Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi...

43
155 Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Film Peneliti sudah memulai wawancara dengan para pembuat film pertama kali di tahun 2007. Narasumber pertama yang penulis wawancarai ketika itu adalah Riri Riza, yang kontaknya penulis dapatkan dari Key. Wawancara dengan Riri merupakan wawancara pertama dengan hasil transkrip wawancara terbanyak di kantor Miles Production Jakarta. Durasi wawancara sekitar dua jam menghasilkan transkrip sekitar 80 halaman. Pada waktu itu Riri dan kawan-kawan baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di TMII Jakarta, sehingga wawancara berlangsung cukup seru dan menarik. Riri merupakan sineas yang berwawasan cukup luas. Banyak informasi tentang film Indonesia Pasca Reformasi yang penulis dapatkan kala itu. Berikutnya adalah wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo di Institut Kesenian Jakarta. Ini pun memberikan banyak pengetahuan tentang film Indonesia pada penulis. Penulis menunggu Bapak Slamet yang kala itu sedang mengajar di kelas, sambil mendengar beliau mengajar penulis mengamati kampus IKJ, itu merupakan momen wawancara terpanjang dan berharga untuk penulis. Narasumber ketiga dan keempat adalah Bapak Garin Nugroho yang diwawancarai penulis di kantor SET Jakarta, serta Bapak Chand Parwez di kantor Starvision Plus Jakarta. Wawancara dengan mereka pun menghasikan transkrip berisi informasi yang melengkapi pengetahuan penulis tentang film Indonesia. Di saat yang lain Bapak Chand Parwez bersedia diundang ke acara diskusi film di ITB, sehingga penulis bisa mewawancarai lebih lanjut. Selama periode tersebut ada beberapa kali diskusi dengan orang- orang film dan budaya di ITB, sehingga penulis berhasil memperoleh narasumber tambahan yaitu Bapak Deddy Mizwar, Lukman Sardi dan Tora Sudiro, yang kala itu membahas film ―Naga Bonar Jadi 2‖.

Transcript of Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi...

Page 1: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

155

Bab IV

Dari Produksi sampai Distribusi Film

Peneliti sudah memulai wawancara dengan para pembuat film

pertama kali di tahun 2007. Narasumber pertama yang penulis

wawancarai ketika itu adalah Riri Riza, yang kontaknya penulis

dapatkan dari Key. Wawancara dengan Riri merupakan wawancara

pertama dengan hasil transkrip wawancara terbanyak di kantor Miles Production Jakarta. Durasi wawancara sekitar dua jam menghasilkan

transkrip sekitar 80 halaman. Pada waktu itu Riri dan kawan-kawan

baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di TMII

Jakarta, sehingga wawancara berlangsung cukup seru dan menarik. Riri

merupakan sineas yang berwawasan cukup luas. Banyak informasi

tentang film Indonesia Pasca Reformasi yang penulis dapatkan kala itu.

Berikutnya adalah wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo

di Institut Kesenian Jakarta. Ini pun memberikan banyak pengetahuan

tentang film Indonesia pada penulis. Penulis menunggu Bapak Slamet

yang kala itu sedang mengajar di kelas, sambil mendengar beliau

mengajar penulis mengamati kampus IKJ, itu merupakan momen

wawancara terpanjang dan berharga untuk penulis. Narasumber ketiga

dan keempat adalah Bapak Garin Nugroho yang diwawancarai penulis

di kantor SET Jakarta, serta Bapak Chand Parwez di kantor Starvision

Plus Jakarta. Wawancara dengan mereka pun menghasikan transkrip

berisi informasi yang melengkapi pengetahuan penulis tentang film

Indonesia. Di saat yang lain Bapak Chand Parwez bersedia diundang ke

acara diskusi film di ITB, sehingga penulis bisa mewawancarai lebih

lanjut. Selama periode tersebut ada beberapa kali diskusi dengan orang-

orang film dan budaya di ITB, sehingga penulis berhasil memperoleh

narasumber tambahan yaitu Bapak Deddy Mizwar, Lukman Sardi dan

Tora Sudiro, yang kala itu membahas film ―Naga Bonar Jadi 2‖.

Page 2: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

156

Di tahun yang sama, penulis juga berkesempatan mengamati

proses pembuatan film ―Jalan Sesama‖ yang disutradarai oleh Key,

teman penulis di sebuah lokasi syuting di Jakarta. Film tersebut

diadopsi dari sebuah film anak-anak berjudul ―Sesame Street‖ di luar

negeri, yang penceritaannya kemudian diubah dan disesuaikan dengan

budaya Indonesia. Selain narasumber di atas, pada tahun tersebut

penulis pun mengunjungi Direktorat Perfilman di Gedung Film Jalan

M.T. Haryono, Jakarta. Waktu itu, Bapak Bakrie yang menjabat sebagai

Direktur Film Indonesia di bawah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Penulis berhasil mewawancarai beliau dan bahkan

mendapatkan buku tentang kaleidoskop perfilman Indonesia mulai

tahun 1926 sampai 2007. Di gedung yang sama namun lantai yang

berbeda, dua lantai di atas kantor Bapak Bakrie, penulis juga berhasil

mewawancarai Ibu Titie Said yang kala itu menjabat sebagai Ketua

Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia.

Sayangnya, ketika peneliti berusaha menghubungi Bapak

Bakrie di gedung film tahun 2015 yang lalu, ternyata beliau sudah

tidak menjabat dan bahkan kantor perfilman di gedung film Jalan M.T.

Haryono Jakarta sudah ditutup. Pemerintahan era Presiden Jokowi

tidak lagi menggunakan departemen tersebut. Saat ini industri film

digolongkan sebagai ekonomi kreatif berada di bawah Badan Ekonomi

Kreatif (BEK) yang posisinya sejajar dengan kementerian yang lain,

langsung di bawah Presiden Jokowi. Patut disayangkan juga, pada saat

penulis pulang-pergi dari Bandung ke Jakarta beberapa kali untuk

melakukan wawancara dengan narasumber, kantor BEK belum ada.

Menurut informasi yang penulis dapatkan dari Motulz, pada saat itu

kepengurusan BEK di bawah Bapak Triawan Munaf baru akan

dibentuk dan berproses sehingga tidak ada narasumber yang diperoleh

untuk diwawancarai.

Pada penelitian ini, penulis kembali menghubungi Key

Simangunsong, teman penulis ketika di SMA, dan adiknya Dewi Dee

Lestari. Key dan Dee telah menolong penulis dalam mengembangkan

jejaring pertemanan dengan pembuat film yang baru. Akhir tahun

2014 penulis menghubungi Dee melalui twitter dan whatsapp, dari

Page 3: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

157

Dee penulis kemudian mendapatkan kontak Sheila Timothy, Joko

Anwar, dan Ifa Isfansyah. Selanjutnya di tahun 2015, penulis mulai

melakukan pertemuan awal dengan Key dan Motulz di sebuah rumah

makan di Cipete Raya Jakarta; yang kemudian dilanjutkan dengan

pertemuan bersama Sheila Timothy di kantornya, Joko Anwar dan para

pemain ―ACOMM‖ di Bandung, dan seterusnya. Penulis juga sempat

diundang ke Jakarta oleh Sheila Timothy, untuk ikut hadir di acara

―The Art of Film Marketing‖ yang diadakan oleh MPAA di Kemang

Raya Jakarta. Di situ penulis bertemu dan dapat mewawancarai Ibu

Catherine Keng dari Grup Cinema XXI dan Ibu Dian Soenardi dari

Grup CGV Blitz. Di tempat yang sama, penulis juga bertemu Bapak

Triawan Munaf (sayang sekali beliau sangat terburu-buru), namun

penulis hanya sempat mewawancarai sebentar asisten deputinya yaitu

Bapak Boy. Di samping itu penulis berbincang sebentar dengan Darius

Sinathriya tentang film Indonesia yang menurutnya sudah makin maju

dan berkembang.

Di waktu yang lain, penulis juga mendapatkan kontak Nia

Dicky Zulkarnaen dari Profesor Daniel Kameo, yang sekaligus

membimbing penulis dalam penelitian ini. Wawancara dengan Nia

penulis dapatkan dari beliau. Di Bandung, penulis pun mendapatkan

kontak Atid Sammaria, seorang film maker muda, dan Ariani

Darmawan (yang sebelumnya juga pernah penulis wawancarai) dari

pertemanan dengan pakar dan orang-orang kreatif di Bandung. Penulis

juga sempat mewawancarai beberapa indie movie-maker di Salman

ITB. Kontaknya penulis dapatkan dari seorang dosen dan pengamat

budaya di FSRD ITB, Bapak Yasraf Amir Piliang. Bersama beliau,

penulis juga kerap berbincang dan berdiskusi tentang film Indonesia.

Wawancara demi wawancara penulis lakukan dengan para

narasumber. Ada yang bersedia meluangkan waktu cukup lama sekitar

satu jam-an atau lebih, seperti Key, Motulz, Lala dan Ifa. Ada juga yang

hanya bisa diwawancarai melalui telepon, atau media sosial, yang

dilanjutkan pertemuan di satu event seperti wawancara dengan Joko

Anwar. Penulis sempat ber-whatsapp beberapa kali sebelum bertemu

langsung dengan Joko Anwar, Chico Jericho dan Paul Agusta di CGV

Page 4: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

158

Blitz di BEC Bandung. Saat itu Joko dan rekan-rekan sedang promosi

film ―A Copy of My Mind‖. Di tahun 2015 penulis pun kembali

mewawancarai Bapak Garin dan Bapak Chand Parwez, melalui surel

dan whatsapp. Wawancara dengan Bapak Garin dilanjutkan lagi di

pertemuan diskusi tentang film di Fakultas Filsafat dan Fakultas

Ekonomi Unpar di Bandung.

Setelah mendapatkan hasil wawancara dengan narasumber,

peneliti kemudian menuliskannya ke dalam sebuah transkrip

wawancara. Semua transkrip kemudian dipelajari dan dimulailah

proses berikutnya yaitu proses coding. Proses coding meliputi

menandai bagian-bagian atau penggalan wawancara yang mengandung

makna yang sama (keywords yang sama). Contoh ada di halaman 21

dan 22, seperti misalnya ketika Lala Timothy, Key dan Motulz

bercerita tentang industri film di Indonesia; penulis kemudian

memberi kategori yang sama terhadap penggalan-penggalan

wawancara dengan mereka dan memberi judul kategori ―industri film

di Indonesia‖. Demikianlah dari beberapa keywords yang sama, penulis

kemudian menggabungkannya ke dalam satu kategori dan memberi

label sesuai kata kunci tersebut. Pada bab ini, judul atau label atas

kategori tampak dalam beberapa sub judul pada uraian di bawah ini.

Beberapa judul kategori yang penulis dapatkan dari transkrip

wawancara antara lain adalah: proses produksi dan pendanaan sebuah

film, pandangan mereka tentang industri film di dalam negeri, proses

negosiasi dalam film, strategi pemasaran, proses distribusi dan

ekshibisi, serta masalah yang ditemukan selama proses distribusi.

Penjelasan atas masing-masing kategori di atas diuraikan pada beberapa

sub bab dalam Bab empat berikut ini.

