BAB IV ANALISIS FLEKSIBILITAS FATWA MUI-NU TERKAIT …digilib.uinsby.ac.id/4232/6/Bab 4.pdf ·...
Transcript of BAB IV ANALISIS FLEKSIBILITAS FATWA MUI-NU TERKAIT …digilib.uinsby.ac.id/4232/6/Bab 4.pdf ·...
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
113
BAB IV
ANALISIS FLEKSIBILITAS FATWA MUI-NU TERKAIT
BUNGA DALAM HUTANG-PIUTANG
A. Analisis Fatwa MUI Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang
Dalam membicarakan mengenai bunga hutang piutang, MUI memang
melakukan beberapa prosedur yang telah disepakati. Seperti mengenai dasar
umum dalam penetapan fatwa1, MUI secara konsisten mencantumkan terlebih
dahulu dasar yang terdapat dalam al-Quran.
Penyebutan MUI tentang surat surat al-Baqarah ayat 275-280 dan juga Surat
Ali Imra>n ayat 130 dapat menunjukkan sebuah konsistensi MUI dalam
menerapkan dasar penetapan fatwa. Akan tetapi, dalam memberikan sebuah
penjabaran ayat, MUI sepertinya tidak ingin bekerja dua kali dengan menelusri
khazanah tafsir yang ada. Tafsir, terlebih yang berjenis ma’thu >r, bukan saja sangat
membantu dalam proses penggalian makna yang tersembunyi mengenai ayat,
namun juga seringkali harus dilakukan sebelum memberikan kesimpulan yang
terkesan cepat. Misalnya dalam Surat Al-Imran ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda. Bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”2
1 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, 945-947.
2 Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 66
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
114
Saat menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Kathi >r (w.774) mengatakan bahwa pada
masa Jahiliyah, adanya riba berupa penambahan itu terjadi ketika prosesi hutang
piutang telah jatuh tempo. Saat pembayaran hutang telah jatuh tempo, orang yang
meminjam uang dapat melunasinya atau menangguhkan pembayarannya dengan
konsekuensi penambahan jumlah hutang. Hal ini berlanjut setiap tahun hingga
hutang yang awalnya sedikit menjadi banyak dan berlipat-lipat3.
Penjelasan mengenai rekam sejarah yang diutarakan oleh salah seorang
penafsir Quran ternama ini memberikan sebuah gambaran lebih jelas bahwa riba
dalam al-Quran berkaitan erat dengan hutang piutang, di mana terdapat
pertambahan jumlah yang harus dibayar akibat penundaan pembayaran.
Pada titik ini, riba memiliki kesamaan dengan bunga bank. Keduanya
meniscayakan adanya kewajiban pembayaran tambahan (dengan persentase
tertentu) atas pinjaman uang yang dibayar dalam tempo tertentu. Akan tetapi, titik
kesamaan ini masih memunculkan interpretasi yang berbeda ketika
konsekuensinya berada pada implikasi hukum di mana riba telah dilarang dalam
Hukum Islam.
Seharusnya, konklusi ini memunculkan konsekuensi logis di mana bunga
bank, yang memiliki kesamaan dengan riba, pantas mendapatkan label haram.
Akan tetapi pada kenyataannya, klausul sentral di mana riba diposisikan sebagai
persamaan dari bunga bank memiliki interpretasi yang tidak tunggal. Riba yang
3 Abu> al-Fida >’ Ismai >l bin Umar bin Kathi >r al-Qurshi > al-Dimishqy, Tafsi>r al-Qura >n al-Az}i>m, Juz. II
(Beirut: Da >r al-T }ayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi >’, 1999), 117
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
115
diharamkan perlu diteliti lebih lanjut untuk didapati karakter riba yang tertuang
dalam teks agama dan memiliki akar sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan
Penggalian makna yang tersebar dalam tafsir tersebut, sedikit banyak, akan
turut mewarnai sebuah penetapan fatwa saat digunakan dan ditelaah dengan baik.
Bahkan, manakala ditemukan sebuah penjelasan seperti yang tertuang di atas,
fatwa menjadi berubah, atau minimal terdapat revisi menjadi redaksi dan
bermuatan lebih bijaksana.
Inilah yang terjadi dalam teori fatwa Yu >suf al-Qard}a>wy mengenai perubahan
pengetahuan. Perubahan pengetahuan merupakan salah satu instrumen yang
menyebabkan fatwa memungkinkan untuk berubah. Perubahan pengetahuan ini
ada kalanya berupa pengetahuan yang shar’i, adakalanya pengetahuan yang
mengenai peristiwa kehidupan kekinian4.
Di antara perubahan pengetahuan yang bersifat shar’i di antaranya perubahan
pengetahuan tentang sebuah kajian penafsiran tertentu berkaitan dengan salah satu
ayat dalam al-Quran. Manakala ragam tafsir juga digunakan dan
didokumentasikan dalam penetapan fatwa, bisa jadi fatwa akan berubah.
Seperti posisi tafsir terhadap al-Quran, begitu pula sangat penting menjelajahi
khazanah keilmuan komentar (sharh }) tentang hadis tertentu. Meskipun MUI telah
melakukan pekerjaan yang luar biasa baik, dengan mencantumkan beragam
redaksi hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis, namun –sekali lagi-
terkadang kita masih membutuhkan beberapa komentar para ahli sarjana Islam
mengenai hadis yang hendak kita jadikan legitimasi. Hal ini bukan saja terkait
4 Yu>suf al-Qard }awi>, Mu >jiba >t, 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
116
penilaian validitas hadis, namun juga penyerapan makna yang lebih baik dan
penggalian informasi yang lebih banyak terkait dengan hadis tertentu kiranya
mampu menjadikan penetapan fatwa menjadi lebih bernilai.
Selain itu, dalam keputusan fatwa yang ditatpkan 24 Januari 2004 ini, MUI
memaparkan beberapa pendapat yang berkaitan dengan fatwa mulai dari fatwa
yang dikeluarkan oleh individu, baik dari masa klasik maupun modern, hingga
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga terpandang dunia Islam.
Beberapa refrensi pendapat para tokoh dalam bentang waktu yang sangat
panjang, yaitu menukil pendapat Imam Nawawi, Ibn ‘Araby, Al-‘Aini, Al-
Sarakhsyi, Ar-Raghib al-Isfahani, Muhammad ali al-Shabuni, Muhammad Abu
Zahrah, Yusuf Al-Qardhawy, Wahbah al-Zuh }ayly, sepintas memberikan sebuah
justifikasi bahwa penetapan yang dilakukan oleh MUI ini selaras dengan pendapat
yang diberikan para ulama yang lain.
Penulis dangat mengapresiasi dengan bagus terhadap upaya yang dilakukan
oleh MUI dalam legitimasi penetapan fatwa MUI. Namun, kesan bahwa telah
terjadi ijma>’(kesepakatan ulama) dalam masalah ini tidak bisa dihindari dalam
masalah ini. Ragam pendapat yang dijadikan dasar penetapan seperti
mengarahkan pada eksistensi konsesus umat Islam. Padahal, fakta yang terjadi
tidaklah demikian.
