Bab III Tinjauan Kebijakan Daerah Provinsi Riau_final_1

31
LAPORAN AKHIR Pola Pengelolaan Sungai dan Pesisir Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Siak TINJAUAN ARAHAN KEBIJAKAN DAERAH 3.1.Tata Ruang DAS Ekosistem Daerah Aliran Sungai Siak di Provinsi Riau dapat dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, merupakan daerah dengan kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang besar (> 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemanfaatan air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi yang ada umumnya berupa tegakan hutan. Daerah hulu sungai ini berfungsi sebagai penunjang dan pengatur tata air untuk daerah hilir. Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, merupakan daerah dengan kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian guna air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi tanaman yang ada didominasi oleh tanaman pertanian, hutan gambut dan bakau terutama di daerah pantai dan estuaria. Daerah hilir sungai yang tanahnya gambut berfungsi sebagai water table, penampung limpasan air dalam jumlah besar dan sebagai penahan masuknya air asin (Iaut) ke wilayah daratan. Daerah "tengah" merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Riau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BAB II I III-1

description

b

Transcript of Bab III Tinjauan Kebijakan Daerah Provinsi Riau_final_1

TINJAUAN KEBIJAKAN DAERAH PROVINSI RIAU

LAPORAN AKHIR

Pola Pengelolaan Sungai dan Pesisir Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Siak

TINJAUANARAHAN KEBIJAKAN DAERAH3.1. Tata Ruang DASEkosistem Daerah Aliran Sungai Siak di Provinsi Riau dapat dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, merupakan daerah dengan kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang besar (> 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemanfaatan air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi yang ada umumnya berupa tegakan hutan. Daerah hulu sungai ini berfungsi sebagai penunjang dan pengatur tata air untuk daerah hilir.

Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, merupakan daerah dengan kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian guna air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi tanaman yang ada didominasi oleh tanaman pertanian, hutan gambut dan bakau terutama di daerah pantai dan estuaria. Daerah hilir sungai yang tanahnya gambut berfungsi sebagai water table, penampung limpasan air dalam jumlah besar dan sebagai penahan masuknya air asin (Iaut) ke wilayah daratan. Daerah "tengah" merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir, yang mempunyai nilai-nilai ekosistem dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi.

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting dari fungsi tata air karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Daerah hulu menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir memiliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Secara umum terdapat tiga garis besar sasaran utama yang harus dicapai dalam pengelolaan DAS yang berada di Provinsi Riau seperti yang diarahkan dalam RTRW Provinsi Riau 2001-2015, yaitu :

a. Rehabilitasi yang dilakukan pada lahan-Iahan terbuka/terlantar atau lahan produktif yang digarap dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Pada umumnya lahan terbuka/terlantar terjadi akibat adanya kegiatan pembalakan hutan (illegal logging), perkembangan perladangan dan permukiman yang tidak terencana. Pada banyak kasus lahan-lahan pertanian yang terlantar dalam keadaan kritis yang diakibatkan menurunnya produktivitas lahan atau berkurangnya nilai ekonomis yang dapat dihasilkan oleh lahan tersebut, pada umumnya terjadi pada lahan-Iahan pertanian dengan katagori marginal, dimana mempunyai tingkat curah hujan ke cil dan berada pada lokasi dengan kemiringan lahan relatif besar.b. Perlindungan dilakukan terhadap lahan-Iahan yang pad a umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi terhadap lahan-Iahan yang diperkirakan memerlukan rehabilitasi dikemudian hari, serta perlindungan terhadap hulu-hulu sungai utama yang berada di wilayah Provinsi Riau. Kawasan-kawasan hulu sungai yang memiliki kelas kemiringan lereng 25% - 40% dan > 40% diarahkan sebagai kawasan lindung. Aktivitas yang paling nyata dan menguntungkan daerah di sepanjang daerah aliran sungai adalah berupa perlakuan atau kegiatan (vegetatif dan atau mekanik) yang dilakukan di daerah hulu yang ditujukan untuk perbaikan kondisi DAS, meningkatkan lama waktu aliran air dan secara bersamaan dapat menurunkan debit puncak, serta memantapkan tepian sungai untuk mengurangi laju erosi tebing sungai. Kawasan hulu-hulu sungai yang di luar kriteria lindung di hulu Sungai Siak yang umumnya sudah berupa kawasan budidaya baik berupa perkebunan (besar/masyarakat) maupun yang berupa kawasan HPHTI, memerlukan penanganan khusus, sehingga fungsi perkebunan dan HPHTI dapat berperan sebagai bagian ekosistem hulu DAS.c. Peningkatan atau pengembangan sumberdava air yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan satu atau lebih komponen penyusun ekosistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh perbaikan terhadap proses-proses hidrologi dan kualitas air.

Khusus untuk Arahan Pengembangan DAS SIAK, pengembangannya dapat dilakukan secara menyeluruh, karena kawasan hulu sampai hilir sungai secara keseluruhan berada di wilayah administrasi Provinsi Riau. Secara umum arahan kebijakan penanganan hulu Sungai Siak di Provinsi Riau adalah sebagai berikut:

a. Pengendalian tutupan lahan kawasan hutan sekunder (alami) pada daerah hulu-hulu sungai yang masih tersisa.b. Rehabilitasi lahan-Iahan kritis disepanjang DAS Siak.c. Pengenaan fungsi lindung pada kawasan-kawasan yang memiliki kemiringan 25%- 40%.d. Pengawasan dan pengendalian secara ketat terhadap kawasan-kawasan budidaya eksisting, yang mayoritas pemanfaatannya adalah perkebunan skala besar (PbS), serta sebagian kecil merupakan konsesi HPHTI.e. Melakukan penelitian untuk menemukan alternatif tanaman produksi yang memiliki nilai ekonomis tinggi serta sedikit membutuhkan air. Jenis tanaman sawit dan akasia merupakan tanaman produksi andalan yang tidak disarankan karena didalam perkembangannya memiliki sifat sangat membutuhkan air, serta perakarannya memiliki sedikit kemampuan untuk menahan/menyimpan air dan bersifat kurang dalam meredam kecepatan air dan energi air. Pengembangan alternatif jenis tanaman utama yang ekonomis dan memiliki permintaan pasar yang tinggi dimaksudkan untuk menggantikan jenis tanaman sawit dan akasia yang saat ini menjadi andalan perkebunan maupun HPHTI.f. Penerapan pengaturan dan seleksi ketat terhadap permohonan pembukaan kawasan perkebunan skala besar yang baru, serta diberlakukannya persyaratan yang bertujuan dijalankannya kegiatan budidaya perkebunan ataupun konsesi HPHTI yang berorientasi terhadap perlindungan lingkungan, seperti penentuan jenis tanaman produksi unggulan yang sesuai dengan kriteria dan karakter kawasan hulu, sehingga perkebunan dan HPHTI dapat difungsikan dan berperan sebagai bagian ekosistem hulu DAS.