Industri Film Indonesia

Sheila Timothy, seorang film-maker muda sekaligus ketua

APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) saat ini, ditemui penulis di

kantornya yaitu ―Life Like Pictures‖ di daerah Kuningan Jakarta,

Page 5: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

159

tanggal 24 Agustus 2015 yang lalu. Sheila9, atau yang lebih akrab

dipanggil Lala Timothy masih terbilang pemain baru yang berbakat

dan potensial di industri film nasional sekalipun bukan berasal dari

latar belakang pendidikan film.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 4.1. Penulis Bersama Sheila Timothy di Kantor Life Like Picture,

Jakarta, 24 Agustus 2015

Menurut Lala, secara industri, perfilman Indonesia sudah ada,

sudah terbentuk, ada proses produksi dan membayar pajak. Namun

memang belum maju. Dampak dari proses produksi sebuah film

9 Lala Timothy adalah kakak dari Marsha Timothy yang lebih dulu memasuki dunia film dan model. Lala adalah seorang ibu dari empat orang anak, dan istri dari Luki Wanandi, seorang pengusaha. Lulus dari Manajemen Trisakti dengan fokus di bidang pemasaran di tahun 1990-an, Lala sempat bekerja pada perusahaan Indo-Ad (dulu Ogilvy) kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Tahun 2009, ia mulai berkarir kembali sebagai produser film dengan ―Pintu Terlarang‖ (Forbidden Door) sebagai film pertamanya. Film tersebut berhasil memenangkan festival film di Puchon International Fantastic Film di Korea Selatan. Film keduanya berjudul ―Modus Anomali‖ (2012) yang bergenre thriller dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, DVD- nya beredar di Jerman di tahun 2013. Film ketiga yang dibuat Lala adalah film ―Tabula Rasa‖ (2014) yang bergenre drama keluarga yang disajikan apik dan natural. Inti cerita adalah toleransi dan tolong-menolong, dengan bumbu masakan Padang serta olahraga sepakbola. Penonton diingatkan tentang hidup rukun dalam keberagaman (pluralism) baik secara etnis maupun agama. Film ini dibeli oleh Astro untuk channel penyiaran di Asean.

Page 6: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

160

terhadap ekonomi lebih besar dari sekedar penjualan tiket di bioskop.

Penghasilan sebuah film dan kontribusinya pada ekonomi negara

menjadi lebih besar, karena di samping penjualan tiket di bioskop film

menjadi lokomotif industri yang membawa serta gerbong bisnis yang

lain, misalnya fashion, kuliner, atau bahkan tourism. Film ―Laskar

Pelangi‖ karya Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai contoh, memberi

dampak ekonomi terhadap bisnis turis di kota Belitung. Usaha

penerbangan dari kota lain ke Belitung ditambah rutenya sehingga

menjadi lebih banyak.

Sheila Timothy memberikan penjelasan tentang industri film

Indonesia melalui gambar di bawah ini:

sumber: Sheila Timothy

Gambar 4.2. Proses Produksi Sampai Ekshibisi Film Indonesia

Menurut Lala, proses produksi dimulai dengan tahap awal yaitu

development. Tahap awal ini merupakan tahap yang menentukan dan

akan mempengaruhi tahap berikutnya serta berapa besar pendanaan

diperlukan. Di tahap ini akan ditentukan tema atau ide cerita yang

dipilih, apakah berasal dari ide yang sudah ada (novel, true story, dsb.)

ataukah ide langsung dari sang produser atau ada pihak tertentu yang

menawarkan ide cerita pada produser. Di tahap ini juga akuisisi

dilakukan, apakah ide cerita yang telah dipilih dan ditentukan bisa

benar-benar dilaksanakan. Salah satu caranya adalah dengan membuat

riset. Dalam proses development ini produser sudah mulai bekerja sama

dengan penulis cerita dan penulis skrip, serta harus menemukan

investor juga untuk mendanai filmnya jika ia tidak punya dana sendiri.

Di tahap-tahap awal, seorang produser harus benar-benar yakin akan

mengeksekusi ide cerita yang dipilih. Ia akan berdiskusi dengan penulis

cerita atau penulis skrip tentang ide cerita dan pesan yang ingin

Page 7: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

161

disampaikannya melalui film. Ia juga bisa mengajak sutradara untuk

melakukan riset kecil atau besar, supaya inti cerita atau pesan dan

benang merah yang ingin disampaikan melalui film tersebut bisa benar-

benar disampaikan pada pemirsa. Biasanya produser akan benar-benar

memastikan ini terjadi sebelum tahap syuting dimulai. Riset bisa juga

dilakukan paralel di tahap kedua yaitu tahap pre-production.

Tahap berikutnya adalah pre-production. Di tahap ini produser

akan mencari dan memilih sutradara, para pemain (aktris dan aktor)

serta kru. Proses berikutnya akan segera dimulai yaitu tahap syuting

dan pengambilan gambar di lapangan sebagai tahap ketiga, yaitu tahap

produksi. Pada tahap ini, kehadiran penulis skrip sudah tidak

diperlukan lagi (jika dia bukan sekaligus sutradara) yang lebih berperan

sekarang adalah sutradara dan produser. Syuting melibatkan tenaga

kerja yang cukup banyak dan memakan waktu yang biasanya tidak

sebentar, apalagi jika lokasi pengambilan gambar lebih dari satu. Ketika

seluruh adegan selesai diambil dan dianggap sudah memenuhi seluruh

skrip yang telah ditentukan maka proses produksi dinyatakan selesai.

Sesudah produksi selesai, tahap keempat adalah tahap post-production. Di tahap ini, rekaman seluruh pengambilan gambar akan

diedit dan ditata kembali menggunakan teknologi. Prosesnya biasa

dilaksanakan dalam sebuah laboratorium. Menurut beberapa movie-maker seperti Riri Riza dan Garin Nugroho, laboratorium kita di

Indonesia belum memadai, akibatnya untuk tahap editing mereka harus

menggunakan jasa laboratorium film di luar negeri. Di tahap ini juga

dilakukan pengisian suara jika diperlukan di samping editing suara, dan

tata pencahayaan, tata letak gambar dan sebagainya. Makin baik dan

modern teknologi yang digunakan akan berdampak pada makin

tingginya kualitas film yang dihasilkan.

Tahap berikutnya tak kalah penting, yakni tahap pemasaran

dan distribusi. Di tahap ini, film-maker akan merancang strategi seperti

apa yang akan dia gunakan untuk memasarkan filmnya dengan baik

supaya dikenal dan diminati oleh semakin banyak penonton. Media

promosi dan publisitas harus dipilih, trailer yang menarik harus dibuat,

saluran distribusi juga akan mulai dipilih, apakah hanya akan disiarkan

Page 8: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

162

di bioskop, atau akan menawarkan ke channel lain seperti saluran

televisi swasta di dalam atau di luar negeri, membuat DVD, home video, dan sebagainya. Di tahap ini, sang produser harus mengkalkulasi

kembali berapa banyak pendanaan yang dia butuhkan untuk

memasarkan produknya dengan baik. Tak jarang tahap pemasaran dan

distribusi dapat memakan biaya yang lebih besar atau sama dengan

biaya produksi yang dikeluarkan.

Tahap terakhir adalah tahap ekhibisi atau penyiaran pada

publik, biasanya seorang produser akan memilih layar lebar atau

bioskop terlebih dahulu sebelum menawarkan filmnya pada saluran

ekhibisi yang lain. Kesulitan di tahap ini adalah negosiasi dengan

pengusaha bioskop, yang biasanya juga ingin mendapatkan keuntungan

besar dari hasil penjualan tiket, dan tidak mau rugi. Alhasil, harus

disepakati berapa lama sebuah film boleh disiarkan di sekian layar

bioskop tertentu sampai akhirnya film tersebut harus turun dari layar.

Informasi yang didapat dari beberapa film-maker menyiratkan ―aturan‖

tiga sampai empat hari adalah jangka waktu maksimal untuk menguji

sebuah film apakah masih layak siar di bioskop atau tidak.

Mengenai keseluruhan tahapan produksi sebuah film ini,

berikut adalah tanggapan Lala mengapa industri film di Indonesia

dianggap belum maju:

―Kenapa industri film itu dianggap kecil karena hanya dihitung dari harga tiket. film bukan cuma dari direct penjualan tiket. Economic contribution-nya bisa 4 kali lipet! Biasanya impact yang direct saja yang dihitung... iklan sampai kontribusi yang tidak direct sama sekali. Film―Laskar Pelangi‖ yang dibuat di Belitong membuat tadinya penerbangan ke Belitong hanya satu kali (seminggu/sebulan), sekarang ada setiap hari. Itu kan Indirect contribution dari film... Menurut saya, kompleksitasnya sama dengan negara lain‖

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa industri film di

Indonesia masih terbilang kecil karena hanya dihitung dari penjualan

tiket saja, padahal nilai ekonomi dari sebuah proses produksi film bisa

sangat besar karena kompleksitas unsur-unsur yang ada di dalamnya.

Page 9: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

163

Sepanjang proses produksinya, sebuah film akan melibatkan jumlah

pendanaan yang sangat besar dan beragam. Proses produksi berjalan

dari sejak tahap development sampai ekhibisi melibatkan kerja sama

dengan banyak bisnis di sektor lain, bukan hanya proses pengambilan

gambar, namun juga sektor transportasi, kuliner, fashion (wardrobe),

make up, instalasi, dan sebagainya. Pasca produksi pun masih

melibatkan unsur bisnis yang lain yaitu teknologi dan laboratorium. Itu

sebabnya biaya produksi sebuah film bisa menjadi sangat besar,

beberapa movie-maker menyiratkan nilai pendanaan rata-rata sebuah

produksi film antara dua sampai sepuluh miliar rupiah. Biaya tersebut

belum termasuk pengeluaran untuk distribusi dan pemasaran, yang jika

ditotal bisa membengkak menjadi dua kali atau tiga kali biaya

produksinya.

Menurut Lala, industri film di Indonesia sudah ada terbukti dari

asosiasinya, namun dinilai masih cacat karena tidak ada peran

distributor di dalamnya, dulu pernah ada tapi sejak Grup XXI muncul di

era Orde Baru, peran distributor lantas tersingkirkan. Berikut adalah

kutipan wawancara tentang hal tersebut:

―Industri film itu ada. Ada stakeholder-nya kok. Industrinya kecil iya, karena belum ter-develop. Kalo dibilang belum maju, iya. Industrinya ada, kita bayar pajak kok ke Negara. Ini kan ada produser, ada PH, production house, ada musik. Ini kan stakeholder, industri namanya. Kalo dibilang industrinya tidak maju, memang belum. Kita ini asosiasi. Swasta punya. Perkumpulan. Persatuan Produser Film Indonesia gitu. Ada 780.000 pekerja di industri film!‖

Beberapa movie-maker yang diwawancarai memiliki pendapat

yang beragam tentang film Indonesia. Pendapat bahwa industri film di

Indonesia belum stabil dan tertata, karenanya tidak atau belum layak

disebut sebagai ―industri‖ diungkapkan Motulz10dan Key –seorang Art Director dan penulis skrip-- dalam sebuah wawancara dengan penulis

10Anto Motulz adalah seorang Desainer dan Komikus lulusan FSRD ITB. Sempat bekerja di sebuah kantor advertising sesudah lulus, kini Motulz bekerja free-lance, sehingga bisa memilih untuk mengerjakan apa yang betul-betul ia sukai. Motulz pernah mengerjakan art-design untuk film ―Jalan Sesama‖ (Sesame Street Indonesia), iklan untuk televisi dan media lain.