Perbedaan pendapat di antara pakar hukum Islam, sejak era klasik sampai
modern terkait masalah ini masih terjadi. Imam al-T}abary sebagai penafsir al-
Quran era klasik, sebagaimana keterangan yang dia terima dari sahabat Muja >hid
dan At }a>’, masih memberikan sebuah kriteria tertentu tentang data hiatoris riba
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
117
yang terjadi pada saat al-Quran diwahyukan. Imam al-T}abary (w.310 H) juga
merekam praktek riba yang dilarang oleh al-Quran dengan perkataanya:
“Adapun mengenai cara orang-orang Arab pra_Islam mengonsumsi riba
adalah salah seorang dari mereka memiliki utang yang harus dilunasi pada
tempo tertentu. Ketika tempo itu tiba, orang yang berhutang berkata pada
orang yang memiliki uang,” tundahlah pelunasan utangku, aku akan
memberikan tambahan atas hartamu. Inilah riba yang berlipat ganda”5.
Perlipatan itu akan terus terjadi seiring dengan bertambahnya penundaan
pelunasan. Imam al-al-T}abary menambahkan, hutang yang tadinya 100, pada
tahun depan akan menjadi 200. Jikalau tidak dilunasi, maka menjadi 400. Tiap
tahun jumlah hutang akan dilipatgandakan jikalau tidak segera dilunasi6.
Kendati informasi mengenai karakter riba yang “ad}’afan mud }a>’afan” ini
terpampang jelas dalam al-Quran, namun hal ini masih tidak menjadikan
pemaknaannya tunggal, menukil paparan Qurasih Shihab7, klausul ad}’afan
mud}a>’afan dalam riba ini dianggap syarat riba yang diharamkaan, atau hanya
menjadi pelengkap dari setiap riba yang dilarang. Perbedaan interpretasi atas
posisi ad}’afan mud }a>’afan ini pada gilirannya mengantarkan kita pada konsekuensi
hukum yang berbeda.
Selain itu, menarik juga untuk melihat salah satu di antara beberapa pendapat
individu yang dijadikan legitimasi fatwa MUI. Yu >suf al-Qard }a>wy dinukil
pendapatnya yang mengatakan (dan perkataan ini merupakan judul karya tulis
juga):
5 Muh}ammad bin Jari >r bin Yazi >d bin Kathi >r bin Gha >lin al-Amaly, Ja >mi’ al-Baya>n fi > Ta’wi >l al-
Qur’a >n, Juz 7 (t.t: Muassasat al-Risa >lah, 2000), 204. 6 Ibid.
7 Qurasih Shihab, Membumikan al-Quran, 258
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
118
(فوائد البنوك)فوائد البنوك هي الربا الحرام 8
“Bunga bank adalah riba yang diharamkan”
Sebagai pakar hukum Islam Yu >suf al-Qard}a>wy menampilkan beberapa
argumentasi yang cukup meyakinkan, dengan didukung kekayaan data tekstual
yang mengagumkan dan pembacaan realitas (al-wa>qi’) yang cermat, sehingga
mengantarkan Yu >suf al-Qard}a >wy sampai pada kesimpulan saat itu bahwa bunga
bank itulah riba yang diharamkan.
Penyematan opini hukum tersebut, pada saat itu terasa sangat tepat. Namun
seiring dengan realitas yang berkembang, 14 Tahun kemudian, pada Tahun 2008,
Yu>suf al-Qard}a>wy mengeluarkan karya yang berjudul Mu >jiba>t Taghayyur al-
Fatwa> fi > ‘As }rina>9. Saat menjelaskan instrumen perubahan fatwa yang kesembilan,
yakni perubahan opini dan pemikiran (taghayyur al-ra’y wa al-fikr), Yu >suf al-
Qard}a >wy memurnakan pembahasan dengan mengatakan:
“Saya pribadi mendapati diri saya sendiri juga mengalami perubahan ijtihad
dalam sebagian fatwa saya, yang disebabkan atas perubahan pemikiran semata.
Bukan atas dasar perubahan pengetahuan (al-ma’lu >ma>t), bukan atas dasar
perubahan tempat (al-maka >n) dan waktu (al-zama>n), seperti fatwa saya mengenai
pembelian rumah bagi minoritas muslim melalui bank yang menerapkan sistem
riba manakalah bank Islam belum mudah ditemui. Padahal saya dulu
mengaharamkan secara mutlak sebelumnya. (pendapat) Saya berseberangan
dengan pakar fikih yang terhormat Shaikh Mus }t }afa> al-Zarqa>’ yang justru
memberikan keringanan atau dispensasi (rukhs}ah) mengenai hal itu. Lalu seiring
dengan waktu, pendapatku berubah. Kini saya melihat pada suatu perkara dari
beragam segi dan sudut pandang, dan saya sampai pada suatu kesimpulan untuk
membolehkan permasalahn tersebut dengan berbagai kriteria dan syarat. Pendapat
inilah yang kemudian dipakai secara resmi oleh Majelis Fatwa Eropa (Majlis al-
Ifta >’ al-Uru>ba>)10.
8 Yu>suf al-Qard }a >wy, Fawa >id al-Bunu >k Hiya al-Riba> al-H}ara >m ; Dira >sah Fiqhiyyah fi D }au’ al-
Qura >n wa al-sunnah wa al-wa >qi’ Ma’a Muna >qashah Mufas }s}alah li Fatwa > Fad }i>lat al-Mufti> ‘an
Shaha>dat al-Istithma >r, Cet.III (Kairo: Da >r al-S}ah}wah, 1415 H/1994 M). 9 Yu>suf al-Qard }awi>, Mu >jiba >t Taghayyur al-Fatwa> fi> ‘As}rina >, cet.II (Mesir: Da >r al-Shuru>q, 2011).
10 Yu>suf al-Qard }awi >, Mu >jiba >t Taghayyur al-Fatwa, 91
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
119
Oleh karena itu, dalam opini yang dijadikan legitimasi fatwa MUI, terdapat
opini yang telah berubah. Dalam teori fleksibilitas fatwa ini dimasukkan dalam
Taghayyur al-Ra’y wa al-Afka>r, yakni sebuah perubahan yang terjadi akibat
perubahan opini ulama yang telah berubah. Maka, manakala opini ini berubah, isi
fatwa yang dibangun atas dasar tersebut sangat besar kemungkinannya untuk
berubah.
