BAB III TEORI DASAR - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/6445/15/BAB III.pdf · Gambar 3.3...

20
BAB III TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode yang memanfaatkan luasnya data hasil akuisisi seismik yang dapat dipergunakan untuk pengolahan data seismik. Pada proses akuisisi dilakukan pengukuran secara berulang untuk sebuah titik refleksi di bawah permukaan bumi, sehingga titik tersebut diiluminasi beberapa kali. Perulangan tersebut dilakukan akibat dari desain akusisi yang terdiri dari pasangan sumber penerima yang diletakkan pada posisi yang berbeda. Metode ini yang nantinya dikenal dengan metode seismik multicoverage, dimana hasilnya akan mendapatkan data yang berasal dari beberapa pasangan sumber dan penerima yang berbeda untuk satu CMP (Common Mid Point). Jenis dari data ini kemudian dikumpulkan kembali dalam suatu kesamaan, yang biasanya dikelompokkan berdasarkan CMP, untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu kumpulan data zero-offset (simulasi ZO) agar lebih mudah dilakukan interpretasi. Pada dasarnya semua teknik imaging dipergunakan untuk melakukan simulasi ZO. Metode simulasi ZO yang terkenal hingga saat ini adalah CMP stack dan DMO stack, dimana kedua metode ini memiliki kesamaan yaitu membutuhkan model kecepatan. Untuk metode CMP stack memerlukan adanya koreksi NMO, dimana koreksi NMO tersebut membutuhkan data kecepatan stack yang diperoleh dengan melakukan analisis kecepatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa simulasi ZO dengan menggunakan CMP stack sangat membutuhkan adanya model kecepatan.

Transcript of BAB III TEORI DASAR - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/6445/15/BAB III.pdf · Gambar 3.3...

1

BAB III

TEORI DASAR

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode yang memanfaatkan luasnya data

hasil akuisisi seismik yang dapat dipergunakan untuk pengolahan data seismik.

Pada proses akuisisi dilakukan pengukuran secara berulang untuk sebuah titik

refleksi di bawah permukaan bumi, sehingga titik tersebut diiluminasi beberapa

kali. Perulangan tersebut dilakukan akibat dari desain akusisi yang terdiri dari

pasangan sumber penerima yang diletakkan pada posisi yang berbeda. Metode ini

yang nantinya dikenal dengan metode seismik multicoverage, dimana hasilnya

akan mendapatkan data yang berasal dari beberapa pasangan sumber dan

penerima yang berbeda untuk satu CMP (Common Mid Point). Jenis dari data ini

kemudian dikumpulkan kembali dalam suatu kesamaan, yang biasanya

dikelompokkan berdasarkan CMP, untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu

kumpulan data zero-offset (simulasi ZO) agar lebih mudah dilakukan interpretasi.

Pada dasarnya semua teknik imaging dipergunakan untuk melakukan simulasi ZO.

Metode simulasi ZO yang terkenal hingga saat ini adalah CMP stack dan DMO

stack, dimana kedua metode ini memiliki kesamaan yaitu membutuhkan model

kecepatan. Untuk metode CMP stack memerlukan adanya koreksi NMO, dimana

koreksi NMO tersebut membutuhkan data kecepatan stack yang diperoleh dengan

melakukan analisis kecepatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa simulasi ZO

dengan menggunakan CMP stack sangat membutuhkan adanya model kecepatan.

13

Akibat ketergantungan metode tersebut pada model kecepatan, menyebabkan

seismik imaging dengan ZO bersifat subyektif, sehingga diperlukan adanya suatu

metode baru dimana tidak tergantung pada model kecepatan. Beberapa metode

yang bersifat independen terhadap model kecepatan telah dikembangkan, akan

tetapi pada penelitian ini yang akan dibahas hanya metode common reflection

surface stack (Yona, 2009).

3.1 Metode Stack Konvensional

3.1.1 CMP Stack

Pada akuisi seismik 2D, source dan receiver ditempatkan dalam satu garis lurus.

