete nene moyang atau leluhur

masyarakatMepabahkan masyarakat Buru Selatan secara keseluruhan memiliki

peranan yaitu dapat melindungi bahkan juga dapat menghukum anak cucunya.

Gambaran di atas sebetulnya memperlihatkan bahwa konsep leluhur pada Mepa

adalah suatu konsep yang berusaha membina dan menjaga hubungan secara terus

menerus dan teratur antara manusia yang masih hidup, para leluhur dan

lingkungan hidupnya.Terpeliharanya tete nene moyang akan berdampak langsung

pada terpeliharanya lingkungan alam maupun sosialnya. Dalam hubungan ini

Cooley mangatakan bahwa masyarakat Maluku merupakan persekutuan yang

terdiri dari orang-orang hidup dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena

melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan arwah para leluhur dipersatukan.

Penyatuan ini didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para leluhur adalah

orang-orang yang telah menciptakan adat dan manusia yang masih hidup sekarang

Page 17: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

88

adalah pelaksana adat. Mereka yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil,

sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa kesulitan.6

Kuatnya ikatan hubungan masyarakat Mepa yang masih hidup dengan

leluhur mereka dengan serta merta menimbulkan sistem kepercayaan yang

sebetulnya bertumpuh pada kenyataan kosmologi yang dimaksud. Oleh karenanya

dalam mengerti masyarakat Mepa maupun Maluku secara umum, kita tidak bisa

melepaskannya dari bentukan budaya. Dalam totalitas kebudayaan yang terus

berkembang itu, sistem kepercayaan juga dimengerti sebagai hasil kegiatan dan

penciptaan batin atau akal budi manusia, disamping ritual adat istiadat

Melihat kembali pandangan Mircea Eliade dalam teorinya pada bab

sebelumnya, ia melihat realitas perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan

yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan

perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi. Pengalaman tentang yang sakral

terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dasyat,

terpikat oleh suatu yang sama sekali lain, sesuatu yang misterius, menawan,

berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika

manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa

dirinya bukan apa-apa. Dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan

ini, terletak emosional dari semua manusia yang kita sebut agama. perhatian

agama adalah terhadap yang supernatural, yang jelas dan sederhana yang berpusat

pada yang sakral.

6F. L. Cooley, Mimbar dan Takhta , Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan

Pemerintahan di Maluku Tengah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 109

Page 18: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

89

Dengan demikian dalam interaksi kehidupan masyarakat Mepa maupun

masyarakat Buru Selatan pada umunya, mereka selalu mengedepankan perasaan

damai. Prinsip mereka adalah selama berbuat baik, mereka pasti akan mendapat

yang baik atau tidak terjadi apa-apa. Kalau semuanya itu dilakukan dengan baik

pasti kehidupan selalu damai. Sebaliknya kalau kita melanggar aturan yang sudah

ada atau melanggar itu semua maka kehidupan kita akan sengsara.7Dengan

bertititolak dari pandangan Eliade yang melihat yang sakral sebagai sesuatu yang

tertinggi dalam hal ini Tuhan atau dewa-dewi (dunia roh), maka dalam

pelaksanaan ritus Esmaket, yang ditempatkan sebagai Yang Sakral itu ialah Tuhan

Allah dan leluhur.

C. Analisis nilai Sosio-Teologis dan makna kepemimpinan dalam Ritus

Esmaket padaMasyarakat Mepa

Dalam pandangan masyarakat Mepa ritual Esmaket yang dilakukan

mampu mengikat kehidupan keluarga maupun kehidupan masyarakat. Apabila

Esmaket yang sudah dilakukan tersebut ditepati baik sebagai individu, keompok

maupun masyarakat, maka akan ada keberhasilan bersama baik dalam keluarga

maupun keberhasilan dalam masyarakat dan negeri akan tercipta suasana yang

nyaman. Seperti dalam pemahaman Durkehim yang menghubungkan ritus dengan

kesadaran kolektif bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi

dalam diri setiap manusia sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacara-

uparaca religious yang dianggap sakral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

ritual Esmaket dilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan bersama

7Wawancara dengan bapak J. Lesnussa, tanggal 20 November 2014

Page 19: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

90

dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan

komitmen moral terhadap kehidupan kelompok. Tampak jelas bahwa lingkungan

sosial telah membentuk mata rantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan

mereka sebagai orang satu asal yang menyatuh untuk saling menjaga, melindungi

yang satu terhadap yang lain dan telah berlangsung ratusan tahun.