Bisa jadi, sikap MUI masih bisa dimaklumi jika melihat bahwa penetapan
fatwa MUI itu terjadi pada tanggal 24 Januari 2004, tepatnya 4 tahun sebelum
Yu>suf al-Qard}a>wy mengeluarkan buku Mu>jiba >t ini. Namun, jika melihat beberapa
kecenderungan fatwa Yu >suf al-Qard}a>wy yang sudah mulai berubah, terlebih jika
dibandingkan dengan karya Fawa >id al-Bunu >k tahun 1994, maka fatwa Yu >suf al-
Qard}a >wy di tahun-tahun belakangan sudah mengindikasikan tentang sebuah
perubahan. Bahkan fleksibilitas fatwa yang berkaitan dengan bunga bank ini bisa
dilacak dalam karya Yu >suf al-Qard}a>wy Fi > Fiqh al-Aqalliyya >t al-Muslimah ;
H}aya>t al-Muslimi >n wasat }a al-Mujtama’a >t al-Ukhra > Tahun 200111
, tiga tahun
sebelum penetapan fatwa MUI.
Artinya, jika semangat akademis yang dikedepankan, bukan semata mencari
justifikasi, MUI lebih baik juga menampilkan pendapat Yu >suf al-Qard}a>wy dalam
karya yang terbaru, di samping juga memakai karya beliau yang lain.
Sama halnya dengan di atas, MUI juga mencantumkan beberapa legitimasi
pertimbangan fatwa yang didapati dari hasil kajian forum ulama, baik lokal
maupun internasional.. Beberapa lembaga itu di antaranya:
11
Yu>suf al-Qard }a >wy, Fi> Fiqh al-Aqalliyya>t al-Muslimah ; H }aya >t al-Muslimi >n wasat }a al-
Mujtama’a>t al-Ukhra >, cet.I (Kairo: Da >r al-Shuru>q, 1422 H/2001 M).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
120
a. Majma’ al-Buh}u>th al-Isla >miyah di Al-Azhar Mesir Tahun 1965
b. Majma’ al-Fiqh al-Isla>my Negara-Negara OKI yang diselenggarakan di
Jeddah Tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985
c. Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Isla>my, keputusan 6 Sidang IX yang
diselenggarakan di Mekkah Tanggal 12-19 Rajab 1406
d. Keputusan Da>r al-Irta>’, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999
f. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syariat.
g. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo
yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga
Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
h. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar
Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem
tanpa bunga.
i. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
j. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03
Januari 2004; 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004; dan 05 Dzulhijjah
1424/24 Januari 2004.
Di antara lembaga fatwa internasuinal di atas yang dijadikan pertimbangan
MUI, Majma’ al-Buh}u>th al-Isla>miyah di Al-Azhar Mesir Tahun 1965. Hal ini
menarik disebabkan karena sikap terakhir yang diambil dalam Majma’ al-Buh}u>th
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
121
al-Isla>miyah pada tahun 2002 sewaktu kepemimpinan rektor Al-Azahar saat itu
Sayyid T }ant }awy justru membolehkan/menghalalkan segenap transaksi dengan
bank konvensional dan menabung di dalamnya dengan tanpa shubhat sama sekali.
Keputusan yang bertolak belakang dengan keputusan pada Tahun 1965 ini justru
tidak ditampilakan dalam pertimbangan fatwa MUI12
.
Pertimbangan tentang perubahan kebutuhan manusia juga sepertinya belum
tercakupi fatwa MUI. Kendatipun akan membutuhkan sebuah kajian yang
mendalam untuk bisa sampai pada posisi kaidah “kebutuhan itu menempati
tempat darurat baik secara umum atau khusus”13
, namun seringkali kebutuhan
juga menjadi salah satu yang menyebabkan fatwa hukum berubah.
Kebutuhan akan standar pendidikan yang berubah tentu saja akan menjadikan
standar mengenai batas kewajiban berzakat akan berubah, kebutuhan akan anjing
penjaga diri dan rumah akan mempengaruhi status hukum makruh dalam
pemeliharaannya, kebutuhan mengenai tuntutan rumah dengan beragam fasilitas
standar, serta kebutuhan untuk melakukan pinjaman di bank termasuk beberapa
contoh dari perubahan kebutuhan yang sangat besar probabilitasnya menjalar pada
fatwa.
12
Fatwa > Majma’ al-Buh}u >th al-Isla >miyyah bi Iba >h }at Fawa>id al-Mas}a >rif, 23 Ramadhan 1423
bertepatan dengan 28 November 2002. Lihat www.onislam.net (15 Januari 2015). 13
Yu>suf al-Qard }awi >, Mu >jiba >t, 76-80
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
122
B. Analisis Fatwa NU Terkait Bunga dalam Hutang-Piutang, Studi atas
Fleksibilitas Fatwa dan Instrumen Perubahan Fatwa Yu >suf al-Qard }a>wy
Sebagai sebuah organiasasi kemasyarakatan keagamaan, NU seringkali
memotret beragam persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Seperti,
keresahan warga nahdliyin yang ingin mencari kejelasan kembali tentang status
bunga yang muncul dari sebuah pinjaman di koperasi.
Kendatipun tempat meminjam, sebagaimana yang ditanyakan berupa
koperasi, namun prinsip bunga dalam pinjaman tersebut sama dengan redaksi
bank. Ada jumlah lebih, dengan perhitungan persentase tertentu, dari jumlah uang
yang dipinjam.
NU mengeluarkan fatwa tentang materi ini melalui Muktamar NU ke-14 di
Magelang 1 Juli 1939 M mengenai permasalahan praktik peminjaman uang dari
Koperasi14
.
Peminjaman uang dari koperasi atau lainnya, apabila dijanjikan memberi
bunga (rente) dan janjinya itu di dalam akad atau sesudah akad tetapi sebelum ada
ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan kesepakatan (mufakat) para
ulama. Karena itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan, tetapi kalau
tidak dengan perjanjian bicara atau tulisan, maka hukumnya boleh dengan tidak
ada perselisihan di antara para ulama. Kalau dengan perjanjian dengan tulisan
zonder (tanpa) dibaca, atau tentang bunga itu telah menjadi kebiasaan, walaupun
14
Tim Lajnah Ta’li >f wa al-Nashr (LTN) PBNU, Ahkamul Fuqoha; Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010),
(Surabaya: Khalista, 2011), 242.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
123
tidak dijanjikan, mka hukumnya ada 2 pendapat yaitu haram, dan yang kedua
boleh15
.
NU yang memiliki metode penetapan tersendiri seringkali lebih mencukupkan diri
dengan mengacu pada pendapat fikih jadi yang telah tertuang dalam sebaran kitab-kitab
muktabarah. Dengan Lajnah Bah}th al-Masa >il mempergunakan tiga macam metode
istinba>t } hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu:16
Metode Qawli, Ilh }a>q
dan Manhajy,NU seringkali memilih metode langsung dengan melakukan rujukan
pada pendapat ulama fikih.
Hanya saja, fatwa NU di sini terasa berbeda karena dalam isi fatwa, NU
selalu menampilkan wajah yang berganda, penuh opsional. Memaparkan dua
laternatif secara jujur, misalnya, mampu membuat kedewasaan berfikir bagi umat
Isalam dalam memandang sesuatu.