Posisi CMP didefinisikan sebagai titik tengah antara source dan receiver. Posisi

midpoint xm di lintasan seismik dihitung dari posisi source xs dan receiver xg,

dengan persamaan berikut :

𝑥𝑚 = 𝑥𝑠+𝑥𝑔

2 (3.1)

Pasangan source dan receiver dari posisi CMP yang sama dikumpulkan dalam

satu CMP gather. Jarak antara source dan receiver disebut sebagai offset, titik

tengah antara jarak tersebut didapatkan dari persamaan berikut :

ℎ = 𝑥𝑠−𝑥𝑔

2 (3.2)

Ilustrasi dari pengenalan terhadap koordinat baru ini digambarkan pada Gambar

3.1. Ilustrasi tersebut menggambarkan sebuah desain akusisi yang dilakukan pada

suatu kasus sederhana dimana terdapat satu reflektor datar pada suatu lapisan

medium homogen isotropi.

Berikut ini ilustrasi penggambarannya :

14

Gambar 3.1 Ilustrasi Akuisisi Data Seismik 2D dengan Menggunakan Reflektor

yang Planar pada Medium Homogen Isotropi (Duveneck, 2004)

Ketika akuisisi data seismik dilakukan sepanjang lapisan horizontal di bawah

permukaan yang homogen, refleksi primer dalam penampang common midpoint

gather akan tepat berada di sepanjang fungsi traveltime hiperbola. CMP gather

mengandung semua ray dan mengiluminasi titik yang sama pada sebuah reflektor

dengan offset yang berbeda-beda (lihat Gambar 3.2b).

Gambar 3.2 Geometri Seismik Refleksi (a) Common Source Gather (b) CMP

Gather (Mann, 2002)

Inilah ide dasar metode stack CMP konvensional yang diungkapkan oleh Mayne

(1967), dimana trace-trace dari offset yang berbeda-beda mengandung informasi

untuk titik yang sama pada reflektor horizontal. Informasi yang banyak ini dapat

15

dijumlahkan secara konstruktif untuk menghasilkan sebuah penampang stack

dengan rasio sinyal terhadap noise yang tinggi.

3.1.2 Koreksi NMO/ DMO

Dalam kasus konvensional yang didekati dengan 2 medium di bawah permukaan

diwakili oleh fungsi traveltime :

𝑡2 𝑥 = 𝑡02 +

𝑥2

𝑣𝑁𝑀𝑂2 (3.3)

dimana t(x) adalah waktu tempuh dengan fungsi offset, t0 adalah waktu penjalaran

zero offset, dan x adalah jarak antara source dan receiver.

Untuk kasus reflektor dengan medium homogen, parameter yang berpengaruh

hanya kecepatan medium saja. Sedangkan pada kasus reflektor yang memiliki

kemiringan, fungsi traveltime merupakan kombinasi dari unit kecepatan dan dip

yang dikenal dengan nama Dip Move Out. Parameter ini bergantung pada

kemiringan reflektor dan kecepatan medium itu sendiri.

Berikut ini ilustrasi penggambaran Dip Move Out :

Gambar 3.3 Geometry CS Gather (a) dan CMP Gather (b) pada Reflektor yang

Memiliki Dip (Muller, 1999)

16

Untuk model 2D yang terdiri dari satu reflektor yang memiliki kemiringan dip Φ,

seperti yang tergambar dalam Gambar 3.3, fungsi traveltime terhadap offset

untuk model diatas adalah sebagai berikut :

𝑡2 ℎ = 𝑡02 +

4ℎ2

𝑣𝑁𝑀𝑂2 (3.4)

dimana kecepatan NMO diturunkan dari persamaan kecepatan berikut :

𝑣𝑁𝑀𝑂 =𝑣

𝑐𝑜𝑠∅ (3.5)

dimana h adalah half offset antara source dan geophone (receiver), v adalah

kecepatan medium dan t0 adalah waktu tempuh zero offset, t(h) adalah waktu

tempuh dengan fungsi offset. Beda waktu tempuh antara t(h) dan t0 dinamakan

ΔtNMO atau koreksi NMO. Koreksi NMO adalah koreksi waktu tempuh karena

pengaruh offset.

Kecepatan NMO disebut juga sebagai apparent velocity atau stacking velocity.

Adanya sudut Φ menyebabkan kurva waktu tempuh menjadi lebih datar daripada

waktu tempuh untuk lapisan horizontal. Oleh karena itu, kecepatan NMO akan

selalu lebih besar jika dibandingkan dengan kecepatan interval medium. Inversi

kecepatan yang didasarkan pada moveout ini akan menghasilkan kecepatan

medium apparent yang lebih tinggi daripada kecepatan medium yang sebenarnya,

sehingga untuk kasus seperti ini, koreksi NMO masih akan menyisakan residual

NMO. Pada kasus lapisan horizontal, kecepatan NMO akan sama dengan

kecepatan interval medium. Pada kasus perlapisan yang memiliki kemiringan

planar, CMP gather akan mengalami situasi yang disebut smearing, dimana tiap

titik refleksi dalam satu CMP gather tidak akan tepat berada di titik CMP yang

dimaksudkan. Fenomena ini dengan jelas diperlihatkan dalam Gambar 3.4. Pada

17

gambar tersebut terlihat bahwa tiap titik refleksi dalam satu CMP gather tidak lagi

berada dalam satu titik, namun tersebar dalam sebuah area tertentu. Dalam kasus

lapisan miring yang planar, situasi ini bisa diatasi dengan menggunakan koreksi

DMO (Dip Move Out). Namun, untuk kasus lapisan miring yang berbentuk

melengkung, atau pada kasus medium yang tidak homogen, koreksi ini menjadi

tidak tepat lagi. Meskipun telah dilakukan koreksi NMO dan DMO, smearing dari

titik refleksi residual masih terjadi. Efek ini akan makin besar apabila dijumpai

bentuk reflektor yang makin melengkung atau medium yang makin tidak

homogen.

Gambar 3.4 Reflection Point Smear (a) Kumpulan Ray Setiap Titik CMP Gather

(b) Detail yang Menunjukkan Titik Refleksi Tiap CMP Gather (Mann et al.,

2007)

Setelah dilakukan koreksi NMO yang menyebabkan reflektor berbentuk hiperbola

menjadi terlihat datar, kemudian dilakukan proses stacking yang bertujuan untuk

meningkatkan rasio sinyal terhadap noise. Stacking trace bisanya dilakukan

berdasarkan CDP, dan mengambil asumsi bahwa sinyal mempunyai fase yang

sama dan noise random mempunyai fase acak, maka stacking akan memperkuat

amplitudo sinyal dan membebaskan sinyal dari noise yang inkoheren.

18

Gambar dibawah ini menunjukkan proses stacking yang dapat terjadi dalam

pengolahan data seismik :

Gambar 3.5 Proses Stacking Dalam Pengolahan Data Seismik (Yilmaz, 2001)

Gambar model geologi 2 lapis datar (kiri) dengan gelombang refleksi dan

gelombang multiple (tengah), gather yang didapatkan dari proses akuisisi (kanan).

Setelah dilakukan koreksi NMO, maka even refleksi akan menjadi datar dan

multiple akan tetap miring karena kecepatan multiple yang lebih rendah dari

kecepatan medium.

3.2 Operator CRS Stack

Metode ini memanfaatkan multicoverage data seismik untuk melakukan proses

stacking. Jika pada metode konvensional hanya memilih beberapa CMP gather

untuk dilakukan proses stacking, maka pada metode ini menggunakan informasi

dari seluruh trace yang ada dalam rekaman seismik. Selain itu, alasan mendasar

mengapa metoda baru dalam stacking ini diusulkan karena alasan tidak tepatnya

pendekatan titik dari reflektor sebagai operator stacking. Proses stacking dengan

menggunakan operator stacking konvensional, tidak mampu mengaproksimasi

19

respon refleksi dengan tepat. Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaan antara

operator stack konvensional dan operator CRS :

Gambar 3.6 Operator Stacking dari NMO/ DMO Stack (Muller, 1998)

Gambar 3.7 Operator Stacking dari CRS Stack (Hubral et al., 1999)

20

Bagian bawah dari Gambar 3.6 dan Gambar 3.7 adalah model geologi berupa

antiklin dengan kecepatan overburdennya homogen. Bagian atas menggambarkan

data seismik (multicoverage) yang diklasifikasikan berdasarkan common-offset

gather (warna biru). Pada bagian atas ini ditampilkan juga operator stack

konvensional (Gambar 3.6) dan operator stack CRS (Gambar 3.7) yang

berwarna hijau yang digunakan untuk melakukan stack, sehingga dihasilkan titik

P0. Kurva berwarna jingga yang melewati titik P0 adalah lintasan common

reflection point (CRP) dari titik CRP pada reflektor. Lintasan CRP ini juga yang

digunakan sebagai jalur untuk proses stack pada metode konvensional. Lintasan

CRP yang berwarna jingga ini didapatkan dari perpotongan antara operator DMO

dengan data common-offset yang berwarna biru. Dapat disimpulkan bahwa titik P0

didapatkan dengan menjumlahkan amplitudo sepanjang lintasan jingga untuk

metode konvensional. Pada CRS, titik P0 ini didapatkan dengan menjumlahkan

amplitudo pada semua lintasan CRP yang berwarna hijau (Ariesty, 2012).

Operator CRS stack untuk seismik 2D merupakan fungsi dari tiga atribut

kinematik wavefield disebut juga atribut CRS. Secara matematis, persamaan

traveltime hiperbolik yang digunakan dalam perhitungan metode CRS stack

dituliskan pada persamaan berikut (H¨ocht et al., 1999; Tygel et al., 1997) :

(3.6)

Persamaan diatas dapat dijabarkan menjadi :

(3.7)

Dimana t0 merupakan traveltime, v0 merupakan kecepatan di dekat permukaan, xm

merupakan koordinat dari midpoint, x0 merupakan koordinat dari zero offset, h

NIPN

mmmhypR

hv

t

Rxx

v

txx

vthxt

1cos21)(

cos2sin2),( 2

0

2

02

0

0

2

0

2

0

0

0

2

NIPN

mmmhyp

R

h

R

xx

v

txx

vthxt

22

0

0

2

0

2

0

0

0

2 cos2sin2),(

21

merupakan koordinat dari half offset dan tiga parameter terakhir (RN, RNIP, dan )

atau atribut kinematik wavefield merupakan parameter permukaan CRS stack pada

titik x0, dimana ketiganya merepresentasikan lokasi, orientasi dan bentuk dari

reflektor.

Operator CRS stack untuk seismik 3D merupakan fungsi dari delapan atribut

kinematik wavefront atau atribut CRS. Persamaan traveltime hiperbolik yang

digunakan dalam perhitungan metode CRS stack dituliskan pada persamaan

berikut (Bergler, 2002) :

𝑡ℎ𝑦𝑝 2 ∆𝑚,ℎ = (𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚)2 +

2𝑡0

𝑣0∆𝑚.𝑅𝐾𝑁𝑅

𝑇∆𝑚 +2𝑡0

𝑣0ℎ.𝑅𝐾𝑁𝐼𝑃𝑅

𝑇ℎ (3.8)

Persamaan di atas dapat dijabarkan menjadi :

Dimana : KN =

1

𝑅𝑁001

𝑅𝑁01

1

𝑅𝑁011

𝑅𝑁11

KNIP =

1

𝑅𝑁𝐼𝑃 001

𝑅𝑁𝐼𝑃 01

1

𝑅𝑁𝐼𝑃 011

𝑅𝑁𝐼𝑃 11

R = cos 𝛼sin 𝛼

− sin 𝛼cos 𝛼

(3.9)

Maka :

𝑡ℎ𝑦𝑝 2 𝑥𝑚 − 𝑥0 ,ℎ = 𝑡0 +

2 sin𝛽

𝑣0

cos𝛼

sin𝛼 . 𝑥𝑚 − 𝑥0

2

+ 2𝑡0

𝑣0

𝑥𝑚 − 𝑥0 2.

cos𝛼

sin𝛼 − sin𝛼

cos𝛼 .

1𝑅𝑁00

1𝑅𝑁01

1𝑅𝑁01

1𝑅𝑁11

.𝑅𝑇

+ 2𝑡0

𝑣0 ℎ2. cos 𝛼

sin 𝛼 − sin 𝛼

cos 𝛼 .

1

𝑅𝑁𝐼𝑃 001

𝑅𝑁𝐼𝑃 01

1

𝑅𝑁𝐼𝑃 011

𝑅𝑁𝐼𝑃 11

.𝑅𝑇 (3.10)

Dimana t0 merupakan traveltime, v0 adalah kecepatan di dekat permukaan, Δm adalah koordinat dari midpoint (x, y), R adalah koordinat

dari titik yang digunakan, p0 adalah arah propagasi, h adalah koordinat dari half-offset, KN adalah matrik 2x2 dari curvature pada

gelombang N, dan KNIP adalah matrik 2x2 curvature gelombang NIP. 22

23

3.2.1 Atribut Kinematik Wavefield

Atribut kinematik wavefield merupakan parameter yang menggambarkan lokasi,

orientasi, dan bentuk reflektor, yang dalam kasus CRS ini parameter tersebut

adalah , RN, RNIP. Hubral (1983) memberikan tafsiran fisik mengenai pengertian

atribut CRS berupa dua muka gelombang yang dihasilkan oleh sumber berupa titik

di reflektor dan sumber sepanjang segmen reflektor (exploding reflektor) seperti

pada gambar dibawah ini :

Gambar 3.8 Atribut Kinematik Wavefield (Mann, 2002)

Warna hijau menunjukkan curvature gelombang normal dan warna merah

menunjukkan curvature gelombang NIP. Warna biru menunjukkan besarnya sudut

datang yang dibentuk dari muka gelombang terhadap garis normal. Gelombang

NIP (Normal Incident Point) didefinisikan sebagai gelombang yang dihasilkan

oleh satu titik sumber (disebut sebagai titik NIP) yang menjalar dari reflektor ke

permukaan. Wavefront ini mengerucut menjadi satu titik di reflektor, dengan

asumsi tidak adanya energi yang hilang selama penjalaran gelombang. Dengan

24

asumsi kecepatan konstan, maka parameter RNIP dapat digunakan untuk

menentukan jarak dari reflektor ke titik x0. Sedangkan RN merupakan gelombang

yang menjalar dengan arah normal. Gelombang N dihasilkan oleh sumber berupa

exploding reflektor di sekitar titik NIP. Parameter ini membawa informasi

mengenai bentuk kelengkungan dari reflektor. Kedua gelombang yang

dibangkitkan oleh sumber di titik NIP dan segmen reflektor sekitar titik NIP ini

akan merambatkan energi gelombang pada jalur yang berhimpit dengan raypath

zero offset dan memiliki sudut datang yang diterima pada titik x0 di permukaan.

Sudut datang tersebut merupakan parameter atau emergence angle. Parameter

ini memiliki kaitan erat dengan kemiringan reflektor.

3.2.2 Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 2D

Berikut tahapan pencarian atribut CRS stack 2D (Muller, 1998) :

1. Pencarian penampang CMP stack (Automatic CMP stack) dilakukan secara

otomatis yang didapatkan dari penjumlahan tiap sampel prestack data

menggunakan kecepatan stacking NMO. Proyeksi persamaan 3.6 terhadap domain

h-t akan menghasilkan operator CRS dalam CMP gather. Dalam domain xm = x0,

persamaan waktu tempuh menjadi :

(3.11)

Dengan menggunakan persamaan traveltime NMO : (3.12)

dan membandingkan persamaan 3.11 dan 3.12, persamaannya menjadi :

(3.13)

2

0

2

02

0

2 cos2)( h

Rv

ttht

NIP

hypmCMP

2

22

0

2 4

NMO

xv

htt

2

0

02

cos

2

t

Rvv NIP

nmo

25

Dengan mensubstitusikan persamaan di atas, maka pada tahap ini atribut RNIP

telah didapatkan.

2. Pembuatan penampang ZO Stack yang dibentuk oleh dua parameter atribut

kinematik wavefield, yaitu dan RN.

Bidang ZO (zero offset, h=0) dalam akuisisi di lapangan tidak mungkin dilakukan

karena tidak efisien. Untuk mendapatkan bidang ZO ini, data multicoverage di

stack pada masing-masing data refleksi pada CMP gather yang sama. Substitusi

nilai h0 pada persamaan 3.6 dan akan menghasilkan persamaan di bawah ini :

(3.14)

Jika mengasumsikan gelombang bidang atau plane wave datang ke permukaan

dan memiliki nilai RN, maka akan didapatkan persamaan CRS orde pertama

dalam domain ZO dan dapat menghitung nilai :

(3.15)

Pada kondisi khusus terjadi pada CS atau CR ketika akan mengubah

persamaan 3.6 menjadi :

(3.16)

dengan : (3.17)

Dengan mensubstitusikan nilai dan RNIP ke dalam persamaan hiperbolik CRS

(persamaan 3.6), maka nilai RN didapatkan, sehingga pada tahap ini tiga parameter

pada operator CRS dapat ditentukan.

N

m

mmZOhypR

xx

vtxx

vthxt

2

0

0

2

0

2

0

0

0

2

,

cos2

sin2),(

0

0

0)(),1(

sin2 xx

vtt mxZOhyp m

hxxm 0

2 22

0 02

0 0

0 0

2 cossin( ) 2

m

C m m

CS

t x xt x t x x

v v R

RcsRR NNIP

111

26

3. Penjumlahan inisial stack dengan menjumlahkan data prestack sepanjang

permukaan operator CRS menggunakan tiga parameter stacking CRS untuk tiap

sampel ZO. Analisis koherensi dengan data prestack kembali dilakukan, analisis

ini digunakan sebagai quality control dari hasil initial stack.

4. Pencarian nilai optimasi dengan menggunakan nilai initial sebagai input dan

algoritma The Flexible Polyhedron Search (Nelder dan Mead, 1965) yang diteliti

oleh Jager (1999) untuk proses optimasinya.

Berikut ini penggambaran diagram pengolahan pencarian atribut CRS Stack 2D :

Gambar 3.9 Diagram Alir Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 2D (Mann,

2002)

3.3 Metode 3D CRS Stack

Perbedaan utama antara CRS stack 2D dan 3D adalah jumlah atribut yang

digunakan. Metode CRS stack 2D menggunakan tiga atribut yang memberikan

27

informasi mengenai lokasi, orientasi dan bentuk reflektor, yaitu emergence angle

, jari-jari kelengkungan gelombang NIP (RNIP) dan jari-jari kelengkungan

reflektor gelombang normal (RN). Sementara 3D CRS stack memiliki delapan

atribut, yaitu masing-masing tiga buah atribut yang merepresentasikan RNIP dan

RN dalam bidang 3 dimensi dan dua buah atribut azimuth dan dip yang

menggambarkan sudut dari reflektor.

3.3.1 Atribut 3D CRS Stack

Atribut wavefront yang dihasilkan oleh 3D CRS stack adalah elemen dari matriks

simetri 22 kelengkungan gelombang NIP dan N di lokasi sumber atau penerima

bertepatan x0 dari sinar normal (2x3=6 nilai kelengkungan), dan arah propagasi

dari dua gelombang yang muncul pada x0, yaitu 2 sudut (Bergler et al., 2002).

Berikut ini penggambarannya :

Gambar 3.10 Atribut CRS untuk Simulasi Penampang ZO (Hocht, 2002)

28

Sinar normal (garis biru tebal) menghubungkan titik NIP pada reflektor kedua

(grid coklat) dengan permukaan akuisisi (bidang coklat). Permukaan merah dan

hijau mewakili masing-masing hipotesis muka gelombang NIP dan gelombang N

di tiga titik berbeda.

3.3.2 Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 3D

Pada dasarnya, strategi yang digunakan untuk pencarian atribut CRS stack 3D

sama dengan 2D. Perbedaannya adalah atribut yang terdapat pada CRS stack 3D

berupa matriks (Bergler, 2004).

1. Konfigurasi CMP, dimana terdapat hubungan linear antara m dan h

(m=(0,0)T). Dengan subsitusi kondisi tersebut ke dalam persamaan 3.8 akan

didapatkan :

𝑡𝐶𝑀𝑃 ,ℎ𝑦𝑝2 ℎ = (𝑡0)2 +

2𝑡0

𝑣0ℎ.𝑅𝐾𝑁𝐼𝑃𝑅

𝑇ℎ (3.18)

Nilai h merupakan perpaduan dari koordinat x dan y, sehingga persamaan di atas

dapat diformulasikan kembali menjadi :

𝑡𝐶𝑀𝑃 ,ℎ𝑦𝑝2 ℎ𝑥 ,ℎ𝑦 = 𝑡0

2 + 𝑚00ℎ𝑥2 + 2𝑚01ℎ𝑥ℎ𝑦 + 𝑚11ℎ𝑦

2 (3.19)

dimana 𝑚00 , 𝑚01 , dan 𝑚11 dapat dijelaskan dengan :

𝑀 = 𝑚00𝑚01

𝑚01𝑚11

=2𝑡0

𝑣0 (3.20)

Ketiga parameter 𝑚00 , 𝑚01 , dan 𝑚11 tersebut berkaitan dengan tiga kecepatan

stack yang dispesifikasikan berdasarkan sudutnya, yaitu = 00, 45

0, dan 90

0.

29

Sehingga didapatkan solusi :

𝑚00 =4

𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=0°)2 (3.21)

𝑚11 =4

𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=90°)2 (3.22)

𝑚01 =4

𝑣𝑠𝑡𝑎𝑐𝑘 (𝜃=45°)2 − 0.5 𝑚00 + 𝑚11 (3.23)

dengan adanya solusi di atas, maka 3 parameter KNIP dari total 8 parameter telah

diketahui.

2. Konfigurasi Zero Offset dimana h=0 untuk mencari 5 parameter yang tersisa.

Dengan mensubsitusi kondisi di atas ke dalam persamaan 3.8 maka akan

dihasilkan persamaan berikut :

𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚 = (𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚)2 +

2𝑡0

𝑣0∆𝑚.𝑅𝐾𝑁𝑅

𝑇∆𝑚 (3.24)

Langkah pertama dalam konfigurasi ini adalah diasumsikan semua turunan dari

bentuk kuadrat dari persamaan 2.24 bernilai 0, yang berarti KN=0 dan gelombang

N diaproksimasi oleh bidang atau plane wave datang pada permukaan, sehingga

persamaan 2.24 akan menjadi :

𝑡𝑍𝑂 ,𝑙𝑖𝑛 ∆𝑚 = 𝑡0 + 2𝑝0.∆𝑚 = 𝑡0 + 𝑎0∆𝑚𝑥 + 𝑎1∆𝑚𝑦 dimana 2p0,x=a0 dan

2p0,y=a1 (3.25)

Setelah diketahui nilai dari a0 dan a1 maka persamaan 3.24 direformulasikan lagi

menjadi :

𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚𝑥 ,∆𝑚𝑦 = (𝑡0 + 𝑎0∆𝑚𝑥 + 𝑎1∆𝑚𝑦)2 + 𝑛00∆𝑚𝑥

2 + 2𝑛01∆𝑚𝑥∆𝑚𝑦 + 𝑛11∆𝑚𝑦2 (3.26)

30

dimana, 𝑁 = 𝑛00𝑛01

𝑛01𝑛11 =

2𝑡0

𝑣0𝑅𝐾𝑁𝑅

𝑇 (3.27)

Dari persamaan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa solusi untuk konfigurasi

CMP dan ZO hampir sama dengan matriks 2x2 untuk KN maupun KNIP. Kurva

hiperbola yang bergeser sebagai fungsi azimuth dan jarak r (antara trace ZO

pusat dan trace ZO sekitar) diekspresikan pada persamaan ini :

𝑡𝑍𝑂 ,ℎ𝑦𝑝2 𝑟,𝜃 = (𝑡0 + 𝑎 𝜃 𝑟)2 + 𝑏(𝜃)𝑟2 (3.28)

dimana :

untuk =00 :

∆𝑚𝑥 = 𝑟, 𝑎0 = 𝑎 𝜃 = 0° dan 𝑛00 = 𝑏(𝜃 = 0°) (3.29)

untuk =900 :

∆𝑚𝑦 = 𝑟,𝑎1 = 𝑎(𝜃 = 90°) dan 𝑛11 = 𝑏(𝜃 = 90°) (3.30)

dan untuk =450 :

∆𝑚𝑥 = ∆𝑚𝑦 =𝑟

2 ,𝑎0+𝑎1

2= 𝑎(𝜃 = 45°) dan 𝑛01 = 𝑏 𝜃 = 45° −

𝑛00 +𝑛11

2 (3.31)

Dengan menggunakan kedelapan parameter yang telah diketahui dari dua

konfigurasi diatas, CRS stack 3D dapat dijalankan dengan lengkap. Persamaan

3.8, 3.20, 3.25, 3.27 dapat diformulasikan sebagai berikut :

𝑡ℎ𝑦𝑝2 ∆𝑚,ℎ = (𝑡0 + 𝑎.∆𝑚)2 + ∆𝑚.𝑁∆𝑚 + ℎ.𝑀ℎ (3.32)

Berikut ini adalah penggambaran diagram pengolahan pencarian atribut CRS

Stack 3D :

31

Gambar 3.11 Diagram Alir Strategi Pencarian Atribut CRS Stack 3D (Muller,

2003)