Bab IV Aplikabilitas Teori...

32
64 Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalisme Bab ini akan membahas secara umum mengenai dasar keberlakuan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional berdasarkan otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara khusus mengargumentasi aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan yang hendak dijustifikasi di sini adalah konsep konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia, meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori internasionalisme aplikabel di dalam konstitusi Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini menjustifikasi tindakan hakim-hakim pengadilan Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan hukum internasional, terutama supaya hukum nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan tuntutan kewajiban internasionalnya. Pendekatan yang digunakan dalam Bab ini adalah pendekatan historis dengan menilik sejarah

Transcript of Bab IV Aplikabilitas Teori...

Page 1: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

64

Bab IV

Aplikabilitas Teori Internasionalisme

Bab ini akan membahas secara umum mengenai

dasar keberlakuan hukum internasional di depan

pengadilan domestik atau nasional berdasarkan

otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara

khusus mengargumentasi aplikabilitas teori

internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk

keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan

yang hendak dijustifikasi di sini adalah konsep

konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas

daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD

NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut

dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat

internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia,

meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari

penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori

internasionalisme aplikabel di dalam konstitusi

Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan

hukum internasional di depan pengadilan domestik

atau nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini

menjustifikasi tindakan hakim-hakim pengadilan

Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan

hukum internasional, terutama supaya hukum

nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan

tuntutan kewajiban internasionalnya.

Pendekatan yang digunakan dalam Bab ini

adalah pendekatan historis dengan menilik sejarah

Page 2: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

65

pembentukan konstitusi di Indonesia. Analisis yang

dilakukan bersifat kontekstual untuk menghasilkan

kesimpulan bahwa teori internasionalisme dapat

digunakan di negara Indonesia. Dalam konteks

demikian maka pembahasan Bab ini diarahkan pada

tiga hal. Pertama, pemahaman tekstual dari konstitusi

Indonesia mengenai isu ini (kedudukan hukum

internasional di depan pengadilan nasional). Kedua,

pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan

konstitusi Indonesia dengan melihat kemungkinan daya

dukung pemikiran yang ada untuk aplikabilitas teori

internasionalisme. Ketiga, menjelaskan implikasi

temuan ini dalam praktik pengujian konstitusionalitas

undang-undang oleh MKRI.

A.Konstitusi Indonesia

Konstitusi Republik Indonesia (RI) telah

mengalami 3 fase rezim hukum yang berbeda yakni

rezim UUD 1945, UUD NRI Tahun 1945S 1949, dan

UUD 1950. 1 Pada tahun 1959, UUD 1945

diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden dengan

empat kali perubahan yang terjadi di tahun 1999-

2002. Dalam beberapa fase yang dialami UUD NRI

Tahun 1945, nampak satu-satunya pasal yang

menyebutkan secara eksplisit mengenai hukum

internasional dalam arti sempit, yaitu perjanjian

internasional, adalah Pasal 11.

1 Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945” Opinio Juris Vol. 4, 2012, hlm. 1.

Page 3: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

66

Hukum internasional dalam UUDS RI 1950

dinyatakan dalam Bagian 5 perihal Hubungan Luar

Negeri yang terdiri dari 4 Pasal sebagai berikut:

∑ Pasal 120 (1) “Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian

(traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.”

(2) “Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.”

∑ Pasal 121 “Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antar-negara.”

∑ Pasal 122 “Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang

menerima pengadilan atau pewasitan antar-negara.”∑ Pasal 123

“Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia pada Negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia.”

Sedangkan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 pada Pasalnya yang ke-11

mengalami perubahan setelah amandemen ke-3 di

Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 November

2001 dengan penambahan ayat (2) dan (3) seperti

berikut:

(1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”

(2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

Page 4: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

67

pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

(3) “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang.”

Apabila dicermati, bunyi kedua Pasal 11 di atas

hanya mengatur kewenangan presiden dan

hubungannya dengan dewan perwakilan rakyat

terkait perjanjian internasional yang dibuatnya,

namun Pasal a quo tidak menjelaskan isu yang lebih

luas dan fundamental yakni mengenai posisi hukum

internasional di ruang lingkup hukum nasional. Isu

tersebut juga tidak terjawab melalui teori Stufenbau

dari Hans Kelsen yang dianut Indonesia dalam

membangun secara bertingkat sumber hukum dan

tata urutan perundang-undangan. 2 Berbeda halnya

dengan Konstitusi Afrika Selatan yang telah dianggap

sebagai salah satu konstitusi negara paling progresif

karena telah menentukan secara tegas posisi hukum

internasional di pengadilan nasional.3

Ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI

Tahun 1945 ini menciptakan inkonsistensi Indonesia

yang ditunjukkan dengan beragam pendapat para

ahli hukum dan praktik pengadilan terkait

kedudukan hukum internasional di depan

pengadilan nasional. Wisnu Aryo Dewanto

merupakan salah satu yang menganggap Indonesia

adalah negara dualis karena perjanjian internasional

2 Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum International: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional” Jurnal Opinio Juris Vol. 15, 2014, hlm. 35.

3 Edwin Cameron, “Constitutionalism, Rights, and International Law: The Glenister Decision” Duke Journal of Comparative & International Law Vol. 23, 2013, hlm. 389.