Hal ini sesuai dengan kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat
yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauly17
prosedur prosedur
jawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab18
(teks fikih
“jadi” yang sudah tertuang dalam kitab fikih) dan di sana terdapat hanya satu
15
Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,
1418H/1997M), 64-66
16 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, 118.
17 Bermazhab secara qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lungkup
mazhab tertentu. Sementara bermazhab secara manhaji diartikan sebagai cara bermazhab yang
dilakukan dengan mengikuti jalan pikiran atau kaidah penetapan hukum yang telah ditulis oleh
Imam Mazhab. Lihat Ah }ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), 846 18
Dalam tradisi keilmuan di lingkungan NU, kriteria kitab yang dipergunakan sebagai rujukan
dalam fatwa/ pengambilan keputusan masalah keagamaan adalah kitab-kitab yang beraliran 4
mazhab (Shafi’i, Hanafi, Ma >liki dan H }ambali) sebagaimana yang telah diputuskan dalam Munas
Alim Ulama di Sukorejo Situbondo, 21 Desember 1983. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,
Ah }ka>m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas,
Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya: Khalista, 2011), 386. Lihat juga,
Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 108; Al-
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
124
qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat
tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana
terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqri >r jama>i19 untuk memilih
satu qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilh }a>q al-masa>il bi naz }a>iriha >20 secara
jama>’i (kolektif) oleh para ahlinya.
4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan ilh}a>q, maka bisa dilakukan istinba >t } jama>’i21 dengan prosedur
bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Seperti pertimbangan pendapat
dalam fatwa tersebut dari pendapat Al-Bakr Muh }ammad Shat }a al-Dimayat } dalam
kitab I’a>nat al-T}a>libi >n yang berbunyi:
فعا للمقرض غير نحو رهن ومن ربا الفضل ربا القرض وهو كل قرض جر ن
22لكن ال يحرم عندنا إال إذا اشترط في عقده
“Dan diantara riba al-fad }l adalah riba al-qard }, takni semua pinjaman yang
memberikan manfaat kepada si peminjam, kecuali seperti gadai. Menurut kita,
Bakri Muh }ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid I, (Beirut: Da >r al-Fikr, 1418H/1997M),
17; “Alawy al-Saqqa >f, al-Fawa >id al-Makkiyyah dalam Majmu >’ah Sab’at al-Kutub al-Mufi>dah
(Mesir: Mus }t}afa > al-H }alaby, t.th), 50 19
Taqri >r Jama>i merupakan salah satu istilah dalam bBahtsul Masa >il NU yang diartikan sebagai
upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.
Ah }ka>m al-Fuqaha>’,470. 20
Ilh }a >q al-masa>il bi naz }a >iriha >, adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum
dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan
dengan pendapat yang sudah “jadi”). Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah }ka >m al-Fuqaha>’, 470. 21
Istinba>t jama’i adalah usaha kolektif untuk mengeluarkan hukum shara’ dari dalilnya dengan
menggunakan qawa >id us}u >liyyah dan qawa>id fiqhiyyah. Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU,
Ah }ka>m al-Fuqaha>’ 470. 22
Al-Bakri Muh}ammad Shat }a > al-Dimyat }i, I’a >nat al-T}a >libi >n Jilid III, (Beirut: Da >r al-Fikr,
1418H/1997M), 26
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
125
yang demikian itu tidak haram kecuali disyaratkan dalam akad hutang-piutang
tadi.
Di dalam pendapat tersebut, dengan beberapa redaksi pendapat ulama lain
yang semakna, langsung memunculkan sebuah hadis yang bertema sentral
mengenai adanya suatu manfaat/keuntungan yang timbul dari hutang-piutang itu
tidak diperkenankan.
Isi fatwa NU yang memang sedari awal juga mengetengahkan sebuah hadis
terasa ada upaya setengah hati dalam memberikan sebuah pertimbangan hukum.
Upaya ini tak lain setelah keputusan memberikan legitimasi berupa hadis:
كل قرض جر منفعة فهو ربا23
“Setiap utang yang menarik keuntungan adalah riba”
NU tidak melanjutkan pada tataran kajian dalam ragam sharh } yang beragam
tersebut. NU juga tidak sampai pada upaya untuk melacak validitas hadis yang
digunakan dalam isi fatwa itu sendiri, atau berada di dalam rangkaian pernyataan
ulama yang dikutip.
Padahal secara validitas hadis, al-S }an’a>ny berpendapat bahwa terdapat mata
rantai sanad yang terputus yakni Sawwar bin Mus }’ab al-Hamda>ny, seorang
muadhdhin buta, yang statusnya tidak dianggap, ditinggalkan periwayatan
hadisnya. Sehingga, sebagaimana penulis Sharh } Bulu >gh al-Mara >m, hadis ini
statusnya lemah, tidak bia dijadikan dalil hukum (al-ih}tija>j), bahkan kendati pun
hadis ini memiliki beberapa hadis pendukung namun berstatus lemah (dalam
23
Al-Baihaqy, al-Sunan al-Kubra >, Juz 5, 349
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
126
periwayatan al-Baihaqy) karena terdapat Fud }a>lah bin ‘Ubayd, serta hadis
pendukung yang hanya sampai derajat mauquf.24
Agaknya, hal ini tidak terlalu dianggap serius, karena kultur NU,
dibandingkan dengan MUI, sebenarnya bersifat tidak lebih seletif. Hanya saja, di
kultur NU, hadis yang dijadikan legitimasi sering kali digunakan tanpa melalui
proses validasi terlebih dahulu bahkan tanpa takhri >j sederhana untuk memastikan
letak hadis tersebut dalam sebaran kitab hadis.
Begitu pun dengan beberapa pernyataan sesuatu yang dianggap sebagai
mewakili segenap komunitas sha>fi’iyyah. Dalam fatwa tersebut tertulis:
ود واإلخبارات واإلنشاءات مذهب الشافعي أن مجرد الكتابة في سائر العق
25ليس بحجة شرعية
“Menurut madzhab Syafi’i, bahwa sekedar tulisan di semua transaksi,
beberapa pemberitahuan dan pengajuan bukan hujjah shar’i (dalil syara’).
Hal ini berarti, dengan memngacu pada pendapat di atas, fatwa NU hendak
menggeneralisir bahwa madhhab sha>fii tidak menganggap tulisan sebagai dalil
shara’. Padahal, kontroversi dalam tubuh Sha >fi’iyyah masih terus terjadi terkait
posisi tulisan yang bisa disamakan dengan ucapan atau pun tidak.