Page 10: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

164

di sebuah rumah makan di Cipete, Jakarta Selatan tanggal 3 Agustus

2015.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.3.Penulis Bersama Key dan Motulz di ―Rumah Baba‖, Cipete,

Jakarta, 3 Agustus 2015

Petikan wawancara dikutip sebagai berikut:

―kalau ada yang bilang industri film, gue sih akan mempertanyakan...kalau di industri film beneran itu semua udah harus on paper. Di kita itu masih ada istilah lagi syuting break dulu, kenapa? Cameraman-nya sakit..secara industri ngga masuk akal lagi... emang ada ya di industri kayak gitu, oh,cameraman sakit ganti aja sama yang lain, dia mestinya tau…kemaren kan ada catatan terakhir.‖

Motulz sebagai seorang Art Director tidak habis pikir dengan

proses produksi yang kurang terjadwal, tidak profesional, dan bisa

break di tengah-tengah. Menurutnya, produksi film di luar negeri

tidak ada yang seperti itu. Setiap anggota tim (kru) sudah harus tahu

benar apa tugas dan tanggung jawabnya, dan melaksanakan itu dengan

profesional. Lebih lanjut Motulz memberi gagasan tentang beda

antara industri dengan standar operasi yang jelas, dan pengrajin ala

Indonesia, dimulai dengan contoh pekerjaannya sendiri sebagai

seorang Art Director:

―yang ngerti visualnya itu art director, art director punya tangan kanan…Jadi artistik itu ada yang kalo di Art Director film ini adalah dia harus tau misalkan si sutradara tuh ―eh lu

Page 11: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

165

mau bikin film ini‖, bayangan lu kaya apa sih lokasinya, bajunya, apanya…nanti dia akan bilang ―oh gue pengen kaya gaya-gaya 80-an‖ nah dia yang akan men-translate ini menjadi design-design, nanti ditanya.. nanti kalau itu sudah di approve baru ke produksi di bikin, entah itu bikin entah itu nyewa. ketika art director ga ngerti atau salah, ini bawahan ga ada yang tau, bisablank. Ya nunggu dia deh, yang ngerti cuma dia. Gimana bisa disebut industri? Industri tuh menurut gue, organisasinya jelas, manajemennya juga, semuanya jelas.. Nah, kalo pengrajin beda. Pengrajin itu, dia bisa menyiasati dari ketiadaan. Ketika punya lampu nih, pake apa….itu pengrajin. Wah tidak standar, ga masalah yang penting kan bisa syuting. Kalau industri pasti gak mau syuting kalo lampu kurang‖.

Menurut Motulz, industri film di Indonesia masih

dipertanyakan keberadaannya. Karena pada kenyataannya, tata-kelola

produksi film dianggap masih parah, belum terstruktur, fungsi-fungsi

pekerjaan belum jelas dan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Selain Motulz, Key11 juga mempertanyakan kondisi industri

perfilman Indonesia yang menurutnya belum ―sehat‖. Di tempat dan

jam yang sama dalam wawancara dengan penulis dan Motulz –kami

bertiga janjian bertemu di rumah makan ―Baba‖ daerah Cipete, waktu

itu Key keluar sebentar untuk menjemput anaknya di sekolah,

kemudian bergabung lagi untuk berdiskusi tentang film Indonesia.

Berikut adalah pendapat Key tentang industri film di Indonesia:

―Sementara film kita belum mendatangkan, industrinya juga

sebenernya belum sehat..belum settle... pada kenyataanya,

industrinya aja belum terbentuk dengan sehatlah, bahwa apa

yang kita bikin pasti untung.. belum tentulah, semuanya

serba gambling. Ada yang mengatakan 80% produser kita

merugi...‖

11Ria Simangunsong, atau yang lebih akrab dipanggil ―Key‖ adalah sahabat penulis sejak SMA. Key adalah sarjana Arsitektur lulusan Unpar, sekaligus kakak kandung Dewi ―Dee‖ Lestari yang adalah novelis. Sesudah lulus Key bekerja di stasiun televisi Trans di Jakarta. Sempat menjadi sutadara sinetron ―Lupus‖ yang tayang di Indosiar tahun 1995, Key kemudian menjadi penulis skrip di beberapa film seperti ―Brownies‖, ―Oh My God‖ dan ―Rectoverso‖. Kini Key telah menikah dan menjadi ibu dari dua orang anak.

Page 12: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

166

Produksi dan Pendanaan

Lala Timothy menjelaskan tentang proses produksi film ―Tabula

Rasa‖ yang ia buat di tahun 2012 dan rilis di tahun 2014, mulai dari

tahap awal yaitu tahap development sebagai berikut:

―ini bukan film makanan tentang chef yang jadi productshop. Makanan jadi inti, jadi soul dari cerita. Kita gak mau menggebu–gebu bilang ayo ini Indonesia. Engga. Dan kita juga hati–hati banget waktu kita pilih Papua karena kita tidak mau eksploitasi Papua seperti film Indonesia ada beberapa yang lain yang menceritakan kebodohannya orang Papua segala macam. Mereka ini orang–orang pintar, cuman emang di ujung sana tidak terjamah pembangunan, khususnya Serui. Kenapa pilih Serui? Karena Serui ini unik. Di sana banyak orang pinter...‖

Mengenai waktu dan biaya, serta jumlah pendanaan dan riset

yang mereka lakukan dalam proses produksi ―Tabula Rasa‖

diungkapkan Lala sebagai berikut:

―kalo misalnya ditanyabudget-nya berapa, saya jawab 6 miliar. Ada yang tanya, masa 6 miliar? Gak bisa lebih murah? Kan gak semuanya terlihat di layar itu. Kami perlu riset 1,5 tahun untuk ini, kami mulai di tahun 2012 filmnya sendiri rilis tahun 2014. Satu, untuk kuliner cari text book-nya aja susah banget...‖

Diakui Lala, bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal

untuk film yang diinginkan diperlukan riset sekitar 2 tahun

menghasilkan film ―Tabula Rasa‖ yang berporos tentang makanan.

Karena isi cerita adalah tentang masakan padang yang dimasak/diolah

oleh orang Papua, maka riset juga bukan hanya pergi ke Padang tapi

juga harus ke Serui, Papua, selain juga riset di Jakarta.

―Kami sampai ke Padang sama Tumpal, Adri membuat riset. Akhirnya kami ketemu sama Uni Emi, dan kami cuma disuruh gulung–gulung dan tumbuk–tumbuk daging segala macam, karena kami ingin melihat gerak–geriknya. Nah, ini jadi poros, Tumpal dan Adri sampai 3 kali ke Serui dan akhirnya tim ke sana.‖

Riset menurut Lala penting untuk menghasilkan film yang

sesuai dengan kenyataan tentang orang Papua dari Serui. Tidak bisa

hanya sekedar mencari informasi di google lantas dituangkan ke dalam

Page 13: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

167

sebuah naskah, atau hanya riset beberapa hari kemudian langsung

dilakukan menjadi adegan demi adegan. Hasilnya akan kurang

memuaskan. Berikut adalah pendapat Lala tentang pentingnya riset:

―Kenapa? Gak mungkin menceritakan orang Papua, orang Serui lewat google... Tim harus kesana, tinggal di sana seminggu, bergaul sama orang sana dari situ dia bisa dapat bayangan. Dari situ ke Jakarta, ke mes–mes orang Serui yang ada di Tanah Abang, atau Taman Mini dan bergaul sama orang–orang yang ada di sana, ngobrol... ooh, kaya gini orang Serui. Orang Papua itu kan banyak. Orang Wamena mungkin nggak seperti tokoh Hans yang dari Serui ini... Kita tuh miskin dari segi data. Ketika saya membuat film ―Tabula Rasa‖ terasa sulitnya mencari data film Indonesia yang berporos makanan...‖

Film ―Tabula Rasa‖ menceritakan kehidupan seorang Hans yang

dari Serui, Papua, hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan

perkumpulan sepakbola di Jakarta. Di daerah asalnya Hans sangat

terkenal karena prestasinya bermain sepakbola, namun apa daya cita-

citanya menjadi pemain bola terkenal di Indonesia kandas di Jakarta.

Hans terpaksa menjadi seorang ―gembel‖ dan harus mengejar-ngejar

truk dengan terpincang-pincang untuk mengais sesuap nasi, akibat

keberadaannya di klub sepakbola tidak lagi dibutuhkan karena cedera

kaki. Hans (dimainkan Jimmy Kobogau) yang sempat frustasi dan

pingsan di pinggir jalan karena kurang makan, akhirnya diselamatkan

oleh Emak (Dewi Irawan) yang memiliki rumah makan padang

sederhana di pinggiran kota Jakarta. Emak memberi Hans makanan dan

menyuruhnya bekerja di rumah makan padang miliknya. Hans

kemudian teringat kampung halamannya dan membangkitkan

kerinduan Hans untuk pulang ke Serui ketika belajar memasak

makanan padang pada Emak. Persahabatan dan kerja sama antara Hans

dan Emak lambat laun menyalakan semangat hidup Hans kembali

untuk meraih mimpinya, sekalipun tidak lagi (tidak harus) menjadi

seorang pemain sepakbola terkenal.

Ide cerita yang berasal dari keseharian ini berhasil dituturkan

secara natural di dalam ―Tabula Rasa‖, itulah mengapa film ini terasa

memikat meskipun terlihat begitu sederhana dan biasa. ―Tabula Rasa‖

Page 14: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

168

adalah film dengan jenis slice of life yang mengutamakan riset. Film ini

sarat budaya Indonesia yang multi kultur, menjunjung tinggi toleransi

beragama dan perbedaan etnis. Penceritaan terjalin secara apik.

Menurut Lala Timothy, proses penggarapan sebuah film yang baik dan

serius akan memerlukan waktu yang cukup lama, bertahun-tahun

sebelum film tersebut siap dipasarkan.

Proses pembuatan film tidak selalu sama, ada yang digarap

secara serius dengan riset yang cukup banyak, ada juga yang dilakukan

dalam tempo yang singkat, beberapa minggu saja, namun bisa tampil

memikat. Salah satunya adalah beberapa film yang dibuat oleh

Sammaria Simanjuntak, yaitu film ―Demi Ucok‖ dan ―Selamat Pagi,

Malam‖. Proses distribusinya yang bisa lebih seragam, karena jalurnya

sudah jelas: jalur festival untuk dikonsumsi penikmat film di luar

negeri, atau jalur komersial di dalam negeri. Hal ini dikemukakan

Sammaria Simanjuntak12, seorang movie-maker muda berikut ini:

―Proses pembuatan film mulai dari ide awal sampai akhirnya diproduksi sangat beragam. Ada yang memakan waktu belasan tahun, ada yang hanya dalam hitungan minggu.Tergantung produsernya. Proses setelah film jadi sampai dengan distribusi biasanya lebih seragam. Proses distribusi bisa melalui dua jalur yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market (TV, DVD, VOD, dll).Yang kedua memprioritaskan jalur festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini...‖

12Sammaria Simanjuntak, yang lebih dikenal dengan nama Atid, atau Atid Sammaria adalah Sarjana Arsitektur lulusan ITB. Sempat bekerja di sebuah firma Arsitektur di Singapura, Atid kemudian pulang ke Indonesia dan mulai berkarir sebagai produser film, mewujudkan passion dan impiannya. Film pertamanya berjudul ―cin(T)a‖ di tahun 2009 dan beberapa film dokumenter seperti ―Lima Menit Lagi‖ dan ―Working Girls‖. Tahun 2011 Atid mendirikan rumah produksi film ―PT Kepompong Gendut‖ dengan film ―Demi Ucok‖ sebagai film pertama yang rilis di bioskop grup XXI.