Page 5: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

68

bukanlah salah satu sumber hukum yang diakui

dalam hierarki peraturan perundang-undangan

sehingga perlu berintegrasi dengan sistem hukum

nasional melalui proses transformasi. 4 Wisnu Aryo

Dewanto mendasarkan argumennya pada ketiadaan

norma eksplisit dalam Konstitusi, dan eksistensi UU

No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

yang tidak terlepas dari Surat Presiden Republik

Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tentang Pembuatan

Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Surat

Presiden tersebut merupakan adopsi model

Konstitusi Belanda yang dinyatakan sudah tidak

sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena

munculnya praktik penyimpangan dalam

melaksanakan Surat Presiden tersebut.5 UU No. 24

Tahun 2000 muncul menggantikan Surat Presiden

4 Wisnu Aryo Dewanto, “Perjanjian Internasional Tidak Dapat Diterapkan Secara Langsung Di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia” Jurnal Hukum StaatRechts Vol. 1, 2014, hlm. 20. Hal sama juga dikemukakan oleh Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya, “Pengujian Undang-Undang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, 2006, hlm. 181-198.

5 Pada awalnya, UUD 1945 merujuk pada Konstitusi Meiji yang tidak mengenal pembedaan jenis perjanjian. DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat kemudian melirik Konstitusi Belanda yang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen, ini transplantasi hukum dan praktik Indonesia yang menggunakan dasar konstitusional Jepang namun mengembangkan model Konstitusi Belanda. Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945”, Op.Cit., hlm. 6.

Page 6: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

69

tersebut, 6 namun Undang-Undang ini mendapat

kritik dari Dumoli Agusman terkait proses ratifikasi

yang diatur di dalamnya. 7 Pandangan lain

disampaikan oleh Simon Butt yang mengemukakan

bahwa Indonesia tidak hanya dualis tapi juga monis.8

Kesimpulan Butt tersebut ditarik dari praktik-praktik

hakim di pengadilan yang tidak seragam, sehingga

menciptakan realita mixed theories dalam suatu

negara. Ini semakin menunjukkan bahwa sebenarnya

teori monisme-dualisme sudah tidak relevan lagi

untuk menjustifikasi praktik negara dalam

menggunakan hukum internasional di negaranya.

Keberagaman cara pandang dan praktik

pengadilan nasional memberi implikasi keraguan

dunia internasional terhadap seberapa besar tingkat

kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional.

Natalie Pierce, delegasi dari negara New Zealand

dalam pertemuan ke-27 International Law

Commission’s Annual Report, mengatakan bahwa

sebuah konstitusi suatu negara mengambil peran

penting untuk melegitimasi the provisional application

of treaties supaya tidak terjadi inkonsistensi

6 Konsideran dan Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

7 Disebutkan Undang-Undang ini menyatukan prosedur ratifikasi internal dengan ratifikasi eksternal padahal suatu perjanjian internasional dalam prosedur eksternal ratifikasi, bukan disahkan oleh undang-undang maupun keputusan presiden, melainkan melalui pengiriman instrument of ratification/accesion/acceptance/approval yang dibuat oleh menteri luar negeri. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 76-78.

8 Simon Butt, Op.Cit., hlm. 5.

Page 7: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

70

pelaksanaan kewajiban internasional dan hukum

domestik dalam praktiknya.9

UUD NRI Tahun 1945 memang tidak memuat

ketentuan eksplisit yang menjelaskan kedudukan

hukum internasional dalam pengadilan nasional,

namun sebenarnya ini tidak berarti bahwa tidak ada

dasar normativitas untuk penerapan hukum

internasional pada aras domestik. Kebutuhan akan

hukum internasional di depan pengadilan nasional

terus muncul sehingga dasar normativitas tersebut

perlu ditemukan dalam UUD NRI Tahun 1945,

meskipun secara implisit. Dengan kata lain,

pemahaman terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak

lagi sebatas tekstual tapi beyond the text itself.

B.Dukungan untuk Keberlakuan Teori

Internasionalisme dalam Konstitusi Indonesia

Sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945

menunjukkan keinginan Indonesia untuk berlaku

sesuai dengan hukum internasional sebagai bagian

dari komunitas internasional. Dengan penelusuran

sejarah, teori internasionalisme memiliki dasar

keberlakuan yang sah di Indonesia meski UUD NRI

Tahun 1945 tidak menyatakan secara eksplisit dalam

teksnya.

Keinginan negara Indonesia untuk berlaku

selaras dengan hukum internasional ditunjukkan

9 Diunduh dari http://www.un.org/press/en/2014/gal3492.doc.htm pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 23.45 WIB.

Page 8: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

71

dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,

“[U]ntuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang… ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial”. Pembukaan UUD NRI

Tahun 1945 merupakan norma dasar bernegara

(staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan cita-

cita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat

Pernyataan Kemerdekaan.10 A.S.S. Tambunan dalam

suatu pengantar diskusi mengenai UUD 1945

mengutarakan bahwa Pembukaan atau pembukaan

mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem

kenegaraan sehingga tingkatan Pembukaan UUD

1945 adalah di atas batang tubuh karena terdapat

rumusan pokok-pokok pikiran bangsa di dalamnya.11

Bung Hatta mengatakan bunyi Pembukaan

Konstitusi di atas merupakan pedoman politik luar

negeri bebas aktif yang dijalankan negara

Indonesia.12 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah

Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan

yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian

bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila,

sedangkan “aktif” berarti di dalam menjalankan

10 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 3.

11 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional, Yogyakarta: Galang Press Yogyakarta, 2002, hlm. 462.

12 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011,hlm. 91.

Page 9: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

72

kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap

pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasional

melainkan bersikap aktif.13 Politik luar negeri bebas

aktif tersebut termanisfestasi sejak pembentukan

gerakan non-blok yang berkembang atas dasar

Konferensi Bogor dan Kolombo di tahun 1954 lalu

Konferensi Asia Afrika dengan hasil Dasa Sila

Bandung dimana Soekarno beserta tokoh lainnya

menyatakan upayanya untuk mencegah

memuncaknya perang dingin antara dua blok negara

adidaya dengan mengajukan alternatif-alternatif

terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia.14

Juga melalui Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945,

Indonesia menyadari pentingnya berhubungan

dengan negara lain dalam penyelenggaraan

bernegaranya. Hal tersebut tidak terlepas dari

sejarah di era lahirnya kemerdekaan Indonesia ketika

pemerintah berusaha berinteraksi dengan bangsa-

bangsa untuk mendapat pengakuan internasional.