Sedangkan arahan kebijakan pengembangan hulu DAS Siak yang tidak termasuk kriteria lindung, diperbolehkan untuk kegiatan budidaya dengan batasan sebagai berikut:

a. Vegetasi diusahakan tidak monokultur.

b. Sistem perakaran dan tajuk berlainan.

c. Kerapatan mendekati hutan asli.

Untuk pemilihan jenis tumbuhan dipersyaratkan yang tidak membutuhkan banyak air (proses transpirasi) dan memiliki perakaran kuat, dapat mengurangi kecepatan air, meredam energi air dan dapat "menyimpan" air.

Sedangkan secara umum arahan kebijakan penanganan kawasan tengah, kawasan diantara kawasan hulu dan hilir DAS Siak di Provinsi Riau adalah :

1. Penerapan buffer sungai, minimal 100 meter disepanjang kiri kanan sungai,

2. Pengawasan terhadap pemanfaatan lahan di sepanjang kawasan DAS.3. Penangkal dini banjir, dengan mengembangan kawasan-kawasan limpasan air (buangan air) sementara. Kawasan-kawasan ini ditentukan dan harus dialokasikan pada RTRW Kabupaten-kabupaten terkait.

4. Penerapan buffer pantai untuk pencegahan terjadinya intrusi air laut.5. Pengawasan secara ketat penggunaan transportasi sungai, baik jenis kapal, tonase kapal, kecepatan dan buangan kapal.

3.2. Pengelolaan Sumberdaya AirKebijakan umum pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Sungai Siak didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan payung dari pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kebijakan umum yang diatur dalam undang-undang tersebut sebagai berikut:

Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan pelestarian fungsi sungai, maka daya dukung lingkungan di sekitar aliran sungai diindikasikan dengan kuantitas air (fluktuasi debit). Mengenai daya tampung sungai diindikasikan dengan tingkat kualitas air (pencemaran).

Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam non-hayati, perlindungan sumberdaya alam buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya. keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. dilakukan dengan mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah (termasuk Pemerintah Daerah).

Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan.

Setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

Kebijakan umum pengelolaan kualitas air Sungai Siak didasarkan pula pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dimana wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi Riau mengenai sumberdaya air diantaranya adalah menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai Siak yang lintas kabupaten/kota serta memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumberdaya air kepada pemerintah kabupaten/kota tersebut.

Kebijakan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Sungai Siak mengacu pada PP Nomor 82 Tahun 2001, dimana Sungai Siak merupakan sungai lintas kabupaten/kota yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Riau. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Riau dapat mengkoordinasikan upaya-upaya pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air seperti halnya:

Penetapan kelas air dengan mempertimbangkan keterbatasan masyarakat terhadap akses air bersih dan air minum.

Penetapan baku mutu

Pemantauan kualitas secara terpadu

Penyampaian informasi status mutu air

Pengawasan terhadap pemanfaatan sumber-sumber pencemar

Penyusunan program peningkatan kualitas air (Proper, Super Kasih, pembangunan sarana pengolahan limbah terpadu, dll.).

Kebijakan Pemerintah Provinsi Riau pada periode tahun 1998-2002 dalam mengendalikan pencemaran air Sungai Siak, diimplementasikan dalam bentuk:

1. Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan industri melalui SK Gubenur Riau Nomor 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri di Provinsi Riau;

2. Penetapan Baku Mutu untuk kualitas Sungai. disesuaikan dengan fungsi dan kondisi masing-masing Sungai yang mengacu pada PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran;

3. Pengawasan dan pengendalian bahan yang mencemari sungai melalui upaya-upaya Land Application. meminimalisasi limbah dan produksi air bersih;

4. Meningkatkan pengendalian terhadap limbah cair melalui Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengendalian Pembuangan Limbah Cair.

Kewenangan yang berhubungan dengan koordinasi pengawasan kualitas air lintas kabupaten/kota yang berada di DAS Siak berada pada Bapedalda Provinsi Riau yang menyelenggarakan pengawasan terhadap kualitas air permukaan, limbah industri, limbah rumah tangga, dan limbah pertanian/perkebunan. Pengawasan kualitas air yang berada di wilayah Rokan hulu dilakukan pula oleh BLH Kabupaten Rokan hulu, sedangkan di wilayah Kabupaten Kampar, Siak dan Kota Pekanbaru dilakukan masing-masing oleh Bapedalda Kabupaten Kampar, Bapedalda Kabupaten Siak dan Bapedalda Kota Pekanbaru.

