BAB IV budilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain... · 2013. 1. 16. · 51 BAB IV...
Transcript of BAB IV budilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain... · 2013. 1. 16. · 51 BAB IV...
51
BAB IV
DATA DAN ANALISISNYA 4.1 Data
4.1.1 Sekilas Biografi Kartini Kartono
Kartini Kartono, lahir tahun 1929 di Surabaya. Dosen tetap di
IKIP Bandung. Sejak 1970 merangkap mengajar psikologi umum dan
psikologi sosial di FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Kesarjanaannya di bidang pedagogik/ilmu pendidikan, alumnus IKIP
Sanata Dharma Yogyakarta 1964. Tahun 1972 melengkapi studi post
graduate, 18 bulan di Vrije Universiteit Amsterdam, untuk: Politjeke
ontwikkeling, veranderings-processen, modemisatie en sociologie van
Indonesia. Di samping itu menamatkan studi untuk sociaal werk/sociale
arbeid selama 2 tahun pada Protestantse Voortgezette Opleiding voor
Sociale Arbeid di Amsterdam, Nederland (dipl. M.Sw.). Meraih gelar
Doktor, April 1986. Karier kerjanya dimulai sebagai: kopral TNI-AD
(Brigade XVII TRIP Jawa Timur 1945-1950), wartawan surat kabar
harian Suara Rakyat Surabaya; guru SD, SMP, SMA, SMEA,
SGKP/SKKA. Juga menulis macam-macam artikel di surat kabar dan
majalah. Buku-buku lain, antara lain:
(http://media.isnet.bng/Kartini//Kartono,psikolog//.html, diakses tanggal
30 Juli 2006)
1. Psikologi Abnormal.
2. Teori Kepribadian dan Mental Higyene.
52
3. Pengantar Metodologi Riset Sosial.
4. Psikologi Umum.
5. Psikologi Wanita I : Gadis dan Wanita Dewasa.
6. Psikologi Wanita II: Ibu dan Nenek.
7. Teori Kepribadian.
8. Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri.
9. Pemimpin dan Kepemimpinan.
10. Patologi sosial 1.
11. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja.
12. Patologi Sosial 3, Gangiguan-gangguan Kejiwaan,
13. Psikologi Abnormal.
14. Hygiene Mental.
15. Pendidikan Politik.
16. Mencari Jati Diri Lewat pendidikan.
17. Wawasan Politik Mengenai Pendidikan.
4.1.2 Pemikiran Kartini Kartono dalam Menanggulangi Anak Mental
Disorder
Menurut Kartono (1981: 257), mental disorder adalah bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental), disebabkan
oleh ketegangan-ketegangan, dan ketidak mampuan menyesuaikan diri
sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu
bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan. Gangguan mental itu bisa
53
bersifat sederhana atau ringan dan dapat juga bersifat berat dalam
mengatasinya. Gangguan ini merupakan totalitas kesatuan daripada
ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan
dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainnya. Seperti halnya rasa-
rasa pusing, sesak nafas, demam panas dan nyeri-nyeri pada lambung
sebagai pertanda permulaan daripada penyakit jasmaniah, maka mental
disorder itu mempunyai pertanda awal, antara lain ialah: cemas-cemas,
ketakutan, pahit hati, dengki, apatis, cemburu, dengki, iri, marah-marah
secara eksplosif, a-sosial, ketegangan khronis, dan lain-lain.
Ringkasnya, kekacauan/kekalutan mental merupakan bentuk gangguan
pada ketenangan batin dan harmoni dari struktur kepribadian.
Dalam hubungannya dengan anak mental disorder, Menurut
Kartono (1989: 67 – 68), anak mempunyai bakat-bakat dan kemampuan
yang khas atau unik, sehingga dia merupakan subyek yang aktif
dinamis. Kemampuan kodrati antara lain berupa: kemampuan berjalan,
kesanggupan berbicara, tinggi inteligensi, kehidupan perasaan, dan lain-
lain. Untuk mengembangkan semua kemampuan kodrati anak itu perlu
diciptakan faktor eksternal atau lingkungan sosial yang menguntungkan.
Agar semua bakat dan potensi tadi bisa berkembang secara wajar.
Perkembangan yang sehat akan berlangsung, bila fasilitas
lingkungan_sosial dan potensialitas anak kedua-duanya bisa jalan sejajar
dan keduanya bisa mendorong berfungsinya secara harmonis segenap
kemampuan anak. Sebaliknya perkembangan pribadi anak akan menjadi
54
anak mental disorder, apabila kondisi sosial dan pengaruh lingkungan
justru merusak dan melumpuhkan potensi psikofisis anak. Pengaruh
paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama ialah:
pengaruh orang tuanya. Terutama sekali akan tampak menonjol
pengaruh tersebut, jika terjadi salah-bentuk pada diri anak, disebabkan
oleh salah-tindak dari orang tuanya.
Menurut Kartono (1989: 68), bahwa semua sumber pangkal dari
tindak a-susila, gangguan mental, serta konflik-konflik batin pada diri
anak ialah: perbuatan orang tua yang buruk dan keliru Terutama sekali
pribadi ibu yang melakukan tindak salah-asuh, salah-didik, salah-rawat,
salah-tuntun, salah-ucap, salah-tindak dan lain-lain. Sehingga ibu-ibu
tersebut memprodusir anak-anak yang abnormal, a-sosial, a-susila,
patologis, dan terganggu mentalnya. Abnormalitas tingkah laku, konflik-
konflik batin dan gangguan mental tersebut antara lain berupa: gejala
kolik (kekejangan pada usus), tics atau gerak-gerak facial yang
stereotipis, ngompol, mengisap ibu jari, sukar makan, selalu rewel saja,
sukar tidur, dan lain-lain. Pada umumnya, awal kesulitan tadi
disebabkan oleh kesalahan ibu-ibu dalam mengasuh anaknya. Maka para
teoretisi yang menganut paham environmentalism berpendapat, sebagai
berikut: "Tidak ada anak yang sukar; yang ada ialah orang tua yang
sukar dan jahat. Problem children are the product of problem parents."
