BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI...

35
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI TENTANG JUAL BELI KODOK A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan Binatang yang diharamkan menurut Hukum Islam Pada prinsipnya sesuatu yang diciptakan Allah SWT. adalah tidak ada yang batil, dan hampir seluruhnya diproyeksikan untuk kebutuhan manusia, sehingga proses pengelolaan selanjutnya terhadap alam ini adalah tugas dan amanah Allah SWT. yang dilimpahkan kepada manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsono : “Interaksi yang terbentuk antara manusia dengan alam adalah interaksi subyek obyek, maka nilai yang ada menjadi obyektif. Manusia mempunyai hak untuk mengeksploitir dan memperalat nilai-nilai alamiah untuk keperluan hidupnya”. 1 Dari pernyataan tersebut dapat kita lihat betapa manusia mempunyai keleluasaan atas isi alam ini, tidak terkecuali terhadap binatang yang telah diciptakan oleh Allah SWT., baik untuk digunakan sebagai kendaraan, dibuat obat maupun untuk dimakan, sebagaimana Firman Allah SWT. : Artinya : “Dialah Allah yang telah menjadikan untuk kamu sekalian apa yang ada di bumi ini semuanya…”. (QS. Al-Baqarah :29) 2 1 Suharsono, Islam dan Rekonstruksi Jihad, Yogyakarta : Al-Arsy, 1992, hlm. 59 2 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989, hlm. 13

Transcript of BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI...

Page 1: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI

TENTANG JUAL BELI KODOK

A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan Binatang yang

diharamkan menurut Hukum Islam

Pada prinsipnya sesuatu yang diciptakan Allah SWT. adalah tidak ada

yang batil, dan hampir seluruhnya diproyeksikan untuk kebutuhan manusia,

sehingga proses pengelolaan selanjutnya terhadap alam ini adalah tugas dan

amanah Allah SWT. yang dilimpahkan kepada manusia. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Suharsono : “Interaksi yang terbentuk antara manusia

dengan alam adalah interaksi subyek obyek, maka nilai yang ada menjadi

obyektif. Manusia mempunyai hak untuk mengeksploitir dan memperalat

nilai-nilai alamiah untuk keperluan hidupnya”.1 Dari pernyataan tersebut dapat

kita lihat betapa manusia mempunyai keleluasaan atas isi alam ini, tidak

terkecuali terhadap binatang yang telah diciptakan oleh Allah SWT., baik

untuk digunakan sebagai kendaraan, dibuat obat maupun untuk dimakan,

sebagaimana Firman Allah SWT. :

Artinya : “Dialah Allah yang telah menjadikan untuk kamu sekalian apa

yang ada di bumi ini semuanya…”. (QS. Al-Baqarah :29) 2

1 Suharsono, Islam dan Rekonstruksi Jihad, Yogyakarta : Al-Arsy, 1992, hlm. 59 2 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra,

1989, hlm. 13

Page 2: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

57

Dengan menilik keumuman ayat tersebut, maka menurut penulis asal

dari segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT. adalah halal dan mubah dan

tidak ada satupun yang terlarng, kecuali ada dalil lain yang secara tegas

menunjukkan atas keharamannya. Kalau tidak ada dalil yang secara tegas

keharaman atas sesuatu tersebut, maka tetap dikembalikan pada hukum

asalnya, yaitu mubah, sebab hukum asal dari segala sesuatu adalah

sebagaimana diungkapkan Abdul Wahab Khallaf :

3

Kebolehan terhadap sesuatu tidak hanya terbatas dalam hal-hal yang

berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan juga tercakup di dalamnya

masalah perbuatan dan pekerjaan baik dalam urusan ibadah, adat istiadat

maupun muamalah.

Di dalam perkembangannya Islam yang bersumberkan pada Al-Qur’an

dan Hadis dituntut agar selalu relevan dengan perkembangan zaman yang ada.

Satu sisi Islam telah memberikan aturan dalam hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan ini secara tegas dan jelas, tetapi pada sisi lain, belum. Akibat dari

perkembangan zaman yang sangat pesat dan cepat menimbulkan adanya

persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasul,

sehingga pemecahan atas persoalan ini, tidak didapati di dalam Al-Qur’an

3 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, Darul Fikr, ttp, 1978, hlm. 91.

Page 3: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

58

maupun Hadis secara langsung dan menuntut optimalisasi akal dan pemikiran

dari umatnya untuk memecahkan dengan tetap menjadikan Al-Qur’an dan

Hadis tersebut sebagai frame of referencenya.

Pada situasi tertentu, kolaborasi para ulama (mujtahid) mutlak

diperlukan guna mencari pemecahan terhadap permasalahan baru yang

muncul yang secara implisit tidak didapati dalam Al-Qur’an maupun Hadis.

Seperti kasus jual beli kodok yang terjadi di daerah Purwodadi. Sebelum

penulis membahas makanan yang berasal dari katak secara spesifik, akan lebih

dahulu penulis kemukakan makanan secara umum (luas). Makanan yang

dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan istilah “tha’am” yang berarti segala

sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Perhatian Al-Qur’an terhadap makanan

sedemikian besar antara lain berbicara tentang berbagai aspek yang berkaitan

dengan makanan. Sebagaimana Firman Allah SWT : :

Artinya : “Dialah (Allah) yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya…”. ( QS. Al-Baqarah :29) 4

Dan dalam ayat lain dijelaskan :

Artinya : “Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala

yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya…”. (QS. Al-Jaatsiyah : 13)5

4 Departemen Agama RI, loc. cit. 5 Ibid, hlm. 816

Page 4: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

59

Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut maka dapat dijelaskan dari

keumuman dari soal yang dicakup ayat tersebut, dapat penulis simpulkan

bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini, halal untuk

digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga halal, selama

tidak ada ayat-ayat lain yang secara spesifik menerangkan tentang keharaman

dari sesuatu tersebut. Karena itu Al-Qur’an bahkan mengecam mereka yang

mengharamkan rezeki yang halal yang disiapkan Allah untuk manusia,

sebagaimana dalam Firman-Nya :

Artinya : “Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang

diturunkan Allah SWT. kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. “Katakanlah, apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?. (QS. Yunus : 59) 6

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah baik

melalui Al-Qur’an maupun Rasul, sedangkan pengecualian itu lahir dan

disebabkan oleh kondisi manusia. Karena pada kenyataannya ada makanan

yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa dan raga manusia. Namun

demikian rincian dari pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para

ulama disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat maupun penilaian

kesahihan dan pemaknaan Hadis Nabi.

