BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN MUJAHADAH DI...
Transcript of BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN MUJAHADAH DI...
57
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN MUJAHADAH
DI PONDOK PESANTREN AL-HUDA
DALAM UPAYA PENGENDALIAN EMOSI SANTRI
4.1. Analisis Pelaksanaan Mujahadah di Pondok Pesantren Al-Huda Petak
Sidoarjo Susukan kabupaten Semarang
4.1.1. Awal mula pelaksanaan mujahadah di pondok pesantren Al-Huda.
Mujahadah di pondok pesantren Al-Huda Sidoarjo, Susukan Semarang,
pada awalnya cuma beberapa orang saja yang ikut dalam kegiatan tersebut, yakni
hanya sekitar 20 orang dari golongan santri dan masyarakat sekitarnya. Pada
waktu dulu mereka datang ke pondok untuk menuntut ilmu dan berjama’ah dalam
shalat. Masyarakat sekitar berjama’ah shalat Shubuh setelah itu kemudian dari
jama’ah menanyakan permasalahan yang di hadapi oleh masing-masing jama’ah
dan santri tentang masalah keagamaan, karena pada waktu itu jarang sekali
kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan, adanya hanya kegiatan rutinitas se-
hari-hari yaitu menjalankan shalat wajib.
Setelah pimpinan pondok pesantren di pegang oleh KH.Maesur Jufri
muncullah inisiatif mengkoordinir kegiatan mujahadah di Pondok Pesantren Al-
Huda yang kala itu bertambah banyak. Setelah berjalan beberapa tahun untuk
menjalankan mujahadah dipilihlah malam Jum’at Wage karena pada malam itu
banyak jama’ah ataupun warga sekitar berdo’a untuk mendoakan keluarganya
yang sudah meninggal dunia. Sedangkan untuk cara yang digunakan untuk
58
mujahadahnya adalah kadang dengan metode ceramah. Hal ini dilakukan dengan
berbagai pertimbangan :
Pertama, karena jama’ah mujahadah, santri dan masyarakat banyak yang
kurang atau belum bisa mengendalikan hawa nafsunya atau emosinya.
Kedua, karena banyak dari mereka yang kurang begitu mengenal Allah
sebagai Tuhan secara mendalam dan yang menciptakannya.
Setelah beberapa kali pelaksanaan mujahadah kebanyakan dari mereka
berniat untuk mengulanginya sehingga banyak tamu dan masyarakat luar daerah
datang untuk mengikuti pelaksanaan mujahadah, dan mereka memiliki kemauan
besar untuk mengikuti kegiatan mujahadah dengan maksud untuk menentramkan
qalbu (hati) sehingga saat ini jama’ah yang ikut dalam mujahadah di Pondok
Pesantren Al-Huda yang hadir sekitar 500 jama’ah yang terdiri dari santri pondok
pesantren Al-Huda dan pengikut mujahadah dari lingkungan sekitar dan berbagai
daerah.
4.1.2. Analisis terhadap Ritualiatas Pelaksanaan Mujahadah
Seperti telah penulis sebutkan pada Bab III bahwa pelaksanaan mujahadah
di Pondok Pesantren Al-Huda dilaksanakan pada waktu malam hari sehabis shalat
Maghrib, dimana materi dari mujahadah tersebut adalah berupa do’a dan wiridan.
Untuk itu akan penulis jelaskan satu persatu dari bacaan ataupun ritual yang
dibaca pada waktu kegiatan mujahadah. Dalam setiap kali pelaksanaan mujahadah
di Pondok Pesantren Al-Huda diberikan berbagai macam materi mujahadah
sebagai bentuk realisasi ajaran agama kepada para santi dan pengikut mujahadah.
59
Adapun berbagai materi yang menjadi rutinitas pelaksanaan mujahadah di Pondok
Pesantren Al-Huda adalah sebagai berikut :
1. Praktek shalat berjama’ah, di sertai dengan pemupukan rasa persaudaraan
Islam (ukhuwah islamiyah).
2. Kecintaan melaksanakan beberapa shalat sunah utama.
3. Kecintaan untuk saling nasehat menasehati antar sesama saudara muslim,
sesuai dengan wasiat dengan kebenaran dan dalam kesabaran
4. Kecintaan dan pembiasanan dzikir dan wirid sebagi proses pengerahan dan
pengayaan rohani
Berbagai kandungan materi yang dilaksanakan pada mujahadah tersebut
nampak bahwa dalam mujahadah yang diterapkan di Pondok Pesantren Al-Huda
bertujuan untuk selalu menyeimbangkan aplikasi dan trilogi agama yaitu Islam,
iman dan ihsan. Lebih lagi aplikasi empat kerangka tasawuf, yakni syari’at,
tarekat, ma’rifat, dan hakekat.