Menurut Kartono (1989: 67 – 68) beberapa kejadian yang bisa
menyebabkan anak mental disorder demikian banyak, namun di
55
antaranya yang paling dominan yaitu:
Pertama, cacat jasmaniah. Anak-anak yang mempunyai cacat
badaniah, biasanya merasa sangat malu dan menderita batinnya. Hari
depannya serasa gelap tanpa harapan, dan dirinya selalu dibayangi oleh
ketakutan dan kebimbangan, sehingga kondisi sistem syarafnya selalu
dalam keadaan tegang dan kacau. Timbullah rasa rendah diri, tidak
mempunyai kepercayaan diri, dan merasa diri selalu gagal dalam setiap
usaha. Tidak pernah timbul kebenaran untuk berbuat sesuatu atau
berprestasi. Semangatnya jadi patah, ambisinya musnah, dan selalu saja
dibayangi kecemasan yang irrasional. Perasaan-perasaan negatif/minder
ini, seringkali mengganggu mentalnya, dan kacau kehidupan
emosionalnya. Dia menjadi mudah tersinggung, cepat bersedih hati dan
berputus asa, mudah merasa terhina. Sering merasa berdosa, karena
mengira kecacatannya adalah produk dosa orang tuanya, atau sebagai
akibat karma diri sendiri. Ada kalanya mereka mengadakan kompensasi
dengan tingkah laku menyimpang, misalnya, menjadi sangat agresif,
sadistis, kriminil dan psikopatis (Kartono, 1983: 284).
Kedua, Lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan.
Seringkali kondisi sekolah itu kurang menguntungkan bagi
perkembangan jasmani dan rokhani anak. Berjam-jam lamanya anak-
anak harus melakukan "aktivitas tertekan/regimented activities"; tidak
boleh omong, dilarang bergerak, harus bersikap manis, duduk baik-baik,
sehingga sangat menjemukan dan menjengkelkan hati anak. Kurikulum
56
selalu saja berganti-ganti, sehingga mengacaukan pikiran anak-anak dan
para guru. Materi pelajaran banyak yang dangkal, atau terlalu sulit, dan
tidak menarik minat anak, karena tidak sesuai dengan aspirasi anak,
tidak ada kaitannya dengan kebutuhan dan perkembangan anak.
Bangunan sekolahan tidak memenuhi persyaratan (gelap, kurang
ventilasi, kurang penerangan, tidak memiliki kamar mandi dan WC,
bangku-bangku tidak sesuai dengan kondisi jasmani anak, dan lain-lain);
juga tidak memiliki halaman yang cukup luas untuk bermain. Sedang
waktu istirahat sangat pendek, sehingga anak-anak kurang cukup
beristirahat. Ditambah lagi dengan sikap guru-guru yang kurang/tidak
simpatik dan tidak memiliki dedikasi pada profesi, karena ada
komersialisasi jabatan guru/dosen. Ditaksir kurang lebih 15 - 40 % dari
guru-guru dan dosen-dosen kita adalah neurotis, dengan temperamen
antara lain : apatis, tidak simpatik, eksplosif kurang kontrol-diri, ironis,
sarkatis; sering dipenuhi rasa-rasa tegang dan nerveus. Banyak pula
yang kurang sabar, bersikap tidak bersahabat, suka menghukum,
menyulitkan murid-murid dan mahasiswanya dalam ulangan/ujian dan
tentamen-tentamen (sebab sewaktu dia masih bersekolah dan berkuliah,
sulit lulusnya). Kurang memiliki sense of humor. Suaranya
menjemukan, atau tinggi melengking menyengat telinga; ada yang
selalu bergumam di mulut, kurang jelas ucapan-ucapannya. Emosinya
kurang stabil; suka merendahkan martabat murid dan mahasiswanya
(Kartono, 1983: 285).
57
Kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan ini mengakibatkan
anak-anak tidak suka bersekolah. Mereka tidak menyenangi iklim
sekolahan dan guru-gurunya. Mereka merasa "dipaksa" tinggal dalam
kelas, dan jadi tidak betah di sekolah. Namun demikian mereka tidak
berani melarikan diri atau "kabur", karena takut akan kemarahan orang
tua dan guru-guru. Banyak dari mereka merasa sedih hati, sabar, jadi
acuh tak acuh, tidak bersemangat belajarnya; bahkan menderita batin
berada di sekolahan. Lalu timbullah banyak gangguan emosional dan
konflik batin; juga konflik dengan guru-guru dan kawan sekolah. Semua
ini condong menjerumuskan anak-anak pada kekalutan mental (mental
disorder) (Kartono, 1983: 286).
Ketiga, Pengaruh buruk dari orang tua. Menurut (Kartono, 1983:
286), keluarga memberikan pengaruh yang menentukan kepada
pembentukan watak dan kepribadian anak. Keluarga sebagai unit sosial
terkecil memberikan stempel dan fundasi dasar bagi perkembangan
anak. Maka tingkah laku neurotis, psikotis atau kriminil dari orang tua
atau salah seorang anggota keluarga, bisa memberikan impact/pengaruh
yang menular dan infeksius pada lingkungannya; khususnya kepada
anak-anak. Anak Seorang pencuri biasanya juga akan menjadi pencuri;
anak ibu yang neurotis pada galibnya juga menjadi neurotis. Hal ini
disebabkan karena kebiasaan mencuri dan pola tingkah laku hari-harian
yang neurotis itu mengkondisionir tingkah laku dan sikap hidup para
anggota keluarga lainnya. Jadi, ada proses pengkondisian.
58
Pola neurotis atau patologis penuh konflik batin dari ayah atau
ibu, secara langsung atau tidak langsung mencetak pola yang sama pada
para anggota keluarga lainnya. Dengan begitu tingkah laku orang tua itu
mudah sekali menular kepada anak-anak. Juga temperamen ayah yang
meledak-ledak, sombong disertai tindakan sewenang-wenang, suka
mabuk-mabukan, tidak hanya mentransmisikan/mengoperkan watak
buruk tersebut kepada anak-anaknya saja, akan tetapi juga menimbulkan
iklim demoralisasi psikis kepada lingkungannya, dan banyak
memunculkan konflik-konflik batin pada diri anak-anak.
Kelompok anak-anak brandalan atau gang-gang, biasanya terdiri
atas anak-anak puber dan adolesens yang tengah kebingungan, dan
banyak mengalami konflik batin serius yang tidak bisa dipecahkan,
ataupun terdiri atas anak-anak muda yang ditolak oleh orang tuanya.
Mereka merasa tersudut, dilupakan dan dikucilkan oleh masyarakat.
Kemudian anak-anak muda yang sengsara batinnya itu menggerombol
menjadi satu, mencari support moril dari teman-teman senasib. Dengan
mengelompok itu mereka merasa lebih kuat, lebih aman dan bisa
terhibur. Lalu, mulailah mereka merancang kegiatan-kegiatan yang
"hebat-hebat"; misalnya dengan jalan menteror lingkungannya dengan
macam-macam tindak kriminil dan immoril, atau tindak kegila-gilaan
yang bersumber pada jiwa yang kalut kacau-balau.