Kekuatan moral yang dimiliki oleh manusia mendorong setiap individu

untuk meyakini, dan menghormati baik kepada hal yang sakral tetapi juga kepada

masyarakat. Hal ini menuntut adanya keterlibatan setiap individu dalam setiap

kegiatan yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan dengan

yang sakral tersebut. Keterlibatan mereka dalam ritus Esmaketmerupakan bagian

dari ekspresi atas penyertaan leluhur dan penghormatan terhadap adat masyarakat

Mepa.

Berdasarkan pendapat dari beberapa informasi, dapat disimpulkan bahwa

Esmaketberfungsi sebagai sebuah Ritual dalam masyarkat. Menurut saya

Esmaketberfungsi sebagai ritual. Esmaketmerupakan bagian dari ritus pelantikan

adat pada masyarakat Mepa maupun Buru Selatan secara umum. Ritus

Esmaketsecara tidak langsung mengajak setiap individu yang memiliki keyakinan

yang sama untuk berkomunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral.

1. Nilai Sosiologis

Keterlibatan masyarakat secara umum dalam ritus Esmaketjuga

menekankan fungsi sosiologis. Nilai sosiologis ritus Esmaketberkaitan erat

dengan adat atau kebudayaan sebagai hasil bentukan masyarakat Mepa maupun

Page 20: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

91

Buru Selatan. Oleh karena itu setiap individu memiliki tanggung jawab untuk

tetap melaksanakan guna mempertahankan adat atau kebudayaan yang sudah dan

berlangsung selama bertahun-tahun.

Ritus Esmaketyang diciptakan oleh masyarakat dan menjadi bagian dari

budaya, tidak diciptakan begitu saja tanpa memiliki tujuan dan makna tertentu

dalam kehidupan masyarakat Mepa. Secara umum ritus Esmaketdipahami sebagai

sebagai ritus yang mengekspresikan adanya hubungan kekelurgaan, kekerabatan

bahkan persekutan yang terjalin erat dalam masyarakat Mepa sebagai satu

komunitas dan sebagai salah satu cara melestarikan adat-istiadat masyarakat

Mepa. Pemahaman ini kemudian menjadi pemahaman yang tertanam dalam diri

setiap individu dan mendorong mereka untuk ikut terlibat dalam pelaksaan ritus

Esmaket tersebut. Ketika setiap individu memiliki pemahaman yang sama

terhadap ritus Esmaket, maka mereka didorong oleh suatu perasaan atau emosi

yang sama, maka mereka akan melibatkan diri dalam ritus Esmaket dan disitulah

mereka diikatkan oleh suatu kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa

tanpa melihat perbedaan status sosial. Di sinilah terlihat bentuk kekerabatan yang

erat di antara individu yang satu dengan yang lainnya dimana melalui ritus

Esmaket mereka boleh mengekspresikan kekerabatan dan kebersamaan serta

penghargaan terhadap ritus Esmaket sebagai kebudayaan masyarakat desa Mepa.

Melalui pemahaman yang sama terhadap ritus Esmaketdan melalui

kesatuan perasaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa, maka keterlibatan setiap

individu dalam ritus Esmakettidak membedakan status sosial. Keterlibatan

tersebut didorong oleh kekuatan moral yang mempengaruhi psikis setiap individu.

Page 21: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

92

Kekuatan moral tidak lain adalah kekuatan kolektif yang menuntut setiap individu

untuk tunduk di bawah kekuatan tersebut. Secara emosional, masyarakat yang ikut

dalam pelaksanaan ritus Esmaketsaling terlibat dalam suasana kekeluargaan.

Ketika setiap individu berkumpul dalam satu upacara dan telibat dalam ritus

Esmaketmaka secara emosi mereka akan diikat dengan perasaan yang sama dan

akan menciptakan hubungan yang erat antar setiap individu. Hal ini di sebabkan

karena ritus Esmakettidak hanya menciptakan suatu kebersamaan tetapi juga

adanya harmonisasi dimana setiap individu mengesampingkan berbagai macam

permasalahan yang pernah terjadi antar individu demi terciptanya kebersamaan

dan kelancaran pelaksanaan ritus Esmaket. Dengan demikian secara sosiologi

ritus Esmaketmemiliki nilai kekerabatan atau sebagai alat pemersatu dari

masyarakat desa Mepa itu sendiri.