Dari segi tata cara mujahadah, nampak pula apa yang telah dilaksanakan di
Pondok Pesantren Al-Huda telah memenuhi syarat adab mujahadah yang sudah
popular, seperti : majlis mujahadah “al-Asma’ al-Husna” Semarang bersama
KH. Amjad, Majelis “al-Dzikra” Jakarta bersama Ustadz Muhammad Arifin
Ilham, “Tazkia” Jakarta bersama Jalaludin Rakhmat, dan sebagainya. Adab yang
dimaksud antara lain:
1. Khusyu’ yaitu memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh, penuh adab
dan sambil berusaha mengingat makna yang dibaca.
2. Menjaga suara dzikir agar tidak mengganggu orang lain.
60
3. Membaca dengan serempak dan seragam.
4. Menjaga kebersihan dan kesucian diri serta tempat dan pakaian.
5. Di sertai dengan beberapa shalat Sunnah yang utama.
6. Posisi menghadapi qiblat (ketika tempat memungkinkan)
7. Percaya dan mantap kepada Allah dan bersangka baik kepada Allah.
Di samping beberapa tujuan, hikmah dan manfaat yang sudah tersebut di
atas pelaksanaan dzikir dan wirid dalam mujahadah Pondok Pesantren Al-Huda
memiliki tujuan-tujuan khusus sesuai dengan bacaan bacaan yang dibaca pada
mujahadah tersebut. tujuan dari mujahadah di Pondok Pesantren Al-Huda
meliputi:
1. Awwal al-Hadlirah
Awwal al-Hadlirah adalah pendahuluan atau bacaan awal sebelum
prosesi mujahadah dilaksanakan. Bentuknya adalah bacaan surat al-Fatihah
Fadhilah atau pahala bacaannya dikhususkan untuk personal tertentu. Tujuan
dari pembagan awwal al-hadlirah adalah berkirim do’a kepada arwah atau
nama-nama yang disebut juga kadang sebagai washilah, dan khusus untuk
Nabi guna minta syafa’at Rasulullah SAW.
Intinya adalah di samping berkirim pahala juga demi kebaikan
bersama dunia dan akhirat. Pada majlis mujahadah pondok pesantren Al-
Huda, awwal al-hadlirah yang dibakukan adalah ditujukan kepada: (Ahmad,
t.th.: 1)
a. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
b. Sayyidina Abi al-Abbas al-Khidlir Balya ibn Malkan.
61
c. Para Masyayikh tarekat al-Qadiriyah dan al-Naqsyabandiyah, khususnya
adalah Syekh ‘Abd al-Qadier al-Jilany dan Syekh Abi al-Qasim Junaid al-
Baghdadi, serta Syekh Baha’al-din Muhammad al-Naqsyabandani.
d. Syekh ‘Abd al-Rahman bin Ahmad Badawi dan seluruh ahli dan seluruh
ahli silsilahnya (nama-nama yang menjadi mata rantai penghubung
ajaran).
e. Seluruh orang tua dan guru-guru dari jama’ah yang hadir seluruhnya.
f. Seluruh arwah kaum muslimin.
Jadi nampak dari prosesi awwal al-hadliroh tesebut, bahwa di samping
mengharapkan syafa’at Rasulullah, berkirim pahala bacaan kepada para guru
tarekat dan sekaligus juga kepada sesama saudara muslim dan berkeimanan.
Sehingga manfaat yang diharapkan oleh jama’ah juga bukan sekedar syafa’at
Nabi, namun juga karamah para auliya’ dan manfaat serta hikmah semangat
ukhuwah islamiyah.
2. Al-asma’ al-Husna
Al-asma’al-Husna yang dibaca pada Mujahadah Pondok Pesantren Al-
Huda terdiri atas dua bentuk: Pertama, pembacaan al-Asma‘ al-Husna secara
keseluruhan meliputi 99 asma’ yang dibaca pada awal mujahadah setelah al-
Awwal al-Hadlirah. Kedua, al-Asma’ al-Husna yang dibaca berdasarkan
pilihan pada kelompok wirid dan dzikir sesudahnya. Tentu pilihan pilihan ini
didasarkan pada kemanfaatan, makna dan juga kegunaan dari rahasia bacaan
yang dibaca itu. Sehingga dalam pembacaanya dipilih dan disendirikan.