Menurut Kartono (1989: 251-252) untuk menanggulangi anak
mental disorder dapat dilakukan saran-saran bimbingan sebagai berikut:
59
1. Berusaha Memahami Pribadi Individu
Setiap pribadi itu merupakan satu unitas multipleks (totalitas
kepribadian yang rumit dan kompleks) dengan ciri-cirinya yang khas.
Masing-masing mempunyai cara dan respons yang khusus dalam
menanggapi kesulitan hidupnya. Karena itu selidikilah pribadi itu,
apakah ia tergolong pada tipe genius yang unik, seorang biasa/normal,
atau seorang yang lemah ingatan (feeble minded), atau seseorang yang
aneh/eksentrik. Berusaha menemukan motif-motif perjuangannya,
prinsip-prinsip hidupnya, cita-citanya atau idealnya serta tujuan
hidupnya. Berusaha mendapatkan kepercayaan daripadanya, agar dia
mau menceritakan segala kesulitan dan tekanan batinnya. Diusahakan
memahami dan ikut merasakan segala ekspresinya (ada proses "tepa
salira").
2. Mencari Sebab-Sebab Timbulnya Frustrasi
Dalam hal ini harus berusaha menyingkirkan sebab-sebab
frustrasinya. Jika seorang dewasa atau seorang anak mempunyai cacat
jasmaniah, hendaknya diusahakan menolong apa yang menjadi
hambatannya dengan jalan menumbuhkan rasa harga-diri dan rasa
kepercayaan-diri yang besar, bahwa cacatnya itu adalah merupakan
ujian hidup serta bentuk "rakhmat" Ilahi yang tetap harus
dimanfaatkannya.
Menurut Kartono (1989: 251-252) dalam menanggapi
kesulitan hidupnya, sejak masa kanak-kanak orang harus diajar dan
60
dibiasakan pada saat-saat tertentu bisa menjadi pengalah yang baik. Ia
harus mau atau harus bersedia mengalah, sabar dan tekun berusaha,
tanpa disertai konflik-konflik batin serius pada dirinya. Janganlah
terlalu berat menanggapi satu kegagalan atau satu kekalahan.
Hindarilah konflik-konflik dan krisis-krisis yang tidak perlu dalam
kekalahan tadi, dan belajar menghadapi setiap situasi dengan kepala
dingin, serta penuh kepercayaan-diri. Kekalahan dan kegagalan dalam
salah satu bidang dapat dikompensasikan dengan satu sukses di bidang
lain. Tetapi supaya dihilangkan tendensi kompensasi yang sifatnya
negatif.
Janganlah menganggap sesuatu hambatan sebagai satu
kegagalan, jika memang telah berusaha sekuat mungkin. Sebab dia
hanya bisa bertanggung jawab atas segala sikap dan perbuatan dari
usahanya. Kesulitan dan kegagalan harus lebih menantangnya untuk
mengatasinya, dengan jalan menghimpun segenap tenaga cadangan
dan kekuatan.
Sejak masa mudanya anak harus diajar untuk bisa menerima
kegagalan dan macam-macam kritik dengan dada yang lebar, dan
harus memiliki humor. Sebab: kritik ini ikut membangun dirinya dan
mengembangkan kepribadiannya. Kritik itu sangat berguna untuk
mengadakan analisa-diri, introspeksi serta penilaian diri sendiri.
Dengan memiliki rasa humor, manusia mengerti akan adanya kontras-
kontras di dalam hidup manusia dan memahami keterbatasan sifat-
61
sifat manusia serta dunia. Sebab manusia dan dunia itu penuh dengan
kekurangan-.kekurangan; karena itu selalu disertai ciri-ciri
kelemahannya.
3. Memberikan cinta-kasih dan simpati secukupnya
Menurut Kartono (1989: 255-256), penyelidikan dan
eksperimen-eksperimen menunjukkan, bahwa anak-anak yang sejak
masa bayinya memperoleh pemeliharaan berdasarkan cinta-kasih dan
kemesraan, akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih stabil daripada
anak-anak yang tidak pernah merasakan cinta-kasih. Pada umumnya
anak-anak yang tidak pernah merasakan cinta-kasih itu menjadi steril
kehidupan afeksinya (kehidupan emosionalnya), dan menjadi a-sosial.
Hanya dengan dasar cinta kasih, dengan dasar pengertian dan
saling mempercayai, pengobatan terhadap mental disorder dapat
dilaksanakan. Sebab, simpati dan kasih sayang itu memberikan
kedamaian dan jaminan rasa aman; serta menumbuhkan harapan-
harapan baru dan rasa sukses dalam setiap situasi hidup yang sulit.
Sebab itu, cinta kasih menjadi syarat mutlak dalam kehidupan
manusia, dan menjadi nilai terapeutis yang mujarab bagi
penyembuhan macam-macam gangguan mental.
4. Menanamkan Nilai-Nilai Spiritual Dan Nilai-Nilai Keagamaan
Menurut Kartono (1989: 257-258), nilai-nilai spiritual dan
renungan-renungan tentang hakekat agama itu bisa memberikan
kekuatan dan stabilitas bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai metafisik
62
ini memberikan kemampuan/daya tahan dan tambahan energi untuk
berjuang. Sebab, semua nilai religius, spiritual dan transendental yang
tersembunyi di balik atau jauh di belakang nilai-nilai materiil dan
bersifat indrawi itu, pada hakekatnya selalu mengandung unsur
kebenaran serta keabadian sepanjang masa, dan selalu akan
memberikan kebahagiaan sejati kepada segenap ummat manusia.
Barang siapa bisa menangkap arti serta nilai-nilai abadi
tersebut, pasti akan menemukan kebahagiaan dan ketenangan sejati.
Imannya akan teguh dan kokoh sentausa menghadapi segala cobaan
hidup serta macam-macam kesulitan, karena ia bersikap pasrah
menerima segala ujian hidup, dan penuh keyakinan pada kekuasaan
Ilahi. la akan selalu tawakal kepada kehendak Yang Maha Kuasa;
memberikan amal dan beribadah setiap hari, sehingga sehatlah lahir
dan batinnya.
4.1.3 Biografi Zakiah Daradjat
Zakiah Daradjat, lahir di kota Marapak, IV Angkat, Bukit
Tinggi, 6 November 1929. Zakiah adalah guru besar psikoterapi
(perawatan jiwa), ahli pendidikan Islam, dan intelektual muslim yang
banyak memperhatikan problematik remaja muslim Indonesia
(Ensiklopedi Islam, 1994: 285). Pendidikan dasarnya dimulai di Bukit
Tinggi (tahun 1942) sambil belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Selanjutnya
ia meneruskan studinya langsung ke kuliah Al Muballighat (setingkat
63
SLTA) di Padang Panjang pada tahun 1947. SLTPnya ia peroleh secara
extranei pada tahun 1947. Selanjutnya Zakiah Daradjat meneruskan
studinya di sekolah asisten apoteker (SAA), namun baru duduk ditingkat
II, studinya terhenti karena terjadi clash kedua antara Indonesia dan
Belanda, yang menyebabkan Zakiah Daradjat bersama keluarganya
mengungsi ke pedalaman.