Kementerian Luar Negeri, sebagai salah satu

kementerian paling pertama yang didirikan, mengirim

diplomat Indonesia yakni Agus Salim dan Sutan

Sjahrir berulang kali menghadiri rapat Perserikatan

Bangsa-Bangsa untuk membahas “Persoalan

Indonesia” (Indonesian Question) 15 untuk mendapat

13 Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 60.

14 S. Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 92.

15 Chapter V. Subsidiary Organs of The Security Council, hlm. 183. Diunduh dari www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-

Page 10: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

73

dukungan internasional. Proses interaksi tersebut

terus berlanjut sampai pada akhirnya Indonesia

menjadi negara anggota PBB.16 Senada dengan hal

tersebu, Soekarno dalam Kursus tentang Pancasila di

Istana Negara tanggal 22 Juli 1958 yang

menyebutkan Indonesia sebagai aan den lijve

ondervinden bahwa “.. tak dapat kita melepaskan diri

kita dari bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang

juga menentang imperialisme”.17

Kesadaran Indonesia sebagai bagian dari

kesatuan besar komunitas internasional juga

ditunjukkan melalui naskah-naskah persiapan UUD

NRI Tahun 1945 18 yang juga memperlihatkan

Indonesia menerima manfaat hukum internasional

tidak hanya dalam Mukadimmah UUD NRI Tahun

1945 namun dalam pokok-pokok pikiran poin 3 dan

4 terkait hal pengakuan internasional dan HAM.19

51_05.pdf#page=5 pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 04.50 WIB.

16 Ditunjukkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 491 (V) (1950) tentang Penerimaan Republik Indonesia untuk Keanggotaan PBB pada tanggal 28 September 1950.

17 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Op.Cit., hlm. 171. 18 “Kekuatan kejakinan bangsa Indonesia dalam membentuk

dan memelihara bangunan unitaris dan gemanja dalam pembentukan masjarakat bangsa-bangsa sedunia dan sepandjang masa.” Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1960, hlm. 70.

19 Ibid., hlm. 565. Pokok Pikiran poin 3, “Bahwa kekuasaan Pemerintah Negara dipusatkan pada Presiden dan Wakil Presiden jang bertanggungdjawab pada Madjelis Permusjawaratan Rakyat, sesuai dengan permulaan revolusi dimana Soekarno-Hatta dipertjaja oleh rakjat mengumumkan pernjataan kemerdekaan Indonesia kepada dunia internasional”, Pokok Pikiran poin 4, “Bahwa hak-hak asasi serta kebebasan-kebebasan manusia berlaku bagi warga-negara atau dengan singkat Republik Proklamasi adalah negara dari rakjat oleh rakjat untuk rakjat.”

Page 11: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

74

Hukum internasional berperan dalam

perluasan masuknya butir-butir HAM sebagai

perwujudan kehendak Negara Indonesia dalam

menjunjung tinggi nilai-nilai HAM sekaligus

menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa

yang lebih beradab dari pergaulan internasional. 20

Tidak dapat dipungkiri bahwa butir-butir HAM pada

Pasal UUD NRI Tahun 1945 merupakan jelmaan dari

Universal Declaration of Human Rights 21 yang

kemudian tertuang dalam Bab XA mengenai HAM

dari Pasal 28A-28J, sehingga jelas bahwa hukum

internasional memberikan sumbangsih besar dalam

konstruksi hukum HAM dalam UUD NRI Tahun

1945.

Pidato Pancasila yang disampaikan Soekarno

pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebelum

kemerdekan Indonesia turut menjadi bukti yang

menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia

sebenarnya juga tidak terlepas dari peran hukum

internasional yang memberikan kemudahan syarat

berdirinya suatu negara. Soekarno dalam pidatonya

menyatakan, “… Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengakui suatu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat-syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya

20 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 249.

21 Jelmaan dalam arti mengikuti model UDHR. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 661.

Page 12: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

75

sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht.”22

Soekarno menggunakan prinsip dasar hukum

internasional supaya mendorong lahirnya gerakan-

gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut sekaligus

menjadi momentum lahirnya Pancasila sebagai

falsafah bangsa yang sebenarnya tidak terlepas dari

sumbangan konstruksi pemikiran dari para Filsuf

Barat yang digunakan yaitu Friedrich Hegel, Karl

Marx, Darwin-Haeckel, dan Immanuel Kant.23 Juga,

hukum internasional memberi pengaruh dalam

menciptakan ruh dalam sila-sila di Pancasila, seperti

sila peri-kerakyatan. Istilah internasional demokrasi

digunakan sebagai panutan peri-kerakyatan di

negara Indonesia, bahwa persamaan hak dalam

masyarakat dan lingkungan negara adalah intisari

dari kerakyatan atau demokrasi. 24 Selain itu juga,

sila peri-kemanusiaan yang tidak mengenal

perbatasan nasional karena sifatnya lebih tinggi.

Dari ulasan historis di atas, dapat disimpulkan

bahwa proses kemerdekaan Indonesia sampai proses

pembentukan Konstitusi melibatkan peran hukum

internasional. Hukum internasional memberi prinsip

22 Hal serupa diungkapkan oleh Soepomo dalam Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 57.

23 Ajaran para filsuf barat telah memberi pengaruh bagi Konstitusi RI dalam hal Pembukaan, Pembagian Kekuasaan, HAM, dan Pancasila. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 75.