Page 15: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

169

Sesudah mewawancarai Atid via e-mail, penulis

berkesempatan bertemu langsung dengan Atid dan Ibunya di

CGV Blitz, BEC, Bandung ketika menonton film Joko Anwar

berjudul ―A Copy of My Mind‖. Berikut adalah dokumen-

tasinya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.4.Penulis Bersama Atid dan Ibunya, 14 Februari 2016

Atid juga berpendapat, dengan adanya teknologi baru yang

memudahkan pembuatan film secara digital membuat ongkos produksi

bisa lebih murah. Film-maker seperti dirinya bisa membuat cerita dari

ide-ide yang lebih personal dan tidak selalu bersifat komersial. Berikut

adalah pendapat Atid tentang hal tersebut, dalam sebuah wawancara

melalui e-mail tanggal 10 Agustus 2015:

―Karena pembuatan film lebih murah, maka produser kecil bisa membuat cerita yang lebih personal dan tidak melulu komersial, tema-ide-genre cerita yang difilmkan jadi lebih beragam. Keberhasilan film ―The Raid‖ yang membuat genre action yang sering dihindari karena lebih mahal kembali diminati produser lokal. Teknologi sangat berperan dalam pembuatan film, teknologi saat ini sudah semakin maju, semakin beragam, mudah, dan murah. Walaupun tidak ada produsen dalam negeri yang berminat konsentrasi di produksi peralatan film. Semua yang kami gunakan masih merk luar...‖

Page 16: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

170

Teknologi memang memegang peranan penting dalam

produksi sebuah film, akan tetapi formula yang pas untuk membuat

sebuah film bisa laku di pasaran menurut Atid Sammaria, masih

menjadi sebuah misteri. Hal ini dijelaskah Atid dalam kutipan

wawancara sebagai berikut:

―nah bagaimana membuat film supaya laku di pasaran, ini juga masih misteri buat saya, karena tidak ada formula yang dijamin pasti berhasil. Sejauh ini saya berusaha untuk membuat film yang ingin saya tonton, sehingga target pasar saya jauh lebih jelas: saya‖

Atid Sammaria yang awalnya adalah seorang Arsitek,

memperkaya khasanah perfilman nasional dengan beberapa filmnya

yang tidak biasa. Film-film yang pernah dibuat oleh Sammaria antara

lain adalah ―Demi Ucok‖, ―cin(T)a‖, dan ―Selamat Pagi Malam‖. Film

―Demi Ucok‖ berhasil mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik

versi majalah Tempo dan 8 nominasi di festival film Indonesia tahun

2012. Film yang tidak mengandalkan pemain terkenal ini didanai secara

―crowd funding‖ (Motulz menyebutnya ―produser ketengan‖) dengan

cara menerima sumbangan Rp 100.000 dari tiap produser, sampai

terkumpul dana sebesar Rp 251.000.000 hasil saweran beberapa orang

untuk proses produksi, post produksi dan promosi.

Era digitalisasi yang membuat ongkos pembuatan film semakin

murah dan mudah, yang disebut Atid sebagai faktor yang menurunkan

biaya produksi ditanggapi berbeda oleh movie-producer lain. Adalah

seorang Chand Parwez Servia, pemain lama dalam industri film

Indonesia yang menganggap film-film dengan low-budget tidak sesuai

standar perfilman dan mengecewakan penonton. Dengan begitu,

penonton lantas skeptis dan tidak mau menonton film Indonesia lagi.

Ini diungkapkan oleh Chand Parwez13 dalam kutipan wawancara

dengan penulis via whatsapp tanggal 19 Oktober 2015, sebagai berikut:

13Chand Parwez Servia adalah seorang pengusaha dan produser film dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan pendidikan dari Institut Pertanian Bogor, Pak Parwez kemudian melanjutkan usaha keluarga mengelola bioskop di Cirebon, yang kemudian ditutup. Tahun 1995 beliau mendirikan rumah produksi ―Starvision‖ dan mulai fokus di bidang pembuatan film. Sempat menginisiasi Festival Film Bandung yang kemudian dilarang

Page 17: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

171

―apresiasi terhadap film Indonesia merosot tajam, terutama sejak digitalisasi bioskop, akibatnya membuat film semakin murah dan banyak film yang di bawah standar masuk bioskop. Ini cukup mengecewakan penonton, akibatnya film bagus pun kena imbasnya‖

Film dengan low-budget yang dimaksud Chand Parwez adalah

film yang minim dari segi sinematografi, alhasil kurang memuaskan,

namun bukan berarti filmnya Atid Sammaria tidak memuaskan. Para

penonton yang sudah terbiasa dengan film-film Hollywood dengan

standar kualitas yang cukup tinggi bisa bersikap skeptis dan tidak mau

menonton film Indonesia lagi.

Dalam studi pendahuluan yang penulis lakukan di tahun 2007,

penulis juga sempat mewawancarai Ariani Darmawan, seorang pelaku

film indie (independen) yang membuat beberapa film pendek dan

masuk seleksi festival film dan seni di luar negeri. Ariani, atau Mbak

Rani mengatakan, proses negosiasi dalam sebuah produksi film

berlangsung terus-menerus dari awal sampai akhir. Berikut adalah

kutipan wawancara dengannya:

―Secara general proses produksi film dibagi dalam tahap pra-produksi (penulisan hingga persiapan produksi), produksi (syuting), lalu pasca produksi (editing, mixing, hingga marketing dan distribusi). Negosiasi terjadi secara terus-menerus dari awal hingga akhir, cuma negosiasinya terjadi dengan orang yang berbeda-beda. Di awal, masalahnya lebih ke arah content, penulisan, lalu rencana bagaimana content itu bisa dinyatakan dengan baik dalam film. Persiapan produksi biasanya yang paling ribet karena banyak berurusan dengan berbagai macam pihak, terutama pihak yang akan berada pada hari H syuting mulai produksi.‖

Pemilihan sutradara dan kru menurut Ariani termasuk vital,

karena menentukan bagaimana sebuah produksi bisa berjalan dengan

baik dan sesuai harapan atau tidak. Banyak tekanan di lapangan yang

di jaman Orde Baru, Pak Parwez akhirnya mengganti nama festival tersebut menjadi Forum Film Bandung. Beberapa filmnya yang laris Pasca Reformasi adalah ―Heart‖ (2009), ―Perahu Kertas‖ (2012) ―Get Married‖ (2013-2015), ―Marmut Merah Jambu‖ (2014), ―This is Cinta‖ (2015), dan ―Ngenest‖ (2016).

Page 18: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

172

terkadang bisa membuat kesepakatan di awal berubah. Antara

keinginan-keinginan artistik dengan masalah-masalah non-artistik di

lapangan membuat ketegangan tak terhindarkan. Seorang sutradara

yang baik akan mampu mengelola semuanya dan mengkoordinasikan

dengan baik.

―Sutradara yang baik adalah sutradara yang bisa mengkoordinasikan semua ini dengan becus hingga produksi berjalan baik dan sesuai harapan. Hal yang harus dihadapi kompleks karena di satu sisi harus bisa mempertahankan keinginan-keinginan artistiknya lewat koordinasi banyak pihak, di lain sisi harus berhadapan dengan urusan lokasi, jadwal, dll. yang kadang malah menjadi tekanan utama. Di sinilah dibutuhkan tim produksi yang baik, hingga kerja sutradara gak usah merembet hingga masalah non-artistik.‖

Tahap pasca produksi menurut Mbak Rani, masih

memerlukan koordinasi antara produser-sutradara-editor, tidak

bisa menyerahkan semuanya kepada editor. Namun begitu, ada

juga produser yang menyerahkan semua kewenangan pada

editor:

―Pasca produksi biasanya sudah masuk ke meja editing dan mixing. Walau kerjaan ditangani oleh editor dan sound mixer, tapi sutradara dan produser biasanya selalu duduk bersama dan seringkali memutuskan segala tahap editing bersama editor. Ada juga yang menyerahkannya sama sekali pada editor..‖

Ariani Darmawan adalah seorang Arsitek yang kemudian

menjadi seorang pembuat film dan seniman video. Termasuk di dalam

karya-karyanya adalah film-film pendek, film dokumenter, video

instalasi, dan karya teatrikal. Beberapa karya film pendeknya yang

turut berpartisipasi dalam festival seni maupun film di Eropa, Amerika

Serikat, Asia dan Australia adalah : ―Anak Naga Beranak Naga‖ (2005),

―The Anniversaries‖ (2006), ―Sugiharti Halim‖ (2008). Ariani memiliki

sebuah rumah buku tempat berkumpulnya komunitas muda pecinta

buku dan film di Bandung. Berikut adalah dokumentasi dengan Ariani

di rumah bukunya, di kawasan Hegarmanah Bandung:

Page 19: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

173

Sumber: Blog ―Kineruku‖ dengan seijin Ariani Darmawan

Gambar 4.5.Ariani Darmawan dengan Rumah Bukunya

Ide Cerita dan Proses Negosiasi

Proses produksi sebuah film diawali dengan adanya ide cerita

yang ditawarkan pada produser atau yang sudah dimiliki sang produser

di tahap development, kemudian berlanjut ke proses berikutnya yakni

tahap produksi sampai post-produksi. Di sepanjang tahap-tahap ini

mulai dari awal sampai akhir, proses negosiasi berlangsung terus-

menerus. Sejak awal, ide cerita bisa berasal dari sebuah novel laris yang

sudah ada kelompok penggemarnya, atau dari cerita asli yang

ditawarkan pada seorang produser, atau imajinasi total pembuatnya

karena cita rasa seni yang ia miliki. Semua ini sejak awal sudah

melibatkan proses negosiasi. Beberapa kutipan wawancara tentang itu

dengan para film-maker dijelaskan di bawah ini.

Seorang Sheila Timothy misalnya, membuat film ―Tabula Rasa‖

berdasarkan ide cerita dari pengalaman pribadi, bisa dikategorikan ide

cerita asli yang kemudian diadopsi ke dalam sebuah film. Ide cerita

yang dimilikinya tersebut harus ditransfer kepada penulis skrip dan

sutradara dari awal, yaitu Tumpal dan Adri supaya mereka mengerti

dan sejalan dengan Lala. Diperlukan banyak diskusi dan bincang-

bincang antara produser-sutradara-penulis skrip sampai akhirnya

mereka menemukan kesepakatan bahwa benang merah cerita adalah

tentang ―kerinduan‖ dan ―perjuangan‖. Hal ini diungkapkan Lala dalam

wawancara sebagai berikut:

Page 20: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

174

―Tabula Rasa ini based on original ideas. Ibu saya jago masak,.Saya suka nonton TLC Channel kalo malem–malem gak tau kenapa selalu suka acara masak walaupun tidak jago, terus saya lagi mikir, kok gak ada film Indonesia yang bener-bener berporos di makanan... film ini tipenya slice of life. Sebenernya potongan kehidupan dan tidak terlalu sulit dan memang harus sesuai kenyataan. Lingkungan orang–orang lower class dipilih, yang memiliki rumah makan sederhana, event-nya adalah kepala ikan. Tanpa orang tahu kenapa di film ini ada kepala ikan, ada maknanya. Sampe ke badan yang paling enak, kepala itu paling enak, apalagi pipinya, tapi banyak tulang. Itu aja sudah mencerminkan struggling yang diambil bahasa visual.Tapi kita sebagai pembuat.. jadiin itu sebagai dasar‖

Movie-producer Pasca Reformasi yang juga banyak

mengangkat ide cerita dari lokalitas dan keseharian di Indonesia,

khususnya di Indonesia bagian timur, dalam proses produksi filmnya

adalah Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen di rumah produksi ―Alenia‖.

Suami-istri ini telah membuat beberapa film yang cukup sukses, di

antaranya film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ (2006), film musikal

―Liburan Seru‖ (2008), ―King‖ (2009), dan ―Tanah Air Beta‖ (2010).

