BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi...

120
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT Disusun Oleh: KELOMPOK LEGISLATIF DRAFTING FH-UMM KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS HUKUM

Transcript of BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi...

Page 1: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN

HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Disusun Oleh:

KELOMPOK LEGISLATIF DRAFTING FH-UMM

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2016

Page 2: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN ...................................................1

A. Latar Belakang .............................................................1B. Identifikasi Masalah.....................................................10C. Tujuan dan Kegunaan.................................................10D. Metode dan Kerangka Penulisan.................................11

BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS..............15A. Kajian Teoritis.............................................................15

1. Teori Keadilan........................................................152. Teori Perlindungan Hukum,....................................193. Teori Negara Hukum..............................................224. Teori Sistem Hukum...............................................295. Tinjauan Umum Tentang Masyarakat Hukum Adat 30

a. Pengertian dan Hak Masyarakat Hukum Adat.. .30b. Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam

Instrumen Hukum Internasional........................376. Tinjauan Tentang Peran Serta Masyarakat.............407. Tinjauan Tentang Pengolahan Lingkungan Hidup. .428. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa..............44

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma.....................................................45

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat................52

D. Kajian Terhadap Implikasi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ............................................54

BAB III.EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN TERKAIT...........................................57

BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS71A. Landasan Filosofis.......................................................71B. Landasan Sosiologis....................................................73C. Landasan Yuridis.........................................................73

BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG...78

A. Sasaran.......................................................................78

Page 3: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

B. Arah dan Tujuan..........................................................78C. Ruang Lingkup Materi Muatan....................................79

1. Ketentuan Umum...................................................792. Materi Yang Diatur.................................................81

a. Asas...................................................................81b. Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat....83c. Tanggung Jawab Pemerintah.............................83d. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.....84e. Pengolahan Sumber Daya Alam........................84f. Peran Serta Masyarakat.....................................84g. Satgas Masyarakat Hukum Adat........................85h. Penyelesaian Sengketa......................................85

D. Ketentuan Peralihan....................................................86E. Ketentuan Penutup.....................................................87

BAB VI. PENUTUP...........................................................88A. Kesimpulan.................................................................88B. Saran...........................................................................89

DAFTAR PUSTAKA..........................................................90

Page 4: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangIndonesia merupakan salah satu Negara Kepulauan

(Archipelagic State) terbesar di dunia.Berdasarkan survey geografi dan toponimi pada tahun 2010 jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 13.466.1Jumlah tersebut berjajar dari Sabang sampai Merauke berikut keanekaragaman dan kemajemukan hayati, suku, adat, dan budaya. Hampir disetiap wilayah di Indonesia memiliki ragam budaya adat istiadat yang berbeda, dan dalam setiap adat tersebut terkandung sistem nilai, pengetahuan, dan kepercayaan yang tumbuh dan dilestarikan selama beratus-ratus tahun lamanya, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama – lamanya.2

Maria S.W. Sumardjono3 juga mendefinisikan bahwa hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar di antara 1http://nationalgeographic.co.id pada 30 Juli 2016.2 Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan

Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal. 30.

3Dalam MartuaSirait, dkk., Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24, hal. 5.

Page 5: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

anggotanya dan memandang yang bukan anggota sebagai orang luar, menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya, pemanfaatan oleh orang luar harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu berupa recognisi.

Lebih dalam lagi Satjipto Rahardjo4 mengambarkan bahwa hukum adat itu beranyaman dan berkelindan kuat dengan budaya setempat. Kata “budaya” disini menunjukan adanya unsur emosional-tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga merupakan hukum yang sangat sarat dengan penjunjungan nilai-nilai (value laden) tertentu.Bahkan di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, seperti Aceh, bagi para pemeluknya, hukum adat adalah identik dengn hukum agama. Maka dengan menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus merasa berbudaya.Gambaran Satjipto tersebut dapat disederhanakan dengan pendapat Von Savigny bahwa hukum adat adalah cerminan jiwa rakyat.

Jadi, dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan cerminan masyarakat Indonesia sekaligus merupakan hukum asli Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka.

Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk “masyarakat hukum adat”, dalam beberapa literatur dan peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah masyarakat adat, yaitu ada yang menyebutnya “masyarakat adat” dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”.5Menurut Taqwaddinistilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim 4Satjipto Raharjo.Hukum Adat Dalam Kesatuan Republik Indonesia (prespektif

sosiologi hukum), dalam Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republi Indonesia, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, hal. 45-46.

5 Lisman Sumardjani, 2007, Konflik Sosial Kehutanan, Bogor:Working Group on Forest Land Tenure, hal. 1.

Page 6: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.6istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, seperti Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi CariOca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.Walaupun demikian, perbedaan peristilahan tersebut tidak menafikan atau menegaskan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

Secara Konstitusional pengakuan bangsa Indonesia terhadap masyarakat hukum adat ditegaskan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat besertahak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.‟. Kemudian dalam pasal Pasal 28Iayat(3) UUD Negara RI 1945 bahwa “Identitas budayadan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Pasal ini, memberikan posisi konstitusif pada masyarakat hukum adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi pihak penyelenggara negara, bagaimana seharusnya sebuah komunitas adat diperlakukan.

6 Taqwaddin, 2010, Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, hlm. 36.

Page 7: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Dengan demikian pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang kewajiban konstitusional bagi negara untuk mengakui dan juga menghormati masyarakat adat, dan juga sebagai hak konstitusional masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya.

Pengaturan masyarakat hukum adat diterjemahkan ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan.Adapun beberapa peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum diantaranya adalah TAP MPR. No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Namun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang pengakuan terhadap masyarakat hukum adat secara parsial, ambivalen, dan inkonsistensi.Artinya pengaturan mengenai masyarakat hukum adat tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan yang mana antara peraturan yang satu dengan lainnya tidak konsisten. Misalnya dalam penjelasan pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 memberikan unsurtersendiri terkait masyarakat hukum adat, sementara dalam pasal 63 ayat (1) huruf e UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa penentuan unsur-unsur dan klasifikasi masyarakat hukum adat merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Kemudian contoh lain sikap ambivalen terkait masyarakat hukum adat tercermin dalam UUPA. Pada suatu sisi, UUPA secara tegas menyatakan bahwa hukum adat merupakan sumber dari hukum agraria nasional kita. Namun pada sisi lain, eksistensi masyarakat hukum adat yang merupakan konteks

Page 8: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

sosio kultural lahirnya hukum adat tersebut dibebani dengan beberapa kondisionalitas, yang cepat atau lambat membuka peluang untuk dinafikannya masyarakat hukum adat tersebut.

Hemat penulis, keseluruhan peraturan yang ada belum mampu menjangkau permasalahan masyarakat hukum adat mengenai kebutuhan tentang berbagai hal. Masyarakat hukum adat hanya dijadikan objek oleh sektor-sektor tertentu, bukan subjek yang harus dilindungi. Keadaan tersebut menimbulkan beberapa permasalahan krusial, yaitu: Pertama, hak-hak masyarakat hukum adat rentan tercederai. Keberadaan dan eksistensi masyarakat yang memudar dan sudah hampir terkikis oleh perkembangan zaman saat ini tentu juga akan berdampak pada masyarakat hukum adat dalam beberapa aspek, dan bahkan dapat dimanfaatkan oleh oknum yang memiliki kepentingan pribadi. Salah satu contohnya jika masyarakat hukum adat keberadaannya melemah maka perlindungannya pun akan diselewengkan seperti hak mereka atas tanah adat suatu saat nanti bukan sesuatu yang tidak mungkin akan usik oleh oknum berkepentingan untuk dibangun dalam hal perindustriannya seperti pabrik atau perusahaan yang lainnya. Hak-hak mereka tentu akan tercidera jika perlindungan terhadap masyarakat hukum adat tidak segera dibenahi dan ditegakkan sebagaimana mestinya.

Kedua, banyaknya konfilk yang terjadi. Hak-hak masyarakat hukum adat yang tercederai sebagaimana dijelaskan sebelumnya jika dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada timbulnya konflik. Konflik yang terjadi bisa masyarakat hukum adat dengan perusahaan swasta atau bahkan konflik masyarakat hukum adat dengan pemerintah. Jika konflik tersebut dibiarkan secara terus-menerus maka akan mengganggu stabilitas persatuan Indonesia.

Konflik yang pernah terjadi terkait dengan masyarakat hukum adat dimulaisekitar tahun 1960. Sebelumnya pengakuan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat ini tidak banyak dipersoalkan, apalagi digugat. Sebagian faktor penyebabnya adalah oleh karena jaminan tersebut dianggap

Page 9: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

sudah seyogyanya demikian, sebagian lagi oleh karena Republik masih sibuk dengan perang kemerdekaan.

Namun perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa. Masyarakat adatpun tidak berdiam diri, terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya gagal untuk dalam mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu. Seperti dapat diduga, mereka tidak berada pada posisi yang dapat membela diri, karena tidak mempunyai akses pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif.

Adapun beberapa konflik yang pernah terjadi terkait dengan masyarakat hukum adat adalah:

1. Konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi. Dalam sejarah Sulawesi Tenggara, masyarakat adat Moronene merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, di samping orang Tolaki dan Mekongga. Masyarakat adat Moronene menyebar hingga 6 kecamatan. Masyarakat adat Moronene di Kecamatan Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat). Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di HukaEka, Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk kebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun jati, tambak bersama pada muara-muara sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi

Page 10: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

meninggalkan tanah leluhurnya karena gangguan keamanan oleh gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan. Akses masyarakat adat tersebut atas kebun dan usaha tani serta padang pengembalaan telah mulai dibatasi dengan ditetapkannya sebagai Taman Buru pada tahun1972. Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon Taman Nasional, kemudian pada tahun 1990 ditunjuk sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses pengambilalihan lahan di dalam kawasan hutan tersebut berlangsung tanpa melalui proses musyawarah. Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya dilakukan sejak tahun 1987 dengan menulis surat secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta Pimpro TN. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan Pemda TK II yang diketuai oleh KakanSospol tanggal 16 Desember 1997 disepakati, bahwa masyarakat tetap tinggal di kampungnya dan memanfaatkan hasil kebun dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu pembicaraan dengan pimpinan. Usaha-usaha negosiasi damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak adatnya justru menimbulkan intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998) 12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan.7

2. Konflik pada masyarakat adat Dayak Simpang, di Kalimantan Barat pada Hutan Produksi Terbatas Konflik masyarakat adat Simpang ini berbentuk tumpang tindih peruntukan lahan dan pemberian ijin usaha bagi perusahaan atas wilayah adatnya.

7Besse Sugiswati, Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia,Jurnal Perspektif, Volume XVII No. 1 Tahun 2012 Edisi Januari, hal. 33

Page 11: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan, terlihat bahwa di wilayah masyarakat adat tersebut terdiri atas 8.894 ha hutan cadangan, 2.848 ha tanah pertanian, 11.200 ha kebun campuran, 81 ha wilayah pemukiman (total 23.023 Ha), setengah dari lahan itu menurut RTRWP-Kalbar 2008 menjadi Kawasan Budidaya nonKehutanan sedangkan sebagian lagi menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (HPT pada TGHK 1982). Lebih dari itu, wilayah tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 1997 diberikan bagi beberapa Perusahaan Kehutanan (HPH PT Inhutani II, HPHTI TTJ, PT GDB) dan Perkebunan (P PMK, BSP II, dan PT KOI). Sehingga tidak ada lagi kepastian serta jaminan bagi masyarakat adat atas hak-hak adatnya (wewenang atas wilayah, kelembagaan serta pola pengelolaan sumber daya alam) yang telah dilakukan secara turun-temurun (Kanyan 1999 draft III) (Martua Sirait, dkk, hal 17).8

3. Konflik yang terjadi di Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Sampai saat ini konflik perampasan tanah wilayah adat tersebut masih belum menemukan titik terang, pasalnya masyarakat kedua kampung yakni kampung Muara Tae dan kampung Muara Ponaq tetap bersikukuh mengklaim hutan adat Utaq Melinau yang saat ini menjadi tempat beraktifitasnya perusahaan sawit, PT. Borneo Surya Mining Jaya (PT. BSMJ) dan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa sebagai wilayah masing-masing komunitas. Konflik mencuat ketika pada bulan Mei 2012 lalu, melalui Surat Keputusannya, Bupati Kutai Barat, Ismail Thomas menetapkan wilayah adat Muara Tae masuk menjadi bagian dari wilayah kampung Muara Ponaq padahal sejak turun-temurun wilayah tersebut termasuk sebagai wilayah adat Muara Tae.9

8 Martua Sirait, dkk. dalam Besse Sugiswati, Ibid, hal. 349www.aman.or.id . Diakses pada 31 Juli 2016

Page 12: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Ketiga,keberadaan masyarakat hukum adat semakin memudar. Keberadaan masyarakat hukum adat sudah ada sebelum negara Indonesia merdeka sampai saat ini adalah merupakan wujud nyata dari eksistensi masyarakat hukum adat tersebut. Tidak hanya diakui secara lisan namun juga keberadaan mereka diakui secara nasional yakni dalam Undang-Undang Dasar 1495 hasil amandemen mendapat pengakuan dan penghormatan, termaktub dalam Pasal 18B ayat 2. Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, bagaimana komunitas diberlakukan.

Derasnya arus globalisasimembawa dampak ke seluruh aspek kehidupan, bukan hanya dalam bidang teknologi, tapi juga pada tatanan sosial masyarakat, khususnya eksistesnsi masyarakat hukum adat. Kesadaran untuk tetap manjaga keberadaan masyarakat hukum adat tidak dapat mengiringi derasnya arus globalisasi. Banyak adat istiadat bahkan hukum adat itu sendiri sudah tidak diindahkan lagi sehingga bukan hal yang tidak mungkin jika suatu saat masyarakat hukum adat akan memudar atau bahkan menghilang.

Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pembaharuan terhadap peraturan yang ada saat ini dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik dan masalah yang ada pada masyarakat hukum adat. Sehingga dapat menjamin hak-hak masyarakat hukum adat akan kebutuhannya. Dengan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat maka terjadinya konflik akan dapat dihindari. Selaras dengan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia bentuk peraturan tertulis merupakan sumber hukum yang primer. Bentuk hukum tertulis lebih menjamin pemenuhan kepastian hukum bagi masyarakat.

Selain itu adanya peraturan baru yang secara konprehensif mengatur masyarakat hukum adat adalah dalam rangka melaksanakan amanat Konstitusi, yaitu pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945 dan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 yang mengamanatkan pengaturan masyrakat hukum adat dengan Undang-Undang.

Page 13: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

B. Identifikasi Masalah1. Bagaimana pengakuan dan perlindungan Masyarakat

Hukum Adat diatur secara komprehensif ?2. Bagaimana menyelaraskan Masyarakat Hukum Adat dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia ?3. Apa landasan dan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan

yuridis terkait pembentukan Undang – Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ?

4. Apa sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ?

C. Tujuan dan Kegunaan Adapun tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah

sebagi berikut :1. Untuk merumuskan peraturan Masyarakat Hukum Adat

secara komprehensif2. Untuk memberikan rumusan berkaitan dengan penyelarasan

Masyarakat Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

3. Merumuskan pertimbanganatau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan Rancangan Undang – Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan pengaturan dalam Rancangan Undang – Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

D. Metode dan Kerangka Penulisan1. Pendekatan Masalah

Page 14: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Pada dasarnya penyusunan naskah akademik ini didasarkan pada penelitian hukum doktrinal (doctrinal legal research) atau metode yuridis normatif, yakni penelitian yang menggunakan pendekatan hukum dalam makna “law in the book”.Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penyusunan yang dilakukan menggunakan pendekatan perundang-undangan.Dalam pendekatan perundang-undangan penyusun perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan, bahkan hingga aspek ontologis lahirnya undang-undang, landasan filosofis undang-undang dan ratio legis dari ketentuan undang-undang.Jika dasar ontologis dan landasan filosofis berkaitan dengan suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salah satu ketentuan dari suatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi penyusun.

Penelitian yang demikian diawali dengan melakukan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dengan menggunakan perspektif hukum. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Norma hukum yang berlaku itu berupa hukum positif, kodifikasi, Undang-Undang, serta asas-asas hukum secara umum.

2. Jenis dan Sumber PenelitianJenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian dogmatik, yang menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian ini juga bersifat terapan, yaitu menggunakan ilmu hukum

Page 15: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

dalam menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.10

Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwa penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.11Dalam penelitian ini seluruh bahan hukum primer dan sekunder berkaitan dengan produk hukum di bidang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang tentunya dijaga ketat relevansinya dalam penelitian dimaksud.

3. Teknik Pengumpulan Bahan HukumKegiatan pengumpulan sumber penelitian berupa

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) bermacam peraturan perundang-undangan, artikel, maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Oleh karena itu bahan hukum yang menjadi materi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

10 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hal. 22.11Ibid. hal.155.

Page 16: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hirarki.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan hukum diperoleh dari buku teks, jurnal baik nasional maupun internasional, doktrin para ahli, surat kabar, berita internet, dan rumusan pendapat para ahli.

c. Bahan hukum tertier, yaiu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelesan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukumdan lain-lain.

Dalam penelitian ini penyusun menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan, khususnya berkaitan dengan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

4. Analisis Sumber hukumBahan hukum yang diperoleh dari kajian kepustakaan,

peraturan perundang-undangan, dan artikel yang dimaksud penulis menguraikan dan menghubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematik guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Sebuah analisis dengan menggunakan premis mayor berdasarkan Undang-Undang (Hukum Positif) sebagai ketentuan umumnya dan premis minor dalam hal Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis dan menarik konklusi atau kesimpulan atas taraf sinkronisasi kedua premis tersebut untuk melihat pola penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat agar dapat menjadi bahan acuan dan

Page 17: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

pertimbangan hukum yang berguna dalam penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Page 18: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB IIKAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis1. Teori Keadilan

Pembicaraan mengenai keadilan telah dimulai sejak berabad-abad lalu, yaitu pada masa-masa filsuf pertama yunani kuno sekitar abad ke-VI Sebelum Masehi12dan pembicaraan tentang keadilan terus berkembang dalam nuansa perdebatan yang rumit dan sengit dengan berbagai macam persepektif dalam pendekatanya, baik etika, politik, hukum, sosial dan sebagainya. Jika ditelaah secara etimologisdalam Bahasa Indonesia keadilan berasal dari kata “adil” dengan awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata “adil” itu sendiri berasal dari Bahasa Arab“al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm dan sebagainya.13 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “adil” mempunyai arti 1. sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, 2. berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3. sepatutnya; tidak sewenang-wenang.14 Dengan imbuhan “ke” dan “an” – menjadi keadilan – menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat (perbuatan, perlakuan, dsb) yg adil.

Keadilan menurut para ahli15 juga memiliki berbagai makna yang berbeda-beda pada masing-masing ahli. Untuk mengetahui pengertian keadilan menurut para ahli, terlebih dahulu perlu diketahui teori-teori keadilan yang mereka jelaskan. Hal ini menjadi perlu karena umunya para ahli tersebut tidak langsung memberikan konsep keadilan secara definitif. Mereka hanya merumuskan jenis-jenis

12 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: PT. Kanisius, hal. 19.

13 Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls), http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 6 Agustus 2016.

14 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Luar Jaringan.15 Para ahli yang dimaksud penulis ialah ahli-ahli dibidang filsafat etika, ahli

hukum, dan ahli politik.

Page 19: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

keadilan, prinsip-prinsip keadilan, atau metode untuk mencapai keadilan. Sehingga, berdasarkan teori-teori tersebut dapat dirumuskan pengertian atau batasan keadilan menurut mereka. Sebagaimana disampaikan di awal bahwa pembahasan tentang keadilan telah dimulai pada masa Yunani kuno. Para filsuf periode awal Yunani tersebut, membicarakan keadilan dengan bertitik tolak pada Alam Semesta sebagai variabel independen, yang mana manusia merupakan varibel dependen dari Alam Semesta. Sebagaiamana pendapat Anaximander bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia yang ia (manusia) adalah bagian dari alam semesta. Tapi yang jelas, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Bila itu terjadi, timbulah keadilan (dike). Lebih lanjut, Herakleitos berpendapat bahwa memang kehidupan manusia harus disesuaiakan dengan keteraturan Alam Semesta, namun juga harusdihubungkan dengan Logos (akal-budi. pen16).17 Keadilan menurut dua filsuf diatas dapat diartikan sebagai pengolahan oleh akal-budi manusia terhadap keteraturan alam semesta.

Pada masa berikutnya Plato memberikan pendapat tentang keadilan sebagai suatu kesatuan yang harmonis antara kelas-kelas yang ada dalam suatu negara. Dalam filsafatnya tentang keadilan (khususnya keadilan dalam suatu negara), Plato mengelompokan rakyat dalam suatu negara menjadi kelas-kelas atau golongan-golongan, yaitu : 1) sofia yakni golongan yang mempunyai kebijaksanaan yang berperan untuk membentuk pemerintahan, 2) andreia yakni golongan yang mempunyai keberanian atau kelas para tentara yang berperan untuk menjaga negara, 3) soophrosune yakni kelas dengan keterampilan tertentu yang berperan menggerakan roda perekonomian dalam negara. Kelas ini misalnya para pedagang, tukang, dan

16Logos sering diartikan sebagai ilmu, pengetahuan, wacana, topik atau pembicaraan, pembahasan, namun dalam hal ini logos dimaksudkan oleh penulis sebagai akal-budi atau kebijaksanaan manusia menurut akal sehatnya.

17 Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Op. Cit.

Page 20: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

petani.18Keharmonisan akan tercapai apabila masing-masing kelas tersebut berkerja menurut tempat dan tugasnya masing-masing, setelah itu maka timbulah keadilan. Lain halnya dengan Aristitoteles yang membagi keadilan menjadi dua yakni : keadilandalam arti umum dan keadilan dalam arti khusus. Keadilan dalam arti umum Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap hukum19. Sedangkan keadilan dalam arti khusus berkaitan dengan beberapa hal, yakni : 1) Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya, 2) Perbaikan suatu bagian dalam transaksi.

Lain ladang, lain pula rumputnya, lain orang lain pula pemikiranya. Demikian halnya dengan John Rawls yang memiliki konsepsi berbeda dengan Plato dan Aristoteles tentang keadilan. Bagi Rawls bidang utama keadilan adalah susunan dasar masyarakat yang meliputi: konstitusi, pemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, pasar kompetitif, dan susunan keluarga monogami. Pandangan Rawls menitikberatkan pada hal-hal tersebut karena susunan dasar masyarakat atau institusi sosial tersebut mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap aspek-aspek kehidupan manusia, juga dalam perilaku, keputusan dan penilaian individual.20Susunan dasar masyarakat tersebut berfungsi untuk mendistribusikan beban dan keuntungan sosial kepada seluruh masyarakat. Keuntungan sosial yang dimaksud dapat berupa kekayaan, pendapatan, makanan, kewibawaan, perlindungan, harga diri, dan kekuasaan. Beban sosial dapat berupa bea dan pajak.

18Ibid, hal. 23. Lihat juga Mawardi, Keadilan Sosial Menurut John Rawls, Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal. 42-43.

19 Muchamad Ali Safa’at, Op.Cit.,20 Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan

Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia,

Page 21: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Struktur dasar masyarakat yang dapat mendistribusikan seluruh keuntungan dan beban secara merata adalah susunan dasar masyarakat yang asli. Susunan dasar masyarakat yang asli inilah yang dimaksud oleh Rawls sebagai susunan masyarakat yang adil. Permasalahanya adalah bagaiamana cara untuk merumuskan dan memberikan landasan pada sederetan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil? Permasalahan inilah yang diistalahkan oleh Rawls sebagai Problem Utama Keadilan. Prinsip-prinsip sosial tersebut diharapkan akan mampu menetapkan bagaimana struktur masyarakat dapat mendistribusikan prospek mendapatkan “hak-hak dasar” (yaitu: hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan). Dalam struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan tersebut bertugas mengerjakan dua hal, yaitu: pertama, memberi penilaian yang konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktek-praktek institusional. Kedua, harus membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum yang mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tersebut.21

Guna menjawab problem utama keadilan tersebut Rawls memberikan prinsip-prinsip keadilan yang dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut yakni: pertama setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang, kedua ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: (a) diharapakan memberikan keuntungan bagi setiap orang, (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang22. Terkait dengan prinsip kedua tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam masyarakat perlu diakui terdapat pihak yang kurang diuntungkan atau lemah, dan

21Ibid.22 Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat Politik John

Rawls, Yogyakarta: PT. Kanisius, hal. 73.

Page 22: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

terdapat pula pihak yang diuntungkan yaitu mereka yang kuat baik secara sosial maupun ekonomi. Dengan diaukuinya dua bentuk diferensi tersebut susunan dasar masyarakat harus diatur untuk memberikan keuntungan sebesar-sebesarnya kepada mereka yang kurang beruntung, dengan terwujudnya hal tersebut maka akan tercapai kesempatan kepada semua orang untuk menempati suatu jabatan atau posisi tertentu. Untuk lebih jelasnya, akan dicontohkan “A adalah seorang anak yang berbakat dan memiliki potensi untuk menjadi seorang pilot namun ia berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu untuk membiyai pendidikan di sekolah penerbangan, dilain sisi B adalah anak orang kaya dan juga memiliki potensi seperti si B untuk masuk sekolah pilot” menurut prinsip perbedaan (difference principle) institusi sosiol harus mampu menjamin si A mendapat peluang yang sama seperti si B. Dengan demikian si A dan B akan mendapat peluang yang sama kendati keduannya berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda. Maka dapat dikatakan bahwa pengertian keadilan menurut Rawl adalah ketika hak dan kewajiban terdistribusi secara seimbang sehingga setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh hak-hak dasarnya. Terhadap tiga teori keadilan diatas, dalam penelitian ini penulis lebih cenderung untuk menggunakan teori keadilan John Rawls.

2. Teori Perlindungan Hukum Istilah perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris,

yaitu legal protection theory; sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan Van de wettlijke besherming dan dalam bahasa jerman disebut dengan Theori der rechtlie Schultz. Secara gramatikal, perlindungan adalah :

a. Tempat berlindung;b. Hal (Perbuatan) Memperlindungi.Memperlindungi menyebabkan atau menyebabkan

berlindung. Arti berlindung sendiri adalah menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, bersembunya, atau meminta

Page 23: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

pertolongan. Sementara itu, pengertian melindungi meliputi: menutupi dirinya supaya tidak tampak, menjaga, merawat, atau memelihara, menyelamatkan atau memberikan pertolongan.23

Sedangkan Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.24

a. Sarana Perlindungan Hukum PreventifPerlindungan hukum preventif merupakan hasil teori

perlindungan hukum yang diutarakan oleh Philipus. Perlindungan hukum ini memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri tersendiri dalam penerapannya.  Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan dan pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir (definitif).Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu.Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran atau sengketa sebelum hal tersebut terjadi.Karena sifatnya yang lebih menekankan kepada pencegahan, pemerintah cenderung memiliki kebebasan dalam bertindak sehingga mereka lebih hati-hati dalam menerapkannya.Belum ada peraturan khusus yang mengatur lebih jauh tentang perlindungan hukum tersebut di Indonesia.Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah

23 H. Salim. HS & Erelies Septina Nurbani, 2016, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta:Rajagrafindo Persada, hal. 259.

24 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adiministrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 287.