Di saat keadaan mulai aman, Zakiah Daradjat ingin kembali
meneruskan studinya di SAA, namun tidak terlaksana mengingat
sekolah ini telah bubar sehingga ia masuk SMA/B. Pada masa
selanjunya ia melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) sekaligus di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (1955).
Ketika memasuki tingkat III Zakiah Daradjat dihadapkan pada
dua pilihan, meneruskan di PTAIN atau di Fakultas UII. Ternyata ia
memilih untuk melanjutkan studi di PTAIN. Ketika sedang mengikuti
perkuliahan ditingkat IV ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama
untuk melanjutkan studi di Cairo. Ia memperoleh gelar Magister pada
bulan oktober 1959 dengan tesis The Problems of Adolescence in
Indonesia (Ensiklopedi Islam, 1994: 285). Tesis ini banyak mendapat
sambutan dari kalangan terpelajar dan masyarakat umum di Cairo waktu
itu, sehingga menjadi bahan berita para wartawan.
Zakiah Daradjat sendiri tidak tahu dengan pasti, apa yang
menyebabkan masyarakat terpelajar Mesir tertarik akan isi tesisnya itu
64
entah karena masalah yang dibahas itu cukup menarik bagi mereka,
karena menyangkut Indonesia, yang belum banyak mereka kenal,
sedangkan hubungan antara Republik Persatuan Arab dan Republik
Indonesia waktu itu sedang erat-eratnya. Akan tetapi, besar
kemungkinan yang menyebabkan mereka tertarik, adalah objek masalah
yang diteliti dan diuraikan oleh tesis itu, yaitu problema remaja, yang
bagi orang Mesir waktu itu, memang sedang menjadi perhatian karena
mereka sedang giat membangun, bahkan dalam kabinet Mesir waktu itu
ada Kementrian Pemuda (Daradjat, 974: 5)
Masa-masa berikutnya adalah masa berkiprah baginya baik
dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang birokrasi yang masih
berkaitan dengan pendidikan sambil belajar di Program doktoral, ia
sempat menjadi kapala Jurusan Bahasa Indonesia pada Higher School
for Language di Cairo (1960-1963).
Setelah kembali ke Tanah Air ia diangkat menjadi pegawai
tinggi Departemen Agama pusat pada Biro Perguruan Tinggi Agama
(1964-1967). Selanjutnya ia menjadi Kepala Dinas Penelitian dan
Kurikulum pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen
Agama RI (1972-1977).
Pada masa berikutnya ia menjadi Direktur Pembinaan Perguruan
Tinggi Agam Islam Departemen Agama RI (1977-1984) dan anggota
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 1983-1988. Tahun 1984-1992 ia
dipercayakan menjadi dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan
65
Kalijaga Yogyakarta. Di samping itu, ia menjadi pengajar tidak tetap di
berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta dan Yogyakarta. Ia aktif mengikuti
seminar-seminar di dalam dan luar negeri serta akif pula menjadi
penceramah dalam berbagai lembaga pendidikan, di RRI, dan di TVRI.
Ia juga menjadi ketua umum Perhimpunan Wanita Alumni Timur
Tengah (1993-1998).
Sebagai pendidik dan ahli psikologi Islam, ia mempunyai
sejumlah pemikiran dan ide menyangkut masalah remaja di Indonesia.
Bahkan, ia tercatat sebagai guru besar yang paling banyak
memperhatikan problematik remaja, sehingga sebagian besar karyanya
mengetengahkan obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia.
4.1.4 Pemikiran Zakiah Daradjat dalam Menanggulangi Anak Mental
Disorder
Menurut Daradjat, dari hasil berbagai penyelidikan dapat
dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan
yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun
dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau
rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang
gejalanya terlihat pada fisik. Keabnormalan itu dapat dibagi atas dua
golongan yaitu: gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).
Keabnormalan itu terlihat dalam bermacam-macam gejala, yang
terpenting di antaranya adalah : ketegangan batin (tension), rasa putus
66
asa dan murung, gelisah/cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(compulsive), hysteria, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan,
takut, pikiran-pikiran buruk dan sebagainya. Semuanya itu mengganggu
ketenangan hidup, misalnya tidak bisa tidur nyenyak, tidak ada nafsu
makan dan sebagainya (Daradjat, 1988: 33).
Menurut Daradjat (1979: 17), di antara gangguan perasaan yang
disebabkan oleh karena terganggunya kesehatan mental ialah rasa cemas
(gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah, ragu (bimbang)
dan sebagainya. Macam-macam perasaan itu mungkin satu saja yang
menonjol, mungkin pula dua atau lebih, bahkan mungkin semuanya
terdapat pada satu orang. Menurut Daradjat (1979: 64), Dari penelitian
yang dilakukan terhadap pasien-pasien yang menderita mental disorder
terbukti bahwa sebab-sebab yang terbesar terletak pada pendidikan
yang diterimanya, terutama pendidikan waktu kecil yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kurangnya didikan agama. Orang yang tidak pernah
mendapatkan didikan agama, tidak akan mengetahui nilai moral yang
dipatuhinya dengan sukarela dan mungkin tidak akan merasakan apa
pentingnya mematuhi nilai moral yang pasti dan dipatuhi dengan ikhlas.
Apabila agama masuk dalam pembinaan pribadi seseorang, maka
dengan sendirinya segala sikap, tindakan, perbuatan dan perkataannya
akan dikendalikan oleh pribadi, yang terbina di dalamnya nilai agama,
yang akan jadi pengendali bagi moralnya. Inilah di antara sebab yang
67
menurut Daradjat (1979: 113) sangat penting namun kurang disadari
orang. Bahkan banyak di antara orang yang tergolong pendidik atau
bertugas sebagai pendidik, sampai sekarang masih belum menyadari
kesalahan yang telah terjadi di bidang pendidikan itu.
Menurut Daradjat (1979: 113) yang dimaksud dengan didikan
agama bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan
teratur oleh guru sekolah saja akan tetapi yang terpenting adalah
penanaman jiwa agama yang dimulai dari rumah tangga, sejak si anak
masih kecil dengan jalan membiasakan si anak kepada sifat-sifat dan
kebiasaan yang baik, misalnya dibiasakan menghargai hak milik orang
lain, dibiasakan berkata terus terang, benar dan jujur, diajari mengatasi
kesukaran-kesukaran yang ringan dengan tenang, diperlakukan adil dan
baik, diajari suka menolong, mau memaafkan kesalahan orang,
ditanamkan rasa kasih sayang sesama saudara dan sebagainya.