Film-film tersebut diterima dan mendapatkan respon yang cukup baik

dari masyarakat. Film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ menerima

beberapa penghargaan sekaligus di FFI yaitu best actor, best cinematography dan best adapted script (Jakarta Post, 4 Juli 2010).

Sayangnya, film-film garapan ―Alenia‖ tersebut tidak semua

dapat dinikmati oleh penonton khususnya di daerah Indonesia timur.

Masalahnya, sebaran bioskop yang belum merata dan harga tiket yang

terlalu mahal. Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Daniel Kameo di

tahun 2015, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen menjelaskan bahwa film

yang digarap secara maksimal sekalipun belum bisa dinikmati oleh

seluruh penonton di Indonesia dengan merata. Terbukti dari screening

film di lapangan, mereka menemukan ada banyak ibu-ibu dengan

anaknya tidak bisa menonton film mereka berhubung harga tiket

terlalu mahal. Akhirnya, yang terjadi adalah Ari Sihasale dan Nia

Zulkarnaen membelikan tiket untuk mereka supaya bisa menonton

Page 21: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

175

film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖(Wawancata dengan Prof.

Kameo, D.D., 29 Oktober 2015).

Penulis telah menyaksikan film tersebut diputar di bioskop

Bandung, dan jumlah penonton cukup banyak memadati bioskop.

Filmnya memang bagus, sehingga banyak masyarakat yang ingin

menonton. Film ―Denias‖ menceritakan tentang seorang anak Papua,

yaitu Denias, yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang

layak. Denias selalu teringat nasihat ibunya –yang tewas dalam

kebakaran yang menghanguskan honae/rumah mereka—bahwa

gunung takut dengan orang yang pintar dan rajin bersekolah.

Sayangnya, semua orang yang menyemangati Denias untuk sekolah

pergi satu per satu. Ide cerita diangkat dari kisah nyata seorang

bernama Janias. Kesulitan dan perjuangan seorang anak Papua untuk

meraih cita-cita dan mimpinya digambarkan dengan baik dalam film

ini.

Setting dilakukan di kawasan Pegunungan Wamena dan

sebagian lokasi pertambangan tembaga dan emas di PT Freeport

Indonesia di Papua. Keindahan alam begitu nyata tampak dalam film

ini, penonton jadi tahu daerah Papua seperti apa dan kehidupan

masyarakat di sana. Beberapa penduduk asli juga diajak bermain

sebagai figuran. Karena film ini begitu bagus menggambarkan

keindahan alam di Wamena, Papua, penulis rela membeli DVD aslinya

untuk dinikmati kembali di rumah bersama keluarga. Film seperti

Denias ini bisa digunakan sebagai media pendidikan juga untuk anak-

anak agar mereka semangat belajar di sekolah. Film yang disutradarai

oleh John de Rantau ini diproduksi bersama antara ―Alenia

Production‖ dengan ―EZ Entertainment‖. Syuting selama 30 hari di

daerah Wamena dan Timika menggunakan media 35mm, serta seluruh

persiapan pembuatannya selama dua tahun, disebut ―EZ

Entertainment‖ menghabiskan biaya produksi senilai hampir sepuluh

miliar rupiah (Majalah Gatra, 11 Oktober 2006).

Film Denias ini ini berhasil masuk panitia seleksi Piala Oscar

tahun 2008. Selain film Denias, film ―Opera Jawa‖ dan ―The

Photograph‖ juga sempat ingin diseleksi di Oscar, namun hanya

Page 22: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

176

―Denias: Senandung di Atas Awan‖ saja yang akhirnya terpilih untuk

diseleksi sebagai kategori film asing di Oscar 2008. Data jumlah

penonton untuk film ini ditemukan belakangan, namun itupun berupa

angka perkiraan saja. Dari beberapa film yang disebut terlaris di 2006,

tidak tercantum film Denias di dalamnya.

Movie producer yang lain seperti Chand Parwez memiliki

pandangan berbeda. Ia lebih suka mengambil ide cerita yang sedang

―in‖ sehingga kemungkinan bisa mendatangkan penonton lebih

banyak. Melalui wawancara tanggal 18 November 2015, hal ini

diungkapkan Chand Parwez sebagai berikut:

―Film dengan cerita asli butuh biaya promo lebih besar. Film dengan cerita yang sedang hip, sedang ‗in‘ bisa mendatangkan penonton lebih banyak, seperti film yang mengadopsi cerita novel. Pangsa pasar Indonesia adalah perempuan, ibu-ibu dan anak remaja paling banyak‖

Setiap pembuat film memiliki pertimbangan dan ide-ide

kreatifnya sendiri, demikian halnya Garin Nugroho. Garin, yang

terkenal dengan film-film berseni, memiliki cita-rasa atau estetika yang

tinggi. Tidak heran kenapa itu terjadi, Garin lahir dari keluarga yang

kental dengan lingkungan seni dan budaya. Ayahnya memiliki

percetakan di Yogyakarta dan rumah mereka menjadi semacam

―markas‖ di sana, tempat beberapa komunitas seni berdiskusi dan

sharing satu dengan yang lain. Dalam sebuah diskusi tentang film di

Fakultas Ekonomi Unpar, Garin mengungkapkan ide awal membuat

film sesuai passion pembuatnya ketika menjawab pertanyaan penulis,

seperti di bawah ini:

―Tiap ide pasti ada ruangnya, cari funding untuk create pasar sendiri –mainstream jangan membatasi kita untuk punya ide sendiri. Seperti halnya tanaman, film marjinal itu kan kayak tanaman langka. Yah, janganlah berharap tanaman langka bakal laku kayak durian atau mangga, janganlah berharap kayak gitu, ngga masuk akal. Jadi, kalo tanaman langka kita harus tahu, lembaga-lembaga donor mana yang akan memberikan dana pada tanaman langka. Sifat profesionalisme kita yang dibayar, bukan pada profitnya, tapi profesionalitasnya, menjaga dan mengembangkan tanaman

Page 23: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

177

langka ini yang nantinya akan dihargai... harus punya pasar sendiri.‖

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.6.Penulis Bersama Garin Nugroho

Tahap memilih ide cerita sebagai tahap paling awal yang oleh

Lala disebut development, kemudian dilanjutkan ke dalam proses

produksi sebuah film. Proses produksi kembali melibatkan berbagai

negosiasi di dalamnya. Negosiasi menyiratkan adanya kesepakatan-

kesepakatan yang dibuat antara movie-maker baik itu antara produser

dengan penulis skrip, produser dengan sutradara atau produser dengan

penulis skrip dan sutradara, serta produser dengan sutradara dan para

pemain serta kru yang bertugas di sepanjang proses syuting. Ini

merupakan proses kreatifitas dan seni yang kompleks. Hal ini

dipaparkan dalam beberapa kutipan wawancara di bawah ini.

―Biasanya kalo yang pengalaman gue sih, memang calling dari produser. Si produser ini yang punya hajat, karena dia yang punya duit. Entah dia udah ada duit, entah dia udah pegang investor tapi yang pasti, pertama emang ide cerita dari dia. Setelah itu biasanya dia cari penulis. Nah, gue dipanggilnya kaya gini: eh, saya ada cerita kayak gini, kamu nulis ya. Atau dia udah ada cerita pendek, trus bilang, loe bikin sinopsisnya ya.Macem-macem.‖

Key menjelaskan, proses negosiasi dengan penulis skrip seperti

dirinya dimulai ketika produser memanggil dan menjelaskan ide cerita

yang dia inginkan. Setelah Key mencoba menuangkan ide tersebut ke

Page 24: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

178

dalam sebuah sinopsis atau skrip, sang produser akan membaca dan

mengevaluasi tulisan tersebut apakah sesuai dan di-acc atau tidak.

―Nah, produser kan yang harus acc skrip ini, entah penullis yang ke rumah produser atau produser yang ke rumah penulis…pokoknya sampai jadi final draft. Bisa aja terjadi perbedaan pendapat antara produser dan penulis skrip, misal kayak gini: kita bikin hollywood ending yang jijay yuk… itu kan soal selera? Nah trus, kalo gue bilang ‗gue ngga mau bikin kayak gituuu…!‘ ya, udah, diganti…haha, bisa dibilang seperti ini: loe ngga bisa kerja sama?! Produser gampang nyari yang lain. Kata produser: ‗wah, gue ngga suka yang ini, cari penulis baru…‘‖

Ketika skrip sudah disepakati, barulah proses berikutnya

dimulai, produser memanggil line-producer, sutradara, kru dan

sebagainya. Produser memang harus menjadi penjaga dan memantau

semua proses berikutnya jika dia tidak ingin kehilangan ide cerita di

awal yang sudah dia tetapkan. Berikut penjelasan Key tentang hal

tersebut:

―Udah gitu, baru argo jalan. Dia panggil line-produser, dia panggil sutradara, tentukan lokasi dan timeline dan semuanya, nah itu udah…yang ngejagain banget, ya, produser. Kalo udah beres syuting, mungkin kerjaan penulis skrip dsb udah…bubar, mungkin tinggal beberapa kru inti yang ngejagain. Sampe post-production, udah gitu pas distribusi ya udah, sutradara udah lepas… produser aja berjuang sendiri, undang premier aja kita Itu yang di sebut seni yang kompleks, bukan hanya ide cerita, tapi ada visual, ada story telling, dan artistic...―

Menurut Motulz, ide cerita di awal bisa juga berasal dari

sebuah novel yang dianggap laris dan sudah punya penggemar. Proses

negosiasi awal ini disebut Motulz sebagai bagian yang paling urgent dan cukup berat, karenanya seorang produser harus hati-hati ketika

melaksanakan tahap awal ini.

―Jadi film itu dimulai dari sebuah ide, baru dibikin naskah, lalu di-propose. Ada juga ide yang berasal dari sebuah novel, atau dari novel yang ada fan-base-nya. Kemudian dikembangkan dan dikompromikan, oh kalo gitu pemainnya harus sesuai dengan yang disukai sekarang. Nah, jika sudah

Page 25: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

179

ketemu titik-tengah keluarlah skrip yang mantap. Nah, karena sudah ada pilihan sebelumnya, tinggal casting… sesudah oke, ya syuting, selanjutnya seperti biasa. Yang berat itu nego yang di awal ini‖

Beberapa kutipan wawancara di atas menyiratkan pentingnya

negosiasi di awal antara pembuat film (produser) dengan penulis skrip

untuk menuangkan ide cerita yang sudah ada, entah dari cerita asli atau

novel, kemudian tahap berikutnya adalah negosiasi antara produser

dengan sutradara, atau antara produser-sutradara-penulis skrip.

Menurut sebagian dari mereka yang telah diwawancarai di atas, tahap

pertama yang disebut development ini merupakan tahap yang penting,

karena seluruh pekerjaan produksi akan menentukan seperti apa film

yang akan dihasilkan. Ketika pihak produser-penulis skrip-sutradara

sudah sepakat, barulah sesi produksi dimulai dengan casting, mencari

pemain-pemain yang tepat, penata artistik (untuk menata fashion,

setting, dan sebagainya), kru yang menangani tata cahaya, sound system, dan sebagainya sampai syuting film tersebut selesai. Peran

seorang sutradara dalam mengkoordinir semua pekerjaan produksi

dengan timnya juga cukup krusial, sehingga produksi berjalan sesuai

harapan dan kesepakatan awal antara produser dan sutradara. Pada

setiap tahapan produksi, mulai dari development, kemudian negosiasi

awal antara produser-penulis skrip-sutradara, kemudian proses syuting

selama produksi bekerja sama dengan seluruh tim produksi, sampai

proses editing di laboratorium, menunjukkan peran seorang produser

(pembuat film) yang sangat besar. Ia adalah orang yang paling ber-

tanggung jawab atas film yang dihasilkan, sang produserlah yang paling

memantau seluruh tahap pembuatan film dari awal sampai akhir.