Pembacaan al-Asma’ al-Husna secara keseluruhan dibaca satu kali secara
62
berurutan, sedang yang berdasarkan pilihan dibaca dengan jumlah tertentu
yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan hikmah yang diyakini adanya.
Menurut H. Amdjad Al-Hafidz (2003: 1), fungsi utama al-Asma’ al-Husna
adalah sebagai alat untuk berdo’a dengan terjun untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Adapun hasil yang didapatkan tentunya dengan izin Allah-menurut H.
Amjad adalah sebagai berikut: (Al-Hafidz: 2003: 1-2)
a. Hati menjadi tenang dan mantap
b. Iman bertambah kuat, diikuti amal shaleh
c. Hidup akan makin bergairah, makin semangat untuk membangun dunia
dan mencari bekal di akhirat.
d. Selalu mendapatkan pertolongan dari Allah.
e. Hilang rasa gelish, susah dan stress.
f. Akhlak yang baik menuju pahala yang mulia.
g. Dicintai Allah SWT, ahli langit dan bumi,
h. Semangat belajar meningkat, sifat malas hilang
i. Dan sebagainya.
Di samping pembacaan yang umum dan manfaat yang umum yang
terdapat dalam Pondok Pesantren Al-Huda juga dibaca beberapa al-Asma’ al-
Husna pilihan sebab sebagaimana dikemukakan oleh Komaruddin Hidayat
(1998: 13), bahwa masing-masing dari nama Tuhan itu bagaikan sebuah
password untuk membuka pintunya, dan seorang hamba yang shaleh bisa
mengambil anugerah yang tersediakan di gudangnya yang tak terbatas.
63
3. Shalawat Nabi
Sudah menjadi kesepakatan para ulama, bahwa membaca shalawat
secara umum wajib atas orang yang beriman, sesuai dengan firman Allah (Qs.
Al-Ahzab: 56). Bahkan bukan hanya bershalawat, tetapi juga mengucapkan
salam penghormatan bagi Nabi. Sehingga kemudian pembacaan shalawat
dirangkai dengan ucapan salam bagi Nabi SAW.
Di samping kewajiban tersebut, pembacaan shalawat juga akan
memunculkan harapan untuk mendapatkan syafa’at al-udzma dari Rasulullah
kelak di hari kiamat. Jika diringkas di antara keutamaan-keutamaan membaca
shalawat adalah sebagai berikut: (Syarifuddin: 76-80).
a. Membaca shalawat dan salam satu kali, maka Allah bershalawat untuknya
sepuluh kali, dan sepuluh kesalahannya dileburkan, dan diangkat sepuluh
derajat.
b. Bacaan shalawat Nabi akan selalu sampai kepadanya, dimanapun
diucapkan, tidak harus berziarah di kubur Nabi, walaupun itu lebih utama.
c. Ucapan shalawat yang dibaca pada hari Jum’at akan langsung di
tampakkan kepada Rasulullah.
d. Kemuliaan mulut diukur dari bagaimana tanggapan atau jawabannya
ketika asma Nabi diucapkan.
e. Setiap berdo’a diutamakan untuk mendahuluinya dengan shalawat, di
samping memuji asma Tuhan.
Jadi wajar jika kemudian bacaan shalawat menjadi favorit di
kalangan masyarakat Islam, bahkan kemudian para ulama menambahkan
64
dengan aneka ragam shalawat yang dibuat kemudian untuk menjunjung tinggi
derajat Nabi, dan shalawat Ibrahimiyah.
4. Beberapa dzikir dan wirid yang utama
Do’a dan wirid yang utama yang dibiasakan oleh Pondok Pesantren
Al-Huda sebagaimana yang nampak dalam risalah mujahadah adalah di
samping yang sudah disebutkan lafadz hauqalah, permohonan ampun dan
taubat dengan mengharap limpahan kekuatan dan keperkasaan Allah,
basmalah, doa taubat (rabbana zalamna anfusana…), doa selamat dari
zalimiyah (laa ilaaha illa anta…), dan do’a sapu jagad.
Pemilihan wirid-wirid tersebut memiliki maksud-maksud yang
diinginkan sebagai output (kandungan: sirr) pembacaan dari mujahadah
tersebut. Lafaz hauqalah jelas dengan tujuan guna mengharapkan limpahan
kekuatan Allah, baik demi kejayaan hidup di dunia, maupun untuk kemuliaan
akhirat. Apalagi ini di sertai dengan permohonan ampun serta taubat dengan
harapan taubat yang terjadi betul-betul karena kekuatan Allah menuntun
pribadinya.