Page 24: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.25

b. Sarana Perlindungan Hukum RepresifPerlindungan hukum represif juga merupakan hasil

teori dari Philipus, tetapi ini memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri yang berbeda dengan perlindungan hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada hukum represif ini, subyek hukum tidak mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan karena ditangani langsung oleh peradilan administrasi dan pengadilan umum. Selain itu, ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi berupa hukuman penjara, denda dan hukum tambahan lainnya.Perlindungan hukum ini diberikan untuk menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang sudah terjadi dengan konsep teori perlindungan hukum yang bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dan diarahkan kepada pembatasan-pembatasan masyarakat dan pemerintah.Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan

25Ibid.

Page 25: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.26

3. Teori Negara HukumIstilah negara hukum selain dikenal dengan istilah

rechtsstaat dan rule of law, juga dikenal istilah Nomocracy yang artinya sama dengan negara hukum. Istilah rechstaat dikenal dalam konsep Eropa Kontinental, sedangkan istilah Rule Of Law dikenal dalam konsep Anglo Saxon.

Secara formal istilah negara hukum diartikan sama dengan rechstaat maupun rule of law, mengingat ketiga istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yakni mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Perbedaannya terletak pada arti materil atau isi ketiga istilah tersebut yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.

Jimly Asshiddiqie menggunakan istilah nomocracy sebagai padanan istilah negara hukum, bahwasannya gagasan, cita dan ide negara hukum tersebut saling terkait dengan konsep rechstaat dan rule of law, serta nomocracy yang berasal dari kata nomos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos yang berarti norma dan kratos yaitu kekuasaan. Faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan yaitu norma dan hukum. Karena itu, istilah nomocracy erat kaitannya dengan kedaulatan hukum yang memiliki prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.27

Dari pandangan diatas, dapat dipahami bahwa istilah negara hukum dikenal dengan beberapa istilah yang ketiganya memiliki arti yang sama dengan negara hukum, inti dari rumusan tersebut adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara hukum harus terumus secara demokratis dan memang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

26Ibid, hal. 28927 Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, hal. 298.

Page 26: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Kajian negara hukum sudah dimulai dari negara hukum klasik, yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) dan Negara Hukum Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW (570-632). Gagasan negara hukum Plato (427-347 SM) tentang nomokrasi. Saat itu, katanya negara harus dipimpin oleh orang bijak (the philosophers) dan membagi warga negara menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu: the perfect guardians (kaum filosof yang bijak bestari), the auxiliary guardian (golongan pembantu seperti militer dan teknokrat), dan the ordinarypeople (kaum petani dan pedagang).28

Negara Hukum Madinah didirikan oleh Nabi Muhammad SAW (570-632) sekitar kurun waktu 622-632 yang merupakan tipe ideal negara hukum yang didasarkan pada perjanjian masyarakat. Didirikannya Negara Hukum Madinah bermula pada perjanjian Aqabah pertama tahun 620 dan perjanjian Aqabah kedua tahun 621.29

Kemudian, lahirlah cikal bakal negara hukum modern dan bentuk konkritnya lahir konsep rechtstaat yang dirumuskan oleh filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) dan konsep rule of law)yang dirumuskan filosof Inggris A.V.Dicey, yang merupakan gagasan untuk menjamin hak asasi dan pemisahan kekuasaan.

Kemudian, konsep rechstaat berkembang dalam suasana liberalisasi dan kapitalisme pada abad ke – 18 yang dirumuskan oleh Immanuel Kant(1724 -1804) dalam menjabarkan paham laissez faire laissez aller dan nachwachtersstaat, untuk menjamin kehidupan setiap individu,30 yang diinspirasi oleh teori pemisahan kekuasaan Monterquieu yang lahir untuk menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang – wenangan berkaitan dengan paham demokrasi dari Rousseau.

28 Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 82-83.

29 Musdah Mulia, 2001, Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal, Jakarta: Paramadina, hal. 61.

30 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 90.

Page 27: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Unsur – unsur negara hukum yang digagas oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan yang dikembangkan oleh Friedrich Stahl, yaitu: (1) Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia (2) Adanya pemisahan dalam kekuasaan negara (3) Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang – undang yang telah ditetapkan terlebih dahulu (4) Adanya peradilan administrasi negara.31

Kemudian konsep negara hukum (rechtstaat) dikembangkan lagi oleh S.W. Couwenberg menjadi sepuluh unsur seperti yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu sebagai berikut:32

a. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, dan pemisahan antara hukum publik dan privat.

b. Pemisahan antara negara dan gereja. c. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil. d. Persamaan terhadap undang-undang. e. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan

negara dan dasar sistem hukum. f. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan

sistem checksand balances.g. Asas legalitas. h. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan

kehakiman yang tidak memihak dan netral. i. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap

penguasa oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.

j. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat teritorial maupun vertikal.

Berbeda dengan di atas M. Scheltema seperti dikutip oleh Bagir Manan yang menyebutkan bahwa negara

31 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hal. 75.

32Ibid, hal. 91.

Page 28: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama, yaitu: (1) Asas kepastian hukum (2) Asas persamaan (3) Asas demokrasi (4) Asas pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat.33

Beda dengan rechtsstaat, the rule of law yang dimulai dikembangkan di Inggris dan berkembang pula di Amerika Serikat. Perkembangannya di Amerika Serikat dalam government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai dua arti, yaitu formal dan materiil. Arti formal adalah kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power) dan setiap negara modern memiliki rezim hukum sendiri-sendiri. Arti material adalah pemerintahan oleh hukum yang berkeadilan (the rule ofjust law), sedangkan oleh pelopor utamanya A.V. Dicey, the rule of law mempunyaitiga unsur, yaitu: supremacy of law, equality before the law, and the constituionbased on individual rights.34

Frederich Julius Stahl, mengemukakan tentang konsep negara hukum yang ditandai oleh empat unsur pokok yaitu:35

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia

b. Negara didasarkan pada teori trias politikc. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan Undang –

Undang (wetmating bestuur); dand. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas

menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatig eovergheidsdaad)

Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl tersebut dinamakan negara hukum formil, karna lebih menekankan pada pemerintahan yang berdasarkan undang – undang. Negara dalam arti formal sempit (klasik) ini adalah negara yang kerjanya hanya menjaga agar jangan

33 Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM Unisba, hal. 5.

34 A. Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia Publishing, Jawa Timur.

35 Miriam Budiardjo dalam Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, hal.33.

Page 29: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis ( undang – undang ) yaitu, hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi adalah prinsip “laiesez faire laiesizealler”.

Namun, seiring dengan perkembangan pemerintahan yang berdasarkan undang – undang dirasa lamban dan kemudian diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan prinsip rechmatig bestuur. Dengan demikian, negara hukum formil menjadi menjadi negara hukum materiil dengan ciri rechmatig bestuur. Kemudian lahirlah konsep – konsep yang merupakan varian dari rechtsstaat itu, antara lain welvaarsstaat dan verzorgingsstaat sebagai negara kemakmuran. Populer diistilahkan dengan welfarestaat modern.36 Negara dalam arti materiil (luas modern) ialah negara yang terkenal dengan istilah welfare state (welvaar stat), (wehlfarstaat), yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas – luasnya, yaitu kemanan sosial (sosial security) dan menyelenggarakan kessejahteraan umum, berdasarkan prinsip – prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak – hak asasi warga negaranya benar – benar terjamin dan dilindungi.37

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang di gagas oleh founding people 38yang dirumuskan pada Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945 perubahan ke - 4 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Selanjutnya, ditegaskan juga bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Selain itu juga dirumuskan pada

36 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in Democratiche Rechtsstaat), Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42

37 A. Mukhtie Fadjar, Op.Cit. 38 Menurut Mahfud MD, para pendiri Negara Indonesia yang merumuskan

pembentukan negara tidak hanya terdiri laki – laki, namun ada beberapa perempuan yang turut serta dalam pembentukan negara, sehingga beliau menyatakan sebagai founding people daripada founding father.

Page 30: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menegaskan bahwa “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”.39

Sehubungan dengan konsep negara hukum diatas, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik dengan rechtstaat. Hal itu dapat dilihat pada penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat).

Pengertian rechstaats disamakan dengan “negara berdasarkan atas hukum” karena negara Indonesia merupakan negara hukum menurut Gautama40 dan setiap tindakan harus didasarkan pada hukum.

Menurut Oemar Seno Adji, sebagai Negara Hukum Indonesia memiliki cirri – ciri khas Indonesia. Oleh karena itu Pancasila diangkat sebagi dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara Hukum Pancasila.41

Dalam telaahnya Padmo Wahyono menjelaskan pengertian Negara Hukum Pancasila dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan, yang tercantum dalam UUD NRI 1945 (asas ini tetap ada meskipun UUD 1945 telah diamandemen, vide Pasal 33). Asas kekeluargaan tersebut pada dasarnya yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat martabat manusia tetap dihargai.42

Sedangkan menurut Sri Soemantri,43 menjelaskan Negara Hukum Indonesia secara lebih transparan bahwa salah satu unsur Negara Hukum Indonesia adalah melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu berdasar

39 Lihat selengkapnya Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

40 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, hal.3

41 Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang,hal. 69.

42Ibid, hal.69-70.43 Sri Soemantri, (tanpa tahun), Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan

Pancasila, makalah SESKOAD ABRI.

Page 31: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

pada hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian, sudah semestinya aparat penegak hukum maupun pejabat administrasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya mempertimbangkan pula hukum tidak tertulis disamping hukum tertulis.

Selanjutnya, Sunaryati Hartono menyamakan arti istilah “negara hukum dengan rule of law, sebagaimana dalam tulisannya “supaya tercipta suatu negara hukum yang membawakeadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil.44

Menurut Philipus M. Hadjon45 menjelaskan bahwa negara hukum tidak begitu saja dipersamakan dengan rechtstaats maupun rule of law, dengan alasan: a. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar

belakang sejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuanganmenentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme;

b. baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;

c. untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigeheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law,sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam

salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut,

44 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Bandung: Alumni, hal. 35.

45 Philipus M. Hadjon, Op.Cit., hal. 84-85

Page 32: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaru oleh sistem hukum continental (rechtstaats).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Sunaryati hartono menyatakan bahwa pada masa kini diatas pancasila dan UUD 1945 berdiri tata hukum Indonesia yang pluralistis yang tersusun atas sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum nasional dan sistem hukum barat.46

4. Teori Sistem HukumSistem Hukum adalah suatu kesatuan komponen-

komponen didalam hukum, yang dimana masing-masing komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain. Hukum sebagai sebuah system, yang di dalamnya memiliki komponen-komponen yang saling bekerja sedemikian rupa sehingga membentuk pola dengan ciri khasnya sendiri.47

Umumnya para ahli berpendapat bahwa dalam system hukum terdapat tiga komponen penting yang saling melengkapi dan saling ketergantungan.Komponen-komponen tersebut meliputi Komponen Struktur (Struktur of Law), Komponen Substansi (Substance of the Law), Komponen Kultur (Legal Culture).48

Struktur, Bagian-bagian penting dari system hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme.Yang termasuk di dalam komponen ini adalah lembaga-lembaga pembuat hukum/Undang-undang, para pekerja hukum, Biro bantuan Hukum, serta Lembaga-lembaga lain yang diberi wewenang untuk menjalankan Hukum.

Substansi, Perangkat hukum/aturan hukum itu sendiri, hal ini menyangkut kualitas isi hukumnya.Isi hukum dianggap berkualitas ketika sesuai dengan aspirasi dan rasa keadilan Masyarakat.Hukum yang baik adalah jenis hukum yang responsif, bukan represif.Hukum-hukum yang

46 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,hal. 61.

47 Wasis, 1998, Pengantar Ilmu Hukum, Malang:UMM Press.48Ibid.,

Page 33: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

dimaksud secara substansial berbentuk macam-macam, ada yang berbentuk Konkreto dan Abstracto, Privat dan Publik.

Kultur, komponen ini menyangkut soal tingkat kesadaran Hukum yang ada di Masyarakat. Dalam proses penegakan hukum, komponen ini juga sangat berpengaruh, sebab akan menentukan apakah hukum yang diberlakukan dapat ditaati atau tidak.49

5. Tinjauan Umum tentang Masyarakat Hukum Adata. Pengertian Dan Hak Masyarakat Hukum Adat

Istilah Masyarakat Hukum Adat telah digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undagan diantaranya aialah UU No. 5 Tahun 1950 tentang Agraria, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan lain sebagainya. Istilah masyarakat hukum adat juga dikenal dalam kajian tentang hukum adat (adatrecht) yang pertama kali dikenalkan oleh Cornelis Van Vollenhoven.Pengertian Masyarakat Hukum Adat baik secara yuridis maupun secara doktrinal mendapat rumusan yang berbeda.

Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Ter Haar ialah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat.50Sedangkan menurut Hazairin masyarakat hukum adat ialah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah air bagi semua anggotanya.51Juga para tokoh masyarakat adat

49Ibid.,50 Mr. B. Ter Haar Bzn, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,

diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: PT. Pradnya Paranita, hal. 7. 51 Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko, 1983, Hukum Adat Indonesia,

Cetakan Ke-II, Jakarta: PT. Rajawali Press, hal. 108.

Page 34: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.52 Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat.53

Secara yuridis pengertian Masyarakat Hukum Adat diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 31 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun

52 Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal. 30.

53 Maria Rita Ruwiastuti, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Yogyakarta; Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, hal. 177.

Page 35: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

temurun. International Labour Organizationdalam Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989, merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.

Dari beberapa pengertian Masyarakat Hukum Adat tersebut maka, dalam penelitian ini penulis mengartikan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim dan menguasai wilayah geografis tertentu, dan memiliki ikatan karena asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum.

Selanjutnya perlu untuk dipaparkan kriteria masyarakat hukum adat masyarakat hukum adat. Menurut H.M. Koesnoe54 menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya memperhatikan hal-hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut:

a. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan satu kesatuan yang terorganisir.

b. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.

c. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa generasi).

