BAB IV

17
BAB IV PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai kasus post operasi katarak yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dengan menggunakan pendekatan, latar belakang,etiologi,tanda dan gejala, pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang dilakukan secara bertahap. Di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan laporan yang berasal dari Rumah Sakit pada tahun 2004, kasus tertinggi Katarak adalah di Kota Pekalongan yaitu sebesar 2.579 kasus (26,18%) disbanding dengan jumlah keseluruhan kasus Katarak di kabupaten / kota lain di Jawa Tengah. Sedangkan apabila dibandingkan jumlah kasus keseluruhan PTM lain di Kota Pekalongan terdapat proporsi sebesar 18,25%. Sedangkan kasus tertinggi kedua adalah Kabupaten Banyumas yaitu 1.580 kasus (16,04%) dan apabila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan PTM lain di Kabupaten Banyumas

description

wqe

Transcript of BAB IV

Page 1: BAB IV

BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai kasus post operasi

katarak yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dengan menggunakan

pendekatan, latar belakang,etiologi,tanda dan gejala, pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang dilakukan secara

bertahap.

Di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan laporan yang berasal dari

Rumah Sakit pada tahun 2004, kasus tertinggi Katarak adalah di Kota

Pekalongan yaitu sebesar 2.579 kasus (26,18%) disbanding dengan jumlah

keseluruhan kasus Katarak di kabupaten / kota lain di Jawa Tengah.

Sedangkan apabila dibandingkan jumlah kasus keseluruhan PTM lain di Kota

Pekalongan terdapat proporsi sebesar 18,25%. Sedangkan kasus tertinggi

kedua adalah Kabupaten Banyumas yaitu 1.580 kasus (16,04%) dan apabila

dibandingkan dengan jumlah keseluruhan PTM lain di Kabupaten Banyumas

adalah sebesar 8,29%. Banyak kabupaten / kota lain yang tidak tercatat atau

tidak tampak ada kasusnya. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu tidak

melaporkan dan memang tidak ada kasusnya. Namun kabupaten / mana yang

tidak ada kasus, belum bias di identifikasi karena kesalahan prosedur

pengiriman dan kesalahan teknis lainnya. Sementara rata-rata kasus ini di

Jawa Tengah dalams etahun adalah 281,42 kasus.( dinkesjatengprov, 2004 )

Page 2: BAB IV

A. Pengkajian

Menurut Vaughan (2000), teknik pembedahan untuk menangani kasus

katarak yang bertujuan memperbaiki ketajaman penglihatan adalah ekstraksi

katarak ekstrakapsular, ekstraksi katarak intrakapsular, fakofragmentasi, dan

fakoemulsifikasi. Operasi katarak ekstrakapsular merupakan jenis

pembedahan yang paling sering dilakukan karena menyisakan kapsul

posterior sehingga ahli bedah dapat memasukkan lensa intraokuler kedalam

kamera posterior. Pada Tn. T yang mengalami katarak senilis matur

dilakukan operasi pada mata kiri, tanggal 02 Mei 2013 jam 09.00 wib dengan

teknik pembedahan ekstraksi katarak ekstrakapsular dan pemasangan

intraokuler lensa dengan menggunakan anestesi lokal.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL PADA Tn. T

Pada kasus Tn. T dengan post operasi katarak, penulis memunculkan 3

masalah keperawatan yaitu:

a. Gangguan rasa nyaman: nyeri (akut) berhubungan dengan luka post

operasi.

Gangguan rasa nyaman nyeri adalah keadaan individu

mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespon terhadap

data rangsangan yang berbahaya. (Carpenito, 2006)

Pada Tn. T muncul diagnosa nyeri karena karena adanya luka

insisi pembedahan. Nyeri bersifat akut karena terjadi dalam batasan

waktu 1 detik sampai kurang dari 6 bulan. Dalam pengkajian yang

Page 3: BAB IV

dilakukan oleh penulis, didapatkan data subjektif: klien mengeluh nyeri

seperti teriris-iris pada mata kiri, skala nyeri 7, terasa hilang- timbul

selama sekitar 1 menit, bertambah bila digunakan beraktivitas. Adapun

data objektif yang penulis dapatkan adalah: luka post operasi hari

pertama dengan balutan dan terpasang DOP pada mata kiri, terdapat

jahitan pada kornea, TD 170/100 mmHg, nadi 86 kali/ menit,

pernapasan 20 kali/ menit, suhu 36, 40 C.

Diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman: nyeri (akut)

berhubungan dengan luka operasi, karena dengan adanya tindakan

pembedahan menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan yang

bersangkutan. Diagnosa ini penulis tempatkan pada prioritas pertama

karena nyeri merupakan rasa ketidaknyamanan, dimana kebutuhan rasa

nyaman merupakan kebutuhan fisiologis manusia yang kedua menurut

hierarki Maslow dan berdasarkan keluhan utama yang dirasakan klien.

Dalam diagnosa ini, diambil batasan waktu 3x24 jam karena nyeri

merupakan suatu mekanisme protektif dan kompensasi bagi tubuh

dengan adanya jaringan yang rusak karena aspek pembedahan, sehingga

perlu waktu dalam mengatasi/ menghilangkan nyeri yang diatasi sesuai

dengan skala nyeri yang dirasakan.

Intervensi yang disusun berdasarkan Doenges (2004) adalah:

catat keluhan nyeri termasuk tempat, intensitas, dan skalanya untuk

membantu mendiagnosa adanya komplikasi post operasi. Selidiki nyeri

akut yang bersifat tajam dan mendadak, kegelisahan, disorientasi,

Page 4: BAB IV

gangguan pembalutan dan adanya perdarahan untuk mengobservasi

adanya ketidaknyamanan dan nyeri akut yang tajam menunjukkan

adanya peningkatan tekanan intraokular atau adanya perdarahan.

Ajarkan teknik manajemen nyeri melalui relaksasi dan napas dalam

untuk meningkatkan relaksasi dan koping klien serta mengurangi

menghindari adanya tekanan intraokuler. Berikan analgesik sesuai resep

dokter, awasi keefektifannya dan beri tahu dokter bila nyeri menetap

setelah pemberian pengobatan untuk mengawasi adanya komplikasi

pasca operasi yang memerlukan penanganan segera.

Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. T selama 3 hari

untuk mengatasi nyeri yang dialami hanya dilakukan lima intervensi

dari sepuluh intervensi yaitu: mengkaji karakteristik nyeri,

menginstruksikan pada klien agar segera melaporkan kepada perawat

jika nyeri tiba-tiba muncul, menganjurkan pada klien agar beristirahat

dengan tenang,memberikan informasi kepada klien tentang penyebab

nyeri,memberikan obat oral asam mefenamat 500 mg. Sedangkan lima

intervensi yang tidak dilakukan itu karena pasien menjalani operasi

pada mata, jadi implementasi yang dilakukan hanya sebatas untuk

memaksimalkan kondisi mata yang berfokus pada pandangannya agar

kembali normal.

Evaluasi secara keseluruhan setelah melakukan tindakan

keperawatan selama 3 hari tersebut, didapatkan data subjektif berupa

Tn. T mengatakan sudah tidak merasa nyeri lagi. Sedangkan data

Page 5: BAB IV

objektifnya didapatkan data klien rileks, tidak ada tanda- tanda

komplikasi pada mata yang dioperasi, Tekanan darah 150/90 mmHg,

nadi 86 kali/ menit, pernapasan 20 kali/ menit, suhu 36, 60 C. Dengan

demikian, didapatkan analisa bahwa masalah keperawatan klien telah

teratasi sebagian karena nyeri klien telah hilang. Rencana tindak lanjut

pada Tn. T sebagai discharge planning adalah menganjurkan Tn. T

untuk teratur minum obat dan melakukan perawatan mata dengan baik

dirumah.

b. Gangguan sensori persepsi penglihatan berhubungan dengan perubahan

status organ indera

Persepsi adalah proses penyatuan, pengklasifikasian, perbedaan,

dan pemberian arti terhadap stimulus yang dibawa melalui reseptor

sensori (Long C.Barbara, 2000). Situasi dan kondisi yang bekerja sama

dengan sensasi/ perasaan seseorang antara lain penglihatan,

pendengaran, penciuman, raba, rasa, atau gerak, atau satu kemampuan

interpretasi dapat menyebabkan perubahan persepsi sensori. Perubahan

dalam satu persepsi sensori mempengaruhi satu kemampuan

menginterpretasikan satu lingkungan. Gangguan sensori perseptual

menggambarkan keadaan sesorang dengan perubahan persepsi sensori

dan kognitif yang dipengaruhi oleh faktor- faktor fisiologis seperti

nyeri, kurang tidur. perubahan organ sensori, atau rangsang lingkungan

yang berlebihan atau kurang bermakna (Perry&Potter, 2006). Batasan

karakteristik mayor (harus terdapat): tidak akuratnya interpretasi

Page 6: BAB IV

terhadap stimulus lingkungan dan/ atau perubahan negatif dalam jumlah

atau pola dari stimulus yang masuk. Batasan karakteristik minor

(mungkin terdapat): disorientasi waktu dan tempat, disorientasi orang,

perubahan kemampuan dalam pemecahan masalah, perubahan pola

komunikasi dan perilaku, gelisah, peka rangsang (Carpenito, 2000)