Alangkah banyaknya orang tua yang tidak mengerti bagaimana
cara mendidik anak. Mereka menyangka bahwa apabila telah
memberikan makanan, pakaian dan perawatan kesehatan yang cukup
kepada si anak, telah selesai tugas mereka. Ada pula yang menyangka
bahwa mendidik anak dengan keras, akan menjadikannya orang baik
dan sebagainya. Maka banyak di antara anak-anak yang menjadi nakal
itu akibat dari perasaan tertekan karena tidak adanya perhatian orang tua
maka kenakalannya dalam hal ini, sebagai hukuman atau pembalasan
bagi orang tua.
68
Kedua, kurang teraturnya pengisian waktu. Sesungguhnya cara
pengisian waktu terluang itu sangat mempengaruhi kelakuan anak-anak.
Dalam masyarakat kita, jarang diperhatikan cara yang baik untuk
mengisi waktu terluang bagi anak-anak. Bahkan ada orang tua yang
menyangka, bahwa seluruh waktu si anak harus diisi dengan sesuatu
yang bermanfaat misalnya belajar, atau kerja menolong orang tua dan
sebagainya.
Ketiga, tidak stabilnya keadaan sosial, politik dan ekonomi.
Apabila keadaan sosial politik dan ekonomi tidak stabil, maka
masyarakat akan goncang dan gelisah, karena setiap perubahan yang
terjadi menimbulkan kegoncangan. Karena itu orang harus berusaha
menyesuaikan diri terhadap perubahan itu supaya perasaannya bisa
stabil dan tenang kembali.
Keempat, kemerosotan moral dan mental orang dewasa. Orang
mengatakan, semakin maju pengetahuan, semakin kurang pegangan
orang pada agama, dan semakin mudahlah orang melakukan hal-hal
yang dulu berat sekali bagi mereka untuk mencobanya. Dalam
masyarakat sekuler yang begitu mengagungkan pengetahuan, kaidah-
kaidah moral dan tata susila yang dipegang teguh oleh orang-orang
dahulu menjadi tinggal di belakang. Dalam masyarakat yang telah jauh
dari agama, kemerosotan moral orang dewasa sudah lumrah terjadi.
Kemerosotan moral, tingkah laku dan perbuatan-perbuatan orang
dewasa yang tidak baik, adalah menjadi contoh bagi anak-anak remaja.
69
mereka dengan mudah mendapatkan contoh yang akan ditirunya dari
orang tuannya sendiri, anggota keluarganya yang lain dan dari anggota
masyarakat di mana ia hidup (Daradjat (1979: 117 - 118).
Kelima, banyaknya film dan buku-buku bacaan yang tidak baik.
Suatu hal yang belakangan ini kurang menjadi perhatian kita ialah,
tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-
kesenian dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak-
anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental
kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari
keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi
begitu saja (1977: 48)
Keenam, pendidikan dalam sekolah yang kurang baik. Sekolah
bukanlah tempat menuangkan pengetahuan saja bagi murid-murid.
Tetapi sekolah seharusnya adalah juga alam dan lingkungan di mana si
anak benar-benar dapat menumbuhkan kepribadiannya, melegakan batin
yang gelisah dan belajar menyesuaikan diri di segala situasi dan
problema yang dihadapinya.
Ketujuh, kurangnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan
anak-anak. Di samping pendidikan yang didapat oleh anak-anak dalam
keluarga dan sekolah, amat penting juga peranan yang dimainkan oleh
masyarakat yang merupakan lapangan tempat anak mencoba melahirkan
dirinya, menunjukkan harga diri dan kebutuhan untuk dapat merasakan
bahwa dirinya berguna dan berharga dalam masyarakat. Di samping itu
70
masyarakat jangan memandang remeh atau enteng saja perasaan dan
pendapat-pendapat yang diajukan oleh anak-anak remaja, supaya semua
yang terasa dalam hati mereka mendapat saluran yang wajar dan
sekaligus mendapat perhatian (Daradjat 1979: 120).
Adapun untuk menanggulanginya menurut Daradjat (1979: 121 -
122) sebagai berikut:
Pertama, peningkatan pendidikan agama. Pendidikan agama
harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil. Kadang-
kadang orang menyangka bahwa pendidikan agama itu terbatas pada
ibadah, sembahyang, puasa, mengaji dan sebagainya. Padahal
pendidikan agama harus mencakup keseluruhan hidup dan menjadi
pengendali dalam segala tindakan. Dengan agama, manusia dilatih dan
diberi jalan bagaimana menguasai musuh-musuh dirinya yang jahat.
Karena itulah agama menjadi sumber moral dan sumber akhlak. Islam
sendiri diturunkan dan Nabi Muhammad SAW diutus, tidak lain untuk
menjadi suri tauladan bagi umat manusia sebagaimana firman Allah
SWT Surat al-Ahzab ayat 21:
لَقَد كَانَ لَكُم فِي رسولِ اللَّهِ أُسوةٌ حسنةٌ لِّمن كَانَ يرجو
} 21{اللَّه والْيوم الْآخِر وذَكَر اللَّه كَثِيراً
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah uswatun hasanah bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab (33): 21)
71
Kedua, orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan.
Menurut Daradjat (1979: 122 – 123) apabila pendidikan dan perlakuan
yang diterima oleh si anak sejak kecil merupakan sebab-sebab pokok
dari kekalutan mental anak , maka setiap orang tua haruslah mengetahui
betul-betul dasar-dasar pengetahuan yang minimal tentang jiwa si anak
dan pokok-pokok pendidikan yang harus dilakukan dalam menghadapi
bermacam-macam sifat si anak. Untuk membekali orang tua dalam
menghadapi persoalan anak-anaknya, orang tua perlu pengertian
sederhana tentang ciri dan perkembangan anak.
Ketiga, pengisian waktu luang dengan teratur. Dalam
memikirkan cara pengisian waktu terluang, kita jangan membiarkan si
anak mencari jalan sendiri. Anak-anak terutama yang sedang tumbuh,
sedang sibuk dengan dirinya sendiri, karena mereka sedang menghadapi
perubahan yang bermacam-macam dan menemui banyak sekali
problema-problema pribadi. Apabila mereka tidak pandai mengisi waktu
terluang mungkin mereka akan tenggelam dalam memikirkan diri
sendiri, akan menjadi pengelamun, jauh dari kenyataan.