24 Ibid., hlm. 73.

Page 13: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

76

dasar berdirinya negara yang digunakan Soekarno

untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, hukum

internasional memberi pengaruh dalam menciptakan

ruh Pancasila sebagai falsafah negara, hukum

internasional juga memberi tuntunan bagi Indonesia

untuk menjadi negara yang merdeka dalam satu

kesatuan masyarakat internasional yang termaktub

dalam preamble UUD NRI Tahun 1945.

Lebih lanjut Soekarno menerangkan dalam

Pidato Pancasila-nya, “Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita akan mendirikan Negara Indonesia merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa, internasionalisme tidak berarti kosmopolitisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nasionalisme, sedangkan nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan.”

Hal yang sama diuraikan Antonio Cassese, “International law cannot stand on its own feet without its “crutches”, that is … international law cannot work without the constant help, co-operation, and support of national legal systems. As the German jurist, H. Triepel, observed in 1923, international law is like a field marshal who can only give orders to generals. It is solely through the generals that his orders can reach the troops. If the generals do not transmit them to the soldiers in the field, he will lose the battle.”25

Statement Soekarno dan Cassese di atas

menunjukkan hukum internasional dan hukum

25 Simon Butt, Op.Cit., hlm. 3.

Page 14: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

77

nasional merupakan dua variabel yang tidak bisa

berjalan sendiri-sendiri melainkan saling

membutuhkan satu sama lain. Pernyataan bung

Karno di atas menegaskan bahwa hukum nasional

tetap memiliki kedaulatannya sendiri dengan ruang

lingkup berbeda dengan hukum internasional.

Internasionalisme yang sejati adalah

pernyataan dari nasionalisme dimana setiap bangsa

menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa

dengan kedudukan yang sama derajatnya dalam

suatu badan internasional. 26 Sedangkan

nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme

yang tidak bertentangan dengan internasionalisme,

yaitu internasionalisme yang anti-kolonial, dan ingin

hidup berdampingan secara damai. 27 Dengan

demikian, negara Indonesia dapat sukses

membentuk moral nasional sepanjang tidak

melanggar norma-norma internasional yang baik.

Kesimpulan dari analisis Sub-judul ini

menyatakan bahwa terdapat keinginan implisit dari

UUD NRI Tahun 1945 yang juga dibuktikan dengan

pengalaman praktik negara Indonesia untuk comply

terhadap hukum internasional. Kepatuhan terhadap

hukum internasional tersebut sekaligus

26 Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno: Masalah Pertahanan dan Keamanan, Jakarta: PT. Grasindo, 2010, hlm. 447.

27 Sambutan Prijono pada Pembukaan Seminar Pancasila pada 16-20 Februari 1959. Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmlan, Op.Cit., hlm. 266-267. Hal serupa diutarakan oleh Bagir Manan bahwa dalam pergaulan internasional, UUD suatu negara harus tidak bleh bertentangan dengan hukum internasional. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 315.

Page 15: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

78

mencerminkan bahwa “international law is law” di

hadapan pengadilan nasional Indonesia dengan

landasan teori internasionalisme yang akan

dijelaskan pada Sub-judul di bawah ini.

C.Teori Internasionalisme dalam Praktik Pengujian

Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK RI

Pada umumnya, lembaga mahkamah

konstitusi dibentuk sebagai suatu pengadilan

khusus 28 untuk menjaga dan melindungi hak-hak

asasi manusia warga negaranya 29 dari perbuatan

negara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan

hak asasi manusia tersebut30. Di berbagai negara,

mahkamah konstitusi sering diposisikan sebagai

pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan

sebagai penafsir tunggal konstitusi (sole interpreter)31

dalam memberikan jaminan perlindungan yang

memadai terhadap hak konstitusional 32 warga

negaranya.

28 Terdapat 4 jenis bentuk pengadilan yang umum ada di suatu negara sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, yakni pengadilan tata negara (Mahkamah Konstitusi), pengadilan administrasi atau tata usaha negara, pengadilan biasa (regular court), dan pengadilan HAM adhoc. I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 152.

29 Ibid., hlm. 133. 30 Laurence H. Tribe, Constitutional Choice, London: Harvard

University Press, 1985, hlm. 246.31 A. Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah

Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi sebagai Kado untuk ‘Sang Penggembala’, Malang: In-TRANS Publishing, 2010, hlm. 1.

32 Karakteristik hak konstitusional: 1) Memiliki sifat fundamental. Diperoleh karena ia dijamin oleh dan menjadi bagian

Page 16: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

79

Gagasan mengenai judicial review (yang

sekarang menjadi salah satu kewenangan MK RI) di

Indonesia sempat diutarakan oleh Muhammad Yamin

pada saat penyusunan UUD NRI Tahun 1945 namun

gagasan tersebut sempat ditolak Soepomo karena ia

berpendapat belum saatnya melembagakan fungsi

tersebut karena sumber daya manusia yang belum

memadai pada saat itu.33 Di era amandemen UUD

NRI Tahun 1945, pembahasan mengenai kekuasaan

kehakiman dan judicial review muncul kembali pada

masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000 namun

belum ada usulan pembentukan Mahkamah

Konstitusi. 34 Usulan pembentukan lembaga tersebut

mulai nampak setelah PAH I BP MPR 2000

melakukan kunjungan, studi banding, dan dengar

pendapat dari berbagai pihak.

Terdapat 3 hal penting yang perlu diketahui

sebagai dasar pembentukan MK RI. 35 Pertama,

dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental; 2) Hak konstitusional adalah bagian dari dan dilindungi oleh konstitusi tertulis, harus dihormati dan tidak satu organ negara pun boleh bertindak bertentangan atau melanggar hak konstitusional itu; 3) Setiap tindakan organ negara yang bertentangan dengan hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam pemenuhannya; 4) Perlindungan yang diberikan konstitusi adalah perlindungan terhadap perbuatan negara, bukan oleh individu lain. 5) Hak konstitusional merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 137.