Pada kasus post operasi katarak pada Tn. T muncul diagnosis

gangguan sensori persepsi: penglihatan dikarenakan adanya gangguan

pada mata, yaitu ketajaman penglihatan yang menurun pada mata kiri

dan adanya balutan pada mata kiri yang telah dioperasi sehingga

menimbulkan menimbulkan gangguan dalam penglihatan. Dari hasil

pengkajian pada Tn.T, didapatkan data subjektif: klien mengatakan

penglihatannya masih belum membaik, masih tampak kabur dan terasa

mengganjal pada sisi mata yang dioperasi. Sedangkan data objektifnya

adalah mata kiri klien tertutup balutan post operasi, bersih, dan

terpasang DOP.

Penulis menempatkan gangguan sensori persepsi penglihatan

sebagai diagnosa kedua berdasarkan keluhan yang dirasakan Tn.T

setelah keluhan utama yaitu nyeri, sehingga merupakan masalah aktual

yang memerlukan intervensi untuk mempercepat penyembuhan klien

dan meningkatkan ketajaman penglihatan pada Tn.T. Batasan waktu

yang diambil penulis dalam membuat intervensi diagnosa ini adalah

3x24 jam, karena masalah gangguan sensori persepsi penglihatan

Page 7: BAB IV

memerlukan waktu yang cukup lama sampai ketajaman penglihatan

klien membaik.

Rencana yang diterapkan untuk mengatasi adanya gangguan

sensori persepsi: penglihatan pada Tn.T berdasarkan Doenges (2004)

adalah tentukan ketajaman penglihatan untuk mengobservasi

keefektifan tindakan medis yang telah dilakukan. Orientasikan kembali

klien terhadap lingkungan, staf, dan orang lain disekitarnya untuk

memberikan kenyamanan dan menurunkan kecemasan klien. Observasi

adanya tanda disorientasi dan pertahankan pagar tempat tidur sampai

klien benar- benar sembuh dari anestesi karena keterbatasan penglihatan

menyebabkan bingung pada orang tua dan meningkatkan resiko jatuh.

Lakukan pendekatan pada klien dari sisi yang tidak diopersi, bicara dan

menyentuh sering untuk memberikan rangsangan sensorik yang tepat

dan menurunkan kebingungan klien. Perhatikan penglihatan suram/

kabur dan adanya iritasi mata yang dapat terjadi bila menggunakan obat

tetes mata. Ingatkan klien untuk menggunakan kacamata katarak untuk

memperbesar ±25% penglihatan perifer yang hilang sampai klien

mampu mengkompensasinya.

Implementasi yang dilakukan adalah selama 3 hari sesuai

dengan intervensi yang sebelumnya sudah dibuat, yaitu: memberikan

lingkungan yang tenang, mempertahankan pagar tempat tidur,

mengobservasi adanya tanda dan gejala diorientasi sambil mengukur

Page 8: BAB IV

vital sign klien dan mengorientasikan kembali klien terhadap struktur

ruangan, memeriksa kembali ketajaman penglihatan klien.

Evaluasi akhir secara menyeluruh setelah pelaksanaan semua

tindakan didapatkan respon perkembangan pasien secara subyektif,

klien mengatakan matanya terasa membaik. Tekanan darah 150/90

mmHg, nadi 86 kali/ menit, pernapasan 20 kali/ menit, suhu 36, 40 C.

Sedangkan respon secara objektif didapatkan mata kiri klien tertutup

balutan post operasi, bersih dan terpasang DOP.

Dari respon tersebut, penulis menyimpulkan masalah teratasi

karena terjadi peningkatan ketajaman penglihatan pada Tn. T dari 2/60

menjadi 20/30. Rencana tindak lanjut pada Tn.T adalah memotivasi

klien untuk melakukan perawatan mata dengan baik dirumah untuk

menghindari komplikasi pasca operasi dan kontrol rutin ke Rumah

Sakit sesuai waktu yang telah ditentukan.