Do’a “ rabbana dzalamna….” Di yakini merupakan do’a warisan
Nabi Adam AS sebagai rasa taubatnya kepada Allah, ketika Adam sudah
berada di bumi. Jadi fungsinya antara lain agar kehidupan di dunia ini
dihindarkan dari kezaliman pribadi, maupun kezaliman yang datangnya dari
luar.
Do’a “laa ilaaha illa anta…” (Qs. Al-Anbiya: 87) diyakini do’a yang
berasal dari Nabi Yunus AS sewaktu keluar dari perut ikan hiu yang
65
menelannya selama 40 tahun. Sehingga maksudnya agar hidupnya terhindar
dari segala macam kekhilafan dan bala’. Intinya do’a-do’a tersebut memohon
campur tangan dan kekuasaan Allah dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
5. Istighfar dan tahlil
Istighfar dan tahlil juga merupakan wirid populer bagi masyarakat
Islam Indonesia, terutama dihubungkan dengan siklus kehidupan manusia,
sejak lahir sampai mati. Umumnya do’a-do’a ini dibaca di samping dengan
harapan supaya mendapatkan tuntunan kehidupan dari Allah, juga agar
mendapatkan keselamatan bagi dirinya dunia dan akhirat.
6. Shalat Sunnah
Shalat Sunnah rutin yang dilaksanakan setiap kali mujahadah adalah
shalat sunnat Hajat, dan shalat Ghaib. Shalat Hajat dimaksudkan sebagai
shalat agar apa yang menjadi kepentingannya dapat dikabulkan dan mendapat
ridha Allah SWT. Sedangkan shalat Ghaib merupakan shalat yang
dilaksanakan untuk para arwah yang sudah meninggal, dan mendo’akan
ampunan serta kebaikan nasibnya di alam barzah dan di alam akhirat kelak.
Maka jika dikorelasikan, shalat yang dilaksanakan berisi do’a yang
menyeluruh, memohon keselamatan, keberkahan dan kecukupan dunia
akhirat, selamat dunia dan agamanya. Dan ini memang menjadi tujuan umum
dari setiap mujahadah yang ada secara simultan menunjukkan bahwa peran
mujahadah memberikan kontrbusi bagi psikologi dan jiwa seseorang
khususnya santri terhadap pengendalian emosi, hanya saja orientasi masing-
66
masing secara mendalam hanya dapat diketahui berdasarkan wirid dan zikir
yang dilakukan di dalam majelis.
7. Mau’idzah al-Hasanah
Mau’idzah al-Hasanah merupakan sarana pelengkap yang bertujuan
untuk memberikan bekal wawasan dan ilmu kepada para jama’ah, terkait
dengan kepentingan hidupnya. Uraiannya meliputi wacana keagamaan secara
umum dan dikhususkan kepada materi yang memiliki hubungan langsung
dengan kehidupan sehari-hari dari jama’ah mujahadah.
Demikian beberapa analisis yang menyangkut pelaksanaan
mujahadah di Pondok Pesantren Al-Huda Petak Sidoarjo Susukan Kabupaten
Semarang.
4.2. Analisis terhadap Aktualisasi Mujahadah Dalam Upaya Pengendalian
Emosi Santri
Di era globalisasi ini kebutuhan agama sangatlah besar dikarenakan dalam
masyarakat muncul perilaku-perilaku yang menyimpang, sebagai contoh adalah
emosi. Emosi yang dimaksud penulis di sini adalah emosi yang mempunyai
dampak negatif yang berakibat pada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pondok Pesantren Al-Huda Petak Sidoarjo menerapkan mujahadah
sebagai pengendalian emosi santri ini terlihat dengan kegiatan yang berkelanjutan.
Mujahadah yang dilaksanakan Pondok Pesantren Al-Huda tidak hanya sebagai
tatanan ritualitas. Lebih dari itu, mujahadah adalah bagaian dari sebuah
67
kontemplasi yang mengatur komunikasi antara Allah dengan hamba-Nya. Dalam
hal ini konsep mujahadah tidak hanya bersifat sebagai nilai ibadah, namun sebagai
penyejukan jiwa bagi seorang santri.