Hal yang samapula diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam teorinya

mengenai agama. Ia memaparkan bahwa agama merupakan representasi

masyarakat yang bersifat kolektif. Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan

dengan apa yang dia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial merupakan gejala

yang berada di luar individu dan memiliki kekuatan memaksa individu untuk

tunduk di bawahnya, artinya bahwa fakta sosial akan berlaku umum bagi

masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu.

Dengan demikian ritus Esmaket yang merupakan bagian dari ritual adat

mampu mempererat hubungan persekutuan tetapi juga mampu melahirkan

solidaritas yang kuat diantara sesamanya, sehingga dengan adanya kepercayaan

dan emosi yang sama, setiap orang akan berkumpul dan hubungan antar mereka

Page 22: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

93

semakin dipererat. Solidaritas dapat dipikirkan sebagai suatu persekutuan yang

berbeda-beda untuk saling membantu.8Pendapat ini dimaksudkan bahwa sikap

solidaritas yang dibangun mencerminkan suatu persekutuan, karena melibatkan

komponen orang banyak atau masyarakat untuk saling membantu.Sikap

masyarakat ini merupakan bagian dari fungsi mereka sebagai makhluk sosial.

Oleh karena itu ritus Esmaket dapat berfungsi sosiologis, inilah hal yang juga

dipaparkan oleh Durkheim dalam teorinya mengenai agama.

2. Nilai Teologis

Ritus Esmakettidak hanya di lihat dari pandangan sosiologis tetapi juga

dari pandangan teologis yang membantu penulis dalam memahami pandangan

jemaat tentang adat ini.

Esmaketsebagai bagian dalam proses ritual pelantikan adat tentunya

memiliki ketertarikan atau hubungan yang erat dengan tujuan dari pelaksanaan

Esmaket. Esmaketmerupakan suatu wujud tindakan nyata dari keyakinan

masyarakat Mepa terhadap keberadaan leluhur. Oleh karena itu setiap proses

dalam pelaksanaan Esmaketdipercayaai sebagai proses yang membantu

masyarakat untuk berhubungan dengan leluhur. Sebagai bagian dari proses ritual

adat maka Esmaketmemiliki nilaiteologis karena Esmaketjuga berhubungan

dengan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang sakral atau leluhur.

Nilai teologis dari Esmaketharus dilihat pada fungsinya dalam ritual.

Ketika Esmaketberfungsi sebagai ritual, maka ia bertujuan membangun

8Sobrino Jhon, Teologi Solidaritas. (Jakarta: PT. Kanisius, 1989), 15

Page 23: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

94

komunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral oleh masyarakat Mepa.

Esmaketmampu membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan

Tuhan bahkan juga leluhur. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan juga

leluhur, maka melalui ritual Esmaketmereka membangun kepercayaan bahwa

Tuhan dan leluhur yang penuh kuasa akan mendengarkan permohonan telah

disampaikan oleh mereka. Melalui ritus tersebut masyarakat membangun

kepercayaan bahwa leluhur akan mendengar dan menjawab permohonan mereka.

Kepercayaan terhadap leluhur bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam

bentuk pandangan hidup, dalam arti bahwa ketika masyarakat menjalani

kehidupannya di ranah sakral dengan baik yaitu melaksanakan amanat dan

mematuhi berbagai peraturan yang sudah diberikan, maka mereka meyakini

bahwa Tuhan dan leluhur akan menjaga, memberi ketentraman dan kebaikan,

dalam kehidupan mereka di ranah profan.

Tampak jelas bahwa didalam pelaksanaan Esmaket, ada unsur keagamaan

(agama Kristen), karena selain masyarakat melakukan tradisi, mereka juga

mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerah berkat yang diberikan kepada

invidu, keluarga bahkan komunitas. Bentuk syukur ini dilakukan dalam bentuk

doa dan juga makan bersama, sehingga ada nilai religius yang ditampilkan dalam

pelaksanaan ritus Esmaketyaitu disatu sisi, merupakan rasa ungkapan syukur

kepada Tuhan dan di sisi lain ada peran leluhur tetapi juga peran dari Tuhan. Hal

ini dipertegaskan lagi sebab jauh sebelum masuknya agama Kristen di Buru

Selatan masyarakat Mepa bahkan masyarakat Buru secara umum telah memiliki

sistem kepercayaan (apa yang disebut sebagai agama). Bahkan untuk memberikan

Page 24: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

95

nama kepada “kekuatan tertinggi” yang mengendalikan hidup mereka pun,

terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang bertolak dari identitas budaya yakni

Opolahtalah. Setelah masuknya agama Kristen maka terjadilah proses

transformasi agama suku yaitu posisi leluhur tertinggi (Opolahtalah ) diganti

dengan Tuhan Allah orang kristen, sementara leluhur-leluhur dibawah Tuhan

Allah orang Kristen.