54 H. M. Koesnoe, 2000, Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya: Ubaya Press, hal. 34.

Page 36: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

d. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum.

e. Bagaimana menurut tradisinya asal–usul kelompok itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya. Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (2) Permendagari

No. 52 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:

a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;b. wilayah Adat;c. hukum Adat;d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dane. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Menurut pasal ini bahwa untuk dalam proses pemberian pengakuan atas masyarakat hukum adat, dilakukan identifikasi terhadap masyarakat hukum adat dengan acuan sebagaiman disebut diatas. Maka poin-poin tersebut dipadankan oleh penulis sebagai kriteria keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Apabila unsur-unsur pengertian masyarakat hukum adat dipadukan dengan kriteria masyarakat hukum adat sebagaimana yang telah dipaparkan, maka didapat kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :55

a. Terdapat masyarakat yang teratur;b. Menempati suatu tempat tertentu;c. Ada kelembagaan;d. Memiliki kekayaan bersama;e. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu

keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;f. Hidup secara komunal dan gotong royong.

55 Syarifah M, 2010, Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, hal. 21.

Page 37: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi :

a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;b. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;c. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan

keamanan ekonomi;d. Hak atas pendidikan;e. Hak atas pekerjaan;f. Hak anak;g. Hak pekerja;h. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;i. Hak atas tanah, Mayarakat adat memiliki hak atas

tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)

j. Hak atas persamaan;k. Hak atas perlindungan lingkungan;l. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;m. Hak atas penegakan hukum yang adil.

Sedangkan menurut hukum posistif Indonesia hak-hak MHA :

No.

Peraturan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat

1. Undang-undang PEMDA

Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat

2. Undang-undang HAM

a. Pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya

b. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas

Page 38: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

tanah ulayat3. Undang-undang

Kehutanana. Hak atas hutan adatb. Mengelola kawasan untuk

tujuan khususc. Melakukan pemungutan hasil

hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan

d. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang

e. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya

4. Undang-undang Sumber Daya Air

Hak ulayat masih dianggap hidup apabila memenuhi tiga unsur:

a. Unsur MHAb. Unsur wilayahc. Unsur hubungan antar MHA

dengan wilayahnya5. Undang-undang

Perkebunan Masyarakat Adat

Memperoleh ganti rugi hak atas tanah mereka yang digunakan untuk konsesi perkebunan

6. Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil

Hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3)

7. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan

Keberadaan masyarakat adat, kearifan lokal, dan hak-hak masyarakat adat dalam perlindungan

Page 39: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Lingkungan Hidup. dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berikut adalah hak-hak tradisional MHA yang dibagi menjadi dua yaitu hak atas tanah MHA dan hak diluar hak atas tanah masyarakat hukum adat:a. Hak Atas Tanah MHA

MHA dengan tanah yang dikelolanya memiliki hubungan yang bersifat religius magis sehingga mengakibatkan MHA memiliki hak untuk menguasai, memanfaatkan, memungut hasil tumbuh-tumbuhan dan berburu di wilayah tanah tersebut.Hak diatas biasa disebut dengan Hak ulayat.

Berikut adalah cara-cara yang dilakukan oleh MHA dalam memelihara dan mempertahankan hak ulayatnya:- Persekutuan membuat batas-batas disekeliling

wilayah kekuasaannya- Menunjuk pejabat-pejabat tertentu untuk

mengawasi wilayah yang bersangkutan- Dilakukannya surat-surat pikukuh atau piagam

raja terdahulu yang dikeluarkan sebagai putusan hakim

b. Hak Lain diluar Hak Atas Tanah MHAMenurut Teuku Djuned, setiap persekutuan MHA

mempunyai hak kewenangan asal-usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak:1) Menjalankan sistem pemerintahan sendiri;2) Menguasai dan mengelola SDA dalam wilayahnya

untuk kemaslahatan warganya3) Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus

warga serta lingkungannya. Keluar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum;

4) Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, hak membentuk adat;

Page 40: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

5) Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.56

Sedangkan menurut Abdon Nababan terdapat empat kategori hak masyarakat hukum adat yang sering disuarakan, yakni :57

1) Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;

2) Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;

3) Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/kelembagaan adat;

4) Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan(kearifan) dan bahasa asli.

b. Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Instrumen Hukum Internasional

Melihat dari sangat pentingnya keberadaan masyarakat hukum adat dalam sebuah negara, yang mana masyarakat hukum adat juga dianggap sebagai salah satu cerminan identitas negara, maka perlindungan yang kini diberikan tidak hanya dalam ruang lingkup nasional. Mengingat perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dalam hukum nasional kurang dapat memberikan perlindungan yang maksimal, maka dalam hal iniakhirmya memunculkan kepedulian dari sebuah organisasi internasional yaitu ILO (international labour organization) organisasi perburuhan internasional, untuk memberikan pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat hukum adat secara internasional.

56 Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, hal. 103.

57http://epistema.or.id . Diakses pada 1 Agustus 2016.

Page 41: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Melalui Konferensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional yang disidangkan di Jenewa oleh Badan Pimpinan Kantor Perburuhan Internasional, dan setelah mengadakan pertemuan dalam sidangnya yang ke-76 pada tanggal 7 Juni 1989, mengeluarkan sebuah ketetapan yaitu Konvensi Masyarakat Hukum Adat 1989. Konvensi ini berisikan mengenai masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka.

Isi dari konvensi tersebut salah satunya mengatur tentang kebijakan umum yang memiliki sub bagian yakni status, tanggung jawab pemerintah dalam menyusun dan memastikan bahwa masyarakat hukum adat mendapatkan manfaat berdasarkan kesetaraan derajat. Kemudian bagian tanah yakni dalam menentukan ketentuan pemerintah harus menghormati pentingnya kekhususan nilai budaya spiritual dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.Bagian perekrutan dan syarat-syarat kerja pemerintah harus melakukan setiap hal yang mungkin dilakukan untuk mencegah diskriminasi antara para pekerja dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan para pekerja lainnya.

Bagian pelatihan kejuruan, kerajinan tangan dan industri-industri pedesaan yakni masyarakat hukum adat harus mendapatkan kesempatan yang sama dengan kesempatan yang didapat oleh warga negara lain sehubung dengan upaya pelatihan kejuruan, meningkatkan partisipasi secara sukarela dalam program-program pelatihan kejuruan yang bersifat umum.

Bagian jaminan sosial dan kesehatan yaitu skema jaminan sosial harus diperluas secara bertahap untuk mengikutsertakan masyarakat hukum adat tanpa diskriminasi, pemerintah memastikan tersedianya pelayanan yang memadai.

Page 42: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Bagian pendidikan dan sarana komunikasi yakni masyarakat hukum adat mempunyai kesempatan untuk mendapat pendidikan disemua tingkatan yang sekurang-kurangnya sama dengan masyarakat lain di negara yang bersangkutan.

Bagian hubungan dan kerjasama lintas batas yakni pemerintah harus mengambil upaya yang tepat termasuk perjanjian internasional untuk memfasilitasi hubungan dan kerjasama antara masyarakat hukum adat lintas batas-batas negara, termasuk kegiatan dibidang ekonomi, sosial, budaya, spiritual dan lingkungan hidup.

Bagian administrasi yakni pemerintah yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dicakup dalam konfensi ini dan harus memastikan adanya instansi-instansi atau mekanisme lain yang diperlukan untuk menyelenggarakan program-program yang berdampak terhadap masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Bagian ketentuan-ketentuan umum yakni konvensi ini ditetapkan secara luwes dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang menjadi ciri tiap negara.

Tidak hanya itu saja namun perlindungan masyarakat hukum adat dalam instrumen hukum internasional juga ada pada sejak ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Perlindungan tersebut kemudian diatur secara berturut-turut dalam berbagai internasional secara terperinci, yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras, Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku Tahun 1989, Komentar Umum Nomor 4 Tahun 1991 Komite Untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tentang Hak Atas Perumahan, Arahan Operasional 4.20 Bank Dunia Bulan

Page 43: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

September 1991, Deklarasi hak orang-orang yang termasuk bangsa/suku bangsa, agama,dan bahasa minoritas Resolusi Majelis Umum PBB 47/135 tanggal 18 Desember 1992, Agenda 21 tahun yang ditetapkan oleh Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan pada tahun 1992, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77 tentang Pengusiran Paksa.58

6. Tinjauan Tetang Peran Serta MasyarakatKeterlibatan masyarakat dalam suatu proses dikenal

dengan partisipasi masyarakat. Istilah lain partisipasi yang sering digunakan adalah peran serta, keterlibatan dan keikutsertaan yang terwujud dalam sikap gotong royong. Peran serta tersebut kemudian diartikan sebagai cara melakukan interaksi antara dua kelompok. Kelompok yang selama ini tidak dikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) atau kelompok masyarakat yang terkena kebijakan dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).

Canter (1977) merumuskan bahwa peran serta masyarakat adalah proses komunikasi dua arah yang berlangsung secara terus – menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dianalisa oleh badan yang berwenang.59

Menurut Cormick (1979) peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat kosultatif dan bersifat kemitraan. Masyarakat mempunyai hak untuk di dengar pendapatnya dan berhak untuk diberi tahu oleh pejabat pengambil keputusan kepada masyarakat yang berkepentingan merupakan pola hubungan konsultatif. Sedangkan, pola hubungan yang bersifat kemitraan menggambarkan bahwa keduanya antara pejabat pengambil keputusan dengan mkelompok masyarakat

58 Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat,Pengaturan Hak – Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Malang: Setara Press

59Ibid.,hal. 27.

Page 44: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

memiliki kedudukan yang sama dan secara bersama - sama membahas masalah dan mencari pemecahan masalah.

Selain membedakan sifatnya, peran serta masyarakat memiliki tingkatan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai “non peran serta”, dengan menempatkan bentuk – bentuk peran serta yang dinamakan (1) terapi dan (2) manipulasi. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat “Tokenisme” yaitu suatu tingkat peran serta dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Selanjutnyam tiga tingkat teratas ke dalam tingkat “kekuasaan masyarakat” (citizen power).60

Peran serta masyarakat memberikan kegunaan bagi pengambil keputusan dalam menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.

Perlunya peran serta masyarakat selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, peran serta msyarakat akan membantu perlindungan hukum.

Menurut Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat61 :

a. Menuju masyarakat yang lebih bertanggungjawabb. Meningkatkan proses belajarc. Mengeliminir perasaan terasingd. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari

rencana pemerintah60Ibid.,hal. 28.61Ibid.,hal. 34.

Page 45: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

e. Menciptakan kesadaran politikf. Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan

kebutuhan dan keinginan masyarakatg. Menjadi sumber dari informasi yang bergunah. Merupakan komitmen sistem demokrasi

Masalah utama yang menjadikan kelemahan dalam peran serta masyarakat ada pada masyarakat itu sendiri. Kecenderungan masyarakat yang kehilangan gairahnya selama masa pengembangan proyek yang cukup lama.Berbeda dengan kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu.

Sedangkan menurut Santoso, program peran serta masyarakat memang di desain untuk “menggiring” masyarakat agar setuju dengan pendapat pengambil keputusan atau sang pemrakarsa kegiatan.

7. Tinjauan Pengolahan Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan

semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.Lingkungan hidup merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan lingkungan hidup harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah pemukiman, karena lingkungan hidup manusia adalah sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana terdapat kepentingan manusia di dalamnya.62

Lingkungan hidup manusia terdiri dari lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling mempengaruhi Lingkungan hidup manusi terdiri atas lingkungan hidup sosial yang menentukan seberapa jauh lingkugan hidup alam mengalami perubahan drastis

62 Lihat Undang – Undang Nomor 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 46: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

menjadi lingkungan hidup buatan.Dalam upaya meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan upaya untuk mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan memodifikasi lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat dijauhkan dan dilaksanakan pencegahan melalui efisiensi dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya lingkungan dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat terpelihara.ada tiga upaya yang harus dijalankan secara seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi karena dampak interaksi manusia dan lingkungannya.

Kesadaran Lingkungan Hidup Menurut M.T Zen adalah usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam lingkungannya.

Menurut Emil Salim, kesadaran lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua, membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya pemuda masa kini agar mencintai tanah liar.

Daniel Chiras menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan.Etika lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika lingkungan yang didasarkan pada sistem nilai yang mendudukkan manusia bukan bagian dari alam, tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam.Didalam pendidikan lingkungan hidup, konsep mental tentang manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi manusia sebagai bagian dari alam.

Dari teori-teori diatas maka dapat diberikan pengertian sebagai berikut :

Page 47: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

1. Kesadaran adalah pengetahuan. Sadar sama dengan tahu.

Pengetahuan tentang hal yang nyata, konkret, dimaksudkan adalah pengetahuan yang mendalam (menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak salah.Tidak asal mengetahui/tahu, sebab banyak orang tahu pentingnya lingkungan hidup tetapi belum tentu sadar karena tindakan/perilaku merusak lingkungan/tidak mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup.

2. Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku.Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap

menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya.Contoh yang dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya larangan untuk tidak membuang sampah kesungai / saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan harus mentaati larangan tersebut dengan tidak membuang sampah ke sungai.Dikatakan demikian karena menurut teori kesadaran adalah pengetahuan dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan.63

8. Tinjuan Tentang Penyelesaian SengketaMenurut Sudarsono, Konflik atau sengketa adalah

sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan.64. Penyelesaian Sengketa terdapat dua jenis, yaitu penyelesaian secara Litigasi dan penyelesaian secara Nonlitigasi.a. Litigasi

Penyelesaian sengketa secara litigasi adalah penyelesaian melalui pengadilan Umum atau dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakuakan di depan pengadilan.65

63 Universitas Sumatera Utara, 2011, Tinjauan pustaka Pengeleloaan Lingkungan Hidup, Sumatera Utara,

64 Sudarsono, 2002,Kamus Hukum,Jakarta: Rineka Cipta. 65 Racmadi Usman, 2012,Mediasi di pengadilan,Jakarta: Sinar Grafika

Page 48: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

b. Non LitigasiPenyelesaian dengan cara ini adalah penyelesaian

diluar peradilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan.66 Hal ini adalah sebuah alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda pendapat melalui Prosedur yang disepakati para pihak, yakni Penyelesaian diluar pengadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli. 67

Menurut Frans Winarta Masing-masing lembaga penyelesaian sengketa diatas sebagai berikut :

a. Konsultasi : Suatu tindakan yang bersifat “Personal” antara suatu pihak tertentu dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.

b. Negosiasi : Suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.

c. Mediasi : Cara Penyelesaian sengketa melalui Proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dan dibantu oleh mediator.

d. Konsiliasi : Penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

e. Penilaian Ahli : pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.68

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma66 Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta:Sinar

Grafika.67 Lihat Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa68Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,

Page 49: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Pembentukan peraturan/ kebijakan tidak dapat dilepaskan dari asas-asas. Beberapa ahli dalam bidang hukum administrasi Negara mengemukakan pendapat bahwa pembentukan peraturan/kebijakan harus taat hukum.69 Ketaatan asas dalam hal ini adalah ketaatan secara umum terhadap pemerintahan yang baik, selain itu peraturan kebijakan juga harus taat kepada asas-asas pembentukan peraturan walaupun nomenklaturnya bukan peraturan perundang-undangan.

Viktor Imanuel W. Nalle, menyebutkan Ada beberapa asas yang relevan dalam pembentukan materi peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:

1. Asas persamaan;2. Asas Kepercayaan;3. Asas kepastian hukum;4. Asas kecermatan;5. Asas perlunya pengaturan;6. Asas tujuan yang jelas;7. Asas dapat dilaksanakan;8. Asas kemudahan dapat dikenali70

I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.Asas-asas yang formal meliputi :

1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling).

2. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan).

3. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel).

4. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid).

5. asas konsensus (het beginsel van consensus).69 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal.117.70 Viktor Imanuel W. Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil, Kajian Pembentukan dan

Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, Malang: Setara Press, hal. 66-74.

Page 50: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Asas-asas yang material meliputi:1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar.2. asas tentang dapat dikenali.3. asas perlakuan yang sama dalam hukum.4. asas kepastian hukum.5. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:

1. Asas-asas formal, dengan perincian:a. asas tujuan yang jelas.b. asas perlunya pengaturan.c. asas organ/ lembaga yang tepat;asas materi muatan

yang tepat.d. asas dapatnya dilaksanakan. e. asas dapatnya dikenali.

2. Asas-asas material, dengan perincian:a.asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;b.asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;c.asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas

Hukum; d.asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan

berdasar Sistem Konstitusi.Selanjutnya, Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:1. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang

berlaku sebagai “bintang pemandu”.2. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan

undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.

Page 51: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

3. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.

Asaspembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 menjelaskan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:1. kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/ pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;

3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangan-nya;

4. dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis;

5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan berman-faat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne-gara;

Page 52: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

6. kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;

7. keterbukaan, bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan, persiapan, penyusunan, dan pemba-hasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai desempatan yang seluas-luasnya untuk membe-rikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

Sementara Pasal 6 menjelaskan bahwa asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan sebagai berikut:1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung

asas:a. pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat;

b. kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;

c. kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

Page 53: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

e. kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;

f. bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasya-rakat, berbangsa, dan bernegara;

g. keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;

i. ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;

j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masya-rakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Selain asas tersebut di atas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

Page 54: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

1. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

2. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Dalam hal Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan adanya asas–asas yang mempengaruhi Pengakuan dan Perlindungan tersebut antara lain Asas Equality Before The Law, Asas Bhineka Tunggal Ika, Asas Kelestarian dan Keberlanjutan, Asas Kepentingan Nasional, Asas Pengayoman, Asas Musyawarah, Asas Kepastian Hukuma. Asas Equality Before The Law

Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Implikasi dari asas ini, bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama. Sehingga menurut asas ini masyarakat hukum adat harus mendapat perlakukan yang sama dihadapan hukum, termasuk dalam hal untuk mendapat perlindungan hak-hak tradisionalnya sebagaimana entitas lain (misalnya badan hukum) mendapatkan hak-haknya.

b. Asas Bhineka Tunggal IkaAsas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia keberadaan masyarakat hukum adat diakui dan dilindungi dengan segala ciri khas yang melekat padanya sebagai bagian dari keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, serta budaya di Indonesia.

c. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan adalah bahwa masyarakat hukum adat turut memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Page 55: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

d. Asas Kepentingan Nasional adalah bahwa pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat yang merupakan bagian dari dari negara Indonesia semata-mata ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara indonesia.

e. Asas Pengayoman adalah bahwa masyarakat hukum adat harus mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak tradisionalnya.

f. Asas Musyawarah adalah bahwa proses pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa, serta pembuatan kesepakatan yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat dilakukan dengan mengutamakan musyawarah.

g. Asas Kepastian Hukum adalah bahwa dalam proses perlindungan Masyarakat Hukum Adat para pemangku kepentingan merasakan adanya kepastian pada saat menghadapi persoalan hukum, baik pada saat menuntut hak maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Negara Indonesia, telah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengakuan-pengakuan terlihat dengan terdapatnya frase-frase yang menyebutkan “masyarakat hukum adat” dalam peraturan perundang-undangan terkait, beserta bentuk keterlibatanya. Kendati demikian, terdapat dua hal yang perlu dicatat, yakni : pertama pengakuan tersebut masih bersifat parsial atau sektoral, artinya pengakuan tersebut hanya terbatas pada sektor tertentu saja tergantung aspek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait. Kedua pengakuan yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih bersifat abstrak dan universal, artinya untuk mendapatkan pengakuan yang bersifat konkrit-individual masih perlu ditetapkan oleh norma yang lebih spesifik.

Pengakuan yuridis yang bersifat konkrit-individual tersebut, diatur secara khusus dalam dua peraturan perundang-

Page 56: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

undangan yakni Permendagri No. 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat selanjutnya PPMHA dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Permendagri PPMHA diatur bahwa Gubernur dan Bupati/Walikotamelakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Selanjutnyadalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota. Adapun Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat tersebut, terdiri atas:

1. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua;2. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat

sebagai sekretaris;3. Kepala Bagian Hukum secretariat kabupaten/kota sebagai

anggota;4. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan5. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum

adat sebagai anggota.Tahapan-tahapan pengakuan tersebut meliputi :

1. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;2. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan3. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.Identifikasi tersebut dilakukan dengan mencermati

keberadaan beberapa hal, yaitu :1. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;2. Wilayah Adat;3. Hukum Adat;4. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan5. Kelembagaan/system pemerintahan adat.Setelah melakukan identifikasi dan mendapatkan hasilnya,

maka yang selanjutnya dilakukan adalah verifikasi dan validasi yang hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan. Kemudian panitia masyarakat hukum adat menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota, sehingga dapat dilakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat

Page 57: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.Sedangkan dalam Pasal 67 UU Kehutanan diatur bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berdasarkan ketentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum adat dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, perlu untuk diperhatiakan beberapa hal yang

Inisiatif untuk melakukan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diprakarsai oleh pemerintah. Melulai sistem ini maka alur kebijakan bersifat dari atas ke bawah tanpa diatur mekanisme formal bagi masyarakat hukum adat untuk melakukan permohonan untuk ditetapkan agar diakui secara yuridis.

1. Dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut terdapat disparitas hukum. Hal ini terlihat pada bentuk output dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam Permendagri PPPMHA produk hukum untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat adalah berupa Surat Keputusan Bupati/Walikota, sedangkan dalam UU Kehutanan produk hukum untuk mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat adalah berupa Peraturan Daerah. Maka Dengan adanya dua mekanisme pengakuan yang berbeda, tentunya akan menimbulkan pemahaman yang berbeda pula bagi masyarakat hukum adat. Kedua peraturan perundangan diatas sebagai rujukan dan payung hukum untuk mendorong pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Masalah lainnya adalah jika suatu kesatuan masyarakat hukum adat mengikuti mekanisme pengakuan sesuai dengan Permendagri No. 52 Tahun 2014, maka mereka belum bisa mengklaim hutan adat karena untuk mengklaim hutan adat diperlukan Peraturan Daerah yang telah mengakui

Page 58: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

keberadaan masyarakat hukum adat tersebut yang merujuk pada UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

2. Dalam kedua instrumen hukum tersebut belum mengatur secara komprehensif mengenai hak-hak apa saja yang diakui dan dilindungi.

D. Kajian terhadap Implikasi penerapan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Mengkaji mengenai peraturan perundang – undangan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sudah diatur di beberapa peraturan perundang – undangan namun belum secara penuh mengakomodasi secara komprehensif. Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat masih diatur secara sektoral dan inkonsisten. Eksistensi masyarakat hukum adat semakin melemah seiring dengan perubahan globalisasi yang mengakibatkan masyarakat hukum adat menjadi termajinalisasikan. Meskipun eksistensi masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sesuai dengan yang diamanatkan UUD NRI sebagai norma hukum yang mendasar, namun dalam kenyataannya masih banyak hak - hak masyarakat hukum adat yang dilanggar baik oleh Pemerintah maupun non-Pemerintah. Pelanggaran itu yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik baik secara vertical maupun horizontal yang dapat mengamcam kesatuan Negara Republik Indonesia.

Perlindungan masyarakat hukum adat diwujudkan dengan pengaturan hak – hak tradisional masyarakat adat secara komprehensif. Adanya perlindungan hak – hak tradisional masyarakat adat secara komprehensif akan mencegah, mengurangi dan menyelesaikan konflik – konflik yang muncul serta akan menjadi jawaban atas permasalahan yang ada.

Dengan adanya penerapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat akan memberikan implikasi baik terhadap masyarakat hukum adat sendiri dan masyarakat luas. Implikasi terhadap masyarakat luas akan dirasakan bahwa dengan kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam tersebut akan tetap lestari dan kesatuan masyarakat hukum adat akan

Page 59: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

kemajemukannya tetap dapat dipertahankan sesuai dengan prinsip bangsa Indonesia “Bhinneka Tuggal Ika” yakni berbeda – beda tetapi tetap satu. Selain itu, implikasi terhadap masyarakat hukum adat adalah terjaminnya hak – hak tradisional masyarakat hukum adat yang dijamin kepastiannya dalam undang – undang guna mempertahankan ke khasan / ciri budayanya.

Masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang memiliki wilayah adat tersendiri yang kemudian diberikan kewenangannya untuk mengelola dan memelihara, kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat hukum adatnya, serta mencegah terjadinya perselisihan yang terjadi. Pemberian kewenangan itulah yang kemudian memberikan implikasi kepada masyarakat hukum adat mengenai hak dan kewajibannya sebagai masyarakat hukum adat. Kewajiban Masyarakat Hukum tersebut ditujukan kepada masyarakat dan negara. Kewenangan inilah yang mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat hanya berlaku ke dalam.

Begitu pula, terkait dengan perlindungan masyarakat hukum adat yang memberikan implikasi terhadap keterlibatan masyarakat hukum adat. Dalam hal ini partisipasi masyarakat hukum adat secara penuh dan efektif dalam pembangunan wilayah adatnya diperlukan karena masyarakat hukum adat tersebut sebagai penerima dampak langsung dari proyek tersebut. Peran serta masyarakat hukum adat terhadap pembangunan nasional merupakan salah satu kewajiban mesyarakat hukum adat untuk memberikan kontribusi yang lebih, dalam kemajuan akan wilayah adatnya. Karena masyarakat hukum adat itu sendirilah yang mengetahui pengembangan wilayah adatnya.

Page 60: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB IIIEVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Kajian terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dari aspek yuridis ditujukan untuk mengetahui seluruh peraturan perundang-undangan yang substansinya mengatur dan berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. kajian ini dilakukan untuk mengetahui singkronisasi pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

Dari kajian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan pemikiran dalam membentuk undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. dengan demikian pengaturannya tidak lagi sektoral serta inkonsistensi dapat ditanggulangi agar hak-hak masyarakat hukum adat dapat berjalan optimal serta adanya sinergitas antara masyarakat hukum adat dalam negara kesatuan republik Indonesia.

Undang-Undang yang berkaitan antara lain:1. Analisis terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum

adat diakui dalam pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 NRI sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945 serta dalam pasal 28I ayat (3). Pada pasal 18B ayat (2) pengaturan mengenai perlindungan masyarakat hukum adat di tempatkan sebagai bagian dari pengaturan pemerintah daerah yang mensyaratkan kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak tradisionalnya yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia diakui eksistensinya yang diatur dalam undang-undang.

Amanat pasal 18B ayat (2) memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya lebih lanjut dalam undang-undang, kemudian Perintah terkait perlindungan terhadap masyarakat hukum adat,

Page 61: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, ada 2 (dua) orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu: A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan. Lebih lanjut, pendapat tersebut diuraikan yang pada intinya mengatakan juga bahwa hingga saat ini belum ada satu pun Undang-undang yang di dalamnya memuat penjabaran ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut. Tersirat dari pendapat tersebut untuk mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan Undang-undang khusus mengenai hal itu.

Sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan perlindungan terhadapa masyarakat hukum adat. Secara horisontal peraturan perundang-undangan tersebut harus memiliki sinkronisasi mengenai muatan materi yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lain maupun rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.

2. Analisis terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam Tap MPR tersebut disebutkan tepatnya pada Pasal 5 huruf (j), secara tersurat telah dengan tegas mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Terkait dengan pengakuan yang tertulis, pemerintah berarti telah memberikan kewenangan atas sumberdaya alam yang berada di tengah-tengah masyarakat hukum adat, baik dalam pengolahannya atau juga dalam pemanfaatannya.