Beragam problem yang dihadapi santri sebagai bagian dari komunitas
masyarakat pesantren. Mau tidak mau ia mesti berhadapan dengan realitas
lingkungannya, hal ini terkadang memberikan dampak buruk terhadap
kesinambungan manusia dalam menghadapi realita kehidupan yang penuh
delimatis dan problematis. Apalagi dengan persoalan yang dihadapi pada
lingkungan pendidikan pesantren. Sebagian persoalan santri yang muncul adalah
kurangnya atau minimnya biaya hidup di pesantren, kerindun terhadap kampung
halaman dan jauh dari orang tua, ketidakharmonisan sesaat dalam interaksi
lingkungan dan banyak hal lainnya, kadang menjadi tantangan tersendiri bagi
seorang santri. Tak heran ini menjadikan seorang santri melakukan tindakan
menyimpang, kriminalitas dan pelarian pada hal-hal negatif menjadikan persoalan
tersendiri bagi santri.
Dalam hal ini keberadaan sebuah mujahadah adalah bagian dari sebuah
nilai positif, adanya kecenderungan evaluasi diri dalam merenung dan membaca
teks-teks normatif baik dalam bentuk al-Asmaul al-Husna, wirid, maupun bacaan
istighfar menjadikan rasa damai dan ketentraman di batin dan jiwa santri.
Mujahadah dan kecenderungan masyarakat sekarang adalah bagian dari
sebuah tuntutan dan pencarian dari sebuah terobosan baru mendekatkan diri pada
Illahi, disebutkan seperti itu ketika tatanan nilai tidak hanya membawa manusia
meninggalkan pada dunia entertaimen namun lebih membawa ia pada pelarian
68
pada dunia spiritual. Dalam hal ini keberadaan mujahadah adalah bagian dari
ketergantungan spiritual dan tatanan moral. Dikatakan begitu karena moralitas
terbentuk oleh dorongan spiritualitas manusia. Dari sinilah tatanan nilai religi
tidak hanya ritual dalam shalat maupun menjalankan ibadah lima waktu.
Pengalaman Rasulullah SAW dalam mengahadapi persoalan sosial oleh
tatanan nilai masyarakat jahiliah waktu itu. Saat awal-awal beliau menghadapi
kultur sebagai utusan di bumi ini. Beliau cenderung melakukan ritualitas menyepi
di goa hiro’. Menurut penulis dalam hal ini adalah agar do’a proses dalam
melakukan mujahadah, meski pada saat itu belum ada sebuah aturan yang turun
dari Allah SWT. Namun sekali lagi penulis melihat bahwa apa yang dilakukan
oleh Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul adalah bagian dari proses
mujahadah.
Dari pemahaman ini dapat ditarik simpulan, Rasul dalam mengahadapi
persoalan cenderung melakuan penyedirian dalam rangka mencari ketenangan dan
mencari sebuah solusi apa yang mesti dihadapi. Dari sinilah mengacu pengalaman
spiritual Rasul di goa Hiro’ bagian dari proses mujahadah manusia dalam
menghadapi persoalan.
Kaitannya dengan konteks sekarang di mana mujahadah bagian dari
tatanan proses ritualitas adalah adanya terobosan nilai di samping dalam
mengarahkan umat manusia menghadapi sesuatu yang berkaitan dengan nilai nilai
religi yang membentuk moralitas.
69
4.3. Analisis terhadap Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan
Mujahadah dalam Upaya Pengendalian Emosi Santri
Dalam setiap aktifitas mujahadah yang dilaksanakan sebagaimana yang
telah diterapkan oleh Pondok Pesantren Al-Huda, dalam pelaksanaannya terdapat
faktor penghambat maupun pendukung kegiatan tersebut. adapun faktor
pendukung dan penghambat kegiatan mujahadah yaitu:
4.3.1. Faktor-Faktor Pendukung
Yang menjadikan faktor pendukung yang sudah nampak dalam
pelaksanaan mujahadah di Pondok Pesantren Al-Huda antara lain:
1. Lokasi pelaksanaan mujahadah yang sangat strategis
Lokasi pelaksanaan mujahadah merupakan lokasi yang sangat
strategis. Lokasi Pondok Pesantren Al-Huda berbatasan langsung dengan
pasar, jalan raya sebagai lalu lintas utama antara Kabupaten Semarang dan
Kabupaten Boyolali. Lokasi yang strategis merupakan salah satu faktor utama
kesuksesan dan keberlanjutan suatu kegiatan keagamaan.