6 Ibid, hlm. 315-316

Page 5: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

60

Makanan yang diuraikan dalam Al-Qur’an menurut Dr. Qurais Shihab

dapat di bagi menjadi tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani dan olahan.7

Sedangkan penulis membedakannya hanya ke dalam dua kelompok yaitu

nabati dan hewani.

Nabati yaitu makanan berasal dari tumbuh-tmbuhan, buah-buahan,

baik yang cair maupun yang beku. Terhadap jenis ini tidak didapat satu ayat

pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu, maka para ulama

telah sepakat tentang kebolehannya. Seperti dalam firman Allah SWT. :

Artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.

Sesungguhmya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi tiu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa : 24-32) 8

Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu yang kemudian terlarang,

maka hal tersebut termasuk ke dalam larangan umum memakan sesuatu yang

buruk atau terdapat unsur najis atau membahayakan dan merusak kesehatan.

Adapun makanan jenis hewani jika dilihat dari segi kehidupannya

maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hewan yang hidup di laut dan hewan

yang hidup di darat.

7 Dr. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996, hlm. 140 8 Departemen Agama RI, op. cit, hlm.1025-1026.

Page 6: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

61

Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan oleh Allah

SWT. Sebagaimana firman Allah SWT.

Artinya : “Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar

kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya). (QS. An-Nahl : 14) 9

Untuk hewan yang hanya bisa hidup di laut dan tidak mampu bertahan

hidup di darat kecuali sebentar, seperti ikan, maka halal dan tidak perlu

disembelih. Untuk yang tidak berbentuk ikan terdapat tiga pendapat dan lebih

sah menyatakan halal hukumnya, demikianlah menurut pandangan Syafi’i.10

Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap

dibolehkan. Berdasarkan firman Allah SWT. :

Artinya : “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan ”. (QS. Al-Maidah : 96) 11

Yang dimaksud dengan “buruan laut” adalah binatang yang diperoleh

dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Sedangkan kata

“makanan yang diperoleh dari laut” adalah ikan dan semacamnya baik yang

diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung maupun ikan

yang masih hidup, itulah pendapat Dr. Quraish Shihab.12 Makna ini sejalan

dengan penjelasan Hadis :

9 Ibid., hlm. 405. 10 Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II, tt, Nur Asy-Syifa, tth, hlm. 235. 11 Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 178. 12 Dr. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 141.

Page 7: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

62

13

Artinya :“Dari Abi Hurairah r.a., Berkata : “Rasulullah SAW. Bersabda : “Di dalam laut suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Diriwayatkan oleh Imam empat dan Ibnu Abi Saebah dan di sahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Turmuzi)

Adapun binatang yang hidupnya dua alam, adalah merupakan

pengecualian para ulama dari bagian hewan laut, namun pengecualian oleh

sebagian ulama tersebut diperselisihkan juga oleh ulama yang lain, karena

pengecualian itu datangnya bukan dari Al-Qur’an, melainkan dari riwayat

yang datang (dinisbatkan) kepada Nabi SAW. Mazhab Malikiyah

menghalalkan semua jenis binatang laut dan bangkainya14, baik yang hanya

hidup di laut maupun yang mampu hidup di darat. Sedangkan dari Mazhab

Hambali menghalalkan semua binatang laut dan bangkainya kecuali katak,

buaya dan ular.15 Berbeda pula dengan Mazhab Syafi’i di mana ia

menghalalkan semua hewan laut kecuali katak16 dan sebagian dari mereka

mengharamkan pula terhadap buaya dengan alasan karena suka makan

manusia, sangat berbeda dengan Mazhab Hanafiyah dimana ia mengatakan

bahwa yang halal hanyalah ikan dan selainnya adalah haram.17 Sayyid Abu

Bakar Masyhar dalam I’anahnya menjelaskan tentang hewan laut yang

13 Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz I, ttp., tth., hlm. 14. 14 Abdur-Rahman al-Jaziri, Al Fiqh ‘ala al Mazahibil Arba’ah, Juz III, Mesir : Al

Tijatiah al-Kubra, tt., hlm. 9. 15 Ibid. 16 Farid Abdul ‘Aziz al-Jundi, Jami’ul-Ahkam al-Fiqhiyyah, Juz II, Beirut, Libanon :

Darul Kitab al-Ilmiyyah, tth., hlm. 462. 17 Abdur-Rahman al-Jaziri, loc.cit.

Page 8: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

63

diharamkan adalah yang tergolong ke dalam hewan yang mampu hidup di dua

alam yakni katak, buaya, kura-kura dan kepiting. Persisnya ia kemukakan

sebagai berikut :

18

Imam Taqyuddin mengelompokkan hewan ke dalam tiga kelompok :

a. Yang tidak dimakan, maka bangkai atau yang disembelih sama.

b. Binatang yang dimakan. Bangkainya haram kalau yang disembelih dengan

cara yang ditentukan agama, adalah halal.

c. Binatang yang dimakan dan bangkainya halal, yaitu belalang dan ikan.19

Adapun hewan yang hidup di darat, dihalalkan secara eksplisit dalam

lafaz “al-an’am” (onta, sapi dan kambing) dan mengharamkan secara tegas

babi. Dengan demikian bukan berarti semuanya (selain yang disebut) halal

atau haram. Seperti yang penulis isyaratkan tentang pengecualian dari

makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat

ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan, namun sebelum penulis

memaparkan perbedaan yang ada dari para mazhab khususnya, akan lebih

dahulu penulis kemukakan macam binatang dilihat dari sisi pengelolaannya.

Dari sisi kehidupan pengelolaannya, binatang dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu yang diternakkan seperti unggas, kambing, kerbau dan

18 Abu Bakar Masyhur, I’anatut Talibin, Juz II, Semarang : Maktabah Usaha

Keluarga, tt, hlm. 352. 19 Imam Taqyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II, Semarang : Maktabah Usaha

Keluarga:, tt., hlm. 234.

Page 9: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

64

sebagainya, dan yang kedua, yang tidak diternakkan (liar) seperti kijang,

kambing hutan, kancil dan sebagainya. Baik yang diternakkan maupun yang

liar asalkan itu hanya hidup di darat, menurut kesepakatan para ulama yang

rajih, yang halal hanyalah sebatas yang dihalalkan dalam Firman Allah SWT.

Artinya : “…dihalalkan bagimu binatang ternak…”(QS. Al-Ma’idah : 1)20

Juga dijelaskan pada ayat lain :

Artinya : “Dan Dia (Allah) telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai manfaat dan sebagiannya kamu makan”. ( QS. An-Nahl : 5 )21

Dari dua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya

Allah SWT. telah membolehkan mengambil manfaat dari binatang ternak,

baik untuk dimakan dagingnya, meminium air susunya, memanfaatkan

bulunya maupun menjadikannya sebagai kendaraan selagi pada batas-batas

kemanfaatan dan tidak melampaui batas.