33 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 445.

34 Ibid, hlm. 442.35 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji

Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap

Page 17: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

80

adanya lack of authority karena dalam sistem hukum

di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur

limitatif soal hak uji materiil (undang-undang

terhadap konstitusi) sehingga berbagai undang-

undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak

pernah bisa dipersoalkan. Peran Mahkamah

Konstitusi diperlukan sebagai titik perubahan

paradigma struktur ketatanegaraan dengan prinsip

checks and balances di Indonesia 36 supaya terjadi

keseimbangan fungsi lembaga-lembaga negara dalam

mewujudkan kehidupan negara yang demokratis.

Kedua, ada fakta politik terjadinya konflik

kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR

yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan

pengangkatan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketiga,

adanya pandangan bahwa MA tidak sepenuhnya

mampu menjalankan berbagai kewenangan yang

melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga

lain untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan

lainnya di luar MA.

Disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI

Tahun 1945 sekaligus membuka babak baru

pembentukan MK RI. UUD NRI Tahun 1945 yang

kemudian diturunkan ke Undang-Undang No. 24

Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011

memberi wewenang kepada MK RI untuk, salah

satunya (sekaligus yang menjadi inti pembahasan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hlm. 113.

36 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007, hlm. 91.

Page 18: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

81

dalam sub-judul ini), menguji undang-undang

terhadap UUD NRI Tahun 1945. 37 Awalnya,

mekanisme pengujian undang-undang terhadap

Konstitusi atau judicial review pertama kali

dikembangkan oleh negara Amerika Serikat melalui

kasus Marbury v. Madison pada tahun 1803.38

Di MK RI berkembang praktik constitutional

review 39 yang menggunakan hukum internasional.

Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun

2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undang-

undang terhadap 56 jenis undang-undang dimana

86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk

pada 813 rujukan asing berupa putusan pengadilan,

hukum internasional dan domestik, praktik hukum,

tulisan akademik, dan lain-lain. 40 Dominannya,

hukum internasional digunakan untuk

menginterpretasi kaidah yang berhubungan dengan

hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, konteks

penggunaan hukum internasional dalam tulisan ini

dipersempit dalam area HAM. Hubungan antara UUD

NRI Tahun 1945 dengan hukum HAM internasional

yang semakin sulit dipisahkan sekaligus

menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dan

hukum internasional memiliki arah dan tujuan yang

37 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19-25.

39 Constitutional review merupakan bentuk judicial review yang lebih sempit. Martitah, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum Nasional: Sebuah Perspektif Penegakan Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1, 2009, hlm. 123.

40 Diane Zhang, Loc.Cit..

Page 19: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

82

sama sehingga keduanya berada pada level yang

sejajar bagi pengadilan nasional untuk menerapkan

keduanya di wilayah yurisdiksinya.

Praktik ini berkembang karena isu

konstitusional yang timbul dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang memiliki

pararelitas dengan hukum internasional. Salah satu

isu tersebut adalah di bidang hak-hak asasi manusia

(HAM). Isu konstitusionalitas undang-undang dalam

kaitan dengan HAM pararel dengan hukum

internasional karena internasionalisasi HAM. Tentang

fenomena tersebut Louis Henkin menyatakan: ”The

international law of human rights parallels and

supplements national law, superseding and supplying

the deficiencies of national constitution and laws, but it

does not replace and indeed depends on national

institutions.” 41 Dalam posisi pararelitas demikian

maka potensi untuk penggunaan argumen

berdasarkan hukum internasional dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang menjadi terbuka.

Penggunaan hukum internasional dalam

pengujian konstitusionalitas undang-undang ini

tidak melanggar yurisdiksi material MK RI sesuai

Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu untuk

menguji undang-undang terhadap undang-undang

dasar. Dalam pengujian tersebut, hakim tetap terikat

oleh UUD NRI Tahun 1945 dalam menentukan

konstitusionalitas undang-undang. Hanya saja

proses interpretasi konstitusi tersebut juga

41 Louis Henkin, The Rights of Man Today, Center for the Study of Human Rights-Columbia University, New York, 1988, hlm. 95.

Page 20: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

83

mempertimbangkan asas atau kaidah hukum

internasional.

Mengambil contoh konkret yakni Putusan MK

RI No. 065/PUU-II/2004 yang mempersoalkan

konstitusionalitas Pasal 43 (1) Undang-Undang No.

26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal

tersebut berbicara mengenai asas retro aktif pada

pengadilan HAM ad hoc yang kemudian diterapkan

dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di

wilayah Timor Timur. Pasal a quo kemudian diujikan

dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni di

antaranya Pasal 1 (3) dan Pasal 28J (2). Isunya

adalah apakah asas retro aktif yang ada dalam

Undang-Undang Pengadilan HAM tidak sesuai

dengan konsep negara hukum Indonesia dan

pembatasan terhadap HAM yang dilindungi oleh UUD

NRI Tahun 1945. Dalam hal menjawab isu tersebut,

hakim MK RI telah menggunakan instrumen

internasional seperti Universal Declaration of Human

Rights (Pasal 29 (2), International Covenant on Civil

and Political Rights (Pasal 15 (1), dan European

Convention on Human Rights (Pasal 7) yang

mengatakan bahwa pembatasan terhadap asas non

retro aktif dapat berlaku secara limitative and

restrictive, artinya dapat diberlakukan secara

terbatas hanya terhadap kasus pelanggaran HAM

berat seperti genocide dan crimes against humanity

dalam kasus putusan tersebut, tidak untuk kasus

pada umumnya. Dalam kerangka interpretasi inilah,

maka hakim MK RI menilai bahwa asas retro aktif

dalam Undang-Undang Pengadilan HAM masih dalam

Page 21: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

84

koridor pembatasan terhadap HAM yang sesuai

dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sesuai

pula dengan konsep negara hukum Indonesia yang

menjunjung perlindungan hak asasi manusia (dalam

kasus tersebut adalah HAM para korban peristiwa

Timor-Timur yang belum mendapatkan perlindungan

oleh karena Indonesia saat itu belum memiliki

regulasi nasional yang mengatur genocide dan crimes

against humanity). Contoh dari putusan ini

menunjukkan bahwa hakim MK RI memanfaatkan

hukum internasional sebagai dasar argumen untuk

menginterpretasi pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun

1945, sekaligus menegaskan bahwa hakim tetap

memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun

1945.