Sebagai sumber daya strategis yang kedua di samping tanah, air juga harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar pemanfaatannya secara adil untuk berbagai kepentingan pembangunan dapat terus berkelanjutan dengan senantiasa menjaga kelestarian potensi alaminya. Penatagunaan air perlu dirumuskan secara serasi dengan penatagunaan tanah dan penatagunaan SDA lainnya dalam satu kesatuan tata ruang yang dinamis berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah. Berdasarkan Rencana Tata Ruang yang telah dikemukakan, dapat disarikan arahan kebijakan penatagunaan air di wilayah Provinsi Riau s/d 2015 sebagai berikut:

3.2.1 Persediaan Air

Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan di wilayah Provinsi Riau, maka kebutuhan air untuk berbagai keperluan akan meningkat di masa depan. Air yang ada di alam merupakan sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources), yang keberadaan dan ketersediaannya sangat bergantung kepada bagaimana manusia memandang dan memperlakukan ekosistem lingkungan DAS terkait. Ekosistem yang terpelihara dengan baik akan mampu menyediakan air yang melimpah, sebaliknya ekosistem yang rusak akan menyebabkan langkanya sumber daya air.

a.Di wilayah Provinsi Riau, pada kawasan-kawasan bertanah mineral di dataran Tengah dan perbukitan sebelah Barat persediaan air dengan berbagai kuantitas dan kualitas dapat diperoleh dari berbagai sumber yang relatif beragam, baik dari air permukaan air di badan-badan sungai, danau, waduk, rawa-rawa, mata air dll) maupun dari air tanah yang mencakup air tanah dangkal dan air tanah dalam. Pemanfaatan air untuk berbagai keperluan di kawasan-kawasan bertanah mineral ini hendaknya dilakukan secara rasional, efisien, dan terpadu antara sumber air permukaan dan air tanah, dengan memperhatikan perkembangan pembangunan, tingkat kebutuhan, dan fluktuasi debit air di musim penghujan dan kemarau.

b.Di wilayah Pantai Timur yang umumnya bertanah gambut, sumber-sumber air dengan kualitas yang baik sulit diperoleh. Air daiam jumlah yang besar sebenarnya banyak terdapat di badan-badan sungai, danau, rawa-rawa, dan di dalam tanah-tanah gambut, namun secara umum kualitasnya rendah karena mengandung senyawa-senyawa organik gambut. Alternatif sumber yang lain bisa diperoleh dari air hujan adalah dengan membangun waduk penampung (polder) dan dari air tanah dalam yang mana untuk ini diperlukan penelitian lebih lanjut. Dengan memperhatikan kendala-kendala ini maka pemanfaatan air untuk berbagai keperluan di wilayah Pantai Timur hendaknya dilakukan secara rasional, efisien dan terpadu antara sumber air hujan, air tanah dalam (bila memungkinkan), dan air tanah gambut dengan terus mengembangkan teknologi pengolahan air gambut yang lebih murah, khususnya bagi pemenuhan air bersih perkotaan.

c. Kawasan-kawasan perkotaan, Kawasan Industri, Kawasan Pelabuhan Laut Utama, Kawasan Bandar Udara Utama dan lain-lain, terutama yang terdapat pada Kawasan-kawasan Tumbuh Cepat dan Kawasan-kawasan Potensial Tumbuh Cepat membutuhkan persediaan air yang relatif lebih banyak, baik untuk keperluan domestik maupun non domestik. Dengan memperhatikan lokasi geografis kawasan-kawasan, apakah pada wilayah bertanah mineral, wilayah bertanah gambut, atau di wilavah kepulauan maka pemanfaatan air untuk berbagai keperluan hendaknya dilakukan secara rasional, efisien dan terpadu dari berbagai sumber yang mungkin berdasarkan kondisi setempat, terutama dari sumber-sumber yang secara kuantitas dan kualitas memiliki potensi yang besar dan layak ekonomi, dengan tetap memelihara kelestarian potensi alaminya.

3.2.2 Peruntukan Air

Seperti halnya tanah, air sebagai sumber daya strategis bersifat publik dimana pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan pembangunan harus dapat diakses oleh orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum secara adil. Namun agak berbeda dengan tanah, air tidak dapat dikapling-kapling seperti halnya tanah. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian potensi sumber daya air dan keberlanjutan pemanfaatannya, maka semua air di alam pad a sumber-sumbernya dikuasai oleh negara. Pemberian hak pengelolaan kepada orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum terbatas pada pemanfaatannya untuk berbagai keperluan dan kepentingan pembangunan, yang pelaksanaan serta pengawasannya diatur dengan peraturan perundangan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dirumuskan arahan kebijakan peruntukan air di wilayah Riau s/d 2015 sebagai berikut:

a.Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara serasi dan selaras dengan penatagunaan tanah dalam rangka mendukung perkembangan wilayah berdasarkan rencana tata ruang yang telah disusun. Alokasi pemanfaatan air untuk sektor dan sub-subsektor pembangunan dilakukan secara rasional, seimbang, dan adil dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan skaia prioritas pembangunan di setiap daerah Kabupaten dan Kota.

b.Di wilayah Provinsi Riau, pada kawasan-kawasan bertanah mineral, pemanfaatan air permukaan dan air tanah diarahkan sebagai berikut:

Air di badan-badan sungai yang berada di luar Kawasan Lindung dan merupakan sumber paling utama dengan debit yang besar dan kualitas air umumnya sedang s/d baik, dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi pertanian, perikanan, air baku bagi penyediaan air bersih perkotaan/perdesaan, dan transportasi sungai.

Air di badan-badan sungai yang termasuk dalam Kawasan Lindung tidak boleh dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yang telah disebut secara langsung di dalam kawasan, kecuali untuk kondisi khusus misalnya terdapat penduduk asli di dalam Kawasan Lindung. Bagi keperluan irigasi pada tempat-tempat tertentu perlu dibangun bendung/waduk, yang dengan keberadaan bendung/waduk ini air sungai dapat sekaligus dimanfaatkan untuk perikanan, wisata dan rekreasi. Demikian pula bagi keperluan pembangkit listrik (PLTA) yang memerlukan kondisi topografi khusus, dimanfaatkan untuk irigasi, baku bagi penyediaan air permukiman.

Air pada sejumlah mata air di kawasan-kawasan perbukitan yang kondisi mutu dan lahannya terpelihara dengan baik, dapat dimanfaatkan untuk industri air kemasan dengan mempertimbangkan besaran debit yang aman bagi kelestarian mata air dan bagi keperluan-keperluan lain di kawasan bawahannya.

Instalasi pengolahan/pengemasan air harus berada di luar radius 200 m dari jalur perlindungan mata air. Dalam hal mata air dan jalur perlindungan 200 m berada di dalam Kawasan Lindung (Kawasan Hutan Lindung, Suaka Margasatwa dll) maka instalasi harus berada di luar batas Kawasan Lindung. Untuk ini air mesti dialirkan dengan pipa transmisi ke lokasi instalasi pengolahan/pengemasan.