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entry sekunder akibat

luka pembedahan

Infeksi adalah kondisi dimana individu terkena agen oportunis

atau patogenis (virus, jamur, bakteri, protozoa, atau parasit lain) dari

berbagai sumber (Engram, 2000). Resiko terhadap infeksi adalah suatu

kondisi dimana individu beresiko terkena agen oportunis atau patogenis

dari berbagai sumber dari dalam maupun dari luar tubuhnya. Faktor-

faktor yang berhubungan dengan diagnosa resiko tinggi infeksi adalah

berbagai masalah kesehatan dan situasi yang dapat menimbulkan suatu

Page 9: BAB IV

kondisi yang rentan yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi.

Salah satu faktor yang umum adalah tindakan medis yang berhubungan

dengan sisi masuknya organisme sekunder terhadap: pembedahan,

dialisis, nutriri parenteral total, adanya jalur invasif, intubasi, dan

makanan enteral (Carpenito. 2000). Kriteria pengkajian fokus menurut

Carpenito (2000), meliputi data subjektif yaitu mengkaji faktor- faktor

yang berhubungan. Apakah orang mengeluh: demam secara terus

menerus atau intermitten, infeksi sebelumnya (saluran perkemihan,

pneumonia, luka operasi, kulit dan jaringan, saluran reproduksi, saluran

pernapasan bawah, darah, tulang dan sendi, sistem kardiovaskuler,

sistem saraf pusat, mata, telinga, hidung, tenggorok, mulut, atau

sistemik), dan adanya nyeri atau pembengkakan, baik secara umum

maupun terlokalisasi. Data objjektif yang dapat dikaji meliputi faktor-

faktor yang berhubungan, antara lain: adanya luka (pembedahan,

terbakar, tindakan invasif, atau terluka sendiri), suhu, dan status nutrisi.

Pada Tn. T muncul diagnosa resiko tinggi infeksi berhubungan

dengan adanya luka pembedahan. Pembedahan dapat menimbulkan

suatu kondisi yang rentan menyebabkan terjadiya infeksi akibat

masuknya agen patogenis melalui luka pembedahan. Pengkajian post

operasi yang dilakukan pada Tn. T didapatkan data subjektif, klien

mengeluh nyeri pada mata kiri yang telah dioperasi. Untuk data

objektifnya didapatkan data: klien post operasi ekstraksi katarak

ekstrakapsular dan pemasangan lensa intraokular hari pertama, terdapat

Page 10: BAB IV

luka operasi dengan balutan dan terpasang DOP pada mata kiri, luka

bersih dan tidak ada pus maupun rembesan darah.

Penulis menempatkan diagnosa resiko tinggi infeksi

berhubungan dengan port de entry mikroorganisme pada prioritas ke

tiga karena pada Tn. T belum tampak adanya tanda- tanda infeksi. Pada

semua tindakan pembedahan, diperlukan adanya intervensi untuk

mencegah terjadinya infeksi akibat luka pembedahan tersebut, karena

bila tidak, maka akan menimbulkan masalah baru pada klien pasca

operasi sehingga memperpanjang masa penyembuhan. Batasan waktu

yang penulis rencanakan adalah selama dua hari karena diperlukan

waktu yang cukup untuk mencegah dan mengobservasi terjadinya

infeksi pasca pembedahan.

Adapun rencana keperawatan yang disusun oleh penulis

berdasarkan Doenges (2004), adalah: observasi adanya infeksi karena

infeksi memerlukan upaya intervensi, ganti balutan dengan teknik

aseptik untuk menurunkan resiko penyebaran infeksi dan kontaminasi

silang, berikan pendidikan kesehatan pada klien tentang perawatan mata

post operasi katarak untuk menambah pengetahuan klien sehingga

meningkatkan kepatuhan klien dan mempercepat penyebuhan, berikan

obat sesuai indikasi untuk terapi pencegah infeksi.

Tindakan yang dilakukan oleh penulis untuk diagnosa resiko

tinggi infeksi selama tiga hari perawatan, meliputi: mengobservasi

tanda infeksi pada mata yang telah dioperasi, mengganti balutan mata

Page 11: BAB IV

dan memberikan obat tetes mata Timolol maleate 1 tetes pada kedua

mata klien, dan memberikan pendkes tentang perawatan post operasi

katarak.

Evaluasi hasil dari semua tindakan keperawatan yang telah

penulis lakukan pada Tn. T selama 3 hari perawatan adalah secara

objektif, yaitu mata klien bebas tanda infeksi, tertutup balutan bersih,

terpasang DOP, dan tidak ada oedem pada daerah mata yang dioperasi.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa masalah klien telah

teratasi sebagian dan rencana tindak lanjutnya adalah discharge

planning ketika klien diperbolehkan untuk pulang.