Lokasi yang demikian itu, maka akan memungkinkan para peserta
mujahadah terutama yang berasal dari tempat yang lumayan jauh untuk
melakukan perjalanan mujahadah, sekaligus berniat melakukan aktifitas
ibadah yang lain. Sebagai misal berziarah ke makam pendiri Pondok
Pesantren Al-Huda dan para auliya’ dan ulama. Sementara keperluan
transportasi untuk itu relatif mudah kerena berdekatan dengan pasar.
70
Apabila dilihat dari sudut pandang geografis, ini sebenarnya masih
sangat terbuka bagi pengembangan aktivitas atau even Mujahadah Al-Huda
menjadi lebih besar.
2. Manajemen organisasi dan job diskripsi yang sudah jelas
Pelaksanaan mujahadah Al-Huda dalam pelaksanaannya ditangani oleh
sebuah kepengurusan pondok yang dibentuk untuk kegiatan tersebut.
Organisasinya menyatu dengan Pondok Pesantren yang tugasnya mengurusi
soal mujahadah dan ditangani langsung oleh kyai. Posisi kyai adalah hanya
sebatas sebagai pembimbing, serta tuan rumah (shahib al-bayt) sementara
penanganan penyelenggaraannya diserahkan kapada kepengurusan santri. Ini
menunjukan bahwa sang kyai menerapkan asas demokrasi di lingkungan
pondok dan sekitarnya, serta tidak ingin kegiatan keagamaan yang diasuhnya
dimonopoli oleh keluarga pondok, apalagi oleh keluarga kyai.
Santri berfungsi sebagai anggota organisasi, yang kemudian dalam
pelaksanaan tugasnya pada setiap acara mujahadah saling memberi tugas satu
sama lain.
Memang secara hirarkis dan organisatoris bentuk organisasinya belum
sempurna betul, namun sudah cukup memadai dan baik, karena memang
terdiri dari anggota santri yang sudah tua. Organisasi meliputi pengurus
harian, yaitu ketua, sekretaris, bendahara, dan penceramah, serta pengurus
teknis yaitu seksi pengajian dan seksi sarana dan prasarana, sehingga nampak
bahwa masing-masing yang terlibat dalam kepengurusan telah memiliki
pembagian tugas yang jelas, dan tentunya pelaksanaan mujahadah tidaklah
71
saling tumpang tindih dalam pelaksanaan tugasnya. Inilah yang menjadi salah
satu kunci kelancaran pelaksanaan mujahadah itu.
Struktur bendahara dan sekretaris semakin menunjukan bahwa
organisasi ini bersifat independen dari kyai dan pesantren sebagai induk
kegiatannya. Hal ini penting, karena tidak mengganggu keuangan pondok,
sekaligus tingkat kepercayaan jama’ah terhadap pengelolaan keuangan yang
ada. Kredit positif dari hal ini jelas, bahwa tingkat kepercayaan terhadap
Pondok Pesantren Al-Huda juga meningkat, baik bagi keberadaan pondok
maupun dalam pelaksanaan mujahadah di masyarakat sekitar.
3. Jama’ah yang cukup dalam mengikuti Mujahadah
Rata-rata jama’ah adalah peserta aktif dalam kegiatan mujahadah Al-
Huda. Jarang ada anggota jama’ah yang sudah pernah mengikuti kemudian
menghentikan kegiatan pada mujahadah itu.
Umumnya terjadi kecanduan di kalangan jama’ah, sehingga mereka
semakin aktif, dan sekaligus mengajak rekan, saudara atau tetangganya untuk
ikut serta dalam mujahadah itu. Konsistensi jama’ah ini semakin nampak dari
perkembangan peserta yang makin lama makin banyak, dari hanya sekitar 20
orang peserta waktu didirikan, sekarang sudah mencapai sekitar 500-an orang
yang selalu hadir dalam mujahadah.
4. Latar belakang pendidikan,social ekonomi jama’ah yang beraneka ragam.
Latar belakang pendidikan, sosial, dan ekonomi dapat menjadi faktor
yang mendukung pelaksanaan mujahadah, karena dari ragam mitos tersebut
masyarakat tahu bawa pelaksanaan mujahadah diikuti oleh hampir semua
72
lapisan masyarakat dan para santri. Sehingga tidak ada rasa minder, rendah
diri dan sebagainya, yang berada di situ telah melepaskan baju kelas masing-
masing dan hanya datang dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Hal ini didukung oleh pelaksanaannya yang dilakukan dengan
mengambil sentral masjid Pondok Pesantren Al-Huda yang menjadi simbol
inklusifitas dan bebas kelas, diakui atau tidak faktor ini di akui menjadi daya
tarik tersendiri bagi pelaksanaan mujahadah.