Dengan demikian, sekurang-kurangnya,

hukum internasional memiliki peran sebagai alat

bantu (interpretive tool) dalam interpretasi

konstitusi. 42 Seperti halnya ketika hukum HAM

internasional dapat memberi kontribusi dalam

memahami Konstitusi Australia, dimana pengadilan

menggunakan pertimbangan kontekstual untuk

menuntun hakim tentang bagaimana hakim

menginterpretasi ketentuan konstitusional tertentu.43

Posisi hukum internasional yang demikian tidak

42 Titon Slamet Kurnia, “Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Melalui Pengujian Undang-Undang” Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2014, hlm. 151.

43 Michael Kirby, “Domestic Courts and International Human Rights Law: The Ongoing Judicial Conversation” Utrecht Law Review Vol. 6 Issue I, 2010, hlm. 172.

Page 22: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

85

berarti bahwa hukum internasional yang

menentukan putusan atas konstitusionalitas

undang-undang, dan tidak berarti pula bahwa

hukum internasional menggantikan Konstitusi dalam

pengujian konstitusionalitas undang-undang. 44

Hakim memutus konstitusionalitas undang-undang

tetap berdasarkan Konstitusi.

Interpretasi konstitusi terhadap pasal-pasal

HAM dalam Bab XA UUD NRI 1945 tidak hanya

ditujukan secara eksklusif pada pasal-pasal tersebut,

tetapi juga interpretasi pasal-pasal tersebut secara

konstruktif atau mencerahkan sebagaimana

dilakukan pada padanannya dalam hukum

internasional. Interpretasi demikian bertumpu pada

pemahaman yang menurut the Declaration of

Independence Amerika Serikat untuk memberikan: "a

decent respect to the opinions of mankind." Dalam

kaitan itu, MK perlu mengakui lebih dahulu, seperti

the Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus the

Paquette Habana (1900): "International law is part of

our law, and must be ascertained and administered by

the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often

as questions of right depending upon it are duly

presented for their determination?"

Dikaitkan dengan itu maka dalam perspektif

Indonesia perlu untuk ditegaskan kembali: Apakah

hukum internasional adalah hukum? Apakah sebagai

hukum, hukum internasional adalah bagian dari

44 Kristen Walker, “International Law as a Tool of Constitutional Intepretation” Monash University Law Review Vol. 28 No. 1, hlm. 95.

Page 23: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

86

hukum Indonesia? Pertanyaan di atas, sebagaimana

telah diargumentasikan sebelumnya, dijawab

afirmatif oleh teori internasionalisme yang penulis

usulkan. Terkait dengan itu, argumen a fortiori yang

penulis kemukakan ialah, konstitusi Indonesia

adalah konstitusi internasional yang jauh lebih luas

daripada UUD NRI 1945 sendiri. Dikaitkan dengan

isu penggunaan hukum internasional oleh MK maka

seyogianya MK lebih dahulu meletakkan argumen di

atas sebagai prinsip justifikasinya untuk penggunaan

hukum internasional dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang.

Hukum internasional memenuhi unsur-unsur

untuk dapat disebut sebagai hukum di antaranya ia

dihasilkan oleh otoritas berwenang, memuat

kewajiban moral rationality, dan memiliki sanksi.45

Atau sederhananya hukum internasional disebut

sebagai hukum karena ia menciptakan norma. Oleh

karena sifat tersebut, maka hukum internasional

memiliki daya normativitas yang sama dengan

hukum nasional di depan pengadilan sepanjang

hakim mampu menemukan sifat normatif dari

hukum internasional tersebut. Seyogianya, terkait

dengan itu, hakim MK dalam merujuk pada hukum

internasional memprioritaskan penerapan

interpretative incorporation techniques.46 Asumsi yang

45 Joshua Kleinfeld, “Skeptical Internationalism: A Study of Whether International Law Is Law” Fordham Law Review Vol. 78, 2010, hlm. 2451.

46 Farid Sufian Shuaib, “The Status of International Law in the Malaysian Municipal Legal System: Creeping Monism in Legal Discourse?” IIUM Law Journal Vol. 16 No. 2, 2008, hlm. 183.

Page 24: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

87

mendasarinya adalah sepanjang dalam hukum

internasional ditemukan kaidah lebih baik (misalnya

memberikan efek perlindungan HAM lebih kuat)

maka hal itu dapat digunakan oleh MK sebagai gap-

filler konstitusi Indonesia.47

Lebih jauh lagi, hal prinsip terkait dengan

interpretasi konstitusi dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang adalah mendorong

supaya terjadi harmonisasi antara interpretasi

tersebut dengan hukum internasional. Argumen

tersebut didasarkan pada pandangan Harold Koh

yang menyatakan: “for any nation consciously to

ignore global standards not only would ensure

constant frictions with the rest of the world, but also

would diminish that nation's ability to invoke those

international rules that served its own national

purposes.” 48 Dalam kalimat lain, pada situasi

demikian, isunya adalah tentang compliance

Indonesia, melalui MK RI, terhadap hukum

internasional.