Ekshibisi di Layar Lebar

Setelah film selesai diproduksi, film akan didistribusikan

penyiarannya melalui layar lebar. Bioskop memegang peranan penting

dalam proses ekshibisi ini. Akan tetapi, mendistribusikan film ke

bioskop langsung tak semudah yang dibayangkan, jaringan bioskop di

Indonesia saat ini terbatas secara kepemilikan. Ada satu pemain besar,

Page 26: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

180

yaitu Grup XXI dan dua pemain kecil, CGV Blitz dan Cinemaxx.

Waktu yang diberikan kepada pembuat film Indonesia untuk memutar

filmnya di salah satu bioskop XXI misalnya, dibatasi secara periode

hanya selama 3-4 hari saja. Jika dalam periode tersebut sebuah film

tidak banyak penontonnya atau bahkan tidak ada, maka film tersebut

tidak akan bertahan, harus segera turun dari layar.

Strategi Pemasaran

Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai

diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui

layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti

premiere di luar negeri. Berikut ini adalah beberapa kutipan wawancara

dengan para movie-maker:

―Kalau dalam film komersial, malah tim penjualnya yang punya andil besar terhadap jenis film yang sebaiknya 'dipesan'. Kebalikannya dengan film-film yang lebih menekankan idealisme, seringkali produknya sebagai karya film sangat baik, tapi kurang berhasil dalam marketing dan distribusi. Mestinya sebuah karya film, bisa menggabungkan idealisme dan penyebarannya yang baik. Kalau tidak agak percuma ya,apa yang ingin kita sampaikan ke penonton gak sampe tanpa marketing dan distribusi yang baik. Dalam sebuah film independen, semua pekerjaan itu dilakukan oleh beberapa orang saja, bahkan kadang sendirian: dari menulis, menyutradarai, mengambil gambar, mengedit, hingga marketing dan distribusi‖ (Wawancara dengan Ariani, 7 Desember 2007).

Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai

diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui

layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti

premiere di luar ini. Hal ini disampaikan Atid Sammaria sebagai

berikut:

―Biasanya ada dua jalur distribusi yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market (TV, DVD, VOD, dll).Yang kedua memprioritaskan jalur

Page 27: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

181

festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini. Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu yaitu Cinema 21. Ada dua toko kecil lainnya yaitu Cinemaxx dan Blitz, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana‖

Sheila Timothy memiliki gagasan lain tentang distribusi dan

pemasaran. Dua filmnya yang pertama yaitu ―Pintu Terlarang‖ dan

―Modus Anomali‖ lebih diprioritaskan untuk didistribusikan ke luar

negeri sesudah mengikuti festival film di sana. Namun film Lala yang

ketiga yaitu ―Tabula Rasa‖ dikelola secara berbeda. Berikut adalah

kutipan wawancara dengan Lala tentang itu:

―kami memiliki inovasi marketing yang berbeda–beda untuk memasarkan ―Tabula Rasa‖ dari drama tentang makanan dari segmen yang bisa dibilang culture movie, art movie yang segmennya kecil-kecil. Saya nge-push gila–gilaan di kegiatan– kegiatan dari luar film. Semua potongan-potongan adegan makanan, saya koordinasi dengan orang–orang kuliner, saya bikin tour, travel ―Tabula Rasa‖ ke Padang. Film―Tabula Rasa‖ itu jaraknya 2009–2015 itu 5–6 tahun-an dari film sebelumnya ―Pintu Terlarang‖, mesti beda lagi medianya.Jarak dari 5 tahun itu aja inovasinya aja udah pakai inovasi digital. Udah beda tiap tahun. Kita harus berpikir kreatif terus.‖

Lala menganggap film seperti ―Tabula Rasa‖ memiliki

kemungkinan kecil untuk dipasarkan di Indonesia, karenanya ia

mencari jalur distribusi lain seperti channel Astro di Asean. Lala juga

menjelaskan bahwa perusahaannya mengharapkan pengembalian 10%

saja dari penjualan tiket di Indonesia, sisanya yang 90% harus dicari

dari sumber lain atau sponsor. Berikut adalah penjelasan Lala:

―Film ―Tabula Rasa‖ kemungkinan dijual di Indonesia kecil, kansnya kecil kita harus berpikir 10 persen dari Indonesia, dan 90 persen lagi dari mana. Tidak akan ter-cover dari bioskop. Harus buat inovasi. Sponsorship itu kan gak butuh

Page 28: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

182

pengembalian modal, tapi harus bikin kegitan–kegiatan marketing. Seperti ―Tabula Rasa‖ ini kita dapat sponsor dari BNI, dapat uang dari BNI cash, tapi saya harus inovasi bikin marketing campaign tentang tabungan BNI. Terus kita tur ke sekolah–sekolah, kita bikin pelatihan film, BNI ini bisa berpromosi disitu. Akhirnya film ini berhasil kita jual ke ASEAN lewat Astro dan channel–channel lain seperti Garuda, Radio dan Home Video.‖

Angga Dwi Sasono, yang menjadi produser film ―Filosofi Kopi‖

memiliki cara yang berbeda dalam strategi pemasaran filmnya. Kafe

kopi yang diceritakan dalam film ―Filosofi Kopi‖ yang dibintangi Chico

Jericho, Rio Dewanto, dan Julie Estelle ini, akhirnya benar-benar

diwujudkan menjadi sebuah kafe yang dinamakan ―Filososfi Kopi‖ di

Jakarta. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Key dan Motulz

mengenai proses pemasaran film ―Filosofi Kopi‖ sebagai berikut:

―Iya, mereka itu yang setau gue sih menggaet produk-produk... kayak ―Filosofi Kopi‖ . Kafenya tuh jadi kafé beneran dan itu tuh di sponsori sama ―Torabika‖. Aneh kan, disponsori ―Torabika‖ sembari kopinya bukan ―Torabika‖. Menurut gue sih pendekatannya cukup kreatif, dan dia hanya muncul sebagai bus yang lewat..Iya promosi baru... mau gimana,passion si orang-orang muda ini kan udah sangat kreatif.‖ (Wawancara dengan Key, 3 Agustus 2015)

Penjelasan dari Joko Anwar14memberi perspektif yang berbeda

tentang bagaimana produksi sebuah film bisa berjalan dan proses

negosiasi yang terjadi di dalamnya. Ia baru saja merilis film ―A Copy of My Mind‖ bulan Februari 2016 yang lalu. Film tersebut adalah film

yang ia produseri sendiri bersama beberapa temannya.

14Joko Anwar adalah seorang sutradara dan penulis skenario. Sesudah kuliah di Teknik Penerbangan ITB, Joko memutuskan untuk menjadi wartawan di The Jakarta Post. Mulai masuk ke dunia film di tahun 2003, Joko Anwar sukses membuat skrip dan menyutradarai beberapa film seperti :‖Arisan‖ (2003), ―Janji Joni‖ (2005) dan mendapat penghargaan best story-telling dari SET milik Garin Nugroho. Tahun 2007 film ―Kala‖ yang disutradarai Joko mendapat penghargaan sebagai film terbaik versi majalah ―Sight and Sound‖ dari Inggris, Joko Anwar sendiri disebut sebagai salah satu sutradara tercerdas di Asia. Tahun 2014 Joko Anwar memulai debutnya sebagai produser dan membuat film layar lebar bersama kawan-kawannya yaitu ―A Copy of My Mind‖. Film tersebut berhasil masuk seleksi Venice Film Festival, Busan dan Roterdam Film Festival.

Page 29: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

183

Berikut adalah penjelasan Joko Anwar mengenai proses

produksi dan pemasaran filmnya via twitter tanggal 5 Februari 2016:

―Setelah lama bekerja sama dengan Tia dan Uwie di proyek-proyek film dan iklan, kami bertiga pengen mandiri, punya PH sendiri. Berdirilah Lofiflicks. Setelah beberapa film pendek, kami pengen bikin film panjang. Masalahnya, duit nggak punya. Ide cerita banyak, tapi saya dan Tia serta Uwie milih yang bisa dikerjakan dengan bujet rendah.Kebetulan udah lama pengen bikin film romantis yang berlatar belakang hidup di Jakarta, Indonesia, dengan jujur. Project film ―A Copy of My Mind‖ pun dimulai di pertengahan 2014. Langkah pertama adalah mencari dana.‖

Joko Anwar dan tim kemudian mencoba mengikuti beberapa

festival film. Festival film, selain memutar film, juga mengadakan film market yaitu kegiatan jual beli film. Di film market ini, pembuat film

mencoba menjual film mereka lewat sales agent. Supaya tayang di

bioskop, DVD, dan lain-lain.

Selain film market yang berguna untuk jual-beli film, ada juga

yang namanya ―project market‖. Ini ajang untuk menjual film yang

belum jadi. Para film maker berusaha untuk cari dana buat bikin film

mereka berupa investasi, hadiah, pinjaman, sponsor, dsb. Berbeda

dengan film market yang siapa saja bisa bayar buat jualan, di project market, pesertanya disaring ketat. Salah satu project market yang

dikenal adalah Asian Project Market (APM) yang diadakan oleh Busan Film Festival.

Joko Anwar dan teman-temannya ikut serta dalam APM.

Mereka –sutradara, produser-- dapat tiket dan akomodasi ke project market, dan melakukan presentasi ke calon pemberi dana. Meeting all day. Selama tiga hari, mereka bisa meeting 15 kali dan bertemu dengan

orang (calon pemberi dana) yang berbeda-beda. Akhirnya, project ―A Copy of My Mind‖ menang award di APM, mendapat hadiah USD10

ribu.

Menurut Joko Anwar, pendanaan untuk membuat sebuah film

di Indonesia berkisar antara 2 M – 4,5 M untuk yang medium, dan bisa

lebih dari 50 bahkan 60 miliar untuk big project budget. Karena

Page 30: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

184

minimnya dana yang dimiliki, hanya sekitar 150 juta rupiah, dari awal

Joko Anwar mendapat banyak bantuan, ada yang meminjamkan

kamera, ada yang memberi tambahan dana dan sebagainya.

Sumber: Diambil dari twitter Joko Anwar

Gambar 4.7.Joko Anwar Mendapat Award di APM, 2014

Proyek pembuatan film ―A Copy of Mind‖ (ACOMM) dimulai

pada bulan November 2014 dengan kru kecil, sekitar 20 orang. Syuting

dilaksanakan selama delapan hari, bergerilya di lokasi sudut-sudut

Jakarta yang asli. Banyak spot-spot romantis di Jakarta berhasil

didapatkan, dan bersyukur pemiliknya mau meminjamkan. Menurut

Joko lagi, para pemain ACOMM hebat-hebat dan berdedikasi. Mereka

selalu bergerak, kalau kecapekan bisa istirahat di mana saja. Kru bisa

rangkap-rangkap jabatan. Produser merangkap sopir, dan line-producer merangkap gantungan baju. Dengan peralatan seadanya para

kru bekerja keras dan mendapatkan hasil yang cukup maksimal.

Berikut adalah dokumentasi Joko Anwar selama pembuatan

film ACOMM:

Gambar 4.8.Proses Syuting Film ―A Copy of My Mind‖

Page 31: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

185

Setelah syuting selama 8 hari, proses pasca produksi dimulai

Desember 2014, meliputi editing, color grading, musik, dan suara.