Dengan demikian Tuhan Allah dalam perspektif orang Kristen,

mempunyai posisi sebagai “kuasa atau kekuatan tertinggi” pertama dan tete nene

moyang mempunyai posisi sebagai “kuasa atau kekuatan tertinggi” kedua. Ini

bukan berarti tete nene moyang merupakan perantara antara manusia dan Tuhan,

sebab keberadaan keduanya adalah mutlak dan tidak dapat dihilangkan.

Secara sosiologis maupun teologis, keduanya memilki keterkaitan yang

erat. Secara sosiologis, masyarakat Mepa menjalani kehidupan sosialnya dalam

dua identitas, yakni sebagai jemaat dan sebagai anak negeri. Sedangkan secara

teologi, mereka hidup dalam dialektika ideologis-teologis anatar injil dan adat

tanpa mengeliminasi salah satunya.

Makna ritus Esmaketyang diungkapkan oleh masyarakat Mepa adalah

suatu budaya yang diwariskan oleh para leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan

oleh masyarakat desa Mepa, karena ritus ini merupakan ritus yang sakral, yang

didalamnya mengandung sumpah atau janji dan nilai-nilai teologis yang harus

dijalankan baik oleh invidu maupun komunitas masyarakat sebagai bagian dari

Page 25: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

96

masyarakat desa Mepa dan merupakan ikatan antara Tuhan dan manusia tetapi

juga ikatan dengan para leluhur.

Sikap mengandalkan adat saja akan dianggap berdosa; sementara dari sisi

ada percaya kepada Tuhan dan meninggalkan tete nene moyangakan dianggap

sebagai tidak tahu adat atau tidak menghormati orang tatua. Masing-masing

mengandung konsekuensi yang berat, karena keduanya diterima sebagai bagian

integral dari dinamika kehidupan berjemaat.Ketaatan masyarakat terhadap adat

Esmaketmerupakan sikap beradab. Apa yang dilakukan masyarakat dalam ritus

Esmaketmerupakan sikap saling menghargai apa yang telah menjadi tradisi,

karena adat itu muncul dari perbuatan yang bersama diulang. Perbuatan yang

diulang tersebut karena pertamakalinya menjalankan perbuatan tersebut mereka

menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna dan mereka

menghendaki hal tersebut kembali.

Terkadang sebagian orang mengklaim bahwa pelaksanaan ritus Esmaket

bertentangan dengan kehidupan masyarakat, mengingat bahwa masyarakat Mepa

telah beralih 100% memeluk agama Kristen. Jika demikian, maka pada awalnya,

para penginjil yang menyebarkan agama (injil) menilai bahwa Esmaket

bertentangan dengan kekristenan, maka harus ditinggalkan, namun sampai

sekarang ini ritus tersebut tetap dihargai dan dilaksanakan meskipun masyarakat

sudah beralih memeluk agama Kristen. Kita tahu bahwa setiap agama berasal dan

dibungkus oleh budaya tertentu, termasuk kekristenan. Tentunya ketika

diwartakan, kekristenan mau tidak mau harus bertemu dengan agama suku atau

kepercayaan asli. Agar kekristenan dapat diterima dengan baik, maka ia juga

Page 26: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

97

harus memperhatikan konteks dimana ia hadir. Itu berarti, budaya, kosmologi,

agama asli (kepercayaan asli) setempat, stuktur sosial masyarakatnya yang telah

berakar dalam kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karenanya dibutuhkan suatu upaya konstekstualisasi.

Inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab gereja terhadap

masyarakat Mepa yang melaksanakan ritus Esmakettersebut. Gereja sebagai

bagian dari masyarakat Mepa memiliki tugas dan tanggung jawab dalam

memahami dan memaknai ritus Esmaketitu sendiri. Dalam hal ini bahwa gereja

menerima ritus Esmaketini untuk tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh

masyarakat Mepa sebagai masyarakat adat yang adalah warga jemaat sendiri.