Air di danau-danau yang berada di luar Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan untuk perikanan, wisata dan rekreasi, serta sebagai sumber air bersih bagi penduduk setempat di musim kemarau. Mengingat kebutuhan air untuk berbagai keperluan di kawasan bertanah mineral ini dapat terpenuhi dari air di badan-badan sungai maka pemanfaatan air danau lebih bersitat untuk mendayagunakan potensi ekonomi danau, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pemanfaatan air di danau-danau yang termasuk dalam Kawasan Lindung, sebaiknya tidak dilakukan sebagai bagian dari upava menjaga fungsi lindung kawasan. Kalaupun harus dilakukan maka sifatnya terbatas dalam rangka pemanfaatan jasa iingkungan misalnya untuk wisata dan rekreasi, atau karena kondisi yang khusus misalnya terdapat penduduk asli di dalam Kawasan Lindung.

Air di rawa-rawa permanen yang sumbernva dari air tanah dan berada di luar Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan untuk perikanan dan sebagai sumber air bersih bagi penduduk setempat di musim kemarau. Pemanfaatan air di rawa-rawa yang termasuk dalam Kawasan Lindung, sebaiknya tidak dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga fungsi lindung kawasan, keeuali untuk kondisi khusus misalnya terdapat penduduk asli di dalamnya. Untuk rawa-rawa temporer yang sumber airnya berasal dari luapan banjir sungai, pemanfaatan air tidak banyak bisa dilakukan. Melalui kegiatan reklamasi, kawasan rawa-rawa ini dapat dimanfaatkan untuk kawasan pertanian lahan basah atau kawasan budidaya lainnya, namun untuk ini dibutuhkan biaya yang cukup besar.

Air tanah dangkal di kawasan-kawasan permukiman (perkotaan maupun perdesaan) dapat dimanfaatkan terutama untuk pemenuhan kebutuhan air bersih domestik (rumah tangga) pada skala penggunaan perorangan yang relatif kecil. Pada kawasan-kawasan pertanian yang cukup jauh dari sungai dan atau belum mendapatkan sarana irigasi, maka air tanah dangkal dan air tanah dalam (bila ada potensi) dapat dimanfaatkan untuk pengairan, khususnya di musim kemarau dengan menggunakan sistem pompa. Di kawasan-kawasan permukiman yang padat, pemanfaatan air tanah dangkal pada skala besar untuk kebutuhan non domestik tidak diizinkan. Air tanah dalam bila potensinya mencukupi dapat dimanfaatkan dengan perizinan dan pengawasan oleh Dinas yang berwenang di daerah diperlukan bendung/waduk yang juga dapat perikanan, wisata dan rekreasi, serta sebagai air bersih perkotaan bila lokasinya berada dekat.c.Di wilayah Pantai Timur yang umumnya bertanah gambut, pemanfaatan air permukaan dan air tanah diarahkan sebagai berikut:

Air di badan-badan sungai yang berada di luar Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan untuk keperluan perikanan (sistem keramba), transportasi sungai, dan air baku bagi penyediaan air bersih perkotaan/perdesaan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Gambut (IPAG). Air di badan-badan sungai yang termasuk dalam Kawasan Lindung tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluankeperluan yang telah disebut secara langsung di dalam kawasan, kecuali untuk kondisi khusus misalnya terdapat penduduk asli di dalam Kawasan Lindung. Meskipun debitnya sangat besar, namun karena kondisi topografi yang umumnya datar yang tidak memungkinkan dibangun bendung/waduk. Air di rawa-rawa gambut yang berada di luar Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan untuk perikanan dan sebagai sumber air bersih bagi penduduk setempat menggunakan Instalasi Pengolahan Air Gambut (IPAG). Pemanfaatan air di rawa-rawa yang termasuk daiam Kawasan Lindung, sebaiknya tidak dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga fungsi lindung kawasan, kecuali kondisinya khusus misalnya terdapat penduduk asli di dalamnya.

Air tanah dangkal di wilayah bertanah gambut ini adalah juga air gambut, yang potensi pemanfaatannya tidak berbeda dengan air gambut di sungai-sungai, danau, dan rawa-rawa. Pada tanah gambut dangkal kurang dari 2 m, air tanah dangkal tawar juga sulit diperoleh karena tanah mineral di bawah lapisan tanah gambut umumnya bersifat kedap air. Mengingat sulitnya memperoleh air baku tawar di wilayah Pantai Timur ini, maka bagi pemenuhan kebutuhan domestik penduduk dari air hujan menjadi sangat berarti. Pemanfaatan air hujan bisa dilakukan secara perorangan rumah tangga maupun skala besar dengan membangun waduk penampung (polder) dan instalasi pengolahan air.d.Dalam hal kepada siapa hak pemanfaatan dan pengeloiaan atas air ini dapat diberikan, mengingat air adalah sumber data publik maka hak tersebut pada dasarnya bisa diberikan kepada orang seorang, kelompok orang maupun badan hukum Dalam kaitan ini pemanfaatan air dapat dibedakan atas pemanfaatan untuk keperluan individu rumah tangga (domestik, non komersial) dan pemanfaatan untuk umum yang dapat bersifat komersial dan non komersial (misalnya untuk irigasi pertanian). Dalam hal untuk keperluan umum yang biasanya menggunakan iumlah atau kuantitas air yang cukup banyak (skala besar) maka harus melalui perijinan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Aspek pengawasan harus diberlakukan secara ketat dalam hal potensi sumber air yang tersedia terbatas, dan atau bila pemanfaatan bersama untuk keperluan individu rumah tangga dan keperluan umum mengarah pada terancamnya kelestarian potensi sumber air yang ada. Pemanfaatan skala kecil untuk kebutuhan individu rumah tangga pada prinsipnya tidak perlu meialui perijinan, kecuali untuk sumbersumber air yang rentan secara ekologis seperti mata air dan air tanah dalam, yang apabila dimanfaatkan secara berlebihan dapat menyebabkan terganggu, rusak dan atau punahnya potensi sumber air tersebut