Keempat, membentuk markas-markas bimbingan dan
penyuluhan. Untuk mengurangi kegelisahan dan kebingungan dalam
menghadapi kesusahan dan problema hidup perlu adanya biro konsultasi
atau badan yang dapat memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Persoalan hidup, baik yang oleh orang secara pribadi maupun
berkelompok, jika tidak segera diselesaikan, dapat bertambah berat dan
72
menimbulkan komplikasi jiwa karena kadang-kadang orang tidak
mampu memahami persoalan yang dihadapinya tidak mengerti apa yang
harus dikerjakannya Daradjat (1979: 123 - 124).
Kelima, menanamkan pengertian dan pengamalan ajaran agama.
Apabila seseorang beragama mengerti ajaran-ajaran yang terkandung
dalam agama tersebut, maka timbul keinginan menghayati dan
mengamalkan ajaran agama tersebut. Untuk itu anak harus diberi
pengertian agama dengan titik berat pemahaman dan bukan sekedar
hafalan.
Keenam, penyaringan buku-buku cerita, komik, film dan
sebagainya.Hendaknya setiap cerita akhirnya yang dibaca, dilihat atau
didengar oleh anak-anak mempunyai mutu dan nilai-nilai paedagogis,
agar jangan sampai mereka menemukan teladan-teladan yang tidak baik
dalam cerita-cerita tersebut Daradjat (1979: 125).
4.2 Analisisnya
4.2.1 Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Zakiah Daradjat dan Kartini
Kartono dalam Menanggulangi Anak Mental Disorder
Menurut Daradjat, alangkah banyaknya orang tua yang tidak
mengerti bagaimana cara mendidik anak. Mereka menyangka bahwa
apabila telah memberikan makanan, pakaian dan perawatan kesehatan
yang cukup kepada si anak, telah selesai tugas mereka. Ada pula yang
menyangka bahwa mendidik anak dengan keras, akan menjadikannya
orang baik dan sebagainya. Maka banyak di antara anak-anak yang
73
menjadi nakal itu, akibat dari perasaan tertekan karena tidak adanya
perhatian orang tua maka kenakalannya dalam hal ini, sebagai hukuman
atau pembalasan bagi orang tua.
Dalam konteksnya dengan didikan agama, tampaknya Daradjat,
menaruh perhatian yang besar terhadap peran didikan agama, mengingat
agama adalah suatu sistemacredo (ketata keyakinan) atas adanya yang
mutlak di luar manusia atau sistemaritus (tata peribadatan) manusia
kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu, serta satu sistemanorma
(tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia
dan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan kata keimanan dan
tata peribadatan termaksud.
Pemikiran Daradjat memiliki persamaan dengan Kartono,
persamaannya yaitu pertama, kedua tokoh tersebut sangat menyadari
bahwa orang tua dan agama merupakan bagian yang penting dalam
menanggulangi anak mental disorder. Kedua, Persamaan lainnya bahwa
kedua tokoh itu melakukan pendekatan psikologi. Ketiga, kedua tokoh
ini melihat masalah dalam konteks yang luas tanpa mengabaikan aspek
sosiologis. Kesamaan ini terlihat yaitu menurut Kartono, untuk
menanggulangi anak mental disorder dapat dilakukan saran-saran
bimbingan sebagai berikut: pertama, berusaha memahami pribadi
individu; kedua, mencari sebab-sebab timbulnya frustrasi; ketiga,
memberikan cinta-kasih dan simpati secukupnya; keempat,
menanamkan nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai keagamaan.
74
Adapun menurut Daradjat, untuk menanggulangi anak mental
disorder sebagai berikut: pertama, peningkatan pendidikan agama;
kedua, orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan; ketiga,
pengisian waktu luang dengan teratur; keempat, membentuk markas-
markas bimbingan dan penyuluhan; kelima, menanamkan pengertian
dan pengamalan ajaran agama; keenam, penyaringan buku-buku cerita,
komik, film dan sebagainya.
Akan tetapi kedua tokoh ini dalam pemikirannya tentang
penanggulangan anak mental disorder memiliki perbedaan sebagai
berikut: pertama, Kartono lebih mengedepankan atau menitik beratkan
perspektif psikologi, sedangkan Daradjat mengkombinasikan secara
seimbang antara pendekatan psikologi dan agama. Kedua, Kartono,
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan menanamkan agama,
sedangkan Daradjat lebih rinci dan jelas mengenai ajaran agama yang
harus ditanamkan pada anak yaitu bukan hanya aspek ritualitas yang
bersifat normatif melainkan juga hikmah-hikmah yang terkandung dari
ajaran agama itu, sehingga konsep Daradjat tentang agama tidak terlihat
sebagai sebuah pemaksaan.
Jika dibandingkan teori Daradjat dengan Kartono, maka teori
Daradjat masih lebih unggul karena pendekatan agama dan psikologi
menjadi prioritas, sementara pendapat Kartono hanya lebih melihat pada
aspek psikologi secara umum dan hanya berpijak pada aspek refresif
dengan pendekatan normative. Sedangkan yang menjadi sebab utama
75
anak mental disorder adalah karena kurangnnya perhatian orang tua,
kurangnya pendidikan agama dan kondisi lingkungan sosial yang kurang
mendukung.
Jika dikaji pendapat kedua tokoh di atas, maka penulis
menganalisis, bahwa sebagian besar anak dibesarkan oleh keluarga, di
samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keluargalah anak
mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertama kali. Pada
dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling
kecil, akan tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di
dalam mendidik anak terutama bagi anak-anak yang belum memasuki
bangku sekolah. Dengan demikian berarti seluk beluk kehidupan
keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan
anak dan dalam menghindari terjadinya mental disorder.
Sigmund Freud dari mazhab psikoanalitik dengan konsepsi
psikologiko-psikokiatrik dan W.A. Bonger yang bermazhab ekonomi
berpendapat sebagai berikut:
"Sigmund Freud: sebab utama dari perkembangan tidak sehat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kriminalitas anak dan remaja adalah konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai, bebas memperlihatkan kepribadian dan lain-lain". W.A. Bonger: penyebab diviasi/penyimpangan pada perkembangan anak dan remaja adalah kemiskinan di rumah, ketidaksamaan sosial dan keadaan-keadaan ekonomi lain yang merugikan dan bertentangan" (Ny. Lamya-Moeljatno, 986: 103)
Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya
anak mental disorder. Kondisi tersebut dapat terjadi karena kelahiran
76
anak di luar perkawinan yang sah menurut hukum atau agama. Di
samping itu, keadaan keluarga yang tidak normal; yang mencakup
"broken home", dan "quasi broken home" atau broken home semu.