Adapun binatang yang diharamkan adalah merupakan pengecualian

dari keumuman ayat yang menghalalkan secara keseluruhan. Keharaman

binatang sebagaimana penulis maksud, bisa disandarkan kepada ayat-ayat Al-

Qur’an lagi, bisa berupa Hadis, bisa juga berdasarkan ijma’ (kesepakatan para

ulama).

20 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 156 21 Ibid. ,hlm. 403.

Page 10: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

65

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, Imam Malik sangat

membatasi pengecualian tersebut dengan berpegang pada ayat :

Artinya : “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”. (QS. Al-An’am : 145) 22

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram

dalam batas-batas yang disebut itu.23 Sedangkan Imam Syafi’i berpegang

kepada banyak Hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan

kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk

“hasyr” (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai

pengecualian hakiki.24 Dari penjelasan tersebut penulis melihat dari sisi

keharaman babi karena illat rijs, walaupn ilmuwan belum sepenuhnya

mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriyah maupun batiniyah yang

diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam

binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah SWT. Di situlah

barangkali antara lain fungsi Rasul (Hadis) sebagai bayan pada Firman Allah

yang berbunyi :

22 Ibid.,hlm. 212. 23 Dr. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 142. 24 Ibid.

Page 11: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

66

Artinya : “…Dan dihalalkan bagi mereka (umatnya) yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk…”. (QS. Al-A’raf : 157) 25

Adapun yang diharamkan berdasarkan Firman Allah SWT. pada ayat

tiga Surat Al-Ma’idah terdapat sepuluh jenis binatang yang antara lain

terangkum pada ayat

:

Artinya : “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan”. (QS. Al-Maidah : 3) 26

Pada ayat yang lain khamer dan bighal adalah termasuk bintang yang

diharamkan, sebagaimana Firman Allah SWT. :

Artinya : “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan…”. (QS. An-Nahl : 8 )27

Adapun identitas hewan yang keharamannya ditetapkan oleh Hadis

Rasul antara lain adalah :

a. Binatang yang hidup di dua tempat.

b. Semua binatang yang bertaring dan buas, misalnya harimau, badak dan

sebagainya, sebagaimana ditandaskan dalam Hadis :

25 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 246. 26 Ibid., hlm. 157. 27 Ibid., hlm. 403.

Page 12: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

67

28 Artinya : “Dari Abi Sa’labah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW.

mencegah dari semua binatang buas”. (HR. Muslim) Kata “syiba’” diartikan dengan hewan buas yang menerkam, sedangkan

yang dimaksud dengan bertaring adalah yang menyerang dengan taringnya

terhadap manusia dan harta miliknya seperti srigala, singa, anjing,

harimau, macan tutul, dan kucing semua diharamkan berdasarkan ijma’.29

c. Semua binatang yang diperintahkan syara’ untuk membunuhnya yaitu :

gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila. Sebagimana Hadis :

30

Artinya : “Dari ‘Aisyah r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW. : “Ada lima macam binatang yang merusak dan boleh dibunuh di tanah haram yaitu burung gagak, elang, kalajengking, tikus dan anjing gila”. (HR. Muslim)

d. Semua binatang yang dilarang syara’ membunuhnya.

e. Binatang yang menjijikkan. 31

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk semua

jenis binatang yang apabila tidak disebutkan keharamannya di dalam Al-

Qur’an, di dalam hadispun tidak didapati, dilihat dari tanda-tanda jenis

28 Imam Bukhari, Matan Bukhari Masykul, Juz III, Darul Fikr, tth., hlm 313. 29 Drs. Suparta, dkk, Materi Pokok Fikih I, Jakarta : Direktorat Jenderal Binbaga

Islam dan Universitas Terbuka, 1992, hlm. 425. 30 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Darul Fikr, tt., 1993, hlm. 542. 31 Drs. Sujud Syarifuddin, Drs. Aceng Junaedi, Ibadah Syari’ah, Jilid IV, Bandung :

Graha Arta Loka, 1992, hlm. 11-12.

Page 13: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

68

binatang yang diharamkan pun tidak termasuk di dalamnya, serta para ulama

tidak bersepakat atas keharamannya, maka hukum dari hewan tersebut adalah

halal. Karena asal hukum dari segala sesuatu adalah pembolehan dan kaidah

ini merupakan salah satu pokok dalam Islam. Menurut Al-Hakim, di dalam

Islam semuanya telah jelas sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Nabi :

32 Artinya : “…Apa-apa yang dihalalkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah

halal dan apa-apa yang diharamkan oleh-Nya adalah haram. Maka terimalah olehmu maaf dari Allah”. (HR. Ibnu Majah).

B. Analisis terhadap Pendapat Ulama Purwodadi Kabupaten Grobogan

Jual Beli Kodok

Katak merupakan salah satu makanan yang cukup digemari baik di

kalangan masyarakat atas maupun bawah. Makanan yang terbuat dari daging

katak tersebut biasa dinamakan Swie Kee. Dengan munculnya makanan

tersebut yang pada kenyataannya keberadaan hukumnya masih ikhtilaf, karena

masing-masing dari mereka mempunyai argumentasi sendiri-sendiri. Pendapat

mereka ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan makan daging

katak. Berikut ini penulis akan mengkaji masing-masing dari pendapat

mereka.

32 Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Semarang : Toha Putera, tth., hlm.

1117.

Page 14: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

69

Menurut pendapat Bapak Bakri bahwa sesuatu yang diharamkan

memakannya adalah hanya yang terdapat dalam nas, sedangkan yang tidak

terdapat dalam nas beliau membolehkan memakannya.33 Sebagaimana

yang terdapat Al-Qur'an, yaitu :

Artinya : “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku

sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”. (QS. Al-An’am : 145) 34

Apabila dalam keadaan seperti itu, di dalam kitab Naylul Awtar

dijelaskan :

35 Artinya : “Kesimpulan, sesungguhnya ayat-ayat yang terdapat dalam Al-

Qur’an dan Hadis yang sahih telah disebut dalam awal kitab dan dalil-dalil lain menyatakan bahwa segala sesuatu iu pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkan.

33 Hasil wawancara dengan Bapak Bakri (Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten

Grobogan), di kediamannya di Purwodadi . 34 Departemen Agama RI, loc. cit. 35 Muhammad Asy-Syaukani, Naylul-Awtar, Juz VIII, Mesir : Mustafa al Bab al

Halabi, tt., hlm. 122.