Gereja juga ikut serta dalam pelaksanaan ritus Esmaket. Karena bagi gereja

budaya itu dianggap baik dan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia

salah satunya adalah budaya dapat mengatur kehidupan manusia menurut norma

atau aturan yang berlaku, sehingga hal ini akan membimbing seseorang kearah

yang lebih baik.

Bagi gereja ritus Esmaketmempunyai manfaat yang besar karena mampu

membina masyarakat untuk taat dan patuh terhadap perintah yang diberikan

melalui ritus Esmaket. Masyarakat mampu bertanggung jawab terhadap tugas dan

tanggung jawab yang diberikan Allah dalam hidupnya. Selain itu juga,

masyarakat Mepa selalu menjunjung tinggi dan menghargai akan roh para leluhur

sebagai pendahulu mereka dengan warisan yang sudah tinggalkan kepada anak

cucu dalam bentuk adat. Yang penting lagi ialah dalam kehidupan masyarakat

Page 27: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

98

sampai sekarang ini mereka tetap menjadi masyarakat yang setia pada Tuhan

sebagai sang pencipta dan sang pemberi kehidupan.

Hal ini menandakan bahwa baik sebagai warga gereja maupun warga

masyarakat, mereka tetap percayadan taat kepada perintah Allah selaku warga

gereja sekaligus selaku warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati

warisan atau peninggalan para leluhur bagi kehidupan generasi sekarang ini.

Sikap yang dibangun oleh masyarakat desa Mepa merupakan sikap

teologis karena ketika mereka melakukan ritus Esmaket, mereka tidak hanya

melakukan kewajiban mereka sebagai komunitas adat tetapi juga telah belajar

menghargai apa yang diajarkan oleh kekristenan. Sikap teologis masyarakat

adalah sikap yang dibangun untuk menempatkan ritus Esmaketdalam terang injil.

Peran leluhur dalam karya yang diwariskan, menghendaki masyarakat adat hidup

dalam kedamaian dengan moral yang baik. Untuk itu secara religius, sikap

teologis masyarakat ini tidak bertentangan dengan kekristenan karena apa yan

dikehendaki oleh para leluhur lewat pelaksanaan ritus Esmaketsejalan dengan apa

yang diajaran juga dalam kekristenan sehingga kedua hal ini daling mengisi dan

membangun moralitas masyarakat. Apa yang diajarkan oleh kekristenan sejalan

dengan apa yang diajarkan oleh ritus Esmaketsehingga hal-hal yang saling

mengasihi dalam kekristenan dapat menggambarkan nilai-nilai positif tersebut

dalam masyarakat sebagai pembentuk moralitas ke arah yang lebih baik.

3. Makna Kepemimpinan

Page 28: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

99

Sejarah munculnya kepemimpinan sudah ada sejak jaman dahulu kala.

Kerjasama dan saling melindungi telah muncul bersama-sama dengan peradaban

manusia. Kerjasama tersebut muncul pada tata kehidupan sosial masyarakat dalam

rangka untuk mempertahankan kehidupan masyarakat yang ada. Berangkat dari

kebutuhan bersama tersebut, terjadi kerjasama antar manusia dan mulai unsur-

unsur kepemimpinan.

Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam sepanjang sejarah

manusia.Kehadiran seorang pemimpin selalu dibutuhkan pada setiap kelompok

dan masyarakat. Pengaruh pemimpin akan mempunyai dampak yang luar biasa

bagi kelompok masyarakat yang dipimpinnya.9

Dalam kaitan denga Esmaket, masyarakat Mepa memahami bahwa

Esmaketmerupakan bagian dari adat dan adat adalah bagian dari kebudayaan yang

sudah tercipta dan sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga Esmaketsebagai adat

masyarakat Mepa yang sudah di buat harus ditepati. Esmaketmerupakan bagian

dari adat yang sudah ada sejak jaman dahulu sehingga bagi masyarakat,

Esmaketadalah hal yang disakralkan dan tidak boleh diucapkan sembarangan

sebab jika terjadi pengingkaran maka ada konsekuensi yang harus diterima. Oleh

karena itu, Esmaketyang menyangkut kepemimpinan seseorang harus ditepati,

sebab hal ini sudah ada sejak para leluhur. Masyarakat Mepa yakin bahwa apa

yang telah dibuat, diatur bahkan ditetapkan oleh para leluhur, mampu mengontrol

persekutuan hidup mereka dengan baik secara individu maupun kelompok (sosial)

9 Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru

Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 13

Page 29: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

100

Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi

interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk

mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, memotivasi dan

mengkoordinasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya; faktor berasal

dari diri kita sendiri, pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan

situasi waktu kepemimpinan kita dilaksanakan.10

Oleh karena itu sebagai

pemimpin kita perlu mengerti diri sendiri, terutama yang berhubungan dengan

peranan kita sebagai pemimpin, orang yang kita pimpin, masing-masing dan

sebagai kelompok serta situasi dimana kepemimpinan kita berlangsung.