"Dalam broken home semu sebenarnya struktur keluarga masih
lengkap artinya kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-
masing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan sehingga
orang tua tidak sempat untuk memberikan perhatiannya terhadap
pendidikan anak-anaknya, maka tidak jarang orang tua tidak dapat
bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua kembali dari
kerja anak-anak sudah pergi bermain di luar, anak pulang orang tua
sudah pergi lagi, orang tua datang anak sudah tidur dan seterusnya.
Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan perkembangan
anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak mudah mengalami
frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini
juga dapat mudah mendorong anak menjadi mental disorder.
Dewasa ini timbul anggapan bahwa kebutuhan pokok anak-anak
adalah yang bersifat fisik atau biologis saja. Padahal secara rohaniyah
anak-anak membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua. Kasih
sayang tidak akan dirasakan oleh anak, jika di dalam hidupnya
mengalami hal-hal, seperti: toleransi orang tua yang berlebih-lebihan,
orang tua terlalu keras, sikap orang tua yang terlalu ambisius di dalam
mendidik, kedua orang tua memiliki sikap yang berlawanan di dalam
mengarahkan anak, kehilangan pemeliharaan ibu dan kurang disayangi
77
atau tidak diperhatikan. Kehidupan anak di rumah memerlukan
perlakuan dasar yang menuntut peranan sesungguhnya dari kedua orang
tua.
"Di dalam lingkungan keluarga, keluarga perlu mengetahui
tentang kebutuhan anak-anaknya. Di samping anak-anak membutuhkan
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat biologis, misalnya makan, minum,
pakaian dan sebagainya anak juga membutuhkan kecintaan dari orang
lain, terutama dari orang tuanya, mereka membutuhkan rasa aman dalam
keluarga, mereka membutuhkan perasaan keadilan dan sebagainya.
Karenanya salah bila ada orang tua berpendapat bahwa hanya kebutuhan
biologis saja yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Asal sudah makan
baik, pakaian baik dan sebagainya adalah telah cukup."
Bagi umat Islam, sebagai umat yang "Theosentris", pembinaan
anak di dalam keluarga dapat dilakukan dengan cara memberikan
contoh dan membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Cara ini akan lebih memudahkan
baik bagi anak di dalam menerima maupun bagi orang tua di dalam
memberikan.
4.2.2 Pemikiran Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono dalam
Menanggulangi Anak Mental Disorder dan Relevansinya dengan
Bimbingan Konseling Islam
Teori Kartono dan Daradjat tentang anak mental disorder masih
relevan dengan faktor-faktor terjadinya anak mental disorder. Bahkan
78
upaya penanggulangan yang ditawarkan Kartono dan Daradjat masih
dapat menjangkau konteks mental disorder yang makin kompleks.
Artinya bahwa pelaku yang mengalami mental disorder secara kualitas
pada dasarnya makin meningkat dan upaya yang disarankan Kartono
dan Daradjat masih tepat digunakan.
Dengan mengkaji penanggulangan mental disorder menurut
Kartono dan Daradjat, penulis menyimpulkan, tidak sedikit para ahli
menaruh perhatian besar terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya
mental disorder. Meskipun tampak perbedaan pendapat, namun
esensinya sama bahwa keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan
pendidikan (sekolah), pergaulan dan agama, merupakan faktor-faktor
yang sangat mewarnai eksistensi mental anak. Dari keseluruhan faktor
tersebut, peran agama dan orang tua menjadi bagian paling fundamental
dalam mewarnai perilaku anak baik dalam aspek preventif maupun
kuratif. Kenyataan inilah yang kerap kali luput dari pengamatan orang
tua, para pendidik bahkan pemerintah.
Orang tua yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik
pada anak, saat ini tengah menjadi barang langka atau sulit dicari.
Padahal keluarga atau orang tua sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk karakter anak. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu
peranan agama, khususnya pembinaan akhlakulkarimah tidak jarang
luput dari pengamatan orang tua. Padahal menurut ajaran Islam
berdasarkan praktek Rasulullah SAW, pendidikan akhlakulkarimah
79
adalah faktor penting dalam membina anak. Sebagai kita ketahui,
Rasulullah SAW diutus ke muka bumi yang utama adalah
menyempurnakan akhlak manusia.
Oleh karena itu program utama dan perjuangan pokok orang tua
dalam membina anak ialah membina akhlak mulia. Ia harus ditanamkan
kepada anak mulai dari kecil hingga dewasa. Akan tetapi manakala
keluarga atau orang tua, para pendidik, pemerintah dan masyarakat,
memberikan contoh-contoh yang buruk, maka akan berlakulah pepatah:
“kalau guru kencing berdiri murid akan kencing berlari. Andaikata
terjadi justru guru kencing berlari, niscaya murid-murid pasti kencing
menari-nari”.
Berbicara soal peran orang tua berarti berbicara hubungan atau
jalinan kerja sama antara seorang suami dengan isterinya atau antara
ayah dengan ibu. Kerjasama yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu
hubungan kerja sama antara suami isteri dalam membina anaknya guna
menanggulangi atau mencegah terjadinya mental disorder. Masalah
mental disorder keadaannya saat ini sangat mengkhawatirkan karena
bukan saja masalah orang tua tapi sudah menyangkut masalah nasional.
Dalam realitasnya tidak banyak ditemukan suatu keluarga yang
dibangun di atas landasan kerjasama suami dan isteri dalam membina
anak. Yang terjadi dalam membina anak antara metode ayah dan ibu
merupakan suatu dikhotomi, sehingga anak menjadi tidak mengerti
harus mengikuti pandangan siapa atau harus berpegang kepada siapa,
80
apakah kepada ayah ataukah ibu. Ini dilatar belakangi oleh sikap egoistis
dari seorang suami atau boleh jadi seorang isteri. Padahal adanya
perspektif yang sama dan persepsi yang tidak berbeda antara suami dan
isteri maka akan sangat mudah membangun pribadi seorang anak.
sebaliknya seorang anak yang dibangun dari persepsi yang berbeda
antara kedua orang tua itu, maka pembinaan yang demikian tidak akan
berjalan efektif, melainkan akan berakibat fatal yaitu anak akan
mengambil jalan sendiri.
Jalan yang ditempuh oleh anak tersebut, kalau pilihannya benar
barang kali itu bukan masalah. Namun jika pilihannya salah apalagi
hanya mengadopsi dari pergaulan atau dari kawan-kawannya yang
berkelakuan buruk, akan sangat cepat anak itu melakukan proses
peniruan. Oleh sebab itu kerja sama antara suami dan isteri sangat
diperlukan dalam mencegah dan menanggulangi mental disorder.