Page 15: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

70

Apabila tidak ada dalil sahih yang mengharamkan, maka hukumnya halal, dan hukum inilah yang benar. Demikian dalam hal keragu-raguan (tentang halal haram). Maka sudah terang bahwa hukum memakan sesuatu itu adalah halal, sebab dalilnya (mengharamkan) dianggap tidak ada dengan keragu-raguan itu”.

Dengan adanya dalil tersebut menunjukkan bahwa memakan

makanan yang tidak diterangkan secara jelas oleh nas, maka dianggap

halal. Berpijak dari keterangan tersebut, pada dasarnya memang makan

daging katak tidak diharamkan maupun dihalalkan oleh nas, ini sesuai

dengan kaidah usuliyyah yang berbunyi :

36 Artinya : “Asal dari segala permasalahan itu adalah boleh, sehingga

adanya dalil yang menunjukkan atas keharaman”.

Berangkat dari hal tersebut, memang kalau ditinjau dari kejelasan

nas untuk mengharamkan daging ini (katak), jelas tidak ada, sehingga

Bapak Bakri berpendapat bahwa jual belinya (kodok) juga

halal/diperbolehkan.37

Menurut Bapak Munawir selain dari empat jenis binatang yang

diharamkan dalam Al-Qur'an tersebut, Al-Qur’an juga mengharamkan

terhadap sesuatu yang kotor, dan keharaman terhadap sesuatu yang

menjijikkan,38 yaitu :

36 Jalaluddin Abdur-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa al-Naza’ir, Mesir

: Isa al-Bab al-Halabi, tt., hlm. 60. 37 Hasil wawancara dengan Bapak Bakri, loc. cit. 38 Hasil wawancara dengan Bapak Munawir, (Tokoh Masyarakat Muhammadiyah

Kabupaten Grobogan), di kediamannya di Purwodadi .

Page 16: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

71

Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamakan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang, yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 57)39

Dengan demikian orang yang memakan selain yang disebutkan

dalam nas tersebut, maka diperbolehkan tidak terkecuali memakan kodok,

sedangkan menjualbelikan kodok menurutnya adalah diperbolehkan

karena tidak diharamkan memakannya, sehingga jual belinya juga

diperbolehkan.40

Dari ayat tersebut, menerangkan bahwa segala sesuatu yang

menjijikkan itu diharamkan. Untuk itu perlu diketahui apakah kodok itu

termasuk al-khabais atau tidak. Selanjutnya perlu diketahui dahulu tentang

pengertian dari al-khabais sendiri. Menurut Syihab ad-Din Ramli :

41

Artinya : “Dan segala yang tidak ada nas padanya, apabila dianggap baik oleh orang yang berada dan bertabiat sehat dari bangsa Arab dalam keadaan makmur, maka halal hukumnya, dan apabila mereka menganggap jijik, maka haram”.

39 Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 246-247. 40 Hasil wawancara dengan Bapak Munawir, loc. cit. 41 Syihab ad-Din Ramli, Nihayatul-Muhtaj, Juz VIII, Tanpa Penerbit, tt., hlm. 147.

Page 17: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

72

Dalam menanggapi ataupun menafsirkan al-khabais ulama lain

mengatakan :

42

Artinya : “Dan mengenai binatang selain yang telah disebutkan, baik dari jenis melata, maupum dari yang terbang, hendaklah ada pendekatan tentang keadaannya. Bila ia termasuk binatang yang dapat diterima oleh selera orang Arab, maka halal memakannya, dan sebaliknya jika mereka menganggap jijik, maka haram hukumnya. Berdasar ayat tersebut, baik jijiknya suatu makanan itu dikembalikan pada selera orang Arab yang dalam keadaan harmonis, sejahtera dan kecukupan. Bukan orang Arab yang bertabiat jorok yang dalam keadaan miskin. Apabila terjadi anggapan jijik oleh sebagian orang Arab, maka hukumnya diambil dari suara terbanyak”.

Imam Syafi’i juga berkata : 43

Artinya : “Imam Syafi’i dan sahabatnya mengomentari dengan adanya firman Allah SWT. Diharamkan bagi segala sesuatu yang menjijikkan, yang maksudnya adalah apa yang dianggap menjijikkan bagi orang Arab”.

Dari keterangan di atas menurut Bapak Mubari bahwa segala

sesuatu yang dianggap jijik orang Arab itulah yang haram dan orang yang

42 Abu Ishaq Ibrahim as-Syairazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm.

249. 43 Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz

IX, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm. 16.

Page 18: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

73

menganggap tidak jijik, maka tidak haram, dan menjualbelikannya juga

diperbolehkan.44

Tafsiran Ulama Salaf tentang lafaz al-khabais, yang didasarkan

pada perasaan masyarakat pada umumnya sebagai berikut :

45

Artinya : “(Diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan) yang dimaksud adalah segala apa yang dianggap jijik oleh tabiat orang yang wajar, dan dianggap kotor oleh perasaan jiwa. Maka segala apa yang dianggap jijik oleh tabiat yang sehat, maka haram hukumnya, kecuali ada yang menunjukkan kehalalan”.

Juga disebutkan yang lain : 46

Artinya : “Diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan. Atho’ menceritakan bahwa Abbas berkata : Yang dimaksud khabais ialah : bangkai, darah dan segala yang tersebut dalam surat Al-Maidah sampai kepada firman-Nya, (Yang demikian itu adalah fasiq). Atho’ berkata segala sesuatu yang dianggap keji dan jijik oleh perasaan yang sehat, pada dasarnya bisa menyebabkan sakit. Pada asalnya segala sesuatu yang dianggap jijik oleh perasaan yang sehat, pada dasarnya adalah haram, kecuali ada dalil khusus yang menghalalkannya”.

44 Hasil wawancara dengan Bapak Mubari, di kediamannya di Tawangharjo. 45 Imam Nawawi al-Bantani, Marah Labid, Juz I, Surabaya : Maktabah Ahmad bin

Sa’id bin Nabhan wa auladuhu, tt., hlm. 302. 46 Fakhrur-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz XV, Teheran : Darul Kutub al ‘Alamiyyah, tt.,

hlm. 24-25.

Page 19: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

74

Dalam hal ini Rasyid Ridha menjelaskan : 47

Artinya : “Dihalalkan bagi mereka segala yang baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan. Yang dimaksud halal bagi segala yang baik, adalah semua makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi yang berfaedah dan Dia mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan manusia”.

Al Alusi berkata : 48

Artinya : “(Dihalalkan bagi mereka yang baik-baik dan diharamkan bagi mereka segala yang menjijikkan). (At-Tayyibat) ditafsirkan apa yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar, seperti lemak. Sedang al-khabais ditafsirkan dengan segala apa yang menjijikkan seperti darah. Maka ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya segala yang dianggap baik dan enak dirasakan oleh perasaan yang wajar, maka halal hukumnya dan segala yang dianggap jijik oleh perasaan yang wajar, maka haram hukumnya, kecuali ada dalil yang menghalalkannya”.