5. Ragam daerah asal jama’ah
Jama’ah mujahadah Al-Huda berasal dari berbagai daerah, baik
pelosok desa maupun luar desa petak, bahkan banyak yang dari luar kota. Hal
ini mendatangkan keuntungan tersendiri bagi jama’ah, yaitu antara lain :
a. Memudahkan sosialisai eksistensi mujahadah dalam wilayah yang luas,
tanpa harus dengan membuat program sosialisasi, yang khusus, umumnya
para jama’ah akan getok tular kepada saudara dan sahabat maupun kerabat
rekanan lainya. Bahkan proses getok tular itu tanpa di sengaja, kadang
dengan ngobrol-ngobrol kemudian mengarahkan kepada pelaksanaan
mujahadah itu.
b. Dengan latar belakang asal daerah yang bermacam-macan itu semakin
mempercepat proses akulturasi budaya yang ada, merekatkan perbedaan
sosial kultural menjadi semacam budaya baru yang kemudian menjadi
pemicu jalinan ukhuwah islamiyah. Dengan forum ini dapat saja di
kemudian hari lahir suatu kebudayaan atau tradisi dan pemahaman
73
keagamaan dalam bentuk varian baru yang berasal dari komunitas
mujahadah Al-Huda.
c. Akan mengakibatkan terjadinya proses tukar informasi keagamaan dari
wilayah yang berbeda, yang tentunya dalam bentuk tradisi keagamaan
yang berbeda pula. Selain itu akan memperluas cakrawala pengetahuan
jama’ah akan dunia keulamaan, literatur keagamaan, kegiatan-kegiatan
yang bisa ditransfer di tempat lain dan sejenisnya.
6. Mayoritas jama’ah mujahadah adalah usia remaja dan usia muda (usia
produktif)
Satu hal yang sangat menarik dan sangat menyenangkan adalah adanya
fakta bahwa mayoritas jama’ah mujahadah Al-Huda adalah jama’ah yang
sedang menuntut ilmu dalam pondok pesantren Al-Huda yang berada dalam
usia produktif dan pertumbuhan. Sebesar 60 % dari keseluruhan jama’ah
mujahadah adalah berusia 17-40 tahun.
Secara psikologis, usia sekian adalah usia produktif. Secara ide dan
ekonomi serta usia pencarian jati diri, serta pencarian kepuasan rohani.
Sehingga keberadaan usia yang mayoritas ini menyiratkan harapan positif,
bahwa mereka akan memperoleh apa yang mereka cari dari perspektif
spiritualnya di dalam mujahadah ini.
Mujahadah merupakan arena pengasahan rohani, penuntut jiwa yang
labil dan mengarahkan kembali instabilitas mental, pikiran, kejiwaan
seseorang. Sedang manusia yang berada dalam usia-usia tersebut merasa
dalam kondisi psikis yang rawan. Terjunnya mereka di arena ini menjadi hal
74
yang tepat dari sudut pandang keagamaan, dan tentu suatu hal yang sangat
baik bagi masa depan mereka.
7. Bentuk kegiatan yang tidak monoton, akan tetapi tidak pernah menghilangkan
unsur utama kegiatan.
Kelebihan mujahadah di Pondok Pesantren Al-Huda adalah bahwa
penyelenggaraan mujahadah dikemas secara dinamis dan variatif, tidak
monoton. Hal ini menghilangkan perasaan bosan dan jenuh. Efek positifnya
walaupun acara intinya tetap, tetapi acara lain atau sampingan tidak diketahui
secara pasti sehingga menghindarkan niat hanya datang ketika acara inti di
mulai.
8. Mujahadah dilaksanakan dilingkungan Pondok Pesantren
Pondok pesantren dalam kultur masyarakat Islam Indonesia telah
memiliki kedudukan khusus dalam benaknya. Sehingga apa yang
dilaksanakan Pondok Pesantren relatif mendapat perhatian lebih tinggi dari
masyarakat, di banding penyelenggaraan di tempat lain, hal ini dikarenakan
bahwa Pondok Pesentren merupakan ladang amal shaleh bagi orang-orang
yang menghendaki. Mujahadah adalah sudah dianggap sebagai kegiatan
spiritual, walau nyata-nyata melibatkan keaktifan fisik dan materi. Salah satu
daya tarik mujahadah Pondok Pesantren Al-Huda adalah pelaksanaannya yang
tepat berada di lingkungan Pondok Pesantren Al-Huda.