Salah satu tokoh ulama Sha >fi’iiyyah memberikan sebuah uraian yang panjang
setelah penelaan diskursus fikih, bliau menyimpulkan bahwa:
24
Muh}ammad bin Isma >i>l al-Ami>r al-Kah}la >ny al-S}an’a >ny, Subulu hadis al-Salam, Juz 3 (t.t :
Maktabah Mus}t}afa al-Ba >by al-H }alaby, 1379 H/1960 M), 53 25
Abdurrah }ma >n Ba >’Alawy, Bughyat al-Mustarshidi >n (Pekalongan, Shirkah Nur Asia, t.th), 186
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
127
ابة ليست صريحا في الكلم ، وال يجري وذهب جمهور الفقهاء إلى أن الكت
ريح من الكلم 26عليها حكم الص
“Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa tulisan bukanlah ucapan yang
jelas dan tidak bisa berlaku hukum ucapan yang jelas”
Akan tetapi, al-Ma>wardi justru memiliki kecenderungan memilih sikap
bahwa tulisan, dalam banyak hal yang berkaitan dengan hukum semisal talak,
sama dengan ungkapan. Bahwa dalam urf pun diketahuai, tulisan bisa menjadi
badal (pengganti) dari ucapan, dan akan berlaku hukum yang sama dengan yang
terjadi dalam masalah ucapan27
Oleh karena itu, sebuah kajian yang mendalam terkait dengan sikap yang
lebih tepat mengenai hal ini pada gilirannya nanti mampu menjadi alternatif
pengetahuan yang bisa menjaidkan fatwa berubah. Perubahan pengetahuan yang
terjadi mampu menjadikan fatwa yang telah ditetapkan mendapatkan koreksi yang
lebih baik untuk tahun-tahun berikutnya.
Beberapa tahun kemudian, fatwa di atas dikuatkan kembali dengan putusan
mengenai “Koperasi Simpan Pinjam” dalam putusan Munas Alim Ulama di
Cilacap, 15-18 November 198728
.
Sementara fatwa NU yang memiliki karakter persoalan yang sama diajukan
dengan menggunakan istilah yang lazim dipakai sebagai “uang administrasi”
26
Abu> al-H }asan al-Ma >wardi, al-H }a >wy al-Kabi >r , Juz 10 (Beirut : Da >r al-Fikr, t.th), 396 27
Ibid. 28
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, 423
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
128
dalam istilah bunga yang muncul akibat transaksi hutang piutang di Koperasi
simpan pinjam29
Secara sederhana, koperasi simpan pinjam memiliki modal usaha yang
dikumpulkan dari anggota dari uang “simpanan pokok” dan “simpanan wajib”
para anggota koperasi. Gabungan modal tersebut, sebagian dipinjamkan kepada
orang yang memerlukan pinjaman. Modal yang dikumpulkan secara bersama-
sama tersebut tidak dapat memenuhi kriteria “syirkah”, sebagaimana yang
disebutkan dalam literatur fikih karena:
a. Dalam syirkah, pengumpulan modal itu disyaratkan harus ada lafal yang
dapat dirasakan sebagai pemberian izin dalam perdagangan. Sedangkan dalam
Kosipa, pengumpulan modal tersebut dimaksudkan untuk dipinjamkan.
b. Dalam syirkah, modal harus sudah terkumpul sebelum dilakukan syirkah.
Sedangkan dalam Kosipa biasanya modal baru dikumpulkan sesudah disetujui
oleh rapat anggota.
Oleh karena itu, akad pengumpulan modal dalam Koperasi Simpan Pinjam
tersebut tidak sah menurut ketentuan syara’.
Sementara uang administrasi yang dipungut oleh koperasi dari setiap anggota
yang meminjam uang hanyalah istilah lain dari bunga, karena:
a. Uang administrasi tersebut merupakan keharusan yang harus dipenuhi oleh
setiap orang yang meminjam uang. Sehingga pada hakikatnya tidak berbeda
dengan manfaat yang ditarik oleh orang yang meminjamkan uang, dalam hal ini
Kosipa dari para peminjam uang.
29
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 422-423
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
129
b. Besarnya uang adminitrasi yang dipungut oleh Kosipa dari para peminjam
uang telah ditentukan sesuai dengan besarnya uang yang dipinjam, yakni sekian
persen dari jumlah pinjaman sesuai dengan keputusan rapat anggota
Jadi tanpa memperhatikan apakah syarat pemberian uang administrasi sudah
berlangsung, sebelum atau sesduah akad, atau apakah syarat tersebut berbentuk
ucapan atau tulisan, yang kesemuanya itu memerlukan pembahasan tersendiri,
maka pungutan uang administrasi tersebut dapat dimaksudkan adalam makna
hadis Nabi:
كل قرض جر منفعة فهو ربا30
“Semua peminjaman yang dapat menyebabkan adanya suatu manfaat, maka
hukumnya riba”
Riba dapat diartikan secara sederhana sebagai secara tambahan (al-ziya >dah).
Hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Quran, dengan pemakaian diksi riba, dalam
surat al-H}ajj ayat 5 dan al-Nah}l ayat 92, di mana riba diartikan sebagai tambahan,
tinggi (al-‘uluww), dan peningkatan (al-irtifa >’).31 Sementara dalam istilah, riba
diartikan sebagai :
32زيادة أحد البدلين المتجانسين من غير أن يقابل هذه الزيادة عوض
“ Sebuah tambahan atas 2 hal sejenis yang dipertukarkan (barter) dengan
tanpa adanya konpensasi ganti (‘iwad }) atas penambahan ini”.
30
Al-Baihaqy, al-Sunan al-Kubra, Juz 5, 349 31
Abd al-Rah}ma >n al-Ja >zi>ry, Al-Fiqh ‘Ala> al-Madha>hib al-Arba’ah (Lebanon: Da >r al-Kutub al-
Ilmiyah, 2006), 493. 32
Ibid
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
130
Dengan menggunakan redaksi yang lain, Al-Jurja>ny mengartikan riba secara
istilah sebagai berikut:
33لعاقدينفضل خال عن عوض شرط آلحد ا
"Kelebihan dengan tanpa ganti yang dipersyaratkan pada salah satu dari dua
orang yang melakukan akad”.
Penjelasan mengenai riba dalam sisi istilah di atas, sepintas memang belum
terlalu menyentuh sisi similaritasnya dengan bunga bank, kecuali pada sisi adanya
sebuah penambahan dan ketiadaan konpensasi atas penambahan ini. Namun,
untuk memperjelas definisi istilah tersebut, kiranya kita perlu merunut rekam
sejarah di mana ayat mengenai riba muncul.
Oleh karena akad pengumpulan modal dalam Kosipa (Koperasi Simpan
Pinjam) tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan syirkah, maka masalah zakatnya
dikembalikan kepada masing-masing anggota Kosipa tersebut. Oleh karena
Kosipa ini telah dilaksanakan di seluruh tanah air di Indonesia, maka seluruh
musyawirin telah bersepakat untuk memberikan jalan keluar yang dapat
dibenarkan oleh syara’ sebagai berikut:
a. Kosipa harus diganti bentuknya dengan bentuk “koperasi biasa” yang
dibenarkan oleh syara’
Uang yang telah menjadi milik koperasi dapat dipinjamkan kepada para
anggota tanpa dikenakan uang administrasi dari prosentase jumlah uang yang
dipinjam.