3.2.3 Penggunaan Air

Sejalan dengan pengertian penggunaan air yang merupakan wujud dari kegiatan memanfaatkan air sesuai peruntukan yang ditetapkan, maka kebijakan penggunaan air di wilayah Riau sid 2026 diarahkan sebagai berikut:

a.Mempermudah proses dan prosedur perijinan dalam rangka pemberian hak pemanfaatan dan pengelolaan atas air, khususnya pemanfaatan air bagi keperluan umum (orang banyak) dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah.

b.Memberikan insentif dan kemudahan-kemudahan yang lain kepada pemegang hak pemanfaatan dan pengelolaan atas air yang telah melaksanakan program pemanfaatan air secara tepat waktu atau lebih cepat sesuai peruntukan yang telah ditetapkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah.

c.Pengenaan sanksi hukum sebagai bentuk disinsentif kepada pemegang hak pemanfaatan dan pengeloiaan atas air yang tidak melaksanakan program pemanfaatan air sebagaimana yang telah ditetapkan, setelah dikeluarkannva sebuah perijinan.

d.Menyelesaikan berbagai permasalahan pemanfaatan atas air yang bisa timbul di antara pemegang hak maupun antara pemegang hak dengan penduduk dalam hal terjadi suatu klaim oleh penduduk setempat, agar program pemanfaatan air bagi kepentingan umum dapat berjalan sesuai rencana.

3.2.4 Pemeliharaan Air

Keberadaan dan ketersediaan air pada sumber-sumbernya di alam sangat bergantung pada bagaimana manusia memandang dan memperlakukan ekosistem lingkungan yang terkait Ekosistem yang terpelihara dengan baik akan mampu menyediakan air yang melimpah, sebaliknya ekosistem yang rusak akan menyebabkan langkanya sumber daya air. Atas dasar pemahaman ini maka kebijakan pemeliharaan air di wilayah Provinsi Riau s/d 2026 dapat diarahkan sebagai berikut:

a.Memelihara kawasan-kawasan bertutupan hijau di dalam wilayah, utamanya Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Resapan Air, untuk mengurangi run-off dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah sehingga terjaga kelestarian siklus hidro-orologis yang merupakan sumber utama air bagi mata-mata air, sungai. danau, dan air tanah (dangkal maupun dalam).b.Melakukan pengendalian terhadap faktor-faktor penyebab perubahan variabel iklim makro, yaitu emisi gas Chlor, CO2 dll yang dapat merusak lapisan ozon (efek rumah kaca) dan menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim global di muka bumi. Adanya fenomena EL Nino dan pergeseran musim dapat mengganggu stabilitas daur hidrologis wilayah di permukaan bumi.

c.Menerapkan secara konsisten kriteria dan standar teknis pemanfaatan air yang telah ditetapkan melalui pengendalian yang ketat di lapangan. Pengendalian mencakup kegiatan pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) serta kegiatan penertiban terhadap pemanfaatan air yang tidak sesuai. peruntukan.

d.Penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam memanfaatkan air untuk berbagai kepentingan pembangunan, disesuaikan dengan kemajuan, perkembangan dan ketersediaan teknologi. Penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan ini merupakan elemen penting yang perlu tertuang di dalam kriteria dan standar teknis pemanfaatan air.

e.Mengembangkan sikap bijak terhadap air, serta budaya hemat dan tepat guna dalam pemanfaatan air, dengan memandang bahwa air merupakan sumber daya strategis karunia Tuhan kepada bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestarian dan keberadaannya bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

3.3. Pertanian dan Perkebunan

Sektor pertanian hingga saat ini masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar. Secara teoritis, sektor pertanian yang relatif tradisional mempunyai nilai tambah yang kecil bila dibandingkan dengan sektor manufaktur. Oleh karena itu pembangunan bidang pertanian diarahkan untuk mendukung pengembangan industri agribisnis komoditi tanaman pangan dan hortikultura unggulan daerah melalui perubahan status dan pelatihan SKE (Sistem Kebersamaan Ekonomi) di wilayah pedesaan tradisional Daerah Aliran Sungai, wilayah pantai, pedalaman dan perbatasan, sehingga masyarakat mau dan sadar untuk bekerja dan berusaha secara dinamis di bidang pertanian akan mengalami peningkatan pendapatan.Dipandang dari perspektif ketersediaan lahan pertanian di Riau (lahan sawah, lahan tidur, lahan kering/tegalan, lahan pasang surut), sangat mungkin perekonomian daerah ini mewujudkan ketahanan pangan yang terlepas dari import based economy.Pengembangan sektor pertanian ini khususnya bidang tanaman pangan terpadu dengan peternakan harus tetap menjadi prioritas pembangunan dikarenakan memiliki potensi dan penyerapan tenaga kerja yang besar. Disamping itu pengembangannya memiliki tujuan dan sasaran yang menuju pada tercapainya ketahanan pangan yang menjamin stabilitas perekonomian daerah. Sebagian besar kelompok masyarakat miskin terkonsentrasi pada sektor pertanian ini, oleh karena itu proses pengentasan kemiskinan dapat dilakukan melalui pengembangan sektor ini dengan program-program yang tepat sasaran.Keberadaan masyarakat miskin di daerah pedesaan yang identik dengan sektor pertanian yang masih tradisional, dimana taraf kehidupan mereka masih banyak yang bersifat subsistance economy, berdasarkan pendataan keluarga miskin tahun 2004 menyatakan bahwa rata-rata 76,26% penduduk miskin bermata pencaharian pada sektor pertanian dalam arti luas. Hal ini dikarenakan proses produksinya, terutama produksi tanaman pangan belum mencapai mekanisasi, sehingga produktivitas mereka masih rendah dan secara kualitas belumlah begitu baik. Akibatnya pendapatan mereka masih sangat rendah dan belum mencukupi kebutuhan hidup yang layak.Dalam kaitan hal tersebut diatas, sasaran pembangunan ekonomi pedesaan dan ekonomi kerakyatan pada periode 20042008, adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan petani dengan US $ 1.750 pada tahun 2008.

Kebijakan pembangunan bidang pertanian Provinsi Riau sesuai RTRW Provinsi Riau 2001-2015 diarahkan pada:

Mewujudkan ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat secara merata keseluruh daerah dengan harga terjangkau, kualitas dan kuantitas yang memadai serta berkelanjutan.