Menurut Joko,―A Copy of My Mind‖ adalah sebuah film yang sangat

natural dan realistis, oleh karenanya gambar dan suara harus natural.

Sekalipun syuting singkat, pengerjaan pasca produksi dilaksanakan

berbulan-bulan supaya hasilnya maksimal.

Promosi ACOMM dilakukan sendiri oleh Joko Anwar dan

teman-teman. Beruntung, Agustus 2015 mereka mendapat kabar

bahwa film ―A Copy of My Mind‖ lolos seleksi kompetisi di Venice Film Festival. Itu berguna untuk publikasi. Mereka pun diundang

untuk menghadiriVenice Film Festival. Ternyata sambutan pemirsa

pada saat pemutaran film ―A Copy of My Mind‖ di Venice luar biasa

hangat. Joko Anwar dan kawan-kawan sangat lega.

Berikut adalah dokumentasi di festival film Venice:

Gambar 4.9.Joko Anwar dkk. di Venice Film Festival, 2015

Gambar 4.10.Standing Applause dari Penonton di Venice Film Festival, 2015

(Keterangan: Gambar 4.9. - 4.10. diambil dari twitter Joko Anwar)

Page 32: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

186

Setelah masuk seleksi di Venice, film ―A Copy of My Mind‖

juga masuk seleksi di Busan dan Rotterdam Film Festival. Tidak

berhenti sampai di situ, Joko Anwar juga terlibat dalam pembuatan

film ―Halfworlds‖ sebuah serial yang ditayangkan di chanel HBO Asia.

Seperti dikutip dalam wawancara dengan ―detik dot com‖, Joko Anwar

mengatakan dirinya sudah lama ingin membuat serial TV. Kebetulan

ada yang menawarkan yaitu channel HBO. ―Halfworlds‖ adalah film

seri dengan genre dark-thriller, bercerita tentang seniman jalanan

muda yang mengungkap jati diri sebenarnya ketika tanpa sadar

terjebak dalam pertempuran antara manusia dan setan. Cerita yang

berlatar di Jakarta masa sekarang ini dibalut kisah cinta, balas dendam

dan pengkhianatan.

Serial ―Halfworlds‖ ditulis Joko Anwar bersama dengan Collin

Chang, dan dibintangi bersama antara aktor Indonesia, Singapura, dan

Malaysia. Nama-nama yang sudah tidak asing yaitu Salvita Decorte,

Arifin Putra, Reza Rahadian, Aimee Saras, Adinia Wirasti, Hannah Al-

Rashid, Tara Basro, Alex Abbad, Ario Bayu dan Verdi Solaiman

bermain di serial itu. Dari Singapura ada Nathan Hartono dan Bront

Palarae serta Puteri Balqis dari Malaysia (http://hot.detik.com

/movie/read, diunduh tanggal 18 November 2015).

Masalah Distribusi

Seperti telah dikemukakan oleh beberapa film maker,

mendistribusikan film sebagai hasil produksi sebuah tim (yang

sebenarnya juga tidak mudah dilakukan) adalah tanggung jawab

produser juga. Peran distributor telah lama hilang dalam industri

perfilman Indonesia, tepatnya sejak Orde Baru ketika ―Grup XXI‖

mulai berdiri dan beroperasi sebagai satu-satunya ekshibitor. Untuk itu,

penulis telah menghadiri sebuah diskusi tentang film yaitu ―The Art of Film Marketing‖ di Jakarta pada tanggal 18 November 2015, atas

undangan dari Shelia Timothy. Di sana penulis berkesempatan bertemu

langsung dan mewawancarai Ibu Catherine Keng sebagai Secretary

Page 33: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

187

Officer dari ―Grup XXI‖, dan Ibu Dian Sunardi sebagai Chief Marketing

dari ―Grup Blitz Cineplex‖.

Penulis melakukan konfirmasi tentang masa tayang sebuah film

di bioskop dan sempat bertanya perolehan jumlah penonton.

Sayangnya, pertanyaan kedua tidak dijawab secara langsung dan

terbuka, penulis mendapatkan gambaran umumnya saja.

Hasil wawancara dengan Ibu Catherine Keng, dan Ibu Dian

Sunardi dari Blitz Cineplex, menunjukkan bahwa film asing memang

masih mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia berhubung lebih

laku sehingga lebih mendatangkan keuntungan. Film Indonesia

dianggap belum menjanjikan dan terlalu segmented, tidak seperti film

asing. Berikut adalah pendapat Catherine Keng tentang dua film

Indonesia yang box office selama kurun lima tahun terakhir, seperti

dikutip di bawah ini:

―Programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal diputar/tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sbb: (i) apakah film tsb merupakan mass-market product? Atau (ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain lihat trailer, bioskop juga akan lihat teaser dan portofolio pembuat film. Waktu untuk melihat animo penonton hanya 1-3 hari. Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar. Contoh, film ―Bombe‖ sangat laku di Makasar XXI bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain. Jumlah penonton tertinggi adalah untuk film ―Habibie-Ainun‖ yaitu sebanyak 4,8 juta orang di tahun 2012, hampir sama dengan ―Laskar Pelangi‖ sekitar 4 juta penonton di tahun 2008, dengan jumlah layar yang berbeda‖ (Keng, C., 18 November 2015).

―Grup XXI‖ memiliki 853 layar di 152 lokasi. Promosi mereka

di mobile-site mendatangkan visitor dua kali lipat website. Promosi

film lebih efektif di bioskop daripada di you tube. Di hari film nasional,

―Grup XXI‖ melakukan promosi dengan cara menayangkan ulang film-

film pilihan dengan potongan harga tiket 50%. Pada saat Festival Film

Indonesia akan tayang-ulang film-film Indonesia berkualitas di kota-

Page 34: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

188

kota yang belum ada bioskopnya, contohnya: di Purwakarta diputar

film ―Negeri 5 Menara‖, di Sukabumi film ―99 Cahaya di Langit Eropa‖,

di Cianjur ―Comic 8‖ dan di Serang. Di bioskop balai kota diputar film

―Si Jago Merah‖, ―Get Married‖, ―Bajaj Bajuri The Movie‖, dan ―Get

Married 2‖.

Ibu Dian Sunardi, Chief Marketing Blitz Cineplex, menyatakan

bahwa film programming memegang peranan penting. CGV Blitz tidak

punya dana dari sponsor seperti Multivision –yang langganan pasang

iklan di XXI—untuk promosi, sehingga Blitz harus lebih kreatif dalam

memasarkan produknya. Dengan begitu, sebenarnya CGV Blitz juga

tidak terikat mempromosikan satu jenis film-film hasil produksi

produser (PH) tertentu, sehingga penonton diberi alternatif tontonan

lebih banyak. Cara berpromosi yang selama ini ditempuh adalah

dengan dibuatnya loyalty member yaitu perolehan poin untuk

penonton yang setia menonton di Blitz. Selain itu juga dilakukan

survey tentang lokasi outlet-outlet CGV dan tipe konsumen.

Di tempat yang sama, hadir juga ketua BEKRAF yaitu Bapak

Triawan Munaf yang memberi kata sambutan. Namun sayang sekali

beliau hanya hadir sebentar, lantas pergi di sesi berikutnya ke

tempat/undangan lain, penulis belum berkesempatan mewawan-

carainya hingga saat ini. Ada asisten/deputi beliau, yaitu Bapak Boy,

yang mencoba menjawab pertanyaan tentang kebijakan pemerintah

yang penulis ajukan. Dalam sambutannya, Bapak Triawan Munaf

mengungkapkan bahwa pemasaran sebuah film merupakan aspek yang

penting. Beliau juga mengatakan bahwa:

―Pemasaran film Indonesia sama pentingnya dengan film Indonesia itu sendiri. Dulu promosi dianggap sebagai tambahan, padahal biaya promo bisa mencapai 4 kali lipat dari biaya produksi film ybs. Di era sosial-media sekarang ini, kita harus pintar memanfaatkan ‗new media‘. Tren penurunan penonton film nasional tidak kita inginkan, penting untuk tahu selera penonton di masa depan. Teknologi bergerak eksponensial. Kita harus bergerak lebih cepat, dan tetap jujur‖ (Munaf, T., 18 November 2015).

Page 35: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

189

Menurut Bapak Boy, Deputi Riset dan Pengembangan

BEKRAF, film dianggap punya kontribusi walaupun secara statistik

kontribusinya baru 1,3%. Sub sektor lain seperti fashion dan kuliner

memberikan kontribusi lebih besar yaitu kuliner 32,4% dan fashion

24%. Pada disksui tersebut sempat dibahas bahwa angka 1,3% memang

baru perkiraan, belum melihat dampak perfilman sebagai industri

lokomotif yang membawa industri-industri yang lain seperti tourism,

fashion, dan kuliner. BEKRAF saat ini belum memiliki strategi tentang

perfilman karena masih baru bekerja, baru memetakan sektor industri

kreatif di Indonesia. Bapak Boy mengatakan untuk jangka pendek,

BEKRAF ingin membuat sistem informasi dulu, membangun data base

dan pusat-pusat inkubator unggulan. Dengan demikian, pertanyaan

lebih lanjut tentang sikap pemerintah terhadap industri perfilman

Indonesia saat ini belum bisa dijawab.

Paparan demi paparan di atas mengindikasikan adanya masalah

dalam distribusi dan pemasaran film Indonesia. Peran distributor yang

sebelumnya menghubungkan antara produser dan ekshibisi yang dulu

pernah ada sekarang sudah hilang. Menurut beberapa movie-maker,

masalah ini menyebabkan tingginya biaya promosi karena persaingan

tidak sehat (film asing membanjiri Indonesia dan mendominasi)

sehingga film-film Indonesia harus ekstra berpromosi dan

mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa melebihi biaya

produksi film itu sendiri. Pemain lama yang mendominasi adalah

―XXI‖, sedangkan pemain baru yaitu ―Blitz‖ dan ―Cinemaxx‖ masih

sangat terbatas layarnya. Dengan demikian, kesempatan untuk

mendistribusikan film di bioskop (layar lebar) masih sangat terbatas.

Masalah-masalah tentang dominasi film asing di layar lebar

(bioskop) dan bagaimana penonton selama ini dibiasakan menonton

film gaya Hollywood, serta terbatasnya jumlah layar dan bioskop

diutarakan beberapa movie-maker sebagai berikut:

―Kita ini di 2014 hanya punya 942 layar. Dibandingin sama penduduk Thailand yang jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia, jumlah layarnya sama. Jadi akses ke bioskop juga kurang. Dan bioskop itu hanya ada di kelas A dan B yang maunya nonton level Hollywood. Kelas C dan D

Page 36: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

190

ngga bisa, Ide yang seharusnya market-nya Indonesia jadi gak kegarap, karena gak ada bioskopnya. Ini persentase sebaran bioskop 80 persennya di Jawa. Jadi yah wallahualam yang di luar Jawa.‖ (Timothy, S., 24 Agustus 2015).

Apa yang diutarakan Lala tersebut, ditegaskan ulang oleh Atid

dan Motulz. Terbatasnya bioskop di Indonesia dan dominasi para

pengusaha bioskop menjadi salah satu kendala para film maker mendistribusikan hasil karyanya.

―Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu, ―Cinema XXI‖. Ada dua toko kecil lainnya. yaitu ―Cinemaxx‖ dan ―Blitz‖, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana.‖ (Simanjuntak, S., 10 Agustus 2015)

―Masalah dalam film Indonesia, menurut saya, adalah sejak monopoli bioskop. Karena menurut saya gini, ibaratnya TV punya program terus di-rating, kalo rating-nya anjlok program tsb ditarik. Sama juga kayak bioskop. Nanti pemiliknya bilang: sorry nih slot saya antre, film anda harus tunggu dulu, Kalo dalam hitungan minggu/hari filmnya tidak laku, sorry to say, film tsb harus ditarik. Akhirnya, film yang katakanlah berkualitas akan kalah dengan film yang ringan ditonton.‖ (Motulz, 3 Agustus 2015).

Jika Lala dan Motulz mempermasalahkan tentang jumlah

bioskop dan masa tayang yang terbatas atau dibatasi, karena slot yang

selalu antre, maka Key menyoroti masalah lain. Key lebih melihat

―gambling‖-nya para pembuat film, karena biaya produksi yang begitu

besar tidak diimbangi dengan masa tayang yang cukup lama di bioskop.

Hal ini diungkapkan Key sebagai berikut:

―memang ―XXI‖ itu pada dasarnya berbisnis, tidak mau rugi. Sebenernya bisa kehitung sih dari jumlah penontoh dan kualitas si filmnya itu, keliatan kan ya dari garapan film. Misalnya kaya ―Supernova‖, wah ngeliat dari set yang katanya nyewanya berapa M kan…ya, lihat pemasukannya rugi. Untuk para produser India mereka itu udah teruji gitu loh..5 film kita rugi tapi oke karena mereka punya sinetron juga‖ (Key, 3 Agustus 2015)

Page 37: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

191

Mengenai perbedaan antara menyiarkan film di televisi

dengan di bioskop (layar lebar) dijelaskan Bapak Parwez seperti di

bawah ini. Apa yang beliau jelaskan sekaligus mengkonfirmasi apa

yang dikatakan Key sebelumnya. Menurut Bapak Parwez perlu ada

semacam perimbangan resiko dalam mengatur bisnis perfilman.

―Bisnis program televisi sudah terukur resikonya, karena ada jual-beli program secara tuntas dan program tersebut menjadi milik stasiun TV sepenuhnya. Artinya, selama kita bisa mengatur budget, ada keuntungannya. Film bioskop lebih sulit diprediksi, bisa berhasil/sukses bisa gagal. Tapi pola jual film apabila dibeli stasiun TV hanya right TV saja.‖ (Parwez, C., 19 Oktober 2015)

Protes para movie-maker ditampik oleh Ibu Catherine Keng,

corporate-secretary ―Grup XXI‖. Dikatakan bahwa tiap minggu rata-

rata ada dua judul baru film Indonesia yang tayang di ―Cinema

XXI/21‖, kadang-kadang bisa tiga judul per minggu. Jika satu bioskop

memiliki 4 studio maka 2 studio akan memutar film Indonesia dan 2

studio lain memutar film asing. Setiap film Indonesia yang ditayangkan

di ―XXI‖ diberi jatah satu minggu untuk diputar. Selama empat hari

pertama akan dilihat kecenderungan penontonnya, apakah naik atau

turun. Jika naik ditambah layar, jika turun layar dikurangi. Pada awal

penayangan, film Indonesia biasanya mendapatkan jatah 20 layar, 60

layar, bahkan bisa 100 layar, tergantung target dari produser atau

prediksi jumlah penontonnya (CNN Indonesia, diunduh 7 Maret 2016).

Kategorisasi Temuan

Hasil wawancara yang mencakup proses produksi film

Indonesia sampai proses distribusi dan ekshibisinya oleh para pembuat

film,telah diberikan pengkodean (coding) lalu dimasukkan ke dalam

judul kategori masing-masing serta dianalisis. Hasislnya dirangkum

pada Tabel 4.1.

Page 38: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

192

Tab

el 4

.1. K

ateg

oris

asi

Tem

uan

-tem

uan

Pro

ses

Pro

du

ksi

sam

pai

Dis

trib

usi

Fil

m I

nd

ones

ia

Page 39: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

193

Page 40: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

194

Page 41: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

195

Interpretasi Atas Kategorisasi Temuan

Penulis kembali melakukan interpretasi atas kategorisasi

temuan-temuan seperti tampak di Tabel 4.1 dan menemukan beberapa

interpretasi atau pemaknaan diantaranya:

Interpretasi pertama, penulis dapatkan dari wawancara

langsung dengan Lala Timothy, twitter milik Mira Lesmana dan Riri

Riza, serta obrolan dengan Bapak Chand Parwez melalui whatsapp

tentang proses produksi film-film mereka. Penulis menemukan cara-

cara mengelola proses produksi yang sejalan di antara ketiga

narasumber. Mereka sama-sama memiliki pola kerja yang terorganisir

dengan baik (well-managed). Jika Lala, Mira dan Riri sudah terbiasa

dengan riset yang memadai dan diskusi yang panjang dengan penulis

skrip dan sutradara sebelum proses syuting dilaksanakan (ada proses

eksplorasi dan elaborasi ide-ide kreatif di sana); maka rumah produksi

―Starvision‖ milik Bapak Chand juga sudah memiliki pola kerja yang

pasti dan terencana. Bapak Chand memiliki jaringan dengan para

penulis yang berbakat, demikian juga dengan sutradara dan artis-artis

terkenal di periodenya. Selain itu, Bapak Chand memiliki kerja sama

promosi dengan ―Grup XXI‖ selama puluhan tahun. Penulis melihat

adanya ―order‖, tatanan-tatanan kerja yang baik di dalam organisasi

proses pembuatan film, meskipun kreativitas pembuatannya sendiri

bersifat ―liar‖ dan impulsif. Ada kalanya film-film yang dihasilkan

mendapat apresiasi yang tinggi dari para penonton, namun ada pula

yang tidak mendapatkan apresiasi yang cukup. Dengan kata lain, film

yang mereka buat bisa gagal atau tidak laku di pasaran. Ini adalah

paradoks yang pertama.

Interpretasi kedua, penulis peroleh dari kategorisasi temuan-

temuan berdasarkan wawancara langsung dengan Joko Anwar, Atid

Samaria, dan Ifa Isfansyah. Penulis memperoleh beberapa pemaknaan

tentang cara kerja dalam organisasi pembuatan film yang cenderung

lebih ―cair‖ dan fleksibel. Mereka menyatakan bahwa proses produksi

bisa berubah-ubah langsung di lapangan jika ada kendala atau

hambatan. Misalnya jika pendanaan kurang, maka syuting akan

dilaksanakan sesuai anggaran yang ada. Hal tersebut bisa berdampak

Page 42: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

196

pada kreativitas pemilihan lokasi syuting –seperti diceritakan oleh Joko

Anwar, pemilihan pemain dari rekan-rekan atau saudara (bahkan ibu

sendiri –seperti yang diceritakan oleh Atid), serta berbagai perubahan

cara penceritaan di dalam proses pembuatan film ―Siti‖ termasuk

konseptualisasi ide cerita di awal, pemilihan aktor dan aktris yang

belum terkenal, serta produksi film secara hitam-putih karena

keterbatasan anggaran –seperti yang diceritakan oleh Ifa Isfansyah.

Pada mekanisme kerja di organisasi/tim seperti itu, penulis melihat

bahwa kreativitas yang bersifat impulsif tidak harus direncanakan atau

dikelola dengan betul-betul matang; namun tetap dibiarkan lentur.

Organisasi seperti ini lebih lentur dan negosiasi berjalan terus sampai

ke akhir proses produksi. Anggaran menjadi suatu keterbatasan,

sehingga hasil akhir secara sinematografi tidak harus memiliki target

sebagaimana film-film yang ―well-managed‖. Keputusan tidak diambil

mayoritas oleh produser melainkan kesepakatan bersama oleh tim

kerja (organisasi). Inipun menjadi sebuah paradoks karena hasil akhir

berupa apresiasi penonton, bisa sangat berbeda dari yang diharapkan.

Ini adalah paradoks yang kedua.

Interpretasi ketiga penulis dapatkan dari kategorisasi temuan

berdasarkan wawancara dengan wakil dari pengusaha bioskop, yakni

Ibu Catherine Keng dan Ibu Dian Soemardi. Penulis mendapatkan

interpretasi tentang posisi pengusaha bioskop sebagai ekshibitor yang

cukup kuat dan punya power. Penulis melihat bagaimana bioskop

sebagai layar lebar punya wewenang menetapkan mana film-film yang

masih boleh diputar di bioskop mereka, dan mana yang harus segera

turun dari layar lebar. Penulis berpendapat, penetapan pembagian

keuntungan 50:50 atas hasil penjualan tiket merupakan pemaknaan

yang sama dari posisi pengusaha bioskop saat ini. Dominasi mereka di

penghujung proses pembuatan sebuah film menjadi sangat besar dan

menentukan. Ini adalah paradoks ketiga.

Interpretasi keempat dan yang terakhir penulis peroleh melalui

kategorisasi temuan berdasarkan wawancara dengan wakil pemerintah,

dalam hal ini Bapak Boy (karena tidak atau belum ada staf lain yang

berhasil diwawancarai). Bagi penulis, peran pemerintah saat ini masih

belum banyak berubah dari yang lalu, pemerintah masih terkesan

Page 43: Bab IV Dari Produksi sampai Distribusi Filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/4/D_902011106_BAB IV.pdf · baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di

Dari Produksi sampai Distribusi Film

197

sebagai the outsider. Pemerintah tidak banyak ikut ambil bagian atau

kurang berperan dalam perkembangan industri film Indonesia.

Undang-undang perfilman memang sudah diperbaharui ke UU tentang

Film Indonesia yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009, akan tetapi

pelaksanaannya belum berubah. Film asing masih tetap mendominasi

layar lebar film di tanah air.Ini paradoks yang keempat dan kelima.

Keseluruhan interpretasi dan pemaknaan tersebut memberi

gambaran kepada penulis tentang adanya situasi paradoksal di sana-

sini. Penulis mendapatkan itu ketika membandingkan hasil wawancara

Lala Timothy dan Mira Lesmana serta Riri Riza, dengan hasil

wawancara terhadap Bapak Chand. Bagaimana apresiasi penonton atas

organisasi pembuatan sebuah film sebagai eksplorasi dan elaborasi ide-

ide kreatif dan didukung dengan riset yang memadai, tidak lantas

berjalan beriringan dengan hasil akhir yaitu apresiasi penonton. Ada

chaos dan order berjalan beriringan. Hal yang sama terjadi ketika

penulis membandingkan proses produksi yang terorganisir dengan baik

(penulis menyebutnya ―well-managed‖) dengan proses produksi yang

lebih lentur dan fleksibel, hal tersebut juga memperlihatkan bagaimana

chaos dan order berjalan beriringan dalam industri perfilman

Indonesia.

Kategorisasi temuan lain yang membuat penulis semakin yakin

bahwa situasi paradoksal dan dilematis memang betul-betul terjadi,

adalah ketika membandingkan kategorisasi temuan dari wakil

pengusaha bioskop dengan wakil pemerintah. Penulis mendapatkan

interpretasi bahwa peran masing-masing sangat bertolak belakang,

peran yang satu begitu dominan menentukan film-film yang layak

diputar dan bertahan di layar lebar (sekalipun tidak berperan sebagai

regulator), dan peran yang lain sebagai regulator namun belum berbuat

banyak (sekalipun Undang-undang sudah ada) terhadap perkembangan

perfilman di Indonesia. Peran pemerintah sebagai regulator, masih

tetap sama, belum menunjukkan peran yang signifikan.