33
Abi> al-H }asan ‘Aly> bin Muh}ammad bin ‘Aly al-H }usayny al-Jurja >ny al-H }anafy, al-Ta’ri >fa >t, Cet.III (Lebanon: Da >r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), 112
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
131
Akan tetapi, agaknya sisi tekstual pada kedua fatwa tersebut justru semakin
diperlunak dengan adanya Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung Pada
Tanggal 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 Masalah bank Islam di mana
para musyawirin berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional
sebagai berikut34
:
a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara
mutlak, sehingga hukumnya haram.
b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan antara bunga bank dengan riba,
sehingga hukumnya boleh.
c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak identik dengan
haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasai antara lain sebagai berikut:
a. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya
haram
b. Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut
sementara sebelum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c. Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut
sebab adanya kebutuhan yang kuat (h}a>jah ra >jih}ah})
Pendapat kedua juga dengan beberapa versi antara lain sebagai berikut:
a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram. Dan bunga
produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
34
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 473
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
132
b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba,
hukumnya halal.
c. Bunga yang diterima dari deposito yang ditaruh di bank hukumnya boleh
d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya
terlebih dahulu secara umum.
Guru Besar Fikih UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Zahro sendiri
cenderung mengelompokkan pendapat mengenai status hukum bunga bank
menjadi empat35
:
1. Pendapat yang mengharamkan bunga bank
Dalil pengharaman bunga bank, karena disamakan dengan riba, antara lain
menggunkan Surat Ali Imran Ayat 130, Surat al-Baqarah 278-279, serta hadis
Nabi riwayat Jabir RA yang melaknat pemakan riba, pemberi makan dengan harta
riba, penulis, kedua saksinya, seraya mengatakan mereka semua sama.
Ulasan Abd. al-Rah }ma>n al-Jazi>ry (w.1360 H) yang menegaskan bahwa ayat –
ayat Quran Surat al-Baqarah 276-279 secara pasti telah menunjukkan keharaman
Riba Nasiah36
, dan termasuk dari Riba Nasi’ah adalah apa yang familiar di zaman
kita berupa pembayaran atas sesuatu penundaan berupa fa>idah sanawiyyah (bunga
tahunan) atau shahriyah (bunga bulanan) yang dihitung dengan persentase (‘ala
h}isa >b al-mi’ah)37
.
35
Ahmad Zahro, Fiqh Kontemporer ; Menjawab 111 Masalah.( Jombang: Unipdu Press, 2012),
228-232 36
Nasi’ah sendiri diartikan sebagai ta’khi >r (Pengakhiran, atau penundaan). Secara istilah, Nasia’ah
diartikan sebagai adanya tambahan pembayaran hutang sebagai konpensasi atas penundaan
penyerahan (ta’khi >r al-daf’). Abd al-Rah}ma >n al-Ja >zi>ry, Al-Fiqh ‘Ala> al-Madha>hib al-Arba’ah,
493. Lihat pula Muh }ammad ‘Aly al-S}a >bu>ny, Rawa >i’ al-Baya>n Tafsi >r A >ya >t al-Ah}ka >m min al-
Qur>an, juz I (Jakarta: Da >r al-Kutub al-Isla >miyah, 2001), 307. 37
Abd al-Rah}ma >n al-Ja >zi>ry, Al-Fiqh ‘Ala > al-Madha>hib al-Arba’ah, 494.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
133
Senada dengan ungkapan di atas, tokoh penafsir Quran ternama ‘Muh }ammad
Aly al-S }a>bu>ny menjelaskan kesimpulannya mengenai Riba Nasi’ah sebagai
bagian dari riba yang diharamkan di dalam Hukum Islam dengan berkata bahwa
jenis riba ini sekarang dipraktekkan di dalam bank-bank (al-bunu>k) dan lembaga
keuangan yang lain (al-mas}a>rif al-ma >liyah) dengan penambahan berupa
prosentase tertentu (nisbah mu’ayyanah fi al-mi’ah) seperi 5 persen atau 10
persen dan diserahkan kepada perusahaan atau individu38
.
Kedua pendapat tersebut berada pada arus di mana konsekuensi logis atas
similaritas yang terdapat pada bunga bank dan riba. Kendati merupakan pendapat
individu dalam karya mereka masing-masing, namun pamor kapabilitas mereka
dalam menganalisis geliat ekonomi kekinian yang dianggap melanggar peraturan
dalam Hukum Islam, menjadikan pendapat ini mendapatkan tempat dan memiliki
efek di dalam masyarakat muslim.
2. Pendapat yang mengharamkan bunga bank dengan pengecualian
Sebagaian ahli fikih memang mengharamkan bunga bank, tetapi
mengecualikannya jika dalam keadaan darurat, artinya bunga bank menjadi boleh
dan halal jika amat terpaksa. Untuk mendasari pendapat ini, mereka
mempergunakan kaidah usul fikih antara lain:
الضرورة تبيح المحظورات
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة أو خاصة
“Kebutuhan itu menempati tempatnya keadaan darurat, baik secara umum
maupun khusus”.
38
Muh}ammad ‘Aly al-S}a >bu>ny, Rawa >i’ al-Baya >n, 307.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
134
3. Pendapat yang menghalalkan bungan bank dengan pengecualian
Dasar pendapat ini didapati dari pemahaman kontekstual mengenai ayat dan
surat yang sama.
a. Al-T}abary menyatakan, berdasarkan riwayat yang diterima dari Muja >hid
dan ‘At }a>’, bahwa Surat Ali Imran ayat 130 ini turun berkaitan dengan praktik riba
pada masa Jahiliyah yang berdasarkan riwayat Ibnu Zaid, riba zaman Jahiliyah
terjadi dalam pelipatgandaan yang luar biasa. Misalnya, jika hewan yang diutang
itu berumur satu tahun, kemudian jatuh tempo dan belum dapat melunasinya,
maka pembayaran ditangguhkan dengan kewajiban membayar dengan binatang
yang berumur 2 tahun, dan begitu seterusnya sampai lunas. Begitu juga dengan
hutang selain binatang. Jika telah jatuh tempo dan belum bisa mengembalikan,
hutang yang semula 100 harus dikembalikan dua ratus dan begitu seterusnya
sampai seluruh hutang terlunasi.