Pondok Pesantren Al-Huda itu sendiri di lingkungan masyarakat Desa
Petak juga sudah dikenal sebagai Pondok Pesantren yang cukup ramai dan
memang telah dianggap sebagi pewaris tarekat Naqsyabandiyah yang salah
75
satunya adalah ilmu-ilmu terekat dengan mujahadahnya. Sehingga dapat
dimaklumi bahwa ritualitas yang dilaksanakan di pondok ini menjadi ramai,
diakibatkan salah satu faktor pendukung utamanya adalah penyelenggaraan
yang dilaksanakan di lingkungan Pondok Pesantren. Itulah faktor pendukung
eksistensi mujahadah Al-Huda Petak Sidoarjo sejauh penulis temukan.
4.3.2. Faktor Penghambat
Faktor penghambat dalam pelaksanaan Mujahadah di Pondok Pesantren
Al-Huda antara lain:
1. Keragaman kemampuan nalar dan sosial-ekonomi jama’ah.
Keragaman latar belakang pendidikan, kemampuan nalar dan sosial
ekonomi memiliki nilai positif, namun pada satu segi juga memiliki efek yang
menjadi penghambat. Terutama pada proses penerimaan dan pemahaman
terhadap proses dakwah yang berlangsung baik menyangkut pemahaman
terhadap proses dakwah yang berlangsung, baik menyangkut pemahaman
tentang hakekat mujahadah itu sendiri dan utamanya adalah kemampuan
menyerap materi mau’idzah al-hasanah yang disampaikan.
Keragaman itu juga agak menyulitkan penerapan metode penyampaian
materi, serta penerapan bahasa yang pas bagi keseluruhan jama’ah. Hal ini
tentu merupakan masalah yang sangat serius, namun dalam jangka penjangnya
tetap akan terjadi bagi masing-masing individu peserta mujahadah dalam hal
pemahaman keagamaan dan pengalaman spiritual dari hasil mujahadah dan
proses yang berlangsung dalam mujahadah.
76
2. Persepsi jama’ah terutama yang baru yang belum seragam terhadap tujuan
utama mujahadah.
Faktor penghambat yang lain adalah pemahaman yang belum seragam
di antara jama’ah tentang tujuan dan hakekat mujahadah itu sendiri. Dengan
kenyataan bahwa sebagian besar peserta adalah kaum pelajar menengah ke
bawah atau santri dan petani, maka kultur berpikir dan nalar rasa pun juga di
pengaruhi oleh faktor antropologi dan faktor dari mana ia berasal.
Remaja yang sedang berada dalam masa perkembangan nalar berada
pada alam pikiran yang masih labil, dan tentu sebagian sangat menyukai hal
yang berbau magis. Sedangkan alam pikiran petani umumnya dipengaruhi
oleh faktor geografinya yang memiliki alam pikiran mistis atau katakanlah
klenik.
Tentu latar belakang tersebut sangat mempengaruhi niat dan minat
mereka dalam mengikuti ritualitas mujahadah yang ada. Maka sebagaimana
umum terjadi, bisa saja bahwa tujuan mereka adalah bersifat mistis dan klenik,
serta untuk mandapatkan daya spiritual bagi kepentingan kehidupan duniawi
mereka. Ini tentu saja menjadi faktor penghambat bagi pengembangan
pemahaman dan proses pengadaan spiritual bagi jama’ah yang memiliki
tujuan-tujuan seperti itu.
3. Keterbatasan Peralatan yang di gunakan
Peralatan dakwah yang di terapkan Pondok Pesantren Al-Huda masih
berkutat pada ceramah, dialog, dan tatap muka. Sedangkan media yang di
gunakan baru pada tahapan pengeras suara yang ada di sekitar forum
77
mujahadah. Tentu hal ini agak menghambat percepatan perkembangan
mujahadah. Sebab peran media sangatlah penting dalam hal ini.
Mungkin media yang bisa segera di tambahkan adalah pesawat TV
untuk merealisasi kegiatan yang berada di dalam masjid, sehingga jama’ah
yang berada di luar masjid dan di jalan-jalan, bisa tetap mengikuti prosesi dari
dalam masjid secara langsung.
Juga bisa menggunakan brosur sebagai bentuk sosialisasi sehingga di
mungkinkan akan selalu menambah peserta baru dengan waktu yang relatif
cepat