Mewujudkan dan membangun komitmen masyarakat untuk maju, mengembangkan diri dan berperan aktif sebagai pelaku ekonomi rakyat pedesaan melelui restrukturisasi dan redistribusi aset produktif hingga terjadi keseimbangan peluang masyarakat dalam usaha penataan struktur ekonomi berbasis kerakyatan, keadilan dan efisien.

Pengembangan organisasi masyarakat miskin, serta pengembangan industri pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian melalui pengerahan investasi (swasta) ke daerah pedesaan dalam konteks agribisnis.

Mengembangan kemitraan usaha yang saling menguntungkan, pengembangan sektor utama yang memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya serta penggunaan lahan secara optimal yang didukung teknologi melalui pengembangan kawasan agropolitan dan kawasan sentra produksi.

Program pembangunan bidang pertanian Provinsi Riau meliputi: program peningkatan ketahanan pangan, program peningkatan kualitas SDM pertanian dan kesejahteraan petani, program peningkatan sarana dan prasarana pertanian, program pengembangan agribisnis dan program pengembangan potensi lahan pertanian.

3.4. Sektor KehutananKebijakan sektor kehutanan sangat penting untuk dijadikan salah satu dasar penentuan di dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), hal ini terkait dengan posisi sumberdaya hutan yang sangat erat kaitannya dengan kondisi penutupan sumberdaya lahan dan siklus sumberdaya air pada kawasan Daerah Aliran Sungai. Secara umum hutan dapat definisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara hukum hutan tersebut berada pada suatu kawasan yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Kawasan tersebut secara fisik terletak di permukaan bumi yang telah dibagi-bagi berdasarkan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS).Berkaitan dengan hal tersebut secara khusus sumberdaya hutan memiliki peranan yang sangat besar terhadap kondisi biofisik suatu DAS, terutama dalam hal keberadaan sumberdaya air yang mengalir pada badan air sungai dari DAS tersebut. Dinyatakan bahwa hutan dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses:

Evapotranspirasi

Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.

b. Menambah titik-titik air di atmosfer.

c. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.

d. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat:

a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan

b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.

e. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.

3.4.1. Kebijakan Sektor Kehutanan Secara NasionalKebijakan sektor kehutanan secara nasional tercermin didalam rencana stratejik Departemen Kehutanan yang meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan. Visi lima tahun kedepan sektor kehutanan secara nasional adalah Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat. Terkait dengan kegiatan ini maka visi tersebut sangat sejalan yaitu penekanan pada masalah kelestarian hutan yang secara tidak langsung memperhatikan fungsi dan peranan hutan terhadap kelestarian DAS Siak. Berdasarkan visi tersebut misi yang akan diemban oleh departemen kehutanan padalima tahun kedepan adalah:

a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).d. Mendorong peran serta masyarakat.e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.f. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah.Dari misi tersebut point no 3 sangat mendukung terdapat kegiatan penyusunan pola pengelolaan DAS Siak ini. Terkait dengan misi ini tujuan yang telah ditetapkan adalah Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), adalah untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan untuk mendukung sistem penyangga kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut program yang ditetapkan antara lain:

a. Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam;b. Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam;c. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup;Untuk mendukung program-program tersebut kegiatan yang terkait secara khusus dengan kegiatan ini adalah: Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas secara optimal, termasuk berfungsinya daerah tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al: waduk, pembangkit listrik tenaga air, dan lain-lain).3.4.2. Kebijakan Sektor Kehutanan di Provinsi RiauHutan memiliki 3 fungsi, yaitu : fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi. Kawasan hutan bagi fungsi lindung mencakup Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya (Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Resapan Air dll) serta Kawasan Perlindungan Setempat (Sempadan Pantai, Sempadan Sungai dll). Untuk fungsi konservasi mencakup Kawasan Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dll), serta Taman Buru. Adapun untuk fungsi produksi mencakup Kawasan Hutan Produksi Tetap, Kawasan Hutan Produksi Konversi dll. Dalam rangka menjaga fungsi hidro-orologis dan iklim mikro wilayah, kawasan-kawasan hutan berfungsi konservasi dan fungsi produksi pada dasarnya juga memiliki fungsi-fungsi lindung. Oleh sebab itu, bersama kawasan hutan berfungsi lindung, kawasan-kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan fungsi produksi harus dijaga keutuhan dan kelestariannya.

Kawasan-kawasan hutan dengan fungsi lindung dan fungsi konservasi yang sudah

ada di wilayah Riau memiliki arti yang sangat penting bagi daerah, untuk menjaga keutuhan dan kelestariannya perlu didukung melalui upaya hukum (aspek legal) dan kegiatan pengendalian yang ketat di lapangan. Dari segi hukum, bagi kawasan-kawasan hutan berfungsi lindung yang belum memiliki status tetap dan atau sedang dalam proses pengukuhan status, hendaknya dilakukan upaya percepatan dan pemantapan atas status kawasan hutan. Kegiatan pengendalian yang ketat di lapangan yang mencakup kegiatan pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) serta kegiatan penertiban pengenaan sanksi hukum) diperlukan dalam rangka menanggulangi masalah penebangan liar, khususnya di dalam kawasan-kawasan hutan berfungsi lindung dan konservasi. Efektivitas pengendalian perlu ditingkatkan melalui tindakan tegas dan pengenaan sanksi hukum yang berat terhadap setiap pelanggaran.

Sumberdaya kehutanan daerah Riau sangat potensial, oleh karena itu potensi kehutanan tersebut harus diolah sebaik mungkin sebagai salah satu pendorong penting kegiatan ekonomi masyarakat. Pembangunan kehutanan merupakan bagian yang sangat penting dan integralistik dalam proses pembangunan daerah Riau. Pengembangan kehutanan seharusnya melingkupi berbagai usaha pemanfaatan hutan secara maksimal dengan tidak mengabaikan aspek lingkungan hidup dalam arti luas.Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup semua upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumberdaya alam hutan dan sumberdaya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai sumberdaya pembangunan.Namun dalam realitanya tiga fungsi utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi lindung dan estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu. Hilangnya ketiga fungsi diatas mengakibatkan semakin luasnya lahan kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang tidak mengindahkan aspek kelestarian dan dari tahun ketahun kondisi hutan Riau semakin habis.Arah kebijakan bidang kehutanan adalah melestarikan kawasan hutan sebagai kawasan lindung dan budidaya, dan mengembangkan kelembagaan masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai modal pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan.