Namun seringkali ditemukan konflik baik antara sesama masyarakat hukum adat dan dengan

Page 62: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

pemerintah.Hal tersebut menandakan bahwa pengakuan yang diberikan kurang dapat menjamin hak masyarakat hukum adat.Sehingga diperlukan pengakuan yang lebih komperhensif agar tidak mencederai hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya yang mereka miliki.Perintah terkait pengakuan atas sumberdaya alam terhadap masyarakat hukum adat maka telah nyata bahwa Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan maupun program untuk mewujudkan pula perlindungan pelaksanaannya.Secara horisontal peraturan perundang-undangan harus memiliki sinkronisasi mengenai muatan materi yang diatur dengan keadaan yang ada pada masyarakat hukum adat.

3. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Mencermati Undang-Undang tersebuttepatnya pada Pasal 6 ayat (1) yakni mengenai perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah, dan ayat (2) yakni identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Bahwa intinya masyarakat hukum adat mempunyai kekhususan dalam beberapa hal yang itu perlu perlindungan khusus dan lebih terperinci dalam hal perlindungan dan kejelasan statusnya baik dalam status budaya dan status dalam kepemilikan atas tanah ulaya.

Pada kenyataan di Indonesia, masih ada terjadi konflik mengenai tanah ulayat yang merupakan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat telah diganggu dan tidak dihormati.Perlindungan terhadap jaminan mengenai hal ini yang diberikan masih sangat lemah terkait dengan diberikannya pengakuan atas keberadaan dan kepemilikan atas tanah ulayat.Secara gramatikal pemberian hak atas tanah ulayat memiliki arti bahwa tanah tersebut adalah

Page 63: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

tanah milik masyarakat hukum adat yang tidak boleh diganggu apalagi untuk oknum-oknum yang memiliki kepentingan pribadi.

Pasal 22 ayat (1) 1.Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta ayat (2) 2.Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.Mengamati pasal ini bahwa masyarakat adat juga memiliki kesamaan hak dalam menentukan agama yang dipercayai serta menjalankan ibadahnya seperti masyarakat lainnya.Dan pemerintah juga menjamin terlindungnya masyarakat hukum adat atas rasisme dan diskriminasi yang dapat terjadi sewaktu-waktu.Pemerintah juga harus menjamin secara hukum apabila hak tersebut diciderai maka masyarakat hukum adat dapat melakukan “proteksi diri”.

4. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Pada Pasal 1 ayat (6) bahwa Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.Bahwa hutan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat adalah hanya hutan yang berada disekitar atau dimana masyarakat itu berada, sehingga kepemilikannya juga terbatas dalam satu wilayah tersebut.

Pada bagian ke-3 Pasal 4 ayat (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal tersebut meiliki arti bahwa memang negara menguasai hutan yang berada dalam lingkup negaranya namun juga harus menghormati hak masyarakat hukum adat tentang hutan yang sudah ada dan dihuninya sejak zaman dahulu.

Page 64: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Pada bab II Pasal 5 ayat (2) (3) dan (4) mengenai status dan fungsi hutan bahwa sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya, maka huatn tersebut menjadi milik masyarakat hukum adat yang harus dihormati haknya dan tidak boleh diciderai untuk kepentingan industri yang merugikan masyarakat hukum adat tersebut dan nasional.

Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pasal 17 ayat (2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Sehingga dalam pengolahan hutan pemerintah tidak dapat serta merta melakukannya begitu saja namun harus ada pertimbangan dalam berbagai aspek yang sudah ditentukan.

Bab V Pengolahan Hutan Bagian Kedua Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Pasal 34 Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada: masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga sosial dan keagamaan. Bahwa jika hutan masyarakat hukum adat harus diganggu maka harus dengan alasan atas keentingan nasional dan juga dengan izin dari ketua dari sebuah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.Dan hasil atau dampaknya harus diberikan dan untuk masyarakat hukum adat itu kembali, atau untuk kepentingan pendidikan, lembaga penelitian lembaga sosial dan keagamaan.Namun yang sering ditemui adalah hutan tersebut dipakai untuk keperluan industri baik untuk dibangun pabrik atau perumahan atau pemukiman

Page 65: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

baru.Sehingga perlu dikoreksi kembali agar tujuan yang diinginkan sebelumnya dapat dijalakan dengan baik.

5. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

Bab IV Kegiatan Usaha Hulu Pasal 11 ayat (3) huruf (p) yang berbunyi pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat, yang memiliki arti bahwa kegiatan usaha hulu harus memiliki timbal balik kepada masyarakat hukum adat yang ada disekitarnya.Jangan sampai pengembangan yang dilakukan mengganggu hak-hak masyarakat hukum adat.Karena sebab konflik yang timbul karena pengemabangan yang dilakukan dianggap oleh masyarakat hukum adat sebagai hal yang merugikan mereka. Sehingga dalam hal ini perlu lebih jelas dalam kontrak kerjasama yang dilakukan hak-hak apa saja yang diberikan pada masyarakat hukum adat disekitarnya dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam perjanjian kontrak kerjasama dengan badan usaha.

Bab VII Hubungan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi dengan Hak atas Tanah Pasal 3 ayat (3) huruf (a) yang intinya bahwa usaha tersebut tidak dapat dilakukan disembarang tempat ada tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral yang harus dihormati dan tidak dapat dipaksakan untuk usaha yakni tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat.

6. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab IV Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orangtua, Masyarakat, dan Pemerintah Bagian Kesatu Pasal 5 ayat (3) warga negara di daerah terpencil atau terbelakang

Page 66: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, yang artinya bahwa pendidikan harus adil dan merata diseluruh wilayah negara tanpa terkecuali. Pemerintah harus menjamin terlaksananya pendidikan disemua tempat tidak memnadang sebelah mata walaupun wilayah terebut terpencil dan jauh dari peradaban.Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 tentang Pendidikan yang intinya mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan mendapat fasilitas untuk belajar.

Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pasal 32 ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bahwa wilayah yang mengalami bencana alam tetap tidak dapat dibatasi haknya dalam mendapatkan pendidikan, dan harus diberi kekhususan dalam menjalankan pendidikan.Fasilitas pendidikan yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.

7. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Bagian Kedelapan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Pasal 51 ayat (1) huruf (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pasal dalam undang-undang nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah konstitusi diatas mengatur kedudukan hukum kesatuan masyarakat hukum adat, Berarti masyarakat hukum adat haruslah memiliki legalitas dengan kualifikasi sesuai putusan Mahkamah

Page 67: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

konstitusi NOMOR 31/PUU-V/2007 yang didalam nya terdapat penafsiran mengenai masyarakat hukum adat.

Pengakuan serta perlindungan jelas terlihat dalam pasal tersebut karena apabila hak-hak terganggu maka masyarakat hukum adat memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan kepada mahkamah konstitusi.

Jelas terlihat pula bahwasannya apa yang disebut sebagai masyarakat hukum adat serta perngakuat dan perlindungannya perlu diatur dalam suatu Undang-Undang agar tidak terjadi perbedaan putusan pengadilan yang memutus mengenai masyarakat hukum adat itu sendiri.

8. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi

Dalam Undang-undang No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi pada Pasal 16 Ayat (3) Huruf a dinyatakan bahwa Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan di tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat. Secara Yuridis dalam Undang-undang ini melindungi Tanah Masyarakat Hukum adat yang termaktub dalam Pasal 16 Ayat (3) Huruf a, agar Tanah Masyarakat hukum adat tersebut dapat terhindar dari Usaha Pertambangan Panas Bumi. Namun, dala Pasal tersebut tidak secara komperhensif menuangkan apa saja yang termasuk tanah milik masyarakat adat atau batasan-batasan tanah milik masyarakat adat tersebut ataupun dalam Undang-undang ini masih sangat abstrak menyinggung mengenai tanah milik masyaraka adat. Maka, hal tersebut dapat memunculkan sebuah konflik kedepannya pada saat salah satu perusahaan baik swasta maupun program Pemerintah akan membuat Usaha Pertambangan Panas Bumi di wilayah adat tersebut. Karena batasan-batasan Tanah Milik masyarakat adat tidak dijelaskan secara rigid dan komperhensif.

Page 68: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

9. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

Undang-undang ini membahasmengenai Sumber Daya Air yang dimana pengakuan Hak-hak Ulayat tertuang dalam Pasal 6 Ayat (2), dan Ayat (3) yang dimana ayat (2) berbunyi : Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

Di dalam Ayat (2) ini adalah bentuk pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang diberikan dari Pemerintahan terhadap Masyarakat Hukum Adat.Terapi, dalam Ayat (2) ini Hanya Berupa Pengakuan, namun tidak ada Perlindugan Yang diberikan oleh Undang-undang ini terhadap Hak-hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Selain itu, terdapat pernyataan “Selama tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional dan Peraturan Perundang-undangan” maka dari situ dapat kita tarik benang merah, bahwa dalam Undang-undang ini tidak secara serius melindungi Masyarakat Hukum Adat, karena ketika kepentingan Nasional itu dapat mengganggu tradisi dan kebudayaan yang ada di dalam Masyarakat Hukum Adat maka Masyarakat Adat tidak dapat memberikan pembelaan karena dalam pasal yang seharusnya dapat melindungi Masyarakat Hukum Adat terdapat Pengecualian.

Sedangkan di dalam Ayat (3) menyatakan bahwa Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.Disini dapat kita tinjau, dalam Ayat (3) menyatakan Bahwa Hak Ulayat Masih diakui ketika kenyataannya masih ada dan telah

Page 69: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

dikukuhkan dengan peraturan daerah Setempat.Maka, hal tersebut dapat mencerminkan pemerintah bersifat pasif dalam konteks pengakuan Masyarakat Hukum Adat untuk mengelola Sumber Daya Airnya sendiri.

10. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

Dalam Undang-undang ini Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tentang Perkebunan dirasa sudah sangat konkrit dan jelas Perlindugan masyarakat Hukum Adat itu sendiri dituangkan dalam Pasal 9 Ayat (2) dinyatakan bahwa Dalam hal tanah. yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya. Dan diperkuat dalam ketentuan Pasal demi Pasal yang dimana diperjelas sebagai berikut : Masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur:a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban

(rechtgemeinschatf);b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa

adat;c. ada wilayah hukum adat yang jelas;d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya

peradilan adat yang masih ditaati; dane. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.

Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas

Page 70: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas tanah.

Maka dalam undang-undang ini pemohon wajib untuk musyawarah terhadap pihak yang bersangkutan. Namun, dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai akta jual beli tanah yang dimana Masyarakat Hukum adat tidak menggunakan PPAT, artinya batasan-batasan tanah milik Masyarakat Adat yang akan dijadikan perkebunan tidak mendapat kepastian batasan mana tanah yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan (Masyarakat Adat).

11. Analisis terhadap Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memasukan nilai-nilai kearifan local yang dimana termaktub dalam Pasal 6 Ayat (2).namun, hanya dalam bentuk pertimbangan saja. Maksudnya adalah ketika terdapat pengelolaan penangkapan ikan harus mempertimbangkan Masyarakat Adat yang hidup di daerah pesisir Pantai dan Kearifan local yang ada di wilayah tersebut.Jadi, perlindungannya dirasa sangat kurang mengingat proporsi pertimbangan dari setiap individu maupun kelompok itu berbeda-beda.Maka terdapat ketidakpastian hukum didalam Pasal ini.

12. Analisis terhadap Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-undang ini tidak secara langsung mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat. Namun dalam Undang-undang ini hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Maka didalam undang-undang ini berusaha agar Masyarakat Hukum Adat turut andil dalam penyelenggaraan penataan ruang. Namun tidak terdapat

Page 71: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

wilayah wilayah apa saja yang dapat di jangkau oleh Masyarakat Hukum Adat mengenai Penataan ruang.

13. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-undang ini diatur secara luas dan mendetail pasal per pasalnya.Dalam Undang-undang ini masyarakat Hukum Adat Seperti diberikan Keistimewaan dalam beberapa hal.Salah satunya adalah mengelolah wilayah konservasi.Seperti yang telah disampaikan di pasal 1 angka 23 dan 24 Masyarakat Hukum Adat telah dijelaskan sedemikian rupa. Namun terdapat hal yang dapat menghalangi Impelementasi daripada Undang-undang ini, salah satunya adalah Undang-undang ini hanya menyatakan tentang Hak-hak Masyarakat Hukum Adat, namun tidak dijelaskan lebih rinci mengenai kewajiban apasaja yang harus diemban oleh Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional.

14. Analisisterhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Pada Undang-undang ini hanya menyebutkan satu pasal mengenai masyarakat adat yakni pada Pasal 30 ayat 6 yang menyatakan bahwa penyelesaian terkait konflik mengenai perusahaan penyediaan listrik yang beroperasi di tanah ulayat maka akan diselesaikan berdasarkan perUUan yang mengatur tanah dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat. Namun sayangnya pada pasal ini tidak menjelaskan secara lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan ketentuan hukum adat setempat dan juga sejauh mana hukum adat dimasukkan dalam perUUan tanah. Selain itu juga penjatuhan sanksi bagi para oknum yang menyelesaikan masalah tanpa memperhatikan ketentuan hukum adat setempat juga

Page 72: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

tidak ada sehingga pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat kerap terjadi.

15. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam UU ini pada pasal 63 baik ayat 1 huruf t, ayat 2 huruf n dan ayat 3 huruf k yang menyebutkan bahwa penetapan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Pada UU ini tidak dijelaskan bagaimana yang dimaksud dengan tata cara pengakuan keberadaan MHA, dan bahkan pada turunan UU ini yaitu PERDA baik pada tingkatan Prov. maupun Kab/kota juga tidak mengatur lebih lanjut. Selain itu juga tidak dijelaskan mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh MHA yang dimaksud pada UU ini.

16. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Pada UU ini juga hanya menyebutkan satu pasal saja tentang MHA dan hal itu telah terdapat pada bagian penjelasan dari UU tersebut.Pada pasal 7 yang menyebutkan bahwa Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan.Dimana pada penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum.

Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terikat dalam bentuk paguyuban,

Page 73: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.Namun sayangnya pada UU ini tidak memberikan batasan pembedaan Hutan, karena seperti yang diketahui penulis bahwa terdapat 2 jenis hutan yaitu hutan milik negara dan hutan adat.Nah, ketika disini disebutkan bahwa MHA juga diharuskan untuk berpartisipasi menjaga hutan, bagaimana dengan masyarakat setempat, masyarakat umum, badan hukum dan juga korporasi? Apakah mereka juga dituntut untuk melakukan pencegahan terhadap perusakan hutan adat?.

17. Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Menurut kaca mata penulis, pada UU ini tepatnya pada pasal 97 justru malah mempersempit ruang gerak MHA.hal ini bisa dilihat dari adanya pembatasan Hak, yang mana hak MHA baru diakui apabila telah sesuai dengan perkembangan masyarakat, tidak bertentangan dengan NKRI dan juga tidak bertentangan dengan UU.

Disini yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah bagaimana caranya bagi MHA mensejajarkan diri dengan masyarakat pada umumnya?dan kalaupun memang MHA dituntut untuk bisa mensejajarkan diri dengan masyarakat pada umumnya, bagaimana dengan hak perlindungan hukum bagi MHA? Bagaimana juga dengan hak pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan?bukankah disini pemerintah terkesan egois karena hanya menuntut MHA tanpa melihat bagaimana perkembangan MHA di dalam? seperti misalnya apakah MHA mampu untuk mengikuti perkembangan masyarakat umum. selain itu juga pasal ini juga mengatur tentang bagaimana MHA ini dapat dijadikan sebagai desa adat. akan tetapi tidak dijelaskan apakah terdapat perbedaan terhadap desa adat dan desa pada umumnya.

Page 74: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang
Page 75: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB IVLANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka harus memiliki 3 landasan, yaitu :

A. Landasan FilosofisMenurut Aristoteles bahwa pada hakikatnya suatu

negara berasal dari kelompok-kelompok kecil atau kesatuan masyarakat tertentu yang kemudian berhimpun menjadi suatu negara. Demikian halnya dengan Indonesia, sebelum menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sesungghnya berasal dari kelompok-kelompok masyarakatyang berasal dari berbagai macam suku, adat, dan hukum adatnya.Seiring perkembangan sejarah, kelompok-kelompok tersebut terbawa arus untuk menyadari suatu kondisi akan adanya persamaan nasib, yakni sama-sama sebagai pihak yang terjajah. Lalu, pada tanggal 17 Agustus 1945 diprokamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai tonggak terbentuknya Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, adat, kesatuan masyarakat hukum dengan berbagai keanekaragamanya.

Proklamasi kemerdekaan tersebut kemudian ditinjaklanjuti oleh Bangsa Indonesia dengan penyusunan naskah yang memuat format-format dasar yang akan menopang keberlangusungan Negara Indonesia, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 diatur berbagai macam aspek fundemental yang merupakan syarat berlangsungnya Negara Indonesia, salah satu hal yang diatur ialah mengenai bentuk negara.Bentuk negara yang diusung UUD 1945 ialah bentuk negara kesatuan.Seiring berkembangnya situasi politik maupun situasi-situasi lain dalam berbagai lini, maka Negara Indonesia mengalami beberapa kali penggantian dan perubahan Undang-undang Dasar, yang hingga saat ini berlaku ialah UUD NRI 1945.Dalam UUD NRI 1945 tersebut diatur pula tentang

Page 76: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

bentuk Negara Indonesia.Bentuk yang Negara Indonesia yang diatur dalam UUD NRI 1945 tersebut ternyata masih menggunakan bentuk negara kesatuan.

Bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan tersebut, lantas tidak menegasikan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Hal itu tercermin dalam adagium “berbeda-beda tetapi tetap satu”, adagium tersebut mencerminkan bahwa sejak awal bangsa Indonesia tidak menafikan keberagaman suku, adat, dan masyarakata hukum adat yang terdapat di Indonesia. Lebih lanjut, keberagaman tersebut terangkai dalam prinsip persatuan Indonesia yang tercantum dalam sila ke-3.Prinsip persatuan mengandung makna bahwa keberagaman suku, adat, dan kelompok-kelompok masyarakat adat yang terdapat di Indonesia berhimpun menjadi negara kesatuan, tanpa menghapus keberagaman asli yang telah ada sebelumnya.

Lebih lanjut, jika menilik Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-IV yang mencantumkan tujuan-tujuan negara Indonesia, menyatakan bahwa salah satu tujuan negara ialah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Kata “segenap” dalam frase tersebut dapat ditafsirkan sebagai keselurahan yang penuh/total dari bangsa Indonesia tanpa terkecuali, atau dapat juga dimaknai seluruh elemen dari bangsa Indonesia secara penuh.Totalitas cakupan tersebut meliputi segala elemen Bangsa Indonesia, yang mana salah satunya ialah masyarakat hukum adat selaku kesatuan masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang khas/unik.Maka, dapat dimengerti bahwa masyarakat hukum adat dengan segala aspek yang terkait denganya merupakan salah satu entitas yang dilindungi oleh negara Indonesia.

Segala aspek yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat mencakup mencakup segala hak-hak yang melekat padanya, baik hak masyarakat hukum adat

Page 77: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang unik, maupun hak-hak tradisonal manusia yang tergabung sebagai bagian masyarakat hukum adat.Maka perlindungan tersebut meliputi hak masyarakat adat sebagai kelompok dan hak-hak tradisional manusia yang tergabung didalamnya.Sehingga sebagai konsekuensinya ialah adanya upaya dari negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.

B. Landasan SosiologisMasyarakat hukum adat merupakan sekelompok

orang yang mendiami wilayah tertentu secara turun temurun dan memiliki pranatanya sendiri.Keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu secara turun-temurun memberi dampak terbangunya suatu kondisi emosional – rasa memiliki – antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya (tanahnya).Rasa kepemilikan tersebut membuat masyarakat hukum adat memiliki kecendrungan untuk senantiasa mempertahankan tanahnya dari gangguan pihak-pihak luar.

Konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat hukum adat dengan pihak luar merupakan bentuk dari sikap masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya – termasuk tanah adatnya.Berdasarkan data yang diolah dari Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2013, dipaparkan bahwa dari tahun 1970-2001 terdapat 1.753 Konflik, tersebar di 2.834 desa/kec/286 kabupaten/kota.Sebagian besar dari jumlah konflik tersebut ialah konflik mengenai tanah adat.Maka, berdasarkan jumlah konflik diatas dapatlah dimengerti bahwa diperlukan suatu penanganan tertentu dari negara.

C. Landasan YuridisLandasan yuridis merupakan pertimbangan atau

alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang

Page 78: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosonganhukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks pengakuan dan perlindungan masyarkat hukum adat, terdapat beberapa landasan yuridis dimulai dari UUD NRI 1945 hingga Peraturan Menteri. Berikut akan dijabarkan landasan yuridis tersebut menurut urutan tata hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 diatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.Apabila bunyi pasal ini ditelaah lebih dalam, maka dapat dimengerti bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum beserta hak-hak tradisionalnya, hanya saja pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu atau pengakuan bersyarat. Syarat-syarat agar masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dapat diakaui dan dihormati, yakni : 1) sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada, 2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, 3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada bagian akhir pasal tersebut terdapat frase “yang diatur dalam undang-undang”, artinya terkait dengan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.Sehingga, menurut frasa tersebut diketahui bahwa mengenai pengakuan masyarakat hukum adat haruslah diatur dalam undang-undang organik.

Pasal lain dalam UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai hak-hak masyakat hukum adat diatur dalam

Page 79: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.Dalam pasal ini digunakan istilah “dihormati” kata tersebut mengandung makna dihargai (memberi harga yang layak/patut) atau jika diartikan secara negatif berarti tidak boleh dirampas secara semena-mena. Kemudian pasal ini juga memberi syarat-syarat tertentu agar hak-hak tradisonal dapat dihormati, yakni : selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945, dapat dimengerti bahwa secara konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonlanya diakui dan dihormati dengan syarat-syarat tertentu, dan diperintahkan untuk lebih lanjut dalam undang-undang.

Hingga saat ini terdapat beberapa undang-undang yang dalam materi muatanya beberapa pasal mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat secara terpisah.Beberapa undang-undang tersebut mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan penjabaran amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945. Hal-hal yang diatur diantaranya mengenai :pertama tata cara untuk memberikan pengakuan secara yuridis terhadap masyarakat hukum adat,Kedua kriteria-kriteria masyarakat hukum adat.

Tata cara untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat diatur dalam beberpa undang-undang yakni : pertama Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.Keduadiatur juga dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam pasal 96 UU Desa dinyatakan bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat

Page 80: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

dan ditetapkan menjadi Desa Adat.” Berdasarkan kedua undang-undang tersebut terdapat konflik norma antara keduanya, dalam UU Kehutanan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dilakukan dengan cara dikukuhkan sedangkan menurut UU Desa hal itu dilakukan dengan ditetapkan menjadi Desa Adat. Konflik norma merupakan salah persoalan hukum yang terjadi karena undang-undang yang tidak harmonis atau saling tumpang-tindih.

Kriteria mengenai keberadaan masyarakat hukum adat diatur dalam UU Desa dan UU Kehutanan. Dalam pasal 97 ayat (2) UU Desa ditentukan bahwa “Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan

bersama dalam kelompok;b. Pranata pemerintahan adat;c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/ataud. Perangkat norma hukum adat.”

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan yang menyatakan bahwa “Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban

(recht-gemeenschap);b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa

adatnya;c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya

peradilan adat, yang masih ditaati, dane. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di

wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”

Page 81: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Kriteria masyarakat hukum adat yang diatur dalam kedua UU diatas memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan pengaturan mengenai kriteria Masyarakat Hukum Adat diantara kedua norma tersebut. Sehingga dalam hal ini terdapat persoalan hukum yang berupa ketidak harmonisan norma-norma yang sejajar.

Perihal pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat selain diperintahkan secara vertikal oleh norma hukum diatasnya yakni UUD NRI 1945 pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga diperintahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perintah tersebut tercantum dalam pasal 6 UU HAM, yang menyatakan bahwa:(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,

perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyrarakat, dan pemerintah

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.Bunyi pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan

bahwa untuk menegakkan Hak Asasi Manusia maka kebutuhan masyarakat hukum adat harus dilindungi oleh hukum. Kebutuhan masyarakat adat salah satu adalah pemenuhan atas hak-hak tradisionalnya yang harus dilindungi oleh instrumen hukum tertentu.

Page 82: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB VJANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. SASARANMengingat cita luhur Negara Indonesia untuk melindungi

segenap bangsa adalah suatu hal terpenting dalam merumuskan sasaran yang dituju serta diwujudkan melalui pembentukan undang-undang mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sasaran yang dimaksud adalah :

1. Mengatasi ketidakharmonisan hukum terkait belum adanya pengaturan khusus mengenai pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat

2. Mewujudkan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk pemenuhan hak – hak tradisional

3. Menegaskan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

B. ARAH DAN TUJUANArah pengaturan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat

Hukum Adat adalah pengakuan secara eksistensi dan perlindungan keberadaan beserta hak-hak masyarakat hukum adat.

Keberadaan masyarakat hukum adat telah diatur secara parsial dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai mana diuraikan di bab sebelumnya, namun perbedaan tersebut memberikan pengaturan yang berbeda mengenai pengakuan sampai perlindungan masyarakat hukum adat.

Pembentukan undang-undang tentang masyarakat hukum adat mengarah pada bagaimana masyarakat hukum adat diakui, hak-hak masyarakat hukum adat yang dikristalisasi, bagaimana masyarakat mengolah wilayah potensi alam wilayah adatnya, peran serta masyarakat hukum adat dalam hal kebijakan yang berkaitan dengannya serta mekanisme

Page 83: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

penyelesaian sengketa yang terjadi diantara masyarakat hukum adat hukum adat baik inernal maupun eksternal.

Masyarakat hukum adat akan diakui sebagai sekolompok masyarakat lain dari komponen negara kesatuan republik Indonesia, dengan memperhatikan keutuhan negara. Sistem top-down bottom up atau penyelelarasan antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah sebagai patner dalam menuju cita luhur negara Indonesia.

C. RUANG LINGKUP MATERI MUATANPengaturan pengakuan dan perlindungan Masyarakat

Hukum Adat berdasarkan ruang lingkup materi yang mencakup:71

a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenaipengertian istilah, dan frasa;

b. materi yang akan diatur;c. ketentuan sanksi; dand. ketentuan peralihan.Ruang Lingkup Materi di atas yang selanjutnya dijadikan

pedoman dalam rangka penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut terkait cakupan ruang lingkup materi dimaksud :1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa sesuai dalam pengaturan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bagian Lampiran I. Adapun hal-hal yang menjadi Ketentuan Umum adalah sebagai berikut:a. Masyarakat Hukum Adat untuk selanjutnya disebut

MHA adalah sekelompok orang yang memiliki ikatan pada asal – usul leluhur dan / atau kesamaan tempat tinggal yang tetap mempertahankan beberapa / seluruh

71Sesuai Dengan Ketentuan Mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang - Undang Pada Lampian I Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.

Page 84: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

kekhasan, sosial, ekonomi, budaya dan politik secara turun temurun.

b. Hak Masyarakat Hukum adalahhak-hak tradisional MHA yang telah ada sejak.

c. Sistem hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyrakat yang berlaku dan mempunyai sanksi bagi masyarakat hukum adat terkait.

d. Pengakuan masyarakat hukum adat adalah pengakuan secara tertulis dari negara atas keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.

e. Wilayah adat adalah kesatuan daerah yang terdiri dari tanah dan segala potensi sumber daya yang secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan masyarakat hukum adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

f. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

g. Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya.

h. Perlindungan MHA adalah kegiatan / upaya yang dilakukan dalam menjamin dan melindungi pemenuhan hak – hak masyarakat hukum adat untuk mengembangkan serta memberikan ruang partisipasi sesuai dengan kompetensi masyarakat hukum adat.

i. Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut SDA adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas hutan, wilayah pesisir dan perairan pesisir, minyak dan gas, dan mineral dan batubara.

j. Pengolahan sumber daya alam adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk mengolah dan memanfaatkan unsur lingkungan hidup, serta mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,

Page 85: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

k. Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang menjadi ciri khas Masyarakat Hukum Adat yang meliputi mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, dan ekologi.

l. Pranata adalah tata aturan yang berguna untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat hukum adat.