Dalam hal ini Al Maraghi berkomentar :

47 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz IX, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm.

228. 48 Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruhul-Ma’ani, Juz IX, Beirut : Darul Ihya’, tt., hlm.71.

Page 20: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

75

49 Artinya : “(Dihalalkan bagi mereka yang baik-baik dan diharamkan

bagi mereka segala yang menjijikan). Yang dimaksud menghalalkan segala yang baik-baik adalah semua makanan yang dianggap baik oleh perasaan yang wajar dan mengandung gizi yang berfaedah dan Dia mengharamkan segala yang dianggap kotor oleh perasaan manusia.

Dari fatwa-fatwa di atas berbicara bahwa segala sesuatu yang

dianggap jijik oleh orang Arab itulah yang menjadi tolok ukur

menjijikkan, karena yang ada pada waktu diturunkannya nas tersebut

adalah orang Arab, sehingga yang menjadi contoh adalah orang Arab

sedangkan masyarakat Grobogan khususnya di Kecamatan Purwodadi dan

Tawangharjo berkiblat kepada orang Arab. Mengingat selera manusia itu

relatif, maka selera suatu negara itu tidak bisa dijadikan tolok ukur, namun

bisa dijadikan pertimbangan untuk mengkategorikan keberadaan hukum

sesuatu yang tidak diterangkan nas. Kalau dilihat dari hasil ijtihad para

Imam Mujtahid, bahwa segi kondisi sangat mempengaruhi penetapan

hukumnya.

Berbicara tentang permasalahan yang bisa dikatakan ada kaitannya

dengan memakan daging kodok. Yang hewan tersebut sementara

masyarakat ada yang mengkategorikan menjijikkan. Di sini telah diperoleh

keterangan bahwa dalam memberikan keterangan menjijikkan yang bisa

dimungkinkan menjadi tolok ukurnya adalah anggapan umat manusia pada

umumnya khususnya di wilayah Kecamatan Tawangharjo dan Kecamatan

49 Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, Beirut : Darul Fikr, tt., hlm. 82-83.

Page 21: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

76

Purwodadi Kabupaten Grobogan yang meliputi sebagian umat Islam. Satu

contoh mengenai perasaan jijik Nabi kepada hewan dab, yaitu :

50

Artinya : “Nabi SAW. ditanya tentang makanan dab. Apakah makanan dab itu haram? Maka Rasulullah menjawab tidak, karena ditanahku tidak terdapat binatang tersebut. Jadi aku merasa jijik terhadap dab”.

Jadi dengan berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh ulama

yang menghalalkan katak mereka menjelaskan bahwa katak secara tegas

tidak diharamkan dalam nas, sedangkan Al-Qur’an hanya menjelaskan

keharaman terhadap bangkai, darah, daging babi, dan sesuatu yang

disembelih dengan menyebut nama selain Allah SWT. dan segala sesuatu

yang dianggap kotor dan dianggap jijik (al-khabais) oleh perasaan yang

wajar dan tabiat yang sehat dan kehalalan terhadap sesuatu yang dianggap

baik (at-tayyibat) dan mengandung gizi yang berfaedah, maka penulis

berkesimpulan, bahwa dalam keadaan demikian, tidak ada kepastian

seperti disebutkan di atas, maka masalah katak dikembalikan kepada tolok

ukur yang umum dalam Al-Qur'an yaitu halalnya setiap yang bersifat

"tayyib" dan haramnya setiap yang bersifat khabis.

Tentang apakah katak itu termasuk tayyib atau khabis diperlukan

penelitian dari ahlinya. Bila ternyata tidak terdapat padanya sifat khabis

maka hukumnya tidak haram. Bila sebagian jenis katak mengandung sifat

50 Ibnu Qayyim al-Jauziah, A’laamul-Muwaqqi’in, Juz III, Beirut : Darul Jil, tt.,

hlm.380

Page 22: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

77

khabis, maka hukum yang berlaku untuk sebagian tersebut dan tidak

berlaku untuk seluruhnya.

1. Analisis terhadap Pendapat Ulama Purwodadi yang mengharamkan

kodok.

Telah diketahui bahwa memakan kodok dari ulama yang

berpendapat mengharamkan, beralasan karena hewan tersebut dianggap

jijik, dan disamping itu penulis berpendapat selain makanan yang

diharamkan telah disebut oleh nas, namun di dalam Surat Al-Baqarah ayat

173, yang menerangkan tentang makanan yang diharamkan, diawal

kalimat dimulai dengan lafaz Innama ( ). Di dalam ilmu fiqh, para

ulama menamakan dengan qasr, yang berarti penegasan yang kuat.

Berdasarkan itu para ulama51 berbeda anggapan, yang terbagi dalam dua

versi, yaitu :

Golongan Pertama : Berpendapat bahwa adat qasr yang terdapat pada

Surat Al-Baqarah ayat 173 itu adalah qasr. Yang

terdapat pada Surat Al-A’raf ayat 157.,. itu

adalah qasr hakiki, maksudnya mereka tidak

mengharamkan hewan atau makanan yang tidak

disebut Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mereka

berpendapat, nilai yang terdapat pada ayat tersebut

adalah qat’i.

51 Hasil wawancara dengan beberapa Ulama Purwodadi dan Tokoh Masyarakat di

kediamannya masing-masing .

Page 23: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

78

Golongan Kedua : Berpendapat bahwa qasr pada ayat tersebut, adalah

qasr izafi. Jadi mereka menganggap Surat Al-A’raf

ayat 157 itu bisa memasukkan hewan yang

dianggap jijik oleh manusia, bisa dimasukkan

haram. Karena nilai dari qasr izafi itu adalah zanni,

yang bisa memasukkan kodok termasuk dalam

kategori al-khabais.52

Dengan begitu mereka yang menganggap memakan daging katak

itu halal, dalam memahami qasr dalam Al-Qur’an tersebut, seperti

pandangan golongan pertama di atas. Sedangkan ulama yang

mengharamkan, seperti pendapat golongan kedua.

Berpijak dari kriteria-kriteria al-khabais yang telah dikemukakan

ulama salaf, merupakan acuan bagi penulis dalam menganalisa

permasalahan tersebut. Kalau ditelusuri lebih jauh, menurut kebanyakan

nalar manusia yang wajar dan menurut alat pencernaan, hewan katak

adalah menjijikkan. Bagi mereka yang memakan daging katak. Ini berarti

mereka tidak memasukkannya ke dalam al- khabais.