Keputusan suatu negara untuk patuh atau

tidak patuh terhadap hukum internasional

bergantung pada 3 faktor yang terangkum teori

Andrew Guzman yaitu “Three Rs of Compliance”. 49

Teori ini berangkat dari asumsi rasional bahwa

kepatuhan terhadap hukum internasional lebih

47 Bandingkan dengan: Dunia P. Zongwe, Op.Cit., hlm. 167; Eyal Benvenisti, Loc.Cit., hlm. 3.

48 Harold Hongju Koh, Op.Cit., hlm. 44.49 Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational

Choice Theory, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 33-34.

Page 25: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

88

menguntungkan ketimbang ketidakpatuhan. Tiga

faktor penentu keuntungan tersebut adalah

reputation, reciprocity, dan retaliation. 50 Pertama,

reputasi (reputation). Guzman menjelaskan reputasi

sebagai “reputation for compliance with international

law”. Suatu negara memilih untuk comply terhadap

hukum internasional karena dapat menciptakan

kredibilitas negara (the good states) untuk

menciptakan peluang hubungan kerjasama dengan

negara lain yang lebih besar di masa depan. Kedua,

reciprocity yang berarti “actions that are taken without

the intent to sanction the violator”. Misalnya dalam

kasus the Boundary Waters Treaty antara US dan

Kanada, US mengambil tindakan treaty termination

atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kanada karena

tindakan tersebut dinilai lebih menguntungkan

ketimbang tetap menjalankan kepatuhan terhadap

perjanjian tersebut. Ketiga, retaliation yang berarti

“actions that are costly to the retaliating state and [are]

intended to punish the violating party”. Suatu negara

dapat menghukum pihak pelanggar sebagai balasan

atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Contoh sanksi

yang bisa diberikan adalah sanksi ekonomi,

diplomatis, atau militer.

Sejalan dengan 3Rs di atas, Penulis ingin

mendorong MK RI untuk berlaku comply terhadap

hukum internasional karena keuntungan yang

didapat negara akan lebih besar ketimbang

50 Katherine Tsai, “How To Create International Law: The Case of Internet Freedom in China” Duke Journal of Comparative and International Law Vol. 21, 2011, hlm. 410-411.

Page 26: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

89

sebaliknya. Ketidakpatuhan negara terhadap hukum

HAM internasional akan berakibat secara tidak

langsung gagalnya negara dalam menjalankan

amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 untuk

mewujudkan ketertiban dunia dengan penegakan

HAM di wilayah nasional. Di sisi lain, keuntungan

yang dapat diperoleh MK RI justru akan lebih besar

dengan kepatuhan terhadap hukum internasional.

Penggunaan hukum internasional dalam putusan MK

RI akan membantu konstruksi jaminan HAM yang

lebih kuat dalam wilayah NKRI yang dicapai melalui

harmonisasi hukum nasional dan hukum

internasional di bidang HAM. Harmonisasi tersebut

dapat terwujud jika MK RI mampu menyelaraskan

nilai-nilai Konstitusi Indonesia dengan hukum

internasional dalam putusannya dengan proses

intepretif yang melibatkan hukum internasional.

Dalam kasus ini yang menjadi isu

substantifnya adalah kebenaran hakiki atau

fundamental yang ingin dihasilkan dalam proses

interpretif tersebut. Upaya memberikan efek positif

compliance terhadap hukum internasional dalam

rangka interpretasi konstitusi Indonesia tidak berarti

bahwa MK RI harus mengambil posisi defference

secara mutlak terhadap hukum internasional. Hal

sebaliknya, sikap kritis terhadap hukum

internasional, juga dapat dilakukan oleh MK RI.

Dalam posisi demikian penulis sependapat dengan

O’Connell yang mengatakan bahwa “… the judge must

take that course which his jurisdictional rule enjoins,

and hence he may be required to apply international

Page 27: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

90

law to the exclusion of municipal law, or vice versa.”51

Peran aktif hakim diperlukan dalam kerangka theory

of friendliness to international law atau interpretation

in favour of international law,52 tetapi hal itu tidak

bebas nilai. Pada akhirnya, MK RI harus

memutuskan, dan memberikan interpretasi

konstitusi, yang terbaik bagi kepentingan paling

mendasar yang harus dilindunginya. Jika pararelitas

antara hukum internasional dengan hukum nasional

tersebut terjadi dalam isu perlindungan HAM maka

isu substansial yang harus dipecahkan adalah

kepentingan siapakah, dalam rangka interpretasi

konstitusi, yang harus diperjuangkan oleh MK RI.

Terhada isu tersebut penulis sependapat dengan

pandangan Nihal Jayawickrama yang menyatakan:

“A broad, liberal, generous and benevolent construction

should be given, not a narrow, pedantic, literal or

technical interpretation. A Bill of Rights must be

broadly construed in favour of the individual rather

than in favour of the State.”53

51 Luzius Wildhaber dan Stephan Breitenmoser, “The Relationship Between Customary International Law and Municipal Law in Western European Countries” 48 Zeitschrift f ̈ur Ausl ̈andisches ̈Offentliches Recht und V ̈olkerrecht 163, 1988, hlm. 173. Bandingkan dengan pendapat berpengaruh yangdikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja “[p]ada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I: Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 83.

52 Ibid. 53 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human

Rights Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2002, hlm. 164.