3.5. Transportasi SungaiTransportasi sungai dan penyeberangan pada hakekatnya merupakan kepanjangan dari jaringan prasarana jalan yang terputus akibat adanya hambatan berupa sungai dan atau selat, untuk menghubungkan dua wilayah daratan/pulau yang berseberangan. Transportasi sungai di wilayah Riau juga banyak digunakan

untuk perhubungan antar kecamatan dan atau antar desa yang sifatnya pergeraKan laka!.

Secara khusus arahan kebijakan pemanfaatan Sungai Siak untuk transportasi sungai berupa:

a.Transportasi sungai dan laut menjadi jaringan utama antara Riau Daratan dan Kepulauan

b.Transportasi sungai terintegrasi dengan transportasi darat

c.Transportasi penumpang dipriotitaskan pada angkutan sungai dan laut.

d.Pengembangan sistim transportasi sungai perlu ditunjang oleh upaya menjaga kedalaman badan air, agar permasalahan pendangkalan sungai yang sering dihadapi moda angkutan sungai dapat diatasi.

3.6. Sosial Ekonomi dan BudayaPembahasan tentang kebijakan sosial ekonomi yang berkaitan dengan Pengelolaan SDA Wilayah Sungai dalam laporan ini meliputi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan beberapa hal berikut:

Kependudukan dan ketenagakerjaan. Kebijakan Kependudukan dan ketenagakerjaan terkait dengan program-program:

Pengurangan ketimpangan pendapatan masyarakat Pengentasan kemiskinan terutama bagi masyarakat di perdesaan (di sekitar DAS)

Pengurangan tingkat pengangguran Aspek Budaya. Yaitu aspek pembangunan yang sebenarnya sangat menentukan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam, namun sering terabaikan oleh pemerintah dalam implementasinya. Contoh yang nyata adalah pembangunan yang selama ini dilaksanakan telah mengabaikan kearifan dan indigenous knowladge masyarakat lokal serta terlalu sentralistik (top down). Akibat kurangnya mengadopsi kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam sehingga kerusakan semakin parah. Untuk itu, pengelolaan DAS dan penanggulangan bencana (longsor, banjir, dan kekeringan) harus dapat mengakomodir kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.

Kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini tidak terbatas pada hubungan antar lembaga pemerintah saja, melainkan juga kelembagaan di masyarakat. Dalam konteks kelembagaan antar instansi pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi/politis tetapi lebih dibatasi oleh aspek alamiah. Dampak bencana dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada seringkali melewati batas politis (negara, provinsi, kabupaten). Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya harus berdasarkan pada batas alamiah bukan batas politis. Namun, seringkali keinginan dari para stakeholder yang berada dalam suatu DAS untuk memanfaatkan sumberdaya alam beraneka ragam. Setiap daerah dan stakeholder berusaha untuk memenuhi kehendaknya. Untuk itu diperlukan suatu pembentukan komunitas DAS yang akan mewadahi dan mengelola kepentingan dalam suatu DAS untuk suatu tujuan tertentu. Komunitas DAS tersebut dapat berbentuk asosiasi, dewan, badan otorita atau lainnya yang disesuaikan dengan keinginan stakeholder. Dalam kaitan inilah maka diperlukan suatu solidaritas dan kesetiakawanan antar stakeholder dalam DAS. Masalah konflik pemanfaatan sumberdaya alam, kerusakan sumberdaya alam, konflik hulu hilir dan sebagainya dapat diselesaikan dalam komunitas DAS dengan semangat solidaritas antar stakeholder dalam DAS.

3.6.1. Orientasi Pembangunan Provinsi Riau

Orientasi pembangunan adalah berbagai kebijakan ekonomi yang sifatnya makro namun sangat menentukan arah kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah dengan alasan pembangunan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain berupa penentuan visi misi daerah, arah pencapaian pertumbuhan ekonomi, program dan kegiatan ekonomi, kebijakan di sektor pertanian dan di luar pertanian, serta Kebijakan investasi di daerah.Secara garis besar dokumen Master Plan Riau 2020 merekomendasikan kebijakan untuk membangun ekonomi berbasis industrialisasi pertanian, pembangunan sosial dan konsolidasi perencanaan berbasis Daerah Aliran Sungai. Kebijakan tersebut merekomendasikan perubahan orientasi meninggalkan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terbarukan.Khusus untuk beberapa bidang pembangunan di Provinsi Riau diharapkan terjadi perubahan kebijakan dalam periode waktu perencanaan antara tahun 2002 2011 dan periode tahun 2012 2020 adalah sebagai berikut:

Bidang2002 20112012 2020

EkonomiPDRB Meningkat secara perlahan oleh ekspor produk pertanianPeningkatan PDRB oleh konsumsi dan pembangunan kota

Struktur ekonomiPusat-pusat perekonomian Batam, PT CPI, pulp dan paper, CPO Pusat Perekonomian mencakup industri dan jasa perkotaan

InfrastrukturPeningkatan infrastruktur pada DAS Pembangunan jaringan infrastruktur regional, seperti jalan tol, kereta api, dll