Jadi menurut analisa penulis, bahwa memakan sesuatu yang

dianggap jijik dan kotor menurut perasaan yang wajar dan tabiat yang

sehat, tidak tabiat yang jorok adalah haram, sedangkan katak menurut

52 Mahmud Effendi Umar dan Sultan, Kitab Qawa’idul-Lughah al-‘Arabiyyah,

Tanpa Penerbit, tt., hlm. 114.

Page 24: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

79

perasaan yang sehat dan wajar adalah dianggap jijik, maka hukumnya

adalah haram.

C. Analisis terhadap Jual Beli Kodok

Kehidupan manusia di atas bumi ini merupakan suatu perjuangan,

yang meliputi perjuangan untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah

pergulatan manusia semuanya ingin mempertahankan hidup. Di samping itu

juuga manusia dituntut berbuat kebajikan untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya di akhirat. Untuk selanjutnya dalam mempraktekkan

kehidupannya, praktis manusia memerlukan kode etik untuk mengatur jalur

hidupnya. Di dalam Islam pembuat kode etik tersebut adalah Allah SWT dan

Rasul-Nya. Juga apabila ada suatu permasalahan yang belum dijelaskan oleh

Allah SWT. dan Rasul-Nya, maka hal semacam inilah yang menjadi lahan

para intelektual muslim, dan hasil pemikirannya disebut Ijtihad, tentu itu

dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan yang menelurkan ijtihad

disebut Mujtahid. Di dalam Islam para mujtahid yang dikenal sampai saat ini

adalah, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan

Imam Malik.

Hasil-hasil dari ijtihad mereka menjadi panduan operasional

ditetapkannya suatu hukum, walaupun hasil ijtihad mereka di dalam suatu

masalah kadang-kadang berbeda. Justru itu yang membuat dinamika dunia

ilmu pengetahuan. Tentunya perbedaan-perbedaan mereka itu tidak keluar dari

rambu-rambu Islam yang telah dibuat Allah dan Rasul-Nya, tebukti dengan

munculnya jual beli kodok.

Page 25: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

80

Seperti yang telah penulis kemukakan di atas, ketika berbicara tentang

jual beli dan makanan (binatang) yang boleh dan tidak boleh dimakan, bahwa

asal dari makanan adalah halal, kecuali yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an

dan Hadis tentang spesifikasi keharamannya, serta telah penulis deskripsikan

tentang anjuran jual beli menurut Islam. Pada bab ini penulis akan

menganalisis tentang jual beli kodok.

Di dalam Al-Qur'an tidak secara langsung disebutkan tentang

keharaman kodok, namun setidaknya illat dari kodok tersebut dapat penulis

kategorikan karena memiliki sifat rijs baik lahiriyah maupun batiniyah yang

diakibatkan oleh kodok tersebut. Dengan kata lain dapat penulis katakan

bahwa segala macam binatang yang mempunyai sifat rijs adalah sudah barang

tentu diharamkan oleh Allah SWT., sebagaimana dijelaskan dalam ayat :

Artinya : “…Dan dihalalkan bagi mereka (umatnya) yang baik-baik dan

mengharamkan yang buruk…”. (QS. Al-A’raf : 157) 53

Menilik ayat tersebut di atas, sebagaimana halnya telah penulis

jelaskan pada sub bab terdahulu tentang makanan yang diperbolehkan

menurut syari'at Islam, terdapat perintah agar manusia memakan makanan

yang sifatnya halal dan tayyib serta menghindari yang kotor (khabis).

Pengertian halal tidak selamanya persis dengan tayyib (baik, walaupun

semua yang halal itu baik) dan begitu pula sebaliknya. Kedua pengertian itu

dapat berbeda artinya, disebabkan berbeda sudut pandangan. Kata “halal”

berarti lepas atau tidak terkait, lebih mengarah pada cara yang tidak terlarang

53 Departemen Agama RI, loc. cit.

Page 26: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

81

dan tidak melanggar hak orang lain, sedangkan kata “tayyib” berarti lezat,

baik, sehat, menentramkan dan paling utama, lebih mengarah pada materi atau

zatnya. Setiap yang baik hukumnya halal artinya dapat dimanfaatkan atau

dimakan, bahkan agama menyuruh memakan hal-hal yang baik-baik.

Lawan dari kata tayyib adalah khabis yang hukumnya adalah haram.

Khabis berarti sesuatu yang buruk atau menjijikkan untuk dimakan atau dapat

membahayakan bagi yang memakannya.54

Komentar Imam Syafi'i tentang al-khabais adalah :

55

Artinya : "Imam Syafi'i beserta sahabat-sahabatnya berhujjah pada ayat-ayat Allah yang berbunyi : Diharamkan atas kamu sekalian sesuatu yang menjijikkan yaitu apa yang dianggap jijik oleh orang Arab. Dan sabda Nabi SAW. Lima dari binatang itu semuanya fasiq yang harus dibunuh, baik itu diwaktu halal maupun haram. Yaitu gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing galak".

Dalam kitab secara lugas Imam Syafi’i berbicara tentang katak, yaitu :

56 Artinya : “Binatang yang dianggap jijik oleh perasaan Yang wajar

seperti hasyarat, katak, kepiting dan kura-kura……maka sesungguhnya Syafi’i mengharamkannya”.

54 H.Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam

Kontemporer di Indonesia, Jakarta : Ciputat Pers, 2002, hlm 227. 55 Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, op. cit., hlm. 15. 56 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Singapura : Tab’ Bi Matabi’i, tt., hlm. 470

Page 27: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

82

Dalam hal ini Imam Malik berkomentar :

57 Artinya : ”Imam Malik menghalalkan sesuatu yang menjijikkan seperti

ular, kalajengking, kecoa, dan binatang yang sepadannya”.

Berpijak dari komentar Imam Malik tersebut dalam kitab yang sama

pun Imam Syafi’i berkomentar :

58 Artinya : “Adapun Firman Allah ( ) Syafi’i

dan Ulama lain berpendapat, ayat ini berlaku terhadap apa-apa yang biasa dimakan dan dianggap baik oleh orang banyak … sedangkan hadisnya Talib itu tidak bisa dijadikan dasar alasannya kata-kata “saya tidak mendengar” itu menunjukkan bahwa orang lain tidak mendengarnya, sedangkan Talib sendiri tidak mendengarnya”.