2. Materi Yang Diatura. Asas

1. AsasPengakuan dan Perlindungan Masyarakat

Hukum Adat diselenggarakan berdasarkan asas equality before the law, bhinneka tunggal ika, kelestarian dan keberlanjutan, kepentingan nasional, pengayoman, musyawarah, dan kepastian hukum.a) Asas Equality Before The Law

Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini mengamanatkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum, termasuk dalam hal untuk mendapat perlindungan hak-hak tradisionalnya sebagaimana entitas lain (misalnya badan hukum) mendapatkan hak-haknya.

b) Asas Bhinneka Tunggal IkaAsas Bhinneka Tunggal Ika ini

menggambarkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat dengan

Page 86: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

segala ciri khas yang melekat padanya sebagai bagian dari keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, serta budaya di Indonesia.

c) Asas kelestarian dan KeberlanjutanAsas Kelestarian dan Keberlanjutan adalah

bahwa masyarakat hukum adat turut memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

d) Asas Kepentingan NasionalAsas Kepentingan Nasional adalah bahwa

pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat yang merupakan bagian dari negara Indonesia semata-mata ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara indonesia.

e) Asas PengayomanAsas Pengayoman adalah bahwa

masyarakat hukum adat harus mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak tradisionalnya.

f) Asas MusyawarahAsas Musyawarah adalah bahwa proses

pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa, serta pembuatan kesepakatan yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat dilakukan dengan mengutamakan musyawarah.

g) Asas Kepastian Hukum Asas Kepastian Hukum adalah bahwa dalam

proses perlindungan Masyarakat Hukum Adat para pemangku kepentingan merasakan adanya kepastian pada saat menghadapi persoalan hukum, baik pada saat menuntut hak maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

Page 87: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

b. Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum AdatDalam penyelenggaraan pengakuan dan

perlindungan masyarakat hukum adat, pemerintah sebagai pemangku tanggung jawab dan masyarakat hukum adat sebagai pemangku hak termasuk hak tradisionalnya untuk mengelola dan memelihara kesejahteraan, kepentingan angota, dan sumber daya alam masyarakat hukum adat.

Hak –hak masyarakat hukum adat meliputi :1. Hak untuk menguasai tanah dan sumber daya

alam di wilayah adat2. Hak untuk menjalankan sistem hukum adat3. Hak atas identitas budaya4. Hak atas perlindungan lingkungan 5. Masyarakat hukum adat yang berada diluar

wilayah datnya berhak atas identitas budayaKewajiban masyarakat hukum adat :

1. Turut serta melestarika keberlanjutan lingkungan2. Berpartisipasi dalam memajukan pendidikan

berbasis keunggulan lokal di lingkungan masyarakat hukum adat

3. Mayarakat hukum adat menghormati dan menghargai masyarakat lain atau masyarakat luas

4. Menjaga keberlanjutan pranata masyarakat hukum adat

5. Toleransi antara masyarakat hukum adat6. Bekerjasam dalam identifikasi dan verifikasi data

masyarakat hukum adat c. Tanggung Jawab Pemerintah

Tanggung jawab pemerintah meliputi :1. Melindungi dan menjaga hak – hak masyarakat

hukum adat2. Menindak lanjuti sengketa masyarakat hukum adat

dengan pihak lain

Page 88: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

3. Pemerintah bertanggung jawab atas pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat

d. Bentuk Pengakuan Masyarakat Hukum AdatLemahnya pengakuan masyarakat hukum adat

sebagai subyek yang mempunyai hak tradisional khusus sehingga dengan bentuk pengakuan masyarakat hukum adat akan memperjelas bagaimana masyarakat hukum adat di akui.

Bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat secara nasional diatur dalam aturan perundang – undangan.Selain dari kebijakan nasional terdapat kebijakan daerah yang juga mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.

Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam perundang – undangan yang ada lebih banyak terpusat pada hak atas tanah dan sumber daya alam yang cenderung mengabaikan pengakuan terhadap hak – hak MHA lainnya.Bentuk pengakuan yang diatur meliputi pengakuan status masyarakat hukum adat, wilayah adat, sistem hukum adat dan produk budaya.

e. Pengolahan Sumber Daya AlamMasyarakat hukum adat sebagai kesatuan

masyarakat yang memiliki hak asal usul (hak bawaan) yang mana hak atas tanah dan sumber daya alam yang bersumber pada hak asal – usul yang dikelola dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat hukum adat.Pengolahan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat merupakan tindak lanjut dari bentuk pengakuan.

f. Peran Serta MasyarakatMasyarakat hukum adat sebagai pelaku dan

sebagai entitas yang berdiri sendiri berhak diberikan tempat untuk terlibat dalam berjalannya proses pemerintahan. Peran serta tersebut berupa keterlibatan masyarakat hukum adat dalam hal pengambilan kebijakan yang bersifat konsultatif maupun kemitraan

Page 89: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.Keterlibatan tersebut ditujukan untuk meningkatan kemandirian, keberdayaan, dan menumbuh kembangkan ketanggapsegeraan masyarakat hukum adat.

g. Satgas Masyarakat Hukum AdatDalam rancangan undang-undang masyarakat

hukum adat akan dirumuskan mengenai hak, kewajiban, serta tanggungjawab pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Bahwa berdasarkan evaluasi terhadap hukum positif diketahui bahwa terdapat pengakuan namun belum terdapat keterjaminan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Maka, dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dan penjaminan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban masyarakat hukum adat perlu dibentuk lembaga khusus yang berwenang untuk :1. Mengawasi pemenuhan hak-hak masyarakat

hukum adat2. Mengawasi pelaksanaan kewajiban masyarakat

hukum adat3. Menjadi pihak ketiga apabila terjadi sengketa

antara masyarakat hukum adat dengan pihak luar4. Memberikan bantuan hukum apabila masyarakat

hukum adat bersengketa secara litigasiLebih lanjut, lembaga ini akan disebut dengan

istilah Satuan Petugas Masyarakat Hukum Adat atau disebut dengan Satgas MHA. Satgas MHA berkedudukan di Ibu Kota Provinsi dan dibentuk oleh gubernur.

h. Penyelesaian SengketaPenyelesaian sengketa dalam konflik hukum adat

ini sendiri memiliki urgensi untuk dapat menyelesaikan suatu konflik atau suatu permasalahan yang bersangkutan dengan masalah hukum

Page 90: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

adat.Penyelesaian yang dimaksud disini tidak lepas dari asas Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Maka, penyelesaian ini menggunakan bentuk penyelesaian secara nonlitigasi, yaitu ada 2 tahap :1. Negosisasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang mengutamakan kesepakatan bersama untuk mencapai sebuah mufakat agar dari kedua belah pihak atau beberapa pihak yang memiliki kepentingan dapat menemukan sebuah titik temu yang sama - sama menguntungkan pihak yang berkepentingan itu sendiri. Keuntungan dari jenis ini adalah dapat mengetahui pandangan dari pihak lawan, kesempatan untuk dapat mengutarakan isi hati atau kepentingan pihak lainnya, menyelesaikan sengketa secara bersama-sama dengan semangat kekeluargaan, mengupayakan solusi yang baik dari pihak yang berkepentingan, dan dapat diakhiri kapan saja sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak tersebut.

2. MediasiMediasi adalah cara penyelesaian sengketa

antara dua pihak atau lebih dengan efek nyata. Pihak ketiga , mediator, membantu para pihak untuk bernegosiasi untuk mendapatkan penyelesaian (tripartite).Keuntungan menggunakan jenis ini adalah penyelesaiannya cepat terwujud, biaya yang digunakan murah, rahasia dari pihak-pihak yang berkpentingan terjaga rahasiannya, dan bersifat adil dengan menggunakan metode kompromi.

3. KETENTUAN PERALIHANDalam ketentuan peralihan akan diatur beberapa hal

yakni :Masyarakat Hukum Adat yang sudah diakui sebelum undang-undang ini tetap diakui, proses pengakuan masyarakat

Page 91: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

hukum adat yang sebelum undang-undang ini tetap berlangsung.

Semua peraturan perundang-undangan mengenai masyarakat hukum adat tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

4. KETENTUAN PENUTUPDalam ketentuan penutup memuat hal-hal mengenai :Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.Dan satuan Petugas Masyarakat Hukum Adat dibentuk paling lambat 18 (delapan belas) setelah Undang-undang ini mulai diundangkan.

Page 92: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan1. Peraturan perundang-undangan yang saat ini mengatur

perihal masyarkat hukum adat menimbulkan permasalahan-permasalahan hukum di masyarakat. Permasalahan tersebut menyangkut norma hukum yang mengatur secara parsial atau sektoral mengenai masyarakat hukum adat. Untuk itu diperlukan bentuk pengaturan yang komprehensif, yakni dengan mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat.

2. Keberadaan masyarakat hukum adat sebagai entitas yang unik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu keniscayaan historis dan tindakan untuk mengakui serta melindunginya merupakan suatu keniscayaan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam rangka itu, perlu adanya strategi penyelarasan antara pengakuan masyarakat hukum adat dengan hukum nasional. Starategi penyelarasan yang dapat ditempuh adalah dengan mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat hukum adat, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar negara dan kebebasan masyarakat luas.

3. Dalam pembuatan suatu undang-undang terdapat 3 (tiga) aspek yang wajib menjadi pertimbangan, aspek-aspek tersebut yaitu :Pertama secarafilosofis perlindungan masyarakat hukum adat merupakan manifestasi daripada upaya untuk mencapai tujuan bernegara yakni melindungi segenap “Bangsa Indonesia”. Kedua secara sosiologis konflik yang menyangkut masyakat hukum adat khususnya pada sektor pertanahan banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut merusak ketentraman masyarakat dan berpotensi mengancam kebersatuan masyarakat hukum adat. Ketigasecara yuridis peraturan perundang-undangan yang melandasi pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat hukum adat. Norma yang

Page 93: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

melandasi tersebut yakni Pasal 18B UUD NRI 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

B. SaranBerdasarkan pemaparan diatas diketahui bahwa

pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berada pada titik yang urgen dan dilain sisi landasan untuk melakukan hal tersebut telah terpenuhi.Maka dari itu, undang-undang yang mengatur perihal masyarkat hukum perlu segera dibentuk mengingat urgensi dan landasan pengaturanya.

Page 94: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alting, Husen. 2010.Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Anil Dawan, Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls dan Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia,

Asshiddiqie, Jimly. 1998. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka.

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Azhary, Muhammad Tahir . 1992. Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.

Fadjar,A. Mukhtie. 2004. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, Jawa Timur.

Gautama, Sudargo. 1983. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung:Alumni.

Haar, Ter. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto. Jakarta: PT. Pradnya Paranita.

Hartono, Sunaryati. 1976. Apakah The Rule of Law. Bandung: Alumni.

Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni.

Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Koesnoe. 2000. Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah. Surabaya: Ubaya Press.

Page 95: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

M. Hadjon,Philipus.1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

M. Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Adiministrasi Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Manan, Bagir. 1995. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Bandung: LPPM Unisba.

Mawardi.Keadilan Sosial Menurut John Rawls. Jakarta: Program Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Miriam Budiardjo dalam Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni.

Muhammad, Bushar. 1981. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal. Jakarta: Paramadina.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Qamar, Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in Democratiche Rechtsstaat). Jakarta: Sinar Grafika.

Raharjo, Satjipto.Hukum Adat Dalam Kesatuan Republik Indonesia (prespektif sosiologi hukum), dalam Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.

Ruwiastuti, Maria Rita. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat. Yogyakarta: Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.

Soerjono Soekanta & Soleman B. Taneko. 1983. Hukum Adat Indonesia, Cetakan Ke-II. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumardjani, Lisman. 2007.Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: Working.

Ujan, Andrea Ata.2001. Keadilan dan Demokrasi : Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Usman,Racmadi. 2012. Mediasi di pengadilan.Jakarta: Sinar Grafika.

Page 96: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

Viktor Imanuel W. Nalle. 2013. Konsep Uji Materiil, Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia.Malang: Setara Press.

Wasis. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: UMM Press Universitas Muhammadiyah Malang.

Winarta, Frans Hendra. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta:Sinar Grafika.

Wiryani, Fifik.2009. Reformasi Hak Ulayat,Pengaturan Hak – Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Malang: Setara Press.

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 4 tahun 1982Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

JURNAL & ARTIKEL

Besse Sugiswati. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat di Indonesia. Jurnal Perspektif. Volume XVII Nomor 1.

H. Salim. HS & Erelies Septina Nurbani. 2016. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta:Rajagrafindo Persada.

MartuaSirait, dkk.Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur. Southeast Asia Policy Research Working Paper. Nomor 24

Sri Soemantri. (tanpa tahun). Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan Pancasila. makalah SESKOAD ABRI.

Syarifah M. 2010. Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Tesis Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara.

Taqwaddin. 2010. Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara,

Page 97: BAB Ilab-hukum.umm.ac.id/files/file/NASKAH AKADEMIK MHA.docx · Web viewNamun yang menjadi permasalahan adalah beberapa peraturan perundang-undangan di atashanya mengatur tentang

INTERNET

http://www.safaat.lecture.ub.ac.id. Diakses pada 6 Agustus 2016.

http://nationalgeographic.co.id.Diakses pada 30 Juli 2016.

http:// .aman.or.id . Diakses pada 31 Juli 2016

http://epistema.or.id. Diakses pada 1 Agustus 2016