Di tengah-tengah persaingan hidup yang makin tajam
memunculkan individu-individu yang gelisah dan penuh kecemasan.
Kegelisahan dan kecemasan itu sering kali tampak mewarnai kehidupan
sebuah keluarga. Suatu keluarga yang dikungkung oleh rasa gelisah dan
kecemasan yang berkepanjangan adalah sebagai akibat kurangnya
pengamalan dan penghayatan agama. Suatu keluarga yang tidak didasari
oleh kendali agama maka didikan yang akan dikembangkan kepada
anaknyapun sudah dapat dibayangkan yaitu akan lahir anak-anak yang
sekuler dan menjauhi kaidah-kaidah agama. Ketika seorang anak telah
81
berani merusak sebagian atau seluruh kaidah-kaidah agama tentunya
akan mewujudkan perilaku-perilku yang menyimpang dan merugikan
bagi orang lain atau masyarakat bahkan bangsa. Atas dasar itu
kerjasama yang baik ayah dan ibu dalam membina anak harus
dilandaskan kepada pengamalan dan penghayatan agama menuju pada
insan yang beriman dan bertaqwa.
Sebuah keluarga yang dibangun di atas landasan iman dan taqwa
kemudian dipancarkan keimanan dan taqwa itu kepada anak-anaknya,
maka bukan mustahil akan menghasilkan anak-anak yang sesuai dengan
harapan bangsa dan negara. Dari jalan pikirannya Kartono dan Daradjat,
maka konsepnya sesuai dengan asas fitrah bimbingan dan konseling
Islam. Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien
atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya,
sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan
fitrahnya tersebut. Manusia, menurut Islam dilahirkan dalam atau
dengan membawa fitrah, yaitu berbagai kemampuan potensial bawaan
dan kecenderungan sebagai Muslim atau beragama Islam. Bimbingan
dan konseling membantu klien konseli untuk mengenal dan memahami
fitrahnya itu, atau mengenal kembali fitrahnya tersebut manakala pemah
tersesat, serta menghayatinya sehingga dengan demikian akan mampu
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat karena bertingkah
laku sesuai dengan fitrahnya itu.
82
Pemikiran Kartono dan Daradjat sesuai pula asas-asas bimbingan
dan konseling Islam seperti:
1. Asas-asas kebahagiaan di dunia dan akhirat
Pemikiran Kartono dan Daradjat bertujuan untuk membantu
klien, atau konseli, yakni orang yang dibimbing, mencapai
kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim.
Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien
atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya,
sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan
fitrahnya tersebut.
Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 201 sebagai berikut:
: البقرة (أُولَـئِك لَهم نصِيب مما كَسبواْ واللّه سرِيع الْحِسابِ202(
Artinya: Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.( QS. al-Baqarah: 201)
2. Asas “lillahi ta’ala
Bimbingan dan konseling Islam diselenggarakan semata-
mata karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing
melakukan tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih,
sementara yang dibimbing pun menerima atau meminta bimbingan
dan atau konseling pun dengan ikhlas dan rela, karena semua pihak
merasa bahwa semua yang dilakukan adalah karena dan untuk
83
pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan fungsi dan tugasnya
sebagai mahkluk Allah yang harus senantiasa mengabdi pada-Nya.
Dalam al-Qur'an surat al-An'am ayat 162 :
الَمِينالْع باتِي لِلّهِ رممو اييحمكِي وسنلاَتِي وقُلْ إِنَّ ص )162: الأنعام(
Artinya; Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-An'am: 162).
3. Asas Bimbingan seumur hidup
Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan
selalu bahagia. Dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan
menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itulah
maka bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat
dikandung badan.
4. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah
Seperti telah diketahui dalam uraian mengenai citra manusia
menurut Islam, manusia itu dalam hidupnya di dunia merupakan satu
kesatuan jasmaniah-rohaniah. Bimbingan dan konseling Islam
memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah
tersebut, tidak memandangnya sebagai makhluk biologis semata atau
makhluk rohaniah semata.
5. Asas keseimbangan rohaniah
Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir,
merasakan atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu serta
84
juga akal. Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan
fundamental potensial untuk:(1) mengetahui (=”mendengar), (2)
memperhatikan atau menganalisis (=”melihat”;dengan bantuan atau
dukungan pikiran), dan (3) menghayati (=”hati” atau af’idah, dengan
dukungan kalbu dan akal).
6. Asas kemaujudan individu (eksistensi)
Bimbingan dan konseling Islami, memandang seorang
individu merupakan maujud (eksistensi) tersendiri. Individu
mempunyai hak, mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya,
dan mempunyai kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari
haknya dan kemampuan fundamental potensial rohaniahnya.
7. Asas sosialitas manusia
Manusia merupakan makhluk sosial, hal ini diakui dan
diperhatikan dalam bimbingan dan konseling Islami. Pergaulan,
cinta kasih, rasa aman, penghargaan pada diri sendiri dan orang lain,
rasa memiliki dan dimiliki, semuanya merupakan aspek-aspek yang
diperhatikan di dalam bimbingan dan konseling Islam , karena
merupakan ciri hakiki manusia (Faqih, 2002: 200)
8. Asas kekhalifahan manusia
Manusia, menurut Islam diberi kedudukan yang tinggi
sekaligus tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam
semesta (“khalifatullah fil ard”). Dengan kata lain, manusia
dipandang sebagai makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar
85
sebaik baiknya. Sebagai khalifah, manusia harus memelihara
keseimbangan ekosistem sebab problem-problem kehidupan kerap
kali muncul dari ketidakseimbangan ekosistem tersebut yang
diperbuat oleh manusia itu sendiri. bimbingan dan fungsinya tersebut
untuk kebahagiaan dirinya dan umat manusia.
9. Asas keselarasan dan keadilan. Islam menghendaki keharmonisan,
keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi.
10. Asas pembinaan akhlakul karimah, manusia menurut pandangan
Islam memiliki sifat-sifat yang baik (mulia). Sekaligus mempunyai
sifat-sifat lemah.
11. Asas kasih sayang. Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa
kasih sayang dari orang lain.
12. Asas saling menghargai dan menghormati. Dalam bimbingan dan
konseling Islam kedudukan pembimbing atau konselor dengan yang
dibimbing sama atau sederajat.
13. Asas musyawarah. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan
dengan asas musyawarah.
14. Asas keahlian, bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh
orang–orang yang memang memiliki kemampuan keahlian dibidang
tersebut.(Musnamar, 1992: 20-33)
Dengan demikian konsep Kartono dan Zakiah seyogyanya
dianggap saling melengkapi yang dapat dijadikan materi bimbingan dan
86
konseling Islam, khususnya bagi konselor yang menangani anak mental
disorder