Menilik hadis tersebut di atas yang menerangkan bahwa Nabi

melarang membunuh katak, jadi menurut penulis larangan membunuh berarti

larangan juga memakannya, dan hukum daripada jual beli katak adalah haram,

karena di situ tedapat larangan dan pada asalnya larangan adalah menunjukkan

haram sebagaimana ditegaskan dalam kaidah :

59

57 Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an, Juz

VII, Kairo : Darul Kitab, hlm. 30. 58 Imam Abi Zakariyya Mahya ad-Din an-Nawawi, loc. cit. 59Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Jakarta : Sa'diyyah Putra:, tt., hlm. 30.

Page 28: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

83

Imam Taqyuddin berpendapat tentang haramnya katak, kepiting dan

kura-kura.60

Berdasarkan fatwa-fatwa di atas yang mengatakan bahwa katak secara

tidak langsung menurut perasaan dianggap menjijikkan, maka menjualbelikan

katak, hukumnya adalah haram..

Sesuatu yang dimakan haram, maka jual belinyapun haram. Sesuai

dengan kaidah usuliyyah :

61

Artinya : “Sesuatu yang diharamkan memakannya, berarti haram juga mengambilnya (menjualbelikan)”.

Dengan adanya kaidah usuliyyah tersebut, maka jelaslah bahwa

menjualbelikan katak hukumnya haram, karena memakannya haram. Adapun

ada sebagian masyarakat yang berpendapat memakan kodok ataupun

menjualbelikannya halal, mereka itu sebenarnya diilhami oleh pemikiran

Imam Malik.

Dengan demikian melihat kenyataan di lapangan, sebagaimana penulis

paparkan di atas tentang berjalannya transaksi jual beli kodok menurut penulis

adalah haram hukumnya, dan jika dilihat dari kaca mata hukum Islam tidak

mempunyai dasar sama sekali, sebab transaksi yang terjadi di sana adalah jual

beli kodok yang digunakan untuk dibuat makanan (swie kee).

Sedangkan dari kacamata hukum Islam, pada prinsipnya dalam

menetapkan sebuah hukum, syari'at Islam selalu mempertimbangkan situasi

60 Imam Taqyuddin, op. cit.,Juz II, hlm. 235. 61 Jalaluddin Abdur-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuti, op. cit., hlm. 167.

Page 29: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

84

dan kondisi dari mahkum 'alaihnya, sehingga tujuan syari'at dalam melindungi

hal-hal yang bersifat primer (daruriyah) bisa tetap terjaga sebagai suatu

konsekuensi logis dari idealisme semacam itu, adakalanya Islam

membolehkan terhadap sesuatu yang diharamkan, karena kondisi menuntut

untuk melakukan langkah tersebut, dengan istilah yang memasyarakat karena

kondisinya memaksa yang dalam istilah fikih disebut darurat. Adapun

jembatan antisipatif untuk mengantisipasi kondisi semacam ini dalam istilah

usul fiqih, adalah konsep 'azimah dan rukhsah, dimana rukhsah adalah

ketentuan yang disyari'atkan Allah sebagai keringanan terhadap orang

mukallaf dalam hal-hal yang khusus, sedangkan 'azimah ialah peraturan syara'

yang asli yang berlaku umum, artinya ia disyari'atkan agar menjadi peraturan

yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan biasa.62 Dengan

demikian memanfaatkan (mengambil manfaat) dari kodok untuk apa saja

adalah boleh, sebagaimaan firman Allah :

Artinya : "Allah telah menjelaskan kepadamu apa-apa yang telah

Allah haramkan kepadamu, kecuali dalam keadaan terpaksa…". (QS. Al-An'am : 119)63

Dan pada ayat lain juga dijelaskan :

Artinya : "Barang siapa terpaksa, sedangkan ia tidak

menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,

62 Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Drs. Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam., Jakarta : Sa'diyah Putra, 1979, hlm. 165

63 DEPAG RI, op. cit., hlm. 207.

Page 30: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

85

maka tisak ada dosa baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang…". (QS. Al-Baqarah : 173)64

Dari ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa betapa fleksibel dan

elastisnya hukum Islam, di mana dalam kondisi darurat, demi tetap terjaganya

kehidupan dan jiwa dari kematian, maka hal-hal yang asalnya haram

diperbolehkan untuk dilanggar, bahkan untuk menyelamatkan jiwa dari

kematian, jika memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali jalan

haram tersebut, menurut penulis jauh hukumnya tidak hanya boleh melainkan

wajib, sebagaimana termaktub dalam firman Allah yang berbunyi :

Artinya : "Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri,

sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu". (QS. An-Nisa : 29)65

Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita agar kita berusaha

untuk dapat menyelamatkan diri sendiri semaksimal dan seoptimal mungkin,

dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada yang memang telah

disediakan untuk manusia, bahkan sampai menggunakan "lam an-nahyi",

yang di dalamnya terkandung makna larangan membunuh, berarti adanya

perintah menyelamatkan diri, sebagaimana dijelaskan Abi Ishaq as-Saerazi :

"Apabila adanya larangan terhadap sesuatu dan di sana terdapat lawan

daripada larangan tersebut, maka diperintahkan mengerjakan lawan larangan

64 Ibid, hlm. 42. 65 Ibid, hlm. 122.

Page 31: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

86

tersebut.66 Dengan demikian adanya larangan membunuh terhadap dirinya

sendiri, berarti lawannya adalah perintah menyelamatkan dirinya sendiri, dan

pada ayat tersebut di atas, terdapat larangan membunuh terhadap dirinya

sendiri, maka dicari jalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau penulis

amati larangan tersebut bersifat mutlak artinya tidak dengan syarat dan tidak

dibatasi waktunya sehingga perintah menyelamatkan diri dan laarngan

membunuh diri harus dilakukan kapan saja, dimana saja, tanpa batas ruang

dan waktu. Dengan istilah lain melarang terhadap sesuatu berarti

memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.67

Brkaitan dengan batasan darurat, Jumhur Ulama berpendapat sampai

pada batas kelaparan, seadngkan Ibnu Hazm memberikan alasan seseorang

tidak makan dan tidak minum selama sehari semalam karena tidak ada yang

akan dimakan, jika ia tahu kalau hal ini berkepanjangan dapat membawa

kepada maut, atau perjalanannya menjadi terputus, demikian juga

pekerjaannya menjadi terhenti. Dalam keadaan seperti ini, halal baginya

memakan makanan maupun minuman yang mulanya terlarang.68 Sebagian

yang lain mengatakan batasannya adalah sehari semalam dengan syarat ia

tidak mendapati makanan itu kecuali yang diharamkan, itupun hanya boleh

dimakan sekedarnya saja. Imam Malik memberikan batasan sekedar kenyang

dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan lain, begitu pula ahli

fikih yang lain, berpendapat tidak boleh makan sama sekali melainkan sekedar

66 Abi Ishaq ibrahim, Alluma Fi Usul al Fiqh, Nur asia, ttp., tt., hlm. 13. 67 Drs. Muh. Rifa'I, Usul Fiqh, Semarang : Wicaksono, 1984, hlm. 101. 68 Drs. Suparta, op. cit, hlm. 429.