Demikian ini dapat memberikan pemahaman bahwa yang dilarang adalah
segala macam dan bentuk riba yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah, dan hal
ini berarti pula tidak semua nilai tambah dari pokok hutang yang saat ini lebih
dikenal dengan istilah “bunga” sama dengan riba yang dilarang.
b. Muhammad Rasyid Rid }a> berpendapat bahwa riba yang dilarang dalam
Surat al-Baqarah ayat 278 adalah riba yang berlipat ganda (ad}’a>fan mud }a>’afan)
sebagaimana yang dimaksud da;am Surat Ali Imra >n ayat 130, sesuai dengan sebab
dan kondisi diturunkannya ayat tersebut. Kendatipun demikian, illat riba
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
135
dihukumi haram adalah karena unsur penganiayaan (al-z }ulm)39
, sebagaimana
dinyatakan dalam Surat al-Baqarah 279.
4. Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank adalah Syubhat40
.
Karena samarnya pengertian, tipisnya perbedaan dan adanya kemiripan
ataupun persamaan antara bunga bank dengan riba, maka sulit untuk memastikan
bahwa bunga bank itu halal/haram. Sesuatu yang berada di wilayah antara halal
dan haram adalah syubhat (tidak jelas halal-haramnya).
Menurut Ahmad Zahro, ada ungkapan penting yang dapat dijadikan kata
kunci untuk menemukan pijakan hukum dan maqa>s }id shari>’ah, yaitu penghujung
ayat 279 dari Surat al-Baqarah yang berbunyi “La > taz }limu>n wa la > tuz}lamu>n”
(kalian tidak merugikan dan juga tidak dirugikan). Jadi dengan demikian, tujuan
pokok Syariat Islam melarang riba adalah agar tidak ada pihak mana pun yang
dirugikan.
Jika ini benar, maka riba yang diharamkan adlah riba yang berdimensi
merugikan orang lain, sedang yang tidak merugikan, atau malah menguntungkan
banyak pihak, tentu harus berada di luar hukum haram tersebut.
Adanya keragaman dalam pendapat mengenai bunga bank dan sisi
similaritasnya dengan riba, membuktikan tentang paradigma kebenaran dalam
39
Lafal al-z}ulm setidaknya memiliki tiga arti. Pertama, meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya
(wad }’u al-shay’ fi> ghayr maud }i’ihi), Kedua, suatu ungkapan untuk mengatakan mengenai kondisi
melewati batas dari kebenaran menuju kebatilan (ibarat ‘an al-ta’addy ‘an al-h}aqq ila > al-ba>t}il wa
hua al-ju>r), Ketiga, membuang kepemilikan orang lain dan melampaui batas (al-tas }arruf fi > milk
al-ghayr wa muja>wazat al-h }add. Abi> al-H }asan ‘Aly> bin Muh }ammad bin ‘Aly al-H }usayny al-
Jurja>ny al-H }anafy, al-Ta’ri >fa >t, Cet.III (Lebanon: Da >r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009), 147 40
Shubhat adalah yang tidak diyakini keharaman dan kehalalannya. Abi > al-H }asan ‘Aly> bin
Muh }ammad bin ‘Aly al-H }usayny al-Jurja >ny al-H }anafy, al-Ta’ri >fa >t, Cet.III (Lebanon: Da >r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2009), 127
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
136
hukum Islam. Bahwa, melansir Ahmad Zahro41
, paradigma kebenaran dalam
Hukum Islam merupakan paradigma berganda, tidak kebenaran tunggal. Oleh
karena itu, hasil ijtihad dari seseorang yang memiliki kapabilitas keilmuan dalam
berijtihad dianggap benar, meskipun antar hasil satu ijtihad dengan ijtihad lainnya
berlawanan.
Quraish Shihab yang mengetengahkan pembahasan mengenai makna riba
perlu memperhatikan tiga kata kunci yang terekam dalam al-Quran. Ketiga kata
kunci tersebut adalah ad}’a>fan mud}a>’afah (berlipat ganda), wa dharu > ma> baqiya
min al-riba > (tinggalkanlah sisa-sisa dari riba), serta wa lakum ru’u >su amwa >likum,
lataz }lamu>na wa la> tuz }lamu>n (bagimu adalah pokok hartamu (modalmu), kamu
tidak menganiaya dan tidak dianiaya)42
. Uraian ketiga kata kunci tersebut sebagai
berikut:
a. Riba berlipat ganda.
Penjelasan mengenai ad}’a>fan mud}a>’afah (berlipat ganda) ditemui dalam surat
al-Imra>n ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda”43
41
Ahmad Zahro, “Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam”, Buletin Dakwah Jumat Al-Akbar.
Edisi 152 01 Jumadil Awal 1431 H/16 April 2010. 42
Qurasih Shihab, Membumikan al-Quran, Cet. XIX (Bandung: Mizan, 1999), 258-268. 43
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 66
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
137
Penjelasan al-Quran mengenai praktek riba di masa Jahiliyah memberikan
sebuah informasi yang tidak bisa ditinggalkan. Bahwa dalam masa itu,
sebagaimana didukung oleh rekam sejarah penurunan ayat tersebut, riba
dipraktekkan hingga berlipat-lipat kali dari jumlah uang pokok yang dipinjamkan.
Sebagaimana pernah disinggung oleh penafsir Ibnu Kathi >r dalam tafsirnya
mengenai ayat tersebut,
Di antara tokoh yang memperhatikan klausul ad}’afan mud}a>’afan sebagai
syarat riba yang dilarang adalah Muh }ammad Sai >d al-Ashmawi. Beliau
berpandangan bahwa teks ad}’afan mud}a>’afan perlu dipandang sebagai bentuk
eksploitasi yang di luar batas. Sehingga jika kita memperhatikan sistem bunga
pada bank konvensional, pembungaan dibatasi oleh Undang-Undang. Ini berarti,
selama masih dalam batas bunga yang ditentukan oleh UU, pembungaan tidak
mengandung unsur ad}’afan mud}a>’afan. Sehingga pembungaan dalam bank
konvensional diperbolehkan, karena ketiadaan unsur riba berupa ad}’afan
mud}a>’afan.44
Tokoh lain yang menjelaskan tentang unsur ad}’afan mud}a>’afan adalah
Muhammad Shahru >r. Pemikir Islam dari Syiria ini berargumentasi bahwa sistem
perbankan Islam diperbolehkan memungut bunga selama tidak sampai pada batas
maksimalnya sehingga dikatagorikan sebagai ad}’afan mud}a>’afan. Menurut
pencetus teori limits (al-h}udu>d) ini, batas maksimal bunga dalam pinjaman adalah
44
Muh}ammad Sai >d al-Ashmawi, Penerapan Syariat Islam Dalam Undang-Undang; Belajar dari
Pengalaman Mesir, pent. Saiful Ibad (Jakarta : Referensi, 2012), 108-112. Sebagai perbandingan,
Ulama yang mendukung atas format peraturan positif negara sebagai syariat Islam ini,
memberikan penjelasan bahwa dalam UU Sipil Mesir pasal 227 terdapat keterangan bahwa
penambahan atas pokok hutang sebagai imbalan penundaan pembayaran tidak boleh lebih dari 7
persen. Muh}ammad Sai >d al-Ashmawi, Penerapan Syariat Islam, 99.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
138
ketika bunga melebihi dua kali lipat (atau sudah 100 persen) dari modal
pinjaman45
.