Pemimpin adalah orang yang menuntun, membina dan memberi teladan

serta membimbing suatu organisasi baik dalam suka maupun duka.Sehingga

tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang

dipimpin.Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun

dan mengembangkan orang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin

dalam kelompoknya.Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari

kemampuannya untuk membangun orang-orang disekitarnya, karena keberhasilan

sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam

orgnisasi tersebut. Sebuah organisasi mempunyai banyak anggota dengan kualitas

pemimpin, maka organisasi tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.

Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka

yang dipimpinnya. Kasih itu diwujud nayatkan dalam bentuk kepedulian akan

10

Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori Dan Pengembangannya, (Yogyakarta:

Kanisius, 1986), 18-20

Page 30: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

101

kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar setiap

kebutuhan, impian dan harapan dari warga masyarakat, dapat mengendalikan ego

dan kepentingan pribadinya melebihi orang lain atau mereka yang dipimpinnya.

Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun

tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat.Sebab seorang pemimpin sejati

selalu dalam tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.Pemimpin

tidaklah cukup hanya mempunyai pengalaman dan kemampuan intelektual yang

baik, namun perlu juga kecakapan atau kecerdasan emosi dan spiritual. Pemimpin

tanpa kecerdasan emosi dan spiritual akan menjadi pemimpin yang mudah goyah,

tidak tahan uji dan mudah jatuh. Oleh karena itu kelengkapan spiritual dan

kecerdasan emosi akan membantu keberhasilan pemimpin terutama dalam

membangun relasi dengan sesama. Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang

mengguganakan kecerdasan emosi dan spiritual memiliki kecenderungan untuk

menggunakan pola kepemimpinan transformatif.

Pola kepemimpinan transformatif11

merupakan pola kepemimpinan yang

diteladankan Yesus yakni seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi

pengikutnya bukan hanya perkataa saja tetapi juga dengan

perbuatannya.Kepemimpinan yang diteladankan oleh yesus adalah kepemimpinan

yang memiliki motivasi yang insporatioan, melalui visi yang diterima dari Allah

11

Friedman dan Lagbert yang dikutip oleh Retnowati Wiranto, menjelsakan bahwa pola

kepemimpinan transformative merujuk pada seorang pemimpin yang mampu mengerakan para

pengikutnya melalui idealized, influence, inspiration, intellectual stimulation dan individualized.

Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana), 21-22

Page 31: BAB IV ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12391/4/T2_752013010_BAB IV...yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka. Kehidupan masyarakat

102

sendiri. Pemimpin transformatif mampu mendorong pengikutnya untuk

mengembangkan potensi diri dan kreatifitas, mampu menghadapi masalah besar

dan serumit apapun dengan cara yang bijaksana dan agamais. Pemimpin

transformatif selalu berupaya untuk memberi peluang bagi pengikutnya untuk

mengembangkan dirinya. Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk

mengembangkan dirinya.Allah telah memilih manusia untuk menjadi alatNya dan

berkenan terus memelihara dan menyertainya.12

Dalam Perjanjian Baru yang menjadi dasar dari kepemimpinan adalah

keteladanan yesus dalam kehambaNya, bahwa karakter pemimpin seorang kristen

sangat penting dan kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan

pelaksanaan tugasnya, karena kepribadian itu selalu mendapat perhatian untuk

diikuti maupun diteladani. Dalam konteks kepemimpinan Kristen, mensyaratkan

nilai-nilai kasih dan pelayanan sebagai pokok penting bagi setiap pemimpin, maka

dibutuhkanlah sikap seperti kerendahan hati, kesediaan untuk melayani dengan

tulus serta dapat mempengaruhi orang lain dengan keunikannya sendiri sebagai

pribadi yang telah ditebus dan dibaraui oleh kristus.13

Dengan demikian secara

teologis pemimpin Kristen merupakan alat dalam tangan Tuhan.

12

Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru

Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 133-135 13

Retnowati Wiranto .., 14