Page 32: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

87

dapat mempertahankan hidupnya.69 Sedangkan Abu Syari' memberi alasan :

"Jika seseorang didorong kebutuhan dan kebutuhan itu memaksa dia memakan

bangkai atau sejenisnya, apabila tidak memakannya dia takut dirinya atau

sebagian anggota tubuhnya dalam bahaya. Dengan syarat dia tidak

menemukan makanan yang halal yang dimilikinya atau yang diizinkan

baginya. Jika dia menemukan makanan yang halal walaupun hanya sesuap,

maka tidak halal bangkai baginya kecuali sesuap makanan halal tersebut tidak

mencukupinya maka boleh baginya memakan bangkai.70

Dari batasan darurat sebagaimana penulis paparkan di atas, yang patut

diambil hikmah daripadanya, menurut hemat penulis bahwa kebolehan

menggunakan sesuatu yang haram dengan dalih darurat demi tujuan

mempertahankan hidup atau apabila sudah pada tingkat kelaparan yang

dimungkinkan berakibat kebinasaan atau timbulnya penyakit yang

mengakibatkan kematian seseorang, baik sebagai ahli taat maupun ahli

maksiat, langkah seperti ini boleh dilakukan jika sudah tidak ada sama sekali

orang yang mau menolongnya, maupun menggunakan sesuatu yang halal lebih

dahulu. Orang tersebut hanya boleh memakai barang yang diharamkan hanya

dalam ukuran yang diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidupnya serta

boleh membekali diri sesuai dengan kebutuhannya selama masih dalam

keadaan terpaksa.

69 Yusuf Qardawy, halal dan Haram dalam Islam,1980, hlm. 65. 70 Dr. Abu Syari' Muhammad Abdul Hadi, op. cit, hlm. 421.

Page 33: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

88

Terhadap permasalahan yang dianggap memiliki keseimbangan antara

maslahat dan mudaratnya saja kita dianjurkan mendahulukan menolak

kerusakannya, apalagi jika dilihat dari berbagai aspek ternyata masalah

tersebut justru labih banyak mudaratnya, tidak terkecuali jual beli swie kee

(kodok), ternyata sisi mafsadat lebih banyak jika dibandingkan dengan

manfaatnya, sehingga penulis memandang bahwa jual beli kodok adalah

haram dilakukan dan haram hukumnya, alasan penulis adalah hal ini termasuk

salah satu cabang dari kaedah yang telah penulis paparkan di atas yakni

:"Menghilangkan kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil nilai

manfaatnya". Hal senada sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Nujaim dalam

Asybah wan Naza'irnya : ”Jika kemafsadatan berbenturan dengan

kemaslahatan, maka menolak kemafsadatan tersebut harus didahulukan, sebab

perhatian syari'at Islam terhadap bentuk-bentuk larangan itu melebihi

perhatiannya terhadap bentuk-bentuk perintah".71

Akhirnya sampailah pada kesimpulan penulis, bahwa upaya mencari

dan menjual kodok yang kemudian disediakan untuk menyuplai pedagang

swie kee adalah haram, sebab menjembatani jual beli yang haram adalah

haram sebagaimana tersirat dalam kaidah :

72

Sehingga jual beli sesuatu yang haram dan dapat mendatangkan

kerusakan (individu maupun masyarakat) adalah haram. Sebagaimana

71 Imam ibnu Nujaim, Asybah wan Naza'ir, hlm. 62. 72 Abdul Hamid Hakim, op. cit., hlm. 21.

Page 34: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

89

ditegaskan oleh Abi Yahya Zakariyya bahwa disyaratkan untuk sahnya jual

beli harus bisa diambil manfaatnya barang tersebut, konkritnya dijelaskan

dalam Fathul Wahab : “Maka tidak sah jual beli hewan yang tidak bermanfaat

dan binatang buas yang tidak dapat diambil manfaatnya”.73

Adapun upaya mengambil manfaat berupa keuntungan, baik material

maupun imaterial dari jual beli swie kee (kodok) tersebut, sebagaimana

motifasi pedagang (untuk meraih penghasilan sebanyak-banyaknya dengan

modal sedikit) adalah haram. Sedangkan mereka yang tergolong ke dalam

alasan ikut-ikutan adalah penulis klasifikasikan ke dalam 'urf fasid, yakni

kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang dan berlawanan dengan ketentuan

syari'at karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau

membatalkan yang wajib.74 Sedangkan 'urf fasidah tidak boleh dilanjutkan

maupun ditetapkan karena dengan menetapkannya atau menyetujuinya berarti

telah melegalisasi sesuatu yang bertentangan dengan syara'.

Pada dasarnya jual beli itu halal, kecuali jika di dalamnya terdapat

beberapa anasir yang menjadikan haramnya jual beli itu sendiri, baik karena

secara nyata-nyata barang diharamkan menurut syar'i maupun karena

prosesnya. Hal ini sebagaimana pendapat Sulaiman Rasyid : "Bahwa binatang

itu ada yang diharamkan karena nas Al-Qur'an, ada yang haram karena kita

dilarang membunuhnya dan ada pula yang haram karena kotor dan keji".75

73 Abu Yahya Zakariyya, Fathul Wahab, Juz I, Indonesia : Darul Ihya’ al-Kitabil

Arabiyyah, tt., hlm. 159. 74 Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Drs. Fathurrahman, op. cit., hlm. 120. 75 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Jakarta : At-Tahiriyyah, 1996, hlm. 440-441.

Page 35: BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA PURWODADI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-nn... · A. Analisis terhadap Binatang yang dihalalkan dan

90

Dalam mencari keuntungan dari jalan menjualbelikan sesuatu yang

haram/ najis, dalam hal ini kodok, menurut penulis, jika masih ada usaha lain

yang halal dalam arti tidak bertentangan dengan norma syari'at maupun sosial,

maka tidak boleh dalam tingkatan haram. Lain masalah jika kondisinya serba

memaksa harus melakukan hal yang denikian, dalam arti jalan memperoleh

uang satu-satunya hanyalah jalan itu maka demi menyelamatkan diri menjual

swie kee (kodok) adalah boleh. Sebaliknya jika kondisinya normal maka jual

beli kodok atau makanan dari kodok adalah haram hukumnya, dengan

keharaman memperjualbelikan kodok tersebut berarti juga haarm menyimpan

dan memberikannya kepada orang lain sebagaimana kaidah :