Page 28: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

91

Kesimpulan tersebut adalah hakikat utama

dari pembahasan penulis terkait dengan aplikabilitas

hukum internasional dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang. Sesuai pendapat

Nihal Jayawickrama, hakikat dari aplikabilitas teori

internasionalisme dalam, rangka interpretasi

konstitusi oleh MK RI adalah untuk memberikan

jaminan kepentingan terbaik bagi HAM dalam proses

pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Dengan batasan demikian maka isu kedudukan

hukum internasional dalam pengadilan domestik,

pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK

RI, menjadi tidak terlalu kontroversial lagi. Artinya,

praktik tersebut rasional dan objektif. Tidak dalam

posisi penghambaan diri terhadap hukum

internasional, tetapi dalam posisi penggunaan

hukum internasional yang proporsional, yaitu sejalan

dengan a decent respect to the opinions of mankind.

Terkait dengan sumber hukum internasional

yang spesifik seperti perjanjian internasional, melalui

teori transnational legal process, maka seorang hakim

MK harus jeli melihat karakter atau sifat dari

perjanjian internasional tersebut. Apabila norma

hukum dalam perjanjian internasional tersebut

merupakan self-executing treaty atau berupa norma-

norma dasar/fundamental yang diterima secara

universal, maka hakim MK dapat langsung

menerapkannya (teori incorporation) dalam suatu

kasus 54 tanpa mempermasalahkan proses

54 Eyal Benvenisti, Op.Cit., hlm. 166.

Page 29: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

92

transformation, begitu pula terkait international

customary law. Di sinilah peran aktif hakim MK

dibutuhkan dalam proses menginterpretasi karakter

dan keberlakuan suatu norma hukum internasional.

Maka pada akhirnya dapat dikatakan bahwa teori

transnational legal process memberi legitimasi bagi

seorang hakim MK untuk menggunakan hukum

internasional dalam kerangka membangun

keyakinan hakim (yang notabene adalah

konstitusional) untuk menyelesaikan masalah

nasional.

Di satu sisi lain, teori internasionalisme melalui

teori international constitution membantu hakim MK

untuk menunjukkan bahwa penggunaan hukum

internasional dalam putusan tentang constitutional

review adalah sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun

1945. Perlu dipahami bahwa suatu konstitusi tidak

dapat dimaknai secara sempit55 yaitu terbatas pada

kata-kata yang eksplisit dalam batang tubuh

konstitusi, melainkan masih ada konstitusi yang

tidak tertulis yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai

yang hidup dalam praktik-praktik ketatanegaraan.56

55 UUD sebagai konstitusi dalam arti sempit ini pada hakikatnya merupakan “a politico-legal document” (suatu dokumen hukum politik). A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., hlm. 15.

56 Beberapa hal yang dapat digunakan untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang yaitu:- Naskah UUD yang resmi tertulis; - Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah

uud seperti risalah, dll;- Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan

yang telah dianggap sebagai bagian dari yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara;

Page 30: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

93

Seperti contoh, Inggris sebagai suatu negara yang

tidak memiliki konstitusi formal atau written

constitution, tidak berarti ia tidak memiliki

konstitusi.57 Ini menunjukkan bahwa terdapat norma

konstitusi lain di luar konstitusi formal seperti

contoh the unenumerated rights dalam the Ninth

Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang diakui

keberadaannya di tengah gap dalam sistem jaminan

perlindungan terhadap hak-hak konstitusional

melalui the Bill of Rights of the Constitution of United

States.58

Teori international constitution dapat membantu

hakim MK untuk menemukan makna implisit dalam

UUD NRI Tahun 1945 yang memberi legitimasi hakim

- Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang

Cetakan II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 6. Lihat juga Penelitian Pusako FH Andalas dan MK RI, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif), 2010, hlm. 56. Diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 01.30 WIB.

57 Konstitusi Inggris tersebar di The Magna Carta, the Bill of Rights of 1689, the Parliament Acts of 1911 and 1949, the European Communities Act of 1972, the Human Rights Act of 1998. Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Salatiga: Fakultas Hukum UKSW, 2013, hlm. 10-11. Lihat juga pada pendapat Jon Elster yang mengatakan, “Constitution can be written and unwritten” Jon Elster, “Forces And Mechanisms In The Constitution-Making Process” Duke Law Journal Vol. 45, 1995, hlm. 365.

58 Ibid., hlm. 45-46.

Page 31: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

94

MK untuk melakukan interpretasi konstitusi yang

kompatibel dengan hukum internasional. Telah

dijabarkan sebelumnya bahwa secara konseptual,

terdapat dukungan sejarah yang menunjukkan

keinginan konstitusional negara Indonesia untuk

berlaku sesuai dengan hukum internasional meski

keinginan tersebut tidak tertuang secara eksplisit di

batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana

diulas sebelumnya, keinginan tersebut tercermin

dalam bagian Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan

sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945. Pada

Pidato Pancasila yang disampaikan the founding

father, Soekarno secara tegas merujuk pada norma

hukum internasional untuk mendorong gerakan

kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Pembukaan UUD

NRI Tahun 1945 juga menghendaki keterlibatan

negara Indonesia dalam komunitas internasional.

Tidak hanya itu, penelusuran sejarah pembentukan

Konstitusi juga menunjukkan peran hukum

internasional dalam pembentukan Pasal-Pasal dalam

UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada bagian HAM.

Adanya bukti sejarah di atas menunjukkan

UUD NRI Tahun 1945 tidak menutup dirinya dari

dunia internasional dan secara implisit menghendaki

negara Indonesia berlaku sesuai dengan norma

hukum internasional. Teori international constitution

menjustifikasi keinginan implisit tersebut sebagai

otorisasi dari UUD NRI Tahun 1945 bagi hakim MK

untuk menggunakan hukum internasional dalam

pengujian undang-undang, sesuai dengan yurisdiksi

MK RI. Dengan kata lain, teori ini menyimpulkan

Page 32: Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalismerepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11658/4/T2_322014017_BAB IV... · tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan ... ini

95

bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah international

constitution.