Secara ringkas, bisa disimpulkan bahwa interpretasi mengenai riba, yang di
dalamnya mengandung unsur ad}’afan mud}a >’afan, tidak tunggal. Beberapa ulama
justru memandang bahwa unsur ad}’afan mud }a>’afan inilah yang menjadi titik
sentral di mana bunga bank bisa disamakan dengan riba. Artinya, jika, unsur
ad}’afan mud}a>’afan tidak ditemukan dalam praktek pembungaan dalam sistem
perbankan, maka bunga bank tidak bisa dipersamakan dengan riba. Hal ini akan
menjadi konsekuensi logis dengan lebel bunga bank tidak menjadi haram karena
ketiadaan unsur ad}’afan mud}a>’afan, sebagaimana unsur ini dilekatkan dengan
riba.
b. Meninggalkan sisa-sisa dari riba.
Teks larangan mengenai peninggalan sisa-sisa riba ditemukan dalam surat al-
Baqarah ayat 278:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.46
Pada poin ini, Quraish shihab sebenarnya hendak memaparkan dua arus
interpretasi yang terjadi akibat teks tersebut, di mana larangan tersebut berkisar
pada peninggalan bentuk-bentuk riba jahiliyah saja, atau pada setiap tambahan
45
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Pent.
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta, elSAQ Press, 2007), 34 dan 55. Lihat
pula dalam Muhammad Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia,
(Yogyakarta: Biruni Press, 2008), 107-108. 46
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
139
pada pinjaman yang terjadi hingga saat ini47
. Jikalau larangan ini dikaitkan pada
peninggalan bentuk riba yang terjadi pada masa jahiliyah, di mana unsur ad}’afan
mud}a>’afan menjadi karakter praktek hutang yang melekat, maka bunga bank yang
terjadi sekarang bisa dibenarkan asal tidak sampai mengandung unsur ad}’afan
mud}a>’afan. Sementara jika larangan ini diterapkan secara umum pada bentuk
pinjaman yang terdapat tambahannya, maka praktek pembungaan saat ini tidak
bisa dibenarkan.
Tokoh yang mendukung pemaknaan yang pertama dapat ditinjau kembali
pada pembahasan mengenai unsur riba berupa ad}’a>fan mud}a>afan di atas,
sementara salah satu penafsir yang mendukung pemaknaan kedua adalah al-T}abari
saat dia mengatakan :
48اتركوا طلب ما بقي لكم من فضل على رءوس أموالكم التي كانت لكم قبل أن تربوا عليها
“Tinggalkan permintaan/tuntutan untuk membayar penambahan (fad }l) atas
uang pokok kalian yang asal sebelum kalian menambahkannya”.
c. Bagimu adalah pokok hartamu, kalian tidak menganiaya juga tidak
dianiaya.
Poin mengenai ini ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 279 yakni:
47
Qurasih Shihab, Membumikan al-Quran, 258-268. Lihat pula dalam kesimpulan Muhammad
Ghafur W, Memahami Bunga dan Riba Ala Muslim Indonesia, (Yogyakarta: Biruni Press, 2008),
115-116. 48
Muh}ammad bin Jari >r bin Yazi >d bin Kathi >r bin Gha >lin al-Amaly, Ja >mi’ al-Baya >n, juz 6, 22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
140
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”49
Adanya ayat mengenai “Bagimu adalah pokok hartamu” meniscayakan akan
sikap seorang yang memberikan hutang (kreditur) sebaiknya hanya mencukupkan
untuk mengambil uang pokok modal yang dipinjamkan saja, tanpa perlu meminta
tambahan atas pengembalian pinjaman. Akan tetapi ini tidak berarti kreditur tidak
diperbolehkan menerima tambahan atas pengembalian pinjaman, sebab dalam
hadis, Rasulullah bersabda:
50خيار الناس أحسنهم قضاء فإن
“Sebaik-baik kalian adalah yang sebaik-baiknya membayar hutang).
Pada poin ini, menarik untuk diketengahkan bahwa klausul “kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya” memberikan sebuah keterangan logis bahwa
dalam hutang piutang, pemberian pinjaman dan pengembalian pinjaman harsu
didasari dengan peniadaan unsur kedzaliman. Ini berarti, praktek hutang-piutang
yang didasari atas dasar saling rela (tara >d}in). Karena hal ini pula, menurut Syaikh
49
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 47 50
Ma >lik bin Ans Abu > Abdillah al-As}bah}y, Muwat }t}a’ al-Ima>m Ma >lik, Juz III (Damaskus: Da >r al-
Qalam, 1991), 254.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
141
al-Azhar Muhammad Sayyid T }ant }awy, aspek penetapan bunga bank di depan
diperbolehkan dalam syariat Islam sepanjang kedua belah pihak menerima51
.
Penulis beranggapan bahwa diskursus mengenai hukum bunga bank tidak
akan mencapai titik kesepakatan, kesecuali bersepakat untuk berbeda. Masing-
masing poros mengutarakan argumentasi yang bisa diterima. Namun, penulis
beranggapan bahwa bunga bank bisa disamakan dengan riba, dalam hal adanya
unsur penambahan, namun tidak sampai dihukumi haram dikarenakan ketiadaan
unsur-unsur lain yang melekat dalam pembahasan mengenai riba.
Oleh karena itu membaca fatwa NU, terlebih setelah fatwa Munas Alim
Ulama NU di Bandar Lampung Pada Tanggal 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari
1992 masalah bank Islam52
, Fatwa hasil Muktamar NU ke-14 di Magelang 1 Juli
1939 M mengenai permasalahan praktik peminjaman uang dari Koperasi53
dan
fatwa NU komisi fatwa NU mengenai keberadaan “Koperasi Simpan Pinjam”
dalam putusan Munas Alim Ulama di Cilacap, 15-18 November 198754
telah bisa
dibaca dengan teori fleksibilitas fatwa .
51
Muhammad Sayyid T }ant}awy, Ijtihad dalam Teologi Keselarasan, Peny: Nadim Zuhdi dan
Mieke Sulistyorini ( Surabaya: JP Books, 2005), xi-xii. Penjelasan T }ant}awy ini disertai dengan
adanya unsur kemaslahatan umum dalam pengembalian bunga dengan intervensi pemerintah
mengenai penentuan prosentase bunga bank. Hal ini dimaksudkan agar unsur “berlipat-ganda”
yang mengesampingkan kemaslahatan dan memunculkan kedzaliman tidak sampai terjadi. 52
Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ah}ka >m al-Fuqaha>’, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M), (Surabaya:
Khalista, 2011), 473 53
Tim Lajnah Ta’li >f wa al-Nashr (LTN) PBNU, Ahkamul Fuqoha; Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010),
(Surabaya: Khalista, 2011), 242. 54
Ibid., 436