Sumber: Dokumen Master Plan Riau 2020

Secara umum kebijakan bidang sosial ekonomi Provinsi Riau tertuang dalam misi pembangunan daerah yang ke empat dan kelima, yaitu Terwujudnya keseimbangan pembangunan antar wilayah dan Terwujudnya perekonomian berbasis potensi sumberdaya daerah dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Dalam kebijakan tersebut mengamanatkan pembangunan antar wilayah di Provinsi Riau tidak boleh terjadi ketimpangan. Selain itu perekonomian yang akan dikembangkan di Provinsi Riau harus benar-benar berbasiskan sumberdaya daerah dan sebesar-besarnya memberdayakan ekonomi kerakyatan. Hal ini menunjukkan keberfihakan pemerintah yang kuat pada keseimbangan dan pengelolaan sumberdaya daerah bagi ekonomi kerakyatan. 3.6.2. Kebijakan Pembangunan EkonomiKebijakan ekonomi diarahkan pada upaya pembangunan ketahanan ekonomi rakyat dalam upaya pengentasan kemiskinan yang tersebar luas di pedesaan terutama di wilayah DAS dan desa pantai melalui pengembangan industri agribisnis komoditas unggulan daerah.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa migas pada tahun 1998 sebesar minus 1,81% meningkat menjadi 5,59% pada tahun 2002, sehingga rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pertahun selama periode 1998-2002 mencapai 4,67%, jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional per tahun yang hanya 0,05% pada periode yang sama. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dengan migas pada tahun 1998 sebesar minus 3,86% tumbuh menjadi 4,40% pada tahun 2002. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dengan migas per tahun selama periode 1998-2002 mencapai 2,94%. Kondisi ini jauh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional per tahun yaitu minus 0,06% pada periode yang sama.Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi beberapa provinsi tetangga pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi Riau jauh lebih baik, seperti Sumatera Barat (tanpa migas) yang hanya tumbuh rata-rata sebesar 0,57% dan Sumatera Utara (tanpa migas) sebesar 0,54%.Arahan yang ditetapkan dalam Master Plan Provinsi Riau, bahwa pertumbuhan ekonomi antara 5% dan 8% hingga tahun 2020 sebagaimana direncanakan. Hal ini perlu diikuti pengembangan sektor ketenagakerjaan yaitu perlunya dipromosikan peningkatan produktivitas, efisiensi tenaga kerja, keluarga berencana, kesehatan dan pendidikan.

a. Program dan Kegiatan EkonomiProgram di bidang ekonomi Provinsi Riau sebagaimana tertuang dalam Visi Riau 2020, adalah menjadi sebuah pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di kawasan Asia Tenggara akan muncul di Provinsi Riau. Di dalam visi Riau tersebut, terdapat berbagai indikator makro yang menjadi sasaran terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Dalam visi tersebut terdapat hal-hal yang menjadi indikator tercapainya visi Riau dalam bidang ekonomi itu. Di antaranya peningkatan pendapatan per kapita, peningkatan investasi, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.Untuk mewujudkan indikator-indikator tersebut program yang dicanangkan dalam kerangka makro Provinsi Riau adalah pembiayaan pembangunan yang efektif dan efisien. Hal ini untuk menjamin: distribusi aset produktif lebih adil dan seimbang antar pelaku ekonomi di Riau.

b. Kebijakan InvestasiSalah satu instrumen yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah adanya mobilitas faktor produksi (modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang tinggi. Dalam hal ini peranan investasi menjadi kunci dari percepatan pembangunan di daerah. Semua Pemerintah Daerah di Provinsi Riau sebagai lembaga yang mempunyai fungsi memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha telah mencanangkan berbagai kebijakan yang mampu menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan antara lain peraturan pemda. Antara lain yang bisa disebutkan disini adalah:

1. Kebijakan investasi yang memberikan insentif perpajakan dan pemanfaatan asset daerah dalam jangka pendek,

2. Kebijakan peningkatan PAD yang tidak membebani dunia usaha dalam jangka pendek,

3. Kebijakan perencanaan pembangunan wilayah yang melibatkan semua komponen daerah, kebijakan peningkatan kemampuan SDM,

4. Kebijakan peningkatan pelayanan publik yang mengarah pada pemberdayaan penduduk, dan kebijakan koordinatif lintas instansi dan lintas kabupaten.

c. Kependudukan dan Ketenagakerjaan.Kebijakan Kependudukan dan ketenagakerjaan Provinsi Riau adalah terkait program-program pengurangan ketimpangan pendapatan masyarakat dengan mendorong usaha kecil menengah dan koperasi lebih berperan dan mengusai aset produktif hingga mencapai 45% di tahun 2008. Kondisi saat ini aset yang dikuasai baru mencapai 36,62%. Selain itu, program peningkatan produktivitas tenaga kerja diharapkan dapat mencapai Rp. 14.180.319,03 pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 4,13% pertahun. Kondisi tahun 2002 produktivitas tenaga kerja Rp. 12.016.135,12 dan tahun 2003 menurun menjadi Rp. 11.590.289,96. Dengan program seperti ini diharapkan visi dan misi Provinsi Riau akan terwujud dan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

3.6.3. Kebijakan di Bidang Budaya. Kebijakan pembangunan terutama dalam penataan ruang (RTRW) masih kurang mengakomodir kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam. Untuk itu, pengelolaan DAS dan penanggulangan bencana (longsor, banjir, dan kekeringan) harus dapat mengakomodir kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Salah satu program yang dicanangkan pemerintah Provinsi Riau adalah dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, yaitu dengan meningkatkan perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif.Selain itu untuk implementasi pembangunan jangka panjang direkomendasikan melakukan strategi Aliansi. Aliansi tidak hanya dilakukan pada aspek ekonomi, namun juga aspek budaya antara masyarakat madani dan masyarakat tradisi budaya dan sosial dari budaya melayu. Hal ini karena budaya melayu ternyata mempunyai kontribusi yang kuat pada moral budaya yaitu nilai sosial, struktur spasial sosial, ingatan kolektif dan kepemimpinan moral.Dengan diakomodasinya kearifan lokal dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, diharapkan kemanfaatan hasil-hasil pembangunan akan semakin dirasakan oleh masyarakat sampai ke lapisan yang paling bawah sekalipun. Selain itu ketimpangan, baik menyangkut aspek ekonomi maupun sosial budaya dapat dikurangi atau dihilangkan secara bertahap, yang pada akhirnya dapat terwujud masyarakat madani yang sangat peduli dengan proses pembangunan daerahnya.BAB III

Master Plan Riau 2020, Lampiran hal 19

Renstra Provinsi Riau 2004 - 2008

Salah satu Kebijakan Pemerintah Daerah adalah kebijakan Kabupaten Kampar dalam bidang investasi.

PAGE III-1 Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Riau

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi